Anda di halaman 1dari 40

CAMPUR KODE PADA ANAK-ANAK

HASIL PERKAWINAN ANTAR BANGSA

BALI-JEPANG DI BALI

Oleh:

Sang Ayu Ade Arie Dewayanti

17.JP.S1.933

PROGRAM STUDI BAHASA JEPANG

FAKULTAS BAHASA ASING

UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR

2020

1
DAFTAR ISI

Contents
BAB I 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah. 6
1.4 Manfaat 7
1.4.1 Manfaat Teoretis 8
1.4.2 Manfaat Praktis 8
1.5 Batasan penelitian 8
BAB II 9
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI 9
2.1 Kajian Pustaka 9
2.2 Konsep 14
2.2.1 Campur kode 14
2.2.2 Anak-anak hasil perkawinan antar bangsa Jepang-Indonesia di Bali 15
2.3 Landasan Teori 17
2.3.1 Jenis-Jenis Campur Kode 18
2.3.3 Bentuk kebahasaan campur kode pada tataran kata 21
BAB III 32
METODE PENELITIAN 32
3.1 Sumber Data 32
3.2 Lokasi Penelitian 33
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 34
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data 36
3.6 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data 37

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jumlah orang asing salah satunya orang Jepang, datang ke Bali pada tahun

1990 sebanyak 489.710 orang dan pada tahun 1999 sebanyak 1.355.799 orang

(Badan Pusat Statistik Provinsi Bali ; 2020). Berdasarkan data tersebut dapat

dilihat bahwa Bali menjadi tempat yang sangat diminati oleh orang Jepang. Bukan

hanya sekedar berlibur, adapun orang Jepang yang memutuskan untuk menetap di

Bali. Hal itu tentu saja dikarenakan adanya dua Faktor yang menyebabkan orang

Jepang menetap di Bali yaitu, (1) Berbisnis; dan (2) Menikah dengan penduduk

lokal.

Faktor pertama yang menyebabkan orang Jepang menetap di bali adalah

berbisnis, banyak orang Jepang yang menetap di Bali untuk berkarir terutama

dalam bidang bisnis, dengan itu mereka dapat bertahan hidup di Bali dan lebih

mudah bersosialisasi dengan warga Indonesia di Bali. Berbisnis di Bali menjadi

peluang besar bagi orang asing untuk menjual produk dari negeri mereka. Faktor

kedua adalah ketertarikan di antara mereka, sehingga orang asing tersebut

memiliki keinginan untuk menikah dengan penduduk berwarganegaraan

Indonesia di Bali. Kedua faktor tersebut saling berkaitan. Adanya interaksi disaat

sedang bekerja, seperti interaksi dengan pembeli dan karyawan, timbulah rasa

ketertarikan yang menyebabkan interaksi lebih lanjut yang mengarah pada

hubungan pernikahan.

3
Terjalinnya sebuah hubungan antara orang Jepang dengan penduduk lokal,

dimana orang Jepang dengan penduduk lokal membangun keluarga kecilnya di

Bali, dan hal tersebutlah yang menguatkan adanya interaksi dengan penduduk di

sekitar. Interaksi terjadi pada t​ etangga perumahan hingga keluarga besarnya,

sehingga dari pernikahan yang terjalin diantara orang jepang dengan warganegara

Indonesia tersebut harus berusaha memahami bahasa, aturan, dan adat istiadatnya.

Sehingga nantinya dapat mempengaruhi bahasa yang anaknya kuasai. Dari

sanalah terjadi kedwibahasaan atau multibahasa dimana orangtua beserta anak

secara sadar maupun tidak sadar telah terjadi fenomena pencampuran kedua

bahasa yang mereka kuasai atau dapat dikatakan telah melakukan campur kode.

Kemampuan penguasaan multibahasa dan budaya mereka pun dapat

terjadi karena adanya komunikasi di dalam keluarga/rumah, sekolah, hingga di

dalam masyarakat. Kemampuan menggunakan lebih dari dua bahasa dan

berkomunikasi dengan lingkungan di keluarganya dan masyarakat di sekitarnya,

bagi anak-anak hasil perkawinan antar bangsa menyebabkan terjadinya Campur

kode. Adapun fenomena yang terdapat dalam keluarga dengan bahasa Ibu bahasa

Indonesia dengan disisipkan sapaan seperti saat menyapa orangtuanya, dengan

sebutan ​otousan ​dan ​okaasan ​(ayah dan ibu) ​atau saat menyapa neneknya dengan

sebutan ​dadong ​(nenek). Contohnya, (1) ​okaasan nanti Arie makan dengan teman

ya, (2) ​Dadong mau kemana?. Dari kedua contoh fenomena sapaan dalam

keluarga tersebut terlihat ada dua jenis campur kode yang terdapat didalamnya

yaitu campur kode kedalam ​(Inner Code Mixing) ​dan campur kode keluar ​(Outer

code mixing).​

4
Campur kode, menurut (Nababan ; 1992) adalah pencampuran dua bahasa

atau lebih dalam suatu tindak bahasa tanpa ada situasi yang menuntut

pencampuran itu, percampuran bahasa tersebut disebabkan oleh kesantaian atau

kebiasaan yang dimiliki pembicara dan biasanya terjadi dalam situasi informal.

Sejalan dengan pendapat Nababan, (Jendra;1991) menyatakan bahwa

campur kode tidak dituntut oleh situasi dan konteks pembicaraan tetapi lebih

ditentukan oleh pokok pembicaraan pada saat itu. Campur kode disebabkan oleh

kesantaian dan kebiasaan pemakai bahasa dan pada umumnya terjadi dalam

situasi informal. Dari kedua pendapat dan pandangan para ahli mengenai campur

kode dapat disimpulkan bahwa campur kode adalah percampuran antar bahasa

satu dengan bahasa lainnya, dimana faktor penyebab dari campur kode juga

karena kebiasaan pembicara dan sulitnya menyampaikan apa yang ingin

disampaikan sehingga menyisipkan bahasa lain untuk melengkapinya. Campur

kode berdasarkan unsur bahasanya dibagi menjadi 3 bagian seperti, Campur Kode

ke Luar ​(Outer code mixing), Campur Kode ke Dalam ​(Inner Code Mixing),

Campur Kode ke Campuran ​(hybrid code mixing)​. Adapun fenomena campur

kode yang terjadi pada keseharian dalam rumah, contohnya saat sedang

membantu ibu memasak di dapur “Mama, arie bantu ​ryouri y​ a?”, “ini ​yasai-​ nya

dipotong kayak apa?”, “arie ​cotto mite ​sono niku, sudah matang?”, dari ketiga

kalimat tersebut, dimana saat sang anak sedang membantu ibunya memasak di

dapur keduanya saling berinteraksi satu sama lain, terlihat bahwa ibu dengan anak

mencampurkan bahasanya dimana bahasa Indonesia disisipkan dengan bahasa

Jepang dimana itu termasuk kedalam jenis campur kode keluar ​(Outer code

mixing). Contoh lainnya adalah saat anak sedang berbicara dengan bapaknya, “​kal

5
kije jik​? beli makan?”, “​busan k​ azuya minta dibeliin ​beguling”​ , “oh iya, ​alon-alon

jik”​ , dari ketiga kalimat tersebut, dimana saat anak sedang berbincang dengan

bapaknya menggunakan bahasa Bali yang disisipkan dengan bahasa Indonesia,

dimana kalimat tersebut termsuk kedalam jenis campur kode kedalam ​(Inner Code

Mixing). Contoh berikutnya adalah perbincangan kakak dengan adiknya di

rumah,“kamu udah nonton ​anime yang baru tu?”, “​anime apa tu?”, “lupa aku

Judul ​anime-n​ ya”, dari perbincangan adik dengan kakak pada kalimat diatas,

terlihat bahwa ​“anime” adalah bahasa serapan, maka kalimat tersebut termasuk

kedalam jenis campur kode campuran ​(hybrid code mixing).

