Anda di halaman 1dari 39

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................2
2.1 Epidemiologi..................................................................................................2
2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi....................................................................3
2.3 Patogenesis.....................................................................................................3
2.3.1 Limfoma Hodgkin...................................................................................3
2.3.2 Limfoma Non-Hodgkin..........................................................................4
2.4 Anatomi..........................................................................................................5
2.5 Fisiologi.........................................................................................................6
2.6 Histopatologi..................................................................................................6
2.6.1 Limfoma Hodgkin...................................................................................6
2.6.2 Limfoma Non-Hodgkin..........................................................................6
2.7 Manifestasi Klinis..........................................................................................7
2.7.1 Limfoma Hodgkin...................................................................................7
2.7.2 Limfoma Non-Hodgkin..........................................................................7
2.8 Pemeriksaan...................................................................................................8
2.8.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Klinis........................................................8
2.8.2 Biopsi......................................................................................................8
2.8.3 Pemeriksaan Genetika Molekuler...........................................................9
2.8.4 Radiologi.................................................................................................9
2.9 Staging Limfoma............................................................................................9
2.10 Tatalaksana...................................................................................................9
2.10.1 Bedah....................................................................................................9
2.10.2 Kemoterapi..........................................................................................10
2.10.3 Radioterapi..........................................................................................10
2.10.4 Terapi Hormonal.................................................................................11
2.10.5 Targeting Therapy...............................................................................11
2.10.6 Rekomendasi Regimen Terapi (Kombinasi).......................................11
2.11 Follow Up..................................................................................................18
2.12 Prognosis....................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Limfoma adalah kelompok keganasan heterogen yang muncul dari


proliferasi klonal sel B, sel T dan subset sel pembunuh alami (NK) limfosit pada
berbagai tahap pematangan. Limfoma terdiri dari keganasan heterogen yang
timbul dari proliferasi klonal limfosit. Limfoma mewakili sekitar 5% dari
keganasan. Kelangsungan hidup secara keseluruhan diperkirakan 72%. Faktor
lingkungan, infeksi, dan genetik yang berbeda telah diidentifikasi, yang
merupakan predisposisi limfoma.(1,2)

Insidensi limfoma di Amerika Serikat dari 2009 hingga 2013 adalah


22/100.000, mewakili sekitar 5% dari keganasan, meningkat dua kali lipat pada
periode 1970-1990, dan sejak itu stabil. Usia rata-rata diagnosis adalah 63.
Kelangsungan hidup secara keseluruhan diperkirakan 72% pada lima tahun. (1)
Limfoma secara luas diklasifikasikan menjadi limfoma Hodgkin (HL), 10% dan
limfoma Non-Hodgkin (NHL), 90%. HL selanjutnya diklasifikasikan menjadi tipe
klasik dan non-klasik dan NHL menjadi tipe sel B, sel T dan sel natural killer
(NK). Untuk tujuan klinis, limfoma disebut sebagai agresif (tingkat tinggi) dan
lamban (tingkat rendah).(3)

Diagnosis limfoma dikonfirmasi dengan biopsi jaringan, dan metode yang


umum digunakan meliputi aspirasi jarum halus, biopsi inti, biopsi insisi/baji, dan
biopsi eksisi. Biopsi eksisi dianggap sebagai "standar emas" karena
memungkinkan penilaian arsitektur kelenjar getah bening secara keseluruhan. HL
didefinisikan oleh adanya sel Hodgkin Reed-Sternberg (HRS) patologis, yang
berasal dari sel B dengan latar belakang sklerosis nodular, dominan limfosit, atau
deplesi stroma. (3)

Setelah memastikan diagnosis limfoma dengan biopsi jaringan, evaluasi


dilanjutkan dengan PET/CT scan dengan mengukur serapan radiolabeled
fluorodeoxyglucose (FDG) untuk mengukur aktivitas biologis limfoma. Staging
ini dilakukan sebelum memulai terapi untuk limfoma. (1,2,4)
Referat ini disusun
untuk menjelaskan tentang HL dan NHL terutama dalam penatalaksanaannya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi

Seperti Sebagian besar kanker lainnya, kemungkinan seseorang


terdiagnosis limfoma meningkat tajam seiring dengan usia, usia rata-rata saat
diagnosis adalah 67,2 tahun (rentang interkuartil 54,9-76,5 tahun) untuk
keseluruhan pasien limfoma. Namun, beberapa limfoma dapat didiagnosis pada
usia berapa pun, dengan subtipe yang berbeda yang mendominasi usia tertentu,
seperti yang dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 1 dan 2, contohnya Limfoma
Hodgkin dan Burkitt mendominasi rentang usia anak (<15 tahun), di mana tidak
ada kasus limfoma folikular (pasien termuda 19 tahun). Secara umum, pria
cenderung terdiagnosis limfoma sel B pada usia yang lebih muda daripada wanita
dan menunjukkan tingkat penyakit yang lebih tinggi pada semua usia. Laki-laki
hampir tiga kali lebih mungkin untuk mengembangkan beberapa subtipe kanker
sel B dan T. Prevalensi limfoma berkisar dari 48,0 (95% CI 45,8–50,3) per
100.000 penduduk dalam 3 tahun diagnosis. (5)

Gambar 1. Angka spesifik usia per 100.000 menurut subtipe: Haematological


Malignancy Research Network (HMRN) 2004–2012. (5)

Gambar 2. Jumlah kasus dan rasio jenis kelamin menurut sub-tipe dan usia:
Haematological Malignancy Research Network (HMRN) 2004–2012. (5)

3
2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Limfoma adalah sekelompok kelainan neoplastik heterogen yang berasal


dari sel limfatik. Deregulasi imun memainkan peran utama dalam patogenesis
limfoma. Dalam konteks ini, beberapa agen infeksi, penyakit autoimun, dan
imunosupresi mewakili faktor risiko dalam pengembangan subtipe limfoma.(6)

 Paparan di tempat kerja: herbisida, pestisida.


 Agen infeksi: (Tabel 1).
 Immunodefisiensi: Infeksi HIV, penerima transplantasi, dan orang-orang
dengan gangguan imunodefisiensi genetik (severe combined
immunodeficiency).
 Obat-obatan: TNF-a inhibitor berhubungan dengan limfoma sel T.
Imunosupresi kronis pada pasien pasca transplantasi (baik transplantasi organ
padat dan penerima transplantasi sumsum tulang) meningkatkan risiko
limfoma.
 Autoimun: Inflammatory bowel disease (limfoma terkait enteropati),
rheumatoid arthritis dan, sindrom Sjögren (limfoma sel B besar difus)
 Lokasi geografis: Insidensi limfoma sel NK/T ekstranodal lebih tinggi di Asia
Selatan dan beberapa bagian Amerika Latin.

Tabel 1. Agen infeksius yang berkaitan dengan limfoma. (6)

2.3 Patogenesis

2.3.1 Limfoma Hodgkin

Limfoma Hodgkin (HL) adalah limfoma sel B jarang yang menyumbang ~


10% dari semua limfoma dan terdiri dari dua entitas penyakit: HL dominan
limfosit nodular (NLPHL) dan HL klasik (cHL), yang selanjutnya dibagi menjadi

4
empat subtipe: cHL sklerosis nodular, cHL seluler campuran, cHL yang
kekurangan limfosit, dan cHL yang kaya limfosit. HL klasik menyumbang 95%
dan NLPHL menyumbang 5% dari semua HL. Studi tentang gen rantai berat
variabel-wilayah (VH) imunoglobulin yang diatur ulang dari sel limfoma yang
diisolasi dari pasien dengan HL, telah menetapkan bahwa baik sel dominan
limfosit (sel LP – sel noplastik NLPHL) serta sel Hodgkin dan Reed-Sternberg
(HRS – sel neoplastik cHL) berasal dari sel B yang berasal dari sel B pusat
germinal. Meskipun berasal dari sel B pusat germinal, sel HRS jarang
mengekspresikan gen sel B, termasuk antigen CD20 dan faktor transkripsi sel B
OCT2, BOB1, dan PU.1, mungkin karena pemrograman ulang epigenetik.
Berbeda dengan beberapa subtipe NHL, tidak ada translokasi kromosom spesifik
berulang yang telah dijelaskan dalam HL.(6)

Gambar 3. Patogenesis HL.(7)


Klasifikasi

Klasifikasi limfoma Hodgkin (LH) yang umum digunakan hingga saat ini
yaitu klasifikasi histologik menurut REAL (Revised American European
Lymphoma) dan WHO (World Health Organization) yang menglasifikasikan LH
ke dalam 5 tipe, yaitu (1) nodular sclerosing, (2) mixed cellularty, (3) lymphocyte
depleted, (4) lymphocyte rich dan (5) nodular lymphocyte predominant. LH tipe
nodular sclerosing, mixed cellularity, lymphocyte depleted dan lymphocyte rich
seringkali dikelompokkan sebagai LH klasik.(20)

5
LH tipe nodular sclerosing.

LH tipe nodular sclerosing adalah tipe LH yang paling sering dijumpai, baik
pada penderita pria ataupun wanita, terutama pada para remaja dan dewasa muda.
LH tipe ini memiliki kecenderungan predileksi pada kelenjar getah bening yang
terletak di supraklavikula, servikal dan mediastinum. Karakteristik histologik dari
LH tipe nodular sclerosing adalah (1) adanya variasi dari sel Reed Stenberg yaitu
sel lakuna yang merupakan sebuah sel besar yang memiliki sebuah inti
multilobus, anak inti yang kecil dan multipel serta sitoplasma yang melimpah dan
pucat dan (2) adanya fibrosis dan sklerosis yang luas dengan pita kolagen yang
membagi jaringan limfoid ke dalam nodul-nodul berbatas dengan infiltrat seluler
yang mengandung limfosit, eosinofil, histiosit dan sel lakuna. (20)

Gambar 4. Histopatologik pada LH Tipe Nodular Sclerosing. (20)

LH tipe mixed cellularity.

LH tipe mixed cellularity adalah tipe LH yang paling sering terjadi pada
anak-anak dan penderita yang berusia lebih dari atau sama dengan 50 tahun serta
mencangkup 25% dari keseluruhan kasus LH yang dilaporkan. Pria lebih dominan
untuk menjadi penderita dibandingkan dengan wanita dan LH tipe ini memiliki
kecenderungan predileksi pada kelenjar getah bening yang terletak di abdomen
dan limpa. Karakteristik histologik dari LH tipe mixed cellularity adalah sel Reed
Sternberg yang berlimpah di dalam infiltrat inflamasi heterogen yang
mengandung limfosit berukuran kecil, eosinofil, sel plasma dan makrofag. LH
tipe ini juga yang paling sering menunjukkan manifestasi sistemik dibandingkan
dengan tipe-tipe lainnya. (20)

6
Gambar 5. Histopatologik dari LH tipe Mixed-Cellularity. (20)

LH tipe lymphocyte depleted.

