Anda di halaman 1dari 27

LEMBAR PENGESAHAN

Dengan hormat,

Presentasi kasus pada Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi periode 7
Desember 2019 – 22 Februari 2020 dengan judul “Meningitis TB” yang disusun oleh :

Nama : Anggit Stephani

NIM : 1765050014

Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh:

Pembimbing,

dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A(K)

1
BAB 1

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Identitas Pasien
- MR No. : 18201096
- Nama : An.MNS
- Umur : 10 tahun
- Jenis kelamin : Laki-laki
- Agama : Islam
- Suku bangsa :Sunda
- Alamat : Cibitung, Kabupaten Bekasi

Identitas Orang Tua

IBU
- Nama : Ny. S
- Umur : 45 tahun
- Pekerjaan : Wiraswasta
- Pendidikan : SD
- Agama : Islam
- Suku : Sunda
- Alamat : Idem
- Penghasilan/bln : -

AYAH

- Nama : Tn. R
- Umur : 48 tahun
- Pekerjaan : Wiraswasta
- Pendidikan : SMP
- Agama : Islam
- Suku : Betawi
- Alamat : idem
- Penghasilan/bln: Rp.1.500.000,

2
II. ANAMNESIS
Dilakukan alloanamnesis pada hari Selasa, 20 Januari 2020
Keluhan Utama : sesak
Keluhan Tambahan : batuk, mata merah, lemas, berat badan turun
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Poli Anak RS Kota Bekasi dengan keluhan sesak sejak 1 tahun yang lalu,
hilang timbul dan memberat sejak 3 hari terakhir. Sesak dirasakan hampir sepanjang hari disertai
batuk berdahak berwarna putih kekuningan tanpa disertai darah. Ibu pasien juga mengatakan
anaknya sering berkeringat dingin terutama pada malam hari. Selain itu, pasien juga mengeluh
anaknya tampak semakin kurus akibat penurunan nafsu makan yang dialami.
1 tahun terakhir pasien sudah tidak bisa berdiri karena kaki terasa nyeri dan lemas. Sehingga
pasien hanya bisa duduk dan berbaring. Mata pasien juga memerah tidak berkurang dengan obat
tetes mata. Pasien juga sering mengeluh pusing, tidak nafsu makan hingga berat badan yang
semakin menurun.

Keluhan yang sama dialami oleh pasien sekitar 5 tahun yang lalu, pasien pernah
menjalani pengobatan flek paru. Namun tidak sampai tuntas karena terkendala biaya. Kemudian
setelah 2 tahun kemudia pasien kembali menjalani pengobatan paru, namun kembali berhenti
karena alasan yang sama.
Karena keluhan anaknya dirasa semakin memberat , orangtua pasien membawa anaknya
ke RS terdekat dan oleh dokter dikatakan penyakitnya sudah sampai ke otak dan kemudian
dirujuk ke RSUD.

Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur


Alergi - Difteri - Peny. Jantung -
Cacingan - Diare + Peny. Ginjal -
Demam berdarah - Kejang - Peny. Darah -
Demam tifoid - Kecelakaan - Radang Paru +
Otitis - Morbili - Tuberculosis +
Parotitis - Varicela - Asma -

Riwayat Penyakit Keluarga


Kakek pasien memiliki riwayat TB Paru. Riwayat penyakit hipertensi, diabetes dan penyakit
lainnya disangkal

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

Morbiditas kehamilan Ibu pasien mengaku ketika hamil tidak


KEHAMILAN
menderita penyakit apapun.
Perawatan antenatal Ibu pasien tidakrutin kontrol ke dokter
selama masa kehamilan
KELAHIRAN Tempat kelahiran Puskesmas
Penolong kelahiran Bidan
Cara persalinan Pervaginam
Masa Gestasi 8 bulan
Keadaan bayi BBL: 2400 gram
PB: tidak ingat
Lingkar kepala tidak ingat
Bayi langsung menangis
Nilai APGAR tidak tahu

Riwayat Perkembangan
Riwayat Perkembangan
Pertumbuhan gigi pertama : 9 bulan (normal: 5-9 bulan)
Psikomotor:
Tengkurap : 5 bulan (normal: 3-4 bulan)
Duduk : 10 bulan (normal: 6 bulan)
Berdiri : 14 bulan (normal: 9-12 bulan)
Berjalan : 2 bulan (normal: 13 bulan)
Bicara : 12 bulan (normal: 9-12 bulan)
Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan terlambat

