Kelompok 6 Bab 14 & 15
Kelompok 6 Bab 14 & 15
BAB I
PENDAHULUAN
ekonomi yang iain yang berasal dari luar yangada relevansinya dengan
pembiayaan dan hasil investasi tersebut. Kemudian data ini kita prediksi dan
kumpulkan selama usia investasi. Akhirnya kita analisis berdasar perhitungan
statistik, logika ekonomi dan kita simpulkan kelayakan, pilihan dan keputusan
investasi yang akan kita tentukan di antara pilihan-pilihan investasi tersebut.
Sebagaimana kita mengetahui bahwa secara statistik nilai rata-rata, deviasi
standar dankoefisien variasi data-data dan informasi yang kita kumpulkan, secara
angsung akan dapat kita pergunakan untuk memprediksi return dan resiko yang
bakal terjadi atau (expectation) dari investasi itu sendiri di masa datang.
BAB II
PEMBAHASAN
σ= (Vi-E(V))2Pi
Dalam hal ini adalah deviasi standard distribusi nilai tersebut. Misalkan ada
dua proyek, A dan B yang (untuk mudahnya )mempunyai usia ekonomis hanya
satu tahun. Karaketristik arus kas untuk kedua proyek tersebut adalah sebagai
berikut :
Tabel 1. Ketidak Pastian arus kas
Usulan Investasi A Usulan Investasi B
Probabilitas Arus Kas Probabilitas Arus Kas
0,10 Rp 3.000 0,05 Rp 3.000
0,20 Rp 4.000 0,20 Rp 4.000
0,40 Rp 5.000 0,50 Rp 5.000
0,20 Rp 6.000 0,20 Rp 6.000
0,10 Rp 7.000 0,05 Rp 7.000
Dengan menggunakan rumus pada tabel 1 dan 2 bisa dihitung bahwa,
E(VA) = Rp.
5,000
E(VB) = Rp.
5,000
Sedangkan,
σ = 1,095
σ = 894
5
Dengan menggunakan asumsi bahwa (1) biaya variable per unit konstan, (2)
harga jual per unit konstan, (3) biaya tetap total konstan sepanjang produksi, maka
keadaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut
Penghasilan
Biaya Total
Biaya Variabel
Biaya Tetap
Kita lihat bahwa pada suatu titik tertentu situasi dimana penghasilan sama
dengan total biaya (disini biaya biaya adalah biaya operasi, tidak termasuk biaya
karena menggunakan hutang) pada jumlah produksi dan penjualan itulah yang
dikatakan bahwa perusahaan berada dalam keadaan impas (break–even)
bagaimana memperoleh titik impas (break event point) tersebut ?
Apabila
V = Biaya variabel per unit
FC = Biaya tetap total (artinya bukan per unit)
P = Harga jual per unit
Q = Unit yang dihasilkan dan dijual
R = Penghasilan yang diterima dari penjualan
TC = Biaya total, yaitu biaya tetap total plus biaya variabel total
Maka titik impas tercapai pada saat R = TC. Ini berarti bahwa
PQ = FC+VQ
FC = PQ-VQ
FC = Q(P-V)
Q = FC/(P-V)
Misalkan PT. ANNA mempunyai karakteristik biaya dan penghasilan
sebagai berikut. Penjualan diperkirakan bisa mencapai 1.000 unit dalam satu
tahun. Harga jual Rp. 1.000 per unit. Biaya tetap selama satu tahun sebesar Rp.
300.000. Biaya variabel Rp. 500 per unit. Berapa laba operasi yang diharapkan
pada penjualan sebesar 1.000 unit?
Laba Operasi = Penghasilan - Total Biaya
= (1.000 x Rp. 1.000) - (Rp. 300.000 + (1.000 x Rp. 500)
= Rp 200.000
Perusahan yang lain, PT. Paramita juga mengaharapkan akan mampu
menjual 1.000 unit dalam satu tahun dengan harga jual juga Rp. 1.000. bedanya
adalah bahwa biaya tetap perusahaan tersebut mencapai Rp. 500.000 per tahun.
Sedangkan biaya variabel Rp. 300 per unit. Kalai kita hitung titik impas kedua
perusahaan tersebut kita akan memperoleh hasil yang berbeda.
Misalkan penjualan menurrun sebesar 10%. Apa yang terjadi terhadap laba
operasi kedua perusahaan tersebut?