LH tipe lymphocyte depleted merupakan tipe LH yang paling jarang dijumpai dan
hanya mencangkup kurang dari 1% dari keseluruhan kasus LH namun merupakan
tipe LH yang paling agresif dibandingkan dengan tipe LH lainnya. LH tipe ini
paling sering terjadi pada penderita dengan usia yang sudah lanjut dan seringkali
dihubungkan dengan infeksi virus HIV/AIDS. Infiltrat pada LH tipe ini lebih
sering tampak difus dan hiposeluler sedangkan sel Reed Sternberg hadir dalam
jumlah yang besar dan bentuk yang bervariasi. LH tipe lymphocyte depleted dapat
dibagi menjadi subtipe retikuler dengan sel Reed Sternberg yang dominan dan
sedikit limfosit serta subtipe fibrosis difus di mana kelenjar getah bening
digantikan oleh jaringan ikat yang tidak teratur dan dijumpai sedikit sel limfosit
dan sel Reed Sternberg. (20)
LH tipe lymphocyte rich.

LH tipe lymphocyte rich mencangkup kurang dari 5% dari keseluruhan kasus LH.
Karakteristik histologic dari LH tipe ini adalah adanya sel Reed Sternberg dengan
latar belakang infiltrat sel limfosit serta sedikit eosinofil dan sel plasma yang
dapat berpola difus atau noduler.

LH tipe nodular lymphocyte predominant.

LH tipe nodular lymphocyte predominant mencangkup sekitar 5% dari


keseluruhan kasus LH. Karakteristik histologik dari LH tipe ini yaitu adanya
variasi sel Reed Sternberg limfohistiositik (L & H) yang memiliki inti besar

7
multilobus yang halus dan menyerupai gambaran berondong jagung (pop-corn).
Sel Reed Sternberg L & H biasanya ditemukan di dalam nodul besar yang
sebagian besar dipenuhi oleh sel-B limfosit kecil yang bercampur dengan
makrofag sedangkan sel-sel reaktif lainnya seperti eosinofil, neutrophil dan sel
plasma jarang ditemukan. Varian sel ini juga biasanya tidak menghasilkan CD30
dan CD15 seperti sel Reed Sternberg pada umumnya melainkan menghasilkan
CD20. (20)

Gambar 6. Histopatologik pada LH Tipe Nodular Lymphocyte Predominant. (20)

2.3.2 Limfoma Non-Hodgkin

Limfoma muncul pada berbagai tahap diferensiasi sel B. Peristiwa


rekombinasi tertentu rentan terhadap perkembangan penyimpangan kromosom.
Recombination activating gene 1 (RAG1)-dependent and RAG2-dependent V(D)J
recombination terjadi di sumsum tulang. Translokasi t(14;18) dan t(11;14)
mewakili langkah pertama yang penting dalam limfomagenesis dari subtipe
limfoma yang berbeda. Setelah kontak antigen, sel B yang terstimulasi bermigrasi
ke kelenjar getah bening dan membentuk pusat germinal setelah peningkatan
regulasi BCL6. Peristiwa yang terjadi selama reaksi pusat germinal yaitu
activation-induced cytidine deaminase (AID)–mediated somatic hypermutation
dan class-switch recombination yang merupakan peristiwa penting untuk evolusi
limfoma. Reaksi pusat germinal diakhiri dengan diferensiasi sel B menjadi sel
plasma. XBP1 dan Blimp-1 adalah regulator utama untuk diferensiasi
plasmacytic.(8)

8
Gambar 4. Patogenesis NHL. (8)
Klasifikasi

Klasifikasi histopatologi merupakan topik yang paling membingungkan


dalam studi limfoma maligna karena perkembangan klasifikasi ini demikian cepat
dan dijumpai berbagai jenis klasifikasi yang satu sama lain tidak kompatibel.
Perkembangan terakhir klasifikasi yang banyak dipakai dan diterima pusat
kesehatan adalah formulasi praktis IWF dan REAL/WHO. Klasifikasi
REAL/WHO beranjak dari karakter imunofenotip dan analisa galur sel
limfomanya (tabel 2). IWF menjabarkan karakteristik klinis dengan deskriptif
histopatologi, namun belum mengklasifikasikan jenis sel limfosit B atau T,
maupun berbagai patologi-klinis yang baru. IWF membagi LNH atas derajat
keganasan rendah, menengah dan tinggi yang mencerminkan derajat
agresifitasnya (tabel 3). Hal yang perlu dicatat adalah 25% pasien LNH
menunjukkan gambaran sel limfoma yang bermacam macam pada satu lokasi
yang sama; maka dalam hal pengobatannya harus berdasarkan gambaran histologi
yang paling dominan.(21)

9
10
2.4 Anatomi

Kelenjar getah bening biasanya berukuran dari 1 sampai 2 cm dan tertutup


dalam kapsul jaringan adiposa. Ukuran normal tergantung pada lokasi, serta
sumbu yang diukur. Sumbu panjang harus 1 cm atau kurang. Mereka dianggap
patologis jika mereka kehilangan bentuk ovalnya, jika ada hilangnya lemak hilus,
jika ada penebalan korteks yang asimetris dan jika mereka terus membesar.(9)

 Kapsul: merupakan stroma jaringan ikat padat dan serabut kolagen.


 Sinus subskapular: adalah ruang antara kapsul dan korteks, yang
memungkinkan transportasi cairan limfatik.
 Korteks: lapisan di bawah sinus subkapsular.
 Medulla: adalah lapisan terdalam dari kelenjar getah bening dan mengandung
pembuluh darah besar, sinus, dan medula.

Gambar 5. Skema kelenjar getah bening.(10)

11
Organ Limfoid

Limfosit terdapat sebagai sel yang berada di dalam darah, limfe, jaringan
pengikat dan epitel, terutama dalam lamina propria tractus respiratorius dan
tractus digestivus, limfosit terlihat bersama dengan plasmasit dan makrofag
sebagai kumpulan yang padat dalam jaringan pengikat longgar. Apabila jaringan
penyusunnya terdiri atas sel-sel limfosit saja maka jaringan tersebut disebut
jaringan limfoid, sedangkan organ limfoid adalah jaringan limfoid yang
membentuk bangunan sendiri. Jadi, jaringan dan organ limfoid adalah jaringan
yang mengandung terutama limfosit, terlepas apakah terdapat bersama dengan
plasmasit dan makrofag atau tidak. Berdasarkan atas fungsinya, jaringan limfoid
terbagi menjadi dua yaitu jaringan limfoid primer dan jaringan limfoid sekunder.
Jaringan limfoid primer berfungsi sebagai tempat diferensiasi limfosit yang
berasal dari jaringan myeloid. Terdapat dua jaringan limfoid primer , yaitu
kelenjar thymus yang merupakan diferensiasi limfosit T dan sumsum tulang yang
merupakan diferensiasi limfosit B. Pada aves, limfosit B berdiferensiasi dalam
bursa fabricius.(19)

Jaringan limfoid primer mengandung banyak sel-sel limfoid diantara sedikit


sel makrofag dalam anyaman sel stelat yang berfungsi sebagai stroma dan jarang
ditemukan serabut retikuler. Jaringan limfoid sekunder berfungsi sebagai tempat
menampung sel-sel limfosit yang telah mengalami diferensiasi dalam jaringan
sentral menjadi sel-sel yang imunokompeten yang berfungsi sebagai komponen
imunitas tubuh. Dalam jaringan limfoid sekunder, sebagai stroma terdapat sel
retikuler yang berasal dari mesenkim dengan banyak serabut-serabut retikuler.
Jaringan limfoid yang terdapat dalam tubuh sebagian besar tergolong dalam
jaringan ini, contohnya nodus lymphaticus, limfa dan tonsilla.(19)

2.5 Fisiologi

Fungsi umum dari sistem limfatik adalah untuk menjaga keseimbangan


cairan, penyerapan, dan transportasi lemak makanan, dan membantu sistem
kekebalan dalam menyediakan media transportasi. Melalui sistem limfatik
antigen, antibodi, dan sel imun dikirimkan ke kelenjar getah bening yang
memberikan perlindungan imun adaptif.(11)

Sistem Imun Spesifik

12
Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik mempunyai
kemampuan untuk mengenal benda yang di anggap asing bagi dirinya. Benda
asing yang pertama kali muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun
spesifik sehingga terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang
sama, bila terpajan ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan
olehnya. Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing
yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem itu disebut SPESIFIK. Untuk
menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh, sistem imun spesifik
dapat bekerja tanpa bantuan sisterm imun nonspesifik. Pada umumnya terjalin
kerja sama antara antibody komplemen-fagosit dan antara sel T-makrofag. Pada
imunitas humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba
ekstraseluler. Pada imunitas seluler, sel T akan mengaktifkan makrofag untuk
menghancurkan mikroba atau mengagtifkan sel Tc untuk membunuh sel l
terinfeksi.(19)

(1) Sistem imun spesifik humoral


Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau
sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel multipoten di
sumsum tulang. Pada unggas, sel yang disebut bursal cell atau sel B akan
bermigrasi dan berdiferensiasi menjadi sel B yang matang dalam alat yang
disebut bursa fabricius yang terletak pada kloaka. Pada manusia diferensiasi
terserbut terjadi dalam sumsum tulang. Bila sel B dirangsang oleh benda
asing, sel tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang
menjadi sel plasma yang membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat
ditemukan di dalam serum. Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan
terhadap infeksi ekstraseluler, virus dan bakteri serta menetralisis toksinnya.
(19)

(2) Sistem imun spesfifik seluler


Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik seluler. Sel
tersebut juga berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada orang
dewasa, sel T dibentuk di dalam sumsum tulang tetapi proliferasi dan
diferensiasi terjadi di dalam kelenjar timus atau pengaruh berbagai faktor
asal timus. 90-95% sel timus tersebut mati dan hanya 5% menjadi matang
dan meninggalkan timus untuk masuk ke dalam sirkulasi. Faktor timus yang
disebut timosin dapat ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon asli

