Kehilangan Dan Berduka
Kehilangan Dan Berduka
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi kehilangan dan berduka ?
2. Apakah faktor penyebab berduka ?
3. Bagaimana tahapan proses kehilangan dan berduka ?
4. Apa saja tipe kehilangan ?
5. Apakah jenis dari kehilangan ?
6. Bagaimana tanda dan gejala berduka ?
7. Bagaimana manifestasi klinis kehilangan dan berduka ?
8. Menjelaskan respon atas kehilangan ?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan masalah psikososial:
kehilangan dan berduka ?
1.3 Tujuan
A. Tujuan Umum
Setelah proses perkuliahan ini diharapkan mahasiswa mampu
memberikan Asuhan Keperawatan Jiwa pada Klien dengan masalah
Psikososial : Kehilangan dan Berduka.
B. Tujuan Khusus
Mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menjelaskan definisi dari kehilangan dan berduka.
2. Menjelaskan faktor penyebab berduka
3. Menjelaskan tahapan proses kehilangan dan berduka.
4. Menjelaskan tipe kehilangan
5. Menyebutkan dan menjelaskan jenis kehilangan.
6. Menjelaskan tanda dan gejala berduka
7. Menjelaskan manifestasi klinis dari kehilangan dan berduka.
8. Menjelaskan respon atas kehilangan.
9. Memberikan asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan masalah
psikososial : kehilangan dan berduka.
1.4 Manfaat
Makalah ini hendaknya dapat menjadi bahan sebagai pengembangan
pengetahuan mahasiswa mengenai pentingnya memahami “Asuhan
Keperawatan Jiwa pada Klien dengan masalah Psikososial : Kehilangan dan
Berduka”.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
dan marah. Berkabung adalah proses yang mengikuti suatu kehilangan dan
mencakup berupaya untuk melewati dukacita.
Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respon emosional
normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. (Yusuf, Ah
dkk, 2015)
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.
Stroabe dan Stroebe (1987) (dalam Moyle & Hogan, 2006) menganggap
berduka sebagai situasi objektif dari seorang individu yang baru saja
mengalami kehilangan dari sesuau yang sebelumnya ada menjadi tidak ada.
Berduka mengacu pada respons emosional terhadap kehilangan ini, termasuk
beberapa reaksi psikologis dan fisik (Buglass, 2010).
Definisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini dukacita adalah
proses kompleks yang normal yang mencakup respons dan perilaku emosi,
fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan komunitas
menghadapi kehilangan actual, kehilangan yang diantisipasi, atau persepsi
kehilangan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari (NANDA,2011).
Perilaku dan perasaan yang berkaitan dengan proses berduka terjadi
pada individu yang menderita kehilangan seperti perubahan fisik atau
kematian teman dekat. Proses ini juga terjadi ketika individu menghadapi
kematian mereka sendiri. Seseorang yang mengalami kehilangan,
keluarganya, dan dukungan sosial lainnya juga mengalami dukacita.
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan.
Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai
sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin
terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik,
diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa
kembali atau tidak dapat kembali.
4
2. Terkait pengobatan
Berhubungan dengan peristiwa kehilangan akibat dialisis dalam
jangka waktu yang lama dan prosedur pembedahan (masektomi,
kolostomi, histerektomi)
3. Situasional (Personal, Lingkungan)
Berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa kehilangan
sekunder akibat nyeri kronis, peryakit terminal, dan kematian;
berhubungan dengan kehilangan gaya hidup akibat melahirkan,
perkawinan, perpisahan, anak meninggalkan rumah, dan
perceraian; dan berhubungan dengan kehilangan normalitas
sekunder akibat keadaan cacat, bekas luka, penyakit
4. Matursional
Berhubungan dengan perubahan akibat penuaan seperti teman-
teman, pekerjaan, fungsi, dan rumah dan berhubungan dengan
kehilangan harapan dan impian
5
2) Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit
yang tersembunyi dan termanifestasi dalam berbagai gejala fisik.
