Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tujuan pokok dalam pembangunan kesehatan adalah peningkatan


kemampuan masyarakat untuk hidup sehat mengatasi sendiri masalah kesehatan
sederhana terutama melalui upaya peningkatan, pencegahan dan penyembuhan.
Peningkatan derajat kesehatan yang terdiri dari strategi yang dihubungkan dengan
gaya hidup individu dan pilihan sendiri ;antara lain aktivitas fisik dan latihan fisik,
nutrisi, tembakau, alkohol dan obat terlarang lainnya. Rencana keluarga, kesehatan
mental dan kerusakan mental, emosi dan ketergantungan obat-obatan serta
pendidikan dan program berdasarkan komunikasi. Tujuan itu akan dicapai antara lain
melalui peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan.Hidup sehat merupakan
kebutuhan dan tuntutan yang semakin meningkat, walaupun pada kenyataanya derajat
kesehatan masyarakat Indonesia masih belum sesuai dengan harapan. Sementara itu
pemerintah telah mencanangkan Indonesia Sehat, yang merupakan paradigma baru
yaitu paradigma sehat, yang salah satunya menekankan pendekatan dan preventif dan
mengatasi permasalahan di masyarakat. Terjadinya pergeseran paradigma dalam
pemberian pelayanan kesehatan dan model medical yang menitik beratkan pada
pelayanan pada diagnosis dan pengobatan paradigma sehat yang lebih holistik yang
melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan.
Perubahan paradigma pelayanan kesehatan dari kuratif kearah promitif dan peventif
ini telah di respon oleh ahli teori keperawatan Nola J. Pender dengan menghasilkan
karya tentang “Health Promotion Model” atau ,Model Promosi Kesehatan. Dalam
makalah ini akan dikemukakan tentang Model Promosi Kesehatan Nola J. Pender
serta komponen paradigma keperawatan tentang model promosi kesehatan.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana sejarah latar belakang teori Nola J. Pender?


2. Apa saja konsep-konsep utama dari teori Nola J. Pender?
3. Apa saja asumsi-asumsi utama keperawatan dari teori Nola J. Pender?
4. Apa saja penegasan-penegasan yang ada dalam teori Nola J. Pender?
5. Bagaimana penerimaan teori Nola J. Pender oleh komunitas keperawatan?
C. Tujuan

1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran nursing theory dari model promosi kesehatan
dari Nola J. Pender dalam lingkup layanan keperawatan.

2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui latar belakang teori, konsep, asumsi serta penerimaan teori
Nola J. Pender
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Teori Nola J. Pender

            Nola J. Pender dilahirkan tanggal 16 Agustus 1941 di Lansig, Michigan.


Keterkaitan pada keperawatan bermula dari Nola J. Pender berusia 7 tahun, pada saat
mengamati para perawat yang sedang memberi asuhan keperawatan pada bibinya di
rumah sakit. Keinginannya untuk memberikan perawatan kepada orang lain
dikembangkan melalui pengalaman dan pendidikan yang ia yakini sebagai profesi
yang menolong orang lain. Pada tahun 1962 merai gelar diploma keperawatan dan
selanjutnya diterima bekerja di unit beda RS Michigan. Tahun 1964, merai gelar BSN
di Universitas State Michigan di East Lansig, dan gelar MA pada bidang
pertumbuhan dan perkembangan di Universitas Michigan di raih pada tahun 1965.
Gelar Ph.D di bidang psikologi dan pendidikan diraih tahun 1969 dari Universitas
Nort Westren di Evanston, IIIinois. Pemihakannya dengan Albert Pender seorang
asisten professor di bidang bisnis dan ekonomi memberikan informasi menghasilkan
sebuah tulisan tentang keperawatan dalam prepektif ekonomi. Tahun 1975, Dr.
Pender mempublikasikan model konseptual kesehatan preventif. Dasar studinya
adalah bagaimana individu membuat keputusan tentang perawatan kesehatan mereka
sendiri dalam konteks keperawatan. Artikel tersebut mengidentifikasikan faktor-
faktor yang ditemukan dalam pengambilan keputusan dan tindakan yang diperlukan
individu dalam pencegahan. Pada tahun 1982, edisi pertama promosi optimal tentang
kesehatan pertama kali diterbitkan tahun 1987 dan mengalami revisi tahun 1996 yang
memuat model promosi kesehatan dan di presentasikan.

B. Konsep Utama Teori Nola J. Pender

            Teori model konseptual Nola J. Pender di latar belakangi oleh adanya suatu


bentuk pergeseran paradigma, dimana pergeseran paradigma ini terjadi dalam suatu
bentuk pemberian pelayanan kesehatan yang menitik beratkan pada paradigma
kesehatan dan keperawatan yang lebih holistik dalam memandang sebuah penyakit
dan berbagai gejala penyebabnya, bukan sebagai fokus pelayanan kesehatan saja.
Pada perubahan paradigama inilah yang menjadikan perawat sebagai posisi kunci
dalam berbagai peran dan fungsinya dalam melakukan pelayanan kesehatan. Hampir
semua lapisan dibidang pelayanan kesehatan dalam melakukan pelayanan promosi
dan preventif (pencegahan) kesehatan dilakukan oleh para perawat. Oleh karena
adanya promosi dan preventif kesehatan yang cenderung dilakukan dan diupayakan
oleh perawat inilah lahir sebuah teori dan modal konseptual dari Nola J. Pender yang
berjudul “Health Promotion Model” atau Model Promosi Kesehatan.
            Model promosi kesehatan ini merupakan sebuah teori yang menggabungkan 2
teori yaitu Teori Nilai Harapan (Expectancy value) dan Teori kognitif Social (Social
Cognitive). Teori Pender tentang model promosi kesehatan ini konsisten dan berfokus
pada pentingnya promosi dan pencegahan kesehatan untuk dilakukan guna
peningkatan kesehatan klien atau masyarakat yang lebih baik dan optimal. Berikut ini
penjelasan mengenai 2 teori yang menjadi komponen terbentuknya teori model
promosi kesehatan:

1. Teori Nilai Harapan (Expectancy value theory)

Menurut teori ini, perilaku sehat klien maupun individu secara pribadi bersifat,
rasional atau ekonomi. Secara rasional individu akan bertindak sebagaimana mestinya
dalam mencapai sebuah apa yang mereka inginkan, dan juga mereka cenderung akan
mempertahankannya ketika keinginan tersebut telah dicapai, yaitu dengan cara :

a. Meningkatkan hasil yang ingin dicapai yang disebut sebagai nilai personal
yang positif.
b. Peningkatan berdasarkan informasi yang tersedia untuk mencapai hasil yang
dinginkan, individu tidak akan melakukan sesuatu tindakan yang tidak
berguna dan tidak bernilai bagi dirinya. Individu tidak akan melakukan
kegiatan walaupun kegiatan tersebut menarik bagi dirinya jika dirasakan tidak
mungkin kegiatan tersebut dicapainya.

2. Teori Kognitif Sosial

Teori ini lebih cenderung sebagai model interaksi antara individu dengan


lingkungan, individu lain yang melibatkan perilaku sebagai suatu hal yang saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Dalam teori ini setiap individu harus
mampu mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang lebih dalam membina
hubungan dengan lingkungan sekitar untuk mendukung proses adaptif, sehingga hal
ini mampu menjadi pencegahan dan promosi kesehatan yang dapat delakukan untuk
menghindari kemungkinan terjadinya sakit.

