Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.


Dalam berinvestasi, ada tiga landasan yang menjadi dasar keputusan
investor yaitu returnyang diharapkan, tingkat risiko dan hubungan antara return
dan risiko. Investor dapat mengurangi risiko dengan cara melakukan diversifikasi
investasi. Alternatif investasi adalah tindakan investasi alternatif di luar investasi
seperti biasanya. Investasi dilakukan pada instrument investasi dengan tujuan
tertentu dan mempunyai risiko cukup, tetapi ada kemungkinan tingkat
pengembalian tinggi. Atau modal awal tidak hilang saat jatuh tempo, tetapi
tingkat pengembaliannya tidak jelas, hanya indikasi.
Risiko adalah kemungkinan adanya sesuatu yang tidak menguntungkan
akan terjadi dimasa mendatang (chance that some unfavorable event will occur).
Risiko Investasi adalah dapat diartikan dengan “probability of losses”, yaitu
semakin besar kemungkinan untuk rugi makainvestasi tersebut akan semakin
berisiko. Dengan demikian pengertian risiko diatas, akan mempunyai dampak
yang berbeda bagi investor apabila mereka dihadapkan pada situasi pengambilan
keputusan di bidang investasi.
Keputusan investasi dan risiko investasi merupakan dua istilah yang oleh
para investor sering dipergunakan untuk menganalisis suatu proyek investasi yang
akan dikerjakan. Sebelum suatu proyek diputuskan oleh manajer investasi atau
oleh perusahaan untuk dikerjakan atau tidak, maka terlebih dahulu
dipertimbangkan atau diproyeksi berbagai risiko dan peluang yang
menguntungkan dari investasi itu sendiri. Selain itu antara risiko dan keputusan
investasi saling dikonfirmasi sehingga membantu manajer dalam pengambilan
keputusan atau pemilihan investasi ini. Karena keputusan investasi berkaitan
dengan return dan risiko di masa datang, maka di dalam analisisnya diproyeksikan
secara statistik berdasar data dan informasi yang relevan dan sangat erat kaitannya
dengan proyek investasi itu.
Data dan informasi yang berkenaan dengan investasi adalah data dan
informasi yang terkuantifikasi ke dalam data cash inflow dan data cash outflow
dari penggunaan investasi yang akan dipertimbangkan, maupun data-data
2

ekonomi yang iain yang berasal dari luar yangada relevansinya dengan
pembiayaan dan hasil investasi tersebut. Kemudian data ini kita prediksi dan
kumpulkan selama usia investasi. Akhirnya kita analisis berdasar perhitungan
statistik, logika ekonomi dan kita simpulkan kelayakan, pilihan dan keputusan
investasi yang akan kita tentukan di antara pilihan-pilihan investasi tersebut.
Sebagaimana kita mengetahui bahwa secara statistik nilai rata-rata, deviasi
standar dankoefisien variasi data-data dan informasi yang kita kumpulkan, secara
angsung akan dapat kita pergunakan untuk memprediksi return dan resiko yang
bakal terjadi atau (expectation) dari investasi itu sendiri di masa datang.

1.2 Rumusan Masalah.


Dalam makalah ini Penulis mengidentifikasi rumusan masalah sebagai
berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan Resiko dalam Artian Ketidakpastian Arus


Kas?
2. Apa yang dimaksud dengan Resiko Proyek?
3. Bagaimana cara perhitungan Metode Simulasi Monte Carlo?
4. Apa yang dimaksud dengan Penyesuaian terhadap Tingkat Bunga
dengan Menggunakan CAMP?
5. Apa yang dimaksud dengan Diversifikasi Bisnis?
6. Apa yang dimaksud dengan Analisis Sensitivitas?

1.3 Tujuan Penulisan.


Melalui pembahasan makalah ini, mahasiswa/i diharapkan mampu
memahami pembahasan sebagai berikut:

1. Apa itu Resiko dalam Artian Ketidakpastian Arus Kas?


2. Apa itu Resiko Proyek?
3. Perhitungan Metode Simulasi Monte Carlo?
4. Apa Penyesuaian terhadap Tingkat Bunga dengan Menggunakan
CAMP?
5. Apa itu dengan Diversifikasi Bisnis?
6. Apa itu Analisis Sensitivitas?
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Resiko Dalam Investasi.


Pemodal sterusnya menerima suatu proyek yang diharapkan memberikan
NPV yang positif, tidak berarti bahwa pemodal tersebut pasti akan menjadi lebih
kaya. Masalahnya adalah karena rencananya investasi yang dianalisis merupakan
rencana yang akan datang. Tidak ada jaminan arus kas yang kita harapkan benar-
benar akan terealisir sesui dengan harapan tersebut. Selalu ada unsur
ketidakpastian, selalu ada resiko yang menyertai suatu investasi. Bahkan dalam
teori keuntungan disebutkan bahwa seseorang bisa menjadi lebih kaya.
Dibandingkan dengan nilai menanggung resiko yang lebih besar menjadi peluang
yang lebih besar untuk menjadi lebih kaya (dan juga untuk menjadi lebih miskin).
Masalahnya adalah sebagaimana kita merumuskan resiko dalam investasi modal.
Pada garis besar ada dua pendekatan untuk memasukkan factor resiko dalam
investasi. Yang pertama adalah mengukur resiko dalam bentuk ketidakpastian
arus kas, dan yang kedua menggunakan konsep hubungan yang positif antara
resiko dengan tingkat keuntungan yang dipandang layak.

2.1.1 Resiko Dalam Artian Ketidakpastian Arus Kas.


Pendekatan ini menggunakan dasar pemikiran bahwa semakin tidak pasti
arus kas suatu investasi, semakin beresiko investasi tersebut. Dengan demikian
analisis akan dipusatkan pada arus kas. Dengan memperkirakan distribusi arus kas
tersebut, bagaimana probabilitas proyek tersebut akan menghasilkan NPV
negative? Bagaimana kita bias memperkirakan ketidakpastian arus kas?
Pernyataan pertanyaan tersebut merupakan pernyataan yang dicoba dijawab oleh
metode ini.

Ketidakpastian Arus Kas.


