Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KESEJAHTERAAN HEWAN

Pengaplikaasian Kesejahteraan Hewan Pada RPH (Rumah Potong Hewan) Sapi Di


Indonesia

Oleh :

Arohman Yogi Atiawan 19741015

PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK

JURUSAN PETERNAKAN
POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita
semua. Berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah
kesejahteraan hewan yang berjudul “Pengaplikaasian Kesejahteraan Hewan Pada RPH
(Rumah Potong Hewan) Sapi Di Indonesia“ dengan tepat waktu.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
Dosen Produksi Ternak Perah bapak Neko Fiffiandi, S.Pt., M.Si yang telah
membimbing dalam menulis makalah ini.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya laporan
makalah ini nantinya dapat menjadi laporan makalah yang lebih baik lagi. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan baik untuk penulis maupun
pembaca.

Bandar Lampung, 7 Desember 2021


Penulis

Arohman Yogi Atiawan


NPM. 19741015

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................iii
BAB I.....................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang........................................................................................................4
1.2 Rumusan masalah...................................................................................................5
1.3 Tujuan.....................................................................................................................5
1.4 Manfaat...................................................................................................................6
BAB II...................................................................................................................................7
PEMBAHASAN....................................................................................................................7
2.1 Penanganan Sapi Sebelum Pemotongan.................................................................7
2.2 Prosedur Kesejahteraan Hewan pada Tahapan Unloading.....................................8
2.3 Prosedur Kesejahteraan Hewan pada Tahapan Penyembelihan...........................12
BAB III................................................................................................................................22
PENUTUP...........................................................................................................................22
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................23

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah suatu bangunan atau kompleks


bangunan dengan desain tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan hewan
selain unggas bagi konsumsi masyarakat umum (Peraturan Menteri Pertanian Republik
Indonesia, 2010). Rumah pemotongan hewan memiliki peranan penting sebagai mata
rantai untuk memperoleh daging yang baik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
menerapkan kesejahteraan hewan (animal welfare) dengan standar operasi prosedur pada
setiap RPH mulai dari hewan diturunkan dari truk sampai proses penyembelihan dengan
baik dapat menghindari hewan sakit dan menderita (Stoochi, et al., 2014).

Animal welfare merupakan suatu usaha kepedulian yang dilakukan oleh manusia
untuk memberikan kenyamanan kehidupan terhadap hewan. Manusia sebaiknya mampu
bertanggung jawab terhadap seluruh hewan yang hidup dipelihara maupun hidup liar.
Selayaknya manusia, hewan juga mempunyai perasaan kebosanan, kenyamanan,
kesenangan, atau penderitaan (Eccleston, 2009). Konsep animal welfare memiliki lima
aspek kebebasan hewan yang telah dan harus diterapkan untuk meningkatkan kualitas
hidup bagi semua hewan yakni kebebasan dari kelaparan dan kehausan, kebebasan dari
ketidaknyamanan, kebebasan dari kesakitan, cedera dan penyakit, kebebasan untuk
mengekspresikan tingkah laku secara alamiah, kebebasan dari ketakutan dan stres (Main,
2003).

Salah satu kejadian yang belum sejalan dengan animal welfare yakni pada sebagian
proses di RPH sudah diabaikan atau terlupakan dimana salah satu contoh ialah hewan
yang akan disembelih jarang untuk diistirahatkan dan setelah datang langsung melakukan
penyembelihan yang tentunya melanggar ketentuan animal welfare dimana saat ini
merupakan isu penting (Susanto, 2011). Pengabaian kesejahteraan hewan pada hewan
ternak dan hewan potong akan menimbulkan ketakutan, stres dan rasa sakit. Keadaan ini
seringkali terjadi selama proses penyembelihan, pengangkutan, pemasaran dan persediaan
pakan dan minum yang buruk (Wahyu, 2010).

Efek stres pada hewan sebelum dipotong akan berdampak buruk pada kualitas
karkas yang disebut Dark Firm Dry (DFD) yang terjadi akibat dari stres pre-slaughter
4
sehingga mengosongkan persediaan glycogen pada otot. Keadaan ini menyebabkan kadar
asam laktat pada otot berkurang dan meningkatkan pH daging melebihi dari normal. Pada
kondisi seperti ini maka proses post-mortem tidak berjalan sempurna terlihat pada warna
daging lebih gelap, kaku dan kering. pH daging yang tinggi akan mengakibatkan daging
lebih sensitif terhadap tumbuhnya bakteri. Dark Firm Dry (DFD) Beef adalah indikator
dari stres, luka, penyakit atau kelelahan pada sapi sebelum disembelih. Pemeriksaan
daging dapat menunjukkan kesehatan hewan, sehingga mengurangi risiko penyakit dan
meningkatkan produksi daging (EFSA, 2013).

Terdapatnya kasus yang belum memenuhi animal welfare juga dapat berdampak
terhadap hubungan internasional yang terjadi beberapa waktu lalu dengan adanya
penghentian impor sapi secara sementara oleh pihak dari Australia sehingga membuat
kaget pihak Indonesia. Kasus tersebut berawal dengan adanya penayangan di sebuah acara
tentang penyiksaan ternak sapi asal Australia di beberapa RPH di Indonesia (Agustiar,
2014). Masalah tentang kesejahteraan hewan yang kurang diterapkan dengan baik di
rumah pemotongan hewan, diangkat sebagai latar belakang permasalahan dalam kegiatan
Magang Kerja Industri ini. Permasalahan kesejahteraan hewan tersebut diharapkan dapat
diperbaiki sehingga kedepannya tidak ada penyiksaan hewan dan produk yang dihasilkan
akan memiliki kualitas yang baik.

