DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................2
2.1 Epidemiologi..................................................................................................2
2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi....................................................................3
2.3 Patogenesis.....................................................................................................3
2.3.1 Limfoma Hodgkin...................................................................................3
2.3.2 Limfoma Non-Hodgkin..........................................................................4
2.4 Anatomi..........................................................................................................5
2.5 Fisiologi.........................................................................................................6
2.6 Histopatologi..................................................................................................6
2.6.1 Limfoma Hodgkin...................................................................................6
2.6.2 Limfoma Non-Hodgkin..........................................................................6
2.7 Manifestasi Klinis..........................................................................................7
2.7.1 Limfoma Hodgkin...................................................................................7
2.7.2 Limfoma Non-Hodgkin..........................................................................7
2.8 Pemeriksaan...................................................................................................8
2.8.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Klinis........................................................8
2.8.2 Biopsi......................................................................................................8
2.8.3 Pemeriksaan Genetika Molekuler...........................................................9
2.8.4 Radiologi.................................................................................................9
2.9 Staging Limfoma............................................................................................9
2.10 Tatalaksana...................................................................................................9
2.10.1 Bedah....................................................................................................9
2.10.2 Kemoterapi..........................................................................................10
2.10.3 Radioterapi..........................................................................................10
2.10.4 Terapi Hormonal.................................................................................11
2.10.5 Targeting Therapy...............................................................................11
2.10.6 Rekomendasi Regimen Terapi (Kombinasi).......................................11
2.11 Follow Up..................................................................................................18
2.12 Prognosis....................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Gambar 2. Jumlah kasus dan rasio jenis kelamin menurut sub-tipe dan usia:
Haematological Malignancy Research Network (HMRN) 2004–2012. (5)
3
2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi
2.3 Patogenesis
4
empat subtipe: cHL sklerosis nodular, cHL seluler campuran, cHL yang
kekurangan limfosit, dan cHL yang kaya limfosit. HL klasik menyumbang 95%
dan NLPHL menyumbang 5% dari semua HL. Studi tentang gen rantai berat
variabel-wilayah (VH) imunoglobulin yang diatur ulang dari sel limfoma yang
diisolasi dari pasien dengan HL, telah menetapkan bahwa baik sel dominan
limfosit (sel LP – sel noplastik NLPHL) serta sel Hodgkin dan Reed-Sternberg
(HRS – sel neoplastik cHL) berasal dari sel B yang berasal dari sel B pusat
germinal. Meskipun berasal dari sel B pusat germinal, sel HRS jarang
mengekspresikan gen sel B, termasuk antigen CD20 dan faktor transkripsi sel B
OCT2, BOB1, dan PU.1, mungkin karena pemrograman ulang epigenetik.
Berbeda dengan beberapa subtipe NHL, tidak ada translokasi kromosom spesifik
berulang yang telah dijelaskan dalam HL.(6)
Klasifikasi limfoma Hodgkin (LH) yang umum digunakan hingga saat ini
yaitu klasifikasi histologik menurut REAL (Revised American European
Lymphoma) dan WHO (World Health Organization) yang menglasifikasikan LH
ke dalam 5 tipe, yaitu (1) nodular sclerosing, (2) mixed cellularty, (3) lymphocyte
depleted, (4) lymphocyte rich dan (5) nodular lymphocyte predominant. LH tipe
nodular sclerosing, mixed cellularity, lymphocyte depleted dan lymphocyte rich
seringkali dikelompokkan sebagai LH klasik.(20)
5
LH tipe nodular sclerosing.
LH tipe nodular sclerosing adalah tipe LH yang paling sering dijumpai, baik
pada penderita pria ataupun wanita, terutama pada para remaja dan dewasa muda.
LH tipe ini memiliki kecenderungan predileksi pada kelenjar getah bening yang
terletak di supraklavikula, servikal dan mediastinum. Karakteristik histologik dari
LH tipe nodular sclerosing adalah (1) adanya variasi dari sel Reed Stenberg yaitu
sel lakuna yang merupakan sebuah sel besar yang memiliki sebuah inti
multilobus, anak inti yang kecil dan multipel serta sitoplasma yang melimpah dan
pucat dan (2) adanya fibrosis dan sklerosis yang luas dengan pita kolagen yang
membagi jaringan limfoid ke dalam nodul-nodul berbatas dengan infiltrat seluler
yang mengandung limfosit, eosinofil, histiosit dan sel lakuna. (20)
LH tipe mixed cellularity adalah tipe LH yang paling sering terjadi pada
anak-anak dan penderita yang berusia lebih dari atau sama dengan 50 tahun serta
mencangkup 25% dari keseluruhan kasus LH yang dilaporkan. Pria lebih dominan
untuk menjadi penderita dibandingkan dengan wanita dan LH tipe ini memiliki
kecenderungan predileksi pada kelenjar getah bening yang terletak di abdomen
dan limpa. Karakteristik histologik dari LH tipe mixed cellularity adalah sel Reed
Sternberg yang berlimpah di dalam infiltrat inflamasi heterogen yang
mengandung limfosit berukuran kecil, eosinofil, sel plasma dan makrofag. LH
tipe ini juga yang paling sering menunjukkan manifestasi sistemik dibandingkan
dengan tipe-tipe lainnya. (20)
6
Gambar 5. Histopatologik dari LH tipe Mixed-Cellularity. (20)
LH tipe lymphocyte depleted merupakan tipe LH yang paling jarang dijumpai dan
hanya mencangkup kurang dari 1% dari keseluruhan kasus LH namun merupakan
tipe LH yang paling agresif dibandingkan dengan tipe LH lainnya. LH tipe ini
paling sering terjadi pada penderita dengan usia yang sudah lanjut dan seringkali
dihubungkan dengan infeksi virus HIV/AIDS. Infiltrat pada LH tipe ini lebih
sering tampak difus dan hiposeluler sedangkan sel Reed Sternberg hadir dalam
jumlah yang besar dan bentuk yang bervariasi. LH tipe lymphocyte depleted dapat
dibagi menjadi subtipe retikuler dengan sel Reed Sternberg yang dominan dan
sedikit limfosit serta subtipe fibrosis difus di mana kelenjar getah bening
digantikan oleh jaringan ikat yang tidak teratur dan dijumpai sedikit sel limfosit
dan sel Reed Sternberg. (20)
LH tipe lymphocyte rich.