C. Asumsi Dasar Dari Promosi Kesehatan

Pender(1996) menyatakan asumsi dasar HPM adalah manusia, lingkungan, dan


kesehatan yaitu sebagai berikut :
1) Manusia mencoba menciptakan kondisi kehidupannya melalui apa yang bisa
mereka nyatakan dalam kesehatan mereka yang potensial.
2) Manusia memiliki kapasitas untuk merefleksikan kesadaran diri, termasuk
penilaian mereka terhadap kemampuan yang dimiliki.
3) Pertumbuhan nilai manusia diperlihatkan sebagai bentuk positif dan usaha
untuk mencapai keseimbangan personal yang dapat diterima antara perubahan
dan stabilitas.
4) Individu megusahakan pengaturan yang efektif terhadap perilakunya.
5) Individual secara kompleksitas biopsikososial berinteraksi dengan lingkungan,
perubahan lingkungan yang progresif akan terjadi sepanjang masa.
6) Rekonfigurasi yang dimulai oleh diri sendiri merupakan pola interaktif antara
manusia dan lingkungan sangat esensial untuk perubahan perilaku.
7) Pembentukan kembali konsep dari manusia dengan lingkungan adalah penting
untuk perilaku

D. Proposisi Model Promosi Kesehatan

1) Perilaku sebelumnya dan karakteristik yang diperoleh mempengaruhi


kepercayaan dan perilaku untuk meningkatkan kesehatan.
2) Manusia melakukan perubahan perilaku dimana mereka mengharapkan
keuntungan yang bernilai bagi dirinya.
3) Rintangan yang disarankan dapat menjadi penghambat kesanggupan
melakukan tindakan, suatu mediator perilaku sebagiamana perilaku nyata.
4) Promosi atau suatu pemanfaatan diri akan menambah kemampuan untuk
melakukan tindakan dan perubahan dari perilaku.
5) Pemanfaatan diri yang terbesar akan menghasilkan sedikit rintangan pada
perilaku kesehatan spesifik
6) Pengaruh positif pada perilaku akibat pemanfaatan diri yang baik dapat
menambah hasil positif.
7) Ketika emosi yang positif atau pengaruh yang berhubungan dengan perilaku,
maka kemungkinan menambah komitmen untuk bertindak.
8) Manusia lebih suka melakukan promosi kesehatan ketika model perilaku itu
menarik, perilaku yang diharapkan terjadi dan dapat mendukung perilaku
yang sudah ada.
9) Keluarga, kelompok dan pemberi layanan kesehatan adalah sumber
interpersonal yang penting yang mempengaruhi, menambah atau mengurangi
keinginan untuk perperilaku promosi kesehatan.
10) Pengaruh situasional pada lingkungan eksternal padat menambah atau
mengurangi keinginan untuk berpartisipasi dalam perilaku promosi kesehatan.
11) Komitmen tersebut pada suatu rencana kegiatan yang spesifik lebih
memungkinkan perilaku promosi kesehatan dipertahankan untuk jangka
waktu yang lama.
12) Komitmen pada rencana kegiatan kemungkinan kurang meunjukkan perilaku
yang diharapkan ketika seseorang mempunyai kontrol yang sedikit dan
kebutuhan yang diinginkan tidak tersedia. Komitmen pada rencana kegiatan
kurang menunjukkan perilaku yang diharapkan ketika tindakan-tindakan lain
lebih atraktif dan juga lebih suka pada perilaku yang diharapkan.
13) Seseorang dapat memodifikasi kognisi, mempengaruhi interpersonal dan
lingkungan fisik yang mendorong melakukan tindakan kesehatan.

E. Revisi Model Promosi Kesehatan (HPM)

1) Sikap yang berhubungan dengan aktifitas


Setiap manusia mempunyai karakteristik yang unik dan pengalaman yang dapat
mempengaruhi tindakannya, karakteristik individu atau aspek pangalaman dahulu
lebih fleksibel sebagai variabel karena lebih relevan para perilaku kesehatan
utama atau sasaran populasi utama.
2) Komitmen rencana tindakan
Proses kognitif yang mendasar adanya rencana tindakan diantaranya :
a) Komitmen untuk melaksanakan tindakan spesifik sesuai waktu dan tempat
dengan orang-orang tertentu atau sediri dengan mengabaikan persaingan.
b) Identifikasi strategi tertentu untuk mendapatkan, melaksanakan atau
penguatan terhadap perilaku.
Rencana kegiatan dikembangkan oleh perawat dan klien dengan pelaksanaan
yang sukses, misalnya strategi dengan kontrak yang disetujui bersama-sama di
mana satu kelompok lain memberi nyata atau penguatan jika komitmen itu
didukung. Komitmen sendiri tanpa strategi yang berhubungan saling
menghasilkan tujuan baik tetapi gagal dalam membentuk suatu nilai perilaku
kesehatan.
3) Kebutuhan Yang Mendesak
Kebutuhan mendesak pilihan menjadi perilaku alternative yang mendesak masuk
ke dalam kesadaran sehingga tindakan yang mungkin dilakukan segera sebelum
kejadian terjadi (suatu rencana perilaku promosi kesehatan). Perilaku alternative
ini menjadikan individu dalam kontrol rendah. Karena lingkungan tak terduga
seperti kerja atau tanggung jawab merawat keluarga. Kegagalan merespon
permintaan berakibat tidak menguntukan bagi diri atau orang lain. Pilihan
permintaan sebagai perilaku alternative dengan penguatan di mana individu
mempunyai level kontrol yang tinggi. Misalnya memilih makanan tinggi lemak
dari pada rendah lemak karena pilihan rasa, bau atau selera. Permintaan yang
mendesak dibedakan dari hambatan di mana individu seharusnya melaksanakan
suatu alternative perilaku berdasarkan permintaan eksternal yang tidak disangka
atau hasil yang tidak sesuai.

F. Konteks Untuk Penggunaan Dalam Implikasi Keperawatan

Layanan promosi kesehatan sangat penting untuk meningkatkan kesehatan


populasi di mana-mana. Perlu dicatat bahwa orang dari segala usia bisa mendapatkan
keuntungan dari promosi kesehatan. Yang harus disampaikan di mana orang
menghabiskan banyak waktu mereka (misalnya sekolah dan tempat kerja). Perawat
dapat mengembangkan dan melaksanakan intervensi promosi kesehatan kepada
individu, kelompok, dan keluarga di sekolah, pusat perawatan, pengaturan kesehatan
kerja dan masyarakat pada umumnya. Perawat harus bekerja kearah pemberdayaan
untuk perawatan diri dan meningkatkan kapasitas klien untuk perawatan diri melalui
pendidikan dan pengembangan.
 Bagan Model Konseptual
Bagan ini bergerak menuju pemahaman multi fungsi dari sifat alami seseorang yang
berhubungan dengan hubungan interpersonal alami mereka dan berinteraksi dengan
lingkungan fisik saat mereka memiliki pengalaman terhadap kesehatan. Karena
model ini, perawat memiliki kemajuan dalam pendekatan kesehatan kepada mereka,
menangani tidak hanya sisi kuratif, tetapi juga sebagai pencegahan penyakit dan
promosi kesejahteraan. Aplikasi dari teori ini dalah bervariasi dan subtansif.
G. Bagan Health Promotion Model
Komponen HPM

Individual Characteristric Behaviors Specific


d Behavioral
and Exprience Cognition and Affect Outcome

Karakteristik Individu Perilaku Kognitif yang Hasil Perilaku


Dan Pengalaman Spesifik dan efek

Perceived Benefits
Of Action
Immediate
Perceived Barrier To competing Demand
Action (low control) And
Prefference (high
Perceived Self control)
Efficacy

(Prior Related
Activity Related
Behavior)
Affect

Commitment Health
To aPlan Of Promotion
Faktor personal Action Behavior
Interpersonal
(personal Factors)
influence : (family,
1. Personal peers, providers),
biological norms, support,
factors model
2. Personal
psychological
factor
3. Personal
Situasional
sociocultural
factor Influence
H. Penjelasan Model HPM Pender

1. Karateristik dan pengalaman individu :

a. Perilaku sebelumnya mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung


dalam pelaksanaan perilaku promosi kesehatan, yaitu:
 Pengaruh tidak langsung adalah melalui persepsi pada self efficacy, manfaat,
hambatan dan pengaruhi positif atau negative dari perilaku baik sebelum, saat
itu ataupun setelah perilaku tersebut dilaksanakan akan dimasukan kembali
saat akan melakukan perilaku tersebut di kemudian waktu. Perawat dapat
membantu pasien membentuk suatu riwayat perilaku yang positif bagi masa
depan dengan memfokuskan pada tahap perilaku tersebut. Membantu pasien
bagaimana mengatasi rintangan dalam melaksanakan perilaku tersebut dan
meningkatkan level atau efficacy dan pengaruh positif melalui pengalaman
yang sukses dan feed back yang positif.
 Pengaruh langsung dari perilaku masa lalu terhadap perilaku promosi
kesehatan saat ini    dapat menjadi pembentuk kebiasaan yang mempermudah
seseorang melaksanakan perilaku tersebut secara otomatis.
b. Faktor Personal, meliputi aspek bilogis, psikologis dan social budaya. Faktor-
faktor ini merupakan prediksi dari perilaku yang didapat dari dibentuk secara
alami oleh target perilaku.
 Faktor Biologis Personal
Termasuk dalam faktor ini adalah umur, indeks massa tubuh, status pubertas,
status menopause, kapasitas erobik, kekuatan, dan defenisi sehat.
 Faktor Psikologis Personal
Variabel yang merupakan bagian dari faktor ini adalah harapan dari, motivasi,
kemampuan, personal, status kesehatan, dan defenisi sehat.
 Faktor Sosial Kultural
Faktor ini meliputi suku, etnis, pendidikan, dan status ekonomi.

