Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

PERTUSIS

Disusun Oleh :
Ruth Angelia Putri T.
1665050122
Pembimbing :
dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
PERIODE 10 DESEMBER 2018 – 23 FEBRUARI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
BEKASI
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan hormat,
Presentasi kasus pada kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi periode 10
Desember – 23 Februari 2018 dengan judul “Pertusis” yang disusun oleh :
Nama : Ruth Angelia Putri T.
NIM : 1665050122
Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh Yth :
Pembimbing :
dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A (K)

Menyetujui,

(dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A (K) )

2
BAB I
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. NF Tn. S Ny. S
Umur 3 bulan 45 tahun 36 tahun
Jenis Kelamin Laki - laki Laki-laki Perempuan
Alamat Jl. Bintara 14 RT 001/009, Bintara, Bekasi Barat
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa Betawi Betawi Betawi
Pendidikan - SMA SD
Pekerjaan - Wiraswasta Wirausaha
Penghasilan - Rp 6.000.000 -
Hubungan dengan
Keterangan orang tua : Anak
kandung

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Alloanamnesis pada hari Sabtu tanggal 9 Januari 2019
a. Keluhan Utama
Batuk – batuk hebat sejak 4 hari
b. Keluhan Tambahan
Demam, lesu, sesak, nafsu makan menurun.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan batuk – batuk hebat
sejak 4 hari sebelum masuk RS. Batuk yang dialami pasien disertai dengan dahak,
namun sulit dikeluarkan. Batuk ini dirasakan sepanjang hari. Terkadang, pasien
terlihat tamak sesak dan seolah ingin muntah karena terbatuk – batuk. Selain itu,
pasien juga mengalami demam sejak 4 hari sebelum masuk RS. Demam dirasakan
naik turun, turun ketika diberikan obat paracetamol. Nafsu makan pasien juga menjadi
menurun, tidak terlalu aktif menyusu karena sering kali batuk dan tersedak saat
menyusu. Selain itu, pasien juga terlihat lebih lesu dan lemas bila dibandingkan
dengan sebelum keluhan muncul. Mual muntah disangkal, kejang disangkal, BAB dan
BAK tidak ada keluhan.
Di keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien.
Namun, tetangga pasien ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien,
dimana pasien sering kali bermain ke rumah tetangganya tersebut.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi - Difteria - Jantung -
Cacingan - Diare - Ginjal -
DBD - Kejang - Darah -
Thypoid - Maag - Radang paru -
Otitis - Varicela - Tuberkulosis -
Parotis - Asma - Morbili -

e. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang serupa.

f. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :


KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan kelainan
Perawatan antenatal Setiap bulan periksa ke bidan
KELAHIRAN Tempat kelahiran Bidan
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinan pervaginam
Masa gestasi 9 bulan
Berat lahir 2600 g
Panjang badan 50 cm
Keadaan bayi Lingkar kepala tidak ingat
Langsung menangis
Nilai apgar tidak tahu
Tidak ada kelainan bawaan

Kesan : Riwayat kehamilan dan persalinan pasien baik

g. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :


Pertumbuhan gigi I : 6 bulan (normal: 5-9 bulan)
Psikomotor
Tengkurap : 3 bulan (normal: 3-4 bulan)
Duduk : belum bisa (normal: 6 bulan)
Berdiri : belum bisa (normal: 9-12 bulan)
Berjalan : belum bisa (normal: 13 bulan)
Bicara : belum bisa (normal: 9-12 bulan)
Baca dan Tulis : belum bisa
Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai usia

h. Riwayat Makanan
Umur ASI/PASI Susu formula Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim
(bulan)
0-2 + - - - -
2-4 + - - - -
4-6 - - - - -
6-8 - - - - -
8-10 - - - - -
10-12 - - - - -
12-24 -
24-59 -
Kesan : kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik, ASI masih eksklusif

i. Riwayat Imunisasi :
vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)
BCG Lahir - - -
DPT 2 bln Belum Belum Belum dilakukan
dilakukan dilakukan
POLIO Lahir 2 bln Belum - - -
dilakukan
CAMPAK Belum Belum dilakukan
dilakukan
HEPATITIS B Lahir 2 bln Belum - - -
dilakukan
Kesan : Imunisasi dasar belum lengkap

j. Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Tn. S Ny. S
Perkawinan ke Pertama Pertama
Umur 45 tahun 36 tahun
Keadaan kesehatan Baik Baik
Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik.

k. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :


Tinggal dirumah sendiri. Terdapat dua kamar. Ventilasi baik, cahaya matahari cukup,
air minum dan air mandi berasal dari air tanah.
Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan umum : tampak sakit sedang
b. Tanda Vital
- Kesadaran : compos mentis, GCS E4V6M5
- Tekanan darah :-
- Frekuensi nadi : 137x/menit
- Frekuensi pernapasan : 46x/menit
- Suhu tubuh : 37.2 oC
- Saturasi : 98%
c. Data antropometri
- Berat badan : 5 kg
- Tinggi badan : 60 cm
- IMT : BB/TB2 = 13/ (0,97)2 = 13.89
- BB/U : -2 Standar deviasi  normal
- TB/U : antara 0 s/d -2 Standar Deviasi  normal
- BB/TB : < -2 Standar Deviasi  kurus
- LK/U : 40 cm  Normal
- BMI/U : < -2 Standar deviasi  kurus
d. Kepala
- Bentuk : normocephali
- Rambut : rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata
- Wajah : pucat (-), sianosis (-), tidak ada kelainan bentuk pada
wajah
- Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor,
RCL +/+, RCTL +/+,
- Telinga : normotia, membran timpani intak, serumen -/-
- Hidung : bentuk normal, sekret (-), nafas cuping hidung (-)
- Mulut : faring hiperemis (-) , T1-T1
e. Leher : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak membesar

f. Thorax
- Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris
- Palpasi : gerak napas simetris, stem fremitus simetris
- Perkusi : sonor dikedua lapang paru
- Auskultasi : Pulmo SN vesikuler, ronki +/+ di seluruh lapangan
paru, wheezing -/-, Cor BJ I & II normal, murmur -,
gallop -
g. Abdomen
- Inspeksi : perut datar, pelebaran pembuluh darah (-), massa (-)
- Auskultasi : bising usus 5x/menit
- Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak membesar, lien
Tidak teraba membesar.
- Perkusi : timpani, nyeri ketok (-)
h. Kulit : ikterik (-), petechie (-)
i. Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-), edema (-), pucat (-)

.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium darah (31/12/2018)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HEMATOLOGI
Leukosit 21.8 Ribu/uL 5 - 10
Hemoglobin 9.4 g/dL 12 - 16
Hematokrit 28.3 % 37 - 47
Trombosit 646 Ribu/uL 150 - 400
KIMIA KLINIK

GDS 85 Mg/dL 60 – 110


Natrium 137 mmol/L 135 - 145
Kalium 4.7 mmol/L 3.5 – 5.0
Clorida 100 mmol/L 94 - 111
b. Foto thorax tanggal 4 Desember 2018

Kesan :
Thymus prominent, besar cor normal.

V. RESUME
a. Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan batuk – batuk hebat sejak 4
hari sebelum masuk RS. Batuk yang dialami pasien disertai dengan dahak, namun
sulit dikeluarkan. Batuk ini dirasakan sepanjang hari. Awalnya tampak batuk ringan
lama – lama semakin keras dan cepat. Terkadang, pasien terlihat tampak sesak dan
seolah ingin muntah karena terbatuk – batuk. Selain itu, pasien juga mengalami
demam sejak 4 hari sebelum masuk RS. Demam dirasakan naik turun, turun ketika
diberikan obat paracetamol. Nafsu makan pasien juga menjadi menurun, tidak terlalu
aktif menyusu karena sering kali batuk dan tersedak saat menyusu. Selain itu, pasien
juga terlihat lebih lesu dan lemas bila dibandingkan dengan sebelum keluhan muncul.
Pasien juga sering
mengalammi bersin. Mual muntah disangkal, kejang disangkal, BAB dan BAK tidak
ada keluhan.

Di keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien. Namun,
tetangga pasien ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien, dimana
pasien sering kali bermain ke rumah tetangganya tersebut.

Riwayat imunisasi dasar pasien belum lengkap.

b. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Tanda Vital
- Kesadaran : compos mentis, GCS E4V6M5
- Tekanan darah :-
- Frekuensi nadi : 137x/menit
- Frekuensi pernapasan : 46x/menit
- Suhu tubuh : 37.2 oC
- Saturasi : 98%
Antropometri : Kurus
Thorax : Ronkhi +/+
c. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium darah (31/12/2018)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HEMATOLOGI
Leukosit 21.8 Ribu/uL 5 - 10
Hemoglobin 9.4 g/dL 12 - 16
Hematokrit 28.3 % 37 - 47
Trombosit 646 Ribu/uL 150 - 400
KIMIA KLINIK

GDS 85 Mg/dL 60 – 110


Natrium 137 mmol/L 135 - 145
Kalium 4.7 mmol/L 3.5 – 5.0
Clorida 100 mmol/L 94 - 111

Foto thorax tanggal 4 Desember 2018


Kesan :
Thymus prominent, besar cor normal.