Apabila kita pasti akan menerima sejumlah uang tertentu di masa yang akan
datang, kita akan mengatakan bahwa penerimaan tersebut mempunyai
karakteristik seperi itu dikatakan bersifat bebas resiko. Sayangnya sebagian besar
4

investasi pada aktiva rill (membangun pabrik, meluncurkan produk baru,


membuka usaha dagang baru, dan sebagainya) merupakan investasi yang
mempunyai unsur ketidakpastian atau mempunyai unsur resiko.
Kalau kita berbicara tentang masa yang akan datang ada unsur
ketidakpastian maka kita hanya bisa mengatakan tentang nilai yang diharapkan
(expected value). Sedangkan kemungkinan menyimpang dari nilai yang
diharapkan diukur dengan deviasi standard. Secara formal kedua parameter
tersebut bisa dinyatakan sebagai berikut :
n
E(V) = Σ ViPi
t=1
Dalam hal ini E (V) adalah nilai yang diharapkan, Vi adalah nilai pada distribusi
ke- i (i = 1 … n) dan Pi adalah probabilitas ke –i

σ= (Vi-E(V))2Pi

Dalam hal ini adalah deviasi standard distribusi nilai tersebut. Misalkan ada
dua proyek, A dan B yang (untuk mudahnya )mempunyai usia ekonomis hanya
satu tahun. Karaketristik arus kas untuk kedua proyek tersebut adalah sebagai
berikut :
Tabel 1. Ketidak Pastian arus kas
Usulan Investasi A Usulan Investasi B
Probabilitas Arus Kas Probabilitas Arus Kas
0,10 Rp 3.000 0,05 Rp 3.000
0,20 Rp 4.000 0,20 Rp 4.000
0,40 Rp 5.000 0,50 Rp 5.000
0,20 Rp 6.000 0,20 Rp 6.000
0,10 Rp 7.000 0,05 Rp 7.000
Dengan menggunakan rumus pada tabel 1 dan 2 bisa dihitung bahwa,
E(VA) = Rp.
5,000
E(VB) = Rp.
5,000
Sedangkan,
σ = 1,095
σ = 894
5

Dengan demikian investasi A dinilai lebih berisiko dibandingkan investasi


B. Apabila E(V) dari kedua investasi tersebut tidak sama, maka penggunaan σ
sebagai indikator resiko menjadi sulit dilakukan. Untuk itu kemudian
dipergunakan coefficient of variation, yang merupakan perbandingan antara
σ/E(V). Misalkan kita mempunyai informasi sebagai berikut:
Tabel 2. Penggunaan Coefficient Of
Variation Sebagai Pengukur Resiko
C D
E(V) 1.000 1.500
σ 400 500
Coeff Of Var 0,40 0,33
Mereka yang menggunakan coefficient of variation mengatakan bahwa
proyek C lebih berisiko dibandingkan dengan D, karena coefficient of variation-
nya lebih besar.

Operating risk dan ketidakpastian arus kas.


Apa yang menyebabkan suatu perusahaan mempunyai ketidakpastian arus
kas yang lebih besar dari pada perusahaan lain? Apabila faktor pendanaan kita
pegang konstan (artinya perusahaan menggunakan struktur pendanaan yang sama,
atau menggunakan modal sendiri seluruhnya), perusahaan yang mempunyai
operating risk (resiko opersi) yang tinggi berarti bahwa laba operasi sangat peka
terhadap perubahan penjualan. Dengan kata lain, perubahan penjualan yang kecil
akan mempengaruhi laba operasi cukup besar. Mengapa demikian?
Penyebabnya adalah factor operating leverage, operating leverage
menunjukkan penggunaan aktiva yang menimbulkan biaya tetap (fixed asset)
biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah meskipun aktivitas persahaan
berubah. Lawan dari biaya tetap ialah biaya variable. Biaya ini ikut berubah kalau
aktivitas perusahaan berubah. Contoh biaya tetap misalkan gaji para pimpinan,
beban penyusutan dan lain lain. Sedangka contoh biaya variable misalkan biaya
bahan baku, biaya bahan penolong, komisi penjulana dan lain lain pemikiran yang
digunakan adalah bahwa biaya biaya yang ditanggungkan oleh perusahaan bisa
dibagi menjadi biaya tetap dan biaya variable.1
1
Dalam praktiknya sering sulit untuk memisahkan biaya-biaya ke dalam klasifikasi biaya tetap
atau variabel. Berbagai metode pemisahan bisa digunakan, meskipun metode-metode tersebut
6

Dengan menggunakan asumsi bahwa (1) biaya variable per unit konstan, (2)
harga jual per unit konstan, (3) biaya tetap total konstan sepanjang produksi, maka
keadaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut
Penghasilan
Biaya Total

Biaya Variabel

Biaya Tetap

Unit yang dijual dan diproduksi

Kita lihat bahwa pada suatu titik tertentu situasi dimana penghasilan sama
dengan total biaya (disini biaya biaya adalah biaya operasi, tidak termasuk biaya
karena menggunakan hutang) pada jumlah produksi dan penjualan itulah yang
dikatakan bahwa perusahaan berada dalam keadaan impas (break–even)
bagaimana memperoleh titik impas (break event point) tersebut ?
Apabila
V = Biaya variabel per unit
FC = Biaya tetap total (artinya bukan per unit)
P = Harga jual per unit
Q = Unit yang dihasilkan dan dijual
R = Penghasilan yang diterima dari penjualan
TC = Biaya total, yaitu biaya tetap total plus biaya variabel total

Maka titik impas tercapai pada saat R = TC. Ini berarti bahwa
PQ = FC+VQ
FC = PQ-VQ
FC = Q(P-V)
Q = FC/(P-V)
Misalkan PT. ANNA mempunyai karakteristik biaya dan penghasilan
sebagai berikut. Penjualan diperkirakan bisa mencapai 1.000 unit dalam satu
tahun. Harga jual Rp. 1.000 per unit. Biaya tetap selama satu tahun sebesar Rp.

tidak dibicarakan di buku ini.


7

300.000. Biaya variabel Rp. 500 per unit. Berapa laba operasi yang diharapkan
pada penjualan sebesar 1.000 unit?
Laba Operasi = Penghasilan - Total Biaya
= (1.000 x Rp. 1.000) - (Rp. 300.000 + (1.000 x Rp. 500)
= Rp 200.000
Perusahan yang lain, PT. Paramita juga mengaharapkan akan mampu
menjual 1.000 unit dalam satu tahun dengan harga jual juga Rp. 1.000. bedanya
adalah bahwa biaya tetap perusahaan tersebut mencapai Rp. 500.000 per tahun.
Sedangkan biaya variabel Rp. 300 per unit. Kalai kita hitung titik impas kedua
perusahaan tersebut kita akan memperoleh hasil yang berbeda.