2. Aspek Kognisi Dan Afeksi Dari Perilaku Khusus (Behaviour-Spesific


Cognitionsand Affect)

 Manfaat Yang Dipersepsikan Terhadap Suatu Tindakan


Rencana seseorang melaksanakan perilaku tertentu tergantung pada antisipasi
terhadap manfaat atau hasil yang akan dihasilkan. Anitisipasi terhadap
manfaat merupakan representasi mental dan konsekuensi perilaku positif.
Berdasarkan teori expecting value.
 Hambatan Yang Dipersepsikan Terhadap Suatu Tindakan
Hambatan yang diantisipasikan telah secara berulang terlihat dalam penelitian
empiris, mempengaruhi intensitas untuk terlibat dalam suatu perilaku yang
nyata dan perilaku aktual yang dilaksanakan, hambatan-hambatan ini dapat
berupa imaginasi maupun nyata. Hambatan ini terdiri atas : persepsi,mengenai
ketidak tersediaan, tidak menyenangkan, biaya, kesulitan atau penggunaan
waktu untuk tindakan-tindakan khsusu. Hambatan-hambatan ini sering dilihat
sebagai suatu blocks, rintang dan personal cost dari perilaku yang di berikan.
Hilangnya kepuasan dalam menghindari atau menghilangkan perilaku-
perilaku yang merusak kesehatan seperti merokok atau makan makanan tinggi
lemak untuk mengadopsi perilaku atau gaya hidup yang lebih sehat juga dapat
menjadi suatu halangan. Halangan ini biasanya membangunkan motivasi
untuk menghindariperilaku-perilaku yang diberikan. Bila kesiapan untuk
bertindak rendah dan hambatan tinggi maka tindakan ini tidak mungkin
terjadi. Jika kesiapan untuk bertindak tinggi dan hambatan rendah
kemungkinan untuk melakukan tindakan lebih besar. Barier tindakan seperti
yang dilukiskan dalam HPM mempengaruhi kesehatan secara langsung
dengan bertindak sebagai locks terhadap tindakan seperti penurunan
komitmen untuk merencanakan tindakan.
 Persepsi Terhadap Keyakinan Diri
Self efficacy seperti didefenisikan oleh Bandura adalah judgment atau
keputusan dari kapabilitas seseorang untuk mengorganisasi dan menjalankan
tindakan secara nyata. Judgment dari personal efficacy dibedakan dari
harapan yang ada dalam tujuan. Perceived self efficacy adalah judgment dari
kemampuan untuk menyelesaikan tingkat performance yang pasti, dimana
tujuannya atau harapannya adalah suatu judgment dari suatu konsekuensi
sebanyak perilaku yang akan dihasilkan. Persepsi dari ketrampilan dan
kompetensi dalam domain Motivasi Individu untuk melibatkan perilaku-
perilaku yang mereka lalui. Perasaan efficacy dan ketrampilan dalam
perfomence seseorang sepertinya mendorong untuk melibatkan atau
menjalankan perilaku yang lebih banyak dari pada perasaan ceroboh dan tidak
terampil
Pengetahuan individu tentang self efficacy didasarkan pada 4 tipe informasi:

1) Pencapain perfomence dari perilaku yang dilaksanakan secara nyata dan


evaluasi perfomence yang berhubungan dengan beberapa standard pribadi
atau umpan balik yang diberikan.
2) Pengalaman-pengalaman dan mengobsevarsi perfomence orang lain dan
hubungan dengan evaluasi dari sendiri dan upan balik pada orang lain.
3) Ajakan secara verbal kepada orang lain bahwa mereka mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan tindakan tertentu.
4) Kondis psikologis (kecemasan, ketakutan, ketenangan) di mana seseorang
menyatakan kemampuannya.
Dalam HPM, self efficacy yang diperoleh dipengaruhi oleh activity related
affect.  Makin positif affect, makin besar persepsi eficacynya, sebaliknya self
efficacy mempengaruhi hambatan tindakan, dimana efficacy yang tinggi akan
mengurangi persepsi terhadap hambatan untuk melaksanakan perilaku yang
ditargetkan. Self efficacy memotivasi perilaku promosi kesehatan secara langsung
dengan harapan efficacy dan secara tidak  langsung dengan mempengaruhi
hambatan dan komitmen dalam melaksanakan rencana tindakan.
 Pengaruh Yang Ditimbulkan Oleh Suatu Aktivitas(Activity-related Affect)
Perasaan subjektif muncul sebelum, saat dan setelah suatu perilaku,
disasarkan pada sifat stimulus perilaku itu sendiri. Respon afektif ini dapat
ringan,sedang atau kuat dan secara sadar di nanti, disimpan didalam memori
dan dihubungkan dengan pikiran-pikiran perilaku selanjutnya. Respon-respon
afektif terhadap perilaku khusus terdiri atas 3 komponen yaitu:
 Activity-related, yaitu emosional yang muncul terhadap tindakan itu sendiri
 Self-related, yaitu menindaki diri sendiri
 Context-related, yaitu lingkungan dimana tindakan itu terjadi.
Perasaan yang dihasilkan kemungkinan akan memengaruhi apakah individu
akan mengulang perilaku itu lagi atau mempertahankan perilaku lamanya.
Perasaan yang tergantung pada perilaku ini telah diteliti sebagai determinan
perilaku kesehatan pada penelitian terakhir. Perilaku yang berhubungan
dengan afek positif kemungkinan akan diulang dan yang negative
kemungkinan akan dihindari. Beberapa perilaku bisa menimbulkan perasaan
positif dan negative. Dengan demikian, keseimbangan di antara afek positif
dan negative saat sebelum dan setelah perilaku tersebut merupakan hal yang
penting untuk diketahui.
Activity-related Affect ii berbeda dari dimensi evaluasi terhadap sikap lebih
mencerminkan sikap yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen. Dimensi
evaluasi terhadap sikap lebih mencerminkan evaluasi afektif pada hasil
spesifik dari suatu perilaku dari pada respon terhadap sifat stimulus perilaku
itu sendiri. Untuk beberapa perilaku yang diberikan, rentang penuh dari
perasaan negative dan positif harus diuraikan shingga keduanya dapat diukur
secra akurat. Dalam beberapa instrument untuk mengukur afek, perasaan
negative diuraikan secara lebih luas dari pada perasaan positif. Hal ini tidak
mengherankan karena kecemasan, ketakutan dan depresi telah diteliti lebih
banyak dibandingkan perasaan senang, gembira dan tenang. Berdasarkan teori
kognitif social, terdapat hubungan antara self-efficacy dan activity related
affect.
Mc. Aulay dan Courneya menemukkan bahwa respon afek positif saat latihan
merupakan predictor yang penting terhadap Efficacy setelah latihan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Bandura bahwa respon emosional dan pengaruhnya
terhadap keadaan psikologis saat melakukan suatu perilaku berperan sebagai
sumber informasi efficacy. Dengan demikian, activity-related. Affect
dikatakan memengaruhi perilaku kesehatan secara langsung maupun tidak
langsung melalui self-efficacy dan komitmen terhadap rencana tindakan.
 Pengaruh Interpersonal (Interpersonal Influences)
Menurut HPM, pengaruh interpersonal adalah kesadaran mengenai perilaku,
kepercayaan ataupun sikap terhadap orang lain. kesadaran ini bisa atau tidak
bisa sesuai dengan kenyataan. Sumber utama pengaruh interpersonal pada
perilaku promosi kesehatan adalah (orang tua dan saudara kandung),
teman,dan petugas perawat kesehatan. Pengaruh interpersonal meliputi norma
(harapan dari orang-orang yang berarti), dukungan social dan
modeling(pembelajaran melalui mengobservasi perilaku khusus seseorang).
Tiga proses interpersonal meliputi : norma (harapan dari orang-orang yang
berarti),dukungan sosil dan modeling (pembelajaran melalui mengobservasi
perilaku khusus seseorang).Tiga proses impersonal ini pada sejumlah
penelitian kesehatan tampak mempredisposisi seseorang untuk melaksanakan
perilaku promosi kesehatan. Norma social membentuk standar pelaksanaan
yang dapat dipakai atau ditolak oleh individu. Dukungan social untuk suatu
perilaku menyediakan sumber-sumber dukungan yang diberikan oleh orang
lain. Modeling menggambarkan komponen berikutnya dari perilaku kesehatan
dan merupakan strategi yang penting bagi perubahan perilaku dalam teori
kognitif social. Pengaruh interpersonal memengaruhi perilaku promosi
kesehatan secara langsung maupun tidak langsung melalui tekanan social atau
dorongan untuk komitmen terhadap rencana tindakan.
Individu sangat berbeda dalam sensitivitas mereka terhadap harapan, contoh
pujian orang lain. namun, diberikan motivasi yang cukup untuk berperilaku
dalam cara yang konsisten dengan pengaruh interpersonal, individu mungkin
akan melakukan perilaku-perilaku yang akan menimbulkan pujian dan
dukungan social bagi mereka.
 Pengaruh situasional (Situasional Influences)
Persepsi dan kesadaran personal terhadap berbagai situasi atau keadaan dapat
memudahkan atau menghalangi suatu perilaku. Pengaruh situasi pada perilaku
promosi kesehatan meliputi persepsi terhadap pilihan yang ada, kharakteristik
prmintaan,dan ciri-ciri estetik dari suatu lingkungan dimana perilaku tersebut
dilakukan. Individu tertarik dan lebih kompeten dalam perilakunya di dalam
situasi atau keadaan lingkungan yang mereka rasa lebih cocok dari pada
lingkungan yang tidak cocok, lingkungan yang berhubungan dari pada yang
asing, lingkungan yang aman dan meyakinkan dari pada lingkungan yang
tidak aman dan mengancam. Lingkungan yang menarik juga lebih diinginkan
untuk melaksanakan perilaku kesehatan.
Dalam HPM, pengaruh situasional telah dikemukakan sebagai pengaruh
langsung atau tidak langsung pada perilaku kesehatan. Situasi dapat secara
langsung mempengaruhi perilaku dengan menyediakan suatu lingkungan yang
diisi dengan petunjuk-petunjuk yang akan menimbulkan tinakan. Sebagai
contoh, suatu lingkungan yang ditulis dilarang merokok dilingkungan
tersebut seperti yang diminta. Kedua situasi ini mendukung komitmen untuk
tindakan kesehatan. Pengaruh situasional telah memberikan sedikit perhatian
pada penelitian HPM sebelumnya dan dapat diteliti lebih lanjut sebagai
determinan yang secara potensial penting bagi perilaku kesehatan. Mereka
dapat dipegang sebagai kunci penting dalam megembangkan strategi baru
yang lebih efektif untuk memfasilitasi penerimaan dan pemahaman perilaku
kesehatan.