LH tipe lymphocyte rich mencangkup kurang dari 5% dari keseluruhan kasus LH.
Karakteristik histologic dari LH tipe ini adalah adanya sel Reed Sternberg dengan
latar belakang infiltrat sel limfosit serta sedikit eosinofil dan sel plasma yang
dapat berpola difus atau noduler.
7
multilobus yang halus dan menyerupai gambaran berondong jagung (pop-corn).
Sel Reed Sternberg L & H biasanya ditemukan di dalam nodul besar yang
sebagian besar dipenuhi oleh sel-B limfosit kecil yang bercampur dengan
makrofag sedangkan sel-sel reaktif lainnya seperti eosinofil, neutrophil dan sel
plasma jarang ditemukan. Varian sel ini juga biasanya tidak menghasilkan CD30
dan CD15 seperti sel Reed Sternberg pada umumnya melainkan menghasilkan
CD20. (20)
8
Gambar 4. Patogenesis NHL. (8)
Klasifikasi
9
10
2.4 Anatomi
11
Organ Limfoid
Limfosit terdapat sebagai sel yang berada di dalam darah, limfe, jaringan
pengikat dan epitel, terutama dalam lamina propria tractus respiratorius dan
tractus digestivus, limfosit terlihat bersama dengan plasmasit dan makrofag
sebagai kumpulan yang padat dalam jaringan pengikat longgar. Apabila jaringan
penyusunnya terdiri atas sel-sel limfosit saja maka jaringan tersebut disebut
jaringan limfoid, sedangkan organ limfoid adalah jaringan limfoid yang
membentuk bangunan sendiri. Jadi, jaringan dan organ limfoid adalah jaringan
yang mengandung terutama limfosit, terlepas apakah terdapat bersama dengan
plasmasit dan makrofag atau tidak. Berdasarkan atas fungsinya, jaringan limfoid
terbagi menjadi dua yaitu jaringan limfoid primer dan jaringan limfoid sekunder.
Jaringan limfoid primer berfungsi sebagai tempat diferensiasi limfosit yang
berasal dari jaringan myeloid. Terdapat dua jaringan limfoid primer , yaitu
kelenjar thymus yang merupakan diferensiasi limfosit T dan sumsum tulang yang
merupakan diferensiasi limfosit B. Pada aves, limfosit B berdiferensiasi dalam
bursa fabricius.(19)
2.5 Fisiologi
12
Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik mempunyai
kemampuan untuk mengenal benda yang di anggap asing bagi dirinya. Benda
asing yang pertama kali muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun
spesifik sehingga terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang
sama, bila terpajan ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan
olehnya. Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing
yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem itu disebut SPESIFIK. Untuk
menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh, sistem imun spesifik
dapat bekerja tanpa bantuan sisterm imun nonspesifik. Pada umumnya terjalin
kerja sama antara antibody komplemen-fagosit dan antara sel T-makrofag. Pada
imunitas humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba
ekstraseluler. Pada imunitas seluler, sel T akan mengaktifkan makrofag untuk
menghancurkan mikroba atau mengagtifkan sel Tc untuk membunuh sel l
terinfeksi.(19)
13
(true hormone) dan dapat mempengaruhi diferensiasi sel T di perifer. Sel T
terdiri dari beberapa subset dengan fungsi yang berlainan yaitu sel Th1,
Th2, T delayed type hypersensitivity/Tdth, cytotoxic T lymphocyte /CTL
atau Tc, Ts (supresor) atau Tr (regulator) atau Th3. Fungsi utama sistem
imun spesifik seluler adalah pertahanan terhadap bakteri yang hidup
intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan. Yang berperan dalam
imunitas seluler adalah CD4+ yang mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya
mengaktifkan makrofag untuk mengancurkan mikroba dan sel CD8 + yang
membunuh sel terinfeksi. Perbedaan imunitas spesifik humoral dan seluler
sebagaimana tabel berikut.
Tabel 1. Perbedaan karakteriktik imun.(19)
(3) Sel T
Fungsi sel T umumnya berperan pada inflamasi, aktivasi makrofag dalam
fagositosis, aktivasi dan proliferasi sel B dalam produksi antibodi. Sel T
juga berperan dalam pengenalan dan penghancuran sel yang terinveksi
virus. (19)
Subset sel T
Sel T terdiri dari atas sel CD4 +, CD8 + dan sel NK. Sel T naïf yang
terpajang dengan antigen yang diikat MHC yang dipresentasikan APC atau
dirangsang sitokin spesifik, akan berkembang menjadi subset sel T berupa
CD4 +, CD8 + . (19)
Sel T naïf
14
Adalah sel limfosit yang belum matang, belum berdiferensiasi, belum
pernah terpajan dengan antigen dan menunjukkan molekul permukaan
CD45RA. Sel ditemukan dalam organ limfoid perifer. Sel naïf yang
terpajang dengan antigen akan berkembang menjadi sel Th0 yang
selanjutnya berkembang menjadi efektor Th1 dan Th2. Sel Th0
memproduksi Il-2, IL-4 dan IFN. (19)
(4) Sel B
Aktivasi sel B diawali dengan pengenalan spesifik oleh reseptor permukaan.
