Disusun Guna Memenuhi Tugas Pengganti Perkuliahan Mata Kuliah Desain Kurikulum
Disusun Oleh :
NPM: 20850032
PROGRAM PASCASARJANA
BAB I
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh
suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan
diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan
perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang
pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut serta kebutuhan lapangan kerja.
Lama waktu dalam satu kurikulum biasanya disesuaikan dengan maksud dan tujuan dari
sistem pendidikan yang dilaksanakan. Kurikulum ini dimaksudkan untuk dapat mengarahkan
pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran secara
menyeluruh.
Ada banyak sekali para ahli yang berpendapat mengenai pengertian kurikulum, diantaranya
yaitu :
Kurikulum adalah rancangan pengajaran atau sejumlah mata pelajaran yang disusun secara
sistematis untuk menyelesaikan suatu program untuk memperoleh ijazah.
b. Carter V. Good
Kurikulum adalah kelompok pengajaran yang sistematik atau urutan subjek yang
dipersyaratkan untuk lulus atau sertifikasi dalam pelajaran mayor, misalny kunkulum
pelajaran sosial, kurikulum pendidikan fisika.
S. Hamid Hasan (1988) mengemukakan bahwa pada saat sekarang istilah kurikulum memiliki
empat dimensi pengertian, dimana satu dimensi lainnya saling berhubungan. Keempat
dimensi kurikulum tersebut yaitu, (1) Kurikulum sebagai suatu ide/ gagasan, (2) Kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis yang sebenarnya merupakan perwujudan dari kurikulum
sebagai suatu ide. (3) Kurikulum sebagai suatu kegiatan yang sering pula disebut dengan
istilah kurikulum sebagai suatu realita atau implementasi kurikulum. Secara teoritis dimensi
kurikulum ini adalah pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis. (4)
Kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekuensi dari kurikulum sebagai suatu
kegiatan. Selanjutnya bila kita merujuk pada dimensi pengertian yang terakhir, maka dapat
dengan mudah mengungkap keempat dimensi kurikulum tersebut dikaitkan pengertian
kurikulum.
KOMPONEN KURIKULUM
BAB II
Salah satu fungsi kurikulum ialah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang pada
dasarnya kurikulum memiliki komponen pokok dan komponen penunjang yang saling
berkaitan dan berinteraksi satu sama lainnya dalam rangka mencapai tujuan tersebut.
Komponen merupakan satu sistem dari berbagai komponen yang saling berkaitan dan tidak
bisa dipisahkan satu sama lainnya, sebab kalau satu komponen saja tidak ada atau tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
Para ahli berbeda pendapat dalam menetapkan komponen-komponen kurikulum. Ada yang
mengemukakan 5 komponen kurikulum dan ada yang mengemukakan hanya 4 komponen
kurikulum. Untuk mengetahui pendapat para ahli mengenai komponen kurikulum, seperti
berikut ini:
Subandiyah (1993: 4-6) mengemukakan ada 5 komponen kurikulum, yaitu:
komponen tujuan
komponen isi/materi
komponen media (sarana dan prasarana)
komponen strategi
komponen proses belajar mengajar.
Pendapat tersebut diikuti oleh Nasution (1988), Fuaduddin dan Karya (1992), serta Nana
Sudjana (1991: 21). Walaupun istilah komponen yang dikemukakan berbeda, namun pada
intinya sama yakni:
Tujuan
Isi dan struktur kurikulum
Strategi pelaksanaan Proses Belajar Mengajar
Evaluasi.
1. Tujuan Kurikulum
Pada hakikatnya tujuan kurikulum merupakan tujuan dari setiap program pendidikan yang
akan diberikan kepada anak didik, karena kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Tujuan pendidikan secara umum dijabarkan dari falsafah bangsa, yakni pancasila. Pendidikan
nasional berdasarkan pancasila bertujuan meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yakni
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, Makna tujuan umum pendidikan tersebut
pada hakikatnya membentuk manusia Indonesia yang mandiri dalam konteks kehidupan
pribadi, masyarakat berbangsa dan bernegara, serta berkehidupan sebagai makhluk yang
berketuhanan yang maha esa.
2. Isi dan Struktur Kurikulum
Isi berkaitan dengan pengetahuan ilmiah dan pengalaman belajar yang harus diberikan
kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Untuk menentukan isi kurikulum
tersebut harus disesuaikan dengan tingkat dan jenjang pendidikan, perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, disamping juga
tidak terlepas dari kaitannya dengan kondisi peserta didik (psikologi anak) pada setiap
jenjang pendidikan tersebut.