3. Perilaku Yang Diharapkan

Tanggung jawab untuk merencanakan tindakan (POA) merupakan awal dari suatu
peristiwa perilaku. Tanggung jawab ini akan mendorong individu ke arah yang
diharapkan.
1) Tanggung Jawab Untuk Merencanakan Tindakan (POA)
Manusia umumnya meningkatkan perilaku berorganisasi dari pada tidak.
Kesengajaan adalah factor utama yang menetukan kemauan berperilaku.
Tanggung jawab dalam merencanakan tindakan pada HPM yang telah direvisi
menunjukkan pokok yang mendasari proses kognitif.
2) Tanggung jawab untuk melakukan tindakan yang spesifik pada waktu dan
tempat yang telah diberikan dengan orang-orang tertentu atau secara
sendirian, dengan mengabaikan pilihan berkompetensi.
3) Mengidentifikasi strategi-strategi yang menetukan untuk mendapatkan,
membawa dan memperkuat perilaku.
4) Kebutuhan mengidentifikasi strategi-strategi spesifik digunakan pada tempat
yang berbeda didalam rangkaian perilaku, kedepannya merupakan
kemungkinan yang disengaja dan yang lebih lanjut bahwa perencanaan
tindakan (POA) yang dikembangkan oleh perawat dank lien akan sukses di
implementasikan. Tanggung jawab sendiri tanpa strategi-strategi dari teman
sejawat sering menghasilkan tujuan yang baik namun gagal membentuk suatu
nilai perilaku kesehatan.
5) Kebutuhan Untuk Segera Berkompetisi dan Pilihan-pilihan
Hal ini merujuk pada alternative perilaku yang memaksakan ke dalam
kebingungan sebagai bagian dari yang mungkin terjadi sebelumnya dan segera
diharapkan menjadi perilaku prmosi kesehatan yang direncanakan. Kebutuhan
berkompetisi dipandang sebagai perilaku alternative dimana dimana individu
relative memiliki level control yang rendh karena ketrgantungan terhadap
lingkungan seperti bekerja atau tanggung jawab perawatan keluarga.
Kegagalan berespon terhadap suatu kebutuhan dapat memiliki efek yang tidak
menguntungkan untuk diri sendiri atau untuk hal-hal lain yang penting.
Pilihan berkompetisi dipandang sebagai alternative perilaku dengan kekuatan
penuh yang bersifat lebih yang mana individu relative menggunakan level
control yang tinggi. Mereka dapat mengeluarkan perilaku promosi kesehatan
dan setuju menjadi perilaku kompetisi. Tingkat dimana individu mampu
melawan pilihan kompetisi. Tingkat dimana individu mampu melawan pilihan
kompetensi tergantung pada kemampuannya menjadi pengatur diri. Contoh
dari “memberi” pilih kompetisi adalah memilih makanan tinggi lemak dari
pada rendah lemak karena rasa atau selera pilihan, mengemudi dengan
melewati pusat rekreasi, selalu berlatih berhenti di mall (suatu pilihan untuk
melihat-lihat atau belanja daripad berolahraga). Kedua kompetisi dan pilihan
dapat menggelincirkan suatu rencana tindakan yang salah satunya telah
dilakukan. Kebutuhan kompetisi dapat berbeda dari rintangan yang harus
dibawa oleh individu dan perilaku yang tidak diantisipasi berdasarkan pada
kebutuhan eksternal atau hasil yag tidak baik dapat terjadi. Pilihan kompetisi
dapat berbeda dari rintangan seperti kekurangan waktu, karena pilihan
kompetisis adalah dorongan terakhir yang didasari pada hirarki pilihan yang
menggelincirkan suatu rencana untuk tindakan kesehatan yang positif. Ada
terdapat bermacam kemampuan individu untuk mendukung perhatian dan
menghindari ganguan. Beberapa individu dapat mempengaruhi perkembngan
atau secara bilogis menjadi lebih mudah dipengaruhi selama tindakan
daripada yang lain. hambatan pilihan kompetensi memerlukan latihan dari
pengaturan diri sendiri. Didalam HPM, kebutuhan kompetisi denga segera dan
pilihan secara langsung mempengaruhi kemungkinan terjadinya perilaku
kesehatan sebagaimana pengertian tanggung jawab modera.
6) Perilaku Promosi Kesehatan
Variable pada model ini telah ditujukan secara ektensif melalui buku sehingga
disini memerlukan sedikit diskusi yang lebih jauh. Perilaku promosi kesehatan
adalah titik akhir atau hasil tindakan pada HPM. Bagaimanapun harus dicatat
bahwa perilaku promosi kesehatan pada akhirnya adalah langsung bertujuan
untuk mencapai kesehatan yang positif bagi klien. Perilaku promosi kesehatan
khususnya ketika berintegrasi menjadi gaya hidup sehat yang meliputi semua
aspek kehidupan, menghasilakan pengalaman kesehatan yang positif
disepanjang proses kehidupan
HASIL DAN BAHASAN

1. Gambaran Wilayah Studi

a. Lokasi dan Topografi

Lokasi Banjar Ubung Sari berada di Desa/Kelurahan Ubung, Kecamatan


Denpasar Barat, Kota Denpasar, Bali. Luas wilayah Kelurahan Ubung adalah 173
Ha, dimana Banjar Ubung Sari merupakan bagian dari Kelurahan Ubung. Batas-batas
wilayah sebagai berikut:
 Di Sebelah Utara:Desa Ubung
 Di Sebelah Timur :Tukad Badung
 Di Sebelah Selatan:Desa Pemecutan Kaja
 Di Sebelah Barat :Tukad Mati
Kondisi topografi Banjar Ubung Sari, Kelurahan Ubung merupakan daerah
dataran rendah dengan ketinggian 50 – 60 m dari permukaan laut. Banjar Ubung Sari,
Kelurahan Ubung memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata 28°C (Monografi
Kelurahan Ubung, 1997).
b. Data Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Banjar Ubung Sari, Kelurahan Ubung sampai Desember 2004
adalah sebanyak 1.777 jiwa.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jml Persentase (%)