1.2 Rumusan masalah

Adapun perumusan masalah dalam makalah ini:

1. Bagaimana proses pemotongan hewan di RPH Kaliwates?


2. Bagaimana proses penerapan kesejahteraan hewan (animal welfare) di RPH?
3. Bagaimana cara penerapan kesejahteraan hewan (animal welfare) yang baik di
RPH?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari adanya makalah ini:
1. Untuk mengetahui proses pemotongan hewan di RPH
2. Untuk mengetahui proses penerapan kesejahteraan hewan (animal welfare) di RPH
3. Untuk menganalisa cara penerapan kesejahteraan hewan (animal welfare) di RPH

5
1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari makalah ini:

1. Mengetahui kondisi dunia kerja secara nyata sehingga mahasiswa dapat


mempersiapkan diri dalam memasuki dunia kerja pasca lulus dari Politeknik
Negeri Lampung
2. Memberikan kontribusi dalam pelaksanaan, pengembangan dan sebagai sarana
dalam menghadapi masalah yang terjadi dalam kegiatan praktis yang berhubungan
dengan Teknologi Pengolahan Hasil Ternak.

6
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Penanganan Sapi Sebelum Pemotongan

Sapi merupakan salah satu hewan mamalia berdarah hangat yang dapat merasakan
sakit serta memiliki emosi atau rasa takut sebagai bagian dari sistem otak hewan yang
dapat menyebabkan stres sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas
hasil pemotongan (Chambers & Grandin, 2001). Kunci utama pemotongan yang baik
terletak pada penanganan hewan sebelum pemotongan. Penanganan yang benar akan
membantu meningkatkan keamanan dan keselamatan para pekerja RPH karena hewan
besar cukup berbahaya jika berontak saat penanganan sebelum pemotongan (Grandin,
1996).

Soeparno (1998) menyatakan bahwa salah satu penerapan kesejahteraan hewan


sebelum disembelih adalah hewan harus tidak dalam keaadaan lelah atau habis
dipekerjakan. Hewan yang terlalu lelah ketika di potong dapat mengakibatkan
pengeluaran darah tidak maksimal dan mengakibatkan kualiatas karkas ternak menjadi
menurun. Penanganan pemotongan hewan yang manusiawi menjadi hal yang sangat
penting karena dapat mengurangi penderitaan hewan, tetapi juga dapat meningkatkan
kualitas dan nilai daging serta produk sampingan daging lainnya, sehingga menjamin
keamanan pangan dan berpengaruh terhadap pendapatan negara. Berdasarkan pada
kenyataannya banyak negara berkembang belum optimal melakukan pengembangan dan
pelaksanaan aturan-aturan penanganan hewan yang manusiawi. Hal tersebut berakibat
pada kondisi dan perlakuan yang kasar pada saat penanganan hewan sehingga
menyebabkan penderitaan pada hewan (Chambers & Grandin, 2001).

Hewan yang akan dipotong harus diistirahatkan di kandang sementara terlebih


dahulu supaya hewan menjadi lebih tenang sehingga hewan lebih mudah ditangani dan
tidak diperlakukan kasar. Hewan yang sudah diistirahatkan di kandang sementara
selanjutnya digiring dalam jalur (gang way) menuju tempat pemotongan. Lebar jalur
tersebut berukuran 76 cm atau disesuaikan dengan jenis hewan. Jalur tersebut dibuat
supaya hewan lebih tenang dan lebih mudah masuk ke dalam restraining box (Grandin,
2001).

7
Proses pengendalian hewan sebelum pemotongan yang tidak benar akan
menimbulkan rontaan pada hewan sehingga hewan akan mengalami memar akibat
terbanting ke lantai (Meischke & Horder, 1976). Penanganan hewan sebelum pemotongan
juga berkaitan dengan kesempurnaan proses pengeluaran darah. Pengeluaran darah yang
tidak sempurna akan menyebabkan darah tertahan di jaringan. Darah yang terakumulasi di
jaringan akibat pengeluaran darah postmortem yang tidak sempurna akan menyebabkan
masa simpan daging yang pendek, warna daging yang kusam, dan cemaran bakteri daging
(Chrystall, et al., 1981). Penanganan kesejahteraan hewan yang salah juga mengakibatkan
akumulasi darah, sehingga darah terakumulasi di ruang toraks, ruang abdominal, hati, dan
jantung (Warriss, 1984).

Prosedur penanganan ternak sebelum pemotongan harus diperhatikan dengan baik


karena merupakan tahapan pertama kesejahteraan hewan di rumah pemotongan.
Penerapan kesejahteraan hewan yang baik dapat meminimalkan hewan cidera dan stres,
sehingga kualitas daging dapat dipertahankan (Wahyu, 2010).

2.2 Prosedur Kesejahteraan Hewan pada Tahapan Unloading


a) Tahapan Penurunan (Unloading) Ternak

Transportasi ternak atau pengiriman ternak sangat penting dalam proses


penyembelihan yang akan dilakukan karena mengingat akan kesejahteraan hewan
(mencegah hewan stres dan memperhatikan kesejahteraan hewan) serta jika penanganan
yang salah dapat mengakibatkan kerugian ekonomi serta potensi kerugian – kerugian
produksi seperti kematian, dehidrasi dan kualitas daging. Hal – hal yang harus
diperhatikan dalam pengangkutan ternak adalah metode memuat dan menurunkan hewan
yang baik, faktor kelelahan dan lama waktu perjalanan, serta pencegahan terhadap gejala
dehidrasi terhadap hewan ternak. Faktor kelelahan dan lama perjalanan dapat
menyebabkan ternak stres dan dehidrasi, dampak dari adanya hal tersebut mangakibatkan
daging yang dihasilkan memiliki kualitas yang kurang baik. Proses unloading juga dapat
mengakibatkan ternak stres dan mengalami cidera. Penanganan unloading yang salah
mengakibatkan ternak mengalami patah kaki, apabila ternak tidak diturunkan melalui
ramp (Fraser, 2008).