Antigen dan perangsang lain termasuk Th merangsang proliferasi dan
diferensiasi klon sel B spesifik. Dalam perkembangannya, sel B mula-mula
memproduksi IgM atau isotope Ig lain (seperti IgG), menjadi matang atau
menetap sebagai sel memori. Pematangan sel B terjadi dalam berbagai
tahap. Fase-fase pematangan sel B berhubungan dengan Ig yang diproduksi.
(19)
15
antigen adalah bagian dari antigen yang dapat membuat kontak fisik dengan
reseptor antibodi, menginduksi pembentukan antibodi; dapat di ikat spesifik
oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor antibodi. Makromolekul dapat
memiliki berbagai epitop yang masing-masing merangsang produksi
antibodi sepesifik yang berbeda. Paratop adalah bagian dari antibodi yang
mengikat epitop. Respons imun dapat terjadi terhadap semua golongan
bahan kimia seperti hidrat arang, protein dan asam nukleat. Glikolipid dan
lipoprotein dapat juga sebagai imunogenik. Superantigen adalah molekul
yang sangat poten terhadap mitogen sel T. Contoh superantigen adalah
racun / toksin. Superantigen dapat memacu pelepasan sejumlah besar sitokin
seperti IL-1 dan TNF yang berperan dalam syok anafilatik. (19)
2.6 Histopatologi
Gambaran histologis HL: sel HRS, yang tampak aneh, sel bilobus dengan
dua inti, muncul dalam latar belakang sel inflamasi non-maligna. Pewarnaan
imunohistokimia HL menunjukkan penanda positif untuk CD30, CD15, tetapi
negatif untuk CD20.(1,2,12)
16
dengan kelenjar getah bening reaktif), tetapi bukannya kombinasi sel B
(CD20+) dan beberapa sel T (CD3+), folikel sebagian besar terdiri dari sel B
yang positif untuk BCL -2 di FL. (1,2,12)
Extranodal Marginal Zone Lymphoma dari MALT: Agregat limfosit kecil
dengan pewarnaan IHC positif untuk CD20 dan CD5 dan CD10 negatif. (1,2,12)
Limfoma Sel Mantel: Muncul dari sel zona mantel kelenjar getah bening,
yang merupakan sel B pasca-GC (pusat germinal). Diagnosis histologis
dibuat dengan memvisualisasikan area sel limfoid kecil, yang muncul dari
zona mantel secara langsung dalam beberapa kasus, dengan pewarnaan IHC
yang khas dan selalu positif untuk cyclin D1, protein yang terlibat dalam
regulasi siklus sel. (1,2,12)
Limfoma Burkitt (BL): diagnosis histologis dibuat dengan mengenali sel B
berukuran sedang hingga besar dengan tingkat proliferasi yang sangat tinggi
(Ki67 hampir 100%), dengan penampakan langit berbintang klasik karena
makrofag tubuh yang dapat terkelupas dengan pembersihan di sekitarnya.
(1,2,12)
17
gastrointestinal atau genitourinaria, dan massa nodus tidak bersifat invasif
dan destruktif secara lokal.(3)
Limfoma Zona Marginal: Menunjukkan gejala yang berhubungan dengan
tempat yang terkena (perut, paru-paru, adneksa okular, payudara, tiroid, usus,
kulit, dan jaringan lunak) dan gejala B jarang terjadi dan harus meningkatkan
kecurigaan untuk limfoma yang berubah.(3)
Limfoma Sel Mantel: 70% hingga 90% pasien datang dengan penyakit
stadium 4 yang dapat dideteksi. Keterlibatan sumsum tulang sering terjadi,
dan fase leukemia terlihat sesering 75% pada beberapa seri. Saluran
pencernaan sering terlibat dan dapat muncul dari poliposis limfomatous difus
ke lumen normal dengan penyakit mikroskopis yang terlihat pada biopsi.(3)
Limfoma Burkitt: BL endemik muncul pada anak-anak sebagai tumor
rahang atau tulang wajah dan menyebar secara hematogen di awal perjalanan
ke situs ekstranodal, termasuk ginjal, testis atau ovarium, SSP, atau
meningen. BL sporadis muncul sebagai penyakit perut besar yang melibatkan
lambung, sekum, atau usus kecil dengan asites terkait.(3)
2.8 Pemeriksaan
2.8.2 Biopsi
Biopsi eksisi kelenjar getah bening terbesar yang paling utama dan mudah diakses
sehingga harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Biopsy merupakan gold standart
diagnosis. (3)
a. FISH atau PCR pada sumsum/darah yang terlibat untuk translokasi terkait
limfoma spesifik.(14)
18
b. Re-arrangement rantai berat imunoglobulin (IgH) dan reseptor sel T (TCR)
pada sumsum/darah jika staging molekuler diindikasikan secara klinis. (14)
2.8.4 Radiologi
a. Sinar-X polos tulang dan bone scintigraphy skeletal survey untuk NHL tulang
ekstranodal. (14)
b. Magnetic resonance imaging (MRI) atau CT scan otak, pencitraan dengan
kontras, bila ada gejala dan tanda SSP. (14)
2.10 Tatalaksana
2.10.1 Bedah
19
patologis tidak berarti peningkatan kelangsungan hidup secara keseluruhan.