1 SD 356 30,93 %
2 SMP 452 39,27%
3 SLTA/Sederajat 312 27,11 %
4 Akademi (D1 – D3) 17 1,48 %
5 Sarjana (SI – S3) 14 1,21 %
Jumlah 1151 100%
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Ubung 2004

Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No Jenis Pekerjaan Jml Persentase


(%)
1 Pegawai Negeri Sipil 265 25,38 %
2 ABRI 21 2,01 %
3 Swasta 235 22,51 %
4 Wiraswasta/ 413 39,56 %
pedagang
5 Petani 110 10,54 %
Jumlah 1044 100 %
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Ubung 2004

c. Data Utilitas
Sistem jaringan pembuangan limbah/utilitas di daerah Banjar Ubung Sari,
Kelurahan Ubung terutama selokan yang ada sebagian besar tidak berfungsi dengan
baik, hal ini disebabkan oleh selokan yang tersumbat oleh sampah-sampah dan
limbah-limbah yang dihasilkan dari rumah tangga dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran dan penyebaran penyakit baik itu
penyakit yang menular maupun yang tidak. Sistem jaringan pembuangan limbah/
utilitas yang sebagian besar tidak berfungsi dengan baik, disebabkan oleh konstruksi
dari sistem jaringan pembuangan limbah yang hanya terbuat dari tanah saja.
Untuk sistem pembuangan limbah kamar mandi penduduk setempat sudah banyak
yang menggunakan tangki septik sebagai tempat pembuangan limbah kamar mandi.

Dari Gambar 4.1 dibawah ini dapat dilihat system jaringan pembuangan
limbah/utilitas dan tempat pengambilan sample air sumur, dimana gambar ini
diperoleh dengan cara melakukan observasi ke lapangan.

Gambar 1. Saluran Air/Drainase Daerah Banjar Ubung Sari

Sumber: Analisis Data Primer, 2005


2. Hasil Kuisioner

Data kuisioner diambil sebesar 10 % dari 468 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah
penduduk sebanyak 1.777 jiwa, sehingga jumlah responden yaitu sebanyak 47 KK,
seperti termuat dalam table

4.3 berikut.
Tabel 3. Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Kepala Keluarga (KK)

No Jenis Perkerjaan Jumlah Jumlah


responden
1 Pegawai Negeri Sipil 265 9
2 ABRI 21 8
3 Swasta 235 9
4 Wiraswasta/ 413 12
pedagang
5 Petani 110 9
Total 1044 47
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Ubung 2004

Setelah menentukan jumlah responden, maka dapat melakukan penyebaran


kuisioner kepada penduduk daerah Banjar Ubung Sari. Dari hasil penyebaran
kuisioner tersebut, maka dapat dilaksanakan tabulasi data primer sebagai berikut:

1. Kepadatan rumah/bangunan

Kepadatan rumah/bangunan di daerah Banjar Ubung Sari sangat padat, hal ini
dapat di lihat dari tanggapan penduduk yang sebesar (74,47%) menganggap bahwa
luas lahan yang dikuasai hampir sama dengan luas bangunan yang ditempati, selain
itu sebesar (70,21%). Penduduk menganggap bahwa jarak antar rumah sebagian besar
hanya dibatasi oleh dinding dan sisanya ada juga yang dibatasi oleh gang, sehingga
sinar matahari yang masuk ke dalam rumah penduduk hanya sebagian saja. Jalan
disekitar rumah penduduk sebesar (80,85%) hanya dapat dilewati oleh sepeda motor
saja dan sisanya dapat dilalui mobil dan sepeda motor, walaupun begitu penduduk
Banjar Ubung Sari masih menganggap bahwa tempat yang dihuni masih nyaman
untuk ditempati.
Gambar 2. Kondisi Gang Banjar Ubung Sari

1. Kondisi rumah/bangunan yang tidak layak huni


Sebagian penduduk yang tinggal di daerah Banjar Ubung Sari (63,83%) telah
bermukim lebih dari 10 tahun, dan dari segi ekonomi/pendapatan penduduk
sekitar terutama penduduk pendatang pendapatan yang didapatkan sangat kecil
karena sebagian besar dari penduduk pendatang bekerja sebagai pekerja
musiman, sehingga pendapatan yang didapatkan tidak tetap. Walaupun begitu
penduduk sekitar yang tinggal di daerah tersebut masih menganggap daerah
tersebut sangat strategis. Untuk kondisi fisik rumah/bangunan penduduk
(55,32%) adalah bangunan semi permanen dan sisanya adalah bangunan dengan
kondisi bangunan yang permanen, hal ini disebabkan karena sebagian tanah yang
ditempati oleh penduduk pendatang adalah tanah kontrakan dan jumlah masing-
masing penghuni rumah berjumlah kurang dari 5 orang.

Gambar 5. Kondisi Sumur Yang Dipakai Untuk Pengambilan Data


2. Kondisi saluran air/drainase
Kondisi saluran air/drainase di daerah Banjar Ubung Sari jarang terjadi
genangan air, genangan itu pun hanya disebabkan oleh air hujan. Namun dari
pengambilan data kuisioner didapatkan (68,09%) penduduk Banjar Ubung Sari
masih menganggap bahwa kondisi saluran air di daerah ini masih baik dan
(31,91%) penduduk menganggap bahwa kondisi saluran air di daerah ini rusak
berat, tapi dari pengamatan langsung ke lapangan kondisi saluran air yang ada
sebagian besar keadaannya tidak dapat berfungsi dengan baik. Walaupun begitu
(100%) penduduk di daerah tersebut masih menganggap bahwa saluran
air/drainase itu sangat penting, sehingga dalam mengatasi permasalahan saluran
air akibat limbah/buangan domestik penduduk lebih senang menanganinya secara
bergotong- royong.

3. Hasil Pengukuran Sampel

Dalam penelitian ini, sampel yang diambil yaitu sebanyak lima (5) dari lokasi
yang sama dengan jarak 50 – 200 m. Sampel ini diambil pada saat musim
kemarau dengan kedalaman sumur yang berbeda. Setelah diambil sampel tersebut
langsung dibawa ke Laboratorium Analitik Universitas Udayana untuk diteliti
apakah air sumur di daerah Banjar Ubung Sari tersebut mengalami pencemaran
atau tidak.

Tabel 4.4 Hasil Analisis

No Parameter Satuan Hasil


1 2 3 4 5
1 Bau – Berbau Tidak Tidak Tidak Tidak
berbau berbau berbau berbau
2 Rasa – Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
berasa berasa berasa berasa berasa
3 Kekeruhan mg SiO2/l 112,5 ttd 12,5 175 137,5
4 pH – 7,90 7,43 7,35 7,69 7,21
5 BOD5 ppm 8,03 1,80 1,44 4,31 3,60
6 COD ppm 15,05 3,60 2,40 7,18 5,30
7 PO4 ppm 0,255 1,017 0,180 0,412 0,833
8 Amoniak ppm 0,190 0,067 0,056 0,110 0,353
9 E.Coli E.Coli/l0 28 0 0 3 3
0 m1
10 Coliforms Co1ifoa 1100 – 240 1100 150
m/l00 m1
Kondisi air Terce- Tidak Tidak Terce- Terce-
11 sumur mar tercemar terce- mar mar
mar
Sumber: UPT-Laboratorium Analitik Universitas Udayana