Riwayat Pemberian Makanan

Umur ASI/PASI Susu Formula Buah/Biskuit Bubur Nasi tim


(bulan)

0-2 + _ - - -
2-4 + _ + - -
4-6 + - + - -

6-8 + - + + _
8-9 + - + + _
10-12 + - + + +
12-24 + - + + +

24-59 Makanan Keluarga


Kesan: kebutuhan gizi pasien kurang terpenuhi dengan baik

Riwayat Imunisasi

Vaksin Umur
0 bulan 1 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan 9 bulan 18 bulan
BCG √
DPT √
Polio √
Campak √
Hepatitis B √
Kesan : Imunisasi dasar PPI tidak lengkap

Riwayat Perumahan dan Sanitasi


Kepemilikan rumah adalah rumah sendiri. Keadaan rumah adalah dinding rumah tembok,
terdiri dari 2 kamar, ventilasi kurang, sinar matahari tidak dapat masuk, kamar mandi di dalam
rumah. Sumber air bersih dari sumur. Terdapat jamban keluarga. Limbah buangan ke saluran atau
selokan yang ada. Keadaan lingkungan jarak antara rumah berdekatan, cukup padat.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Tanda Vital
- Kesadaran : apatis
- Frekuensi Nadi : 98 x/menit (reguler,kuat angkat)
- Frekuensi Pernafasan : 30 x/menit (reguler)
- Suhu tubuh : 37,2oC
- SpO2 : 97%
-
Data Antropoemetri
- Berat Badan : 13,5 kg
- Tinggi Badan : 110cm
- BB/Umur : < -3SD
- TB/Umur : < -2SD
- BB/TB : <-3SD

Kepala
- Kepala : normocephali
- Rambut : hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
- Wajah : pucat (-), sianosis (-), tidak ada kelainan bentuk
- Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera hiperemis -/-, pupil isokor,
simetris, RCL +/+, RCTL +/+, flighten eyes +/+
- Telinga : normotia, membran timpani intak, serumen -/-
- Hidung : bentuk normal, lapang, sekret (-), septum deviasi (-)
pernafasan cuping hidung (-)
- Mulut : faring hiperemis (-), T1/T1

Leher : kelenjar getah bening dan tiroid tidak teraba membesar


Thoraks
- Inspeksi : pergerakan dinding dada kiri dan kanan simetris, retraksi (-)
- Palpasi : vokal fremitus kiri dan kanan sama
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru, simetris
- Auskultasi : bising napas dasar vesikuler, rhonki +/+, wheezing -/- , bunyi
Jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : perut datar, tidak tampak massa dan pelebaran pembuluh darah
- Auskultasi : bising usus (+) normal : 5x/menit
- Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
- Perkusi : timpani, nyeri ketok (-)
Kulit : ikterik (-), petechie (-)
Ekstremitas : akral hangat, sianosis(-), CRT < 2 detik, edem (-), pucat (-)
IV. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium Darah
Hematologi Hasil Hematologi Hasil
LED 17 mm ⬆ MCHC 33,6
Leukosit 15,4 ribu/uL ⬆ Trombosit 520 rb/uL ⬆
Eritrosit 5,13 juta/uL Ureum 14 mg/dL ⬇
MCV 83,1 fL Kretinin 0,40 mg/dL ⬇
MCH 27,9 pg GDS 131 mg/dL
Hb 14,3 g/dL Ht 42,6%
SGOT 24 U/L ⬇ SGPT 11 U/L ⬇
Na : 143, K : 4,5, Cl : 97 (mmol/L)

Foto Thorax

Kesan : TB Paru aktif dan efusi pleura bilateral


CT Scan
Kesan :
VI. Diagnosa Kerja

Meningitis TB

VII. Diagnosa Banding

- Meningitis Bakterial

- Abses Cerebri

- Meningitis viral
VIII. Penatalaksanaan

- INH 1X125mg - IVFD Kaen 3A 16tpm/makro

- Pirazinamid 2 x 200mg - O2 nasal canul

- Etambutol 2 x 200mg - NGT, dengan diit susu BBLR

- Colsancetin (Khloramfenikol) 3 x 350mg 8 x 150cc

- Ceftriaxon 1 x 1 gram - BE nutrition250 cc/hari

- Prednison 3x 7,5mg
- Konsul mata
- B6 1 x 10mg - Konsul gizi

- Omeprazole 1 x 20mg

IX. Prognosis

· Ad Vitam : Dubia ad malam

· Ad Fungsionam : Dubia ad malam

· Ad Sanationam : Dubia ad malam

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen)


yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah
satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer
muncul di paru-paru dan dapat menyebar limfogen dan hematogen ke berbagai daerah di
paru-paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.

