Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kurikulum merupakan salah satu unsur dalam pendidikan yang sangat


berpengaruh untuk mewujudkan proses berkembangnya kualitas dan potensi
dari peserta didik. Berkembangnya kurikulum yang ada di Indonesia ini
disebabkan oleh kebutuhan dan perkembangan pendidikan serta zaman yang
semakin berkembang. Maka kurikulum menjadi kebutuhan mendasar dan
penting untuk mencapai tujuan pendidikan. Pembelajaran di sekolah semakin
berkembang dan pengajaran yang bersifat tradisional sampai pengajaran yang
bersifat modern. Kegiatan pembelajaran bukan lagi sekedar kegiatan mengajar
yang mengabaikan kegiatan belajar, yaitu sekedar menyiapkan pengajaran dan
prosedur mengajar dalam pembelajaran tatap muka. Akan tetapi kegiatan
pembelajaran lebih kompleks dan dilaksanakan dengan pola pembelajaran
yang bervariasi. Lebih lanjut bahwa kurikulum ini akan berjalan bila di
dalamnya ada pembelajaran, karena kurikulum tanpa pelajaran nantinya akan
terbuang tanpa jejak. Pemahaman tentang belajar itu sendiri harus dimiliki
oleh setiap orang yang akan menjalankan kurikulum dari sebuah pelajaran.
Karena dengan pembelajaran itu kurikulum akan tersampaikan dan akan
mendapatkan hasil yang jelas serta dapat mengukur keberhasilan dari
kurikulum yang ada.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:

Pengertian Kurikulum
Berbagai Pandangan Tentang Kurikulum
Hakikat Kurikulum Dalam Pandangan Ibnu Khaldun
Prinsip Dasar Landasan Kurikulum Dalam Pandangan Ibnu Khaldun

1
C. Tujuan

Tujuan yang dapat diambil dari materi yang dibahas adalah adalah agar
mahasiswa dapat mengetahui pengertian kurikulum secara etimologis, konsep
dasar kurikulum, berbagai pandangan para pakar tentang kurikulum, hakikat
kurikulum menurut Ibnu Khaldun serta landasan kurikulum dalam pandangan
Ibnu Khaldun. Manfaat yang dapat diambil bagi mah asiswa agar
mampu mengetahui dan memahami dasar kurikulum dan bagi
penulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kurikulum
Pembelajaran Teknologi Informasi sekaligus untuk meningkatkan
kemampuan penulis. Metode Penulisan yang dipakai yaitu metode pustaka
dimana metode ini adalah metode yang dilakukan dengan
mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan
dengan alat baik berupa buku maupun informasi di internet.

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Dalam konteks otonomi daerah, kurikulum suatu lembaga pendidikan


tidak sekedar daftar nama mata pelajaran yang dituntut dalam suatu jenis
dan jenjang pendidikan. Dalam pengertiannya yang luas, kurikulum berisi
kondisi yang telah melahirkan suatu rencana atau program pelajaran
tertentu, juga berkenaan dengan proses yang terjadi di dalam lembaga
(proses pembelajaran), fasilitas yang tersedia yang menunjang terjadinya
proses, dan produk atau hasil dari proses tersebut. Kurikulum

Kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas, dan kegiatan suatu lembaga


pendidikan atau pelatihan untuk mewujudkan visi dan misi lembaganya. Oleh
karena itu, pelaksanaan kurikulum untuk menunjang keberhasilan suatu
lembaga pendidikan harus ditunjang oleh :

Tersedianya tenaga pengajar yang kompeten


Tersedianya fasilitas yang memadai
Tersedianya fasilitas bantu untuk proses belajar mengajar
Tersedianya tenaga penunjang pendidikan
Tesedianya dana yang memadai
Manajemen yang efektif dan efisien
Terpeliharanya budaya yang menunjang
Kepemimpinan kependidikan yang visioner, transparan, dan akuntabel1

Kurikulum kelembagaan pendidikan yang baik adalah kurikulum


kelembagaan pendidikan yang berkembang dari dan untuk masyarakat, yaitu
kelembagaan pendidikan yang bersandarkan pada komunitas masyarakat. 2

1
Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap
Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 21.
2 2
Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap
Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 22

3
1. Pengertian kurikulum

Secara etimologi, kurikulum berasal dari kata dalam bahasa latin yaitu curir
yang artinya pelari dan currere yang artinya tempat berlari. Pengertian awal
kurikulum adalah suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari mulai dari garis
start sampai garis finish. Dengan demikian, istilah awal kurikulum diadopsi
dari bidang olahraga pada zaman Romawi Kuno di Yunani yang kemudian
diartikan sebagai rencana dan pengaturan tentang belajar peserta didik di suatu
lembaga pendidikan. Sedangkan dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan
kata Manhaj (kurikulum) yang bermakna jalan terang yang di lalui manusia
di berbagai bidang kehidupannya.