Tabel 4.4 menunjukkan tingkat pencemaran air sumur di


daerah Banjar Ubung Sari.
a. Tingkat Pencemaran Air Sumur 1
Hasil dari penelitian air sumur pada sampel 1 diketahui bahwa air sumur
tersebut telah mengandung unsur-unsur yang mengakibatkan terjadinya
pencemaran seperti air sumur pada sampel 1 ini berbau, kekeruhannya mencapai
112,5 mg SiO2/l, bakteri E.Colinya mencapai 28/100 ml dan bakteri
Coliformsnya mencapai 1100/l00 ml, yang melebihi standar baku mutu kualitas
air, sehingga air sumur pada sampel 1 ini dapat dikatakan tercemar dan tidak
layak untuk dijadikan air minum. Sampel air sumur 1 ini diambil dari rumah
penduduk yang dekat dengan sekolah dan hotel, lokasinya berada di tengah-
tengah permukiman penduduk. Keadaan topografi tempat pengambilan sampel
air sumur ini tidak begitu landai, kedalaman air sumurnya mencapai 6,00 m, dan
saluran air/drainase pada tempat pengambilan sampel ini tidak berfungsi dengan
baik. Saluran air/drainase tersebut tidak terbuat dari kontruksi pasangan batu kali
melainkan hanya terbuat dari tanah saja, sehingga saluran tersebut tidak dapat
mengalirkan air limbah dengan baik/mampet. Selain itu, kamar mandinya tidak
memakai tangki septik sehingga kotoran/limbah yang dihasilkan dibuang begitu
saja ke saluran air/drainase dan letak kamar mandi dengan sumur sangat dekat,
sehingga air sumur tersebut dapat terkontaminasi langsung oleh kotoran manusia
dan air limbah yang dihasilkan.
b. Tingkat Pencemaran Air Sumur 2
Hasil dari penelitian air sumur 2 menunjukkan bahwa air sumur tersebut tidak
tercemar, hal ini dapat dilihat dari airnya yang tidak berbau, tidak berasa,
kekeruhannya tidak terdeteksi, pHnya 7,43, BOD5-nya hanya 1,80 ppm, COD-
nya 3,60 ppm, PO4-nya 1,017 ppm, amoniak bebasnya 0,067 ppm, bakteri E. Coli
dan Coliforms nihil, sehingga air sumur ini layak untuk dijadikan air minum.
Sampel air sumur 2 ini diambil dari rumah penduduk yang memakai sumur bor.
Air sumur bor tersebut tidak tercemar, disebabkan karena sumur bor tidak
mengalami kontaminasi/ berhubungan langsung dengan kotoran manusia dan air
limbah yang dihasilkan oleh penduduk di sekitar daerah tersebut, dan selain itu
sumur bor tersebut berada di daerah aquifer terkekang sehingga air yang berada
di atasnya sulit untuk merembes ke bawah. Keadaan topografi tempat
pengambilan sampel ini tidak begitu landai, saluran air/drainasenya tidak
berfungsi dengan baik namun hal tersebut tidak berpengaruh terhadap kualitas air
sumur bor tersebut. Letak sumur bor tersebut dengan kamar mandi cukup jauh
dan sistem pembuangan kamar mandinya sudah memakai tangki septik.
c. Tingkat Pencemaran Air Sumur 3
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa air sumur sampel 3 ini airnya tidak
berbau, tidak berasa, kekeruhannya hanya mencapai 12,5 mg SiO2/l, pHnya
7,35, BOD5-nya 1,44 ppm, COD- nya 2,40 ppm, PO4-nya 0,180 ppm, amoniak
bebasnya hanya 0,056 ppm, bakteri E.Colinya nihil sedangkan bakteri
Coliformsnya mencapai 240/100 ml. Air sumur tersebut tidak tercemar, sehingga
air sumur tersebut layak untuk dijadikan air minum. Sampel air sumur 3 ini
diambil dari sumur gali di yayasan pesantren. Keadaan topografi tempat
pengambilan sampel air sumur ini sangat landai, sistem saluran air/drainasenya
berfungsi dengan baik dan kontruksinya terbuat dari pasangan batu kali, dan
sistem pembuangan kamar mandinya sudah memakai tangki septik dan
kedalaman air sumur ini mencapai 6,50 m.
d. Tingkat Pencemaran Air Sumur 4
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa air sumur sampel 4 ini mengandung
bakteri E. Coli sampai 3/100 ml, bakteri Coliforms sampai 1100/100 ml dan
kekeruhannya mencapai 175 mg SiO2/l. Dari hasil di atas diketahui bahwa air
sumur tersebut tercemar dan tidak layak untuk dijadikan air minum. Sampel air
sumur 4 ini diambil dari rumah penduduk yang dekat dengan MCK umum dan
letak sumur berada di tengah- tengah permukiman penduduk. Keadaan topografi
tempat pengambilan sampel air sumur ini landai, sistem saluran air/drainasenya
berfungsi baik dan kontruksinya terbuat dari pasangan batu kali, dan sistem
pembuangan pada kamar mandinya sudah memakai tangki septik, namun kamar
mandi dan sumur letaknya sangat dekat. Kedalaman air sumur ini mencapai 5,00
m.
e. Tingkat Pencemaran Air Sumur 5
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa air sumur sampel 5 ini mengandung
bakteri E. Coli sampai 3/100 ml, bakteri Coliforms sampai 150/100 ml dan
kekeruhannya mencapai 137,5 mg SiO2/l dari basil di atas diketahui bahwa air
sumur tersebut tercemar dan tidak layak untuk dijadikan air minum. Sampel air
sumur 5 ini diambil dari rumah penduduk yang saluran air/drainasenya tidak
dapat berfungsi dengan baik/mampet, namun saluran air/drainasenya terbuat
dari pasangan batu kali dan memiliki ukuran saluran yang cukup besar, saluran
air/drainase ini mampet karena terlalu banyak sampah/kotoran-kotoran yang
menyumbat saluran tersebut. Keadaan topografi pengambilan sampel air sumur
ini landai, sistem pembuangan pada kamar mandinya sudah memakai tangki
septik, dan kedalaman air sumur ini mencapai 4,00 m.

1. Konsep Pengelolaan Saluran Pembuangan Tinja Dan Limbah Cair

Tinja dan limbah cair merupakan bahan buangan yang timbul karena
adanya kehidupan manusia sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial. Tinja
juga merupakan bahan buangan yang sangat dihindari oleh manusia karena dapat
mengakibatkan bau yang sangat menyengat dan sangat menarik perhatian serangga,
khususnya lalat, dan berbagai hewan lain seperti anjing, ayam, dan tikus. Apabila
pembungan tinja dan limbah cair tidak ditangani sebagaimana mestinya maka dapat
mengakibatkan terjadinya pencemaran permukaan tanah serta air tanah, yang
berpotensi menjadi penyebab timbulnya penularan berbagai macam penyakit saluran
pencemaan. Untuk menghindari berbagai macam dampak negatif pada kehidupan
manusia dan lingkungan, penanganan tinja dan limbah cair ini dilakukan dengan
teknik dan prosedur yang sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu sanitasi dan kesehatan
lingkungan. Penanganannya yaitu dengan membuat konsep pengelolaan saluran
pembungan tinja dan limbah cair dengan mendesain tangki septik di gang/jalan di
sekitar daerah tersebut. Perencanaan ini dilakukan untuk menghindari terjadinya
masalah lingkungan hidup dan masalah kesehatan masyarakat sekitar.

2. Perhitungan Saluran Pembuangan Tinja dan Limbah Cair

Jumlah penghuni tiap rumah kurang dari lima orang. Jika tangki septik yang
direncanakan digunakan untuk menampung sebanyak empat rumah dengan penghuni
sebanyak 18 orang. Kuantitas tinja dan air seni yaitu sebanyak 1,57 ltr/orang/hari,
sedangkan air yang digunakan dalam menyiram kloset yaitu sebanyak 12 ltr/org/hari,
maka limbah yang dihasilkan yaitu:

QTinja dan air seni =18 orang × 1,57 ltr/orang/hari = 28,26 ltr/hari

=0,02826 m3/hari
QAir = 18 orang × 12 ltr/org/hari
= 216 ltr/hari
= 0,216 m3/hari
Vol. Tangki Septik =La × Tinggi
=(P × L) T
=(7,4 × 1,0) 4
=29,6 m3
Umur Rencana Tangki Septik (UR)
29,6 m3
=
0,02826 m3 hari

