Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH EKONOMI INTERNASIONAL

“ Economic of Scale, Imperfect Competition, Technological Gap,


Product Cycle, dan National Competitiveness”

Dosen Pengampu : Didi Suwardi, M. Sc.

Disusun oleh :

Kelompok 2 : Kelas A Ekonomi Syariah

 Gita Yuliana Aulia (190501012)


 Husnul Hatimah (190501018)
 Danial (190501021)
 Al Featussolehah (190501034)

Jurusan Ekonomi Syariah


Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Universitas Islam Negeri Mataram
2021
Kata Pengantar

Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang


telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah yang berjudul “Economic of Scale, Imperfect
Competition, Technological Gap, Product Cycle, dan National Competitiveness"
tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun menggunakan metode studi pustaka, yaitu dengan
mengumpulkan dan mengkaji materi mengenai pertumbuhan penduduk dan
bagaimana dampaknya terhdap perekonomian kota dari berbagai referensi. Kami
gunakan metode ini, agar makalah yang kami susun dapat memberikan informasi
yang akurat dan bisa dibuktikan, serta dapat memberikan pemahaman terhadap
pembaca dengan materi yang dipandang melalui berbagai subjek.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Ekonomi Internasional. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan
informasi lebih jauh tentang bagaimana keterkaitan ekonomi internasional
terhadap skala ekonomi, kesenjangan teknologi dan daya saing terutama daya
saing nasional.
Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan
bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, kami berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan dapat
menambah ilmu dan pengetahuan kita semua.

Mataram, 08 Maret 2021

Kelompok 2

i
Daftar Isi
Kata Pengantar......................................................................................................i
Daftar Isi...............................................................................................................ii
BAB I (Pendahuluan)
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan.......................................................................................................1
BAB II (Pembahasan)
A. Skala Ekonomis dan Perdagangan Internasional......................................3
B. Teori Persaingan Tak Sempurna..............................................................8
C. Techonlogical Gap...................................................................................9
D. Product Cycle ........................................................................................13
E. National Competitiveness ......................................................................15
BAB III (Penutup)
A. Kesimpulan.............................................................................................20
B. Saran.......................................................................................................21
Daftar Pustaka..................................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdagangan Internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan
ekonomi yang mengalami perkembangan sangat cepat. Dalam hal ini
perhatian dunia terhadap kegiatan dagang internasional juga meningkat, hal
ini dikarenakan semakin berkembangnya arus peredaran barang, modal dan
tenaga kerja antar negara. Pada era globalisasi yang terjadi saat ini semakin
mempererat hubungan antar seluruh negara di belahan dunia manapun.
Kemudahan mengakses berbagai aspek dalam kehidupan membuat negara-
negara dapat membangun hubungan yang baik satu sama lain. Dalam hukum
internasional sendiri, diketahui bahwa kemampuan untuk melakukan
hubungan dengan negara lain merupakan aspek yang paling penting. Negara-
negara di dunia berlomba-lomba melakukan kerja sama untuk saling
membantu satu sama lain. Kerja sama antar negara tersebut dilakukan dalam
berbagai bidang, terutama bidang ekonomi.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka di dalam makalah ini akan
dijelaskan beberapa materi yang terkait dengan perdagangan internasinoal,
diantaranya tentang skala ekonomis dan perdagangan internasional (economic
of scale), persaingan tak sempurna (imperfect competition), kesenjangan
teknologi (technological gap) siklus produk (product cycle), dan daya saing
nasional (nasional competitiveness).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dari skala ekonomis (Economic Cycle) dan
perdagangan internasional?
2. Apa yang dimaksud dari teori persaingan tak sempurna (Imperfect
Competition)?
3. Bagaimana konsep dari kesenjangan teknologi (Technological Gap)?
4. Bagaimana konsep dari siklus produk (product cycle)?

1
5. Bagaimana konsep dari daya saing nasional (national competitiveness)?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dari skala ekonomis (Economic
Cycle) dan perdagangan internasional.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dari teori persaingan tak sempurna
(Imperfect Competition).
3. Untuk mengetahui konsep dari kesenjangan teknologi (Technological
Gap).
4. Untuk mengetahui konsep dari siklus produk (product cycle).
5. Untuk mengetahui konsep dari daya saing nasional (national
competitiveness).

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Skala Ekonomis dan Perdagangan Internasional

Tinjuan umum mengenai konsep konsep skala ekonomi dan pasar


(perekonomian) persaingan tidak sempurna, disusul ke model perdagangan
internasional yang memperlihatkan betapa skala ekonomi dan persaingan
sempurna itu dalam kenyataannya memegang peranan penting, yakni model
persaingan monopoli dan model dumping. Sisanya akan membahas peranan
yang dimainkan oleh prinsip hasil atau imbalan yang miningkat dan ekonomi
eksternal (external economies) dalam proses pembentukan pola perdagangan.1

Model-model keunggulan komparatif yang terlah disajikan didasarkan


pada asumsi "imbalan tetap mengikut skala" (constan returns to scale). Artinya,
kita mengasumsikan bahwa jika input untuk suatu industri dilipatduakan,
output industri tersebut juga akan berlipat dua. Namun dalam kenyataan,
banyak industri dicirikan oleh skala ekonomis (juga mengacu pada imbalan
yang kian meningkat), sehingga produksi lebih efisien dengan semakin besar
skala produksinya. Jika terdapat akal ekonomis, pelipatpaduan input yang
digunakan oleh suatu industri untuk akan meningkatkan produksi industri
tersebut lebih dari dua kali lipat.