Sugeng (2003) menyatakan bahwa prinsip penanganan hewan saat unloading


meliputi:

8
1) Tetap tenang dan mempertahankan kendali selama penanganan.
2) Turunkan ternak dari truk dalam kelompok.
3) Biarkan ternak mengamati lingkungan dan turun truk dengan sendirinya.
4) Gunakan alat bantu apabila diperlukan dan hilangkan gangguan yang ada.
5) Pencahayaan yang baik (pindahkan hewan dari gelap ke terang).
6) Desain fasilitas unloading harus baik dan meminimalkan terjadinya cedera pada
hewan ternak (lantai tidak licin).

Meat and Livestock Australia (2012) memaparkan bahwa prinsip penanganan


membongkar hewan dari truk sebagai berikut:

1) Hewan harus diturunkan di RPH dalam waktu sejam setelah sampai. Standar
rumah potong hewan yaitu hewan harus disembelih dalam urutan kedatangan
mereka untuk membuat pergerakan ke lapangan lebih lancar dan membatasi waktu
di kandang penampungan.

2) Jika hewan harus diinapkan, periksa persyaratan makanan dan air dalam
lairage/kandang penampungan di rumah potong hewan sehingga hewan tidak
kelaparan dan kehausan.

3) Truk harus dimundurkan perlahan-lahan dan dengan tenang ke ramp


pembongkaran.

4) Pastikan bahwa truk lurus dengan ramp sehingga tidak ada celah.
5) Pembongkaran harus dilakukan hanya oleh personel yang berpengalaman dan
terampil.

6) Biarkan hewan untuk keluar dari truk dengan kecepatan berjalan mereka sendiri,
khususnya jika lantai truk tidak dibuat dari bahan anti selip.

7) Jangan berdiri di depan hewan atau di hadapan pandangan mereka langsung karena
hal ini dapat menghentikan mereka bergerak keluar dari truk. Berdiri pada satu sisi
akan mendorong gerakan hewan.

9
8) Amati setiap hewan ketika berjalan terhadap tanda-tanda kepincangan dan cedera.
Hewan yang mengalami cidera harus segera dipotong pada truk apabila aman
untuk dilakukan penyembelihan.

9) Agar penanganan lebih mudah, usahakan hewan tetap dalam kelompok yang sama
ketika memindahkan mereka ke feedlot atau kandang penampungan.

10) Cattle talker (tongkat penggiring) dapat digunakan untuk mendorong


pergerakan sapi tetapi tidak digunakan untuk memukul hewan.

11) Stockman (pengurus hewan) tidak seharusnya membawa atau


menggunakan alat kejut listrik secara rutin. Alat kejut listrik digunakan hanya jika
stockman dalam keadaan bahaya.

12) Setelah pembongkaran, pindahkan hewan ke feedlot atau kandang dan


fasilitas kandang penampungan menurut persyaratan pelanggan dan instruksi dari
supervisor di RPH.

13) Pertimbangkan dampak mencampur kelompok-kelompok (jenis kelamin)


yang berbeda ketika menempatkan hewan pada kandang karena dapat
menyebabkan ternak bertarung.

14) Prosedur rumah potong hewan, apabila terdapat gangguan berkepanjangan,


hentikan pengiriman untuk memastikan adanya ruang yang cukup bagi hewan di
kandang penampungan.

Putri (2011) menyatakan bahwa kesejahteraan hewan pada RPH di Indonesia masih
kurang diperhatikan, terutama saat proses hewan ternak diangkut. Pengangkutan hewan
ternak sering kali memakan waktu lama sehingga ternak mengalami stres di dalam
perjalanan. Kapal laut, truk maupun kereta api pengangkut ternak tidak dirancang baik dan
pemuatannya melebihi kapasitas tampung. Penyediaan pakan dan minuman sepanjang
pengangkutan juga tidak memadai.

Perlakuan para pekerja di RPH juga tidak mengindahkan standar kesejahteraan hewan
seperti adanya kekerasan terhadap hewan ternak sebelum disembelih menjadi salah satu
masalah pada RPH yang umumya sering terjadi (Kusumawardhani, 2011). Nasution
(2003) menyatakan bahwa hal ini mungkin disebabkan kurangnya pengetahuan tentang

10
kesejahteraan hewan maupun kurangnya pengawasan. Putri (2011) selanjutnya
menambahkan bahwa peralatan bongkar muat dan penanganan ternak juga kurang
memadai dalam upaya menghindari kemungkinan ternak terluka, memar, atau mengalami
kecelakaan yang menyebabkan patah tulang atau kehilangan tanduk serta cidera lainnya.

Penelitian Wenno, dkk (2015) sebelumnya menyatakan bahwa penyebab terjadinya


penyimpangan kesejahteraan hewan pada proses unloading banyak disebabkan kareana
dua faktor yaitu kurangnya ilmu dan pemahaman masyrakat tentang kesejahteraan hewan
(animal welfare) serta kondisi fasilitas ramp di rumah pemotongan yang kurang
mendukung.

b) Tahapan Pengistirahatan Ternak

Sugeng (2003) menyatakan bahwa semua sapi yang akan dipersiapkan untuk
dipotong harus diperlakukan dengan baik sesuai prosedur kesejahteraan hewan. Sapi harus
ditempatkan di tempat tertentu yang cukup tenang dan nyaman untuk sapi beristirahat.
Sapi harus diberi kesempatan beristirahat yang cukup agar 19 sapi tidak stres. Sapi yang
datang dari luar daerah yang jauh harus diistirahatkan terlebih dahulu agar tidak tertekan.
Sapi yang mengalami perlakuan kasar akan mengakibatkan ternak merasa stres dan
tertekan. Sapi juga harus memperoleh jaminan makanan dan minuman sehingga
penurunan berat badan dan kerusakan karkas bisa dihindari. Kondisi hewan yang kurang
istirahat sebelum disembelih dan terutama pada kondisi stres atau kelelahan akan
mempercepat terbentuknya rigormortis (mengeras).