Selanjutnya, pada limfoma non-Hodgkin, splenektomi lebih banyak digunakan
untuk paliatif dan memiliki peran yang kecil dalam terapi. Hanya dalam kasus
yang jarang dari limfoma limpa primer dapat splenektomi dipandang sebagai
terapi utama, namun, apakah kemoterapi tambahan atau radiasi diperlukan belum
dievaluasi.(15)
Laparotomi Splenektomi
2.10.2 Kemoterapi
2.10.3 Radioterapi
20
beberapa kasus HL yang didominasi limfosit nodular. Pada NHL, RT dapat
digunakan dalam berbagai skenario;(3)
Untuk NHL indolen stadium awal (Ann Arbor stadium I atau II) dengan
jumlah beban penyakit yang terbatas, RT dapat digunakan sebagai
pengobatan modalitas tunggal.
Untuk NHL yang lebih lanjut dan/atau agresif, RT digunakan setelah
kemoterapi sebagai konsolidasi.
Selama 20 tahun terakhir, terapi obat baru untuk limfoma sel B dan sel T
telah berkembang pesat. Terapi yang ditargetkan untuk limfoma sel B meliputi:
(1) antibodi monoklonal yang diarahkan pada antigen limfosit CD20, contohnya
adalah rituximab, ofatumumab, dan obinutuzumab; (2) terapi transfer gen,
contohnya adalah terapi sel T yang dimodifikasi reseptor antigen chimeric (CAR-
T) yang diarahkan pada antigen CD19 yang diekspresikan pada permukaan sel
baik sel B yang belum matang maupun yang matang; dan (3) inhibitor molekul
kecil (ibrutinib, acalabrutinib, copanlisib, duvelisib, dan idelalisib) yang
menargetkan jalur sinyal reseptor sel B. Sebagai catatan, brentuximab vedotin
adalah konjugat obat antibodi yang menargetkan CD30, antigen limfosit lain yang
diekspresikan pada permukaan sel limfoma Hodgkin (varian limfoma sel B) dan
beberapa limfoma sel T. Meskipun jalur pensinyalan epigenetik yang
21
menyimpang ada pada limfoma sel B dan T, inhibitor epigenetik (contohnya
termasuk belinostat, vorinostat, dan romidepsin) saat ini disetujui oleh Food and
Drug Administration untuk limfoma sel T saja. Selain itu, terapi yang
menargetkan lingkungan mikro tumor telah dikembangkan. Contohnya termasuk
mogamulizumab, bortezomib, lenalidomide, nivolumab, dan pembrolizumab.
Singkatnya, kemanjuran agen-agen ini telah mengarah pada pengembangan
perawatan suportif untuk mengurangi efek samping, karena adanya toksisitas yang
sesuai atau tidak sesuai target.(18)
a. Limfoma Hodgkin
22
Stadium klinis Regimen terapi
lanjut usia > 65 tahun dapat diobati dengan COPP
ABVD adriyamycin, bleomycin, vinblastine, dacarbazine, BEACOPP bleomycin, etoposide,
adriamycin, cyclophosphamide, vincristine, procarbazine, prednisone, COPP cyclophosphamide,
oncovin, procarbazine and prednisone, IFRT involved field radiotherapy, 20–30 Gy, PET-CT
positron emission tomography computed tomography, RT radiotherapy, NLPHL nodular
lymphocytic predominant Hodgkin’s lymphoma
Strategi manajemen yang optimal untuk NHL derajat rendah (yaitu FL,
limfoma zona marginal [MZL], limfoma jaringan limfoid terkait mukosa
[MALT], dan leukemia limfositik kronis [CLL]) dijelaskan di bawah ini (Tabel
4,5,6).(14)
23
Stadium klinis Regimen terapi
bulanan selama 1 tahun
Tahap 3 dan 4: Kemo-imunoterapi × 6 siklus diikuti ± rituximab pemeliharaan selama
simptomatik 2 tahun.
• CVP ± R
• CHOP ± R
• B ± R
Strategi pengelolaan yang optimal untuk NHL sel B dewasa high grade
(DLBCL, limfoma sel mantel [MCL], BL) diberikan di bawah ini. (14)
24
Tabel 7. Penatalaksanaan DLBL(14)
Stadium klinis Regimen terapi
Stadium terbatas I–II , tidak ada gejala B, non-bulky (≤ 10 cm)
IPI rendah [0,1,2] CHOP-R × 3 siklus → IFRT 30 Gy/15 # atau
Jika < 55 tahun dan ingin menghindari RT ke 36 Gy/20# CHOP-R × 4 untuk IPI-0 CHOP-R ×
dada dan perut 6 untuk IPI – 1 atau 2
Tahap Lanjut
Tahap II (besar) CHOP ± R × 6 siklus pemeliharaan R q 2-3 bulanan selama 2 tahun
Stadium III-IV Menunggu dengan waspada
[Pasien tanpa gejala
dengan Ki-67 Rendah
dan IPI rendah]
Stadium III-IV Cocok untuk HSCT
[pasien bergejala] CHOP-R otomatis alternatif dengan DHAP-R × 6 → HDT dan HSCT
otomatis dalam remisi → pemeliharaan Rituximab
a
25
Ara-C cytarabine, platinol (cisplatin) and rituximab, HSCT hemopoeitic stem cell
transplantation, RT radiotherapy, R rituximab
Untuk pasien muda dengan CR atau PR untuk terapi lini pertama, konsolidasi dengan terapi
a
dosis tinggi (HDT) transplantasi sel induk hematopoietik autologus (Auto HSCT)
direkomendasikan
Ada insiden tinggi sindrom tumor-lisis dan tindakan harus diambil untuk
mencegah dan mengobati komplikasi ini. Pasien dengan penyakit besar dan
disfungsi organ dapat diobati dengan terapi dosis modifikasi (misalnya pra-fase-
CVP), dalam upaya untuk memodifikasi efek lisis tumor. Kemudian, terapi yang
lebih intensif perlu diberikan seperti diuraikan di bawah ini. (14)
26
CHOP dan IFRT. Pasien yang lebih muda (remaja dewasa muda) dapat
dipertimbangkan untuk protokol BFM jangka pendek yang lebih intensif
untuk NHL yang mencakup metotreksat dosis tinggi.