Contoh sederhana dapat membantu dalam menunjukkan pentingnya skala


ekonomis bagi perdagangan internasional. Tabel 6-1 menunjukkan hubungan
antara input dan output dari suatu industri hipotesis. Perlengkapan diproduksi
dengan hanya menggunakan batu input, tenaga kerja; tabel di atas
menunjukkan bagaimana jumlah pekerja yang dibutuhkan bergantung pada
jumlah perlengkapan yang diproduksi. Untuk memproduksi 10 perlengkapan,
misalnya, memerlukan 15 jam kerja. Adanya skala ekonomis bisa dilihat dari
kenyataan bahwa dengan melipatduakan input tenaga kerja dari 15 menajdu 30

1
Sri Rahayu. Peranan Skala Prioritas Dan Jenis Pasar Dalam Perdagangan Internasional. Jurnal
Ilmiah Inkoma (Kajian Teori dan Praktik Pembangunan) Vol.22 No.1 Februari 2011. Hal. 37-52

3
jam kerja menyebabkan output industri meningkat lebih dari dua kali lipat
kenyataannya, output meningkat dengan kelipatan 2,5. Sama halnya,
keberadaan skala ekonomis bisa dilihat dengan mengamati rata-rata input
tenaga kerja ialah 2 jam, sedangkan jika outputnya 25 unit rata-rata input kerja
turun menjadi 1,2 jam.

Kita dapat menggunakan contoh ini untuk melihat mengapa skala


ekonomis memberikan rangsangan bagi perdagangan internasional. Bayangkan
dunia yang hanya terdiri dari dua negara, Amerika dan Inggris, keduanya
memilih teknologi yang sama untuk memproduksi perlengkapan, dan andaikan
awalnya masing-masing negara menghasilkan 10 perlengkapan. Berdasarkan
tabel 6-1 ini berarti masing-masing negara memerlukan 15 jam kerja, sehingga
di tingkat dunia 30 jam kerja menghasilkan 20 perlengkapan. Tetapi kita
anggaplah kita memusatkan produ perlengkapan dunia di satu negara,
katakanlah Amerika, dan memungkinkan Amerika memanfaatkan 30 jam kerja
di Industri perlengkapan. Di satu perekonomian tunggal (nasional) 30 jam kerja
ini dapat menghasilkan 25 perlengkapan. Maka dengan memusatkan produksi
perlengkapan di Amerika, perekonomian dunia dapat menggunakan jumlah
tenaga kerja yang sama untuk menghasilkan perlengkapan 25 persen lebih
banyak.

Tabel 6-1 Hubungan antara input dan output di suatu industri hipotesis.

Output Jumlah Input Tenaga Input Tenaga Kerja


Kerja Rata-Rata

5 10 2

10 15 1,5

15 20 1,333333

20 25 1,25

25 30 1,2

30 35 1,166667

4
Tetapi di Amerika, bisa memperoleh tambahan tenaga kerja untuk
menghasilkan perlengkapan, dan apa yang terjadi dengan tenaga kerja yang di
pekerjakan di Industri perlengkapan Inggris? Untuk memperoleh tenaga kerja
untuk mengembangkan produksi barang-barang tertentu, Amerika harus
mengurangi atau menghentikan produksi barang-barang lain; barang-barang ini
selanjutnya akan di produksi di Inggris, dengan menggunakan tenaga kerja
yang sebelumnya di industri-industri yang produksinya telah di perbesar di
Amerika. Bayangkan. Begitu banyak barang yang menajdu sasaran skala
ekonomis dalam produksi, dan kita berikan no 1,2,3, .... untuk menggapai
keunggulan skala ekonomis setiap negara harus memusatkan produksinya
hanya untuk sejumlah barang tertentu. Karena itu sebagai contoh Amerika bisa
memproduksi barang 1,3,3, dan seterusnya sedangkan Inggris memproduksi
barang 2,4,6 dan selanjutnya. Jika setiap negara hanya menghasilkan beberapa
batang, maka setiap barang dapat diproduksi dengan skala yang lebih besar
dibandingkan kalau setiap negara memproduksi semua barang, dan
perekonomian dunia karena itu memproduksi setiap barang lebih banyak.