Misalkan penjualan menurrun sebesar 10%. Apa yang terjadi terhadap laba
operasi kedua perusahaan tersebut?
Tabel 3. Pengaruh Penurunan Penjualan Terhadap Laba Operasi
PT. ANNA PT. PARAMITA
Penurunan Penjualan 10% 10%
Penjualan yang baru Rp 900.000 Rp 900.000
Biaya-biaya:
Tetap Rp 300.000 Rp 500.000
Variabel Rp 450.000 Rp 270.000
Total Rp 750.000 Rp 770.000
Laba Operasi Rp 150.000 Rp 130.000
Penurunan laba operasi 25% 35%
Perbandingan antara penurunan laba
operasi dengan penurunan penjualan
2,50 3,50
(disebut degree of operating
leverage )

Untuk menghitung DOL pada tingkat penjualan tertentu dihitung dengan


rumus sebagai berikut:
X (P - V)
DOL pada X unit =
X (P - V) - FC
8

2.1.2 Resiko Proyek.


Apabila dipergunakan ketidakpastian arus kas sebagai pengukur resiko,
maka pemikiran ini berrati bahwa semakin tidak pasti arus kasnya, atau semakin
tidak arus kasnya, atau semakin besarnya nilai deviasi standar arus kas tersebut,
semakin berisiko proyek tersebut. Masalah yang timbul adalah bahwa proyek
investasi mempunyai jangka waktu yang lama. Sementara kita menaksir arus kas
setiap tahun. Proyek tersebut diharapkan menghasilkan arus kas selama beberapa
tahun. Pada ekstrimnya, pola arus kas bisa dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu
(1) tidak mempunyai korelasi sama sekali (independen) dan, (2) berkorelasi
sempurna. Kemungkinan lainnya adalah bentuk bentuk antara (berkorelasi
moderat)
Masalah lainnya adalah pemilihan tingkat bunga yang relevan untuk
menaksir NPV proyek tersebut. Apabila ketidakpastian arus kas dipergunakan
sebagai pengukur resiko, dan karenanya semakin tidak pasti arus kas, semakin
besar resikonya maka tingakt bunga yang dipergunakan tentunya tidak bisa
mengakomodir factor resiko tersebut. Dengan kata lain kita tidak bisa
menggunakan tingkat bunga yang makin besar apabila kita merasa bahwa
ketidakpastian arus kas tersebut makin besar pula. Mengapa ?
Hal ini disebabkan oleh dua alasan, pertama kita belum bisa merumuskan
hubungan resiko dengan tingkat bunga yang dipandang layak. Yang kedua,
apabila dipergunakan ketidakpastian arus kas sebagai indicator resiko dan
kemudian arus kas tersebut di present value kan dengan menggunakan tingkat
bunga yang telah mengakomodir unsur resiko, berarti kota melakukan perhitungan
ganda.
a. Mengukur Resiko Untuk Arus Kas yang Independen.
Arus kas yang independen berarti bahwa arus kas pada tahun n + 1 tidak
berkaitan dengan arus kas pada tahun n. Artinya, apabila arus kas pada waktu ke-
n ternyata menurun 10% dari yang diharapkan, arus kas pada waktu n + 1 tidak
mesti akan menurun 10% juga. Bisa saja tetap sesuai dengan yang diharapkan,
atau kalau menyimpang, tidak mesti sejalan dengan tahun ke-n.
Misalkan suatu Investasi sebesar Rp. 11.000 pada tahun ke-0. Diharapkan
usia ekonomis Investasi tersebut adalah 3 tahun, dengan estimasi arus kas seperti
9

proyek A pada Tabel 14.1. Diasumsikan bahwa pola arus kas tersebut adalah
indepeden. Apakah proyek tersebut menguntungkan?
Untuk itu perlu dihitung (1) NPV yang diharapkan (Expected NPV), dan (2)
deviasi standar NPV tersebut. Perhitungan deviasi standar dimaksudkan untuk
memperkirakan risiko proyek tersebut. Untuk menghitung NPV yang diharapkan,
formula yang dipergunakan adalah sebagai berikut.

E (NPV) = n Ct
Σ t
t=0 (1+Rf)

Dalam hal ini Ct, adalah arus kas pada waktu ke-1
dan t=0…..n. Perhatikan bahwa karena t dimulai dari waktu ke-0, maka tanda
untuk Cf bisa positif (kas masuk) maupun negative (kas keluar). Sedangkan
tingkat bunga yang dipergunakan adalah Rft ,yaitu tingkat bunga bebas risiko.
Misalkan Rf = 9% dengan demikian maka NPV yang diharapkan adalah,
n
5.000
E ( NPV ) =−10.000+ ∑
t−1 (1+ 0,09 ) t
Dengan demikian maka,
E(NPV = -11.000 + 12.656
)
= +1.656

Apakah proyek tersebut menguntungkan? Sulit untuk menjawabnya karena


kita menghitung NPV yang diharapkan dengan menggunakan R f. untuk
melengkapi informasi, kita perlu menghitung deviasi standar NPV proyek
tersebut. Deviasi standar (=σ) NPV dirumuskan sebagai,
2
σt
2t
(1+Rf)

Perhatikan bahwa rumus yang dipergunakan adalah dikuadratkan, dan


kemudian diakar. Perhatikan juga bahwa perhitungan dimulai dari tahun ke-0,
meskipun arus kas pada tahun ke-0 karena bersifat pasti deviasi standar pada t=0
sama dengan nol. Karena setiap tahun σ = 1.095, maka perhitungan deviasi
standar NPV adalah sebagai berikut:
10

σ 1.0952 1.0952 1.0952


= 0 + + +
(1+0,09)2 (1+0,09)4 (1+0,09)6

Dengan demikian kita memperoleh,


σNPV = 1.604
Apa arti hasil perhitungan tersebut? Hasil tesebut menunjukan bahwa
proyek tersebut diharapkan memberikan NPV sebesar +Rp.1.656 (tetapi dihitung
dengan Rf ) dengan mempunyai kemungkinan untuk menyimpang dari expected
NPV tersebut. Apabila distribusi arus kas diperkirakan normal, dan kita berani
mengasumsikan bahwa distribusi tersebut merupakan distribusi yang kontinu2.
b. Mengukur resiko untuk Arus kas yang Tidak Independen
Seringkali arus kas pada suatu waktu berkorelasi dengan arus kas pada
waktu berikutnya. Dalam keadaan semacam itu kita perlu memperhatikan
koefisien korelasi antar waktu dari arus kas.
Tabel 4. Probabilitas Arus Kas beserta nilainya (dalam jutaan), untuk setiap tahun
Tahun 1 Tahun 2
Probabilitas Arus Kas Probabilitas Arus Kas
Joint Probability
semula P(1) Bersih Kondisional Bersih P (2/1)
0,40 -Rp 60 0,12
0,30 -Rp 20 0,40 -Rp 20 0,12
0,20 -Rp 10 0,06

0,30 Rp 20 0,12
0,40 Rp 40 0,40 Rp 40 0,16
0,30 Rp 60 0,12

0,20 0,06
0,30 Rp 80 0,40 0,12
0,40 0,12
Investasi pada awal tahun Rp. 40.000.000

Misalkan suatu proyek berusia ekonomis dua tahun, memerlukan investasi


sebesar Rp.40 juta. Taksiran kas masuk setiap tahun beserta probabilitasnya
disajikan pada Tabel 14.4. Probabilitas kondisional P(2/1) berarti bahwa ada
probabilitas sebesar 0,4 pada tahun ke-2 untuk memperoleh arus kas negative
Rp.60, apabila pada tahun pertama arus kasnya negative Rp.20. Dengan demikian