Melihat kenyataan campur kode yang dilakukan oleh anak-anak hasil

perkawinan antar bangsa tersebut, maka penulis ingin mengetahui lebih dalam

jenis campur kode pada fenomena keseharian dalam keluarga anak-anak tersebut,

faktor yang menyebabkan anak-anak tersebut mencampurkan bahasa mereka saat

berinteraksi dengan keluarga dan bentuk kebahasaan dari campur kode yang

terjadi dalam perbincangan keluarga tersebut.

1.2 Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan tiga permasalahan

dalam penelitian ini yaitu:

1. Apakah jenis dan bentuk campur kode pada Anak-anak hasil

perkawinan antar bangsa Bali-Jepang di Bali?

2. Bagaimanakah faktor sosial yang melatarbelakangi penggunaan

campur kode pada Anak-anak hasil perkawinan antar bangsa

Bali-Jepang di Bali?

6
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan diatas, adapun tujuan yang

didapat dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan jenis dan bentuk campur kode pada Anak-anak

hasil perkawinan antar bangsa Bali-Jepang di Bali?

2. Mendeskripsikan faktor sosial yang melatarbelakangi penggunaan

campur kode pada Anak-anak hasil perkawinan antar bangsa

Bali-Jepang di Bali?

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi semua pihak,

terutamanya bagi pihak yang ingin meneliti campur kode pada anak anak hasil

perkawinan antar bangsa Bali-Jepang khususnya di Bali. Adapun

manfaat-manfaat yang dimaksud sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi ilmu pengetahuan, serta dapat

memahami lebih dalam mengenai campur kode yaitu jenis, bentuk, Faktor dan

fenomena bentuk sapaan dalam keluarga pada anak anak hasil perkawinan

Bali-Jepang, dalam bidang sosiolinguistik. Selain itu dapat menjadikan penelitian

ini sebagai acuan untuk bahan penelitian sehingga dapat menambah pengetahuan

bagi penulis maupun pembelajar bahasa Jepang.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini agar dapat memberikan manfaat bagi

seluruh masyarakat untuk dapat melihat faktor dari campur kode itu terjadi pada
7
anak-anak hasil perkawinan antar bangsa Bali-Jepang yang tinggal di Bali dalam

berbahasa kesehariannya dalam masyarakat di lingkungannya.

1.5 Batasan penelitian

Rancangan penelitian ini membahas mengenai Campur kode yang terjadi

pada anak anak hasil perkawinan antar bangsa Bali-Jepang. Campur Kode

tersebut adalah pencampuran dua bahasa menjadi sebuah kalimat yang biasa

digunakan oleh anak-anak campuran Bali-Jepang. Campur kode dapat diteliti dari

berbagai aspek, seperti penggunaan, makna, atau dampaknya. Agar penelitian ini

tidak menyimpang dan meluas, peneliti memfokuskan untuk meneliti jenis

campur kode pada fenomena dalam keluarga dan bentuk kebahasaan campur

kode pada tataran kata berwujud kata dasar, kompleks, berulang dan kata

majemuk, kemudian faktor yang melatar belakangi pencampuran bahasa oleh

anak-anak hasil perkawinan antar bangsa.

8
BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Dalam penulisan ini peneliti menggali informasi dari penelitian-penelitian

sebelumnya yang ada hubungannya dengan topik penelitian yang diangkat ​sebagai

berikut.

Penelitian yang dilakukan oleh Merlyna dengan Darmayanti berjudul

jurnal “Campur kode dalam Komunikasi Lisan Pasangan Perkawinan Beda

Bangsa Jepang-Indonesia (kajian sosiolinguistik)” Universitas Pendidikan

Ganesha, Singaraja, Indonesia (2010). Dalam jurnal tersebut ditemukan bahwa,

jenis campur kode yang digunakan oleh pasangan perkawinan beda bahasa (warga

Jepang-Indonesia) adalah 3 jenis campur kode yaitu campur kode keluar ​(Outer

Code Mixing), c​ ampur kode ke dalam (​Inner Code Mixing​), dan campur kode

campuran (​Hybrid Code Mixing​). Adapun kemunculan dialog-dialog setiap jenis

campur kode yaitu campur kode ke luar ​(outer code mixing) s​ ebanyak 50 dialog

(84,75%), campur kode ke dalam ​(inner code mixing) ​sebanyak 6 dialog

(10,17%), dan campur kode campuran ​(hybrid code mixing) s​ ebanyak 3 dialog

(5,08%). Jenis campur kode yang paling banyak digunakan adalah campur kode

ke luar ​(outer code mixing) s​ ebanyak 50 dialog dengan persentase 84,75%.

Alasan/pertimbangan keluarga dari perkawinan antarbangsa melakukan campur

kode yaitu, (1) faktor kebiasaan, (2) faktor kesantaian, dan (3) faktor kurangnya

ungkapan. Kemudian ditemukan faktor yang mempengaruhi tindak campur kode

yaitu 1) faktor kebiasaan, 2) kesantaian, dan 3) kurangnya ungkapan pada bahasa

lainnya.
9
Perbedaan penelitian ini dengan dengan jurnal yang ditulis (Merlyna

dengan Darmayanti ; 2010) yaitu penulis menggunakan subjek pada pasangan

perkawinan campuran beda bangsa yang berlokasi di daerah pariwisata Sanur

Bali, Sedangkan subjek penelitian ini pada Anak-anak hasil perkawinan antar

bangsa di Bali daerah Denpasar dan Badung. Adapun persamaan jurnal tersebut

yaitu meneliti jenis-jenis pada campur kode dan faktor yang mempengaruhinya.

Hal yang d​apat diketahui pada Jurnal karya (Merlyna dengan Darmayanti ;

2010), bahwa Bahasa yang digunakan dalam pasangan perkawinan beda bangsa

khususnya bahasa yang digunakan oleh anak-anak dipengaruhi oleh bahasa orang

tua mereka. Percakapan menggunakan bahasa Bali, bahasa Indonesia, maupun

bahasa asing, beberapa kata atau frasa dapat saja diucapkan secara bercampur

yang menyebabkan terjadinya percampuran kode bahasa yang biasa disebut

dengan ​Code mixing​.

Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho berupa skripsi berjudul “Alih

Kode dan Campur Code pada Komunikasi Guru-Siswa Di SMA Wonosari

Klaten”, Universitas Negeri Yogyakarta (2011). Mengulas permasalahan alih

kode dan campur kode pada komunikasi antara guru-siswa dalam pembelajaran di

kelas.

Penelitian yang dilakukan oleh (Nugroho ; 2011), yaitu komunikasi antara

guru-siswa saat berlangsungnya proses belajar mengajar di kelas, ditemukan

beberapa bentuk alih kode dan campur kode guru pada tindak komunikasinya.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bentuk alih kode guru yang

tampak dari tindak komunikasi yang terjadi meliputi: 1) bentuk bahasa yang

digunakan seperti, bahasa formal dan bahasa informal, 2) bentuk hubungan antar

10
bahasa seperti, bahasa Indonesia – bahasa Prancis dan sebaliknya. Sementara itu,

dialihkan kode yang tampak pada tuturan guru bahasa Prancis di SMA Negeri 1

Wonosari Klaten tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu, 1)

penutur (guru) dan mitra tutur (siswa), 2) hadirnya pihak ketiga dalam peristiwa

tutur, 3) berubahnya situasi tutur dari formal ke informal, atau sebaliknya, 4)

berubahnya topik pembicaraan, 5) membangkitkan rasa humor. Selanjutnya,

faktor campur kode lebih didominasi oleh faktor penutur itu sendiri. Faktor-faktor

campur kode yang dimaksud yaitu, 1) karena penutur ingin memperlihatkan ​style

atau gaya baru berbahasa dalam komunikasinya, 2) karena penutur memandang

perlu menyisipkan atau meminjam beberapa leksikon dari kode lain sebagai bahan

pembahasan yang merupakan topik pembicaraan atau topik pembelajaran yang

selanjutnya dikenal dengan tujuan akademis ​(raison académique), 3​ ) karena

penutur ingin menarik perhatian mitra tuturnya.

Perbedaan penelitian ini dengan dengan skripsi yang ditulis oleh Nugroho

adalah tidak memfokuskan pada campur kode saja tapi adapun alih kode yang

dibahas dalam penelitian tersebut. Sedangkan topik penelitian ini ditekankan pada

Campur Kode pada Anak-anak hasil perkawinan antar bangsa Jepang-Indonesia di

Bali. Persamaan dengan topik penelitian karya Nugroho, yang diangkat dengan

skripsi tersebut yaitu sama-sama membahas campur kode pada komunikasi

perkawinan campuran.