Bagaimana perdagangan internasional memasuki gelanggang? Konsumen


di setiap negara akan tetap mengkonsumsi berdagang barang. Andaikan
industri 1 akhirnya berlokasi di Amerika dan industri 2 di Inggris; lantas
konsumen barang-barang di Amerika harus membeli barang tersebut dengan
mengimpor dari Inggris, sementara konsumen barang 1 di Inggris harus
mengimpornya daru Amerika. Perdagangan internasional memegang peranan
penting: perdagangan memungkinlan setiap negara menghasilkan variasi
batang yang terbatas dan meraih keunggulan skala ekonomis tanpa
mengorbankan keragaman konsumsinya. Memang, sebagaimana akan kita lihat
berikut ini, perdagangan internasional akan meningkatkan keragaman barang
yang tersedia.

5
Selanjutnya contoh diatas menunjukkan bagaimana perdagangan yang
saling menguntungkan dapat meningkat sebagai akibat dari skala ekonomis.
Setiap negara mengkhususkan diri dalam memproduksi barang-barang tertentu
saja, yang memungkinkannya memproduksi barang-barang tersebut lebih
efisien daripada jika negara yang bersangkutan memproduksi sendiri
segalanya; perekonomian-perekonomian yang berspesialisasi ini selanjutnya
berdagang satu sama lain agar dapat mengkonsumsi seluruh jenis barang.

Sayangnya, untuk sampai dari kisah sugesti ini ke suatu model


perdagangan eksplisit yang berdasarkan skala ekonomis tak sesederhana itu.
Alasannya ialah, skala ekonomis biasanya menyebabkan struktur pasarnya
tidak berbentuk persaingan sempurna, dan kita perlu berhati-hati dalam
menganalisis struktur pasar ini.

Skala Ekonomis Dan Struktur Pasar

Pada contoh dalam tabel 6-1, kita menggambarkan skala ekonomis dengan
mengasumsikan bahwa input tenaga kerja per unit produksi makin kecil
Dnegan makin banyaknya output yang diproduksi. Kita tidak menyatakan
bagaimana peningkatan pridy ini dicapai, apakah perusahaan-perusahaan
sekedar memproduksi lebih banyak, atau sebaliknya terjadi peningkatan jumlah
perusahaan. Untuk menganalisis dampak skala ekonomis terhadap struktur
pasar, memang kita perlu kejelasan tentang peningkatan produksi yang
bagaimana yang diperlukan untuk menurunkan biaya rata-rata. Skala ekonomis
eksternal terjadi bila biaya per unit tergantung pada besarnya industri, tidak
perlu pada besarnya suatu perusahaan. Skala ekonomis internal terjadi jika
biaya per unit tetgantunh besarnya satu perusahaan, tak perlu pada besarnya
industri.

Perbedaan antara skala ekonomi eksternal dan internal dapat dilukiskan


pada contoh hipotesis. Bayangkan suatu industri yang jualnya terdiri dari 10
perusahaan, maisng-maisnh menghasilkan 100 perlengkapan.bkini
pertimbangan dua kasus. Pertama, katakanlah ukuran industri tersebut berlipat
dua, sehingga kini terdiri dari 20 perusahaan, masing-masing menghasilkan

6
100 perlengkapan. Akankah efisiensi produksi meningkat? Jika ya, ini
merupakan kasus skala ekonomis eksternal, efisiensi perusahaan-perusahaan
meningkat karena industrinya lebih besar, sekalipun setiap perusahaan
ukurannya sama dengan sebelumnya.

Disisi lain, misalkan output industri yang bersangkutan tidak berubah,


tetapi jumlah perusahaan susut separuh, sehingga setiap perusahaan
menghasilkan 200 perlengkapan.bjika dan kasus ini efisiensi mengalami
peningkatan, maka terdapat akal ekonomis internal: suatu perusahaan lebih
efisien jika outputnya lebih banyak.

Skala ekonomis eksternal dan internal menimbulkan implikasi-implikasi


yang berbeda terhadap struktur industri. Suatu industri dimana skala
ekonomisnya sepenuhnya eksternal (yakni, dimana tak ada keunggulan bagi
perusahaan-perusahaan dengan skala besar) biasanya akan terdiri dari banyak
perusahaan kecil, dan menjadi persaingan sempurna. Sebaliknya skala
ekonomis internal memberikan perusahaan-perusahaan besar keunggulan biaya
atas perusahaan-perusahaan kecil dapat menimbulkan struktur pasar persaingan
tak sempurna.

Baik skala ekonomis eksternal maupun internal merupakan penyebab


penting terjadinya perdagangan internasional. Namun, penelitian terbaru
mengenai peranan skala ekonomis dalam perdagangan menitikberatkan pada
ekonomis internal, karena dua alasan. Pertama, skala ekonomis internal lebih
mudah diidentifikasikan dalam praktek dibandingkan dengan skala ekonomis
eksternal. Para insinyur dapat memberikan perkiraan yang sangat baik
mengenai keuntungan-keuntungan produksi dengan skala besar di industri-
industri Petrokimia, pesawat terbang, mobil dan sebagainya, dimana besarnya
ekonomis eksternal lebih sulit dipahami. Misalnya, pasti suatu keuntungan bagi
perusahaan-perusahaan di industri komputer untuk saling mendekat satu sama
lain. Jika tidak maka tak akan sebegitu banyak perusahaan-perusahaan
berkerumun di sekitar Boston's Route 128 tetapi nilai (dalam mata uang) dari
pengelompokan tersebut sangat sulit untuk dibuktikan.