2.2 Epidemiologi

Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas dan


mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis TB terjadi
pada setiap 300 penderita TB primer. Meningitis TB meningkatkan morbiditas dan
mortalitas dari semua bentuk tuberkulosis (WHO, 2012). Meningitis tuberkulosis menyerang
0,3% anak dengan tuberkulosis yang tidak ditangani. Angka kematian pada meningitis
tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar dengan gejala sisa, hanya 18% pasien
yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual. Di Indonesia, insidensi
meningitis tuberkulosis lebih tinggi pada orang dengan HIV / AIDS. Meningitis TBC
merupakan penyakit yang Mengatasi kebutuhan jiwa 30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas
meningitis TB.

Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh kasus


meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini memiliki frekuensi yang lebih tinggi
pada daerah dengan sanitasi yang buruk, memerlukan meningitis tuberkulosis tidak berhasil,
tingkat mortalitas akan meningkat, biasanya dalam kurun waktu 3-5 minggu. Angka
kejadian meningkat seiring dengan transisi jumlah pasien tuberkulosis dewasa. Meski bukan
negara endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis menambahkan 1: 100 dari semua kasus
tuberculosis

Di indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas


tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, termasuk
bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi
dijumpai pada anak usia 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur
di bawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada berumur dibawah 3 bulan (Rahajoe,
2005).

2.3. Etiologi

Pada laporan kasus meningitis tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis


merupakan faktor penyebab paling utama pada penyakit meningitis. Seperti halnya
meningitis oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar
dalam darah ke cairan otak.

Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri yang berbentuk batang


pleomorfik gram positif, memiliki 0,4-3μ, memiliki sifat tahan asam, dapat hidup selama
berminggu-minggu dalam situasi kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20
jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang berperan patogen intraselular pada
hewan dan manusia. Selain Mycobacterium tuberkulosis, spesies lain yang juga dapat
menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, dan
Mycobacterium microti.
2.4. Anatomi

Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang,
merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan cairan serebrospinal, dan
memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3 lapisan, yaitu dura mater,
araknoid, dan pia mater (Whiteley, 2014).

a. Lapisan Luar (Dura mater)

Dura mater adalah lapisan meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang
berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang membungkus
medula spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang epidural, yang
mengandung vena berdinding tipis, jaringan ikat terikat, dan jaringan lemak. Dura mater
selalu dihapus dari arachnoid oleh celah sempit, ruang subdural. Permukaan dalam dura
mater, juga permukaan luarnya pada medulla spinalis, mengatur epitel selapis gepeng
yang asalnya dari mesenkim.

b. Lapisan Tengah (Araknoid)

Araknoid memiliki 2 komponen yaitu lapisan yang berkontak dengan dura mater dan
sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan Piamater. Rongga antara
trabekel membentuk ruang subaraknoid, yang berisi cairan serebrospinal dan terpisah
sempurna dari ruang subdural. Ruang ini membuat bantalan hidrolik yang melindungi
syaraf pusat dari trauma. Ruang subaraknoid terkait dengan ventrikel otak. Araknoid
terdiri atas jaringan ikat tanpa pembuluh darah. Permukaannya dibuka oleh epitel selapis
gepeng seperti dura mater karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya,
maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid menembus
dura mater membentuk juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura
mater. Juluran ini, yang dipindahkan oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid.
Fungsinya adalah untuk menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus
venosus.

c. Lapisan Dalam (Pia mater)