Manfaat penelitian karya (Nugroho ; 2011) yaitu, diharapkan mampu

untuk memberikan deskripsi atau paparan tentang bentuk alih kode guru bahasa

Prancis di SMA Negeri 1 Wonosari Klaten; bentuk campur kode guru bahasa

Prancis di SMA Negeri 1 Wonosari Klaten; dan faktor-faktor penyebab terjadinya

11
alih kode dan campur kode guru bahasa Prancis di SMA Negeri 1 Wonosari

Klaten tersebut. Khususnya bagi guru mata pelajaran bahasa Prancis, penelitian

Adi Nugroho diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

peningkatan kualitas penyampaian materi pembelajaran bahasa Prancis di kelas.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh ​Nurita, berupa tesis berjudul

“Pemertahanan Identitas Budaya Jepang pada Anak-anak hasil Kawin Campuran

Bali-Jepang di Sekolah Japan Club Sanur-Denpasar”, Universitas Udayana

Denpasar ​(2012). Menyatakan bahwa, bentuk-bentuk pemertahanan identitas

budaya Jepang yang ada di Sekolah Japan Club, meliputi proses belajar di sekolah

tersebut dengan menggunakan kurikulum Jepang, kegiatan di lingkungan sekolah

berupa kegiatan keterampilan ala Jepang, olahraga ala Jepang, permainan

tradisional Jepang, tarian Jepang, dan dalam proses pergaulan bagi anak-anak di

dalam kelompok mereka berinteraksi dengan menggunakan bahasa Jepang serta

keikutsertaan anak-anak tersebut dalam kegiatan festival budaya Jepang tahunan

yang diselenggarakan oleh perkumpulan Jepang di Bali. Kemudian dalam rangka

pemertahanan identitas budaya jepang, menimbulkan dampak bagi anak-anak dan

orangtua baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif bagi

anak-anak seperti: 1) penguasaan multibahasa, 2) mampu bergaul secara fleksibel,

dan 3) memiliki peluang kerja lebih besar. Dampak positif bagi orangtua yang

menyekolahkan anak-anak mereka di Sekolah Japan Club adalah sebagai berikut,

1) penilaian masyarakat sekitar terhadap status sosial, 2) rasa bangga memiliki

anak bersekolah di Japan Club, dan 3) rasa aman atas masa depan anak. Dampak

negatif pada anak-anak seperti: 1) gangguan perkembangan kepribadian, 2)

perhatian terhadap lingkungan sekitarnya (akibat yang ditimbulkan). Dampak

12
negatif bagi orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka di Sekolah Japan

Club seperti: 1) bertambahnya pengeluaran keluarga, dan 2) berkurangnya waktu

untuk kegiatan sosial. Adapun makna pemertahanan identitas budaya Jepang yang

timbul bagi anak-anak,orang tua, serta pihak keluarga dari Jepang adalah: 1)

makna transmisi budaya, 2) makna pelestarian budaya Jepang, dan 3) makna

keharmonisan antar dua budaya yaitu budaya Bali dan budaya Jepang melalui

komunikasi antar budaya.

Perbedaan penelitian ini dengan dengan tesis yang ditulis (Nurita ; 2012)

Lebih menekankan pada aktivitas anak-anak hasil kawin campuran Bali-Jepang

baik di dalam Sekolah Japan Club maupun kegiatan kebudayaan Jepang lainnya

yang diselenggarakan oleh anggota Japan Club Bali. Sedangkan topik penelitian

ini ditekankan pada Campur Kode pada Anak-anak hasil perkawinan antar bangsa

Bali-Jepang. Persamaan dengan topik penelitian karya (Nurita ; 2012), yang

diangkat dengan tesis tersebut yaitu sama-sama menggunakan subjek penelitian

pada anak-anak hasil perkawinan antar bangsa.

Manfaat penelitian karya (Nurita ; 2012) yaitu, untuk menambah ilmu

pengetahuan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan pemertahanan budaya

melalui beberapa kegiatan di dalam maupun di luar sekolah pada anak-anak hasil

kawin campuran, dan diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran bagi

pemerintah Republik Indonesia sebagai bahan masukan untuk merumuskan

kebijakan atau peraturan yang berhubungan dengan kawin campuran serta pada

kegiatan anak didik yang berhubungan dengan pemertahanan budaya jepang.

13
2.2 Konsep

Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan

klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu

istilah atau rangkaian kata (lambang bahasa) (Soedjadi, 2000:14). Adapun Konsep

yang akan dijelaskan dalam penelitian ini yaitu, Campur kode, Anak, dan

perkawinan antar bangsa.

2.2.1 Campur kode

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) campur kode adalah

penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya

bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan

sebagainya. Menurut Kamus Bahasa Indonesia-Jepang (Matsuura, 2005:513),

​ efinisi kata [​コード​]


kode dapat diartikan dengan [​コード​] ​koudo. D ​koudo

Menurut ​日本語大辞典​Nihongo Daijiten (1980: 757) dijelaskan bahwa [​コード​]

koudo​ memiliki makna sebagai berikut :

“​1)法典、規定、2)符号、記号、暗号、3)コンピューターで、命令やデー
タを表す分,字・数字を符号化したもの​”

‘1) Hōten, Kitei, 2) Fugō, Kigō, Angō, 3) konpyūtā de, meirei ya dēta wo arawasu
bun, ji/suuji wo fugōka shitamono’
“1) Kode, Regulasi, 2) Kode, Simbol, Kriptografi, 3) kode dengan huruf dan
angka mewakili perintah dan​ ​data di Komputer”
Menurut​日本語大辞典​Nihongo Daijiten (1980: 2096) dijelaskan bahwa

[​ミックス​] ​mikkusu​ memiliki makna sebagai berikut :

“​1)種類を違うものを混ぜること、2)男女混成チーム3)混声合唱​”
‘1) Shurui no chigau mono wo mazeru koto, 2) Danjo konsei chīmu, 3) Konsei
gasshō’
“1) Mencampur berbagai jenis tipe barang yang berbeda, 2) Tim berbagai gender,
3) Paduan suara campur”
14
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa campur kode

merupakan pencampuran bahasa satu dengan bahasa lainnya ketika sedang

berbicara, yang dimana campur kode tersebut dipergunakan pada Anak-anak hasil

kawin campuran yang bersekolah di Japan Club dalam berkomunikasi terhadap

lingkungannya.

2.2.2 Anak-anak hasil perkawinan antar bangsa Jepang-Indonesia di Bali

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Anak adalah 1)

Keturunan yang kedua, 2) Manusia yang masih kecil, 3) Orang yang berasal dari

atau dilahirkan di (suatu negeri, daerah, dan sebagainya). Menurut Kamus Bahasa

Indonesia-Jepang (Matsuura, 2005:514), anak dapat diartikan dengan [子供]

​ efinisi kata [子供] ​kodomo menurut日本語大辞典 ​Nihongo Daijiten


kodomo. D

(1980: 789) memiliki makna sebagai berikut:

“​1) 自分の子, 2) 幼い子, 3) 動物の子, 4) まだ一人前でないこと​“


‘1) Jibun no ko, 2) Osanai ko, 3) Doubutsu no ko, 4) Mada hitori mae denai koto’
“1) Anak kandung, 2) Anak kecil, 3) Anak binatang, 4) anak yang belum sukses”

Konsep mengenai “Anak-anak” dipahami berbeda sesuai asumsi dan

kepentingan beragam, seperti pada Undang-undang Republik Indonesia No.23

Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Sama

dengan UNICEF memberikan pengertian bahwa batas usia anak yaitu di antara 0

sampai dengan 18 tahun. Menurut Undang-undang nomor 4 tahun 1974 tentang

Kesejahteraan Anak memiliki pandangan sedikit berbeda yaitu anak adalah

seseorang yang berusia 21 tahun dan belum menikah. Dalam penelitian ini, anak

adalah seseorang yang masih dalam tanggungan orang tua dan belum menikah
15
yang berkisar usianya antara 20-23 tahun yang masih dalam perkembangan dan

mudah terpengaruh terhadap lingkungan disekitarnya. Sehingga campur kode juga

terpengaruh dari lingkungan teman-teman di kalangannya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “perkawinan

antarbangsa” berasal dari dua kata yaitu “perkawinan/kawin” yang berarti, 1)

membentuk keluarga dengan lawan jenis (bersuami atau beristri), 2) menikah, 3)

melakukan hubungan kelamin, 3) bersetubuh. Sedangkan “antarbangsa”yaitu, 1)

antara bangsa yang satu dan yang lain, 2) antara beberapa bangsa. “Perkawinan

antar bangsa” adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda dalam segi

kewarganegaraan, kebudayaan, serta agamanya. Menurut pasal 57

Undang-undang perkawinan, yang di maksud dengan Perkawinan campuran

adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia.