7
Alasan kedua mengapa penelitian memusatkan pada ekonomis internal
ialah, perkembangan perdagangan internal yang timbul dari model-model
perdagangan dengan skala ekonomis internal yang dikembangkan akhir-akhir
ini lebih sederhana dibandingkan dengan perkembangan yang muncul dari
model-model ekonomis eksternal. Alasan bagi perbedaan ini akan dibahas
kemudian dalam bab ini ketika beralih ke model-model ekonomis eksternal.

Kita mengawali dengan model perdagangan yang didasarkan pada skala


ekonomis Internal. Namun, sebagaimana baru saja kita kemukakan, skala
ekonomis internal menyebabkan persaingan sempurna tak berlaku lagi. Ini
memaksa kita meluangkan waktu untuk meninjau persaingan tak sempurna
sebelum kita dapat beralih ke analisis perdagangan internasional.

B. Teori Persaingan Tak Sempurna

Di pasar persaingan sempurna, perusahaan-perusahaan tak bisa


mempengaruhi harga (price-taker). Artinya penjual barang yakin bahwa
mereka dapat menjual sebanyak mungkin yang mereka kehendaki pada harga
yang berlaku, dan tak dapat mempengaruhi harga yang mereka terima atas
produk yang mereka jual. Misalnya, petani gandum dapat menjual sebanyak
mungkin yang ia inginkan tanpa perlu khawatir bahwa kalau ia mencoba untuk
menjual lebih banyak ia akan menekan harga pasar. Alasannya, tentu saja ialah
bahwa petani gandum individual hanya merupakan bagian yang amat kecil dari
pasar gandum global.

Namun, jika hanya sedikit sekali perusahaan yang memproduksi suatu


barang, masalahnya jadi berbeda. Untuk mengambil contoh yang mungkin
dramatis, pesawat Boeing raksasa hanya menghadapi dua pesaing dalam
produksi pesawat jet berbadan besar. Airbus dan Mc.Donnell-Douglas dan
pesaing-pesaing ini pun tidak menawarkan substitusi dekat bagi banyak
produk-produk Boeing (misalnya Boeing 747). Karena itu Boeing sadar betul
bahwa jika ia ingin menjual lebih banyak pesawat, ia dapat melakukannya
dengan sekedar menurunkan harga secara berarti. Maka, dalam persaingan tak
sempurna, perusahaan-perusahaan sadar bahwa mereka dapat mempengaruhi

8
harga produk-produk mereka, dan bahwa mereka dapat menjual lebih banyak
hanya dengan menurunkan harga produk-produknya.

Jika perusahaan tak dapat mempengaruhi harga, maka kita perlu


mengembangkan perangkat analisis tambahan untuk menjelaskan bagaimana
untuk mengamatinya ialah memonopoli murni (pure monopoli), Dimana
perusahaan tak menghadapi pesaing, perangkat analisis yang kita kembangkan
nantinya bisa digunakan untuk meneliti struktur-struktur pasar yang lebih
pelik.2

Model persaingan monopolistik bertumpu pada dua asumsi diseputar


persoalan saling ketergantungan (interdependensi) yaitu :

a. Setiap perusahaan dianggap mampu membedakan produknya dari


produk– produk saingannnya . Artinya para konsumen tidak akan
langsung berbondong–bondong membeli produk–produk perusahaan lain
hanya karena sedikit selisih harga . Adanya perbedaan dan
penganekaragaman produk (product differentiation) yaitu satu jenis
produk dibuat sedemikian rupa sehingga masing–masing merk nampak
unik dan berbeda dari yang lain. Ini menjamin bahwa setiap perusahaan
memiliki monopoli dalam produk 20 khas didalam satu industri atau
punya pasar sendiri sehingga mereka agak terisolasi dari tekanan pesaing
b. Setiap perusahaan menganggap harga yang ditetapkan oleh para
pesaingnya sebagai sesuatu yang tetap (given) artinya ia mengabaikan
dampak dari harga yang ditetapkannya terhadap harga dari perusahaan –
perusahaan lainnya. Dengan demikian model persaingan monopolistik ini
mengasumsikan bahwa meskipun setiap perusahaan dalam prakteknnya
menghadapi tekanan persaingan dari perusahaan–perusahaan yang
lainnya, namun ia cenderung bertindak sebagai layaknya sebuah
perusahaan monopolis. Model ini disebut sebagai model persaingan
monopolistik .3

2
Paul R. Krugman dan Maurice Obstfeld, Ekonomi internasional: Teori dan Kebijakan Edisi
Kedua), 2003, Jakarta: PT.Grafindo Persada, hlm.147-151
3
Op.Cit. Sri Rahayu. Hal. 37-52

9
C. Technological Gap
Dua dekade terakhir berkembang teori perdagangan berorientasi teknologi
untuk menjelaskan pola perdagangan dan investasi di industri-industri tertentu
dimana perbedaan teknologi sangat penting. Secara umum teori ini
menekankan pada perubahan teknologi dan akibatnya terhadap pola
perdagangan produk-produk baru. Ada beberapa model perdagangan
berorientasi teknologi yang dikemukakan oleh Posner (1961), Hirsch (1967),
dan Vernon (1966). Berikut ini akan dipaparkan perkembangan teori
perdagangan berorientasi teknologi menurut tulisan Deardorff (1996: 493-495).