Strategi pembelajaran dalam pelakasanaan suatu kurikulum adalah cara yang digunakan
untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran. Suatu
strategi pembelajaran mengandung pengertian terlaksananya kegiatan guru dan kegiatan
siswa dalam proses pembelajaran. Mutu prose situ banyak sekali bergantung pada
kemampuan guru dalam menguasai dan mengaplikasikan teori-teori keilmuan pendidikan.
Pada hakekatnya pelaksaan kurikulum berfungsi untuk mempengaruhi anak didik untuk
mencapai suatu tujuan pendidikan. Proses belajar mengajar merupakan kegiatan nyata
mempengaruhi anak didik dalam suatu situasi yang memungkinkan terjadinya interaksi antara
anak didik denagni guru siswa dan siswa serta sisiwa dengan lingkungan beljaranya.
Komponen-komponen yang harus dipenuhi dalam kegiatan belajra-mengajar mencapai tujuan
pembelajaran adalah bahan pengajaran atau pengajaran metode mengajar dan alat bantu
pengajaran serta penilaian dan evaluasi.
Penilaian berfungsi sebagai control terhadap keberhasilan pembelajaran. Karena dari evaluasi
dapat diketahui tingkat penguasaan tujuan pengajaran oleh siswa dalam hasil belajar yang
dicapainya. semester, satu tahun atau selama jenjang pendidikan.
Evaluasi Proses Pembelajaran Komponen yang dievaluasi dalam pembelajaran bukan hanya
hasil belajar mengajar tetapi keseluruhan pelaksanaan program pembelajaran, metode, media
serta komponen evaluasi pembelajaran.
SUMBER KURIKULUM
BAB III
Dari berbagai kajian literatur yang ada, hanya sedikit tulisan dari ahli kurikulum yang
menyebutkan secara eksplisit apa saja yang menjadi sumber-sumber pengembangan
kurikulum. Di antaranya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Peter F. Oliva (1992:
28) bahwa pada prinsip pengembangan kurikulum paling tidak ada 4 (empat) sumber yang
menjadi acuan sebuah pengembangan kurikulum yaitu data empiris (empirical data), data
hasil penelitian (experimental data), kisah rakyat (folkfore curriculum) yang menyangkut
tentang keyakinan masyarakat dan nilai-nilai yang ada di dalamnya, serta pemahaman
bersama atau pengertian umum yang ada dalam suatu masyarakat
Nana Syaodih Sukmadinata dalam bukunya Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek
(2004:33) menyebutkan beberapa sumber pengembangan kurikulum diantaranya ialah:
a. Kehidupan dan pekerjaan orang dewasa, di mana isi kurikulum disesuaikan sebagai
persiapan anak untuk menjalani kehidupan dan pekerjaan orang dewasa
b. Budaya masyarakat, termasuk di dalamnya semua disiplin ilmu yang ada sebagai
pengetahuan ilmiah, nilai-nilai, perilaku, benda material dan unsur kebudayaan lainnya
c. Anak, sebagai pusat atau sumber kegiatan pembelajaran. Perhatian dalam menyusun
pengembangan kurikulum bukan sesuatu yang akan diberikan pada anak tapi bagaimana
potensi yang ada pada anak dapat dikembangkan secara optimal.
d. Pengalaman penyusunan kurikulum sebelumnya, baik sesuatu yang negatif maupun hasil
evaluasi positif atas pelaksanaan kurikulum sebelumnya.
e. Tata nilai di masyarakat, termasuk nilai-nilai apa saja yang akan diajarkan di sekolah atau
dalam pelaksanaan kurikulum?
Sedangkan Skilbeck (1971) sebagaimana dikutip oleh Laurie Brady (1992: 39) secara lebih
rinci mengkategorikan faktor-faktor analisis situasional yang mempengaruhi pengembangan
kurikulum di sekolah menjadi dua yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Secara lebih rinci
kedua faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Faktor External, antara lain:
1) Perubahan sosial budaya dan harapannya, termasuk di dalamnya harapan orang tua
terhadap pendidikan anaknya, sarat-sarat kepegawaian, asumsiasumsi masyarakat, nilai-nilai
dan perubahan pola hubungan (interaksi) antara orang tua dan anak, ideologi dan sebagainya.
2) Sarat atau ketentuan tentang sistem pendidikan dan tantangannya, seperti halnya
pernyataan kebijakan, ujian, harapan masyarakat sekitar atau permintaan maupun tekanan
darinya, proyek kurikulum, dan penelitian pendidikan.