Definisi kurikulum menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional tertera dalam pasal 1 ayat 19 sebagai berikut:

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi


dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu

Secara terminologis, istilah kurikulum yang digunakan dalam dunia


pendidikan mengandung pengertian sebagai sejumlah pengetahuan atau mata
pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa untuk mencapai satu
tujuan pendidikan atau kompetensi yang telah ditetapkan. Secara operasional
kurikulum dapat didefinisikan sebagai berikut:

Suatu bahan tertulis yang berisi uraian tentang program pendidikan


suatu sekolah yang dilaksanakan dari tahun ke tahun.
Bahan tertulis yang dimaksudkan untuk digunakan oleh guru dalam
melaksanakan pengajaran untuk siswa-siswanya.
Suatu usaha untuk menyampaikan asas dan ciri terpenting dari suatu
rencana pendidikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga dapat
dilaksanakan guru di sekolah.

4
Tujuan-tujuan pengajaran, pengalaman belajar, alat-alat belajar dan
cara-cara penilaian yang direncanakan dan digunakan dalam
pendidikan.
Suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.

2. Berbagai pandangan tentang kurikulum

Term (kurikulum), secara umum sering diartikan sebagai ruang lingkup atau
rangkaian pelajaran yang ditawarkan dalam suatu program sekolah.
Kurikulum dalam pengertian ini tampaknya cenderung dipahami dalam arti
yang sempit sebagai sekumpulan materi pelajaran, dengan kata lain, lebih
dekat dengan pengertian kurikulum tradisional. Kurikulum model ini
didasarkan atas subjek atau mata pelajaran (teacher-centered), yang biasanya
diberikan secara terpisah-pisah.3

Dalam dunia pendidikan modern, kurikulum diartikan lebih dari sekedar


sekumpulan materi pelajaran (subject matter). P.H. Hirst dan R.S. Peters,
misalnya, mengartikan kurikulum sebagai suatu program aktivitas yang
diorganisasikan secara eksplisit dengan maksud agar siswa dapat mencapai
tujuan yang dikehendaki (dari program tersebut). Sedangkan menurut P.W.
Murgave, kurikulum adalah keseluruhan pengalaman belajar yang disusun
oleh suatu organisasi pendidikan formal bagi siswa-siswanya, baik
pengalaman itu berlangsung di dalam ataupun di luar sekolah. Kurikulum
model ini dikenal dengan kurikulum progresif, yang berpusat pada anak
(child-centered) yang lebih banyak memberi kebebasan pada anak dan
memilih masalah-masalah yang nyata dalam kehidupan anak dan masyarakat.4

3
Saifullah Idris, Kurikulum dan Perubahan Sosial: Analisis-Sintesis Konseptional Atas Pemikiran
Ibnu Khaldun dan John Dewey. Banda Aceh: Lembaga Naskah Aceh (NASA) dan Ar-Raniry Press,
2013, hlm. 49.
4
Saifullah Idris, Kurikulum dan Perubahan Sosial: Analisis-Sintesis Konseptional Atas Pemikiran
Ibnu Khaldun dan John Dewey. Banda Aceh: Lembaga Naskah Aceh (NASA) dan Ar-Raniry Press,
2013, hlm. 50.

5
Berdasarkan dua definisi yang terakhir ini, kurikulum mengandung pengertian
yang luas, meskipun keduanya memberikan penekanan yang berbeda. Hirst
dan Peters menekankan pada aspek fungsional kurikulum sebagai rambu-
rambu yang menjadi acuan bagi proses belajar mengajar. Sedangkan Musgave
lebih menekankan pada ruang lingkup pengalaman belajar yang meliputi
pengalaman di dalam dan di luar sekolah. Pandangan ini senada dengan
pandangan Romine Stephen bahwa kurikulum mencakup segala materi
pelajaran, aktivitas dan pengalaman anak didik dimana ia berada dalam
kontrol lembaga pendidikan, baik hal itu terjadi di dalam maupun di luar
kelas.

Selain itu, secara teoritis-filosofis, penyusunan sebuah kurikulum harus


berdasarkan pada asas-asas orientasi tertentu, yaitu: asas filosofis, sosiologis,
organisatoris, dan pikologis. Asas filosofis berperan sebagai penentu tujuan
umum pendidikan. Asas sosiologis berperan memberikan dasar untuk
menentukan apa saja yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, kebudayaan, perkembangan ilmu, dan teknologi.