VI. DIAGNOSIS KERJA


Susp. Pertussis + bronkhopneumonia

VII. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
 Pro rawat inap
 Edukasi kepada orangtua tentang penyakit yang diderita

b. Medikamentosa
 IVFD KAEN 3A 500 ml/hari
 Azitromicin 1 x 50 mg
 Sanmol 3 x 50 mg
 Inhalasi / 6 jam dengan ventolin 1 neb + NaCl 0.9%

VIII. PROGNOSIS
- Ad vitam : Dubia ad bonam
- As fungsionam : Dubia ad bonam
- Ad sanationam : Dubia ad bonam
Tanggal FOLLOW UP
31/12/18 S/ batuk keras (+), bersin (+), demam (+), sesak (+)
O/ ku: TSS , kes: CM
Suhu:38.2 C , nadi:153x/menit,
RR: 56x/menit , saturasi:98% ,

A/ Susp. Pertussis + BP

P/ O2 nasal canule 2 lpm


IVFD KAEN 3A 500 ml/hari
Azitromicin 1 x 50 mg
Sanmol 3 x 50 mg
Inhalasi / 6 jam dengan ventolin 1 neb + NaCl 0.9%
Pasang NGT
01/01/19 S/ batuk keras (+), bersin (+), demam (+), sesak (+)
O/ ku: TSS , kes: CM
Suhu:37.1 C , nadi:145x/menit,
RR: 48x/menit , saturasi:99% ,

Lab :
Leu : 32.6. CRP : 190
A/ Susp. Pertussis + BP

P/ O2 nasal canule 2 lpm


IVFD KAEN 3A 500 ml/hari
Azitromicin 1 x 50 mg
Sanmol 3 x 50 mg
Inhalasi / 6 jam dengan ventolin 1 neb + NaCl 0.9%
Pasang NGT
Rawat PICU
02/01/19 S/ batuk keras (+), bersin (+), demam naik turun, sesak (+), mata merah (-),
whooping (+)
O/ ku: TSS , kes: CM
Suhu:37.6 C , nadi:151x/menit,
RR: 52x/menit , saturasi:97% ,

A/ Susp. Pertussis + BP

P/ O2 nasal canule 2 lpm


IVFD KAEN 3A 500 ml/hari
Azitromicin 1 x 1.5 cc
Viccilin 2 x 250 mg
Sanmol 3 x 50 mg  k/p
Inhalasi / 6 jam dengan ventolin 1 neb + NaCl 0.9%
BE 100cc
Pasang NGT
03/01/19 S/ batuk keras (+), bersin berkurang, demam naik turun, sesak (+), mata merah (-
), whooping berkurang
O/ ku: TSS , kes: CM
Suhu:37.4 C , nadi:147x/menit,
RR: 50x/menit , saturasi:98% ,

A/ Susp. Pertussis + BP

P/ O2 nasal canule 2 lpm


IVFD KAEN 3A 500 ml/hari
Azitromicin 1 x 1.5 cc
Viccilin 2 x 250 mg
Sanmol 3 x 50 mg  k/p
Inhalasi / 6 jam dengan ventolin 1 neb + NaCl 0.9%
Pasang NGT diet susu 8 x 20 – 25 cc
04/01/19 S/ batuk keras (+), bersin berkurang, demam naik turun, sesak berkurang, mata
merah (-), whooping berkurang
O/ ku: TSS , kes: CM
Suhu:37.5 C , nadi:140x/menit,
RR: 47x/menit , saturasi:99% ,
A/ Susp. Pertussis + BP

P/ O2 nasal canule 2 lpm


IVFD KAEN 3A 500 ml/hari
Azitromicin 1 x 1.5 cc
Viccilin 2 x 250 mg
Sanmol 3 x 50 mg  k/p
Inhalasi / 6 jam dengan ventolin 1 neb + NaCl 0.9%
Pasang NGT diet susu 8 x 20 – 25 cc
Acc pindah bangsal
05/01/19 S/ batuk keras (+), bersin berkurang, demam naik turun, sesak berkurang, mata
merah (-), whooping berkurang
O/ ku: TSS , kes: CM
Suhu:37.7 C , nadi:147x/menit,
RR: 51x/menit , saturasi:98% ,