4) Sistem pendukung potensi guru seperti halnya lembaga pelatihan guru, lembaga penelitian
dan sebagainya.
Nilai rujukan (value orientations) pada dasarnya merupakan seperangkat keaykinan, nilai
dan gagasan yang dijadikan kerangka pikir untuk perncanaan kurikulum dan yang mendasari
tindakan pada semua tahap pengembangan kurikulum. Dalam konteks pengembangan
kurikulum, value orientations dapat dibagi menjadi dua kategori:
b. Nilai Rujukan Kurikulum Guru (Teacher's curriculum value orientations) atau sering
disederhankan istilahnya dengan sebutan nilai rujukan guru atau teacher value orientation
(TVO)
Istilah nilai rujukan kurikulum (curriculum value orientations) diartikan sebagai nilai
rujukan yang digunakan dalam rangka mengembangkan ide dan dokumen kurikulum oleh
para pembuat kebijakan dan pengembang.
kurikulum pada tingkat nasional (Jewett, Ennis dan Bain,1995:23; Hasan, 2001:4).
Sementara itu istilah nilai rujukan guru (Teacher's curriculum value orientations) diartikan
sebagai nilai rujukan yang digunakan untuk mengembangkan proses implementasi kurikulum
oleh para pelaksana kurikulum pada tingkat satuan pendidikan atau sekolah dan sifatnya
individual.
Istilah nilai rujukan kurikulum (curriculum value orientations) di Indonesia dapat kita
temukan dalam buku "Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup" yang disebut dengan istilah
"orientasi pendidikan" dan orientasi pendidikan tersebut penekanannya pada kecakapan hidup
atau life skills. Sebagai nilai yang sifatnya individual, tidak mengherankan apabila nilai
rujukan guru tidak sejalan dengan nilai rujukan kurikulum sebagaimana diharapkan oleh para
pengembang kurikulum tingkat nasional.
Jewet (1994:62) mengembangkan nilai rujukan guru pendidikan jasmani (penjas) ke dalam
lima kategori, yaitu social reconstruction, disciplinary mastery, learning process, self
actualization, dan ecological integration. Secara garis besar deskripsi dari masing-masing
nilai rujukan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Disciplinary Mastery
Merupakan nilai rujukan yang paling tradisional yang menempatkan prioritas utamanya
pada penguasaan subject matter. Contoh: model pendidikan gerak (Rink, 2002), model
pendidikan kebugaran (Aliance American for Health, Physical Education, Recreation, and
Dance, 1999);
Teaching Children Games (Belka (1994), dan Sport Education (Siedentop, 1994). 2. Social
reconstruction.
Lebih menekankan pada proses belajar. Nilai rujukan ini didasarkan pada premis yang
menyatakan bahwa oleh karena volume pengetahuan yang besar dan perubahan yang cepat
akibat teknologi, maka pengembangan keterampilan proses untuk terus belajar sama
pentingnya dengan pengembangan keterampilan apa yang dipelajari.
4. Self-actualization
Merupakan suatu nilai rujukan yang terpusat pada siswa yang menekankan pada otonomi
individu, pertumbuhan individu, dan penentuan arah individu sendiri. Keputusankeputusan
pembelajaran difokuskan sekitar untuk membantu siswa meraih potensinya (Jewet, 1994:57).
5. Ecological integration
Pada dasarnya menempatkan self-actualization sebagai bagian yang integral dari lingkungan
yang selalu berubah secara konstan. Belajar diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain di
dalam sebuah lingkungan tertentu untuk membantu siswa menciptakan kehidupan di masa
yang akan datang yang akan dilaluinya. Contoh model kurikulum Penjas yang didasarkan
pada nilai rujukan ini adalah The Personal Meaning (Jewett, 1994:61; Jewett, Bain, dan
Ennis, 1995:35).
Pada usaha mempersiapkan siswa untuk dapat memecahkan berbagai masalah serius dalam
kehidupan manusia sehingga dapat memperbaiki kehidupan masyarakat dan menghasilkan
kehidupan masa depan. masyarakat yang lebih baik. Social reconstructionist berkeyakinan
bahwa masalah kehidupan masyarakat bukan hanya merupakan perhatian social studies
melainkan juga merupakan perhatian dari semua disiplin ilmu. Oleh karena itu, disiplin ilmu
tersebut harus terkait dengan masalah kehidupan social dan ditekankan dalam kurikulum.
Sumber kurikulum social reconstructionist sesuai dengan namanya lebih menekankan pada
masyarakat.