Asas organisatoris berfungsi memberikan dasar-dasar dalam bentuk


bagaimana bahan pelajaran itu disusun, dan bagaimana penentuan luas dan
urutan mata pelajaran. Selanjutnya asas psikologis berperan memberikan
berbagai prinsip-prinsip tentang perkembangan anak didik dalam berbagai
aspeknya, serta cara menyampaikan bahan pelajaran agar dapat dicerna oleh
anak didik sesuai dengan tahap perkembangan dan pertumbuhannya.

Ibnu Khaldun dalam melihat kurikulum lebih menekankan pada pembagian


ilmu pengetahuan, yaitu: ilmu naqliyyah (tekstual) atau ilmu yang disebarkan
dan ilmu aqliyyah (rasional) atau ilmu falsafah atau intelektual. Cabang ilmu
naqliyyah terdiri dari: al-Quran, al-Hadits, yurisprudensi, teologi dan tasawuf.
Sedangkan cabang ilmu aqliyyah seperti ilmu-ilmu linguistik, kesusastraan,

6
metafisika, ilmu ukur, fisika, ilmu abjad, ilmu kimia, aljabar, ilmu ghaib, ilmu
hitung, musik, astronomi dan astrologi.5

Berdasarkan pemikiran dan terminologi kurikulum tersebut tersebut,


nampaknya kurikulum harus berorientasi kepada tujuan (umum) pendidikan
yang hendak dicapai. Maka untuk melihat pemikiran Ibnu Khaldun tentang
kurikulum, penulis memakai tiga pandangan aliran filsafat pendidikan, yaitu
aliran progressivisme, essensialisme, dan perennialisme.

Progressivisme memandang kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif,


bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur serta
berorientasi pada Child-Centered dan Community-Centered. Bagi
essensialisme, kurikulum itu hendaknya berpangkal pada landasan ideal dan
organisasi yang kuat. Dengan kata lain kurikulum diibaratkan sebagai sebuah
rumah yang mempunyai empat bagian, yaitu: universum, sivilisasi,
kebudayaan, dan kepribadian. Sedangkan bagi perennialisme, kurikulum
adalah integrasi antara pengalaman langsung dan pengalaman yang tidak
langsung. Perennialisme, membagi kurikulum pada dua, yaitu: kurikulum
pendidikan dasar dan menengah, dan kurikulum pendidikan dan adult
education. Progressivisme, berangkat dari filsafat pragmatis yang
menggandaikan mafaat dan kegunaannya. Essensialisme berangkat dari
sintesis antara idealisme dan realisme. Sedangkan perennialisme berangkat
dari realisme dan Thomisme, yaitu kembali kepada peradaban masa lampau
(middle-age) yang dianggap paling ideal. Karena menurutnya, keadaan
sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu
oleh kekacauan dan kesimpangsiuran.6

5
Saifullah Idris, Kurikulum dan Perubahan Sosial: Analisis-Sintesis Konseptional Atas Pemikiran
Ibnu Khaldun dan John Dewey. Banda Aceh: Lembaga Naskah Aceh (NASA) dan Ar-Raniry Press,
2013, hlm. 51.
6
Saifullah Idris, Kurikulum dan Perubahan Sosial: Analisis-Sintesis Konseptional Atas Pemikiran
Ibnu Khaldun dan John Dewey. Banda Aceh: Lembaga Naskah Aceh (NASA) dan Ar-Raniry Press,
2013, hlm. 53

7
B. Hakikat Kurikulum Dalam Pandangan Ibnu Khaldun

Bagi Ibnu Khaldun kurikulum itu hendaknya menekankan akan pentingnya


penstrukturan kegiatan belajar mengajar, sesuai dengan tujuan-tujuan yang
ingin dicapai. Dengan demikian, pengoptimalan proses belajar mengajar
tampaknya merupakan titik fokus pandangan Ibnu Khaldun tentang kurikulum
ini.

Adapun kurikulum yang dipandang baik untuk mencapai tujuan pendidikan


adalah yang bersifat integratif dan komprehensif. Kurikulum ini mencakup
ilmu-ilmu naqliyyah dan aqliyyah. Ilmu-ilmu naqliyyah adalah ilmu agama
dengan segala macamnya serta ilmu penunjang yang berhubungan dengannya
dan dipersiapkan untuk dipelajari, seperti linguistik, kaedah-kaedah
kebahasaan dan lain-lain. Dasar dari ilmu-ilmu ini adalah al-Syariat yaitu
materi sah al-Quran dan al-Sunnah.