Tabel 3. Pengaruh Penurunan Penjualan Terhadap Laba Operasi
PT. ANNA PT. PARAMITA
Penurunan Penjualan 10% 10%
Penjualan yang baru Rp 900.000 Rp 900.000
Biaya-biaya:
Tetap Rp 300.000 Rp 500.000
Variabel Rp 450.000 Rp 270.000
Total Rp 750.000 Rp 770.000
Laba Operasi Rp 150.000 Rp 130.000
Penurunan laba operasi 25% 35%
Perbandingan antara penurunan laba
operasi dengan penurunan penjualan
2,50 3,50
(disebut degree of operating
leverage )
proyek A pada Tabel 14.1. Diasumsikan bahwa pola arus kas tersebut adalah
indepeden. Apakah proyek tersebut menguntungkan?
Untuk itu perlu dihitung (1) NPV yang diharapkan (Expected NPV), dan (2)
deviasi standar NPV tersebut. Perhitungan deviasi standar dimaksudkan untuk
memperkirakan risiko proyek tersebut. Untuk menghitung NPV yang diharapkan,
formula yang dipergunakan adalah sebagai berikut.
E (NPV) = n Ct
Σ t
t=0 (1+Rf)
Dalam hal ini Ct, adalah arus kas pada waktu ke-1
dan t=0…..n. Perhatikan bahwa karena t dimulai dari waktu ke-0, maka tanda
untuk Cf bisa positif (kas masuk) maupun negative (kas keluar). Sedangkan
tingkat bunga yang dipergunakan adalah Rft ,yaitu tingkat bunga bebas risiko.
Misalkan Rf = 9% dengan demikian maka NPV yang diharapkan adalah,
n
5.000
E ( NPV ) =−10.000+ ∑
t−1 (1+ 0,09 ) t
Dengan demikian maka,
E(NPV = -11.000 + 12.656
)
= +1.656
0,30 Rp 20 0,12
0,40 Rp 40 0,40 Rp 40 0,16
0,30 Rp 60 0,12
0,20 0,06
0,30 Rp 80 0,40 0,12
0,40 0,12
Investasi pada awal tahun Rp. 40.000.000
2
Distribusi yang kita pergunakan sebenarnya merupakan distribusi yang diskrit, meskipun normal.
Dikatakan normal karenapeluang untuk memperoleh nilai yang besar ataupun yang lebih kecil,
sama besarnya. Dikatakan diskrit karena kita menggunakan angka-angka kelipatan seribu, dimulai
dan diakhiri dengan nilai tertentu. Artinya kita mengansumsikan bahwa arus kas tidak mungkin
mencapai, misalnya Rp 3.135, atau mencapai lebih dari Rp 7.000. distribusi kontinu berarti bahwa
arus kas bisa nol hanya Rp. 1, bisa pula Rp. 5.998, dan seterusnya. Artinya perubahannya tidak
harus dengan kelipatan tertentu.
11
maka joint probability untuk arus kas seri 1 adalah (0,30x0,40)= 0,12. Demikian
seterusnya sampai dengan seri ke-9.
Misalkan tingkat keuntungan bebas risiko adalah 4%. Untuk menghitung
expected NPV kita perlu menghitung NPV dari arus kas seri 1 sampai dengan seri
9. Arus kas seri 1 dihitung sebagai berikut,
NPV1 = - 40 – [20/(1,04)] – [60/(1,04)2 ]
= - 114,70
NPV arus kas seri ke-2 adalah,
2
NPV1 = - 40 – [20/(1,04)] – [20/(1,04) ]
= - 77,72
Demikian seterusnya.
Hasil perhitungan tersebut kita sajikan pada Tabel 5 berikut ini:
Tabel 5. NPV Masing-masing Seri Arus Kas dan Rata-rata Tertimbangnya
(1) (2) (3) (4)
Seri ke NPV Prob. Kejadian (2) x (3)
1 -114,70 0,12 -Rp 13.760
2 -77,72 0,12 Rp 9.330
3 -49,98 0,06 Rp 3.000
4 16,95 0,12 Rp 2.030
5 35,44 0,16 Rp 6.470
6 53,93 0,12 Rp 5.670
7 73,90 0,06 Rp 4.430
8 110,88 0,12 Rp 13.310
9 129,38 0,12 Rp 15.530
Rata-rata tertimbang Rp. 21,53
Dengan menggunakan rumus (14.2), kita bisa menghitung σNPV yaitu sebesar
Rp.79,96. Dengan demikian proyek tersebut diharapkan memberikan NPV (yang
dihitunh dengan Rf) sebesar Rp.21,35, dan mempunyai deviasi standar sebesar
Rp79,96. Apakah proyek ini cukup aman? Sekali lagi diperlukan judgement untuk
memustukan. Karena proyek tersebut nampaknya tidak mempunyai distribusi
normal, maka kita bisa memodifikasi informasi dalam Tabel 5 menjadi seperti
Tabel 6. Tabel tersebut menjelaskan bahwa ada probabilitas sebesar 30% proyek
tersebut akan menghasilkan NPV negative (cukup besar bukan?). Dengan kata
lain ada 70% peluang untuk memperoleh NPV +Rp16,95 atau lebih besar.