27
Presentasi T- Regimen terapi
LGL
Sitopenia ringan Transfusi sel darah merah kemasan
—Hemoglobin
< 9 gm/dL
Sitopenia berat Methotrexate (MTX) lebih disukai sebagai lini pertama dan CTX
—ANC < dipertimbangkan jika terjadi kegagalan MTX
500/mm 3
• MTX SA 10 mg/m /minggu atau
2
Aggressive NK cell leukemia: Pasien yang lebih muda harus dirawat dengan
protokol berbasis ALL.
Adult T cell leukemia lymphoma (ATLL): terapi ATLL disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Penatalaksanaan ATLL(14)
presentasi ATLL Regimen terapi
Smouldering Tidak ada manfaat dari perawatan dini—tunggu dan perhatikan
Limfoma CHOP + AZT bersamaan diikuti oleh HSCT alogenik pada remisi
pertama
Leukemia/limfoma derajat CHOP + AZT bersamaan diikuti oleh HSCT alogenik dalam
tinggi [HG] profilaksis SSP remisi pertama seperti untuk HG DLBCL
Limfoma Sel T Perifer Ekstranodal
Cutaneous T-Cell Lymphomas (CTCL): CTCL dapat muncul dengan kelainan
kulit infiltratif kronis yang tidak merata (mikosis fungoides—50% limfoma kulit)
atau dengan eritema difus dan sel T ganas dalam darah perifer (sindrom Sezary).
(14)
28
Stadium klinis Rejimen pengobatan
Terapi kombinasi
CHOP
Fludarabine/Cladarabine ± Berbasis mitoxantrone (FC/FCM)
Gemcitabine (GDP)
2.11 Follow Up
2.12 Prognosis
Karena kekuatan prediksi yang terbatas dari staging Ann Arbor untuk HL
dan NHL, model prognostik klinis dikembangkan untuk membantu dokter dalam
menyampaikan informasi prognostik kepada pasien. Beberapa model telah
dikembangkan, yang meliputi skor prognostik internasional HL, indeks prognostik
internasional (IPI) untuk DLBCL, dan indeks prognostik internasional FL (FLIPI)
untuk limfoma folikular. Skor IPI rendah memprediksi hasil yang lebih baik dan
IPI tinggi menunjukkan hasil yang lebih buruk.(14)
29
Tabel 13. Skor IPI(14)
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Mugnaini EN, Ghosh N. Lymphoma. Prim Care Clin Off Pract. 2016
Dec;43(4):661–75.
2. Matasar MJ, Zelenetz AD. Overview of Lymphoma Diagnosis and
Management. Radiol Clin North Am. 2008 Mar;46(2):175–98.
3. Jamil A, Mukkamalla SKR. Lymphoma. StatPearls. 2021.
4. Piekarz RL, Frye R, Prince HM, Kirschbaum MH, Zain J, Allen SL, et al.
Phase 2 trial of romidepsin in patients with peripheral T-cell lymphoma.
Blood. 2011 Jun 2;117(22):5827–34.
5. Smith A, Crouch S, Lax S, Li J, Painter D, Howell D, et al. Lymphoma
incidence, survival and prevalence 2004–2014: sub-type analyses from the
UK’s Haematological Malignancy Research Network. Br J Cancer. 2015
Apr 24;112(9):1575–84.
6. Stathis A, Owens C. Risk factors, etiology, and pathogenesis. 2016;
7. Luk C, Yu Y. Hodgkin lymphoma: pathogenesis and clinical findings
[Internet]. 2013. Available from: https://calgaryguide.ucalgary.ca/
8. Nogai H, Dörken B, Lenz G. Pathogenesis of Non-Hodgkin’s Lymphoma. J
Clin Oncol. 2011 May 10;29(14):1803–11.
9. Bujoreanu I, Gupta V. Anatomy, Lymph Nodes. StatPearls. 2021.
10. Parham P, Janeway C. The immune system 3rd Edition. New York:
Garland Science; 2009.
11. Ozdowski L, Gupta V. Physiology, Lymphatic System. StatPearls. 2021.
12. Swerdlow SH, Campo E, Pileri SA, Harris NL, Stein H, Siebert R, et al.
The 2016 revision of the World Health Organization classification of
lymphoid neoplasms. Blood. 2016 May 19;127(20):2375–90.
13. Giunti M, Falini B, Bolis GB, Stein H. Hodgkin ’ s lymphoma : the
pathologist ’ s viewpoint. J Clin Pathol. 2002;55:162–76.
14. Nair R, Kakroo A, Bapna A, Gogia A, Vora A, Pathak A, et al.
Management of Lymphomas: Consensus Document 2018 by an Indian
Expert Group. Indian J Hematol Blood Transfus. 2018 Jul 3;34(3):398–
421.
15. Yahanda AM. Surgical Treatment: Evidence-Based and Problem-Oriented.
Munich: Zuckschwerdt; 2001.
16. Duncan N. Lymphomas: current and future treatment options. 2014;
17. Kane EV, Bernstein L, Bracci PM, Cerhan JR, Costas L, Dal Maso L, et al.
Postmenopausal hormone therapy and non-Hodgkin lymphoma: a pooled
analysis of InterLymph case–control studies. Ann Oncol. 2013
Feb;24(2):433–41.