 Posner: Model Kesenjangan Teknologi


Posner (1961) tergolong yang pertama yang secara teoritis berusaha
menerangkan pola perdagangan dari sisi kemajuan teknologi. Model
kesenjangan teknologi yang diciptakan Posner merupakan generalisasi dari
model Ricardian. Perdagangan berlangsung karena perbedaan antar negara
dalam hal teknologi. Model Posner merupakan hasil pengamatan Posner
tentang proses dinamis perkembangan suatu produk, yang dijelaskan
sebagai berikut.
Selama proses dan produk baru terus-menerus dikembangkan, negara
dimana inovasi tersebut berlangsung untuk sementara waktu akan
menikmati keuntungan dari kemajuan teknologi dibanding negara mitra
dagangnya. Keunggulan ini akan berakhir ketika teknologi baru ini ditiru
negara lain, dan sebelum teknologi baru ini ditiru negara lain, negara yang
melakukan inovasi dapat mengekspor produk baru tersebut meskipun tidak
mempunyai basis keunggulan komparatif dari segi faktor endowmen
maupun intensitas faktor.
Dengan berjalannya waktu, inovasi menyebar ke seluruh dunia dan
keunggulan yang pada awalnya diterima akan menghilang. Keunggulan
yang dimiliki negara inovator akan tetap diperoleh jika kemajuan teknologi
terus berlangsung dan penemuan-penemuan baru terus dibuat serta selalu

10
ada perubahan produk-produk baru dimana negara yang melakukan inovasi
memperoleh keunggulan komparatif.
Kontribusi yang diberikan Posner adalah menjelaskan proses dinamis
dimana kemajuan teknologi terus menerus diperbaharui pada produk-produk
yang berbeda, dan pada saat yang sama teknologi yang ada ditransfer ke
negara- negara lain. Salah satu kelemahan dari model kesenjangan teknologi
adalah model ini gagal untuk menerangkan mengapa suatu inovasi pada saat
ditemukan pertama kali, tidak mendapat keunggulan di lokasi yang
mempunyai biaya paling rendah. Alasannya cukup mudah dipahami bahwa
pihak yang melakukan inovasi akan menolak untuk membagi
pengetahuannya kepada yang lain.
 Hirsch: Siklus Teknologi
Hirsch (1967), yang mengikuti pemikiran Kuznets (1953), berpendapat
bahwa produk-produk baru akan melewati suatu siklus perubahan sistematis
dalam teknologi. Produk-produk baru pada awalnya membutuhkan sejumlah
besar tenaga kerja terampil untuk produksi dan perkembangannya. Setelah
ada sejumlah permintaan yang lebih besar, produk memerlukan teknik
produksi yang lebih intensif kapital. Pada akhirnya ketika produk menjadi
dewasa dan standar, proses produksi menjadi rutin dan tenaga kerja yang
kurang terampil dapat memainkan peranan yang lebih besar. Hirsch juga
menerangkan lokasi produksi dengan mengaplikasikan teorema Hecksher-
Ohlin pada siklus tersebut untuk produk yang baru, tumbuh dan dewasa.
 Vernon: Model Siklus Produk
Raymon Vernon berpijak pada teori keunggulan komparatif untuk
menciptakan hipotesanya sendiri, yaitu hipotesa “siklus produk”. Menurut
Vernon, pembuat produk-produk baru harus berada dekat dengan pasar
sehingga mendapatkan keuntungan berupa umpan balik dari konsumen,
yang bermanfaat dalam modifikasi produk dan pelayanan. Vernon
menekankan bahwa inovasi itu sendiri dibantu oleh kedekatan dengan siapa
yang membutuhkan inovasi. Jadi, baik inovasi maupun produksi cenderung
akan dikonsentrasikan di negara-negara dimana diketahui ada kebutuhan
dan keinginan baru.

11
Vernon secara implisit menolak bahwa proporsi faktor dan biaya
komparatif menentukan lokasi produksi dan ekspor produk-produk baru. Ia
memprediksikan produk-produk baru akan diproduksi pertama kali di, dan
akan diekspor dari negara dimana produk tersebut pertama kali diminta.
Hanya setelah produk tersebut menjadi dewasa dan standar, produksinya
bergerak ke lokasi yang biayanya lebih rendah.
Hipotesa Vernon ini mempunyai implikasi inovasi produk-produk baru
cenderung akan muncul di negara-negara yang pendapatannya relatif tinggi
di mana kemungkinan besar terdapat pasar yang potensial. Di negara-negara
yang mempunyai konsumen dengan pendapatan yang relatif tinggi,
permintaan konsumen menjadi lebih terdiferensiasi dan hal ini dapat
mendorong inovasi produk-produk baru. Sebaliknya, munculnya produk-
produk yang baru dapat merangsang keinginan masyarakat untuk membeli
(World Investment Report, 1999: 193).