Sedangkan ilmu aqliyyah yaitu buah dari aktifitas pikiran manusia dan
perenungnya. Ilmu-ilmu ini bersifat alamiah bagi manusia dengan asumsi
bahwa manusia adalah homosapiens (makhluk yang mempunyai akal pikiran).
Menurutnya ilmu-ilmu ini tidak terbatas untuk kelompok khusus (Millah) atau
untuk Islam saja, tetapi dipelajari juga oleh berbagai agama lain di dunia, dan
ada sejak mula kehidupan/peradaban manusia. Ilmu ini disebut dengan ilmu-
ilmu filsafat dan hikmah.7

Dalam bidang kurikulum Ibnu Khaldun menyarankan agar tidak mengajarkan


ilmu terlalu banyak dalam satu waktu pada anak-anak. Ia selanjutnya
mengkritik berbagai kurikulum yang digunakan pada masanya dalam
mengajar anak-anak di tiap negeri Barat dan Timur. Kritikan itu ditujukan
pada prioritas ilmu dalam kurikulum. Sebagai contoh ia menjelaskan bahwa
memulai studi kesusastraan dan syair, mendahulukannya atas studi ilmu-ilmu
lain dan memberikan perhatian penuh pada kedua-duanya, seperti yang terjadi
7
Saifullah Idris, Kurikulum dan Perubahan Sosial: Analisis-Sintesis Konseptional Atas Pemikiran
Ibnu Khaldun dan John Dewey. Banda Aceh: Lembaga Naskah Aceh (NASA) dan Ar-Raniry Press,
2013, hlm. 54.

8
di Andalusia akan membuat para pelajar maju di bidang bahasa dan sastra
tetapi mengabaikan ilmu-ilmu yang lain.

C. Prinsip Dasar Landasan Kurikulum Dalam Pandangan Ibnu Khaldun

Prinsip dasar yang dijadikan sebagai landasan pemikiran Ibnu Khaldun


tentang kurikulum pendidikan adalah di latar belakangi dari pemikirannya
tentang pendidikan secara umum, yaitu berpijak pada asumsi dasar bahwa
manusia pada dasarnya adalah tidak tahu, kemudian menjadi tahu dengan
belajar. Artinya, manusia adalah jenis hewan, hanya saja Allah telah
memberinya keistimewaan akal pikir, sehingga memungkinkannya bertindak
secara teratur dan terencana.

Istilah ini sering disebut dengan al-aql al-tamyizi (akal pemilah), yaitu
memungkinkannya mengetahui ragam pemikiran dan pendapat, keuntungan,
kerugian, dan lain-lain. Disamping itu, manusia juga diberikan al-aql al-
tajribi atau disebut dengan akal eksperimental, yaitu menjadikannya mampu
mengkonseptualisasikan realitas empiris dan non-empiris atau sering disebut
dengan akal kritis.8

Akal pikir demikian berkembang setelah manusia memenuhi kondisi


sempurna, yaitu berkembang sejak usia tamyiz. Sebelum usia ini, manusia
tidak mempunyai pengetahuan dan secara umum bisa dikategorikan sebagai
hewan karena terdapat persamaan dalam proses kejadiannya dari sperma,
segumpal darah, sekerat daging dan seterusnya. Dengan demikian, pemberian
Allah pada manusia berupa cerapan inderawi dan penalaran itulah yang
disebut akal pikir. Dengan berpijak pada asumsi tersebut, pemikiran Ibnu
Khaldun juga di dasarkan pada watak kebudayaan (culture oriented) bagi ilmu
dan pengajaran dan bersifat integratif.

8
Saifullah Idris, Kurikulum dan Perubahan Sosial: Analisis-Sintesis Konseptional Atas Pemikiran
Ibnu Khaldun dan John Dewey. Banda Aceh: Lembaga Naskah Aceh (NASA) dan Ar-Raniry Press,
2013, hlm. 59.

9
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Kurikulum berasal dari bahasa latin curir yang berarti pelari dan currere
yang artinya tempat berlari. Kurikulum merupakan suatu program yang
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan tertentu.
Konsep kurikulum Ibnu khaldun bersifat integratif dan komprehensif yang
mencakup ilmu-ilmu naqliyyah dan aqliyyah. Ilmu naqliyyah adalah ilmu
agama dengan segala macamnya serta ilmu penunjang yang berhubungan
dengannya dan dipersiapkan untuk dipelajari, seperti kaedah-kaedah
kebahasaan dan lain-lain. Sedangkan ilmu aqliyyah (rasional) yaitu buah dari
aktivitas fikiran manusia dan perenungannya. Ilmu ini disebut dengan ilmu
filsafat dan hikmah.

B. Saran

Kebutuhan pendidikan saat ini semakin kompleks, begitu juga dengan


kurikulum yang ada juga semakin berkembang. Maka disarankan setiap
lembaga pendidikan menerapkan suatu sistem kurikulum yang sesuai dengan
keadaan lingkungan pendidikannya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun
proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan kondisi, karakteristik,
dan perkembangan yang ada di masyarakat.

10

Anda mungkin juga menyukai