18. Chung C. Current targeted therapies in lymphomas. Am J Heal Pharm.
2019 Oct 30;76(22):1825–34.
31
32
LAMPIRAN
ABVD
Adriamycin (doxorubicin) 25 mg/m2 iv d1 and d15
Bleomycin 10 units/m2 iv d1 and d15
Vinblastin 6 mg/m2 iv d1 and d15
DTIC 375 mg/m2 iv d1 and d15
B-R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1 Rituximab 500 mg/m2 iv d1, cycle 2–6 [for CLL]
Bendamustin 90 mg/m2 iv on d1 and d2
CALGB 9111
Cycle 1 (4 weeks)
Cyclophosphamide 1200 mg/m2 iv d1
Doxorubicin (Adriamycin) 45 mg/m2/d iv d1, 2, 3
Vincristine 2 mg iv d1, 8, 15, 22
Prednisone 60 mg/m2 po or iv qd d1-21
L-Asparaginase 6000 IU/m2 sc or im d5, 8, 11, 15, 18, 22
Reduce doses if patients older than 60:
Cyclophosphamide 800 mg/m2 iv d1
Doxorubicin (Adriamycin) 30 mg/m2/d iv d1, 2, 3
Prednisone 60 mg/m2 po qd d 1–7
G-CSF 5 µg/kg sc qd d4 till absolute neutrophil count (ANC) > 1000/uL
Cycle 2 (4 weeks, repeat once)
Cyclophosphamide 1000 mg/m2 iv d1
6-Mercaptopurine (6-MP) 60 mg/m2/d po d1-14
Cytarabine (Ara-C) 75 mg/m2/d sc d1-4 and 8–11
Vincristine 2 mg iv d15, 22
L-Asparaginase 6000 IU/m2 sc or im d15, 18, 22, 25
Intrathecal Methotrexate (MTX) 15 mg d1
G-CSF 5 µg/kg scqd d2 till ANC > 5000/uL
Cycle 3 (12 weeks)
6-Mercaptopurine (6-MP) 60 mg/m2/d po d1-70
Methotrexate (MTX) 20 mg/m2 po d36, 43, 50, 57, 64
Intrathecal Methotrexate (MTX) 15 mg d1, 8, 15, 22, 29
Brain radiation 24 Gy d1-12
Cycle 4 (8 weeks)
Doxorubicin (Adriamycin) 30 mg/m2/d iv d1, 8, 15
Vincristine 2 mg iv d1, 8, 15
Dexamethasone (Decadron) 10 mg/m2/d pod1-14
Cyclophosphamide 1000 mg/m2 iv d29
6-Thioguanine 60 mg/m2/d po d29-42
Cytarabine (Ara-C) 75 mg/m2/d sc d29-32 and 36–39
Cycle 5 (16 months)
Vincristine 2 mg iv d1
Prednisone 60 mg/m2/d d1-5
Methotrexate (MTX) 20 mg/m2/d po d1, 8, 15, 22
6-Mercaptopurine (6-MP) 60 mg/m2/d po d1-28
33
CALGB 9251
Cycle 1
Cyclophosphamide (Cytoxan) 200 mg/m2/d iv d1-5
Prednisone 60 mg/m2/d po d1-7
Cycles 2, 4, 6
Ifosfamide 800 mg/m2/d iv over 1 h d1-5
Mesna 200 mg/m2 iv at 0, 4 and 8 h after ifosfamide d1-5
Methotrexate (MTX) 150 mg/m2 iv over 30 min d1, followed by 1350 mg/m2 civi over 23.5 h
Leucovorin 50 mg/m2 iv 36 h after start of MTX, followed by 15 mg/m2 iv q 6 h till MTX level <
0.05 uM
Vincristine 2 mg iv d1
Cytarabine (Ara-c) 150 mg/m2/d civi d 4 and 5
Etoposide (VP-16) 80 mg/m2/d iv over 1 h d 4 and 5
Dexamethasone (Decadron) 10 mg/m2/d po d1-5
Cycles 3, 5, 7
Cyclophosphamide 200 mg/m2/d iv d1-5
Methotrexate (MTX) 150 mg/m2 iv over 30 min d1, followed by 1350 mg/m2 civi over 23.5 h
Leucovorin 50 mg/m2 iv 36 h after start of MTX, followed by 15 mg/m2 iv q6 h till MTX level <
0.05 uM
Vincristine 2 mg iv d1
Doxorubicin (Adriamycin) 25 mg/m2/d iv bolus d 4 and 5
Dexamethasone (Decadron) 10 mg/m2/d po d1-5
Intrathecal (cycle 2–7)
Methotrexate (MTX) 15 mg d1
Cytarabine (Ara-c) 40 mg d1
Hydrocortisone 50 mg d1
Brain radiation 24 Gy post chemotherapy if bone marrow involvement
Start cycle 2 right after cycle 1, cycle 2–7 are given q3w
CEPP
Cyclophosphamide 600 mg/m2 iv d1 and 8
Etoposide (VP-16) 70 mg/m2/d iv d1-3
Procarbazine 60 mg/m2/d po d1-10
Prednisone 60 mg/m2/d po d1-10
Q4w × 6 cycles
CEOP ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Cyclophophamide 750 mg/m2 iv d1
Etoposide 50 mg/m2 iv d1 followed by 100 mg oral on d2 and d3.