Pada beberapa individu berkembang menjadi keinginan bunuh
diri, sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan menolak
makan dan menggunakan alkohol.
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu:
1. Fase awal
Pada fase awal seseorang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin,
tidak percayaperasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung.
Perasaan tersebut berlangsung selama beberapa hari, kemudian
individu kembali pada perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya
individu merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan
menangis dan ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama
beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan
adanya perilaku obsesif. Sebuah perilaku yang terus mengulang-
ulang peristiwa kehilangan yang terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir yang dialami setelah tahun pertama kehilangan.
Individu memutuskan untuk tidak mengenang masa lalu dan
memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada fase ini individu
sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.
Tahapan Proses Kehilangan(Yusuf, Ah dkk, 2015)
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial),
marah (anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan
(acceptance) atau sering disebut dengan DABDA. Setiap individu akan
melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya seseorang melalui
bergantung pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia,
bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau depresi.
1) Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah
tidak percaya, syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari
kenyataan, mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta berperilaku
seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura senang.
2) Tahap Marah (Anger)
Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan
kehilangan. Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang
diproyeksikan kepada orang lain atau benda di sekitarnya. Reaksi
6
fisik menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah
tidur, dan tangan mengepal.
3) Tahap Penawaran (Bargaining)
Setelah perasaan marah dapat disalurkan, individu akan memasuki
tahap tawar-menawar.
4) Tahap Depresi (Depression)
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien
sadar akan penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi.
Individu menarik diri, tidak mau berbicara dengan orang lain, dan
tampak putus asa. Secara fisik, individu menolak makan, susah
tidur, letih, dan penurunan libido.
Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan
tahap yang penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal
dalam tahap penerimaan dan damai. Tahap penerimaan terjadi
hanya pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan dan
kegelisahannya.
5) Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan.
Fokus pemikiran terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang.
Penerimaan terhadap kenyataan kehilangan mulai dirasakan,
sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai dilepaskan secara
bertahap dan dialihkan kepada objek lain yang baru.
Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan
mengakhiri proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di satu
tahap dalam waktu yang sangat lama dan tidak mencapai tahap penerimaan, di
situlah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan
kembali, maka akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap penerimaan dan
kemungkinan akan menjadi sebuah proses yang disfungsional.
7
2.5 Jenis-jenis kehilangan
Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:
1) Kehilangan seseorang yang dicintai
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang
berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari
tipe-tioe kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang.
Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai.
Karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan
yang ada, kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa
dampak emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi. Misalnya
kehilangan pekerjaan, kepergian anggota keluarga atau teman dekat,
kehilangan orang yang dipercayai atau kehilangan binatang peliharaan.
2) Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang
mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan,
diri sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan
dampaknya. Kehilangan dari aspek diri mungkin sementara atau menetap,
sebagian atau komplit. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari
seseorang misalnya kehilangan anggota tubuh dan fungsi psikologis atau
fisik, kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh.
3) Kehilangan objek eksternal
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan karena kecurian atau
kehancuran akibat bencana alam, kehilangan milik sendiri atau bersama-
sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan
seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan
benda tersebut.
4) Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat
dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu
periode atau bergantian secara permanen. Misalnya kehilangan karena
perpindah rumah, dirawat dirumah sakit atau berpindah pekerjaan, pindah
ke kota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru dan proses
penyesuaian yang baru.
5) Kehilangan kehidupan/ meninggal
Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon
pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang
sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.
Misalnya kehilangan kehidupan karena kematian anggota keluarga, teman
dekat atau diri sendiri.