Cenderung terfokus pada bagaimana mengajar dari pada apa yang harus diajarkan. Tujuan
utamanya adalah menemukan alat yang efektif dan efisien untuk meraih tujuan akhir.
Keputusan mengenai apa yang harus diajarkan diarih melalui analisis apa yang diperlukan
untuk menampilkan suatu pekerjaan.
Terfokus pada perolehan hasil akademis. Para ahli kurikulum orientasi akademis
memandang kurikulum sebagai alat untuk mengantarkan siswa pada bahan kajian dan disiplin
ilmu (subject matter discipline dan organizad fields of study). Mereka menganggap bahwa
bahan kajian dan disiplin ilmu merupakan tujuan dari pada sebagai sumber informasi untuk
memecahkan masalah individu dan. masyarakat.Sumber kurikulum academic menekankan
C. Knowledge-Centered
menempatkan knowledge sebagai bagian terpenting penganut kurikulum ini berkeyakinan
bahwa pemenuhan kebutuhan masyarakat dan juga individual akan lebih baik. manakala isi
kurikulum terdiri dari pengetahuan yang merefleksikan dibutuhkan masyarakat dan
individunya. d. The Eclectic Curriculum merujuk pada pemilihan isi kurikulum yang
didasarkan pada sejumlah sumber kurikulum yang berbeda. Para penganut kurikulum ini
berkeyakinan bahwa semua siswa harus mempelajari materi dan aktivitas inti tertentu hingga
siswa sesuai dengan keadaan masyarakat dan memenuhi persyaratan kebutuhan masyarakat.
BAB V
Model adalah abstraksi dunia nyata atau representasi peristiwa kompleks atau sistem,
matematis, grafis, serta lambang-lambang lainnya. Model bukanlah realitas, akan tetapi
merupakan representasi realitas yang dikembangkan dari keadaan. Dengan demikian, model
pada dasarnya berkaitan dengan rancangan yang dapat digunakan untuk menerjemahkan
sesuatu sarana untuk mempermudah berkomunikasi, atau sebagai petunjuk yang bersifat
perspektif untuk mengambil keputusan, atau sebagai petunjuk perencanaan pengelolaan.
untuk kegiatan
Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum, pemilihan suatu
model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-
kebaikanya serta kemungkinan tercapainya hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan
dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolaan pendidikan yang dianut serta model konsep
pendidikan mana yang digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam sistem
pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan desentralisasi. Model
pengembangan dalam kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum
humanistik, teknologis dan rekontruksi sosial.
Setelah semua tugas dari tim kerja pengembangan kurikulum tersebut selesai, hasilnya
dikaji ulang oleh tim pengarah serta para ahli lain yang berwewenang atau pejabat yang
kompeten. Setelah mendapat beberapa penyempurnaan, dan dinilai telah cukup baik,
administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya. kurikulum tersebut serta
memerintahkan sekolah-sekolah untuk melaksanakan kurikulum tersebut. Karena sifatnya
yang datang dari atas, model pengembangan kurikulum demikian disebut juga model "top
down" atau "line staff". Pengembangan kurikulum dari atas, tidak selalu segera berjalan,
sebab menuntut kesiapan dari pelaksanaanya, terutama guru-guru. Mereka perlu
mendapatkan petunujuk-petunjuk dan penjelasan atau mungkin juga peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan. Kebutuhan akan adanya penataran sering tidak dapat
dihindarkan.
d) Komisi pengarah memeriksa hasil kerja dari komisi kerja dan menyempurnakan bagian-
bagian tertentu bila dianggap tidak perlu. Karena pengembangan kurikulum model
administratif ini berdasarkan konsep, inisiatif, dan arahan dari atas kebawah, maka akan
membutuhkan waktu bertahun-tahun agar dapat berjalan dengan baik. Hal inidisebabkan
adanya tunututan untuk mempersiapkan para pelaksana kurikulum tersebut.
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Bisa dikatakan model
administratif bersifat top-down (atasan-bawahan), sedangkan model grass - roots adalah
bottom - up (dari bawah keatas). Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang
dari atas tetapi datang dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan
kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang.
bersifat sentralisasi, sedangkan Grass Roots Model akan berkembang dalam sistem
pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan Grass Roots seorang
guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya
pengembangan. kurikulum.
Pengembangan kurikulum yg bersifat Grass Roots Model mungkin hanya berlaku untuk
bidang studi tertentu atau sekolah tertentu tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk bidang
studi sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang studi pada sekolah atau daerah lain.
Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi dengan model grass rootsnya,
memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan
yang pada giliranya akan melahirkan manusia manusia yang lebih mandiri dan kreatif.