Arah Perkembangan Teknologi


Perkembangan teknologi mengalami percepatan terus-menerus pada
dekade 1980 dalam tiga arah, yaitu: (1) perbaikan aplikasi yang ada, misalnya
lebih cepat, lebih murah, dan sebagainya; (2) ekspansi ke dalam aplikasi baru,
misalnya dari pabrik ke desain, logistik, distribusi, perencanaan, dan rantai
suplai; dan (3) customising, yaitu versi tepat guna dari teknologi manufaktur
maju menjadi tersedia untuk sektor-sektor tertentu, sesuai ukuran perusahaan
dan rentang harga (J. Bessant, 1991; Bessant dan Rush, 1995: 104).
Menurut Acemoglu arah perubahan teknologi ditentukan oleh ukuran
pasar. Jika pekerja terampil lebih banyak tersedia, pasar untuk teknologi yang
bersifat pelengkap ketrampilan menjadi lebih besar. Implikasinya, lebih banyak
penemuan-penemuan di bidang teknologi yang melengkapi ketrampilan, dan
teknologi baru akan bersifat melengkapi ketrampilan (Acemoglu, 1998: 1082).
Zoseph Zeira (1998: 1092) lebih menekankan faktor upah dan suku bunga
sebagai penentu jenis teknologi yang dipilih. Upah yang lebih tinggi akan
mendorong adopsi teknologi industri, karena dapat menghemat tenaga kerja,
sedangkan tingkat upah yang lebih rendah akan mengurangi adopsi teknologi.

12
Rosenberg (1996) dan Wright (1997:1562) menjelaskan bahwa banyak
yang meyakini arah perkembangan teknologi hampir pasti tidak dapat
ditentukan. Hal ini karena beberapa sebab; (1) Para penemu teknologi tidak
dapat meramalkan seberapa jauh perbaikan teknologi di masa depan; (2)
Cakupan aplikasi suatu penemuan teknologi baru tergantung pada
perkembangan teknologi pelengkap yang tidak dapat diprediksi; (3)
Penggunaan penemuan teknologi tersebut di masa depan merupakan bagian
yang kompleks suatu sistem yang saling tergantung yang tidak dapat
diperkirakan sebelumnya.
Karena arah perkembangan teknologi yang tidak dapat ditentukan, Gavin
Wright menegaskan bahwa aturan main dalam perubahan teknologi adalah
“bounded rationality” (Wright, 1997: 1562). Ketidakjelasan arah perubahan
teknologi ini juga menimbulkan resiko dan berkurangnya kemanfaatan
investasi riset untuk menemukan teknologi yang baru. Menurut Wrigth,
masalah resiko dan ketepatgunaan dalam investasi riset untuk menciptakan
teknologi baru bisa dikurangi dengan struktur kelembagaan spesifik, yaitu
kekuatan pasar swasta, program persyaratan pemerintah, perlindungan hukum
untuk hak cipta intelektual, kerjasama penelitian non-profit, dan diversifikasi
portofolio (Wright, 1997:1560).4

D. Product Cycle

Teori Siklus Produk

Menurut teori siklus produk dari Vernon (1996) dan Hirsch (1967),
kemudian dikembangkan oleh Wiliamson (1983) perdagangan internasional
dapat terjadi karena adanya dinamika keunggulan komparatif dari suatu produk
atau industri. Mengikuti perubahan waktu, setiap produk akan melalui suatu
proses dari tahap pengembangan, kejenuhan sampai penurunan produksi. hal
ini dapat dijelaskan dalam siklus produk yang terdiri dari empat tahap.

4
Masykur Wiratmo, Berbagai Teori Mengenai Perkembangan Teknolog, JSB No. 8 Vol. 1 Th.
2003, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. hlm. 58-61

13
Tahap Pertama, adalah tahap inovasi atau produk baru, yatu awal mula
suatu produk (proses produksi) yang memiliki beberapa ciri, sepertimodal
investasi yang sangat besar dan proses produksi yang berubah terus-menerus.
Selain memerlukan modal besar, diperlukan juga sumber daya manusia dengan
technical skills serta kemajuan teknologi. Oleh karena itu, pada umumnya,
industri-industri di negara maju yang dapat melakukan tahap ini.

Tahap Kedua, disebut tahap perlusan (pertumbuhan) produksi. Pada tahap


ini, permintaan baik yang bersumber dari dalam negeri maupun dari
internasional meningkat. Produk tersebut mulai diekspor ke negara-negara
sedang berkembang. Pola proses produksinya juga berubah dengan mulai
menerapkan sistem perakitan, sehingga mulai muncul pemasok-pemsok baru,
persaingan dalam inovasi, produk dan kualitas berubah menjadi persaingan
dala harga. Dalam tahap ini negara-negara sedang berkembang mulai dapat
bergabung dalam proses produksi, terutama karena upah tenaga kerja murah.