13
(true hormone) dan dapat mempengaruhi diferensiasi sel T di perifer. Sel T
terdiri dari beberapa subset dengan fungsi yang berlainan yaitu sel Th1,
Th2, T delayed type hypersensitivity/Tdth, cytotoxic T lymphocyte /CTL
atau Tc, Ts (supresor) atau Tr (regulator) atau Th3. Fungsi utama sistem
imun spesifik seluler adalah pertahanan terhadap bakteri yang hidup
intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan. Yang berperan dalam
imunitas seluler adalah CD4+ yang mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya
mengaktifkan makrofag untuk mengancurkan mikroba dan sel CD8 + yang
membunuh sel terinfeksi. Perbedaan imunitas spesifik humoral dan seluler
sebagaimana tabel berikut.
Tabel 1. Perbedaan karakteriktik imun.(19)

(3) Sel T
Fungsi sel T umumnya berperan pada inflamasi, aktivasi makrofag dalam
fagositosis, aktivasi dan proliferasi sel B dalam produksi antibodi. Sel T
juga berperan dalam pengenalan dan penghancuran sel yang terinveksi
virus. (19)
Subset sel T
Sel T terdiri dari atas sel CD4 +, CD8 + dan sel NK. Sel T naïf yang
terpajang dengan antigen yang diikat MHC yang dipresentasikan APC atau
dirangsang sitokin spesifik, akan berkembang menjadi subset sel T berupa
CD4 +, CD8 + . (19)
Sel T naïf

14
Adalah sel limfosit yang belum matang, belum berdiferensiasi, belum
pernah terpajan dengan antigen dan menunjukkan molekul permukaan
CD45RA. Sel ditemukan dalam organ limfoid perifer. Sel naïf yang
terpajang dengan antigen akan berkembang menjadi sel Th0 yang
selanjutnya berkembang menjadi efektor Th1 dan Th2. Sel Th0
memproduksi Il-2, IL-4 dan IFN. (19)
(4) Sel B
Aktivasi sel B diawali dengan pengenalan spesifik oleh reseptor permukaan.
Antigen dan perangsang lain termasuk Th merangsang proliferasi dan
diferensiasi klon sel B spesifik. Dalam perkembangannya, sel B mula-mula
memproduksi IgM atau isotope Ig lain (seperti IgG), menjadi matang atau
menetap sebagai sel memori. Pematangan sel B terjadi dalam berbagai
tahap. Fase-fase pematangan sel B berhubungan dengan Ig yang diproduksi.
(19)

(5) Kerja sama antara system imun nonspesifik dan spesifik


Sistem imun nonspesifik dan sistem imun spesifik berinteraksi dalam
menghadapi infeksi. Sistem imun nonspesifik bekerja dengan cepat dan
sering diperlukan untuk merangsang sistem imun spesifik. Mikroba
ekstraseluler mengaktifkan komplemen melalui jalur lektin. Kompleks
antigen-antibodi mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik. Virus
ekstraseluler merangsang sel yang diinfeksinya untuk melepas IFN yang
mengarahkan dan mengaktifkan sel NK. Selanjutnya sel ini bermigrasi ke
kelenjar getah bening dan mempresentasikan antigen yang dimakannya ke
sel T. Sel T yang diaktifkan bermigrasi ke tempat infeksi dan memberikan
bantuan ke sel NK dan makrofag. (19)
Antigen yang disebut juga dengan imunogen adalah bahan yang dapat
merangsang respons imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi
yang sudah ada tanpa memperhatikan kemampuannya untuk merangsang
produksi antibodi. Secara fungsional antigen dibagi menjadi imunogen dan
hapten. Beda antara imunogen dan hapten terletak pada besar molekul,
kompleks yang terdiri dari molekul kecil disebut hapten sedangkan yang
besar disebut imunogen. (19)
Respons sel B terhadap hapten yang memerlukan protein pembawa
(karier) untuk dapat dipresentasikan ke sel Th. Epitop atau determinan

15
antigen adalah bagian dari antigen yang dapat membuat kontak fisik dengan
reseptor antibodi, menginduksi pembentukan antibodi; dapat di ikat spesifik
oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor antibodi. Makromolekul dapat
memiliki berbagai epitop yang masing-masing merangsang produksi
antibodi sepesifik yang berbeda. Paratop adalah bagian dari antibodi yang
mengikat epitop. Respons imun dapat terjadi terhadap semua golongan
bahan kimia seperti hidrat arang, protein dan asam nukleat. Glikolipid dan
lipoprotein dapat juga sebagai imunogenik. Superantigen adalah molekul
yang sangat poten terhadap mitogen sel T. Contoh superantigen adalah
racun / toksin. Superantigen dapat memacu pelepasan sejumlah besar sitokin
seperti IL-1 dan TNF yang berperan dalam syok anafilatik. (19)

2.6 Histopatologi

2.6.1 Limfoma Hodgkin

Gambaran histologis HL: sel HRS, yang tampak aneh, sel bilobus dengan
dua inti, muncul dalam latar belakang sel inflamasi non-maligna. Pewarnaan
imunohistokimia HL menunjukkan penanda positif untuk CD30, CD15, tetapi
negatif untuk CD20.(1,2,12)

Gambar 6. Sel Reed-Sternberg (RS) diagnostik khas dalam lingkungan inflamasi


komposit (hematoxylin dan eosin; perbesaran ×500).(13)
2.6.2 Limfoma Non-Hodgkin

 Diffuse large B Cell lymphoma (DLBCL): mencakup area keterlibatan difus


oleh sel limfoid besar yang positif untuk penanda sel B CD20 dan CD19.
Indeks proliferasi, ditentukan dengan pewarnaan dengan antibodi Ki67
sedang hingga tinggi. (1,2,12)
 Limfoma Folikular (FL): diagnosis histologis membutuhkan area proliferasi
dan ekspansi folikel yang cukup besar di dalam kelenjar getah bening. Dalam
folikel kelenjar getah bening, sel-sel kecil dan besar berproliferasi (mirip

16
dengan kelenjar getah bening reaktif), tetapi bukannya kombinasi sel B
(CD20+) dan beberapa sel T (CD3+), folikel sebagian besar terdiri dari sel B
yang positif untuk BCL -2 di FL. (1,2,12)
 Extranodal Marginal Zone Lymphoma dari MALT: Agregat limfosit kecil
dengan pewarnaan IHC positif untuk CD20 dan CD5 dan CD10 negatif. (1,2,12)
 Limfoma Sel Mantel: Muncul dari sel zona mantel kelenjar getah bening,
yang merupakan sel B pasca-GC (pusat germinal). Diagnosis histologis
dibuat dengan memvisualisasikan area sel limfoid kecil, yang muncul dari
zona mantel secara langsung dalam beberapa kasus, dengan pewarnaan IHC
yang khas dan selalu positif untuk cyclin D1, protein yang terlibat dalam
regulasi siklus sel. (1,2,12)
 Limfoma Burkitt (BL): diagnosis histologis dibuat dengan mengenali sel B
berukuran sedang hingga besar dengan tingkat proliferasi yang sangat tinggi
(Ki67 hampir 100%), dengan penampakan langit berbintang klasik karena
makrofag tubuh yang dapat terkelupas dengan pembersihan di sekitarnya.
(1,2,12)

2.7 Manifestasi Klinis

2.7.1 Limfoma Hodgkin

Biasanya muncul dengan limfadenopati superfisial yang tidak nyeri, yang


melibatkan rantai kelenjar getah bening yang berdekatan dengan cara yang dapat
diprediksi dengan penyebaran penyakit. Kemudian dalam perjalanan penyakit,
penyebaran hematogen terjadi dengan invasi vaskular. Mayoritas pasien datang
dengan penyakit supradiaphragmatic.(3)

2.7.2 Limfoma Non-Hodgkin

 DLBCL: Keluhan yang paling umum adalah gejala, pembesaran massa


kelenjar getah bening baik yang terletak di pusat maupun di perifer. Sekitar
30% pasien akan melaporkan gejala B serta gejala malaise dan kelelahan
yang kurang spesifik.(3)
 FL: Presentasi yang paling umum adalah subakut, atau limfadenopati perifer
asimtomatik kronis, yang kadang-kadang menetap atau berkurang dan
berkurang selama beberapa tahun. Limfadenopati abdomen, pelvis, atau
retroperitoneal dapat menjadi besar tanpa menyebabkan gejala

17
gastrointestinal atau genitourinaria, dan massa nodus tidak bersifat invasif
dan destruktif secara lokal.(3)
 Limfoma Zona Marginal: Menunjukkan gejala yang berhubungan dengan
tempat yang terkena (perut, paru-paru, adneksa okular, payudara, tiroid, usus,
kulit, dan jaringan lunak) dan gejala B jarang terjadi dan harus meningkatkan
kecurigaan untuk limfoma yang berubah.(3)
 Limfoma Sel Mantel: 70% hingga 90% pasien datang dengan penyakit
stadium 4 yang dapat dideteksi. Keterlibatan sumsum tulang sering terjadi,
dan fase leukemia terlihat sesering 75% pada beberapa seri. Saluran
pencernaan sering terlibat dan dapat muncul dari poliposis limfomatous difus
ke lumen normal dengan penyakit mikroskopis yang terlihat pada biopsi.(3)
 Limfoma Burkitt: BL endemik muncul pada anak-anak sebagai tumor
rahang atau tulang wajah dan menyebar secara hematogen di awal perjalanan
ke situs ekstranodal, termasuk ginjal, testis atau ovarium, SSP, atau
meningen. BL sporadis muncul sebagai penyakit perut besar yang melibatkan
lambung, sekum, atau usus kecil dengan asites terkait.(3)

2.8 Pemeriksaan

2.8.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Klinis

a. Riwayat klinis dengan mengacu pada gejala B


b. Pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada daerah nodus, cincin
waldeyer, liver span pembesaran limpa, dan pembesaran testis (pada pria).
c. Performance status (ECOG) termasuk komorbiditas
d. Perlu diwaspadai fitur " oncological emergency" seperti: sindrom lisis tumor,
kompresi sumsum tulang belakang, obstruksi luminal, peningkatan tekanan
intra-kranial karena efek massa, tamponade perikardial, dll. (3)

2.8.2 Biopsi

Biopsi eksisi kelenjar getah bening terbesar yang paling utama dan mudah diakses
sehingga harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Biopsy merupakan gold standart
diagnosis. (3)

2.8.3 Pemeriksaan Genetika Molekuler

a. FISH atau PCR pada sumsum/darah yang terlibat untuk translokasi terkait
limfoma spesifik.(14)