Materi utama terdiri dari jaringan kapal darah. Meskipun cukup dekat dengan jaringan
saraf, ia tidak berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen
neural Ada lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada piamater dan
membuat barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang sistem saraf pusat
dari cairan serebrospinal. Piamater menyusuri seluruh lekuk permukaan susunan saraf
pusaf dan menyusup kenya untuk jarak tertentu bersama pembuluh darah. Pia mater di
lapisi oleh sel-sel gepeng yang diambil dari mesenkim. Pembuluh darah menembus
susunan saraf pusat melalui torowongan yang dikirimkan oleh piamater ruang
perivaskuler. Pia mater lenyap sebelum kapal darah ditransportasi menjadi kapiler.
Dalam susunan saraf pusat, kapiler darah penuh dibungkus oleh puas cabang neuroglia.

d. Plexus Koroid dan Cairan Serebrospinal

Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang menyusup ke
bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel ketiga ventrikel lateral.
Plexus koroid merupakan struktur yang dibuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi.
Pleksus koroid terdiri dari jaringan yang diikat dari pia mater, dibungkus oleh epitel
selapis kuboid atau silindris, yang memiliki karakteristik sitologi dari sel pengangkut
ion. Fungsi utama pleksus koroid adalah membuat cairan serebrospinal, yang hanya
berisi sedikit bahan padat dan mengisi penuh ventrikel, kanal sentral dari medula
spinalis, ruang subaraknoid, dan ruang perivasikular. Hal ini penting untuk dipahami
merupakan alat pelindung, terdiri dari cairan dalam ruang subaraknoid. Cairan itu jernih,
memiliki densitas rendah (1,004-1,008 gr / ml), dan komposisi proteinnya sangat rendah.
Juga ada beberapa sel deskuamasi dan dua sampai lima limfosit per mililiter. Cairan
serebrospinal mengalir melalui ventrikel, dari sana ia meluncurkan ruang subaraknoid.
Disini vili araknoid merupakan jalur utama untuk absorbsi Cairan Serebrospinal ke
dalam sirkulasi vena. Proses menurunnya cairan serebrospinal atau penghambatan aliran
keluar cairan dari ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut hidrosefalus, yang
terjadi pembesaran progresif dari kepala dan diperbesar dengan mental dan mental
Kelemahan otot (Scanlon, 2007).

2.5. Proses Terjadinya Meningitis Tuberkulosis


Meningitis tuberkulosis terjadi akibat penyebaran infeksi hematogen ke
meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosis melalui 2 yang disebut mula-mula
terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran selama infeksi primer. Penyebaran
secara hematogen dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi situasi ini jarang ditemukan.
Selanjutnya meningitis terjadi akibat dilepaskannya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa
(lesi permukaan di otak) akibat trauma atau proses imunologi, langsung masuk ke
subaraknoid. Meningitis tuberkulosis Biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer
(Schlossberg, 2011).

Jumlah bakteri yang masuk ke cairan serebrospinal dalam bentuk kolonisasi dari
nasofaring atau hematogen menyebar ke pleksus koroid parenkim otak, atau selaput
meningen. Vena-vena yang memperbaiki penyumbatan dapat menyebabkan aliran retrograde
transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan dapat menyebabkan fraktur, bedah saraf, infeksi
steroid epidural, tindakan anestesi, keberadaan benda asing seperti implan koklear, VP shunt,
dan lain-lain. Sering juga kolonisasi tanaman pada kulit dapat menyebabkan meningitis.
Meskipun meningitis dianggap sebagai peradangan selaput meningen, Kerusakan pada otak
yang dapat berakibat edema otak, peyumbatan vena dan menghalang aliran cairan
serebospinal yang dapat berakhir dengan hidrosefalus, Peningkatan tekanan intrakranial dan
herniasi (Schlossberg, 2011).

Terjadi Peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (pia mater dan


araknoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung terkumpul di
daerah basal otak. Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis TBC:

1. Araknoiditis Proliferatif

Proses ini terjadi di basal otak, terbentuklah massa fibrotik yang mengaktifkan saraf
kranialis dan kemudian menembus kapal darah. Reaksi radang akut di leptomeningen ini
ditandai dengan keberadaan eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di dasar otak.
Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis
perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan Memperbaiki organisasi kalsifikasi.
Sementara saraf kranialis yang akan ditingkatkan paralisis. Saraf yang paling sering
diperbesar adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul diplopia
dan strabismus. Bila Mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik
dan timbul akibat penglihatan kabur bahkan bisa sangat besar bila terjadi atrofi papil
saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan
pendengaran yang sifatnya permanen (Frontera, 2008).