Ternak sebelum disembelih sebaiknya dipuasakan dahulu selama 12 sampai 24


jam. Ternak diistirahatkan mempunyai maksud agar ternak tidak stres, darah dapat keluar
sebanyak mungkin dan cukup tersedia energi agar proses rigormortis berjalan sempurna
(Soeparno, 1992). Pengistirahatan ternak penting karena ternak yang habis dipekerjakan
jika langsung disembelih tanpa pengistirahatan akan menghasilkan daging yang berwarna
gelap yang biasa disebut dark cutting meat, karena ternak mengalami stres (Beef Stres
Syndrome), sehingga sekresi hormon adrenalin meningkat yang akan menggangu
metabolisme glikogen pada otot (Smith, et al., 1978).

Ternak diistirahatkan harus selalu mendapatkan air minum dan diberikan secara ad
libitum, minimal 20% ternak dapat minum bersamaan. Lantai kandang penampungan di
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) bisa diberi jerami atau serbuk gergaji karena sangat

11
penting sebagai lapisan anti selip pada lantai dan menyerap urin atau feses sehingga tubuh
ternak tidak terlalu kotor dan mudah dibersihkan sebelum proses pemotongan (Meat and
Livestock Australia, 2012). Pengistirahatan ternak dapat dilaksanakan dengan pemuasaan
atau tanpa pemuasaan. Pengistirahatan dengan pemuasaan mempunyai maksud untuk
memperoleh berat tubuh kosong (BTK = bobot tubuh setelah dikurangi isi saluran
pencernaan, isi kandung kencing dan isi saluran empedu) dan mempermudah proses
penyembelihan bagi ternak agresif dan liar. Pengistirahatan tanpa pemuasaan bertujuan
untuk memaksimalkan pengeluaran darah sebanyak mungkin saat proses pemotongan
berlangsung serta untuk meminimalisir stres dan agar berat tubuh ternak tidak mengalami
banyak penurunan (Soeparno, 1992).

Ternak tidak diistirahatkan akan berpengaruh pada kualitas karkas dan apabila
kualitas karkas buruk/rusak maka nilai ekonomis dari daging tersebut juga akan menurun
(Chambers & Grandin, 2001).

Pengendalian hewan sebelum pemotongan juga harus menerapkan aspekaspek


yang telah lama dikenal dengan lima kebebasan atau "five freedoms” untuk merefleksikan
kesejahteraan hewan, dimana pertama kali dinyatakan oleh Farm Animal Welfare Council
pada tahun 1992 (FAWC, 1992). Aspek-aspek tersebut harus diterapkan terutama pada
tahapan pengistirahtan.

c) Tahapan Penggiringan Ternak ke Tempat Pemotongan

Penggiringan ternak ke dalam tempat pemotongan harus diperlakukan seperti


ketika ternak akan diistirahatkan ke dalam kandang, yaitu dimana ternak harus melewati
gang way agar ternak dengan mudah masuk ke dalam rumah ptong. Kondisi gang way
harus memenuhi persyaratan dimana kondisinya harus nyaman, lantai tidak licin, tidak
menyiku, serta hewan dapat bergerak dengan leluasa. Lebar gang way harus bisa dilewati
ternak besar atau kecil sehingga ternak yang ukurannya besar dapat melewati gang way
dengan bebas. Penggiringan hewan ke gang way diharapkan dapat melakukan animal
welfare atau tanpa kekerasan pada hewan. Ternak yang akan disembelih umumnya
cenderung aktif, namun jika ternak dilewatkan melalu gang way maka daya gerak ternak
dapat terkontrol sehingga tidak harus dipaksa untuk masuk ke dalam rumah potong
(Hidayat, 2013).

12
Proses penggiringan yang sesuai dengan SOP kesejahteraan hewan, bahwa proses
penggiringan dari kandang penampungan yang baik adalah ternak dibiarkan berjalan
sendiri ke tempat penyembelihan, serta pemaksaan ternak, penggunaan alat kejut listrik
dan memukul ternak sebaiknya di hindari karena dapat menyebabkan ternak ketakutan dan
stres (Meat and Livestock Australia, 2012).

2.3 Prosedur Kesejahteraan Hewan pada Tahapan Penyembelihan

Penyembelihan hewan memiliki peranan penting dalam mempertahankan kualitas


daging/ karkas yang dihasilkan. Hal tersebut terkait dengan kerja fisiologis hewan,
perubahan-perubahan baik fisik maupun biokimia segera setelah disembelih. Pemotongan
adalah salah satu bagian dari proses penanganan hewan di RPH. Proses tersebut sapi
disembelih pada bagian leher dengan memotong arteri carotis, vena jugularis, trakea, dan
esofagus (Soeparno, 1994).

Pisau pemotong harus selalu diasah karena pisau yang tumpul akan
memperpanjang proses pemotongan dan saluran darah tidak terpotong dengan baik. Hal
tersebut akan mengakibatkan penggumpalan darah yang dapat menyumbat saluran darah
sehingga proses pengeluaran darah akan lebih lambat sedangkan proses harus berlangsung
cepat dan tepat (Grandin, 2001). Cara penyembelihan hewan sesuai prosedur kesejahteraan
hewan adalah hewan disembelih secara langsung dengan alat penyembelihan yang tajam.
Prinsip penyembelihan hewan adalah bahwa hewan harus disembelih secepat mungkin dan
rasa sakit diusahakan seminimal mungkin untuk mempercepat ternak mati total (Swatland,
et al., 1984).

Peningkatan kualitas daging penting untuk dilakukan. Penurunan tingkat rasa sakit
berkaitan dengan peningkatan kualitas daging (Warriss, 1984). Perlakuan yg kasar dalam
penanganan pemotongan hewan akan menyebabkan stres pada hewan dan menghasilkan
kualitas daging yang rendah. Penanganan hewan saat pemotongan harus diatur dengan
baik untuk mempertahankan standar yang berkualitas karena kesejahteraan hewan
merupakan bagian dari kualitas daging. Salah satu karakteristik kualitas daging adalah
daya ikat air (water holding capacity/water binding capacity) yang dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor dan menentukan karakteristik kualitas daging lainnya (Grandin, 2001).