Vincristine 1.4 mg/m2 (max 2 mg) iv d1
Prednisone 100 mg po qd d1-5
Q3w × 6 cycles
CHOP ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Cyclophophamide 750 mg/m2 iv d1
Doxorubicin (Adriamycin) 50 mg/m2 iv d1
Vincristine 1.4 mg/m2 (max 2 mg) iv d1
Prednisone 100 mg po qd d1-5
Q3w × 6 cycles
34
CODOX-M (Modified for low risk patients: single extra-abdominal mass or completely resected
abdominal mass and normal serum LDH)
Cyclophosphamide 800 mg/m2 iv d1
Cyclophosphamide 200 mg/m2/d iv d2-5
Doxorubicin (Adriamycin) 40 mg/m2 iv d1
Vincristine 1.5 mg/m2 iv d1, 8
Methotrexate (MTX) 1200 mg/m2 iv over 1 h d10, then 240 mg/m2 per hour civi for the next 23 h
Leucovorin 50 mg iv q6 h begins 36 h from the start of MTX till MTX level < 0.05 uM
G-CSF begins 24 h from the start of leucovorin till ANC > 1000/mL
CNS prophylaxis: Intrathecal Cytarabine (Ara-C) 70 mg d1, Methotrexate (Mtx) 12 mg d3 Total
of 3 cycles
COPP
Cyclophosphamide 600 mg/m2 iv d1 and 8 Vincristine 1.4 mg/m2 (max 2 mg) iv d1 and 8
Procarbazine 60 mg/m2/d po d1-10
Prednisone 60 mg/m2/d po d1-10
Q4w × 6 cycles
CVP ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Cyclophophamide 750 mg/m2 iv d1
Vincristine 1.4 mg/m2 (max 2 mg) iv d1
Prednisone 100 mg po qd d1-5
Q3w × 6–8 cycles
35
DHAP ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Dexamethasone (Decadron) 40 mg po qd d1-4
Cisplatin 100 mg/m2 iv over 24 h d1
Cytarabine (Ara-C) 2000 mg/m2 iv q12 h for 2 doses d2
Q3-4w
EPOCH ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Etoposide (VP-16) 50 mg/m2/d civi d1-4
Prednisone 60 mg/m2/d po d1-5
Vincristine 0.4 mg/m2/d civi d1-4
Doxorubicin (Adriamycin) 10 mg/m2/d civi d1-4
Cyclophosphamide 750 mg/m2 iv over 15 min d5
G-CSF 5 µg/kg sc qd beginining on d6 till ANC > 10,000/uL
Q3w × 6–8 cycles
EPOCH-Dose-adjusted ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Etoposide (VP-16) 50 mg/m2/d civi d1-4
Prednisone 60 mg/m2/d po d1-5
Vincristine 0.4 mg/m2/d civi d1-4
Doxorubicin (Adriamycin) 10 mg/m2/d civi d1-4
Cyclophosphamide 750 mg/m2 iv over 15 min d5
Bactrim DS 1 tablet po bid tiw
G-CSF 5 µg/kg scqd beginining on d6 till ANC > 5000/uL
Q3w × 6–8 cycles
Dose-adjustment paradigm based on twice weekly CBC (dose adjustment above starting doses
apply to Etoposide (VP-16), Doxorubicin (Adriamycin) and Cyclophosphamide
If nadir ANC > 500/uL, 20% increase in Etoposide (VP-16), Doxorubicin (Adriamycin) and
Cyclophosphamide above last cycle
If nadir ANC < 500/uL on 1 or 2 measurements, same doses as last cycle
If nadir ANC < 500/uL on at least 3 measurements, or nadir platelet < 25,000/uL on 1
measurement, 20% decrease in Etoposide (VP-16), Doxorubicin (Adriamycin) and
Cyclophosphamide below last cycle
ESHAP ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Etoposide (VP-16) 40 mg/m2/d iv over 1 h d1-4
Methylprednisolone 500 mg/d iv over 15 min d1-5
Cisplatin 25 mg/m2/d civi d1-4
Cytarabine (Ara-C) 2000 mg/m2 iv over 2 h d5
Q3-4w × 6–8 cycles
FC ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d0, cycle 1 Rituximab 500 mg/m2 iv d1, cycle 2 – 6 Fludarabine
25 mg/m2 iv d1–d3 Cyclophsphamide 250 mg/m2 po d1–d3
Q 4w × 6 cycles
36
GDP ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Gemcitabine 1000 mg/m2 iv d1 and d 8 Dexamethasone 40 mg po qd d1-4
Cisplatin 100 mg/m2 iv over 24 h
Q 3w
GMALL-B-ALL/NHL 2002
Prephase → A1 → B1 → C1 → A2 → B2 → C2
Cyclophosphamide 200 mg/m2/d iv d1-5
Prednisone 60 mg/m2/d p o d1-7
Cycle A1 on day 7 [Repeat A2 on Day 77] Rituximab 375 mg/m2 iv d7 Dexamethasone
(Decadron) 10 mg/m2/d po d7-12 Vincristine 2 mg iv d7
Ifosfamide 800 mg/m2/d iv over 1 h d8-12
Mesna 200 mg/m2 iv at 0, 4 and 8 h after ifosfamide d8-12
Methotrexate (MTX) 150 mg/m2 iv over 30 min d1, followed by 1350 mg/m2 civi over 23.5 h on
d8
Leucovorin 50 mg/m2 iv 36 h after start of MTX, followed by 15 mg/m2 iv q 6 h till MTX level <
0.05 uM
Cytarabine (Ara-c) 150 mg/m2/d civi d 11 and 12
Etoposide (VP-16) 80 mg/m2/d iv over 1 h d 11 and 12
Prophylaxis Triple IT-Day 8 (12)
GCSF 5 µg/kg S/C from d14 onwards till ANC recovery to > 500/cmm
Cycle B1 on day 28 [Repeat B2 on Day 98] Rituximab 375 mg/m2 iv d28 Dexamethasone
(Decadron) 10 mg/m2/d po d29-33 Vincristine 2 mg iv d29
Cyclophosphamide 200 mg/m2/d iv d29-33