12
Cara lain adalah memperkirakan koefisien korelasi antar arus kas pada
masing-masing periode. Apabila proyek tersebut mempunyai usia ekonomis 2
tahun, maka variance NPV bisa dirumuskan sebagai berikut:
σ2NPV = σ2 σ21 + σ4 σ22 + 2σ3 k1,2 σ1 σ2
Dalam hal ini,
σ = 1/(1+Rf)
K1,2 = Koefisien korelasi antara arus kas pada periode 1 dengan
periode 2
Perhatikan apabila koefisien korelasi sama dengan nol, rumus diatas
tersebut menjadi sama dengan hasil perhitungan pada saat arus kas independen.
Tabel 6. Probabilitas Kumulatif Untuk
memperoleh nilai NPV tertentu.
NPV Prob. Kumulatif
-114,70 0,12
-77,72 0,24
-49,98 0,30
16,95 0,42
35,44 0,58
53,93 0,70
73,90 0,76
110,88 0,88
129,38 1,00
Sedangkan apabila usia ekonomis 3 tahun, maka variance NPV dapat
dirumuskan sebagai berikut:
σ2NPV = σ2σ21 + σ4σ22 + σ6σ23 + 2[σ3k1,2σ1σ2 + σ4k1,3σ1σ3 + σ5k2,3σ2σ3]
Demikian seterusnya. Perhatikan apabila proyek berusia tiga tahun, maka
harus ditaksir koefisien korelasi antar arus kas pada periode 1 dan 2, 1 dan 3, serta
2 dan 3. Cara ini relatif lebih mudah daripada memperkirakan probabilitas
kondisional seperti yang diuraikan diatas. Meskipun demikian, apabila proyek
mempunyai usia ekonomis yang cukup lama (10 tahun misalnya), maka
penggunaan cara tersebut mungkin menjadi cukup rumit, dan karena metode
simulasi berikut ini diperkenalkan.
Simulasi dilakukan sebagai berikut. Kita ambil satu kartu dari tumpukan
kartu I, tumpukan II, III dan IV. Misalkan dari simulasi pertama terambil oleh
kita kartu-kartu sebagai berikut:
Tumpukan I Kartu nomor 05
Tumpukan II Kartu nomor 10
Tumpukan III Kartu nomor 01
Tumpukan IV Kartu nomor 04
Ini berarti bahwa taksiran arus kas operasional setiap tahun adalah sebagai
berikut:
Penjualan 100.000 x Rp. 9.000 Rp 900.000.000
Biaya-biaya
Variabel 100.000 x Rp. 3.000 = Rp 300.000.000
Tetap Rp 100.000.000
Penyusutan Rp 50.000.000
Total Biaya Rp 450.000.000
Laba Operasi Rp 450.000.000
Pajak (35%) Rp 157.500.000
Laba Setelah Pajak Rp 292.500.000
3
Kedua bisnis ini sangat merasakan akibat kebijakan moneter ketat yang dilakukan pemerintah
pada akhit tahun 1990 sampai dengan awal 1993. Pada saat suku bunga meningkat akibat
kebijakan tersebut, penjualan rumah dan mobil merosot drastis (berarti arus kas juga turun
banyak). Sebaliknya segera setelah kondisi moneter menjadi lebih longgar (pada akhir 1993) suku
bunga deposito turun bahkan sampai single digit), penjualan kedua industri tersebut meningkat
pesat (berarti arus kas meningkat)
17
dianggap layak layak untuk investasi tersebut. Ri ini yang kemudian dipergunakan
sebagai tingkat bunga (=r) dalam menghitung NPV.4
Apabila dipergunakan CAPM dalam menentukan tingkat bunga yang layak
dalam perhitungan NPV, maka aruskas yang dipergunakan adalah arus kas yang
diharapkan. kita tahu bahwa arus kas tersebut tidak pasti, tetapi ketidak pastian
tersebut diakomodir oleh tingkat bunga yang dipergunakan untuk menghitung
NPV 2 . Karena itu jika kita ingin menerapkan CAPM dalam capital Budgeting,
maka yang diperlukan adalah:
1. Menaksir beta dari proyek yang sedang dianalisa
2. Menaksir tingkat keuntungan portfolio pasar. Sebagai proxy sering
dipergunkan tingkat keuntungan rata-rata dari seluruh kesempatan
investasi yang tersedia di pasar modal atau indeks pasar
3. Menentukan tingkat keuntungan dari investasi yang bebas resiko.
Sebagai proxy sering dipergunakan tingkat keuntungan
4. Menaksir arus kas yang diharapkan
Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menaksir tingkat keuntungan yang
dipandang layak untuk menilai investasi tersebut. Setelah kita berhasil menaksir r,
maka penghitungan NPV akan dilakukan menggunakan informasi yag diperoleh
dari kegiatan 4. Cara menghitung beta;
Ri - R i = Excess return saham i
Rm - R i = Excess return portofolio pasar
Dalam hal ini Y adalah (Ri-Rf) dan X adalah (Rm-Rf). Dalam persamaaan
tersebut b adalah beta;
βiu = βi
4
CAMP mengakui adanya ketidakpastian arus kas. Ketidakpastian arus kas tersebut antara lain
disebabkan oleh faktor operating leverage dan siklikalitas. faktor lainnya adalah financial
leverage, faktor ini akan dibicarakan kemudian ketidakpastian karena faktor-faktor lain, dianggap
bisa dihilangkan karena diverfikasi sehingga tidak diperhatikan dalam analisi
18
1+(1-t) B
( )
S
Dalam hal ini βi adalah beta dari saham (equity), βiu adalah beta perusahaaan
tersebut seandainya mneggunakan 100% modal sendiri, t adalah tarif pajak
penghasilan, S adalah nilai modal sendiri, dan B adalah nilai hutang.
Misalkan beta equity industry tekstil ditaksir sebesar 1,32. Rata-rata
perbandingan antara hutang dengan modal sendiri adalah 0,50:0,50. Tarif pajak
35%. Berdasarkan atas informasi berikut, bias dihitung beta aktiva industry.
Βiu = [1,32/{1+(0,5/0,5)(1-00,35)}]
= 1,32/1,65
= 0,80
5
Efek sinergi berarti 2+2 = 5 dengan kata lain penggabungan dua pihak akan menghasilkan
kemampuan yang lebih besar daripada penjumlahan kekuatan masing-masing pihak
20
NPV bertambah lebih besar karena ada tambahan manfaat dalam bentuk
penghematan biaya, bukan karena diversifikasi. Dengan demikian pendekatan
CAPM menolak investasi ang semata-mata dilakukan untuk diversifikasi. Setiap
investasi hendaknya dinilai dari NPV nya, bukan karena investasi tersebut
merupakan diversifikasi atau bukan. Hal ini disebabkan karena CAPM mengukur
resiko dengan resiko sitematis (beta). Per definisi risiko sistematis adalah resiko
yang tidak bisa dihilangkan dengan diversifikasi. Karna itu diversifikasi tidaklah
memberikan manfaat.
Namun beberapa penulis berpendapat bahwa diversifikasi keberbagai jenis
industri memberikan manfaat bagi perubahaan yang melakukannya.6 Dengan
melakukan diversifikasi arus kas diharapkan akan lebih stabil sehingga
mengurangi resiko.7 Manfaat diversifikasi dalam menstabilkan aruskas (atau
tingkat keuntungan) ditentukan terutama oleh koefisien korelasi antar arus kas.
6
Salah satu adalah Van Horne J, dalam Financial Management And Policy, Prentice Hall
Internasional.