Cara penyembelihan hewan sesuai prosedur kesejahteraan hewan adalah hewan


disembelih secara langsung dengan alat penyembelihan yang tajam. Prinsip
13
penyembelihan hewan adalah bahwa hewan harus disembelih secepat mungkin dan rasa
sakit diusahakan seminimal mungkin untuk mempercepat ternak mati total (Swatland, et
al., 1984).

Peningkatan kualitas daging penting untuk dilakukan. Penurunan tingkat rasa sakit
berkaitan dengan peningkatan kualitas daging (Warriss, 1984). Perlakuan yg kasar dalam
penanganan pemotongan hewan akan menyebabkan stres pada hewan dan menghasilkan
kualitas daging yang rendah. Penanganan hewan saat pemotongan harus diatur dengan
baik untuk mempertahankan standar yang berkualitas karena kesejahteraan hewan
merupakan bagian dari kualitas daging. Salah satu karakteristik kualitas daging adalah
daya ikat air (water holding capacity/water binding capacity) yang dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor dan menentukan karakteristik kualitas daging lainnya (Grandin, 2001)

a) Tahapan persiapan proses penyembelihan

Tahapan persiapan pemotongan umunya dimulai pada persiapan peralatan yang


akan digunakan untuk memotong ternak. Peralatan yang digunakan harus dibuat
sesederhana mungkin dan mudah untuk dibersihkan, selain itu peralatan di RPH juga
diharuskan terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat (Sanjaya dkk, 2007).
Pembersihan alat-alat cukup dilakukan dengan air yang dibubuhi desinfektan, desinfektan
yang sering digunakan di Indonesia adalah senyawa khlor. Semua alat terbuat dari bahan
yang tidak mudah korosif dan mudah dibersihkan, alat yang langsung bersentuhan dengan
daging tidak bersifat toksik. Rumah potong sebaiknya dilengkapi dengan rel dan alat
penggantung karkas, dan tempat khusus untuk membersihkan jeroan ternak. Pembersihan
jeroan harus dipisahkan dari karkas agar karkas terhindar dari kontaminasi bakteri yang
berasal dari kotoran ternak. Kontaminasi bakteri pada karkas dapat mengakibatkan karkas
menjadi cepat busuk (Departemen Pertanian, 2010).

Swacita (2013) menyatakan bahwa kesejahteraan hewan harus memperhatikan


kenyamanan, kesenangan maupun kesehatan dari hewan. Hal yang harus diperhatikan
pada proses penyembelihan sesuai dengan penerapan animal welfare, yaitu:

1) Sebelum hewan dipotong seluruh peralatan dan ruang pemotongan harus sudah
siap dan bersih.

2) Sebelum hewan masuk ruang pemotongan harus dibersihkan dahulu dengan air
agar dalam proses selanjutnya kotoran tidak mencemari karkas/daging.
14
3) Sebelum hewan dipotong hewan harus ditimbang.
4) Proses memasukkan hewan ke dalam ruang pemotongan harus melalui gang way
dengan cara wajar, tidak secara kasar dan menimbulkan hewan kesakitan dan stress

Salah satu persiapan sebelum pemotongan yang harus disiapkan adalah dengan
menyiapkan segala peralatan baik tali yang akan digunakan ataupun pisau pemotongan.
Pisau pemotongan harus benar-benar tajam dan memiliki panjang yang sesuai untuk
pemotongan agar pemotongan dapat berlangsung dengan cepat sehingga ternak tidak akan
kesakitan (Soeparno, 1998).

b) Perebehan ternak

Caple, et al., (2010) menyatakan bahwa casting adalah cara merebahkan hewan
untuk tindakan medis, pembedahan ataupun penyembelihan. Proses casting/perbahan pada
sapi bisa menggunakan tali yang dililit kebagian extremity caudal (anggota gerak ke
bagian bawah) dari arah punggung kemudian ke arah 28 abdomen (perut) dan ditarik
secara berlahan sehingga sapi akan merebah perlahan. Casting pada sapi terdapat dua
metode, yaitu Burley Rope dan Squeese method. Adapun persyaratan yang harus
diperhatikan sebelum melakukan casting.

1) Berhati-hati, jangan sampai melukai sapi.


2) Tempat cukup lapang, rata, empuk, dan jauh dari pepohonan, tembok, batu/benda
lain yang membahayakan. Alas dibuat dari jerami kering/rumputyang kering,
usahakan di tempat yang teduh.
3) Tali yang digunakan cukup besar dan panjang kurang lebih 10 m.
4) Sediakan tenaga manusia 4-5 orang, satu untuk mengarahkan jatuhnya sapi,
sedangkan yang lain sebagai penarik tali.
5) Setelah sapi rebah, cepat dikuasai agar tidak berusaha berdiri kembali.
6) Sapi bunting sebaiknya jangan dilakukan.

Fieldservice (2016) menyatakan bahwa metode perebahan ternak yang paling


efektif untuk merobohkan termak adalah Burley Rope dan Rope Squezee. Metode casting
ini dirancang oleh Dr. D. R. Burley of Georgia. Metode ini memiliki banyak keuntungan
dibandingkan metode casting lainnya. Pertama, dalam metode ini tidak perlu untuk
mengikat tali di sekitar tanduk atau leher. Tali hanya melewati sekitar tubuh hewan yang
15
memakan waktu singkat. Kedua, metode ini tidak memberikan tekanan pada dada dan
dengan demikian tidak mengganggu kinerja dari jantung dan paru-paru. Ketiga, itu tidak
membahayakan organ genital sapi atau pembuluh mammae sapi. Pengendalian hewan
dilakukan dengan menahan kedua kaki belakang, diikat dengan ujung tali casting sehingga
hewan tidak dapat bergerak.