Perkawinan antar bangsa dalam kamus Kenji Matsuura (2005: 466)

​ enurut​日本語大辞典​Nihon
disebutkan dengan istilah​国際結婚 ​kokusai kekkon.. M

​ ang memiliki
Daijiten (1980: 668) dijelaskan bahwa​国際結婚 ​kokusai kekkon y

makna sebagai berikut:

“国籍が異なる男女が結婚すること。各国の結婚に関する制度が多様なため国際
綿司法上の問題が生じる​”
‘Kokuseki ga kotonaru danjo ga kekkon suru koto. Kakkoku no kekkon ni kansuru
seido ga tayōna tamenkokusai watashi-hō-jō no mondai ga shōjiru’
“Ketika pria dan wanita menikah dari kebangsaan yang berbeda. Karena
beragamnya system perkawinan disetip Negara, maka muncul masalah hukum
swasta internasional mengenai pernikahan berbeda Negara.”

16
Dalam penelitian ini perkawinan campuran antara Bali-Jepang yaitu

dimana sang suami adalah warga asli Indonesia yaitu warga lokal Bali dan istrinya

berkewarganegaraan Jepang. “Anak-anak hasil perkawinan antarbangsa

Bali-Jepang di Bali” yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak hasil

perkawinan antar bangsa yang telah resmi dan telah tercatat dalam dinas catatan

sipil setempat. Ayah dari Anak-anak yang dimaksud adalah warganegara

Indonesia suku Bali dan ibunya adalah bangsa Jepang baik yang sudah menjadi

warga negara Indonesia maupun yang belum dan berdomisili di Bali. Dalam

keluarga perkawinan antar bangsa tersebut, campur kode pun pasti terjadi di

dalam berkomunikasi antar suami dengan istri dan anak dengan orang tua.

2.3 Landasan Teori

Beberapa teori yang telah digunakan dalam penelitian ini untuk memecahkan

masalah yang dipaparkan sebelumnya, yaitu pada teori campur kode oleh Chaer

dan Agustina, beserta buku teori dari Jendra. Abdul Chaer dan Leonie Agustina

dalam Thelander (1976; 103) menjelaskan bahwa campur kode adalah bila

peristiwa yang terjadi didalam suatu peristiwa tutur, klausa dan frasa yang

digunakan terdiri dari klausa dan frasa campuran ​(hybrid clauses, hybrid phrases),

dan masing-masing klausa atau frase itu itu tidak lagi mendukung fungsi

sendiri-sendiri. Abdul Chaer dan Leonie Agustina dalam Thelander (1976; 103)

mengatakan, jika seseorang telah menggunakan salah satu frasa atau klausa dari

satu bahasa ke bahasa lain, maka hal itu sudah dikatakan campur kode. Seorang

penutur dalam berbahasa Indonesia jika terdengar atau terlihat menyelipkan

serpihan-serpihan bahasa daerahnya atau bahasa asing maka itu bisa dikatakan

telah melakukan campur kode.

17
Jadi dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan percampuran antar

bahasa satu dengan bahasa lainnya tanpa dituntut dalam penggunaannya.

Peristiwa campur kode dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari pada saat

melakukan interaksi. Seperti pada anak-anak perkawinan antarbangsa dalam

kesehariannya berbicara dengan teman, orangtua bahkan dengan keluarga

besarnya, maka dapat memungkinkan terjadinya campur kode, dan biasanya

campur kode juga disebabkan oleh tidak adanya padanan kata dalam bahasa yang

digunakan untuk menyatakan suatu maksud. Untuk mendukung teori dari Chaer

dan Agustina dalam penelitian inipun menggunakan buku dari Sudjianto dan

Ahmad Dahidi dalam Pengantar Linguistik untuk menganalisis campur kode

dalam penelitian ini.

2.3.1 Jenis-Jenis Campur Kode

Campur Kode Berdasarkan Macamnya, dibagi menjadi tiga Jenisnya yaitu

sebagai berikut.

a) Campur Kode ke Luar ​(outer code mixing)

Dalam hal ini, “campur kode keluar adalah campur kode yang menyerap

bahasa asing” (Jendra, 2001: 132). Misalnya, dalam peristiwa campur kode pada

pemakaian bahasa Indonesia terdapat sisipan dari bahasa asing seperti bahasa

Inggris, bahasa Arab, bahasa Jepang, bahasa Cina, dan lain sebagainya. Contoh

dalam penelitian ini adalah dengan menyisipkan bahasa jepang di dalam Bahasa

Indonesia ataupun sebaliknya. Seperti pada contoh dialog berikut.

S1: kalau kamu waktu ​koukousei (​ ​高校生​) ​gakkou ​(​学校​) nya dimana?

Terlihat bahwa subjek 1 menggunakan bahasa Indonesia dengan menyelipkan

bahasa Jepang di dalamnya, yaitu “kalau kamu”, “waktu”, “nya”, “dimana”

18
dengan ​koukousei (​ ​高校生​) dan ​gakkou (​ ​学校​), yang artinya ​koukousei ​(​高校生​)

adalah “SMA” dan ​gakkou ​(​学校​) adalah “sekolah”.

b) Campur Kode ke Dalam ​(Inner Code Mixing)

Mengenai definisi tentang campur kode ke dalam, ada beberapa ahli yang

memiliki pandangan yang hamper sama. Jendra (1991) menyatakan campur kode

ke dalam adalah jenis kode yang menyerap unsur-unsur bahasa daerah yang

sekerabat. Umpamanya gejala campur kode pada peristiwa tuturan Bahasa

Indonesia terdapat didalamnya unsur-unsur bahasa daerah seperti bahasa

sumbawa, Lombok, bali, bahasa jawa, dan sebagainya. Contoh dalam penelitian

ini adalah dengan menyisipkan bahasa daerah yaitu Bali di dalam Bahasa

Indonesia ataupun sebaliknya. Seperti pada contoh dialog berikut.

S1: ​lengeh​ sekali kamu gak bisa jawab soal ini

P1: bisa bahasa Bali juga kamu ya?

Dialog di atas termasuk jenis campur kode ke dalam (inner code mixing),

karena pada dialog diatas subjek 1 mencampurkan Bahasa Indonesia dengan

bahasa Bali. Bahasa Indonesia tersebut berupa dialog “sekali”, “kamu gak bisa”,

“jawab soal”, “ini” dan tambahan kata dalam bahasa Bali yaitu ​“lengeh”. Kata

“lengeh” merupakan salah satu kata dalam bahasa Bali yang diketahui oleh

subjek 1 yang dalam Bahasa Indonesia berarti bodoh. Kata-kata tersebut ditujukan

subjek 1 kepada P 1 (partisipan 1) selaku temannya dalam situasi informal sebagai

bahan guyonan dalam kegiatan berkomunikasi.

c) Campur Kode Campuran ​(hybrid code mixing)

19
Definisi mengenai campur kode campuran ialah “campur kode yang di

dalam (mungkin klausa atau kalimat) telah menyerap unsur bahasa asli atau

bahasa asing” (Jendra, 1991:132). Selanjutnya Jendra (1991) lebih tegas

mengatakan bahwa campur kode campuran merupakan unsur serapan yang

diterima oleh bahasa penyerap dengan pembagian menjadi dua bagian seperti

(inner dan outer code mixing). kata​“anime” adalah jenis campur kode campuran

(hybrid code mixing), karena ​“anime”​ merupakan kata serapan dari bahasa asing.