18
b. Re-arrangement rantai berat imunoglobulin (IgH) dan reseptor sel T (TCR)
pada sumsum/darah jika staging molekuler diindikasikan secara klinis. (14)

2.8.4 Radiologi

a. Sinar-X polos tulang dan bone scintigraphy skeletal survey untuk NHL tulang
ekstranodal. (14)
b. Magnetic resonance imaging (MRI) atau CT scan otak, pencitraan dengan
kontras, bila ada gejala dan tanda SSP. (14)

2.9 Staging Limfoma

Penatalaksanaan dan prognosis limfoma yang optimal sebagian


bergantung pada stadium limfoma. Sistem stagingyang digunakan untuk limfoma
derajat tinggi dewasa menggunakan sistem Ann Abor. (14)

Tabel 2. Staging limfoma menurut Ann Arbor. (14)

2.10 Tatalaksana

2.10.1 Bedah

Penyempurnaan lanjutan dari terapi radiasi dan kemoterapi untuk


pengobatan penyakit Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin telah menghasilkan
lebih banyak penyembuhan dengan komplikasi terkait pengobatan yang lebih
sedikit. Peran pembedahan dalam pengelolaan keganasan ini telah menjadi lebih
perifer, dan paling sering dipanggil untuk diagnosis daripada terapi. Percobaan
prospektif telah menunjukkan sedikit manfaat untuk pementasan laparotomi pada
penyakit Hodgkin, karena pengobatan yang disesuaikan berdasarkan hasil

19
patologis tidak berarti peningkatan kelangsungan hidup secara keseluruhan.
Selanjutnya, pada limfoma non-Hodgkin, splenektomi lebih banyak digunakan
untuk paliatif dan memiliki peran yang kecil dalam terapi. Hanya dalam kasus
yang jarang dari limfoma limpa primer dapat splenektomi dipandang sebagai
terapi utama, namun, apakah kemoterapi tambahan atau radiasi diperlukan belum
dievaluasi.(15)

Limfoma Hodgkin Limfoma non Hodgkin

Laparotomi Splenektomi

2.10.2 Kemoterapi

Penatalaksanaan limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin secara umum


serupa dan didasarkan pada kombinasi kemoterapi. Pada limfoma Hodgkin, tujuan
keseluruhannya adalah untuk memaksimalkan kemungkinan penyembuhan,
sambil meminimalkan toksisitas jangka pendek dan jangka panjang.
Penatalaksanaan limfoma non-Hodgkin tergantung pada subtipenya. Pada
limfoma agresif, tujuan pengobatan adalah untuk menyembuhkan pasien,
sedangkan pada bentuk indolen pengobatan mungkin tidak diperlukan selama
beberapa tahun. Kemoterapi dengan doxorubicin, bleomycin, vinblastine dan
dacarbazine (ABVD) telah menjadi landasan pengobatan untuk semua tahap
limfoma Hodgkin klasik selama 30 tahun terakhir. Dalam beberapa kasus,
kemoterapi diikuti dengan radioterapi lokal. (16)

Limfoma Hodgkin Limfoma non Hodgkin

Minimalkan toksisitas jangka pendek Toksisitas jangka pendek dan jangka


dan jangka Panjang (doxorubicin, Panjang (doxorubicin, bleomycin,
bleomycin, vinblastine dan vinblastine dan dacarbazine (ABVD))
dacarbazine (ABVD))

2.10.3 Radioterapi

Untuk HL klasik, terapi radiasi (RT) sering digunakan setelah kemoterapi


untuk area limfadenopati residual yang terbatas yang merupakan FDG avid pada
restaging PET/CT. RT dengan sendirinya dapat digunakan untuk mengobati

20
beberapa kasus HL yang didominasi limfosit nodular. Pada NHL, RT dapat
digunakan dalam berbagai skenario;(3)

 Untuk NHL indolen stadium awal (Ann Arbor stadium I atau II) dengan
jumlah beban penyakit yang terbatas, RT dapat digunakan sebagai
pengobatan modalitas tunggal.
 Untuk NHL yang lebih lanjut dan/atau agresif, RT digunakan setelah
kemoterapi sebagai konsolidasi.

Limfoma Hodgkin Limfoma non Hodgkin

Area limfadenopati residual yang Untuk NHL indolen stadium awal


terbatas, FDG avid pada restaging (Ann Arbor stadium I atau II)
PET/CT Untuk NHL yang lebih lanjut dan/atau
agresif

2.10.4 Terapi Hormonal

Terapi hormon untuk menopause telah dipelajari secara luas sehubungan


dengan kesehatan wanita. Untuk wanita pascamenopause, ada beberapa saran
bahwa penggunaan terapi hormon saat ini dapat dikaitkan dengan penurunan
risiko NHL, meskipun secara keseluruhan, tidak ada hubungan yang dilaporkan
dan temuan sampai saat ini tidak meyakinkan. (17)

2.10.5 Targeting Therapy

Selama 20 tahun terakhir, terapi obat baru untuk limfoma sel B dan sel T
telah berkembang pesat. Terapi yang ditargetkan untuk limfoma sel B meliputi:
(1) antibodi monoklonal yang diarahkan pada antigen limfosit CD20, contohnya
adalah rituximab, ofatumumab, dan obinutuzumab; (2) terapi transfer gen,
contohnya adalah terapi sel T yang dimodifikasi reseptor antigen chimeric (CAR-
T) yang diarahkan pada antigen CD19 yang diekspresikan pada permukaan sel
baik sel B yang belum matang maupun yang matang; dan (3) inhibitor molekul
kecil (ibrutinib, acalabrutinib, copanlisib, duvelisib, dan idelalisib) yang
menargetkan jalur sinyal reseptor sel B. Sebagai catatan, brentuximab vedotin
adalah konjugat obat antibodi yang menargetkan CD30, antigen limfosit lain yang
diekspresikan pada permukaan sel limfoma Hodgkin (varian limfoma sel B) dan
beberapa limfoma sel T. Meskipun jalur pensinyalan epigenetik yang
21
menyimpang ada pada limfoma sel B dan T, inhibitor epigenetik (contohnya
termasuk belinostat, vorinostat, dan romidepsin) saat ini disetujui oleh Food and
Drug Administration untuk limfoma sel T saja. Selain itu, terapi yang
menargetkan lingkungan mikro tumor telah dikembangkan. Contohnya termasuk
mogamulizumab, bortezomib, lenalidomide, nivolumab, dan pembrolizumab.
Singkatnya, kemanjuran agen-agen ini telah mengarah pada pengembangan
perawatan suportif untuk mengurangi efek samping, karena adanya toksisitas yang
sesuai atau tidak sesuai target.(18)

2.10.6 Rekomendasi Regimen Terapi (Kombinasi)

a. Limfoma Hodgkin

HL tahap awal memiliki tingkat kesembuhan 90%, terapi kombinasi yang


disesuaikan dengan risiko adalah standar perawatan saat ini. PET scan memiliki
peran aktif dalam mengurangi pengobatan untuk penyakit stadium awal dan
lanjut. Tabel berikut menunjukkan strategi pengelolaan yang optimal untuk HL.(14)

Tabel 3. Penatalaksanaan Limfoma Hodgkin. (14)


Stadium klinis Regimen terapi
 Stadium klinis I dan II
Semua histologis  NLPHL stadium 1A klinis—pertimbangkan IFRT saja
Risiko yang  ABVD × 2 siklus → IFRT (20 Gy) Hindari RT (terutama pada pasien
menguntungkan <55 tahun dengan penyakit di mediastinum atau perut)
 ABVD × 2 → PET/CT - Jika PET negatif, kemudian lanjut ABVD ×
2 - Jika PET positif, maka selanjutnya ABVD × 2 diikuti oleh IFRT 

Risiko yang tidak  ABVD × 4 siklus → IFRT [30 Gy]


menguntungkan  ABVD × 6 siklus untuk pasien dengan gejala B atau ekstensi ekstra-
Non-bulky nodal
 Pertimbangkan peningkatan BEACOPP (2 siklus) dalam kasus PR
pada PET
Bulky  ABVD × 6 siklus → IFRT [30 Gy] ke lokasi curah sebelumnya
• 10 cm  Jika akhir pengobatan PET negatif, RT dapat dihindari
• 1/3 diameter  Pertimbangkan peningkatan BEACOPP (2 siklus) jika PR pada PET 
transtoraks maksimal
pada sinar-X
 Stadium klinis III dan IV
Semua histologis  ABVD × 6 siklus
Non-bulky  IFRT [30 Gy] jika ada massa residu positif PET
 Pertimbangkan peningkatan BEACOPP (4 siklus) dalam kasus PR
pada pemindaian PET setelah siklus 2 ABVD
 Pertimbangkan untuk Menghilangkan Bleomisin, jika diperlukan,
jika dalam CR pada Pemindaian PET setelah siklus 2
 Rejimen berbasis vedotin Brentuximab (A - AVD) baru-baru ini
ditemukan lebih unggul daripada ABVD. Biaya terapi dan impor
obat harus dipertimbangkan sebelum membahas rejimen ini Pasien

22
Stadium klinis Regimen terapi
lanjut usia > 65 tahun dapat diobati dengan COPP
ABVD adriyamycin, bleomycin, vinblastine, dacarbazine, BEACOPP bleomycin, etoposide,
adriamycin, cyclophosphamide, vincristine, procarbazine, prednisone, COPP cyclophosphamide,
oncovin, procarbazine and prednisone, IFRT involved field radiotherapy, 20–30 Gy, PET-CT
positron emission tomography computed tomography, RT radiotherapy, NLPHL nodular
lymphocytic predominant Hodgkin’s lymphoma 

b. Limfoma Non-Hodgkin: Sel B Indolent

Strategi manajemen yang optimal untuk NHL derajat rendah (yaitu FL,
limfoma zona marginal [MZL], limfoma jaringan limfoid terkait mukosa
[MALT], dan leukemia limfositik kronis [CLL]) dijelaskan di bawah ini (Tabel
4,5,6).(14)

Tabel 4. Penatalaksanaan limfoma folikular(14)