2
Distribusi yang kita pergunakan sebenarnya merupakan distribusi yang diskrit, meskipun normal.
Dikatakan normal karenapeluang untuk memperoleh nilai yang besar ataupun yang lebih kecil,
sama besarnya. Dikatakan diskrit karena kita menggunakan angka-angka kelipatan seribu, dimulai
dan diakhiri dengan nilai tertentu. Artinya kita mengansumsikan bahwa arus kas tidak mungkin
mencapai, misalnya Rp 3.135, atau mencapai lebih dari Rp 7.000. distribusi kontinu berarti bahwa
arus kas bisa nol hanya Rp. 1, bisa pula Rp. 5.998, dan seterusnya. Artinya perubahannya tidak
harus dengan kelipatan tertentu.
11

maka joint probability untuk arus kas seri 1 adalah (0,30x0,40)= 0,12. Demikian
seterusnya sampai dengan seri ke-9.
Misalkan tingkat keuntungan bebas risiko adalah 4%. Untuk menghitung
expected NPV kita perlu menghitung NPV dari arus kas seri 1 sampai dengan seri
9. Arus kas seri 1 dihitung sebagai berikut,
NPV1 = - 40 – [20/(1,04)] – [60/(1,04)2 ]
= - 114,70
NPV arus kas seri ke-2 adalah,
2
NPV1 = - 40 – [20/(1,04)] – [20/(1,04) ]
= - 77,72
Demikian seterusnya.
Hasil perhitungan tersebut kita sajikan pada Tabel 5 berikut ini:
Tabel 5. NPV Masing-masing Seri Arus Kas dan Rata-rata Tertimbangnya
(1) (2) (3) (4)
Seri ke NPV Prob. Kejadian (2) x (3)
1 -114,70 0,12 -Rp 13.760
2 -77,72 0,12 Rp 9.330
3 -49,98 0,06 Rp 3.000
4 16,95 0,12 Rp 2.030
5 35,44 0,16 Rp 6.470
6 53,93 0,12 Rp 5.670
7 73,90 0,06 Rp 4.430
8 110,88 0,12 Rp 13.310
9 129,38 0,12 Rp 15.530
Rata-rata tertimbang Rp. 21,53
Dengan menggunakan rumus (14.2), kita bisa menghitung σNPV yaitu sebesar
Rp.79,96. Dengan demikian proyek tersebut diharapkan memberikan NPV (yang
dihitunh dengan Rf) sebesar Rp.21,35, dan mempunyai deviasi standar sebesar
Rp79,96. Apakah proyek ini cukup aman? Sekali lagi diperlukan judgement untuk
memustukan. Karena proyek tersebut nampaknya tidak mempunyai distribusi
normal, maka kita bisa memodifikasi informasi dalam Tabel 5 menjadi seperti
Tabel 6. Tabel tersebut menjelaskan bahwa ada probabilitas sebesar 30% proyek
tersebut akan menghasilkan NPV negative (cukup besar bukan?). Dengan kata
lain ada 70% peluang untuk memperoleh NPV +Rp16,95 atau lebih besar.
12

Cara lain adalah memperkirakan koefisien korelasi antar arus kas pada
masing-masing periode. Apabila proyek tersebut mempunyai usia ekonomis 2
tahun, maka variance NPV bisa dirumuskan sebagai berikut:
σ2NPV = σ2 σ21 + σ4 σ22 + 2σ3 k1,2 σ1 σ2
Dalam hal ini,
σ = 1/(1+Rf)
K1,2 = Koefisien korelasi antara arus kas pada periode 1 dengan
periode 2
Perhatikan apabila koefisien korelasi sama dengan nol, rumus diatas
tersebut menjadi sama dengan hasil perhitungan pada saat arus kas independen.
Tabel 6. Probabilitas Kumulatif Untuk
memperoleh nilai NPV tertentu.
NPV Prob. Kumulatif
-114,70 0,12
-77,72 0,24
-49,98 0,30
16,95 0,42
35,44 0,58
53,93 0,70
73,90 0,76
110,88 0,88
129,38 1,00
Sedangkan apabila usia ekonomis 3 tahun, maka variance NPV dapat
dirumuskan sebagai berikut:
σ2NPV = σ2σ21 + σ4σ22 + σ6σ23 + 2[σ3k1,2σ1σ2 + σ4k1,3σ1σ3 + σ5k2,3σ2σ3]
Demikian seterusnya. Perhatikan apabila proyek berusia tiga tahun, maka
harus ditaksir koefisien korelasi antar arus kas pada periode 1 dan 2, 1 dan 3, serta
2 dan 3. Cara ini relatif lebih mudah daripada memperkirakan probabilitas
kondisional seperti yang diuraikan diatas. Meskipun demikian, apabila proyek
mempunyai usia ekonomis yang cukup lama (10 tahun misalnya), maka
penggunaan cara tersebut mungkin menjadi cukup rumit, dan karena metode
simulasi berikut ini diperkenalkan.

2.1.3 Metode Simulasi Monte Carlo


13

Kesulitan menggunakan cara diatas adalah menaksir conditional


probability, lebih-lebih kalau proyek tersebut mempunyai usia ekonomis yang
cukup panjang. Kita akan sampai pada situasi jumlah seri NPV menjadi sangat
banyak. Sebenarnya masalahnya bukanlah sangat banyaknya seri NPV yang akan
muncul, tetapi penaksiran probabilitas kondisional yang sangat banyak.
Metode yang mencoba menyederhanakan penaksiran probabilitas tersebut
adalah dengan menggunakan simulasi. Simulasi bisa (dan perlu) dilakukan banyak
sekali sehingga diperlukan bantuan komputer, tetapi penaksiran probabilitas tidak
akan serumit persoalan diatas.
Misalkan tim analisis proyek yang mempunyai usia ekonomis 3 tahun
sampai pada kesimpulan sebagai berikut:
1. Taksiran unit yang terjual setiap tahun adalah sebagai berikut,
Unit yang terjual Probabilitas
80.000 0,30
100.000 0,40
140.000 0,30
2. Taksiran harga jual per unit setiap tahun adalah sebagai berikut,
Harga jual Probabilitas
5.000 0,10
8.000 0,70
9.000 0,20
3. Biaya variable per unit untuk setiap tahun adalah sebagai berikut,
Biaya variabel Probabilitas
3.000 0,20
5.000 0,60
6.000 0,20

4. Biaya tetap yang bersifat tunai adalah sebagai berikut,


Biaya tetap Probabilitas
80 juta 0,10
100 juta 0,80
120 juta 0,10
5. Beban penyusutan pertahun sebesar Rp 50 juta
6. Tarif pajak penghasilan 35%.
7. Tingkat keuntungan bebas resiko 10%.
8. Investasi pada awal tahun sebesar Rp 500 juta.
9. Terminal cash flow pada tahun ke-3 sebesar Rp 350 juta.
14