2.3.2 Faktor Penyebab Campur kode

Campur kode tidak muncul karena tuntutan situasi, tetapi ada hal lain yang

menjadi faktor terjadinya campur kode itu. Menurut Jendra (1991: 134-136)

memaparkan beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya campur kode

yaitu sebagai berikut.

a) Faktor Penutur

Pembicara kadang-kadang sengaja bercampur kode karena dia mempunyai

maksud dan tujuan tertentu. Pertama karena faktor kebiasaan penutur yang suka

mencampur bahasa ibu dengan bahasa daerah maupun bahasa asing. Dapat pula

karena penutur kurang menguasai salah satu bahasa tersebut dengan baik, maka

penutur akan menyisipkan bahasa daerah maupun bahasa asing kedalamnya,

begitupun sebaliknya. Dalam artian jika seorang penutur berlatar belakang bahasa

ibu Bahasa Indonesia dengan sikap bahasa yang positif dan kadar kesetiaan yang

tinggi, saat berbicara menggunakan bahasa Asing yaitu Jepang atau bahasa

daerah, maka pastinya akan menyisipkan bahasa Indonesia didalamnya. Menurut

20
Chaer dan Agustine (2007; 69) mengenai faktor penyebab campur kode yaitu,

dalam peristiwa campur code, peristiwa tersebut dilakukan secara sadar oleh

penutur. Jadi penutur menyelipkan unsur bahasa lain kedalam bahasa yang

digunakan karena suatu sebab. Contohnya karena kesantaian, ataupun karena

bahasa yang ingin digunakan tidak memiliki ungkapan tidak ada ungkapandalam

bahasa yang ingin digunakan.

b) Faktor Kebahasaan

Penutur dalam pemakaian bahasanya sering mencampurkannya bahasanya

dengan bahasa lain sehingga terjadi campur kode. Umpanya dalam menjelaskan

atau mengamati istilah-istilah (kata-kata) yang sulit dipahami dengan bahasa ibu

maka disisipkan bahasa daerah maupun Bahasa Asing lainnya karena tidak adanya

kata yang tepat untuk mengutarakan apa yang ingin di utarakan dengan

menggunakan bahasa ibu.

Contohnya : Dalam bahasa Indonesia sulit rasanya menterjemahkan arti

bahasa yang sama dengan ​“otsukaresamadesu” b​ ahkan ini jarang diungkapkan,

maka dengan keterbatasan pembicara ia menyisipkan bahasa lain seperti “hari ini

otsukaresamadeshita”​ dimana disini terlihat pencampuran bahasa ibu dengan

bahasa asing atau campur kode keluar.

Jadi teori campur kode ini digunakan sebagai alat untuk memecahkan

masalah pertama dan kedua yaitu pada jenis campur kode dan faktor apa saja yang

menyebabkan anak-anak tersebut mencampur bahasanya.

2.3.3 Bentuk kebahasaan campur kode pada tataran kata

Campur kode banyak terjadi dalam bahasa adalah campur kode pada

tataran kata. Campu kode pada tataran kata dapat berwujud kata dasar, kompleks,

21
berulang dan kata majemuk. Berikut beberapa contoh campur kode keluar (​inner

code mixing​) dan kedalam ​(outer code mixing)​ pada tataran kata:

1) Kemarin Arie ​mesangih.​

2) Happyou k​ ali ini membawakan tema budaya.

Kedua contoh diatas, yang pertama adalah contoh dari campur kode kedalam yaitu

dengan Bahasa Indonesia dengan diselipkan bahasa daerah yaitu bahasa Bali.

Selanjutnya, contoh dari campur kode campuran ​(hybrid) y​ aitu:

1) Jangan suka ​ngeblockir-blockir​ orang disosial media.

2) Kamu suka ​anime a​ pa?

Kedua contoh diatas ada campur kode campuran yautu dari kata serapan ​anime

dan ​ngeblockir-blockir. Kelas kata dalam bahasa Jepang dibagi atas sepuluh jenis

gramatikal yaitu sebagai berikut.

1. Dooshi (​ Verba)

a) Pengertian ​Dooshi ​(Verba)

Menurut (Nomura dalam Sudjianto dan Dahidi, 2024;149) Verba atau bahasa

Jepangnya adalah ​Dooshi ​merupakan salah satu kelas kata yang sama dengan

Na-keyooshi dan ​I-keyooshi menjadi salah satu jenis ​yoogen. Kelas kata tersebut

digunakan untuk menyatakan sebuah aktivitas, keberadaan, atau sebuah keadaan.

Dooshi d​ apat mengalami perubahan dan dapat menjadi predikat dengan

sendirinya.

b) Jenis-jenis ​Dooshi

22
1. Jidooshi (​iku ‘pergi’, ​kuru ‘datang’, ​okiru ‘bangun’, ​neru ‘tidur’, ​shimaru

‘tertutup’, ​deru ‘​ keluar’, ​nagareru ​‘mengalir’, dan sebagainya). Kata-kata

tersebut adalah kelompok ​dooshi ​yang tidak mempengaruhi pihak lain.

2. Tadooshi ​(​okosu ‘membangunkan’, ​nekasu ‘menidurkan’, ​shimeru

‘menutup’, ​dasu ‘mengeluarkan’, ​nagasu ‘mengalirkan’, dan sebagainya).

Kata-kata tersebut adalah kelompok ​dooshi y​ ang mempengaruhi pihak

lain.

3. Shodooshi (​ ​mieru ​‘terlihat’, ​kikoeru ‘terdengar’, ​ikeru ‘dapat pergi’, dan

sebagainya). Kelompok ​dooshi y​ ang memasukkan pertimbangan

pembicara, yang tidak dapat diubah kedalam bentuk pasif dan kausatif.

c) Bentuk Konjugasi Verba

Menurut (Masao dalam Sudjianto dan Dahidi, 2014: 152) Ada enam

mavcam bentuk konjugasi verba dalam ​katsuyookei, y​ aitu:

1. Mizenkei, aktivitas atau tindakan belum dilakukan atau belum terjadi.

Bentuk ini diikuti dengan ​u, yoo, nai, seru, saseru, reru, atau rareru.

2. Ren’yookei, kelanjutan suatu aktivitas. Bentuk ini diikuti dengan ​masu,

ta, da, tai, te, atau nagara.

3. Shuushikei, dasar verba untuk mengakhiri urajan. Diikuti dengan kata ​ka

atau ​kara.​

4. Rentaikei, bentuk yang diikuti dengan taigen seperti ​toki, koto, hito,

mono, d​ an sebagainya. Diikuti dengan ​yooda, b​akari. Kurai, gurai, no,

dan sebagainya.

5. Kateikei,​ menyatakan pengandaian, diikuti dengan ​ba.

6. Meireikei,​ menyatakan perintah, mekakhiri ujaran dengan nada perintah.


23
2. I-keyooshi (Ajektiva-i)

a) Pengertian ​I-keiyooshi

Menurut (Kitahara dalam Sudjianto dan Dahidi, 2014: 154) ​I-keyooshi

disebut juga dengan ​keiyooshi yaitu kelas kata yang menyatakan sifat atau

keadaan sesuatu yang dapat mengalami perubahan bentuk dan menjadi predikat

dengan sendirinya.

b) Jenis-jenis ​I-keiyooshi

1. Zokusei keiyooshi

Menyatakan sifat atau keadaan secara objektif, misalnya ​takai

‘tinggi/mahal’, ​nagai ‘panjang’, ​hayai ‘cepat’, ​tooi ’jauh’, ​futoi

‘gemuk’, ​akai ’​ merah’, dan lain sebagainya.

2. Kanjoo keiyooshi

Menyatakan perasaan atau emosi secara subjektif, misalnya ​ureshii

‘senang/gembira’, ​kanashii ’​ sedih’, ​kowai ‘takut’, itai ‘sakit’, ​kayui

‘gatal’, dan lain sebagainya.