8
2.6 Tanda dan gejala berduka
Terdapat beberapa sumber yang menjelaskan mengenai tanda dan gejala yang
sering terlihat pada individu yang sedang berduka. Menurut Buglass (2010),
tanda dan gejala berduka melibatkan empat jenis reaksi, meliputi:
1. Reaksi perasaan, misalnya kesedihan, kemarahan, rasa bersalah,
kecemasan, menyalahkan diri sendiri, ketidakberdayaan, mati rasa,
kerinduan
2. Reaksi fisik, misalnya sesak, mual, hipersensitivitas terhadap suara dan
cahaya, mulut kering, kelemahan
3. Reaksi kognisi, misalnya ketidakpercayaan, kebingungan, mudah lupa,
tidak sabar, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, ketidaktegasan
4. Reaksi perilaku, misalnya gangguan tidur, penurunan nafsu makan,
penarikan sosial, mimpi buruk, hiperaktif, menangis.
Tanda dan gejala berduka juga dikemukakan oleh Videbeck (2001), yang
mencakup ke dalam lima respon, yaitu respon kognitif, emosional, spiritual,
perilaku, dan fisiologis.
9
3) Berani terbuka tentang kehilangan.
b. Respon Mal adaptif
1) Diam / tidak menangis
2) Menyalahkan diri berkepanjangan.
3) Rendah diri.
4) Mengasingkan diri.
5) Tak berminat hidup
6) Menarik diri
c. Respons duka cita khusus:
1) Duka cita Adaptif
Suka duka Adaptif adalah proses berkabung, koping, interaksi,
pencernaan, dan pengenalan psikososial. Hal ini dimulai dalam
merespon terhadap kesadaran tentang suatu ancaman kehilangan dan
pengenalan tentang kehilangan yang berkaitan dengan masa lalu, saat
ini dan masa mendatang. Duka cita adaptif terjadi pada mereka yang
menerima diagnosis yang mempunyai efek jangka panjang terhadap
fungsi tubuh. Klien mungkin merasa sangat sehat ketika didiagnosis
tetapi mulai berduka dalam merespons informasi tentang kehilangan di
masa mendatang yang berkaitan dengan penyakit. Duka cita adaptif
bagi klien menjelang ajal mencakup melepas harapan, impian, dan
harapan terhadap masa depan jangka panjang. Hal tersebut akan
menghilang sejalan dengan kematian klien meskipun duka cita
berlanjut tetapi duka cita tersebut tidak lagi adaptif. Klien, keluarga,
dan perawat dihadapkan dengan serangkaian tugas adaptasi dalam
proses duka cita adaptif (rando, 1986)
2) Duka cita terselubung
Duka cita terselubung terjadi ketika seseorang mengalami kehilangan
yang tidak dapat dikenali, merasa berkabung yang luas atau didukung
secara sosial. Konsep mengenali bahwa masyarakat mempunyai
serangkaian norma mengenai “aturan berduka” yang berupaya untuk
mengkhususkan siapa, kapan, dimana, bagaimana, berapa lama, dan
kepada siapa orang harus berduka cita. Duka cita mungkin terselubung
dalam situasi dimana hubungan antara yang berduka dan
meninggalkan tidak didasarkan pada ikatan keluarga yang dikenal.
Duka cita ini dapat mencakup teman, pemberi perawatan, rekan kerja,
atau hubungan non tradisional seperti hubungan di luar perkawinan
atau hubungan homoseksual dan mereka yang hubungannya terjadi
pada masa lalu seperti bekas pasangan.
d. Rentang Respon Berduka (Kubbler Ross, 1969)
10
1) Denial ( Penolakan )
Reaksi syok, dimulai dari rasa tidak percaya saat menerima diagnosa
dari seorang dokter atau ahli, perasaan seseorang selanjutnya akan
diliputi rasa kebingungan. Bingung atas arti diagnosa, bingung akan
apa yang harus dilakukan, sekaligus bingung mengapa hal ini dapat
terjadi mereka (Santrock, 2007). Ungkapan secara verbal “ini tidak
mungkin terjadi” dengan Menangis dan gelisah.