=1047 hari
=2,9 tahun

HASIL

Karakteristik responden pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar


pendidikan orang tua responden tergolong berpendidikan menengah/tinggi (65%) dan
penghasilan di atas Upah Minimum Regional (UMR) (57,7%). Lebih lanjut,
mayoritas responden tidak diberikan makanan prelaktal (53,5%). Namun, mayoritas
usia awal pemberian makanan selain ASI yaitu kurang dari 6 bulan (66,7%) dengan
jenis makanan yang pertama kali diberikan setelah ASI yang terbanyak secara
berurutan adalah bubur nasi (23,1%); bubur formula (21,0%); pisang dihaluskan
(19,5%); dan lain-lain (19,0%). Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 2 diketahui
bahwa dari 385 balita di 12 Puskesmas Kabupaten Pesawaran ditemukan balita
pendek (stunting) sebanyak 46% sedangkan balita normal sebanyak 54%. Sebagian
besar balita tidak mendapatkan ASI eksklusif (66,2%) sedangkan balita yang
memiliki riwayat ASI eksklusif hanya 33,8%. Mayoritas balita memiliki berat lahir
normal (92,2%) sedangkan sejumlah kecil balita memiliki riwayat BBLR (7,8%).
Tabel 2 juga menunjukkan adanya hubungan antara riwayat ASI eksklusif dan berat
lahir dengan kejadian stunting pada balita. Balita dengan riwayat ASI eksklusif
berhubungan signifikan dengan kejadian stunting (p<0,001; OR=0,122; CI 95%:
0,075- 0,199). Demikian juga balita dengan riwayat BBLR (p<0,001; OR=12,30; CI
95%: 3,663-41,299). Hasil analisis pada Tabel 3 menunjukkan permodelan uji regresi
ganda yaitu hasil riwayat ASI eksklusif dengan nilai OR=0,108 (CI 95%: 0,065-
0,180) dan berat lahir dengan nilai OR=17,063 (CI 95%: 4,892-59,511). Hal ini
menjelaskan bahwa balita yang memperoleh ASI eksklusif berisiko 9,3 kali lebih
kecil untuk terjadinya stunting dibandingkan balita yang tidak memperoleh ASI
eksklusif atau ASI eksklusif memberikan efek proteksi terhadap terjadinya stunting
pada balita. Sebaliknya pada berat lahir, ditemukan bahwa balita dengan riwayat
BBLR berisiko 17,063 kali lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan balita
dengan riwayat berat lahir normal.
BAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian stunting pada balita di


Kabupaten Pesawaran masih tinggi yaitu sebesar 46% dari 385 balita yang menjadi
subjek penelitian. Hasil ini masih lebih tinggi dibandingkan laporan Riskesdas (2013)
di Provinsi Lampung yaitu 42,6% dan laporan Pemantauan Status Gizi (PSG) di
Kabupaten Pesawaran tahun 2017 yaitu 35,5% (2,8). Stunting merupakan kasus pada
balita yang memiliki tinggi badan dibandingkan usia dengan nilai z-skor kurang dari
dua standar deviasi (<2 SD) di bawah median (11). Tinggi badan menurut umur
diketahui sebagai salah satu indikator pertumbuhan pada masa balita. Tinggi badan
menurut umur juga dapat menggambarkan kecukupan nutrisi pada masa balita. Balita
yang tidak terpenuhi kebutuhan nutrisinya dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan,
perkembangan, dan kecerdasan. Apabila kondisi ini terus berlanjut maka akan
berdampak pada daya saing yang rendah pada masa dewasa. Kejadian stunting juga
berkaitan dengan beberapa faktor diantaranya adalah berat lahir, usia ibu, dan
cakupan ASI eksklusif (7). Tingginya kejadian stunting pada penelitian ini karena
peneliti juga melakukan penelitian pada balita yang tidak rutin ke Posyandu di
wilayah kerja 12 Puskesmas Kabupaten Pesawaran untuk mengukur tinggi badan dan
berat badan. Menurut Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), pemantauan status gizi
balita dapat dilihat dari pertumbuhan berat badan menurut umur, berat badan menurut
tinggi badan, dan tinggi badan menurut umur. Pemantauan ini sebaiknya dilakukan
setiap bulan dan dituliskan di dalam buku KIA. Namun pada kenyataannya, kader
Posyandu hanya rutin mencatat pemantauan berat badan menurut umur, sedangkan
kurva pemantauan tinggi badan menurut umur dan berat badan menurut umur belum
menjadi agenda rutin pencatatan. Oleh karena itu, kasus stunting belum dapat
dideteksi secara dini, padahal pada buku KIA telah terdapat kurva pemantauan yang
terbagi berdasarkan umur 0-6 bulan, 6 bulan-2 tahun, dan 2-5 tahun yang seharusnya
rutin dicatat setiap bulan (12).

Kasus riwayat BBLR pada penelitian ini ditemukan sebanyak 7,8%.


Prevalensi ini hampir sama dengan prevalensi di tingkat Provinsi Lampung yaitu 8%
dan lebih rendah dari prevalensi nasional yaitu 10%. Faktor risiko BBLR di Indonesia
diantarnya adalah faktor lingkungan (paparan asap rokok dan tempat tinggal),
sosiodemografi (usia dan sosio-ekonomi), dan faktor ibu (anemia, plasenta abnormal,
status gizi ibu, pemeriksaan antenatal, pre-eklampsia, paritas, dan komplikasi pada
kehamilan). Anemia dan status gizi menjadi faktor dominan yang mempengaruhi
BBLR (11). Pada penelitian ini diketahui adanya riwayat ASI eksklusif pada balita
sebanyak 33,2%. Cakupan pemberian ASI eksklusif secara nasional di Indonesia
hanya 27,1% (13). Rendahnya cakupan ASI eksklusif berdampak pada masih
tingginya kasus malnutrisi di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
riwayat BBLR dan dan riwayat ASI eksklusif berpengaruh signifikan terhadap
kejadian stunting di Kabupaten Pesawaran Lampung. Bayi berat lahir rendah
merupakan faktor predisposisi pencapaian pertumbuhan setelah lahir. Bayi berat lahir
rendah berhubungan dengan kelahiran prematur dan atau Intrauterine Growth
Restriction (IUGR). Hasil studi membuktikan bahwa BBLR menjadi penentu utama
terjadinya stunting (1). Retardasi pertumbuhan dini bersamaan dengan perkembangan
kognitif yang kurang optimal dan terhambatnya pertumbuhan organ internal dapat
mengakibatkan kemampuan kognitif yang rendah dan meningkatkan risiko penyakit
kronis di kemudian hari (14).

Hasil penelitian ini didukung oleh studi di Amazon yang menunjukkan bahwa
BBLR merupakan faktor determinan terjadinya stunting pada anak di bawah 5 tahun,
kemudian disusul dengan riwayat infeksi kronis seperti diare (15). Selain itu,
penelitian di Iran juga menjelaskan bahwa kasus BBLR dapat meningkatkan kejadian
stunting pada balita (7). Bayi dengan BBLR akan mengalami gangguan pertumbuhan
sejak awal kehidupannya. Stunting pada anak-anak, khususnya dalam 2 tahun
pertama kehidupan memiliki efek jangka panjang pada tinggi badan saat dewasa,
pencapaian sekolah, pendapatan, hingga kecenderungan penyakit kronis saat dewasa
(16). Studi di Afrika juga menunjukkan bahwa balita yang mengalami stunting, akan
berisiko mengalami gangguan ekonomi, gangguan reproduksi, dan penurunan
kognitif pada masa dewasa (17). Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa
balita dengan riwayat ASI eksklusif dapat menurunkan risiko menjadi stunting
sampai 9,3 kali lebih kecil dibandingkan pada balita tanpa riwayat ASI eksklusif.

Pemberian ASI eksklusif bersifat protektif terhadap kejadian stunting. Namun,


pada jangka pendek, ASI eksklusif memberikan perlindungan pada infeksi diare dan
pernapasan (18) yang telah banyak bukti bahwa infeksi berkepanjangan menyebabkan
balita stunting. Pada jangka panjang, ASI eksklusif memberikan perlindungan
terhadap penyakit tidak menular seperti diabetes, tekanan darah, dan kolestrol serta
obesitas (19). Menyusui adalah cara terbaik dalam menyediakan makanan yang ideal
untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Lebih dari dua pertiga angka kematian
pada balita terkait dengan praktik pemberian makan yang tidak tepat selama tahun
pertama kehidupan. Hasil studi pada Empowered Action Group (EAG) States di India
menyatakan bahwa pemberian ASI eksklusif merupakan faktor utama yang
mempengaruhi status gizi anak. Dengan demikian, intervensi tunggal yang paling
hemat biaya untuk mengurangi kematian bayi di negara-negara berkembang adalah
promosi pemberian ASI eksklusif (10). Lebih lanjut, pemberian ASI dipengaruhi oleh
faktor keluarga dan motivasi ibu. Sebagian besar kasus menunjukkan bahwa ibu yang
menyusui juga mengalami kondisi kurang gizi, yang mengakibatkan rendahnya
produksi ASI dan pada akhirnya dilakukan pengenalan makanan pendamping ASI
(MP-ASI) kepada bayi sebelum berusia 6 bulan. Beberapa kajian penelitian juga
menyatakan bahwa berat badan lahir, status menyusui, usia ibu, besar keluarga, status
sosial ekonomi, dan urutan kelahiran berhubungan dengan kejadian stunting pada
anak (7,10,20). Hasil penelitian lain juga menyebutkan bahwa stunting secara
signifikan terkait dengan status ekonomi miskin (21). Temuan ini sesuai dengan
hipotesis umum bahwa kemiskinan mengarah pada asupan gizi yang kurang pada
kehamilan yang dapat menyebabkan BBLR. Sementara itu, BBLR juga menyebabkan
komplikasi pada masa kelahiran yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
sehingga menyebabkan stunting (15).