3. Na-keiyooshi ( Ajektiva-na )

a) Pengertian Na-keiyooshi

Menurut (Iwabuchi dalam Sudjianto dan Dahidi, 2014: 155) ​Na-keiyooshi

juga disebut dengan ​keiyoodooshi (termasuk dalam jiritsugo) dimana kelas kata

ini dapat dengan sendirinya membentuk bunsetsu, dapat berubah bentuknya

(termasuk ​yoogen)​, dan ​shuushikei​ berakhir dengan da atau desu.

b) Jenis-jenis ​Na-keiyooshi

1) Keiyoodooshi (​ menyatakan sifat)

24
Misalnya, ​shizukada ‘tenang/sepi’, ​kireida ​‘indah/cantik/bersih’, dan

sebagainya.

2) Keijoodooshi ​(menyatakan perasaan)

Misalnya, ​zannenda ‘sayang sekali’, ​fushigida ‘​ aneh’, ​kiraida

‘benci/tidak suka’, ​sukida ‘​ suka’, dan lain sebagainya.

4. Meishi ( Nomina )

a) Pengertian ​Meishi

Menurut (Matsuoka dalam Sudjianto dan Dahidi, 2014: 156) ​meishi

merupakan kata yang menyatakan benda,orang,dan peristiwa. Tidak

mengalami konjugasi dan dapat dilanjutkan dengan kakujoshi. Begitupun

menurut (Hirai dalam Sudjianto dan Dahidi, 2014: 156) meishi juga dapat

disebut dengan ​taigen karena dalam suatu kalimat meishi dapat menjadi

subjek, predikat, dan kata keterangan.

b) Jenis-jenis ​Meishi

Lima macam ​Meishi menurut (Terada Takano dalam Sudjianto dan

Dahidi. 2014: 158).

1) Futsuu Meishi​ (bersifat umum)

Misalnya, ​enpitsu ‘pensil’, ​kuruma ​‘mobil’, ​sekai ​‘dunia’, ​undou

‘olahraga’, ​tsuki ‘b​ ulan’, dan lain sebagainya.

2) Koyuu Meishi (menyatakan nema benda secara khusus) seperti nama

orang, nama negara, nama buku, dan lain sebagainya.

Misalnya, Kazuya ‘Kazuya’, ​Nihon ‘​ Jepang’, ​Genji ​Monogatari

‘Hikayat Genji’, dan lain sebagainya.

25
3) Suushi​ (menyatakan bilangan, jumlah, kuantitas, dan urutan).

Misalnya, ​go ‘lima’, ​ippon ​‘satu batang’​, hachinin ‘delapan orang’,

dan lain sebagainya.

4) Keishiki Meishi (nnomina yang menerangkan fungsinya dengan

formalitas).

Misalnya, ​koto, tame, wake, hazu, mama, dan toori.

5) Daimeishi

Kata yang menunjukkan sesuatu secara langsung tanpa menyebutkan

nama orang, benda, tempat, arah, dan lain sebagainya.

5. Rentaishi ( Prenomina )

a) Pengertian ​Rentaishi

Rentaishi ​adalah jiritsugo yang hanya menerangkan nomina, tidak mngenal

konjugasi dan tidak dapat menjadi subjek maupun predikat, dan tidak dapat

menerangkan ​yoogen.

b) Jenis-jenis ​Rentaishi

1) Berpola ​~no dan ​~ga, misalnya ​ano neko ‘kucing itu’, ​waga kuni

‘negeri kami’.

2) Berpola ​~na,​ misalnya ​ookina ie​ ‘rumah besar’, ​chiisai ie​ ‘rumah kecil’

3) Berpola ​~ru,​ misalnya ​aru hi ‘s​ uatu hari’

4) Berpola ~ta dan ~da, misalnya tatta ippon ‘hanya satu batang’

6. Fukushi ( Adverbia )

a) Pengertian ​Fukushi

26
Menurut (Matsuoka dalam Sudjianto dan Dahidi, 2014: 165) ​fukushi a​ dalah

kata yang menerangkan verba, ajektiva, dan adverbia, tidak berubah, berfungsi

untuk menyatakan keadaan, suasana, maupun perasaan.

b) Jenis-jenis ​Fukushi

Tiga jenis fukushi menurut (Takano dalam Sudjianto dan Dahidi, 2014: 166).

1) Jootai no Fukushi​ (menerangkan verba pada bagian berikutnya)

Misalnya, ​yukkuri (to) Taberu ‘makan dengan pelan-pelan, ​hakkiri (to)

yomu​ ‘baca dengan suara lantang’, dan lain sebagainya.

2) Teido no Fukushi​ ( menerangkan tingkat dan taraf yoogen)

Misalnya, ​sukoshi atatakai ‘sedikit hangat’​, taihen shinsetsu da ‘sangat

baik hati’, dan lain sebagainya.

3) Chinjutsu no Fukushi​ (memerlukan pengucapan khusus)

Misalnya, ​doozo tabete kudasai ‘silahkan dimakan’, ​totemo maniawanai ‘

benar-benar tidak akan keburu’, dan lain sebagainya.

7. Kandooshi ( Interjeksi )

Kandoshi termasuk jiritsugo dimana tidak dapat berubah bentuk, tidak dapat

menjadi subjek keterangan bahkan konjugasi, kata ini seperti kata menyatakan

perasaan, rasa terkejut dan rasa gembira dan menyatakan panggilan atau

mengungkapkan jawaban orang lain.

1) Perasaan misalnya, ​(ara, maa, oya, hora, aa,oo)

2) Panggilan/jawaban misalnya, ​(moshi moshi, hai, iie, un)

Menurut (Iwabuchi dalam sudjianto dan Dahidi,2014: 170) ​ohayoo, konnichiwa,

sayonara,​ dan lain sebagainya pun dapat disebut dengan kandooshi.

27
8. Setsuzokushi ( Konjungsi )

a) Pengertian Setsuzokushi

Setsuzokushi termasuk jiritsugo jadi tidak mengalami perubahan, tidak dapat

menjadi objek, subjek,predikat, ataupun kata yang menerangkan kata lain.

b) Jenis-jenis Setsuzokushi

Tujuh jenis suzokushi menurut (Hirai Masao dalam Sudjianto dan Dahidi,

2014: 171).

1) Heiretsu no setsuzokushi (menunjukkan sesuatu yang berderet dengan

yang lainnya pada bagian sebelumnya), misalnya mata,oyobi, dan

narabini.​

2) Gyakusetsu no setsuzokushi (menunjukkan sesuatu yang ada pada

bagian berikutnya yang bertentangan pada bagian sebelumnya).

Misalnya, ​daga, ga, shikamo, shikashi, tadashi, keredo (mo), dakedo,

demo, desu ga, tokoro ga, towa ie, sorenanoni, soreni, shitemo, dan

mottomo.

3) Junsetsu no setsuzokushi (​ menunjukkan hasil, akibat, atau kesimpulan

yang ada pada bagian berikutnya bagi sesuatu yang ada pada bagian

sebelumnya yang menjadi sebab atau alasan. Misalnya, ​dakara,

sorede, soreyue, yueni, shitagatte, sokode, suruto, soosuruto, dan

sooshite.

4) Tenka no setsuzokushi (​ dipakai pada saat menggabungkan sesuatu

yang ada pada bagian berikutnya dengan yang ada pada bagian

sebelumnya), misalnya ​soshite, sorekara, katsu, sonoue, soreni, awase,

sarani, nao, tsugini, shikamo, omakeni, dan mashite.


28
5) Hosetsu no setsuzokushi (​ menambah penjelasan atau rincian yang ada

pada bagian sebelumnya), misalnya ​tsumari, sunawachi, tatoeba,

nazenara, nantonareba, tadashi, dan mottomo.

6) Sentaku no setsuzokushi ​( menyatakan pilihan pada bagian sebelumnya

dan bagian berikutnya) , misalnya ​matawa, aruiwa, soretomo, dan

nishiwa.

7) Tankan no setsuzokushi ​( mengganti atau mengubah pokok

pembicaraan), ​misalnya, sate, tokorode, tokini, tsugini, dan dewa.