1) Burley rope

Ketika sapi telah terikat melalui bagian leher atau hidung, kemudian tarik potongan
tali ke belakang tepat di tengah punggung sapi. Ujung dari tali kemudian ditempatkan di
bagian depan kaki belakang dan melewati tulang dada. Masing-masing ujung tali terakhir
ditempatkan pada masing-masing bagian tubuh sapi dan yang kedua dilewatkan kembali
tepat diatas punggung. Masing-masing sisa ujung tali harus tepat berada dibawah antara
bagian dalam kaki belakang dalam dan tepat di bawah ambing, sebagaimana gambar
berikut

Tahapan pengikatan Keterangan


Ujung tali pertama dilewatkan pada leher
sapi, kemudian tarik melewati atas
punggung sapi dan dilewatkan ke bawah
abdomen. Ujung tali kemudian ditarik ke
belakang
Ujung tali lainnya juga ditarik seperti
prosedur pertama. Ujung tali tersebut
kemudian ditarik ke belakang secara
perlahan agar ternak bisa direbahkan.
Ujung tali dibawa mengelilingi kaki diatas
hock, melewati mata kaki dan kembali ke
fetlock sehingga tali berbentuk seperti
angka 8.
Proses mengikat kaki depan dibutuhkan tali
yang berat dan pendek atau diperlukan tali
yang panjangnya kurang lebih 2 meter.
Salah satu ujung tali diikat disekitar pastern
dengan clove hitch meninggalkan ujung tali
yang bebas.
16
Kaki depan tertekuk dan ujung panjang tali
dibawa ke depan dan melewati bawah tali
utama yang menurun dari sengkel.

Tali/kabel dilewatkan disekitar kaki depan


yang tertekuk hingga beberapa kali, dan
diikat membentuk simpul reefer untuk
ujung pendek pada bagian sengkel tersebut

2) Squeeze methdod

Tahapan Pengikatan Keterangan


Metodi ini merupakan metode perebahan
yang membebankan pada titik-titik berat
sapi. Pertama membuat lingkaran disekitar
leher sapi menggunakan simpul bowline,
dan ditempatkan seperti yang ditunjukkan
dalam gambar.
Lempar ujung tali tepat di atas punggung ke
sisi yang berlawanan, lakukan secara
berulang agar sapi mudah dirobohkan.

Tali dilewatkan melalui bagian bawah


tubuh sapi. Tali ditarik ke bagian bawah
tubuh sapi, ambil ujung tali kemudian ikat
tali didekat bowline untuk membentuk
setengah halangan tepat di belakang bahu.

17
Lempar ujung tali ke atas punggung sapi
lagi, lalu tarik tali ke bagian bawah tubuh
sapi kemudian buat halangan dengan
memasukkan ujung tali ke dalam bagian tali
terakhir dengan membentuk setengah
halangan tepat di bagian depan dari ambing.
Tarik tali secara perlahan untuk memaksa
sapi berbaring.Mengendalikan sapi setelah
dirobohkan kaki sapi bisa diikat, sehingga
sapi tidak akan banyak meronta ketika
disembelih

Perebahan/perobohan yang umumnya dilakukan oleh para jagal di rumah


pemotongan hewan di indonesia yaitu perebahan ternak dengan cara mengikat kaki sapi
dan memasukkan ke lubang-lubang besi di lantai rumah potong merupakan cara
perebahan ternak yang banyak dilakukan di Rumah-rumah Potong tradisional.
Penyembelihan dengan cara ini ternak direbahkan secara paksa dengan menggunakkan
tali temali yang diikatkan pada kaki-kaki ternak yang dihubungkan dengan ring-ring
besi yang tertanam pada lantai Rumah Potong, dengan menarik tali-tali ini ternak akan
rebah. Pada penyembelihan dengan sistem ini diperlukan waktu kurang lebih 3 menit
untuk mengikat dan merobohkan ternak. Perebahan ternak dengan cara ini kurang
efektif, karena pada saat ternak roboh akan menimbulkan rasa sakit karena ternak masih
dalam keadaan sadar (Kartasudjana, 2011).
Hewan yang terbanting ke lantai sesaat setelah perebahan, mengakibatkan rumen
menekan ke arah diafragma dan paru-paru sehingga proses bernapas menjadi sulit.
Selain itu penanganan hewan sebelum pemotongan yang tidak tepat, seperti teknik
perebahan yang kurang tepat dapat mengakibatkan memar bahkan luka. Teknik tersebut
membutuhkan desain peralatan pengendalian hewan yang baik agar tidak menimbulkan
kesakitan pada hewan. Sistem perebahan ternak yang baik untuk diaplikasikan pada
perebahan ternak yaitu Burley Rope dan Squezee Method. Aplikasi teknik ini
meminimalkan ternak cidera, karena dipaksa roboh secara perlahan (Grandin, 1996).

c) Tahapan proses penyembelihan dan penilain mati otak


18
Kartasudjana (2011) menyatakan bahwa pada pemotongan tradisional,
pemotongan dilakukan pada ternak yang masih sadar dan dengan cara seperti ini tidak
selalu efektif untuk menimbulkan kematian dengan cepat, karena kematian baru terjadi
setelah 3-4 menit. Lamanya waktu tersebut dapat mengakibatkan penderitaan bagi
ternak, dan tidak jarang ditemukan kasus bahwa dalam waktu tersebut ternak berontak
dan bangkit setelah disembelih. Guna menghindari hal tersebut, pengikatan tali pada
kaki dan tubuh hewan harus benar-benar baik dan kuat.
Penyembelihan seperti ini masih dianggap kurang berperikemanusiaan atau tidak
sesuai dengan kesejahteraan hewan, dikarenakan ternak akan mengalami kesakitan pada
saat proses pengikatan. Waktu yang diperlukan secara keseluruhan juga lebih lama
dibandingkan dengan cara pemotongan yang menggunakan pemingsanan. Pada saat
pemotongan diusahakan agar darah keluar dengan cepat dan sebanyak mungkin guna
menghindari rasa sakit pada ternak dan meminimalisir ternak bangun kembali setelah
penyembelihan.