A/ Susp. Pertussis + BP

P/ O2 nasal canule 2 lpm


IVFD KAEN 3A 500 ml/hari
Azitromicin 1 x 1.5 cc
Viccilin 2 x 250 mg
Sanmol 3 x 50 mg  k/p
Inhalasi / 6 jam dengan ventolin 1 neb + NaCl 0.9%
Pasang NGT diet susu 8 x 20 – 25 cc
06/01/19 S/ batuk keras (+), bersin berkurang, demam naik turun, sesak berkurang, mata
merah (-), whooping berkurang
O/ ku: TSS , kes: CM
Suhu:37.5 C , nadi:153x/menit,
RR: 50x/menit , saturasi:96% ,

A/ Susp. Pertussis + BP
P/ O2 nasal canule 2 lpm
IVFD KAEN 3A 500 ml/hari
Azitromicin 1 x 1.5 cc
Viccilin 2 x 250 mg
Sanmol 3 x 50 mg  k/p
Inhalasi / 6 jam dengan ventolin 1 neb + NaCl 0.9%
Pasang NGT diet susu 8 x 20 – 25 cc
07/01/19 S/ batuk keras (+), bersin berkurang, demam menurun, sesak berkurang, mata
merah (-), whooping berkurang
O/ ku: TSS , kes: CM
Suhu:37.2 C , nadi:155x/menit,
RR: 51x/menit , saturasi:98% ,

A/ Susp. Pertussis + BP

P/ O2 nasal canule 2 lpm


IVFD KAEN 3A 500 ml/hari
Azitromicin 1 x 1.5 cc
Viccilin 2 x 250 mg
Sanmol 3 x 50 mg  k/p
Inhalasi / 6 jam dengan ventolin 1 neb + NaCl 0.9%
Pasang NGT diet susu 8 x 20 – 25 cc
08/01/19 S/ batuk keras (+), bersin berkurang, demam menurun, sesak berkurang, mata
merah (-), whooping berkurang
O/ ku: TSS , kes: CM
Suhu:37.0 C , nadi:156x/menit,
RR: 51x/menit , saturasi:98% ,

A/ Susp. Pertussis + BP

P/ O2 nasal canule 2 lpm


IVFD KAEN 3A 500 ml/hari
Azitromicin 1 x 1.5 cc
Viccilin 2 x 250 mg
Sanmol 3 x 50 mg  k/p
Inhalasi / 6 jam dengan ventolin 1 neb + NaCl 0.9%
Pasang NGT diet susu 8 x 20 – 25 cc
Boleh pulang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Pertussis
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali
menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari
batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak
(whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang
intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap
orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan
kekebalan yang menurun1,2,3.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada
anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000
kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak
diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka
mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun4.

B. Epidemiologi Pertussis

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60
juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-
vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit
menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa
50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5
tahun1,2,3,5,6.
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun 6.
Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Dilaporkan
sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis dapat mengenai
semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, umur penderita termuda
ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki
dengan perbandingan 0.9:11,3. Namun berdasarkan (Farizo, 1992), perbandingan insidensi
antara perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun.
Sedangkan
proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara
bersama sampai 27%7.
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. Imunisasi
sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh karena
itu di negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak
didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi
pertussis menurun drastis setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas, dan
terendah sepanjang kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 19765.
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk
mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat
ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah
diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan
pertussis karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa
reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih
tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan1.

C. Etiologi Pertussis
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,
adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus
gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu
bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak–anak kecil yang ditandai dengan batuk
paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang ” batuk rejan”.1,3
Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan
tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bisa
didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian
ditanam pada agar media Bordet – Gengou1. Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B.
parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B.
pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada
manusia 8.
Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi pada
gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin klasifikasi
sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang mengeluarkan toksin
pertusis (TP), protein virulen yang utama. Penggolongan serologis tergantung pada
aglutinogen klabil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip
bervariasi secara geografis dan sesuai waktu1.
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak sarinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan
aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3),
dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk
perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan1.
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan
organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara
dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala pernafasan dan
mempermudah penyerapan TP1.
TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas histamine,
sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik
penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang percobaan dangan
pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa memainkan peran
sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis1.

D. Patogenenis Pertussis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh
Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap
mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik1,9.
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/
Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada
silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan
menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena
pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka
akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan
whooping cough1,9.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B
selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang
aktif pada
daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan
makrofag ke daerah infeksi1,9.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan
aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah1,9.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan
lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru1,9.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada
saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat
mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin
ataukah sekunder sebagai akibat anoksia1.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan
infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis1.