9. Jodooshi ( Verba Bantu )

Menurut (Jidoo Gengo Kenkyuukai dakam sudjianto dan Dahidi, 2014:

174-179) ada beberapa kata yang termasuk ​jodooshi y​ aitu:

1) Reru d​ an ​rareru​ ​(ukemi, kanoo, sonkei)

a) Ukemi (Pasif atau aktivitasnya dilakukan oleh orang lain ), misalnya

dakar​ eru,​ dan ​tasuke​rareru.​

b) Kanoo ( potensial untuk melakukan suatu aktivitas ), misalnya ​ika​reru​,

dan ​okira​reru.​

c) Jihatsu ( menyatakan suatu kejadian, keadaan, atau aktivitas yang

terjadi secara alamiah ), misalnya ​omowar​ eru,​ dan ​anji​rareru.​

d) Sonkei ​( ragam hormat ), misalnya ​aruka​reru,​ ​ dan ​dekake​rareru.​

2) Seru dan ​saseru ( kausatif ), suruhan untuk melakukan suatu

kegiatan/aktivitas dan orang yang menyuruh menjadi subjek.

a) Utawas​ eru

29
b) Kos​ aseru

3) Da d​ an ​desu ( ​dantei = keputusan ) menyatakan suatu keputusan yang

jelas.

4) Nai, nu​ (​uchikesi​ = negatif)

a) Nome​nai ​(t​ idak minum)

b) Kaka​nu​ (tidak makan)

5) Ta (kako​ = lampau)

a) Katt​ a ​( suda membeli )

6) Rashii ( suite​ ‘anggapan/dugaan/perkiraan )

7) U, yoo, darou ( suiryoo​ ‘perkiraan’, ishi ‘kemauan’ )

8) Mai (uchukeshi no suiryoo​ = perkiraan negatif)

​ ai (​ tidak akan pergi )


a) Ikum

9) Soda ​( denbunto youtai )

a) deru ​soda​ ​(katanya akan keluar )

10) Yooda ​( tatoe ‘​ perumpamaan’​, futashikana dantei ‘​ keputusan yang tidak

pasti’ )

11) Tai (kiboo = ​harapan)

a) Nomit​ ai​ (ingin minum)

12) Masu ( Teinei = halus )

a) Tabe​masu​ (​ makan )

10. Joshi ( Partikel )

a) Pengertian Joshi

Menurut (Hiraki dalam sudjianto dan Dahidi, 2014: 181) ​joshi merupakan

kelas kata yang termasuk ​fuzokugo d​ ipakai setelah satu kata dimana hal itu untuk

30
menunjukkan hubungan antara kata tersebut dengan kata lain agar arti kata

tersebut lebih jelas. Kelas kata tersebut tidak mengalami perubahan. Kelas kata

yang dapat disisipi yaitu, ​meishi, dooshi, ikeiyooshi, na-keiyooshi, dan joshi.

b) Jenis-jenis ​Jooshi

Empat macam jenis Joshi berdasarkan fungsinya menurut (Hiraki dalam

sudjianto dan Dahidi, 2014: 181) yaitu:

1) Kakujoshi ​( dipakai setelah nomina untuk menunjukkan hubungan

antar nomina dengan kata lainnya ), misalnya

ga,no,o,ni,e,to,yori,kara,de,dan ya.

2) Setsuzokujoshi (​ dipakai setelah yoogen, dooshi, ikeiyooshi,

na-keiyoosi atau setelah jodoshi untuk melanjutkan kata yang ada

sebelumnya terhadap kata yang ada pada berikutnya), joshi yang

termasuk kelompok ini misalnya, ba,to,keredo, keredomo, ga, kara,

shi, temo (demo), te (de), nagara, tari (dari), noni, dan node.

3) Fukujoshi (dipakai setelah berbagai macam kata), misalnya ​wa, mo,

koso, sae, demo, shika, made, bakari, dake, hodo, kurai (gurai), nado,

nari, yara, ka dan zutsu.

4) Shuujoshi (​ dipakai setelah berbagai macam kata pada bagian akhir

kalimat untuk menyatakan suatu pertanyaan, larangan, seruan, rasa

haru, dan sebagainya), misalnya ​ka, kashira, na, naa, zo, tomo,yo, ne,

wa, no, dan sa.

31
Jadi buku dari Sudjianto dan Dahidi ini digunakan sebagai alat untuk

memecahkan masalah pertama yaitu pada bentuk kebahasaan campur kode pada

tataran kata.

BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan penelitian secara kualitatif, yaitu dimana

menurut ​Menurut (Mahsun,2014:13), Metode penelitian secara kualitatif

menyajikan secara langsung data kebahasaan yang didapat di lapangan sesuai

dengan penggunaannya. Artinya, penelitian yang menggunakan perspektif

fenomenologis ini berusaha untuk memahami makna dari peristiwa dan interaksi

dalam situasi tertentu.

3.1 Sumber Data

Penelitian ini menganalisis campur kode pada Anak-anak hasil perkawinan

antar bangsa Bali-Jepang. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sumber data primer. ​Data primer adalah data yang mengacu pada informasi
32
yang diperoleh dari tangan pertama oleh peneliti seperti responden individu dari

informan, kelompok fokus, internet juga dapat menjadi sumber data primer jika

kuesioner disebarkan melalui internet (Uma Sekaran, 2011).

Informan dalam penelitian ini merupakan 5 (lima) orang anak-anak hasil

perkawinan antar bangsa Bali-Jepang yang tinggal di Bali, dalam artian Ibunya

merupakan warga negara Jepang dan Ayahnya warga negara Indonesia suku Bali,

umur informan dalam penelitian ini berkisar 20-23 tahun. Penulis akan meneliti

pembicaraan anak-anak dalam lingkungan keluarga dimana disini orang tua juga

terlibat dalam percakapan untuk mengetahui maksud dan tujuan anak apa sudah

tersampaikan ke orangtua dimana bahasa ibu informan adalah bahasa Indonesia.

Sehingga penulis ​mendapatkan pemecahan masalah pertama dan kedua, yaitu

jenis campur kode dalam fenomena keluarga, bentuk campur kode pada tataran

kata berwujud kata dasar, kompleks, berulang, dan majemuk, kemudian faktor

apa yang melatarbelakangi penggunaan campur kode pada anak-anak tersebut.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini menggunakan lokasi yang meluas yaitu di Bali

namun terfokus di daerah Badung dan Denpasar. Lokasi ini dipilih dengan

pertimbangan sebagai berikut.

1. Kebanyakan anak-anak perkawinan antar bangsa tersebut tinggal di

Denpasar hingga Badung.

2. Terlihat adanya beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya campur

kode, yaitu adanya interaksi sesama anak perkawinan santar bangsa

maupun pada anak yang kedua orang tuanya kewarganegaraan Jepang.

33
Tercermin dari penguasaan kata, bahasa dan pada sikap, dan kepribadian

anak-anak tersebut.

Uraian di atas menjadi alasan penulis untuk memilih daerah Denpasar dan

Badung sebagai tempat yang tepat untuk penelitian “Campur kode pada

Anak-anak Hasil Perkawinan Antar Bangsa Bali-Jepang di Bali”. Lokasi

penelitian yang tepat sesuai masalah yang dikaji menunjang penulis mendapatkan

data yang akurat untuk dianalisis.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi secara umum dikaitkan dengan jumlah objek dalam penelitian

yang dilakukan. Karena jumlahnya yang begitu banyak, maka tidak

memungkinkan untuk peneliti menjangkau semuanya, maka dari itulah

peneliti mengambil sebagian saja untuk mewakili keseluruhan dan jumlahnya

dianggap memenuhi syarat penelitian. Namun, populasi dalam data

kebahasaan menurut (Mahsun, 2014:76) adalah tuturan yang dihasilkan oleh

sumber data, baik yang sudah ada maupun yang sengaja diadakan, yang

didalamnya terdapat objek sasaran penelitian. Maka dari penjelasan tersebut,

peneliti mnetapkan populasi dalam penelitian ini adalah anak-anak hasil

perkawinan antar bangsa Bali-Jepang yang berada di daerah Badung dan

Denpasar.