7
21
pemakaian resiko sistematis dengan resiko total dalam diversifikasi bisnis adalah
pada penggunaan tingkat bunga yang relevan. Untuk itu perhatikan contoh berikut
ini. Misalkan PT Q diharapkan memberikan kas masuk bersih sebesar Rp.100 Juta
per tahun selamanya. Apabila rQ yang dipandang relevan adalah 20%, maka PVQ =
100/0,2 = Rp. 500 Juta sekarang misalkan pemilik PT Q mendirikan divisi baru
yaitu divisi S yang diharapkan memberikan kas masuk bersih setiap tahun sebesar
Rp. 90 Juta selamanya. Apabila r adlah 18% maka PV s = 90/0,18 = Rp. 500 juta.
Apabila tidak ada efek sinergi apapun maka nilai PT Q yang baru PV QS = PVQ =
Rp. 500 Juta + Rp. 500 Juta = Rp. 1.000 Juta ini adalah pemikiran dari pendekatan
resiko sistematis.
Pendekatan resiko total akan mengatakan sebagai berikut. Apabila divisi S
diperkirakan mempunyai koefisien korelasi yang rendah dengan bisnis yang ada,
maka pembentukan divisi baru tersebut akan mengurangin resiko total
perusahaan. Dengan demikian maka r yang relevan mungkin turun dari 20%
menjadi 19% dengan demikian maka nilai perusahaan setelah mendirikan divisi
baru akan menjadi.
PVQS = (100+90)/0,19 = Rp. 1.000 Juta
Contoh yang kita pergunakan kebutulan menunjukkan hasil yang sama
antara perhitungan dengan menggunakan resiko sistematis dan resiko total. Yang
menjadi masalah penggunaan resiko total adalah belum bisa diidentifikasikannya
bagaimana hubungan antara resiko total dengan tingkat keuntungan yang layak.
mencoba menganalisis apa yang terjasi terhadap NPV proyek apabila salah satu
variabel berubah.
Misalkan suatu rencana investasi ditaksir melakukan dana sebesar Rp. 500
Juta pada tahun ke-0. Proyek tersebut mempunyai usia ekonomis 5 tahun dan
investasi senilai Rp. 5.000 Juta tersebut disusut dengan metode garis lurus tanpa
nilai sisa. Dengan demikian maka beban penyusutannya adalah Rp. 1.000 Juta
setiap tahunnya. Taksiran penjualan per tahun alaah 1.000 unit dengan harga jual
Rp. 5 Juta per unit. Biaya variabel per unit Rp. 2 Juta dan biaya tetap (belum
termasuk penyusutan) Rp. 1.000 Juta per tahun. Taksiran unit yang terjual, harga
jual, biaya variabel, dan biaya tetap diasumsikan tidak berubah setiap tahunnya.
Pajak yang ditanggung adalah 35%. Dengan demikian taksiran kas masuk bersih
per tahun adalah sebagai berikut (semua angka dalam jutaan).
Seandainya harga jual turun sebesar 10% apa yang terjadi? Dengan cara
yang sama kita akan dapat menghitung bahwa kas masuk bersih akan menjadi Rp.
1.325 Juta per tahunnya sehingga NPV = -Rp. 856 Juta dengan demikian nampak
bahwa variabel harga jual lebih sensitif terhadap profitabilitas investasi.
Analisis sensitivitas tetap menggunakan tingkat bunga yang telah
disesuaikan dengan resiko dalam menaksir NPV investasi. Hal tersebut
disebabkan karena tujuannya adalah tetap menggunakan expected cash flow dalam
analisis, meskipun barang kali perlu melakukan kaji ulang penaksiran arus kas.
Analisis sensitivitas tidak bermasuk untuk menaksir probabilitas NPV mencapai
not atau negatif.
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan.
Resiko diartikan sebagai ketidakpastian arus kas. Semakn tidak pasti arus
kas semakin berisiko proyek tersebut. Apabila ketidakpastian arus kas ini
diperhatikan dalam konteks proyek, maka umumnya dijumpai adanya korelasi
antara arus kas pada waktu t dan pada waktu t+1. Pada waktu kita mulai
memperhatikan faktor ketidakpastian ini, maka kita hanya dapat mengatakan
bahwa NPV yang diharapkan dari suatu proyek adalah bernilai tertentu.
Perhitungan NPV yang diharapkan menggunakan tingkat keuntungan bebas
resiko, karena kemungkinan penyimpangan dari expected NPV tersebut yang
dipergunakan sebagai ukuran resiko. Semakin besar kemungkinan menyimpang
dari expected NPV semakin besar proyek tersebut. Ukuran penyimpangan tersebut
mungkin dipergunakan deviasi standar atau koefisien variasi.
DAFTAR PUSTAKA