Bagaimana melakukan simulasi? Dalam ilustrasi diatas dipergunakan empat


variable yang tidak pasti sifatnya, yaitu
1. Unit yang terjual
2. Harga jual
3. Biaya variable per unit
4. Biaya tetap per unit.
Karena itu simulasi bisa dilakukan misalnya dengan cara sebagai berikut.
Kita taruh empat tumpuk kartu diatas meja, yang masing-masing tumpuk terdiri
dari 10 kartu dan kita beri nomor 1 s/d 10. Tumpukan pertama mewakili unit
yang terjual, tumpukan kedua mewakili harga jual, tumpukan ketiga mewakili
biaya variabel, dan tumpukan keempat mewakili biaya tetap. Untuk masing-
masing tumpuk setiap nomor mewakili nilai tertentu, yang bisa kita sajikan
sebagai berikut:
Tumpukan Kartu I Tumpukan Kartu II
Nomor Variabel yang diwakili Nomor Variabel yang diwakili
01 Unit Terjual Rp 80.000 01 Harga Jual Rp 5.000
02 Unit Terjual Rp 80.000 02 Harga Jual Rp 8.000
03 Unit Terjual Rp 80.000 03 Harga Jual Rp 8.000
04 Unit Terjual Rp 100.000 04 Harga Jual Rp 8.000
05 Unit Terjual Rp 100.000 05 Harga Jual Rp 8.000
06 Unit Terjual Rp 100.000 06 Harga Jual Rp 8.000
07 Unit Terjual Rp 100.000 07 Harga Jual Rp 8.000
08 Unit Terjual Rp 140.000 08 Harga Jual Rp 8.000
09 Unit Terjual Rp 140.000 09 Harga Jual Rp 9.000
10 Unit Terjual Rp 140.000 10 Harga Jual Rp 9.000

Tumpukan Kartu III Tumpukan Kartu IV


Nomor Variabel yang diwakili Nomor Variabel yang diwakili
01 Biaya Variabel Rp 3.000 01 Biaya Tetap Rp. 80 juta
02 Biaya Variabel Rp 3.000 02 Biaya Tetap Rp. 100 juta
03 Biaya Variabel Rp 5.000 03 Biaya Tetap Rp. 100 juta
04 Biaya Variabel Rp 5.000 04 Biaya Tetap Rp. 100 juta
05 Biaya Variabel Rp 5.000 05 Biaya Tetap Rp. 100 juta
06 Biaya Variabel Rp 5.000 06 Biaya Tetap Rp. 100 juta
07 Biaya Variabel Rp 5.000 07 Biaya Tetap Rp. 100 juta
08 Biaya Variabel Rp 5.000 08 Biaya Tetap Rp. 100 juta
09 Biaya Variabel Rp 6.000 09 Biaya Tetap Rp. 100 juta
10 Biaya Variabel Rp 6.000 10 Biaya Tetap Rp. 120 juta
15

Simulasi dilakukan sebagai berikut. Kita ambil satu kartu dari tumpukan
kartu I, tumpukan II, III dan IV. Misalkan dari simulasi pertama terambil oleh
kita kartu-kartu sebagai berikut:
Tumpukan I Kartu nomor 05
Tumpukan II Kartu nomor 10
Tumpukan III Kartu nomor 01
Tumpukan IV Kartu nomor 04
Ini berarti bahwa taksiran arus kas operasional setiap tahun adalah sebagai
berikut:
Penjualan 100.000 x Rp. 9.000 Rp 900.000.000
Biaya-biaya
Variabel 100.000 x Rp. 3.000 = Rp 300.000.000
Tetap Rp 100.000.000
Penyusutan Rp 50.000.000
Total Biaya Rp 450.000.000
Laba Operasi Rp 450.000.000
Pajak (35%) Rp 157.500.000
Laba Setelah Pajak Rp 292.500.000

Kas masuk operasional =


Rp. 292.500.000 + Rp. 50.000.000 = Rp. 342.500.000

Dengan demikian NPV dari simulasi 1 bisa dihitung sebagai berikut:


342,50 350
NPVt = -500 + t + = +614,7
(1+0,10) (1+0,10)3
Kemudian kita bisa melakukan simulasi ke-2, ke-3, dan seterusnya sampai
dengan jumlah yang kita pandang cukup. Bukan hal aneh kalau simulasi
dilakukan sampai 100 kali (karena itu perlu dipergunakan bantuan computer untuk
membantu mempercepat perhitungan). Dengan demikian akan diperoleh NPV 1 s/d
NPV100. Setelah kita memperoleh sejumlah besar NPV, maka kita bisa menyusun
distribusinya. Ini berarti kita menghitung rata-rata NPV (sebagai NPV yang
diharapkan) dan deviasi standar NPV-NPV tersebut.

2.2 CAPM dan Keputusan Investasi.


16

2.2.1 Penyesuaian terhadap Tingkat Bunga dengan Menggunakan CAPM.


Model ini mendasarkan diri pada pemikiran bahwa semakin besar beban
resiko suatu investasi, maka semakin besar tingkat keuntungan yang diminta
pemodal. Jika konsep ini diterapkan pada NPV, maka tingkat bunga yang
dipergunakan untuk menghitung NPV akan menjadi semkain besar untuk proyek
yang dengan resiko yang makin tinggi. Untuk menyesuaikan tingkat bunga
terhadap resiko maka diterapkan CAPM (Capital Asset Pricing Model). Dengan
demikian maka semua konsep CAPM yang semula dikembangkan untuk investasi
pada sekuritas sekarang diterpakan pada investasi pada real assets.
CAPM berargumentasi bahwa memang benar arus kas tidaklah pasti.
Ketidakpastian arus kas tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu
diantaranya adalah operating leverage. Faktor lainnya adalah erat tidaknya
hubungan kondisi bisnis tersebut dengan kondisi perekonomian. Keadaan ini
disebut sebagai siklikalitas (cyclicality). Ada jenis-jenis industri tertentu yang
sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor-faktor makro ekonomi, seperti real estate
dan bisnis otomotif3, meskipun ada juga yang tidak terlalu dipengaruhi.
Perusahaan-perusahaan yang sangat dipengaruhi oleh faktor siklikalitas dikatakan
sebagai mempunyai beta yang tinggi.