Tahap Ketiga, adalah tahap kejenuhan pasar (maturity), yaitu produk dan
proses produksi telah mencapai suatu tingkat tinggi dari kemajuan karena
perubahan inovatif terhadap produk dan proses produksinya tidak diperlukan
lagi. Pada tahap ini persaingan semakin ketat dan produsen tidak lagi sebagai
penentu harga (monopoli), tetapi berubah menjadi price takers. Pada tahap ini,
terjadi perpindahan keunggulan komparatif dari negara maju ke negara sedang
berkembang, yang harga barang-barang, faktor produksi, serta bahan baku
yang diperlukan lebih murah. Menurut Hirsch (1967), negara-negara sedang
berkembang memiliki keunggulan komparatif tidak hanya dalam produksi
barang-barang padat modal yang standar.

Tahap Keempat, adalah produksi di negara-negara maju menurun karena


persainan yang semakin kuat di negara sedang berkembang.

Untuk lebih jelasnya perhatikan kurva model siklus produk perdagangan


internasional. Kurva 4.1 menunjukkan siklus produksi di negara maju. Adapun
kurva 4.2 menunjukkan siklus produksi di negara sedang berkembang. 5
5
Imamul Arifin dan Giana Hadi W., Membuka Cakrawala Ekonomi, PT Grafindo Media Pratama,
Jakarta, 2007. Hlm.79-80

14
Kurva 4.1 Siklus Produksi Negara Maju:

Kurva 4.2 Siklus Produksi Negara Sedang Berkembang:

E. National Competitiveness
Pembahasan mengenai konsep daya saing tidak bisa dilepaskan dari
evolusi teori daya saing itu sendiri. Pada awalnya teori daya saing secara
spesifik membahas tentang kemampuan suatu perusahaan agar tetap survive
dalam pasar yang dinamis. Dari teori daya saing pada tingkat perusahaan dalam
suatu negara, kemudian berkembang menjadi suatu konsep daya saing antar
negara.
Pada dasarnya secara umum daya saing didefinisikan sebagai kemampuan
dari suatu industri untuk menunjukkan keunggulan dalam hal tertentu, dengan
cara memperlihatkan situasi dan kondisi yang paling menguntungkan, hasil

15
kerja yang lebih baik dibandingkan dengan industri lainnya. Sehingga faktor
yang harus diperhatikan dalam persaingan adalah keunggulan.6
Menurut Michael Porter (1990), pada dasarnya ada 4 (empat) faktor yang
memengaruhi daya saing suatu negara. Antara lain sebagai berikut:
1) Strategi, struktur, dan tingkat persaingan, yaitu mencakup bagaimana
unit-unit usaha di dalam suatu negara terbentuk, dorganisasikan,
dikelola, dan bagaimana tingkat persaingan di dalam negaranya.
2) Sumber daya disuatu negara, yaitu mencakup bagaimana ketersediaan
sumber daya disuatu negara. Seperti SDM, bahan baku, modal,
pengetahuan, dan infrastruktur.
3) Permintaan domestik, yaitu bagimana permintaann di dalamnegeri
terhadap produk atau layanan industri yang ada di dalam negara
tersebut.
4) Keberadaan industri terkait dan pendukung, yaitu keberadaan industri
pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara
internasional.7
Kekuatan modal dan keunggulan teknologi menjadi kunci penentu
peningkatan daya saing (penjualan produk) satu negara. Sayang di saat bangsa-
bangsa di dunia ini mulai menapaki era baru, negara-negara sedang
berkembang (termasuk Indonesia) umumnya lemah di kedua elemen ini.
Melalui kelemahan ini kepentingan negara berkembang dikendalikan oleh
kepentingan negara maju.
Bila dikaitkan dengan sudut pandang politik, selain elemen teknologi dan
modal, elemen penting lain dari daya saing adalah adanya kompetisi,
khususnya kompetisi internal. Maksudnya, sebelum produk yang dihasilkan
oleh satu bangsa dikonteskan dengan produk dari bangsa lain, harus dipastikan
bahwa produk itu sudah dikonteskan di antara elemen-elemen bangsa itu
sendiri. Artinya, untuk bisa benar-benar menghasilkan produk unggulan, atau

6
Rulyanti Susi Wardhani dan Yulia Agustina, Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Daya
Saing Pada Sentra Industri Makanan Khas Bangka Di Kota Pangkalpinang. Jurnal Akuntansi
Universitas Jember. Hal. 72
7
Antaria RH, dkk., Makalah Keompok Ekonomi Perpajakan: Pajak dan Daya Saing Nasional,
Universitas Indonesia, Jakarta, 2015. Hal. 9