Perawat :
- Beri support secara verbal
- Beri waktu untuk menyadari apa yang sebenarnya terjadi
2) Anger ( Marah )
Tahapan yang ditandai dengan adanya reaksi emosi / marah dan
menjadi peka dan sensitif terhadap masalah – masalah kecil yang pada
akhirnya menimbulkan kemarahan.Kemarahan tersebut biasanya
ditujukan pada dokter, saudara, keluarga, atau teman – teman dan juga
marah kepada Sang Pencipta. Pernyataan yang sering muncul dalam
hati (sebagai reaksi atas rasa marah) muncul dalam bentuk ”Tidak adil
rasanya...”, ” Mengapa harus saya?” atau ”Apa salah saya?” (Safaria,
2005)
Perawat:
- Membantu untuk mengerti bahwa marah adalah suatu respon yang
normal terhadap kehilangan
- Hindari menarik diri dan membalas dengan marah
- Izinkan klien untuk mengekspresikan kemarahannya sepuas
mungkin dibawah pengawasan untuk menghindari hal yang
berbahaya yang mungkin dilakukan oleh klien.
3) Bargaining ( Tawar Menawar )
Tahapan dimana individu mulai berusaha untuk menerima dan
menghibur dirinya dengan pernyataan seperti “Mungkin kalau kami
menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik dengan sendirinya”,
“kalau ini bisa ditunda, saya akan lebih menjaga kesehatan saya” dan
berpikir tentang upaya apa yang akan dilakukan untuk membantu
proses penyembuhan (Safaria, 2005)
Perawat:
- Diam, dengarkan dan memberi sentuhan terapeutik
4) Tahap Depression (depresi)
Tahapan yang muncul dalam bentuk putus asa dan kehilangan
harapan.Kadangkala depresi dapat juga menimbulkan rasa bersalah
akibat dosa di masa lalu. Individu menunjukkan sikap menarik diri,
11
putus asa, tidak mau bicara, menolak makan, susah tidur dan letih
dengan pernyataan “apa yang terjadi denagn keluaraga saya, bila saya
sudah tiada???” (Marijani, 2003)
Perawat:
- Biarkan klien mengekspresikan kesedihannya
- Duduk di samping klien dengan komunikasi non verbal
- Beri suasana tenang
5) Tahap Acceptance (penerimaan)
Tahapan dimana telah mencapai pada titik pasrah dan mencoba untuk
menerima keadaannya dengan tenang.Masa depresi sudah berlalu,
mulai takut bila harus ditinggalkan sendiri dan ingin ditemani, serta
pikiran pada obyek yang hilang berkurang. Kemampuan penyesuaian
diri akan mempengaruhi psikologis dari individu itu. Ada pernyataan “
apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”, “ yah, saya
harus operasi” (Singgih D. Gunarsa, 2003).
Perawat:
- Dukung dan bantu untuk berpartisipasi aktif dalam program
pemulihan.
e. Teori Enggel
Enggel (1964) mengajukan bahwa proses berduka mempunyai tiga
fase yang dapat diterapkan pada seseorang yang berduka dan menjelang
kematian.
Fase pertama, individu menyangkal realitas kehilangan dan
mungkin menarik diri, duduk tidak bergerak, untuk menerawang tanpa
tujuan.Reaksi fisik dapat mencakup pingsan, berkeringat, mual, diare,
frekuensi jantung meningkat, gelisah, insomnia, dan keletihan.
Fase kedua, adalah individu mulai merasa kehilangan secara tiba-
tiba dan mungkin mengalami keputusaan, secara mendadak terjadi marah,
rasa bersalah, frustasi, depresi, dan kehampaan. Menangis adalah khas
sejalan dengan individu menerima kehilangan.
Fase ketiga dikenali realitas kehilangan .Marah dan depresi tidak
lagi dibutuhkan.Kehilangan telah jelas bagi individu yang mulai mengenali
hidup dengan mengalami fase ini beralih dari tingkat fungsi emosi dan
intelektual yang lebih rendah ke tempat yang lebih tinggi.Berkembang
kesadaran diri.
f. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan kembali respons berduka menjadi
tiga kategori :
12
1) Penghindaran, dimana terjadi syok, penyangkalan dan
ketidakpercayaan.