Methotrexate (MTX) 150 mg/m2 iv over 30 min d1, followed by 1350 mg/m2 civi over 23.5 h on
d29
Leucovorin 50 mg/m2 iv 36 h after start of MTX, followed by 15 mg/m2 iv q6 h till MTX level <
0.05 uM
Doxorubicin (Adriamycin) 25 mg/m2/d iv bolus d32 and 33
Prophylaxis Triple IT-Day 29 (33)
GCSF 5 µg/kg S/C from d35 onwards…… till ANC recovery to > 500/cmm
Cycle C1 on day 49 [Repeat C2 on Day 119] Rituximab 375 mg/m2 iv d49 Dexamethasone
(Decadron) 10 mg/m2/d po d50-54 Vindesin 3 mg/m2 iv d50 Methotrexate (MTX) 150 mg/m2 iv
over 30 min d1, followed by 1350 mg/m2 civi over 23.5 h on d50
Leucovorin 50 mg/m2 iv 36 h after start of MTX, followed by 15 mg/m2 iv q6 h till MTX level <
0.05 uM Etoposide (VP-16) 250 mg/m2/d iv over 1 h d 53 and 54 HD Cytarabine 2 × 2 gm/m2 ci
3 h every 12 h d54
Prophylaxis Triple IT-Day 49 (119)
GCSF 5 µg/Kg S/C from d56 onwards till ANC recovery to > 500/cmm
GemOx ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Gemcitabine 1000 mg/m2 iv d2
Oxaliplatin 100 mg/m2 iv over 2 h d2
Q2-3w
Hyper-CVAD/MTX-Ara-C
Cycle 1, 3, 5, 7 (3–4 weeks/cycle)
Cyclophosphamide 300 mg/m2 iv over 2 h q12 h × 6 doses d1-3
Mesna 600 mg/m2/d civi d1-3 to start 1 h before cyclophosphamide till 12 h after completion of
cyclophosphamide
Vincristine 2 mg iv d4, 11
Doxorubicin (Adriamycin) 50 mg/m2iv over 24 h (over 48 h if LVEF < 50%) d4
Dexamethasone (Decadron) 40 mg po or iv qd d1-4 and d11-14
37
Cycle 2, 4, 6, 8 (3–4 weeks/cycle)
Methotrexate (MTX) 200 mg/m2iv over 2 h followed by 800 mg/m2 civi over 22 h d1
Cytarabine (Ara-C) 3 g/m2 (1 g/m2 for patients > 60 years old) iv over 2 h q12 h × 4 doses d2-3
Leucovorin 50 mg iv q6 h starting 12 h after completion of MTX till MTX level < 0.05 uM
Intrathecal chemotherapy
Prophylaxis
Methotrexate (MTX) 12 mg d2 of each cycle for a total of 3–4 treatments
Cytarabine (Ara-C) 100 mg d8 of each cycle for a total of 3–4 treatments
Therapeutic
Intrathecal chemotherapy twice a week (Methotrexate (MTX) 12 mg and Cytarabine (Ara-C)
100 mg respectively) till no more cancer cells in CSF, then decrease intrathecal chemotherapy to
once a week × 4, followed by Methotrexate (MTX) 12 mg d2, Cytarabine (Ara-C) 100 mg d8 for
the remaining chemotherapy cycles
Cranial radiotherapy 24–30 Gy if cranial nerve palsies
ICE ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Ifosfamide 5000 mg/m2 mixed with Mesna 5000 mg/m2 iv over 24 h d2
Carboplatin AUC 5 (max 800 mg) iv d2
Etoposide (VP-16) 100 mg/m2/d iv d1-3
G-CSF 5 µg/kg sc qd d5-12
Q3w × 3 to 6 cycles
MINE ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Mesna 1330 mg/M2/d iv over 1 h with ifosfamide d1-3, then 500 mg po 4 h after ifosfamide d1-3
Ifosfamide 1330 mg/M2/d iv over 1 h d1-3
Mitoxantrone 8 mg/M2 iv d1
Etoposide (VP-16) 65 mg/M2/d iv over 1 h d1-3
Q3w × 3–6 cycles
MPV-R + RT + Ara-C
Rituximab 500 mg/m2 iv over 5 h d1 of each cycle
Methotrexate (MTX) 3.5 g/m2iv over 2 h d2 of each cycle
Leucovorin 20–25 mg q6 h starting 24 h after MTX infusion for 72 h or until serum MTX level <
1 × 10−8 mg/dL. Increase leucovorin to 40 mg q4 h if MTX level > 1 × 10−5 mg/dL at 48 h or > 1 ×
10−8 mg/dL at 72 h
Vincristine 1.4 mg/m2 (max 2.8 mg) iv d2 of each cycle
Procarbazine 100 mg/m2 poqd d1-7 of odd-numbered cycles only
G-CSF 5 µg/kg/d sc for 3 to 5 days starting 24 h after the last dose of procarbazine during odd-
numbered cycles, and starting 96 h after MTX infusion or when MTX levels < 1 × 10−8 mg/dL
during even-numbered cycles
If positive CSF cytology: intra-ommaya Methotrexate (MTX) 12 mg between days 5 and 12 of
each cycle
Q2w × 5–7cycles
Whole-brain radiotherapy (WBRT) 1.8 Gy/d for 13 days to a total of 23.4 Gy beginning 3–
38
5 weeks after the completion of R-MPV
Consolidation Cytarabine (Ara-C) 3 g/m2/d (max 6 g) iv over 3 h for 2 days
G-CSF 5 µg/kg/d sc for 10 days starting 48 h after completion of Ara-C
A second cycle of Cytarabine (Ara-C) is given 1 month later
R-mini-CHOP
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Cyclophophamide 400 mg/m2 iv d1
Doxorubicin (Adriamycin) 25 mg/m2 iv d1
Vincristine 1.0 mg iv d1
Prednisone 40 mg/m2 poqd d1-5
Q3w × 6 cycles
Temozolomide SA
Temozolomide 150 mg/M2/d po d1-5 q4w till toxicity or progression of disease
39