Metode pelaksanaan pemotongan ternak yang berlaku di Indonesia ada dua cara
yaitu dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan. Metode dengan pemingsanan
biasanya dilakukan oleh RPH modern dan besar dan sebelum dilakukan pemotongan
terlebih dahulu diadakan pemingsanan agar ternak tidak stres dan aman bagi pemotong.
Aplikasi metode tanpa pemingsanan biasanya dilakukan di rumah potong tradisional,
penyembelihan dengan cara ini ternak direbahkan dengan paksa dengan tali yang
diikatkan pada kaki-kaki ternak yang dihubungkan dengan ring-ring besi pada rumah
potong tradisional, dengan menarik tali-tali ternak akan roboh. Perlakuan ini akan
menyebabkan ternak merasa sakit karena masih sadar (Kartasudjana, 2001).
Proses penyembelihan harus tidak terlalu lama atau ternak harus cepat mati,
sehingga tidak tersiksa terlalu lama. Guna memperoleh waktu singkat maka sebaiknya
menggunakan pisau yang tajam sehingga penyembelihan ternak berlangsung cepat dan
tepat dan pengeluaran darah juga akan semakin singkat. Ternak disembelih oleh modin,
yang menghadap kiblat, sehingga kepala ternak ada di sebelah selatan dan ekor
disebelah utara. Selama proses penyembelihan,

19
setelah bagian kulit, otot, arteri karotis, vena jugularis, trachea dan esophagus terpotong,
dilakukan pengeluaran darah dengan pisau (Soeparno, 1994).
Rushen (1996) menyatakan bahwa penanganan ternak yang tidak memperhatikan
kaidah kesejahteraan hewan menyebabkan rasa sakit dan berefek pada perilaku ternak itu
sendiri. Penilaian kematian hewan yang sempurna dapat mendukung adanya penerapan
animal welfare dan menjaga keselamatan petugas. Penting untuk memastikan reflek
kornea negatif, yaitu dengan waktu minimal 2 menit setelah pemotongan dengan
menyentuh lembut sudut kornea mata untuk memastikan kematian otak dan reflek kornea.
Penilaian kematian hewan ditentukan dengan melihat reflek kornea mata dan pergerakan
kaki sapi, yaitu 2 menit setelah penyembelihan, yaitu sebesar 76% pemisahan kepala dan
kaki dilakukan lebih dari 2 menit dan sebesar 24% kurang dari 2 menit. Persentase
tersebut merupakan hasil penilaian yang umumnya dilakukan oleh Rumah Pemotongan
Hewan di Indonesia.

Hewan yang dipotong baru dianggap mati bila pergerakan-pergerakan anggota


tubuhnya dan lain-lain bagian berhenti. Ternak tidak akan mengalami pergerakan sama
sekali, sehingga pada tahapan penilaian kematian ini ternak bisa dilakukan pengulitan
dan pemisahan karkas. Proses penialian ternak mati total/mati otak harus dilihat melalui
reflek kornea mata (Ressang, 1962). Pengeluaran darah secara sempurna baru akan
terlaksana setelah 5-10 menit setelah penyembelihan. Lalu dilakukan pemisahan kepala
dan kaki. Kepala dipisahkan dengan memotong leher secara lurus antara tulang kepala
dan tulang atlas, sampai terpisah dari badan. Kaki dipotong di sendi bawah lutut, lalu

20
dilakukan pengulitan dapat sambil digantung/di lantai, kemudian dilakukan pembagian
karkas (Soeparno, 1992).

Penyembelihan hewan ternak di Indonesia dilakukan secara halal tanpa


pemingsanaan serta dilakukan penyembelihan dengan satu sayatan. Hewan akan
dipotong tanpa pemingsanan dan dibunuh dengan cara disembelih, sehingga restrain
yang tepat merupakan hal yang lebih penting dibandingkan dengan penyembelihan
dengan pemingsanan terlebih dahulu. Pemotongan dengan satu sayatan dimaksudkan
agar ternak tidak merasa tersiksa (Bhaskara, dkk, 2014).
Ada empat (4) faktor penyebab terjadinya pemotongan hewan yang
mengabaikan animal welfare, yaitu ketidaktahuan mengenai animal welfare, tidak
memiliki pengalaman mengenai animal welfare, tidak terlatih karena tidak diberikan
tata cara dan keterampilan tentang animal welfare serta tidak ada kepedulian bahwa
hewan sebagai makhluk hidup perlu penanganan tersendiri. Penerapan kesejahteraan
hewan pada proses pemotongan ternak dapat mengurangi penderitaan ternak sebelum
disembelih dan menghasilkan kualitas daging yang baik (Webster, 2001).

21
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Penerapan kesejahteraan hewan yang baik di Rumah Pemotongan Hewan harus


diimbangi dengan fasilitas pendukung serta penerapan standar kesejahteraan hewan yang
harus diaplikasikan dengan baik dan benar guna mengurangi penyimpangan kesejahteraan
hewan.

Penerapan Kesejahteraan Hewan tidak dapat dilakukan dengan baik oleh salah
satu pihak saja melainkan harus melibatkan berbagai pihak, oleh karena itu perlu adanya
kerjasama dan koordinasi yang baik antara pemerintah, swasta dan semua pihak untuk
penerapan kesejahteraan hewan yang lebih baik. Pemberian edukasi mengenai
kesejahteraan hewan (animal welfare) juga harus diimbangi dengan peningkatan
fasilitas sehingga penerapan kesejahteraan hewan dapat berjalan dengan efektif.