2) Konfrontasi, dimana terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika
klien secara berulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan
mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
3) Akomodasi, ketika terdapat secara bertahap penurunan kedukaan akut
dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia
sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan
kehilangan mereka. untuk mengharapkan klien mengalami kemajuan
dalam cara khusus sepanjang waktu yang ditetapkan adalah tidak
benar, tidak sesuai dan kemungkinan membahayakan.
13
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Faktor presipitasi
Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stress nyata atau imajinasi
individu dan kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosio, seperti kondisi sakit,
kehilangan fungsi seksual, kehilangan harga diri, kehilangan pekerjaan,
kehilangan peran, dan kehilangan posisi di masyarakat.
Perilaku
1. Menangis
2. Marah
3. Putus asa
4. Kadang berusaha bunuh diri atau membunuh orang lain
Mekanisme koping
1. Denial
2. Regrasi
3. Intelektualisasi/ rasionalisasi
14
4. Supresi
5. Proyeksi
B. Diagnosa keperawatan
1. Berduka
a. Definisi berduka:
Suatu keadaan ketika individu atau keluarga mengalami respon manusia
alami yang melibatkan reaksi psikologis dan fisiologis pada kehilangan
aktual yang di rasakan (obyek, orang, fungsi status, hubungan).
b. Batasan Karakteristik Mayor:
Individu melaporkan kehilangan aktual atau yang dirasakan (orang, obyek,
fungsi, status dan hubungan antar manusia)
c. Batasan Karakteristik Minor:
Menyangkal, Rasa Bersalah, Kemarahan, Keputusasaan, perasaan tidak
berharga, pikiran bunuh diri, menangis, perilaku ingin tahu/ menyelidik,
delusi, pobia, anergia, tidak mampu berkonsentrasi, halusinasi dan
perasaan merana
d. Faktor yang berhubungan:
Banyak situasi dapat menunjang perasaan kehilangan, seperti:
1) Berhubungan dengan kehilangan fungsi atau kemandirian sekunder
akibat neurologis, kardiovaskuler, sensoris, muskuloskeletal,
digestif, trauma, ginjal.
2) Situasional
3) Berhubungan dengan efek negatif dari kehilangan
4) Berhubungan dengan kehilangan dala gaya hidup yang berkaitan
dengan kelahiran anak, perkawinan, perpisahan, perceraian, anak
akan meninggalkan rumah, pension
5) Berhubungan dengan kehilangan hal-hal yang normal sekunder
akibat kecacatan, jaringan parut, penyakit
6) Berhubungan dengan perubahan yang menyertai penuaan: teman-
teman, fungsi tubuh, pekerjaan, rumah
7) Berhubungan dengan kehilangan harapan atau mimpi
2. Berduka disfungsional
a. Definisi:
Sesuatu respon terhadap kehilangan yang nyata maupun yang dirasakan
dimana individu tetap terfiksasi dalam satu tahap proses berduka untuk
suatu periode waktu yang terlalu lama, atau gejala berduka yang normal
menjadi berlebih-lebihan untuk suatu tingkat yang mengganggu fungsi
kehidupan.
15
b. Batasan Karakteristik
Idealisasi kehilangan (konsep)
Mengingkari kehilangan
Kemarahan yang berlebihan, diekspresikan secara tidak tepat
Obsesi-obsesi pengalaman-pengalaman masa lampau
Merenungkan perasaan nersalah secara berlebihan dan dibesar-basarkan
tidak sesuai dengan ukuran situasi
Regresi perkembangan
Gangguan dalam konsentrasi
Kesulitan dalam mengekspresikan kehilangan
Afek yang labil
Kelainan dalam kebiasaan makan, pola tidur, pola mimpi, tingkat
aktivitas, libido.
c. Faktor yang berhubungan dengan:
Kehilangan yang nyata atau dirasakan dari beberapa konsep nilai untuk
individu
Kehilangan yang terlalu berat (penumpukan rasa berduka dari kehilangan
multiple yang belum terselesaikan)
Menghalangi respon berduka terhadap suatu kehilangan
Tidak adanya antisipasi proses berduka
Perasaan bersalah yang disebabkan oleh hubungan ambivalen dengan
konsep kehilangan.