E. Gejala Klinis Pertussis


Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit
ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari
setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara
sehingga pembentukan lendir semakin banyak1.
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi
berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan1,10:
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-
cirinya menyerupai flu ringan :
 Bersin-bersin
 Mata berair
 Nafsu makan berkurang
 Lesu
 Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang
hari)
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-15
kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk bisa
disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-
anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah.
Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara.
Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan
dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin
berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk
terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.

F. Diagnosis Pertussis
1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis
pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan
riwayat imunisasi.

2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium
saat pasien diperiksa.

3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 / UI
dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh
karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain1,3,10.
Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis
pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal
94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya1,3,10.

Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan
adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk
menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA
dan PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan penyakit atau
vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik
untuk mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah pertussis10,12.

4. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,
atelektasis atau emfisema.

Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia


bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati
dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.
Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium.
Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya
mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi B.
parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis
B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab1.

G. Penatalaksanaan Pertussis
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati
keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan
penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai
kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak
penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat
alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan
bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam1,11.

Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus,


pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh
personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian
makan, muntah,
dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang
tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik,
perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara
spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan
diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca
batuk tetapi bukan tidak berespons1,11.

Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-


faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat
diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada
bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau
medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut1,11,12 :

1. Agen Antimikroba
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat
karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi.
Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat
(maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku. Beberapa
pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat juga manjur.
Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24
jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga
dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi
menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak.
Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol
cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian
klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis
dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.

2. Salbutamol
Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan
gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada trial
klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu penelitian kecil tidak
menunjukkan pengaruh. Pengobatan dengan aerosol memicu paroksismal.
3. Kortikosteroid
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untukan
mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis. Penelitian
pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit
yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia.
Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.

H. Pencegahan Pertussis
1. Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang
dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid
pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam
masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4
minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi1,11,13,14.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama
adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai
sumber infeksi
B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m)
telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar13,14.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum
seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi
panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif,
ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan
pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6
jam untuk selama 48-72 jam1,11,14.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas,
kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang.
Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau
reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi
pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk
ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa
demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2
hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat
diterangkan 40.5 C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis1,11,13,14.
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir
dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis,
peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan
imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan
mengurangi penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan
mengurangi gejala-gejala penyakit1,11,12.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat
imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak
diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai
batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis
monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi1,11,12.

I. Komplikasi Pertussis
1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat1,11.
2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-anak B.
pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae,
S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes)1,11.
3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.
4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental.
Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.
7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan
perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan
intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti,
dehidrasi dan gangguan nutrisi1,11.
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral
(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan
oleh temperatur tinggi1,10.
10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome of
Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)10.

J. Prognosis Pertussis
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio
kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase
rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi
pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4 % 12. Kebanyakan
kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain1,12.
BAB III
ANALISA KASUS

Manifestasi klinis Pertussis: Pada pasien didapatkan :


 Batuk yang awalnya ringan  Batuk yang awalnya ringan
menjadi cepat dan berat menjadi cepat dan berat

 Demam  Demam

 Mata merah  bersin

 Bersin

 Sesuai stadium

Pasien belum mendapatkan imunisasi


Pada anamnesis harus dicari tahu riwayat
dasar yang lengkap
imunisasi pasien
Baik  imunisasi dasar lengkap
(terutama mendapatkan imunisasi
terhadap pertussis secara lengkap)
Pemeriksaan penunjang : Pada pasien didapatkan :
 Lab darah  Lab darah : leukositosis

 Serologi  IgG dan IgM  Foto thorax :

 Biakan dari swab tenggorok bronkhopneumonia bilateral

 Foto Thorax
DAFTAR PUSTAKA

1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC.
181: 960-965.

2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit
Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.

3. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in


Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.

4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective


therapy 8 (2): 163–73.

5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23


Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.

6. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology


of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection.
Pediatrics : 115:1422-1427. Diakses 30 Desember 2011 dari,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059.

7. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-
1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 23 Desember 2011 dari,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.

8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious
Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone,
Philadelphia. p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiology-
pathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.

9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari
http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.

10. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine.


Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.

11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h:
564-566.

12. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and
Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria,
and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and
acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diakses 30
Januari 2012 dari
https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.
14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.html

Anda mungkin juga menyukai