Keterbatasan dan kelemahan pada penelitian ini terletak pada desain


penelitian cross-sectional yang kurang mampu untuk menjelaskan secara tepat
hubungan riwayat ASI eksklusif dan BBLR dengan kejadian stunting. Penelitian ini
tidak menganalisis faktor sosiodemografi yang menjadi latar belakang terjadinya
kasus stunting. Penghasilan yang rendah cenderung memiliki variasi makan yang
monoton seperti nabati, sayuran, dan buah yang mungkin terbatas dibandingkan
dengan rumah tangga berpenghasilan lebih tinggi (20). Peneliti juga tidak melakukan
eksplorasi terhadap pola makan yang merupakan faktor langsung penyebab kejadian
stunting. Oleh karena itu, peneliti kemudian melakukan penggalian data tentang
BBLR menggunakan riwayat kelahiran dalam buku KIA. Pada riwayat ASI eksklusif,
peneliti melakukan pengkajian dengan menanyakan riwayat pemberian ASI termasuk
makanan prelaktal, pendamping ASI, pemberian makanan lain, dan usia mulai
diberikan makanan pendamping ASI.

Hasil dari studi ini membuktikan bahwa riwayat BBLR dan tidak memberikan
ASI eksklusif merupakan faktor risiko stunting di Kabupaten Pesawaran. Menurut
temuan peneliti, mengurangi kasus stunting membutuhkan upaya yang berkelanjutan,
dimulai dari mendiagnosis dan mengobati ibu dan anak sejak masa prakonsepsi dan
peningkatan praktik pemberian ASI eksklusif di antara ibu dan keluarga. Hasil
penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemegang kebijakan untuk
meningkatkan intervensi dalam promosi ASI eksklusif dan meningkatkan cakupan
ASI eksklusif di Kabupaten Pesawaran. Selain itu, perlu peningkatan promosi
kehamilan sehat sejak masa prakonsepsi untuk mencegah kasus BBLR yang dapat
berisiko terhadap morbiditas dan mortalitas anak serta dampak jangka panjang
stunting yang merugikan hingga masa dewasa. Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk
program intervensi penatalaksanaan kasus stunting berdasarkan hasil temuan ini
dengan meningkatkan promosi ASI dan pencegahan BBLR.
SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan
Dari hasil observasi dan kuisioner didapatkan bahwa keadaan daerah Banjar Ubung
Sari sangat padat, hal ini dapat dilihat dari luas lahan yang dikuasai hampir sama
dengan luas bangunan yang ditempati yaitu 74,47 %. Sedangkan untuk tempat yang
dihuni sebagian besar (55,32 %) adalah bangunan semi permanen, ini disebabkan
tanah yang ditempati merupakan tanah kontrakan dan penduduknya sebagian besar
penduduk pendatang yang bekerja sebagai pekerja musiman dengan penghasilan yang
tidak menentu. Untuk saluran air/ drainasenya tidak berfungsi dengan baik, karena
saluran tersebut tersumbat oleh sampah dan limbah yang dibuang oleh penduduk di
sekitar. Ada juga penduduk yang membuang air limbah dapur langsung ke tanah,
sehingga hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran terhadap lingkungan.
Dan dari hasil penelitian didapatkan bahwa air sumur yang berasal dari air sumur bor
tidak mengalami pencemaran oleh bakteri, sehingga air sumur bor dapat dikonsumsi
menjadi air minum. Untuk air yang berasal dari sumur gali sebagian besar tercemar
oleh bakteri E.Coli dan bakteri Coliforms, sehingga air sumur yang berasal dari
sumur gali sebagian tidak boleh dikonsumsi menjadi air minum. Tetapi sebagian
besar (82,98 %) penduduk Banjar Ubung Sari memakai air dari PDAM untuk
kebutuhan sehari-harinya. Karena keadaan saluran yang tidak berfungsi dengan baik,
maka direncanakan saluran yang berbentuk saluran terbuka dengan bentuk segi empat
pada bagian atas dan setengah lingkaran pada bagian bawahnya, mengingat bentuk ini
mampu mengalirkan debit yang besar maupun kecil dan saluran dengan bentuk
kombinasi segi empat dan setengah lingkaran ini dapat mencegah terjadinya
sedimentasi/ pengendapan pada bagian bawah saluran. Permasalahan pembuangan
tinja dan air seni di daerah tersebut diatasi dengan direncanakan sebuah tangki septik
yang terletak di gang/jalan, perencanaan ini dilaksanakan karena lahan yang dikuasai
oleh penduduk sekitar tidak cukup untuk merencanakan tangki septik di halaman
rumah. Selain itu, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya masalah
lingkungan hidup, masalah kesehatan penduduk sekitar, dan untuk meringankan
beban/biaya pengurasaan tangki septik bagi penduduk sekitar.

2. Saran

Perlunya pembuatan atau perencanaan tata saluran yang sesuai dengan hasil analisis
yang telah dilakukan. Pemeliharaan terhadap saluran pembuangan lebih ditingkatkan
guna menghindari terjadinya endapan, penyumbatan, penyebaran penyakit, dan
pencemaran ekosistem.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1988. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 16 Tahun
1988, Tentang Pengawasan dan Penaggulangan Pencemaran Lingkungan Oleh
Limbah, Denpasar, Bali.
Anonim, Buku Pedoman Tentang Penyediaan Air Bersih.

Anonim, 1997. Data Monografi Desa/Kelurahan Ubung Kecamatan Denpasar Barat


Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar, Bali.

Anonim, 2000. Keputusan Gubernur Bali Nomor 515 Tahun 2000, tentang Standar
Baku Mutu Lingkungan, Denpasar, Bali.

Depkimpraswil Dirjen Perkim, 2003. Panduan Identifikasi Lokasi Kawasan


Perumahan dan Permukiman Kumuh, Jakarta.

Soeparman H.M. dan Suparmin, 2001. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair, EGC,
Jakarta.

Sutrisno, T., 2004. Teknologi Penyediaan Air Bersih, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Sudiarsa, I W., 2004. Air Untuk Masa Depan, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Wardhana, W.A., 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Offset Yogyakarta,


Jakarta.

Yudohusodo, S., 1991. Rumah Untuk Seluruh Rakyat, INKOPPOL Unit Percetakan
Bharakerta, Jakarta.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Keperawatan memiliki peran untuk membantu klien termasuk memberi
pendidikan kesehatan, sehingga mereka memiliki perilaku baru yang dapat
memberikan dampak positif untuk kelangsungan hidupnya. Model promosi kesehatan
oleh Nola J. Pender dengan menggabungkan dua teori yaitu teori Nilai Pengharapan
(Expectancy Value) dan teori Pembelajaran Sosial ( Social kognitive theory) yang
memandang promosi kesehatan dan pencegahan penyakit sebagai suatu yang logis
dan ekonomis.
Model promosi kesehatan memandang klien sebagai manusia yang memiliki fungsi
yang holistic yang selalu berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu lingkungan
dapat mempengaruhi perilaku yang ditampilkan oleh klien. Pengembangan perilaku
baru yang diinginkan dapat dipelajari dari pengalaman orang lain.
Model promosi kesehatan memiliki asumsi bahwa manusia selalu mencoba
menciptakan kondisi agar tetap hidup sehingga mereka dapat mengekpresikan
keunikannya. Perilaku untuk meningkatkan kesehatan dilihat dengan memperhatikan
perilaku sebelumnya, karena perilaku tersebut memberikan efek secara langsung
maupun tidak langsung terhadap perilaku promosi kesehatan yang akan dipilih.
3.2.Saran
Semoga makalah ini dapat dimanfaatkan bagi siapapun yang memerlukan informasi
terkait isi makalah ini. Dengan tersusunnya makalah tentang “Health Promotion
Model” atau model promosi kesehatan olej Nola J. Pender ini, maka kami berharap
makalah ini mendapatkan kritik membangun dari para pembaca demi kesempurnaan
penulisan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Nola J. Pender.(1996).Health Promotion in Nursing Practice.USA:A


            Simon & Schuster Compani
Tomey, A,2006.Nursing theorist and their work,6 edition.St,Louis,
            Missouri:C.V.Mosby Company
Tomey dan Alligod.2006. Nursing Theorist and Their Work Philladelphia.Mosby

Anda mungkin juga menyukai