3. Berduka adaptif
a. Definisi:
Keadaan ketika seseorang individu/kelompok mengalami reaksi-reaksi
dalam berespon terhadap ancaman kehilangan bermakna.
b. Batasan karakteristik mayor:
Mengekspresikan distres pada kehilangan potensial
c. Batasan karakteristik minor:
Menyangkal, rasa bersalah, kemarahan, penderitaan, perubahan kebiasaan
makan, perubahan dalam pola tidur, perubahan dalam pola sosial,
perubahan dalam pola komunikasi, penurunan libido
d. Faktor yang berhubungan: lihat berduka
4. Berduka Maladaptif
a. Definisi:
Keadaan ketika seseorang individu atau kelompok mengalami berduka
yang berkepanjangan dan terlibat dalam aktivitas yang menyimpang
16
b. Batasan karakteristik mayor:
Ketidakberhasilan adaptasi dengan kehilangan
Depresi, menyangkal yang berkepanjangan
Reaksi emosional yang labat
Tidak mampu menerima pola kehidupan yang normal
c. Batasan karakteristik minor:
Isolasi sosial atau menarik diri
Gagal untuk mengembangkan hubungan atau minat baru
Gagal untuk menyusun kembali kehidupan setelah kehilangan
d. Faktor yang berhubungan
1) Tidak tersedia (kurangnya sistem pendukung)
2) Pendapat negatif orang lain tentang kehilangan
3) Riwayat kesulitan berhubungan dengan orang yang meninggal atau
benda
4) Kehilangan multipel pada masa lalu atau kini
5) Riwayat ketidakefektifan strategi koping
6) Kematian yang tidak diharapkan
7) Pengharapan untuk menjadi kuat
8) Riwayat adanya kehilangan yang tidak terselesaikan
9) Respon berduka terhalang sekunder akibat peran, tanggung jawab
pekerjaan
C. Rencana intervensi
1. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial)
1) Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan
2) Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan
kehilangan pasien secara emosional
3) Dengarkan pasirn dengan penuh pengertian. Jangan menghukum dan
menghakimi
4) Jelaskan bahwa sikap pasien dalah suatu kewajaran pada individu
yang mengalami kehilangan
5) Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan, menepuk
bahu dan merangkul
6) Jawab pertanyaan pasien dengan bahasa yang sederhana, jelas, dan
singkat
7) Amati dengan cermat respon psien selama bicara
2. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger)
1) Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan (marah, menangis)
2) Dengarkan dengan empati, jangan mencela
17
3) Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung
3. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar (bergaining)
1) Amati perilaku pasien
2) Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien
3) Tingkatkan harga diri pasien
4) Cegah tindakan merusak diri
4. Prinsip intervensi kperawatan pada tahap depresi
1) Observasi perilaku pasien
2) Diskusikan perasaan pasien
3) Cegah tindakan merusak diri
4) Hargai perasaan pasien
5) Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif
6) Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan
7) Bahas pikiran yang timbul bersama pasien
5. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan
1) Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien
2) Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa
18
e. Membantu pasien memasukkan kegiatan dalam jadwal harian
f. Kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa di puskesmas
19
badannya lemah, tidak bertenaga, dan sering kali jatuh sakit. Pikiran Tn.S
terganggu, konsentrinya turun, bingung dan rasa tidak percaya membuat
emosinya menjadi labil. Tn.S merasakan kesedihan yang mendalam, dan
Tn.S menjadi tidak percaya diri dalam menjalani kehidupannya. Tn.S belum
mampu menyesuaikan diri dan malu untuk bersosialisasi dengan
lingkungannya akiat kejadian yang telah dialaminya.