2. Vaskulitis

Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi
membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal inilah yang menyebabkan
timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang
meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Kapan infark terjadi di daerah
sekitar media cerebri atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan
pengumpulan infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis
ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika Adventisia
ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis
perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya sel infiltrasi yang ringan dan
kadang-kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima terdiri dari infiltrasi
subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering disebut arteri
serebri media dan anterior serta cabang- cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena
selaput otak dapat Menurunkan flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis dan oklusi sebagian atau total. Proses transisi flebitis tidak jelas,
hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan
fibrin (Schwartz, 2005).

3. Hidrosefalus

Hidrosefalus komunikan akibat naik inflamasi ke sisterna basalis yang akan sirkulasi dan
resorpsi cairan serebrospinalis tampak kelainan, hanya sel infiltrasi yang ringan dan
kadang-kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima terdiri dari infiltrasi
subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering disebut arteri
serebri media dan anterior serta cabang- cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena
selaput otak dapat Menurunkan flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis dan oklusi sebagian atau total. Proses transisi flebitis tidak jelas,
hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan
fibrin (Schwartz, 2005).
2.6. Manifestasi Klinis

Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita. Faktor-


faktor yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis sepenuhnya disetujuinya dengan
perubahan patologi yang ditemukan. Meningitis TB muncul perlahan-lahan dalam waktu
beberapa minggu (Nofareni, 2003). Keluhan pertama biasanya sakit kepala. Rasa ini dapat
menjalar ke tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku mulai oleh
mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk
kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran
menurun, tanda Kernig dan Brudzinsky positif. Perbedaan pada bayi yang memerlukan
meningitis, biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak pada kulit tangisan lebih keras
dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi kesulitan kesadaran
seperti dibutuhkan membuat gerakan tidak beraturan. Stadium klinis meningitis tuberkulosis
dapat dibagi dalam 3 (tiga) stadium (Anderson, 2010):

a. Stadium I

Prodormal Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi
biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit menyerang subakut, sering tanpa demam,
berhenti-buang, nafsu makan berkurang, murung, berat badan menurun, mudah
tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terselubung dan gangguan kearah sadar
terbentuk. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi,
kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.

b. Stadium II

Transisi Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit yang lebih berat dimana
penderita bertambah parah kepala yang hebat dan kadang- kadang-kadang lebih tinggi
daripada bayi dan anak-anak. Tanda- tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh
tubuh dapat menjadi kaku, ada tanda-tanda Meningkatkan intrakranial, ubun- ubun
menonjol dan muntah yang lebih hebat.

c. Stadium III

Terminal Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada
stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu.
2.7. Diagnosis

Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara:

a. Anamnesis

Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri kepala dan
kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu makan, mudah
mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang, penurunan kesadaran Kehadiran kontak dengan
pasien tuberkulosis. Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat membentuk
sepsis, berbentuk bayi malas minum, letargi, kesulitan pernafasan, ikterus, muntah, diare,
hipotermia. Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga pasien yang dapat disetujui jika
tidak diizinkan untuk autoanamnesa.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis Biasanya adalah


pemeriksaan rangsang meningeal (Sidharta, 2009). Yaitu sebagai berikut:

 Kaku Kuduk Pasien berbaring terlentang dan dilakukan perpindahan pasif berbentuk
fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapat kekakuan dan tahanan pada
saat pergerakan nyeri dan spasme otot.

 Tanda Kernig Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul
mungkin perluas tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa sakit.
Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135 ° (kaki
tidak dapat di ekstensikan sempurna) pulih spasme otot paha

 Brudzinski I (Brudzinski leher) Pasien berbaring dalam posisi terlentang, tangan kanan
diletakkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu
lagi ditempatkan didada pasien untuk dikeluarkan Badan yang ditunjuk kemudian
pasien difleksikan agar dagu membahas dada. BrudzinskiI positif (+) bila gerakan
fleksi kepala disusul dengan gerakan diseksi lutut dan panggul kedua tungkai secara
reflektorik

 Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai) Pasien berbaring terlentang dan


dilakukan fleksi pasif paha pada Sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig).
Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada saat pemeriksaan terjadi fleksi involunter
padasendi panggul dan lutut kontralateral.