Stadium klinis Regimen terapi
Stadium awal : IA atau IIA IFRT 24 Gy 12# hingga 30 Gy 20# ( menunggu dengan
contagious waspada)
Stadium lanjut : III, IV  Tanpa gejala
 Menunggu dengan waspada ( Monoterapi Rituximab  
×  4 mingguan,  ±  pemeliharaan R  ×  q3 setiap bulan
selama 1 tahun)
Indikasi pengobatan pada Gejala
stadium lanjut Grade 1,2,3a FL
Gejala (demam, keringat malam,  SA Rituximab × 4 mingguan diikuti dengan
penurunan berat badan, malaise, pemeliharaan R × q3 bulanan selama 1 tahun
nyeri, dll.)  BR × 6
 Adenopati signifikan: > 7 cm, 3  CVP-R × 6 → (±  Pemeliharaan R  ×  q3 bulanan
tempat dan 3 cm, progresif cepat selama 2 tahun)
 Splenomegali > 5 cm di bawah Grade 3 a dan 3 b FL
batas kosta CHOP-R × 6 → (±  Pemeliharaan R  ×  q3 bulanan selama
 Kompromi organ yang akan 2 tahun)
datang (kompresi, efusi pleura, Komorbiditas Serius
efusi perikardial, asites) Klorambusil oral ± Rituximab atau prednisolon
 Sitopenia sekunder akibat infiltrasi
sumsum tulang
 Preferensi pasien: kecemasan dan
kualitas hidup yang buruk
B-R bendamustine-rituximab, CHOP-R cyclophosphamide, doxorubicin (hydroxydaunomycin),
vincristine, prednisone and rituximab, CVP-R cyclophosphamide, vincristine, prednisolone and
rituximab, IFRT involved field radiotherapy, QoL quality of life, R rituximab, SA single agent

Tabel 5. Penatalaksanaan limfoma indolen (selain limfoma folikular) (14)


Stadium klinis Regimen terapi
Tahap 1 dan 2 • Pasien tanpa gejala dapat diamati
• Rawat dengan IFRT
• Kemo-imunoterapi modalitas kombinasi × 3 siklus (klorambusil, CVP,
atau bendamustine) → RT lokal
Tahap 3 dan 4: tanpa • Observasi saja
gejala • SA rituximab mingguan × 4 diikuti oleh pemeliharaan 2 hingga 3

23
Stadium klinis Regimen terapi
bulanan selama 1 tahun
Tahap 3 dan 4: Kemo-imunoterapi × 6 siklus diikuti ± rituximab pemeliharaan selama
simptomatik 2 tahun.
• CVP ± R
• CHOP ± R
• B ± R 

B-R bendamustine-rituximab, CHOP-R cyclophosphamide, doxorubicin (hydroxydaunomycin),


vincristine, prednisone and rituximab, CVP-R cyclophosphamide, vincristine, prednisolone and
rituximab, IFRT involved field radiotherapy, RT radiotherapy, SA single agent, R rituximab  

Tabel 6. Penatalaksanaan leukemia limfositik kronis (CLL) (14)


Stadium klinis Regimen terapi
Stadium awal Tidak ada perawatan yang umumnya diindikasikana
Rai 0 : hanya limfositosis Penantian waspada
Binet A : < 3 area limfadenopati
Tidak ada anemia atau trombositopenia
Stadium sedang Mungkina
Rai I-II : limfadenopati, splenomegali
± hepatomegali
Binet B : Limfadenopati > 3 cm, tidak
ada anemia atau trombositopenia
Stadium lanjut Selalu
Rai III-IV : Anemia, trombositopenia Cocok untuk pengobatan
Binet C : Hemoglobin < 10 Tidak ada mutasi del (17p): FCR × 6 (atau, BR × 6
gm/dL; trombosit <100 × 10  / L

adalah pilihan)
Mutasi dan/atau del (17p) : Ibrutinib ATAU
Metilprednisolon-R dosis tinggi Pada orang muda,
karena pertimbangan untuk HSCT Alogenik harus
diberikan
Tidak layak untuk pengobatan dengan FCR dosis
penuh
Tidak ada mutasi atau del (17p): B ± R × 6,
FC-R × 6 (dosis dikurangi),
CVP ± R × 6,
Chlorambucil ± R
Mutation del (17p): pertimbangkan ibrutinib
 Jumlah limfosit mutlak saja bukan merupakan indikasi untuk pengobatan kecuali atas
200-300 × 10  / L atau gejala yang berhubungan dengan leukostasis

 B-R bendamustine-rituximab, CVP-R cyclophosphamide, vincristine, prednisolone and


rituximab, FC-R fludarabine, cyclophosphamide, and rituximab, R rituximab, HSCT
hematopoeitic stem cell transplant
 Pengobatan diindikasikan ketika lymphocyte doubling time (LDT) <12 bulan, kadar LDH
dan mikroglobulin β-2 yang tinggi, splenomegali masif > 5cm di bawah batas kosta, atau
gejala B konstitusional 
c. Limfoma Non-Hodgkin: Sel B High Grade

Strategi pengelolaan yang optimal untuk NHL sel B dewasa high grade
(DLBCL, limfoma sel mantel [MCL], BL) diberikan di bawah ini. (14)

24
Tabel 7. Penatalaksanaan DLBL(14)
Stadium klinis Regimen terapi
Stadium terbatas I–II , tidak ada gejala B, non-bulky (≤ 10 cm)
IPI rendah [0,1,2] CHOP-R × 3 siklus → IFRT 30 Gy/15 # atau
Jika < 55 tahun dan ingin menghindari RT ke 36 Gy/20# CHOP-R × 4 untuk IPI-0 CHOP-R ×
dada dan perut 6 untuk IPI – 1 atau 2  

IPI tinggi [3, 4] CHOP-R × 6 + IFRT 30–36 Gy


Stadium lanjut III–IV, gejala B, bulk 10 cm
IPI rendah [1,2] dan/atau CHOP-R × 6 ± RT
Usia > 65 tahun CEOP-R × 6 ± RT atau mini CHOP-R × 6
IPI tinggi [3,4,5] CHOP-R × 6 ± RT
Pasien muda dengan Limfoma sel B Besar da EPOCH—R × 6 siklus
Mediastinum, perantara antara DLBCL dan
limfoma Burkitt atau Double Hit [DH]
 Pasien dengan bulky disease atau gangguan fungsi ginjal harus dipantau untuk sindrom lisis
tumor. Doxorubicin dalam rejimen CHOP dapat diganti dengan etoposide (CEOP), liposomal
doxorubicin atau mitoxantrone pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang buruk (Kategori
2B); pasien lanjut usia di atas usia 80 tahun dapat menerima mini CHOP-R 
 Pemindaian PET/CT pada restaging sementara dapat menyebabkan peningkatan hasil positif
palsu dan harus dipertimbangkan secara hati-hati pada kasus tertentu. Jika PET/CT scan
dilakukan dan positif, rebiopsi sebelum mengubah arah pengobatan
 CHOP-R cyclophosphamide, doxorubicin (hydroxydaunomycin), vincristine, prednisone and
rituximab, DA-EPOCH-R dose adjusted etoposide, prednisone, oncovin (vincristine),
cyclophosphamide, hydroxydaunorubicin (doxorubicin), and rituximab; DLBCL diffuse large
B cell lymphoma, IFRT involved field radiotherapy, IPI international prognostic index; mini
CHOP-R rituximab combined with low-dose CHOP, RT radiotherapy, R rituximab 
Tabel 8. Penatalaksanaan limfoma sel mantel(14)
Stadium klinis Regimen terapi
Tahap Awal I–II IFRT (30–36 Gy) saja CHOP ± R × 6 

Tahap Lanjut
Tahap II (besar) CHOP ± R × 6 siklus pemeliharaan R q 2-3 bulanan selama 2 tahun
Stadium III-IV Menunggu dengan waspada
[Pasien tanpa gejala
dengan Ki-67 Rendah
dan IPI rendah]
Stadium III-IV Cocok untuk HSCT
[pasien bergejala] CHOP-R otomatis alternatif dengan DHAP-R × 6 → HDT dan HSCT
otomatis dalam remisi  → pemeliharaan Rituximab

Tidak layak untuk HSCT


B-R × 6 siklus otomatis ± pemeliharaan R q 2–3 bulanan selama
2 tahun
CHOP-R × 6 siklus ± pemeliharaan R q 2-3 bulanan selama 2 tahun
CVP ± R × 6 ± pemeliharaan R Chlorambucil ± R
 Untuk pasien yang tidak mencapai setidaknya PR dengan terapi lini pertama, terapi lini kedua
dapat dipertimbangkan dalam upaya meningkatkan kualitas respons sebelum diambil untuk
konsolidasi dengan HDT dan Auto HSCT
 HOP-R cyclophosphamide, doxorubicin (hydroxydaunomycin), vincristine, prednisone and
rituximab, HD high dose, IFRT involved field radiotherapy, IPI international prognostic index,
mini CHOP-R rituximab combined with low-dose CHOP, DHAP-R dexamethasone, high dose

25
Ara-C cytarabine, platinol (cisplatin) and rituximab, HSCT hemopoeitic stem cell
transplantation, RT radiotherapy, R rituximab
 Untuk pasien muda dengan CR atau PR untuk terapi lini pertama, konsolidasi dengan terapi

dosis tinggi (HDT) transplantasi sel induk hematopoietik autologus (Auto HSCT)
direkomendasikan

Penatalaksanaan Limfoma Burkitt (BL)

Ada insiden tinggi sindrom tumor-lisis dan tindakan harus diambil untuk
mencegah dan mengobati komplikasi ini. Pasien dengan penyakit besar dan
disfungsi organ dapat diobati dengan terapi dosis modifikasi (misalnya pra-fase-
CVP), dalam upaya untuk memodifikasi efek lisis tumor. Kemudian, terapi yang
lebih intensif perlu diberikan seperti diuraikan di bawah ini. (14)

 Dosis disesuaikan etoposida, prednison, oncovin (vincristine), siklofosfamid,


hidroxydaunorubicin (doxorubicin)±rituximab (daEPOCH±R)
 Protokol Berlin-Frankfurt-Münster (BFM) (B-NHL 2002)
 Siklofosfamid hiperfraksinasi, vinkristin, doksorubisin (Adriamycin), dan
deksametason ± rituximab (Hyper CVAD ± R)

d. Limfoma Non-Hodgkin: Limfoma Sel T


Keganasan sel T adalah penyakit yang jarang dan seringkali
kompleks. Diagnosis dan manajemen harus didiskusikan dalam pertemuan tim
multi-disiplin dan pasien yang membutuhkan perawatan umumnya harus dirujuk
ke pusat kanker atau pusat tersier dengan keahlian spesialis. Kelangkaan penyakit
ini dan kurangnya uji coba secara acak berarti bahwa tidak ada konsensus tentang
terapi optimal untuk neoplasma sel T dan NK dan oleh karena itu rekomendasi
didasarkan pada seri kasus kecil, uji coba fase II dan pendapat ahli. (14)

Nodal Peripheral T-Cell Lymphoma


Peripheral T Cell Lymphoma Not Otherwise Specified (PTCLnos): Pengobatan
dengan rejimen kemoterapi berbasis antrasiklin—6 siklus CHOP (atau CHOEP)
direkomendasikan. Pilihan HSCT autologus sebagai tindakan konsolidasi dapat
dipertimbangkan pada pasien yang memenuhi syarat untuk transplantasi, telah
mencapai atau memiliki respons yang berkelanjutan, dan pada mereka dengan
penyakit berisiko tinggi. (14)

Anaplastic Large Cell Lymphoma (ALCL)


 Tahap terbatas: ALCL positif-ALK dan tidak ada gambaran prognostik
yang merugikan oleh IPI harus diobati dengan 3-4 siklus kemoterapi

26
CHOP dan IFRT. Pasien yang lebih muda (remaja dewasa muda) dapat
dipertimbangkan untuk protokol BFM jangka pendek yang lebih intensif
untuk NHL yang mencakup metotreksat dosis tinggi.