3.2.2 Pengkajian
1. Identitas
Initial : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 22 tahun
Informan : Tn.S
2. Keadaan saat ini
Tn.S (22tahun) tinggi badan 170 cm berat badan 70 kg berkulit dan
berambut hitam. Kegiatan sehari-harinya adalah sebagai seorang
mahasiswa. Tn. S saat ini mengalami kesedihan yang mendalam
3. Faktor Predisposisi
Perceraian kedua orang tua membuat Tn.S sedih yang mendalam
dan merasa kehilangan
4. Faktor presipitasi
Kematian Ayah Tn.S yang tidak berselang lama dari perceraian
kedua orang tuanya membuat Tn.S semakin merasa sedih yang
berkepanjangan.
5. Fisik
a. Ukur
TB : 170 cm
BB : 70 kg
b. Keluhan fisik : Ya
Jelaskan:
Tn.S mengatakan semenjak perceraian kedua orang tua dan
kematian ayahnya Tn.S tidak nafsu makan, badannya lemah,
tidak bertenaga, dan sering kali jatuh sakit
Masalah Keperawatan:
Resiko ketidakseimbangan nutrisi; kurang dari kebutuhan
tubuh
20
6. Psikososial
a. Genogram
X : Ayah
X
: Ibu
: Tn. S
Jelaskan: Ayah dan Ibu Tn.S telah bercerai dan Ayahnya juga telah
meninggal dunia. Oleh karena itu sekarang Tn.S hidup bersama
Ibunya
b. Konsep diri
1) Gambaran diri : -
2) Identitas : Tn. S adalah anak tunggal. Setelah perceraian
orang tua dan kematian ayahnya Tn.S merasa tidak
percaya diri dan malu untuk bersosialisasi dengan
lingkungan.
3) Peran : -
4) Ideal diri : -
5) Harga diri: Tn.S merasa malu untuk bersosialisasi kare
perceraian dan kematian orang tuanya
Masalah Keperawatan:
1. Gangguan konsep diri; harga diri rendah situasional
7. Status mental
a. Penampilan: Tn.S berpakaian rapi
b. Alam perasaan: sedih, kecewa, marah, dan cemas karena
perceraian dan kematian orang tuanya
c. Tingkat kesadaran: sadar
d. Tingkat konsentrasi: menurun, tidak fokus
8. Mekanisme koping
Tn.S dalam tahap denial, yang ditandai dengan reaksi awal pasien
saat perceraian orang tuanya. Pasien mengatakan bahwa sejak
perceraian dan kematian orangtuanya ia tidak nafsu makan, kondisi
badan lemah, dan sering kali jatuh sakit. Pikiran Tn.S terganggu,
konsentrinya turun, bingung dan rasa tidak percaya membuat
21
emosinya menjadi labil. Tn.S merasakan kesedihan yang
mendalam, dan Tn.S menjadi tidak percaya diri dalam menjalani
kehidupannya.
9. Masalah psikososial dan lingkungan
Tn. S merasa kurang percaya diri untuk bersosialisasi karena
perceraian kedua orang tuanya dan kematian ayahnya dan ia perlu
menyesuaikan diri dengan kondisi yang dialaminya.
22
3.2.3 Pohon Masalah
Perceraian dan
Kematian Ayah
23
3.2.4 Diagnosa Keperawatan
1. Berduka b.d kehilangan aktual
2. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kehilangan
aktual, ketidakmampuan diri untuk bersosialisasi dengan lingkungan
3. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan nafsu makan menurun
24
caregiver’s sesuai kebutuhan
e. Membuat pernyataan positif
tentang upaya pemberi perawatan
f. Memberikan dukungan untuk
keputusan yang diambil oleh
caregiver’s
g. Memberikan informasi tentang
kondisi pasien sesuai dengan
preferensi pasien
h. Memantau interaksi keluarga
terkait dengan perawatan pasien
i. Ajarkan caregiver’s terapi pasien
sesuai dengan kondisi pasien
j. Ajarkan teknik mengasuh pasien
agar dapat meningkatkan
keamanan pasien
k. Pantau indicator stress
l. Ajarkan pasien untuk
mempertahankan kesehatan fisik
dan mentalnya
m. Berikan dukungan kepada pasien
25
BAB IV
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
27