3.3.2 Sampel

Menurut (Mahsun, 2014:75-76) sampel adalah bahan mentah peneliti atau

calon data. Sampel dalam penelitian bahasa berupa tuturan yang diperoleh dari

sumber data yang didalamnya terdapat data penelitian. Tuturan yang dimaksud

34
adalah berupa narasi, dialog, monolog, maupun cerita yang disampaikan oleh

sumber data. Proses ini berdasarkan pemancingan terhadap sumber data atau

informan oleh peneliti. Dalam penelitian ini peneliti mengambil sempel dari

informan ​multilanguage ​dimana bahasa Ibu informan bahasa Indonesia dan

bahasa kedua adalah bahasa Bali dan Jepang. Dalam penelitian ini jumlah

sample yang diambil adalah sebanyak 5 (lima) orang anak-anak hasil

perkawinan antar bangsa Indonesia dengan Jepang di Bali.

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara yang dilakukan oleh

peneliti untuk mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan metode simak,

dimana metode simak adalah metode pengumpulan data dengan menyimak atau

mengamati penggunaan bahasa yang di teliti (Mahsun, 2014; 89). Dari segi

pengumpulan data, adapun tahapan-tahapan teknik tersebut diawali dengan teknik

dasar kemudian teknik lanjut (Mahsun, 2014; 90-91).

1) Teknik Dasar: Teknik sadap

Teknik dasar sadap ini merupakan teknik dengan menyadap

bahasa yang digunakan pada saat penutur suatu bahasa

berkomunikasi baik pembicaraan seorang (monolog), ataupun

dengan lawan bicara. Kemudian teknik dasar sadap ini dilanjutkan

dengan teknik lanjutan.

2) Teknik Lanjutan

a. Teknik Simak, Libat, Cakap (SLC).

Teknik ini dilakukan dimana peneliti ikut serta dalam

pembicaraan, sambil menyimak penggunaan bahasa lawan

35
bicara. Jadi, peneliti ikut terlibat dalam percakapan

anak-anak hasil perkawinan antar bangsa dengan orang

tuanya. Sehingga memudahkan peneliti mendapatkan data

yang diinginkan.

b. Teknik Rekam

Teknik ini dapat dilakukan bersamaan dengan teknik

simak,libat, cakap. Dimana peneliti menggunakan

hanphone untuk merekam perbincangan yang sedang

terjalin. Tujuan merekam untuk dokumentasi dan

mengingat kembali data yang telah didapatkan.

c. Teknik Catat

Teknik catat dapat dilakukan bersama teknik sadap dan

rekam, atau dapat dilakukan setelah teknik rekam. Teknik

catat dilakukan pada kartu data yang telah dibuat,

pencatatan dilakukan berupa pencatatan ortografis,

fonemis, atau fonetis, sesuai dengan objek penelitian.

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data dalam sebuah penelitian tergolong salah satu tahap penting.

Sebab, temuan kaidah yang ditemukan merupakan inti dari aktifitas alamiah

penelitian itu sendiri (Mahsun, 2014: 117). Dikarenakan penelitian ini

menghasilkan data kualitatif, maka analisis data yang digunakan adalah

36
non-statistik (margono, 2014: 190). Prosedur analisis data dalam penelitian ini

dilakukan tiga tahap secara kualitatif, yaitu oleh Miles dan Huberman (dalam Puji

Leksono, 2015: 152), meliputi reduksi data, penyajian data, dan

penarikan/verifikasi.

1. Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk

itu perlu dicatat secara teliti dan rinci dengan pemilihan, pemusatan,

penyerderhanaan data kasar dari catatan lapangan. Mereduksi data berarti

merangkum, memilih hal-hal yang pokok, fokus pada hal yang penting,

dicari tema dan polanya sesuai dengan pokok masalah penelitian.

2. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan agar data hasil reduksi dapat

terorganisasikan dengan baik dan tersusun dalam pola hubungan sehingga

memudahkan bagi para pembaca untuk memahami data penelitian. Hal-hal

yang prlu dipertimbangkan dalam penyususnan data adalah pemasukan

data pokok atau inti, data autentik (Margono, 2014: 191).

3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi.

Penarikan kesimpulan dan verifikasi data dilakukan sesuai dari

yang ada dilapangan. Disusun secara bertahap agar memperoleh

kepercayaan. Adapun fungsi utamanya menurut (Margono, 2014: 242)

yaitu membantu pembaca mengetahui ringkas garis besar penelitian.

Sehingga kesimpulan disusun secara sistematis sesuai dengan urutan

temuan ​(findings).

37
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analysis Data

Metode penyajian data yang digunakan adalah metode penyajian data

informal. Penyajian hasil analisis data secara informal adalah penyajian hasil

analisis data dengan menggunakan narasi, kata-kata, ungkapan, dan kalimat.

Penelitian ini menggunakan data kata-kata sederhana sehingga mudah untuk

dipahami dan dapat menarik kesimpulan yang merupakan inti dari rangkaian

penelitian.

38
DAFTAR PUSTAKA

Attamini, Has’ad Rahman. 2013. ​Analisis Tindak Bahasa Campur Kode di Pasar
Labuhan Sumbawa Pendekatan Sosiolinguistik, [online],
http://ilmuasastra.blogspot.com/2013/09/penelitian-campur-kode.html. Diakses
08 Oktober 2020​.
Bps.2020.​Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, [online], ​Badan Pusat Statistik Provinsi
Bali (bps.go.id)​, d​ iakses 07 Februari 2020.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. ​Sosiolinguistik:​ ​Perkenalan Awal​. Jakarta: PT
Asdi Mahasatya.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2014. ​Sosiolinguistik:​ ​Perkenalan Awal -Ed. rev​.
Jakarta: Rineka Cipta.

Dahidi, Ahmad dan Sudjianto.2017. ​Pengantar Linguistik Jepang. Jakarta : PT Kesaint


Blanc Indah Corp.

Jendra, I Wayan. 1991.​Dasar-dasar Sosiolinguistik​.Denpasar:Ikayana.

​ ogyakarta: Graha Ilmu.


Jendra, Made Iwan Indrawan. 2010.​Sosiolinguistics.Y

Kondansha. 1999. ​The Great Japanese Dictionary​ 日本語大辞典. Tokyo: Kondansha.

KBBI. 2008. ​Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] IIK​ diakses pada
1 Oktober 2020

Mahsun,Zaim. 2014. ​Metode Penelitian Bahasa: Pendekatan Struktural. [online],


Padang: FBS UNP Press Padang. Diakses 5 Januari 2021.

Merlyna, Putu Dewi Merlyna dan Darmayanti ,Ida Ayu Made​. 2​ 012​. Campur Kode
Dalam Komunikasi Lisan Pasangan Perkawinan Beda Bangsa Jepang-Indonesia
(Kajian Sosiolinguistik). [online]​, Singaraja; Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang,
dan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan
Ganesha. Diakses 27 November 2020.

Nugroho, Adi​. ​2011. ​Alih Kode dan Campur Kode Pada Komunikasi Guru-Siswa Di SMA
Negeri 1 Wonosari Klaten,[online], Yogyakarta: Program Studi Pendidikan
Bahasa Prancis Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Diakses 27 November 2020.

Nurita, Wayan. 2012. ​Pemertahanan Identitas Budaya Jepang Pada Anak-Anak Hasil
Perkawinan Campuran Bali-Jepang di Sekolah Bali-Japan Club Sanur-Denpasar
Tesis​.​ Denpasar: Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.

Rokhman, Fathur. 2009. ​Inovasi Pembelajaran Bahasa, [online],


https://fathurrokhmancenter.wordpress.com/sosiolingiustik/​, diakses 07 oktober
2020.

39
Suryandari,Nikmah. 2017. Eksistensi Identitas Kulural Ditengah Masyarakat Multikultur
dan Desakan Budaya, [online],
https://media.neliti.com/media/publications/106525-ID-eksistensi-identitas-kultur
al-di-tengah.pdf​. Diakses 27 November 2020.

Susanto, Hadi. 2016. ​Alih Kode dan Campur kode, [online]​,


https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2016/01/12/alih-kode-dan-campur-kode/​,
diakses 07 Oktober 2020.
W​ijana, Dewa Putu dan Rohmadi.2006.​Sosiolinguistik.​Surakarta:Pustaka Belajar.

40

Anda mungkin juga menyukai