 Brudzinski III (Brudzinski Pipi) Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan
kedua ibu jari pemeriksa tepat di bawah os ozygomaticum. Tanda Brudzinski III
positif (+) jika ada flexi involunter extremitas superior.

 Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis) Pasien tidur terlentang tekan sederhana dengan


ibu jari pemeriksaan tangan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi
involunter extremitas inferior.

 Tanda Lasegue Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya.


Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda
lasegue positif (+) jika ada tahanan sebelum mencapai sudut 70 ° pada dewasa dan
kurang dari 60 ° pada lansia.

c. Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Laboratorium

Lanjutkan Endap Darah (LED), kadar kadar, kadar ureum dan kreatinin, fungsi
hati, elektrolit

- Pemeriksaan LED meningkat pada pasien meningitis TB:

- Pada meningitis bakteri diperoleh Peningkatan leukosit polimorfonuklear


dengan shift ke kiri.

- Pengecekan elektrolit untuk mengetahui dehidrasi

- Glukosa serum digunakan sebagai interaksi terhadap cairan pada cairan


serebrospinal.

- Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk pengaturan fungsi organ dan
evaluasi dosis terapi.

- Tes serum untuk sifilis jika perlu menggunakan neurosifilis.


 Pewarnaan BTA
Bakteri Tuberculousis bacilli secara mikroskopis dapat terlihat dengan metode
pewarnaan khusus Ehrlich-Ziehl Neelsen (EZN) dari CSS dan isolasi bakteri dari
kultur CSS. Pengecatan untuk bakteri tahan asam (BTA), memiliki sensitivitas
rendah (20-40%). Sensitivitas dapat ditingkatkan apabila cairan CSS yang diperiksa
diambil dari 4 kali punksi lumbal.

 Uji Tuberkulin

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan penapisan tuberkulosis yang paling
bermanfaat. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara
mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD
(Turunan Protein Murni) dari kuman Mycobacterium TBC.

Lokasi penyuntikan uji mantoux pada umumnya ½ bagian atas lengan bawah kiri
bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin
dilakukan 48-72 jam dan lebih diutamakan pada 72 jam setelah penyuntikan dan
memutuskan diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi. Reaksi positif yang
muncul setelah 96 jam masih dianggap valid. Bila pasien tidak kontrol dalam 96 jam
dan hasilnya negative maka tes Mantoux harus diulang. Tes Mantoux dinyatakan
positif apabila diameter indurasi > 10 mm. kontrol dalam 96 jam dan hasilnya
negative maka tes Mantoux harus diulang. Tes Mantoux dinyatakan positif apabila
diameter indurasi > 10 mm.

 Lumbal Pungsi
Lumbal Pungsi Biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein
cairan serebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan
intrakranial. Pungsi lumbal adalah tindakan memasukkan jarum lumbal pungsi ke
dalam kandung dura lewat processus spinosus L4-L5 / L5-S1 untuk mengambil
cairan serebrospinal. Pada meningitis bakteri biasanya ditemukan adanya
peningkatan tekanan, peningkatan sel darah putih (>80% neutrophil), penurunan
glukosa, peningkatan protein, dan ditemukan patogen bakteri.
Hasil Analisis Cairan Serebrospinal