Secara formal, CAPM dirumuskan sebagai berikut;


Ri = Rf+βi (Rm-Ri)
Dalam hal ini Ri adalah tingkat keuntungan yang layak untuk sekuritas i, Rf
adalah tingkat keuntungan dari investasi bebas resiko, βi adalah beta (ukiran
resiko) sekuritas I, dan Rm adalah tingkat keuntungan portofolio pasar. Apabila
CAPM akan diterpakan untuk menilai profitabilitas investasi pada aktiva riil
(proyek), maka i disini menunjukkan proyek tersebut. Dengan demikian semakin
tinggi resiko (atau β) proyek tersebut, semakin tinggi tingkat keuntungan yang

3
Kedua bisnis ini sangat merasakan akibat kebijakan moneter ketat yang dilakukan pemerintah
pada akhit tahun 1990 sampai dengan awal 1993. Pada saat suku bunga meningkat akibat
kebijakan tersebut, penjualan rumah dan mobil merosot drastis (berarti arus kas juga turun
banyak). Sebaliknya segera setelah kondisi moneter menjadi lebih longgar (pada akhir 1993) suku
bunga deposito turun bahkan sampai single digit), penjualan kedua industri tersebut meningkat
pesat (berarti arus kas meningkat)
17

dianggap layak layak untuk investasi tersebut. Ri ini yang kemudian dipergunakan
sebagai tingkat bunga (=r) dalam menghitung NPV.4
Apabila dipergunakan CAPM dalam menentukan tingkat bunga yang layak
dalam perhitungan NPV, maka aruskas yang dipergunakan adalah arus kas yang
diharapkan. kita tahu bahwa arus kas tersebut tidak pasti, tetapi ketidak pastian
tersebut diakomodir oleh tingkat bunga yang dipergunakan untuk menghitung
NPV 2 . Karena itu jika kita ingin menerapkan CAPM dalam capital Budgeting,
maka yang diperlukan adalah:
1. Menaksir beta dari proyek yang sedang dianalisa
2. Menaksir tingkat keuntungan portfolio pasar. Sebagai proxy sering
dipergunkan tingkat keuntungan rata-rata dari seluruh kesempatan
investasi yang tersedia di pasar modal atau indeks pasar
3. Menentukan tingkat keuntungan dari investasi yang bebas resiko.
Sebagai proxy sering dipergunakan tingkat keuntungan
4. Menaksir arus kas yang diharapkan
Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menaksir tingkat keuntungan yang
dipandang layak untuk menilai investasi tersebut. Setelah kita berhasil menaksir r,
maka penghitungan NPV akan dilakukan menggunakan informasi yag diperoleh
dari kegiatan 4. Cara menghitung beta;
Ri - R i = Excess return saham i
Rm - R i = Excess return portofolio pasar

Rumus persamaan regresi;


Y = a+bX

Maka CAPM menyatakan bahwa a=0, sehingga


Y = bX

Dalam hal ini Y adalah (Ri-Rf) dan X adalah (Rm-Rf). Dalam persamaaan
tersebut b adalah beta;
βiu = βi
4
CAMP mengakui adanya ketidakpastian arus kas. Ketidakpastian arus kas tersebut antara lain
disebabkan oleh faktor operating leverage dan siklikalitas. faktor lainnya adalah financial
leverage, faktor ini akan dibicarakan kemudian ketidakpastian karena faktor-faktor lain, dianggap
bisa dihilangkan karena diverfikasi sehingga tidak diperhatikan dalam analisi
18

1+(1-t) B
( )
S

Dalam hal ini βi adalah beta dari saham (equity), βiu adalah beta perusahaaan
tersebut seandainya mneggunakan 100% modal sendiri, t adalah tarif pajak
penghasilan, S adalah nilai modal sendiri, dan B adalah nilai hutang.
Misalkan beta equity industry tekstil ditaksir sebesar 1,32. Rata-rata
perbandingan antara hutang dengan modal sendiri adalah 0,50:0,50. Tarif pajak
35%. Berdasarkan atas informasi berikut, bias dihitung beta aktiva industry.
Βiu = [1,32/{1+(0,5/0,5)(1-00,35)}]
= 1,32/1,65
= 0,80

Misal tingkat keuntungan rata-rata investasi sekuritas diharapkan untuk


tahun tahun yang akan datang sebesar 20%. Tingkat keuntungan dari investasi
bebas resiko sebesar 8%. Apabila perusahaan akan membangun pabrik tekstil,
maka tingkat keuntungan yang layak untuk menghitung NPV proyek tersebut
adalah (untuk 100% equity financing).
Ri = 0,08+0,80(0,20-0,80)
= 0,176 atau sebesar 17,6% (untuk menyederhanakan bisa
dibulatkan ke atas menjadi 18%)

Tingkat bunga inilah yang dipergunakan sebagai r dalam perhitungan NPV.


19

Aktiva Tambahan Kas Masuk Bersih


Tahun
Tetap Modal Kerja Dari Operasi
0 - 5.000 - 1.000 -
1 - - 200 - 200
2 - - 200 - 600
3 - - 500 1.200
4 - - 500 2.000
5 - - 500 2.400
6 - - 600 3.500
7 - - 600 4.500
8 - 4.100 4.000
NPV = -5000+6430 = 1.430

2.2.2 Diversifikasi Bisnis.


Yang menarik dari pendekatan CAPM adalah disetiap proyek diperlakukan
sebagai “perusahaan mini”. Artinya, kalau suatu perusahaan akan mendirikan
perusahaan pembangunan perumahan (real estate), maka rencana investasi
tersebut akan diperlakukan sebagai suatu proyek yang terpisah dari bisnis saat ini.
Dengan kata lain, menguntungkan atau tidaknya suatu proyek tersebut tidak
dipengaruhi oleh bisnis perusahaan saat ini. Kecuali kalau rencana investasi
tersebut ternyata diharapkan memberikan synergistic effect pada bisnis saat ini,
barulah perlu dipertimbangkan efek sinergi tersebut pada analisis.5 Efek sinergi
biasanya diharapkan muncul kalau perusahaan melakukan diversifikasi ke bisnis
yang berkaitan.
Sebagai misal, perusahaan manufaktur melakukan ekspansi dengan
membentuk perusahaan distributor. Dengaan cara ini diharapkan bisa
menghematbiaya distribusi. Penghematan ini merupakan efek sinergi. Apabila
present value penghematan biaya mencapai Rp X, maka dalam perhitungan NPV
RpX ini perlu ditambahkan.
Misalkan perusahaan distributor tersebut didirikan dengan investasi sebesar
Rp.200.000.000. karna perusahaan distributor akan beroperasi selamanya maka
n=∞. Taksiran kas masuk bersih tahun pertama adalah sebesar Rp.250 Juta dan

5
Efek sinergi berarti 2+2 = 5 dengan kata lain penggabungan dua pihak akan menghasilkan
kemampuan yang lebih besar daripada penjumlahan kekuatan masing-masing pihak
20

diperkirakan akan meningkat tiap tahun sebesar 10% selamanya. Dengan


menggunakan CAPM diperkirakan tingkat keuntungan yang relevan untuk usaha
distribusi adalah 20%. Dengan demikian maka perhitungan NPV investasi
tersebut adalah
250
NPV = -2.000 +
(0,20 – 0,10)
= Rp. 500 Juta