 Tahap lanjut: Pasien harus menerima 6-8 siklus kemoterapi CHOP.


Pada ALCL negatif ALK, pertimbangkan untuk memeriksa penataan ulang gen
DUSP22. ALK negatif DUSP22 ALCL positif dapat diperlakukan mirip dengan
ALK-positif ALCL. ALK-negatif ALCL harus diperlakukan seperti untuk PTCL-
NOS (limfoma sel T perifer tidak ditentukan lain). Pasien yang lebih muda
(remaja dewasa muda) dapat dipertimbangkan untuk protokol BFM jangka
pendek yang lebih intensif untuk NHL yang mencakup metotreksat dosis
tinggi. CHOEP adalah rejimen alternatif, untuk limfoma stadium lanjut ALK-
negatif (namun, tidak ada data yang cukup untuk
merekomendasikan). Pertimbangan harus diberikan untuk konsolidasi dengan
auto-HSCT. (14)

Angioimmunoblastic T Cell Lymphoma (AITL)


Pengobatan dengan CHOP (atau CHOEP) direkomendasikan diikuti dengan
konsolidasi dengan kemoterapi HD dan auto HSCT. Penggunaan protokol GDP
sebagai alternatif untuk CHOP dapat dipertimbangkan dari perspektif toksisitas
dengan hasil yang setara. Pada pasien dengan penyakit yang relatif lamban,
pilihan untuk menggunakan siklosporin untuk menginduksi respon dapat
dipertimbangkan pada kekambuhan setelah terapi primer. (14)

Mature T-Cell Leukemia


T-prolymphocytic leukemia (T-PLL): Agen tunggal pentostatin 4 mg/m2 setiap
minggu × 4 → x 2 mingguan sampai respon maksimal. Regimen alternatif
termasuk kombinasi fludarabine, cyclophosphamide, mitoxantrone (FCM), dan
penggunaan harus dipertimbangkan dengan pengalaman pusat individu dan akses
ke obat. Alemtuzumab, obat yang biasa digunakan dalam kondisi ini saat ini tidak
tersedia di India, dan berpotensi diimpor. (14)

T- large granular lymphocytic leukemia (T-LGL): Pengelolaan T-LGL disajikan


pada Tabel 9.
Tabel 9. Penatalaksanaan T-large granular lymphocytic leukemia (LGL) (14)
Presentasi T- Regimen terapi
LGL
Tanpa gejala Menunggu dengan waspada

27
Presentasi T- Regimen terapi
LGL
Sitopenia ringan Transfusi sel darah merah kemasan
—Hemoglobin
< 9 gm/dL
Sitopenia berat Methotrexate (MTX) lebih disukai sebagai lini pertama dan CTX
—ANC < dipertimbangkan jika terjadi kegagalan MTX
500/mm  3
• MTX SA 10 mg/m  /minggu atau

Trombosit < • Siklofasfamid 50 hingga 100 mg/hari sebagai agen tunggal atau


50,000/mm  3
• Siklosporin 5 hingga 6 mg/kg /hari dalam 2 dosis terbagi (dipertimbangkan
jika terjadi kegagalan pada MTX dan CTX) atau
• Fludarabine/cladirabine/bendamustine atau • Splenektomi pada pasien
tertentu

Chronic lymphoproliferative disease of NK cells (CLPDNK): Manajemen seperti


untuk T-LGL.

Aggressive NK cell leukemia: Pasien yang lebih muda harus dirawat dengan
protokol berbasis ALL.

 Adult T cell leukemia lymphoma (ATLL): terapi ATLL disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Penatalaksanaan ATLL(14)
presentasi ATLL Regimen terapi
Smouldering Tidak ada manfaat dari perawatan dini—tunggu dan perhatikan
Limfoma CHOP + AZT bersamaan diikuti oleh HSCT alogenik pada remisi
pertama
Leukemia/limfoma derajat CHOP + AZT bersamaan diikuti oleh HSCT alogenik dalam
tinggi [HG] profilaksis SSP remisi pertama seperti untuk HG DLBCL

 
Limfoma Sel T Perifer Ekstranodal
Cutaneous T-Cell Lymphomas (CTCL): CTCL dapat muncul dengan kelainan
kulit infiltratif kronis yang tidak merata (mikosis fungoides—50% limfoma kulit)
atau dengan eritema difus dan sel T ganas dalam darah perifer (sindrom Sezary).
(14)

Tabel 11. Penatalaksanaan CTCL(14)


Stadium klinis Rejimen pengobatan
Tahap I–II A Kortikosteroid topikal, salep mustard nitrogen
Kegagalan pengobatan topikal Radiasi psoralen dan ultra violet A (PUVA)
Tahap III–IV Terapi sinar elektron kulit total (TSET)
Terapi sistemik
Metotreksat agen tunggal (≤ 100 mg/minggu)
Chlorumbucil
Cyclophosphamide
Retinoid
Interferon
Brentuximab vedotin (dalam CD30 +)

28
Stadium klinis Rejimen pengobatan
Terapi kombinasi
CHOP
Fludarabine/Cladarabine ± Berbasis mitoxantrone (FC/FCM)
Gemcitabine (GDP) 

 
2.11 Follow Up  

Pasien harus ditindaklanjuti setiap 3-4 bulan selama 1 tahun pertama,


diikuti oleh 6 bulanan selama 2 tahun berikutnya, dan kemudian setiap tahun
sesuai table berikut. (14)

Tabel 12. Follow up (interval dan pemeriksaan yang dilakukan) (14)


Interval Pemeriksaan
Setiap kunjungan  Pemeriksaan kelenjar limfe, tiroid, paru,abdomen, kulit
 Pemeriksaan darah lengkap dengan diff count, LDH (+ESR untuk
HL)
 Rontgen dada tiap tahun pada 3 tahun pertama pasien dengan
penyakit intrathorakal
Setiap tahun  TSH (hika tiroid iradiasi
 Mammogram usia di atas 40 tahun jika iradiasi (atau > 50 tahun)
 Vaksin influenza
Scan tubuh rutin  Setelah 6 minggu – 3 bulan terapi
 Jika residual pada pemindaian, CT scan/PET harus diulang
setelah 6 bulan
 CT/PET scan surveilans tidak memiliki peran dalam tindak lanjut
pasien hingga saat ini dan harus digunakan dengan bijaksana

 2.12 Prognosis

Karena kekuatan prediksi yang terbatas dari staging Ann Arbor untuk HL
dan NHL, model prognostik klinis dikembangkan untuk membantu dokter dalam
menyampaikan informasi prognostik kepada pasien. Beberapa model telah
dikembangkan, yang meliputi skor prognostik internasional HL, indeks prognostik
internasional (IPI) untuk DLBCL, dan indeks prognostik internasional FL (FLIPI)
untuk limfoma folikular. Skor IPI rendah memprediksi hasil yang lebih baik dan
IPI tinggi menunjukkan hasil yang lebih buruk.(14)

29
Tabel 13. Skor IPI(14)

Tabel 14. Klasifikasi pasien DLBCL berdasarkan skor IPI(14)

Tabel 15. Indeks FLIPI(14)

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Mugnaini EN, Ghosh N. Lymphoma. Prim Care Clin Off Pract. 2016
Dec;43(4):661–75.
2. Matasar MJ, Zelenetz AD. Overview of Lymphoma Diagnosis and
Management. Radiol Clin North Am. 2008 Mar;46(2):175–98.
3. Jamil A, Mukkamalla SKR. Lymphoma. StatPearls. 2021.
4. Piekarz RL, Frye R, Prince HM, Kirschbaum MH, Zain J, Allen SL, et al.
Phase 2 trial of romidepsin in patients with peripheral T-cell lymphoma.
Blood. 2011 Jun 2;117(22):5827–34.
5. Smith A, Crouch S, Lax S, Li J, Painter D, Howell D, et al. Lymphoma
incidence, survival and prevalence 2004–2014: sub-type analyses from the
UK’s Haematological Malignancy Research Network. Br J Cancer. 2015
Apr 24;112(9):1575–84.
6. Stathis A, Owens C. Risk factors, etiology, and pathogenesis. 2016;
7. Luk C, Yu Y. Hodgkin lymphoma: pathogenesis and clinical findings
[Internet]. 2013. Available from: https://calgaryguide.ucalgary.ca/
8. Nogai H, Dörken B, Lenz G. Pathogenesis of Non-Hodgkin’s Lymphoma. J
Clin Oncol. 2011 May 10;29(14):1803–11.
9. Bujoreanu I, Gupta V. Anatomy, Lymph Nodes. StatPearls. 2021.
10. Parham P, Janeway C. The immune system 3rd Edition. New York:
Garland Science; 2009.
11. Ozdowski L, Gupta V. Physiology, Lymphatic System. StatPearls. 2021.
12. Swerdlow SH, Campo E, Pileri SA, Harris NL, Stein H, Siebert R, et al.
The 2016 revision of the World Health Organization classification of
lymphoid neoplasms. Blood. 2016 May 19;127(20):2375–90.
13. Giunti M, Falini B, Bolis GB, Stein H. Hodgkin ’ s lymphoma : the
pathologist ’ s viewpoint. J Clin Pathol. 2002;55:162–76.
14. Nair R, Kakroo A, Bapna A, Gogia A, Vora A, Pathak A, et al.
Management of Lymphomas: Consensus Document 2018 by an Indian
Expert Group. Indian J Hematol Blood Transfus. 2018 Jul 3;34(3):398–
421.
15. Yahanda AM. Surgical Treatment: Evidence-Based and Problem-Oriented.
Munich: Zuckschwerdt; 2001.
16. Duncan N. Lymphomas: current and future treatment options. 2014;
17. Kane EV, Bernstein L, Bracci PM, Cerhan JR, Costas L, Dal Maso L, et al.
Postmenopausal hormone therapy and non-Hodgkin lymphoma: a pooled
analysis of InterLymph case–control studies. Ann Oncol. 2013
Feb;24(2):433–41.
18. Chung C. Current targeted therapies in lymphomas. Am J Heal Pharm.
2019 Oct 30;76(22):1825–34.