Gambaran CSS pada MTB kadang kadang sulit dibedakan dengan


pada meningitis bakteri terutama yang telah mendapat terapi antibiotika
sebelumnya, meningitis aseptic/virus dan infeksi oleh Cryptococcus. Berikut
adalah gambaran analisis CSS pada MTB yang dapat digunakan sebagai patokan,
sedangkan tabel 1 ditunjukkan bagaimana membedakan gambaran CSS pada
MTB dengan infeksi lain:
 Kultur
Kultur BTA dapat dikerjakan dalam beberapa minggu dan memiliki sensitivitas
yang rendah 40-80%. Kultur harus dikerjakan sehubungan dengan penentuan
sensitivitas terhadap OAT. Pemeriksaan ini tergolong mahal dan merupakan teknik
diagnostik yang lambat, tidak terjangkau pada beberapa pasien. Waktu untuk hasil
positif bergantung pada jumlah basiler dan akan menjadi positif dalam 4 minggu
pada sebagian besar kasus, namun kultur hanya dilaporkan negatif pada akhir
minggu ke enam inkubasi. Kultur penting untuk fenotiping sensitivitas terhadap
obat dan untuk konfirmasi resistensi diperlukan teknik
 Foto Thoraks
Foto thorak dibutuhkan pada pasien yang tidak dapat mengeluarkan sputum atau yang
memiliki hasil Xpert negatif dan HIV positif, dan diduga terdapat TB
ekstrapulmoner (seperti efusi pleura dan TB perikardial). Saat foto thorak tidak
spesifik untuk TB, Temuan pada foto thorax harus diinterpretasi sesuai dengan
riwayat dan temuan klinis pasien. Adanya infiltrat, pembesaran kelenjar getah
bening atau kavitas sangat mendukung adanya TB. Indikasi penggunaan foto thorak
lainnya mencakup:
- Membantu diagnosis saat adanya dugaan komplikasi penyakit TB seperti
pneumothorak, efusi pleura, atau pasien dengan hemoptisis berulang dan berat
- Untuk membantu diagnosis penyakit paru yang terjadi secara bersamaan seperti
kanker paru, bronkiektasis.
 Pencitraan CT Scan dan MRI
Pencitraan memegang peranan penting dalam diagnosis MTB terutama pada fase
awal penyakit dan pada kasus tertentu. Gambaran CT scan yang mendukung
MTB diantaranya, tampak adanya eksudat hiperdens pada CT scan tanpa kontras,
enhancement pada basal meningeal, infark bilateral basal ganglia merupakan tanda
khas MTB dan merupakan tanda keterlibatan batang otak serta hidrosefalus.
MRI lebih superior dari CT untuk diagnosis MTB dengan adanya basal
enhancement dan granuloma, tuberkel milier pada leptomeningeal yang terjadi
pada 80% anak dengan MTB, identifikasi opthochiasmic arachnoiditis, serta
mendeteksi infark lebih baik.

-
2.8. Penatalaksanaan

Terapi yang diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu:

1. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 hingga 5 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.

2. Terapi yang dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid dan rifampisin
hingga 12 bulan. Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada meningitis tuberkulosis
terdiri:

a. Rifampisin (R)

Rifampisin aktif bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat Membuka semua jaringan
dan dapat membunuh semumanan yang tidak dapat dihentikan oleh isoniazid. Rifampisin
diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam
sebelum makan) dan kadar serum mencapai puncak dalam 2 jam. Rifampisin diberikan
dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per
hari dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan
isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid
10 mg / kgBB / hari. Informasi lengkap ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan
serebrospinal. Distribusi rifampisin ke dalam cairan serebrospinal lebih baik pada
keadaan selaput otak yang sedang diselesaikan per cadangan dari keadaan normal. Efek
samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, dahak, dan air menjadi
warna oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik,
dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg,
dan 450 mg (Heemskerk, 2011).

b. Isoniazid (H)

Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan ekstrasel,
dapat berdifusi ke seluruh jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal,
cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki reaksi buruk yang rendah.
Isoniazid diberikan secara lisan. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg /
kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian.
Isoniazid yang tersedia secara umum dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam
bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak darah, dahak, cairan serebrospinal dapat
dicapai 1-2 jam dan paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid Ada di dalam air susu ibu yang
mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid memiliki dua
efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer. Jarang terjadi pada anak,
biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan bertambahnya jumlah
bertambah dengan bertambahnya usia. Bagi Menghindari timbulnya neuritis perifer, bisa
diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap
100 mg isoniazid (Heemskerk, 2011)

c. Pirazinamid (Z)

Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat ini hanya bakterisid pada intrasel dan
suasana asam dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg /
kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 ug / ml
mencapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena
pirazinamid sangat baik diberikan pada saat pertemuan asam yang timbul jumlah kuman
yang masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia,
iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia
dalam bentuk tablet 500mg (Heemskerk, 2011).

d. Etambutol (E)
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat berinteraksi bakterisid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan
pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis
etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis
tunggal. Kadar serum puncak 5 ug dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk
tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak
pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik
pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama
etambutol adalah neuritis optik dan sangat besar Penggunaan pada anak yang belum bisa
digunakan penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terbaru Pelaksanaan tuberkulosis
pada anak, etambutol direkomendasikan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25
mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan berat dan kecurigaan TB
TB-obat jika obat-obat lain tidak tersedia atau tidak dapat digunakan (Heemskerk, 2011)

e. Streptomisin (S)

