ID Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu
ID Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu
FILSAFAT ILMU:
Sebuah Kerangka Untuk Memahami
Konstruksi Pengetahuan Agama
Ahmad Atabik
STAIN KUDUS
ABSTRAK
Pendahuluan
Dalam lintas sejarah, manusia dalam kehidupannya
senantiasa sibukkan oleh berbagai pertanyaan mendasar tentang
dirinya. Pelbagai jawaban yang bersifat spekulatif coba diajukan
oleh para pemikir sepanjang sejarah dan terkadang jawaban-jawaban
yang diajukan saling kontradiksif satu dengan yang lainnya.
Perdebatan mendasar yang sering menjadi bahan diskusi dalam
sejarah kehidupan manusia adalah perdebatan seputar sumber dan
asal usul pengetahuan dan kebenaran.1 Filsafat dan agama sebagai
dua kekuatan yang mewarnai dunia telah menawarkan konstruk
epistemologi yang berbeda dalam menjawab permasalahan-
permasalahan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya.
Manusia hidup di dunia ini pada hakekatnya mempunyai
keinginan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran.
Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk
tahu. Pengetahuan menurut arti sempit sebuah keputusan yang
benar dan pasti.2 Penganut pragmatis, utamanya John Dewey
tidak membedakan antara pengetahuan dan kebenaran (antara
knowledge dan truth).3 Hal inilah yang kemudian menjadi kajian
menarik epistemologi.
Epistemologi sebagai cabang dari ilmu filsafat mempelajari
batas-batas pengetahuan dan asal-usul pengetahuan serta di
kriteria kebenaran. Kata ‘epistemologi’ sendiri berasal dari bahasa
Yunani, terdiri dari dua kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan
logos (ilmu, pikiran, percakapan). Jadi epistemologi berarti ilmu,
percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan4. Pokok
persoalan dari kajian epistemologi adalah sumber, asal mula, dan
sifat dasar pengetahuan; bidang, batas jangkauan pengetahuan.
1
Muhammad Baqir Shadr, Falsafatuna, Diterjemahkan oleh M. Nur
Mufid Ali, (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994) hlm. 25
2
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012), hlm. 85.
3
Menurut Salam, pengetahuan itu harus benar kalau tidak benar
disebut kontradiksi. Jadi Pengetahuan adalah kebenaran, maka dalam kehidupan
manusia memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Lihat Burhanuddin
Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hlm. 28.
4
Abdul Mun>im al-Hifni, Mausuah al-Falsafah wa al-Falasifah, juz 1,
(Kairo; Maktabah Madbuli, 1999), hlm. 19.
Ibid, 3839-.
10
12
Ibid, 89.
13
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Referensi,
2012), hlm. 96.
14
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberti, 2003), cet-3. Hlm.
135
15
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 85.
16
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13), hlm. 57.
17
Amsal Bakhtiar, Op.Cit., hlm.112.
18
Jujun S., Filsafat Ilmu..., hlm. 54.
21
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu., hlm. 116.
22
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu… hlm. 55.
23
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu… hlm. 56.
26
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam dimensi
Ontologis,............ hlm. 85
4. Teori Performatif
Teori ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960)36
dan dianut oleh filsuf lain seperti Frank Ramsey, dan Peter
Strawson. Filsuf-filsuf ini mau menentang teori klasik bahwa
“benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan
sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu
menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar. Demikian
sebaliknya. Namun justeru inilah yang ingin ditolak oleh para
filsuf ini.37
Teori performatif menjelaskan, suatu pernyataan dianggap
benar jika ia menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar
bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi
justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana
yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Teori ini disebut juga
“tindak bahasa” mengaitkan kebenaran satu tindakan yang
dihubungkan dengan satu pernyataan.38 Misalnya, “Dengan ini
saya mengangkat anda sebagai manager perusahaan “Species
S3”. Dengan pernyataan itu tercipta sebuah realitas baru yaitu
anda sebagai manager perusahaan “Species S3”, tentunya setelah
SKnya turun. Di sini ada perbuatan yang dilakukan bersamaan
dengan pengucapan kata-kata itu. Dengan pernyataan itu suatu
penampilan atau perbuatan (performance) dilakukan.
Teori ini dapat diimplementasikan secara positif, tetapi di
pihak lain dapat pula negatif. Secara positif, dengan pernyataan
tertentu, orang berusaha mewujudkan apa yang dinyatakannya.39
Misal, “Saya bersumpah akan menjadi dosen yang baik”. Tetapi
secara negatif, orang dapat pula terlena dengan pernyataan atau
ungkapannya seakan pernyataan tersebut sama dengan realitas
begitu saja. Misalnya, “Saya doakan setelah lulus S1 kamu
36
Austin tidak begitu tertarik membicarakan bahasa sebagai pemaparan
realitas (fakta atomik). Ia mengarahkan analisisnya pada pemakaian bahasa
sehari-hari. Ia membedakan dua macam penggunaan bahasa, yaitu proposisi
atau tuturan konstatif dan proposisi atau tuturan performatif dengan aturan atau
kriterianya sendiri. Lihat Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu…, hlm. 54.
37
Jujun S. Susiasumantri, Filsafat Ilmu.., hlm. 59.
38
Ahyar Lubis, Filsafat Ilmu, hlm., 55.
39
A Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam dimensi Ontologis,.......
hlm. 87.
Ibid, 121.
41
42
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, 102.
43
Donny Gahrial Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan,
(Bandung: Teraju. 2002, Cet. I), hlm. 43
44
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, hlm. 94.
45
Ibid, hlm. 95.
46
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 103.
47
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 98.
48
Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu, hlm. 112.
2001), hlm. 24
51
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 100.
52
Ibid., hlm. 101.
53
Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu.., hlm. 109.
54
Tahapan pertama dalam proses pencapaian pengetahuan bagi Kant
62
Ahmad Tafsir, Filsfat Umum, hlm. 57.
63
Ma’rifah, itu diperoleh dengan cara latihan, yang dalam diskursus
Islam disebut dengan riyadah. Metode ini secara umum dipakai dalam thariqah
atau tasawuf. Dari kemampuan ma’rifah ini, dapat dipahami bahwa mereka tentu
mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan
pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal, melainkan
lewat hati. Lihat Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat…, hlm. 131.
DAFTAR PUSTAKA