31
32
LAMPIRAN

Lampiran 1. Regimen dosis

ABVD
Adriamycin (doxorubicin) 25 mg/m2 iv d1 and d15
Bleomycin 10 units/m2 iv d1 and d15
Vinblastin 6 mg/m2 iv d1 and d15
DTIC 375 mg/m2 iv d1 and d15

B-R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1 Rituximab 500 mg/m2 iv d1, cycle 2–6 [for CLL]
Bendamustin 90 mg/m2 iv on d1 and d2

CALGB 9111
Cycle 1 (4 weeks)
Cyclophosphamide 1200 mg/m2 iv d1
Doxorubicin (Adriamycin) 45 mg/m2/d iv d1, 2, 3
Vincristine 2 mg iv d1, 8, 15, 22
Prednisone 60 mg/m2 po or iv qd d1-21
L-Asparaginase 6000 IU/m2 sc or im d5, 8, 11, 15, 18, 22
Reduce doses if patients older than 60:
Cyclophosphamide 800 mg/m2 iv d1
Doxorubicin (Adriamycin) 30 mg/m2/d iv d1, 2, 3
Prednisone 60 mg/m2 po qd d 1–7
G-CSF 5 µg/kg sc qd d4 till absolute neutrophil count (ANC) > 1000/uL
Cycle 2 (4 weeks, repeat once)
Cyclophosphamide 1000 mg/m2 iv d1
6-Mercaptopurine (6-MP) 60 mg/m2/d po d1-14
Cytarabine (Ara-C) 75 mg/m2/d sc d1-4 and 8–11
Vincristine 2 mg iv d15, 22
L-Asparaginase 6000 IU/m2 sc or im d15, 18, 22, 25
Intrathecal Methotrexate (MTX) 15 mg d1
G-CSF 5 µg/kg scqd d2 till ANC > 5000/uL
Cycle 3 (12 weeks)
6-Mercaptopurine (6-MP) 60 mg/m2/d po d1-70
Methotrexate (MTX) 20 mg/m2 po d36, 43, 50, 57, 64
Intrathecal Methotrexate (MTX) 15 mg d1, 8, 15, 22, 29
Brain radiation 24 Gy d1-12
Cycle 4 (8 weeks)
Doxorubicin (Adriamycin) 30 mg/m2/d iv d1, 8, 15
Vincristine 2 mg iv d1, 8, 15
Dexamethasone (Decadron) 10 mg/m2/d pod1-14
Cyclophosphamide 1000 mg/m2 iv d29
6-Thioguanine 60 mg/m2/d po d29-42
Cytarabine (Ara-C) 75 mg/m2/d sc d29-32 and 36–39
Cycle 5 (16 months)
Vincristine 2 mg iv d1
Prednisone 60 mg/m2/d d1-5
Methotrexate (MTX) 20 mg/m2/d po d1, 8, 15, 22
6-Mercaptopurine (6-MP) 60 mg/m2/d po d1-28

33
CALGB 9251
Cycle 1
Cyclophosphamide (Cytoxan) 200 mg/m2/d iv d1-5
Prednisone 60 mg/m2/d po d1-7
Cycles 2, 4, 6
Ifosfamide 800 mg/m2/d iv over 1 h d1-5
Mesna 200 mg/m2 iv at 0, 4 and 8 h after ifosfamide d1-5
Methotrexate (MTX) 150 mg/m2 iv over 30 min d1, followed by 1350 mg/m2 civi over 23.5 h
Leucovorin 50 mg/m2 iv 36 h after start of MTX, followed by 15 mg/m2 iv q 6 h till MTX level < 
0.05 uM
Vincristine 2 mg iv d1
Cytarabine (Ara-c) 150 mg/m2/d civi d 4 and 5
Etoposide (VP-16) 80 mg/m2/d iv over 1 h d 4 and 5
Dexamethasone (Decadron) 10 mg/m2/d po d1-5
Cycles 3, 5, 7
Cyclophosphamide 200 mg/m2/d iv d1-5
Methotrexate (MTX) 150 mg/m2 iv over 30 min d1, followed by 1350 mg/m2 civi over 23.5 h
Leucovorin 50 mg/m2 iv 36 h after start of MTX, followed by 15 mg/m2 iv q6 h till MTX level < 
0.05 uM
Vincristine 2 mg iv d1
Doxorubicin (Adriamycin) 25 mg/m2/d iv bolus d 4 and 5
Dexamethasone (Decadron) 10 mg/m2/d po d1-5
Intrathecal (cycle 2–7)
Methotrexate (MTX) 15 mg d1
Cytarabine (Ara-c) 40 mg d1
Hydrocortisone 50 mg d1
Brain radiation 24 Gy post chemotherapy if bone marrow involvement
Start cycle 2 right after cycle 1, cycle 2–7 are given q3w

CEPP
Cyclophosphamide 600 mg/m2 iv d1 and 8
Etoposide (VP-16) 70 mg/m2/d iv d1-3
Procarbazine 60 mg/m2/d po d1-10
Prednisone 60 mg/m2/d po d1-10
Q4w × 6 cycles

Chlorambucil 10 mg/m2 PO day 1 – day 7 Q4w × 12 cycles

CEOP ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Cyclophophamide 750 mg/m2 iv d1
Etoposide 50 mg/m2 iv d1 followed by 100 mg oral on d2 and d3.
Vincristine 1.4 mg/m2 (max 2 mg) iv d1
Prednisone 100 mg po qd d1-5
Q3w × 6 cycles

CHOP ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Cyclophophamide 750 mg/m2 iv d1
Doxorubicin (Adriamycin) 50 mg/m2 iv d1
Vincristine 1.4 mg/m2 (max 2 mg) iv d1
Prednisone 100 mg po qd d1-5
Q3w × 6 cycles

34
CODOX-M (Modified for low risk patients: single extra-abdominal mass or completely resected
abdominal mass and normal serum LDH)
Cyclophosphamide 800 mg/m2 iv d1
Cyclophosphamide 200 mg/m2/d iv d2-5
Doxorubicin (Adriamycin) 40 mg/m2 iv d1
Vincristine 1.5 mg/m2 iv d1, 8
Methotrexate (MTX) 1200 mg/m2 iv over 1 h d10, then 240 mg/m2 per hour civi for the next 23 h
Leucovorin 50 mg iv q6 h begins 36 h from the start of MTX till MTX level < 0.05 uM
G-CSF begins 24 h from the start of leucovorin till ANC > 1000/mL
CNS prophylaxis: Intrathecal Cytarabine (Ara-C) 70 mg d1, Methotrexate (Mtx) 12 mg d3 Total
of 3 cycles

CODOX-M/IVAC (for high risk patients: do not meet low risk criteria)


Cycle 1 and 3 (CODOX-M)
Cyclophosphamide 800 mg/m2 iv d1
Cyclophosphamide 200 mg/m2d iv d2-5
Doxorubicin (Adriamycin) 40 mg/m2 iv d1
Vincristine 1.5 mg/m2 iv d1, 8 for cycle 1 and d1, 8, 15 for cycle 3
Methotrexate (MTX) 1200 mg/m2 iv over 1 h d10, then 240 mg/m2 per hour civi for the next 23 h
Leucovorin 50 mg iv q6 h begins 36 h from the start of MTX till MTX level < 0.05 uM
G-CSF begins 24 h from the start of Leucovorin till ANC > 1000/mL
CNS prophylaxis:
Intrathecal Cytarabine (Ara-C) 70 mg d1 and 3, Methotrexate (MTX) 12 mg d15
CNS treatment
Cycle 1: Intrathecal Cytarabine (Ara-C) 70 mg d1, 3 and 5, Methotrexate (MTX) 12 mg d15 and
17
Cycle 3: Intrathecal Cytarabine (Ara-C) 70 mg d1 and 3, Methotrexate (MTX) 12 mg d15
Cycle 2 and 4 (IVAC)
Ifosfamide 1500 mg/m2/d iv d1-5
Etoposide (VP-16) 60 mg/m2/d iv d1-5
Cytarabine (Ara-C) 2000 mg/m2 iv q12 h d1 and 2 (total 4 doses)
G-CSF begins 24 h after completion of chemotherapy till ANC > 1000/mL
CNS prophylaxis: Intrathecal Methotrexate (MTX) 12 mg d5
CNS treatment:
Cycle 2: Intrathecal Methotrexate (MTX) 12 mg d5, Cytarabine (Ara-C) 70 mg d7 and 9
Cycle 4: Intrathecal Methotrexate (MTX) 12 mg d5
Radiotherapy for CNS disease and testicular involvement

COPP
Cyclophosphamide 600 mg/m2 iv d1 and 8 Vincristine 1.4 mg/m2 (max 2 mg) iv d1 and 8
Procarbazine 60 mg/m2/d po d1-10
Prednisone 60 mg/m2/d po d1-10
Q4w × 6 cycles

CVP ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Cyclophophamide 750 mg/m2 iv d1
Vincristine 1.4 mg/m2 (max 2 mg) iv d1
Prednisone 100 mg po qd d1-5
Q3w × 6–8 cycles

35
DHAP ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Dexamethasone (Decadron) 40 mg po qd d1-4
Cisplatin 100 mg/m2 iv over 24 h d1
Cytarabine (Ara-C) 2000 mg/m2 iv q12 h for 2 doses d2
Q3-4w

EPOCH ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Etoposide (VP-16) 50 mg/m2/d civi d1-4
Prednisone 60 mg/m2/d po d1-5
Vincristine 0.4 mg/m2/d civi d1-4
Doxorubicin (Adriamycin) 10 mg/m2/d civi d1-4
Cyclophosphamide 750 mg/m2 iv over 15 min d5
G-CSF 5 µg/kg sc qd beginining on d6 till ANC > 10,000/uL
Q3w × 6–8 cycles