Streptomisin melawan bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada


kondisi basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler.
Saat ini jarang streptomisin digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi
penggunaannya fase perawatan penting mengintensifkan meningitis tuberkulosis dan
MDR-TB (multi-obat resistensi-tuberkulosis). Streptomisin diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar
puncak 45-50 μg / ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput
otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.
Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi
melalui ginjal. Penggunaan saat ini adalah jika ada kecurigaan resistensi awal terhadap
isoniazid atau jika anak kalah tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi
pada nervus kranial VIII yang mengatur keseimbangan dan pendengaran, dengan
berbentuk telinga berdengung (tinitus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus
plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena
dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat. Efek
samping yang mungkin juga terjadi adalah gangguan pendengaran dan vestibuler
(Heemskerk, 2011)
f. Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan dengan kortikosteroid
untuk menghambat edema serebri dan timbulnya perlekatan antara araknoid dan otak
(Levin, 2009). Steroid diberikan untuk:

- Menghambat reaksi inflamasi

- Mencegah komplikasi infeksi

- Menurunkan edema serebri

- Mencegah perlekatan

- Mencegah arteritis/infark otak

Indikasi Steroid :

- Kesadaran menurun

- Defisit neurologist fokal

Dosis steroid

- Deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena selama 2 minggu


selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan (Levin, 2009).

2.9. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada meningitis tuberculosis:


 Hidrosefalus

 Cairan subdural

 Abses otak

 Cedera kepala

 Gangguan pendengaran

 Peningkatan tekanan dalam otak ( tekanan itrakranial )

 Kerusakan otak

 Kejang

 Araknoiditis

2.10. Prognosis

Prognosis meningitis tuberkulosis lebih baik sekiranya didiagnosa dan diterapi


seawal mungkin. Sekitar 15% penderita meningitis nonmeningococcal akan dijumpai
gejala sisanya. Secara umumnya, penderita meningitis dapat sembuh, baik sembuh
dengan cacat motorik atau mental atau meninggal tergantung :

 Umur penderita.

 Jenis kuman penyebab

 Berat ringan infeksi

 Lama sakit sebelum mendapat pengobatan

 Kepekaan kuman terhadap antibiotik yang diberikan

 Adanya penanganan penyakit.


Prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi, dan pasien dengan
penyakit yang menular atau dengan peningkatan tekanan intracranial.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. Meningitis tuberkulosa. Buku Ajar Neurologi Klinis : Perhimpunan Dokter


Spesialis Saraf Indonesia. Edisi ke 3. Yogyakarta: Gadjah Mada University; 2005.
2. www.meningitis.org/disease-info/types-causes/tb-meningitis. diakses tanggal 15 Mei
2017
3. International society of pediatric Neurosurgery, 2015
4. Dinihari TN, Dewi RK (eds). Diagnosis tuberkulosis pada anak. petunjuk teknis
manajemen TB anak. jakarta : kementerian kesehatan republik indonesia; 2013 pp : 17-
18.
5. World Health Organization. WHO. 2015. Tuberkulosis: Global tuberkulosis report 2015.
Geneva:WHO Press.
6. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB (eds) (2008). Tuberkulosis dengan
keadaan khusus. Pedoman nasional tuberkulosis anak. Edisi ke 2 dengan revisi. Jakarta:
UKK Respirologi PP IDAI, pp: 74-77.
7. Nicolls DJ, King M, Holland D, Bala J, del Rio C. Intracranial tuberculomas developing
while on therapy for pulmonary tuberculosis. Lancet Infect Dis. 2005 Dec. 5(12):795-
801. [Medline].
8. Hejazi N, Hassler W. Multiple intracranial tuberculomas with atypical response to
tuberculostatic chemotherapy: literature review and a case report. Infection. 1997 Jul-
Aug. 25(4):233-9. [Medline].
9. Blanco Garcia FJ, Sanchez Blas M, Freire Gonzalez M. Histopathologic features of
cerebral vasculitis associated with mycobacterium tuberculosis. Arthritis Rheum. 1999
Feb. 42(2):383. [Medline].

Anda mungkin juga menyukai