Sekarang misalkan dengan perusahaan distributor tersebut perusahaaan


manufaktur dapat menghemat biaya pemasaran sebesar Rp.110 Juta pertahun
(tidak meningkat) selamanya. Tingkat keuntungan yang dipandang relevan adalah
22%. Present value penghematan ini adalah;
Pvpenghematan = 110/0,22
= Rp. 500 Juta

Dengan demikian, NPV dari proyek tersebut adalah


NPVProyek = Rp. 500 Juta + Rp. 500 Juta
= Rp. 1.000 Juta

NPV bertambah lebih besar karena ada tambahan manfaat dalam bentuk
penghematan biaya, bukan karena diversifikasi. Dengan demikian pendekatan
CAPM menolak investasi ang semata-mata dilakukan untuk diversifikasi. Setiap
investasi hendaknya dinilai dari NPV nya, bukan karena investasi tersebut
merupakan diversifikasi atau bukan. Hal ini disebabkan karena CAPM mengukur
resiko dengan resiko sitematis (beta). Per definisi risiko sistematis adalah resiko
yang tidak bisa dihilangkan dengan diversifikasi. Karna itu diversifikasi tidaklah
memberikan manfaat.
Namun beberapa penulis berpendapat bahwa diversifikasi keberbagai jenis
industri memberikan manfaat bagi perubahaan yang melakukannya.6 Dengan
melakukan diversifikasi arus kas diharapkan akan lebih stabil sehingga
mengurangi resiko.7 Manfaat diversifikasi dalam menstabilkan aruskas (atau
tingkat keuntungan) ditentukan terutama oleh koefisien korelasi antar arus kas.

6
Salah satu adalah Van Horne J, dalam Financial Management And Policy, Prentice Hall
Internasional.
7
21

Penggabungan beberapa investasi menghasilkan deviasi standar portfolio yang


dirumuskan sebagai berikut;
σp = Σx2σ2i + ΣΣxixj σij dan (i≠j)

Perhatikan apabila koefisien korelasi antar tingkat keuntungan makin kecil,


maka diverifikasi akan makin efektif menurunkan resiko portfolio. Pada dasarnya
pemikiran ini adalah mendasarkan diri pada teori portfolio yang diterapkan pada
portfolio real assets. Misalnya terdapat 2 proyek, proyek 1 dan proyek 2, yang
mempunyai informasi sebagai berikut:
NPV yang Deviasi
Koefisien Korelasi
Diharapkan Standar
Proyek 1 Rp 18.000 Rp 20.000 1,00
Proyek 2 Rp 10.000 Rp 6.000 1,00
Proyek 1 dan 2 0,30

Apabila perusahaan tersebut mengambil kedua proyek tersebut , maka NVP


yang diharapkan dari kedua proyek tersebut adalah;
σ port=√ ( 1,0 ) (20.00 ) 2+ ( 2 ) ( 0,3 ) ( 20.000 )( 6.000 )+(1,0)(6.000)
σport = Rp 22.538
Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa apabila perusahaaan mengambil
hanya proyek 1 maka NPV yang diharapkan adal Rp18.000 dengan deviasi
standar Rp 20.000. Berarti coefficient of variationnya = 20.000/18.000= 1,11.
Sekarang seandainya proyek 1 diambil bersama-sama proyek 2, maka NPV yang
diharapkan menjadi 28.000, demmikian pula coefficient of variationnya=
22.538/28.000= 0,80. lebih kecil apabila dibandingkan hanya mengambil proyek 1
saja.
Memang coefficient of variation proyek 2 hanyalah sebesar
6000/10.000=0,60. Meskipun demikian apabila dihitung rata-rata tertimbang
dengan menggunakan NPV yang diharapkan sebagai penimbangnya, maka

Rata-rata coefficient of = 1,11 (18/28) + 0,60 (10/28


variation
= 0,93
Terlihat bahwa coefficient of variation dari portfolio investasi tersebut lebih
kecil dari rata-rata tertimbangnya. Inilah manfaat dari diversifikasi dengan
22

memperhatikan koefisien korelasi yang rendah. Sehubungan dengan pendekatan


resiko total ini kita perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut. Proyek yang bisa
mengurangi resiko total adalah proyek yang mempunyai koefisien korelasi tingkat
keuntungan (atau NPV) yang rendah dengan proyek yang lain (bisa juga bisnis
yang saat ini dilakukan oleh perusahaan). Kalau suatu proyek yang dinilai dengan
Rf, maka bisa saja proyek tersebut sebenarnya tidak menguntungkan kalau dinilai
dengan risk adjusted discount rate (tingkat keuntungan yang telah disesuaikan
dengan resiko). Disini perlu dipisahkan antara ketergantungan statistik dan
ketergantungan ekonomi. Ketergantungan statistik yang rendah ditunjukkan oleh
koefisien korelasi antar tingkat keuntungan yang rendah. Ketergantungan
ekonomi ditunjukkan ada tidaknya efek sinergi.
Berikut ini diilurstrasikan kemungkinan masalah yang timbul kalau kita
menggunakan pendekatan risiko total. Misalkan PT A beroperasi pada industri A
dan merencanakan untuk melakukan diversifikasi pada industri B. Industri A dan
industri B diperkirakan mempunyai koefisien korelasi yang sangat rendah.
Investasi pada industri B tersebut memerlukan dana sebesar Rp. 2.000 Juta dan
untuk memudahkan diharapkan akan memberikan laba bersih setelah pajak per
tahun sebesar Rp. 250 Juta selamanya. Karena n = ∞, maka kas bersih sama
dengan laba setelah pajak (karena penyusutan = 0). Dengan demikian apabila R f =
10% maka NPV yang diharapkan adalah,
E (NPV) = - 2.000 + (250/0,10)
= 500 juta
Karena E(NPV) positif, dan proyek tersebut mempunyai koefisien korelasi
tingkat keuntungan yang sangat rendah dengan bisnis yang saat ini dilakukan,
maka investasi pada industri B tersebut akan menurunkan resiko total perusahaan.
Dengan demikian maka proyek pada industri B nampak menarik karena
memberikan E(NPV) yang positif dan bisa menurunkan resiko total.
Sekarang misalkan bahwa tingkat keuntungan untuk proyek B setelah
emperhatikan faktor resiko seharusnya sebesar 18%. Dengan demikian NPV
proyek tersebut (yang dihitung dengan risk adjusted discout rate) akan,
NPV = - 2.000 + (250/0,18)
= - 611
Yang menunjukkan bahwa sebenarnya proyek tersebut tidak
menguntungkan kalau kita memperhatikan unsur resiko. Perbedaan utama antara
23