EPOCH-Dose-adjusted ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Etoposide (VP-16) 50 mg/m2/d civi d1-4
Prednisone 60 mg/m2/d po d1-5
Vincristine 0.4 mg/m2/d civi d1-4
Doxorubicin (Adriamycin) 10 mg/m2/d civi d1-4
Cyclophosphamide 750 mg/m2 iv over 15 min d5
Bactrim DS 1 tablet po bid tiw
G-CSF 5 µg/kg scqd beginining on d6 till ANC > 5000/uL
Q3w × 6–8 cycles
Dose-adjustment paradigm based on twice weekly CBC (dose adjustment above starting doses
apply to Etoposide (VP-16), Doxorubicin (Adriamycin) and Cyclophosphamide
If nadir ANC > 500/uL, 20% increase in Etoposide (VP-16), Doxorubicin (Adriamycin) and
Cyclophosphamide above last cycle
If nadir ANC < 500/uL on 1 or 2 measurements, same doses as last cycle
If nadir ANC < 500/uL on at least 3 measurements, or nadir platelet < 25,000/uL on 1
measurement, 20% decrease in Etoposide (VP-16), Doxorubicin (Adriamycin) and
Cyclophosphamide below last cycle

ESHAP ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Etoposide (VP-16) 40 mg/m2/d iv over 1 h d1-4
Methylprednisolone 500 mg/d iv over 15 min d1-5
Cisplatin 25 mg/m2/d civi d1-4
Cytarabine (Ara-C) 2000 mg/m2 iv over 2 h d5
Q3-4w × 6–8 cycles

FC ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d0, cycle 1 Rituximab 500 mg/m2 iv d1, cycle 2 – 6 Fludarabine
25 mg/m2 iv d1–d3 Cyclophsphamide 250 mg/m2 po d1–d3
Q 4w × 6 cycles

36
GDP ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Gemcitabine 1000 mg/m2 iv d1 and d 8 Dexamethasone 40 mg po qd d1-4
Cisplatin 100 mg/m2 iv over 24 h
Q 3w

GMALL-B-ALL/NHL 2002
Prephase → A1 → B1 → C1 → A2 → B2 → C2
Cyclophosphamide 200 mg/m2/d iv d1-5
Prednisone 60 mg/m2/d p o d1-7
Cycle A1 on day 7 [Repeat A2 on Day 77] Rituximab 375 mg/m2 iv d7 Dexamethasone
(Decadron) 10 mg/m2/d po d7-12 Vincristine 2 mg iv d7
Ifosfamide 800 mg/m2/d iv over 1 h d8-12
Mesna 200 mg/m2 iv at 0, 4 and 8 h after ifosfamide d8-12
Methotrexate (MTX) 150 mg/m2 iv over 30 min d1, followed by 1350 mg/m2 civi over 23.5 h on
d8
Leucovorin 50 mg/m2 iv 36 h after start of MTX, followed by 15 mg/m2 iv q 6 h till MTX level < 
0.05 uM
Cytarabine (Ara-c) 150 mg/m2/d civi d 11 and 12
Etoposide (VP-16) 80 mg/m2/d iv over 1 h d 11 and 12
Prophylaxis Triple IT-Day 8 (12)
GCSF 5 µg/kg S/C from d14 onwards till ANC recovery to > 500/cmm
 Cycle B1 on day 28 [Repeat B2 on Day 98] Rituximab 375 mg/m2 iv d28 Dexamethasone
(Decadron) 10 mg/m2/d po d29-33 Vincristine 2 mg iv d29
Cyclophosphamide 200 mg/m2/d iv d29-33
Methotrexate (MTX) 150 mg/m2 iv over 30 min d1, followed by 1350 mg/m2 civi over 23.5 h on
d29
Leucovorin 50 mg/m2 iv 36 h after start of MTX, followed by 15 mg/m2 iv q6 h till MTX level < 
0.05 uM
Doxorubicin (Adriamycin) 25 mg/m2/d iv bolus d32 and 33
Prophylaxis Triple IT-Day 29 (33)
GCSF 5 µg/kg S/C from d35 onwards…… till ANC recovery to > 500/cmm
Cycle C1 on day 49 [Repeat C2 on Day 119] Rituximab 375 mg/m2 iv d49 Dexamethasone
(Decadron) 10 mg/m2/d po d50-54 Vindesin 3 mg/m2 iv d50 Methotrexate (MTX) 150 mg/m2 iv
over 30 min d1, followed by 1350 mg/m2 civi over 23.5 h on d50
Leucovorin 50 mg/m2 iv 36 h after start of MTX, followed by 15 mg/m2 iv q6 h till MTX level < 
0.05 uM Etoposide (VP-16) 250 mg/m2/d iv over 1 h d 53 and 54 HD Cytarabine 2 × 2 gm/m2 ci
3 h every 12 h d54
Prophylaxis Triple IT-Day 49 (119)
GCSF 5 µg/Kg S/C from d56 onwards till ANC recovery to > 500/cmm

GemOx ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Gemcitabine 1000 mg/m2 iv d2
Oxaliplatin 100 mg/m2 iv over 2 h d2
Q2-3w

Hyper-CVAD/MTX-Ara-C
Cycle 1, 3, 5, 7 (3–4 weeks/cycle)
Cyclophosphamide 300 mg/m2 iv over 2 h q12 h × 6 doses d1-3
Mesna 600 mg/m2/d civi d1-3 to start 1 h before cyclophosphamide till 12 h after completion of
cyclophosphamide
Vincristine 2 mg iv d4, 11
Doxorubicin (Adriamycin) 50 mg/m2iv over 24 h (over 48 h if LVEF < 50%) d4
Dexamethasone (Decadron) 40 mg po or iv qd d1-4 and d11-14

37
Cycle 2, 4, 6, 8 (3–4 weeks/cycle)
Methotrexate (MTX) 200 mg/m2iv over 2 h followed by 800 mg/m2 civi over 22 h d1
Cytarabine (Ara-C) 3 g/m2 (1 g/m2 for patients > 60 years old) iv over 2 h q12 h × 4 doses d2-3
Leucovorin 50 mg iv q6 h starting 12 h after completion of MTX till MTX level < 0.05 uM
 Intrathecal chemotherapy
Prophylaxis
 Methotrexate (MTX) 12 mg d2 of each cycle for a total of 3–4 treatments
Cytarabine (Ara-C) 100 mg d8 of each cycle for a total of 3–4 treatments
Therapeutic
Intrathecal chemotherapy twice a week (Methotrexate (MTX) 12 mg and Cytarabine (Ara-C)
100 mg respectively) till no more cancer cells in CSF, then decrease intrathecal chemotherapy to
once a week × 4, followed by Methotrexate (MTX) 12 mg d2, Cytarabine (Ara-C) 100 mg d8 for
the remaining chemotherapy cycles
Cranial radiotherapy 24–30 Gy if cranial nerve palsies

Ibrutinib 420 mg PO daily till toxicity or progression

ICE ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Ifosfamide 5000 mg/m2 mixed with Mesna 5000 mg/m2 iv over 24 h d2
Carboplatin AUC 5 (max 800 mg) iv d2
Etoposide (VP-16) 100 mg/m2/d iv d1-3
G-CSF 5 µg/kg sc qd d5-12
Q3w × 3 to 6 cycles

MINE ± R
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Mesna 1330 mg/M2/d iv over 1 h with ifosfamide d1-3, then 500 mg po 4 h after ifosfamide d1-3
Ifosfamide 1330 mg/M2/d iv over 1 h d1-3
Mitoxantrone 8 mg/M2 iv d1
Etoposide (VP-16) 65 mg/M2/d iv over 1 h d1-3
Q3w × 3–6 cycles

Methotrexate-High Dose for Primary CNS Lymphoma


Methotrexate (MTX) 8 g/m2iv over 4 h q2w till CR or up to 8 cycles, followed by 8 gm/m2 iv qm 
× 11 months

MPV-R + RT + Ara-C
Rituximab 500 mg/m2 iv over 5 h d1 of each cycle
Methotrexate (MTX) 3.5 g/m2iv over 2 h d2 of each cycle
Leucovorin 20–25 mg q6 h starting 24 h after MTX infusion for 72 h or until serum MTX level < 
1 × 10−8 mg/dL. Increase leucovorin to 40 mg q4 h if MTX level > 1 × 10−5 mg/dL at 48 h or > 1 × 
10−8 mg/dL at 72 h
Vincristine 1.4 mg/m2 (max 2.8 mg) iv d2 of each cycle
Procarbazine 100 mg/m2 poqd d1-7 of odd-numbered cycles only
G-CSF 5 µg/kg/d sc for 3 to 5 days starting 24 h after the last dose of procarbazine during odd-
numbered cycles, and starting 96 h after MTX infusion or when MTX levels < 1 × 10−8 mg/dL
during even-numbered cycles
If positive CSF cytology: intra-ommaya Methotrexate (MTX) 12 mg between days 5 and 12 of
each cycle
Q2w × 5–7cycles
Whole-brain radiotherapy (WBRT) 1.8 Gy/d for 13 days to a total of 23.4 Gy beginning 3–

38
5 weeks after the completion of R-MPV
Consolidation Cytarabine (Ara-C) 3 g/m2/d (max 6 g) iv over 3 h for 2 days
G-CSF 5 µg/kg/d sc for 10 days starting 48 h after completion of Ara-C
A second cycle of Cytarabine (Ara-C) is given 1 month later

R-mini-CHOP
Rituximab 375 mg/m2 iv d1
Cyclophophamide 400 mg/m2 iv d1
Doxorubicin (Adriamycin) 25 mg/m2 iv d1
Vincristine 1.0 mg iv d1
Prednisone 40 mg/m2 poqd d1-5
Q3w × 6 cycles

SMILE Chemotherapy Protocol


Methotrexate 2 g/m2 iv (6 h) on Day 1
Leucovorin 15 mg × 4 iv or po on day 2, 3, 4
Ifosfamide 1500 mg/M2 iv on day 2, 3, 4
Mesna 300 mg/M2 × 3 iv on day 2, 3, 4
Dexamethasone 40 mg/d iv or po on day 2, 3, 4
Etoposide 100 mg/M2 iv on day 2, 3, 4
L-asparaginase (Escherichia coli) 6000 U/m2 iv on day 8, 10, 12, 14, 16, 18, 20
G-CSF SC or iv Day 6 to WBC > 5000/µL
Repeat every 28 days.

Temozolomide SA
Temozolomide 150 mg/M2/d po d1-5 q4w till toxicity or progression of disease

39

Anda mungkin juga menyukai