22
DAFTAR PUSTAKA
Agustiar, R. 2014. Animal welfare jangan hanya sapi impor. Infovet majalah
peternakan dan kesehatan hewan. http://www.majalahinfovet.com/2011
/11/animalwelfarejanganhanyasapiimpor.html. Diakses pada 25 Desember
2016.
Bhaskara, Y. Mulyadi, A. Nasution, I. Lubis, T.M. Armansyah, T. Hasan, M.
2014. Tinjaun aspek kesejahteraan hewan pada sapi yang dipotong di
Rumah Pemotongan Hewan Kotamadya Banda Aceh. J Medika
Veterinaria. 5(1) : 1-12.
Cappel, T. Bueno, A. Clemens, E. 1998. Calving Difficulty and Calf Response to
Stress. Nebraska Beef Cattle Reports. Lincoln.
Chambers, P.G. Grandin, T. 2001. Petunjuk untuk Penanganan, Pengiriman dan
Penyembelihan Hewan yang Manusiawi. Marjaya W, penerjemah; Heins
G, Srisovan T. Terjemahan dari: Guidelines for Humane Handling,
Transport, dan Slaughter of Livestock. Yudisthira. Denpasar.
Chrystall, B.B. Devine, C.E. Newton, K.G. 1981. Residual blood in lamb muscle.
J Meat Sci. 5(5):339-345.
Departemen Pertanian. 1992. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413
tahun 1992 Tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging
serta Hasil Ikutannya. Departemen Pertanian. Jakarta.
Departemen Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian No.
13/Permentan/OT.140/1/2010/ Tentang Persyaratan Rumah Pemotongan
Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plane).
Departemen Pertanian. Jakarta.
Eccleston, K.J. 2009. Animal Welfare di Jawa Timur : Model Pendidikan
Kesejahteraan Binatang di Jawa Timur. Prosiding Seminar Kesejahteraan
Hewan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah
Malang. Malang.
[EFSA] European Food Safety Animal 2013. Scientific opinion on monitoring
procedures at slaughterhouses for bovines. EFSA J. 11(12):60-65
Fieldservice. 2016. Casting restrain. http://cal.vet.upenn.edu/dairy/restrain/
castingrestrain/burleymethodofcastinghtml. Diakses pada 25 Desember
2016.
[FAWC] Farm Animal Welfare Council. 1992. Updates the five freedoms. J Vet
Rec. 13(17):357-360.
Fraser, D. 2008. Understanding Animal Welfare. Wiley-Blackwell. Oxford.
Grandin, T. 1992. Observation of cattle restraint devices for stunning and
slaughtering. J Anim Welfare. 14(4):85-90.
Grandin, T. 2001. Antemortem Handling and Welfare. CRC Press. Colorado.
Grandin, T. 1996. Factors that impede animal movement at slaughter plants.
Journal of the American Veterinary Medical Association 12(9): 757-760.
Hidayat, M.M. 2013. Kedatangan Ternak ke RPH “Unloading dan Lairaging”.

23
IPP Press. Bogor.
Kartasudjana, R. 2001. Teknik Kesehatan Ternak. Departemen Pendidikan
Nasional. Jakarta.
Kartasudjana, R. 2011. Proses Pemotongan Ternak di RPH . Modul budidaya
ternak program keahlian. Departemen pendidikan nasional proyek
pengembangan sistem dan standar pengelolaan smk direktorat pendidikan
menengah kejuruan jakarta. Jakarta.
Kusumawardhani, D. 2011. Dilema Menuju Swasembada Daging. Harian Media
Indonesia. Jakarta.
Main, D. 2003. Pengamatan Kesrawan dan Lima Kebebasan Hewan. University
of Bristol and WSPA. New York.
[MLA] Meat and Livestock Australia. 2012. Prosedur Standar Operasional untuk
Kesejahteraan Ternak. North Sidney.
Meischke, H.R.C. Horder, J.C. 1976. A knocking box effect on bruising cattle. J
Food Techno Austr. 3(18):369-371.
Nasution, D. A. 2003. Hubungan Perilaku Pekerja terhadap Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) dengan Timbulnya Dermatomikosis di PD.
Rumah Potong Hewan Kota Medan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Menteri Pertanian Republik Indonesia. 2010. Persyaratan Rumah Potong Hewan
Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant). Berita
Negara Republik Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta.
Putri, T.S. 2011. Kekerasan pada Ternak. http://www.international.
kompas.com/read/2011/06/03/03383333/Kekerasan.pada.hewan.html. Di -
ak ses pada 27 Desember 2016
Ressang, A. 1962. Ilmu Kesehatan Daging (Meat Hygiene). IPB Press. Bogor.
Rushen, J. 1996. Using aversion learning techniques to assess the mental state,
suffering and welfare of farm animals. Journal of Animal Science. 74(8):
5-19.
Sanjaya, A.W. Sudarwanto, M. Soedjono, R.R. Purnawarman, T. Lukman, D.W.
dan Latif, H. 2007. Hiegiene Pangan. IPB Press. Bogor.
Soeparno. 1992a. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-1. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Soeparno. 1994b. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-2. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Soeparno. 1998c. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-3. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Sugeng, B.Y. 2003. Sapi Potong Pemeliharaan, Perbaikan Produksi, Prospek
Bisnis, Analisis Penggemukan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Susanto, E. 2011. Gambaran Umum Rumah Potong Hewan di Indonesia. Buletin
Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan. Bogor.
Stoochi, R. Nicholas, A.M. Maria, M. Natalina, C. Anna, R.L. Stefano, R. 2014.
24
Animal welfare evaluation at a slaughterhouse for heavy pigs intended for
processing. Italian Journal of Food Safety. 3(1):7-12

25
Swacita, I.B.N. 2013. Kesejahteraan Hewan. Fakultas Kedokteran Hewan.
Universitas Udayana.
Swatland, H.J. Brogna, R.J. Lutte, G.H. 1984. Electrical activity in the cerebral
hemispheres of electrically stunned pigs. J Anim Sci. 5(8):1-5.

26

Anda mungkin juga menyukai