pemakaian resiko sistematis dengan resiko total dalam diversifikasi bisnis adalah
pada penggunaan tingkat bunga yang relevan. Untuk itu perhatikan contoh berikut
ini. Misalkan PT Q diharapkan memberikan kas masuk bersih sebesar Rp.100 Juta
per tahun selamanya. Apabila rQ yang dipandang relevan adalah 20%, maka PVQ =
100/0,2 = Rp. 500 Juta sekarang misalkan pemilik PT Q mendirikan divisi baru
yaitu divisi S yang diharapkan memberikan kas masuk bersih setiap tahun sebesar
Rp. 90 Juta selamanya. Apabila r adlah 18% maka PV s = 90/0,18 = Rp. 500 juta.
Apabila tidak ada efek sinergi apapun maka nilai PT Q yang baru PV QS = PVQ =
Rp. 500 Juta + Rp. 500 Juta = Rp. 1.000 Juta ini adalah pemikiran dari pendekatan
resiko sistematis.
Pendekatan resiko total akan mengatakan sebagai berikut. Apabila divisi S
diperkirakan mempunyai koefisien korelasi yang rendah dengan bisnis yang ada,
maka pembentukan divisi baru tersebut akan mengurangin resiko total
perusahaan. Dengan demikian maka r yang relevan mungkin turun dari 20%
menjadi 19% dengan demikian maka nilai perusahaan setelah mendirikan divisi
baru akan menjadi.
PVQS = (100+90)/0,19 = Rp. 1.000 Juta
Contoh yang kita pergunakan kebutulan menunjukkan hasil yang sama
antara perhitungan dengan menggunakan resiko sistematis dan resiko total. Yang
menjadi masalah penggunaan resiko total adalah belum bisa diidentifikasikannya
bagaimana hubungan antara resiko total dengan tingkat keuntungan yang layak.

2.2.3 Analisis Sensitivitas.


Dalam melakukan analisis terhadap suatu investasi kita menyadari akan
adanya ketidakpastian taksiran arus kas yang kita buat. Kita mengetahui bahwa
arus kas masuk bersih berpengaruhi oleh berbagai faktor, seperti (1) Unit yang
dijual, (2) harga jual per unit, (3) biaya tetap dan (4) biaya variabel per unit.
Dengan kata lain, apabila salah satu saktor tersebut berubah, maka arus kas yang
diharapkan yang akan diperoleh pun akan berubah pula. Analisis sensitivitas
24

mencoba menganalisis apa yang terjasi terhadap NPV proyek apabila salah satu
variabel berubah.
Misalkan suatu rencana investasi ditaksir melakukan dana sebesar Rp. 500
Juta pada tahun ke-0. Proyek tersebut mempunyai usia ekonomis 5 tahun dan
investasi senilai Rp. 5.000 Juta tersebut disusut dengan metode garis lurus tanpa
nilai sisa. Dengan demikian maka beban penyusutannya adalah Rp. 1.000 Juta
setiap tahunnya. Taksiran penjualan per tahun alaah 1.000 unit dengan harga jual
Rp. 5 Juta per unit. Biaya variabel per unit Rp. 2 Juta dan biaya tetap (belum
termasuk penyusutan) Rp. 1.000 Juta per tahun. Taksiran unit yang terjual, harga
jual, biaya variabel, dan biaya tetap diasumsikan tidak berubah setiap tahunnya.
Pajak yang ditanggung adalah 35%. Dengan demikian taksiran kas masuk bersih
per tahun adalah sebagai berikut (semua angka dalam jutaan).

Penghasilan Penjualan Rp 5.000


Biaya-biaya
Variabel Rp 2.000
Tetap Rp 1.000
Penyusutan Rp 1.000
Total Biaya Rp 4.000
Laba Operasi Rp 1.000
Pajak (35%) Rp 350
Laba Setelah Pajak Rp 650

Kas masuk bersih =


Rp. 1.000 + Rp. 650 = Rp. 1.650
Apabila r yang dipandang relevan adalah 18%, maka NPV investasi tersebut
adalah NPV = - 5.000 + 5.160 = Rp. 160 Juta
Proyek masih menguntungkan apabila estimasi kita nantinya tidak banyak
meleset. Sekarang misalkan terjadi peningkatan biaya variabel sebear 10% apa
yang terjadi dengan kas masuk bersih dan NPV proyek tersebut? Kenaikan biaya
variabel sebesar 10% akan mengakibatkan biaya variabel naik menjadi Rp. 2.200
Juta. Apabila variabel lain tidak berubah makan kas masuk bersih akan menjadi
Rp. 1.520 Juta dengan demikian maka NPV = - Rp. 247 Juta.
25

Seandainya harga jual turun sebesar 10% apa yang terjadi? Dengan cara
yang sama kita akan dapat menghitung bahwa kas masuk bersih akan menjadi Rp.
1.325 Juta per tahunnya sehingga NPV = -Rp. 856 Juta dengan demikian nampak
bahwa variabel harga jual lebih sensitif terhadap profitabilitas investasi.
Analisis sensitivitas tetap menggunakan tingkat bunga yang telah
disesuaikan dengan resiko dalam menaksir NPV investasi. Hal tersebut
disebabkan karena tujuannya adalah tetap menggunakan expected cash flow dalam
analisis, meskipun barang kali perlu melakukan kaji ulang penaksiran arus kas.
Analisis sensitivitas tidak bermasuk untuk menaksir probabilitas NPV mencapai
not atau negatif.
26

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan.
Resiko diartikan sebagai ketidakpastian arus kas. Semakn tidak pasti arus
kas semakin berisiko proyek tersebut. Apabila ketidakpastian arus kas ini
diperhatikan dalam konteks proyek, maka umumnya dijumpai adanya korelasi
antara arus kas pada waktu t dan pada waktu t+1. Pada waktu kita mulai
memperhatikan faktor ketidakpastian ini, maka kita hanya dapat mengatakan
bahwa NPV yang diharapkan dari suatu proyek adalah bernilai tertentu.
Perhitungan NPV yang diharapkan menggunakan tingkat keuntungan bebas
resiko, karena kemungkinan penyimpangan dari expected NPV tersebut yang
dipergunakan sebagai ukuran resiko. Semakin besar kemungkinan menyimpang
dari expected NPV semakin besar proyek tersebut. Ukuran penyimpangan tersebut
mungkin dipergunakan deviasi standar atau koefisien variasi.

Apabila diperhatikan faktor korelasi antar arus kas, maka penaksiran


variance NPV menjadi lebih rumit, lebih-lebih apabila proyek tersebut
mempunyai usia ekonomis yang cukup lama. Untuk itu kemudian diperkenalkan
metode simulasi Monte Carlo, kesulitan metode-metode tersebut adalah pada
penaksiran probabilitas suatu variabel akan memperoleh nilai tertentu.
Bagaimanapun akhirnya unsur judgement masuk dalam penaksiran probabilitas
tersebut.
27

DAFTAR PUSTAKA

Husnan, Suad. Pudjiastuti. 2015. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan


(Edisi Ke-7). Yogyakarta; UUP STIM YKPN.

Husnan, Suad. Pudjiastuti. 2018. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan


(Edisi Ke-7). Yogyakarta; UUP STIM YKPN.

Anda mungkin juga menyukai