16
aktor yang handal untuk "mewakili" bangsa di pentas internasional, perIu
diciptakan kompetisi di tiap tingkatan masyarakat.
Setidaknya ada empat tingkatan daya saing yang harus diperhitungkan:
lokal, regional, nasional, dan internasional (global). Pada tingkatan lokal,
interaksi dan kompetisi melibatkan aktor yang jangkauan pengaruhnya tidak
melewati satu komunitas kecil tertentu, yang ciri-cirinya relatif homogen
dibandingkan tingkat-tingkat lainnya. MisaInya satu kabupaten atau satu
propinsi.
Pada tingkat regional, aktor yang terlibat adalah aktor lintas lokal dengan
ciri heterogenitas lebih terbatas daripada tingkat nasional. MisaInya aktivitas di
Papua Utara, Maluku Utara dan Sulawesi Utara. Tingkat regional bisa dibaca
pula sebagai gabungan aktivitas antar negara yang menghasilkan atau
menawarkan produk yang sama seperti ASEAN.
Pada tingkat negara, aktor yang berperan adalah mereka yang aktivitasnya
melampaui satu regional. Sedangkan pada tingkat internasional adalah. mereka
yang aktivitasnya melibatkan aktor-aktor lain di luar batas bangsa dan negara.
Pembahasan lebih lanjut mengenai daya saing pada tingkat Nasional
sebagai berikut.
Di tingkat nasional, modal utama yang kita miliki adalah pluralitas dan
heterogenitas bangsa Indonesia. Ini merupakan hal yang perlu kita syukuri.
Kita hanya perlu mengubah sikap dari "perbedaan" ke “mulai dari persamaan"
sebagai titik tolak berdialog. Ini tidak berarti penyeragaman (unifikasi). Hanya
saja yang harus lebih dikedepankan adalah persamaan visi dan misi bersama
sebagai tonggak pemberi arah perjalanan bangsa kita. Sikap memandang
faksionalisme dalam masyarakat sebagai noda terhadap kesatuan dan persatuan
bangsa, harus diubah menjadi modal yang bila dikelola secara tepat justeru
akan menguatkan bangsa kita sendiri.
Kedua, kita memiliki SDA yang nyaris sempurna. Segala jenis bahan
tambang bisa ditemui di Indonesia. Sejauh ini kita baru mengeksploitasi
sumber daya yang ada di darat. Kita baru menggunakan laut sebatas pelayaran
dan menangkap ikan. Laut dan segala sumber daya alam yang ada didalamnya,
belum secara efektif dieksploitasi. Padahal 2/3 dari wilayah Indonesia adalah

17
laut. Bgaiamana cara menemukan teknologi untuk mengeksplorasi SDA yang
ada di laut, merupakan tantangan yang perlu dikembangkan.
Ketiga, posisi kita di silang samudera Pasifik dan Hindia sangat strategis
menyambut era perdagangan bebas. Milinieum ke 3 ditandai dengan beralihnya
wilayah perdagangan dari Samudera Atlantik ke Samudera Pasifik. Hal ini
terjadi karena pangsa pasar terbesar memang berada di wilayah Pasifik. Tiga
negara dengan penduduk terpadat di dunia (Cina, USA dan Indonesia), ada di
wilayah ini. Peluang kita untuk "mencegat" perdagangan lintas Hindia-Pasilik
terbuka.

Keempat,penduduk yang banyak, merupakan pasar potensial yang dilirik


oleh negara-negara maju. Banyaknya penduduk mungkin menjadi nilai negatif
terhadap upaya kita untuk segera keluar dari suasana kemiskinan. Namun,
jumlah penduduk yang banyak juga dapat mendatangkan berkah. Negara-
negara maju berkepentingan untuk mengeluarkan rakyat Indonesia keluar dari
lingkaran kemiskinan, agar 220 juta orang ini bisa membeli produk-produk
mereka. Mengapa sejauh ini kita belum mampu memanfaatkan peluang itu
secara maksimal? Beberapa alasannya sebagai berikut.

Pertama, kita belum sepenuhnya mampu merebut teknologi, atau


menciptakan teknologi tepat guna yang bisa digunakan oleh masyarakat.
Kesulitan kita meningkatkan daya saing terkait erat dengan ketergantungan kita
terhadap investasi dari luar negeri serta teknologi yang jauh tertinggal
dibandingkan negara serumpun sekalipun.

Kedua, kita belum sepenuhnya bergeser dari dependency creating ke


empowering. Kita sedang daIam proses awal pergeseran itu. Bagaimana akan
meningkatkan daya saing bila industri kita masih tergantung pada investor
asing? Susahnya kita dipermainkan dengan isu-isu internasional, yang
sebenarnya bertujuan melindungi kepentingan para kapitalis. Upah buruh yang
murah, sering dianggap sebagai salah satu daya pikat investasi di Indonesia.
Namun, terutama akhir-akhir ini, upah buruh yang rendah itu sering dijadikan
amunisi untuk memojokkan produk Indonesia, dengan dalih pelanggaran
konvensi ILO maupun HAM.

18
Ketiga, kerjasama regional belum bisa dimanfaatkan secara maksimal,
sebab negara-negara yang bergabung dengan kita memproduksi produk yang
sama. Persaingan yang terjadi adalah "banting-bantingan" harga. Tentu saja ini
makin melemahkan posisi kita di kancah internasional.

Keempat, kita belum melakukan "revolusi menta". Menuruti pergeseran


paradigma yang dikemukakan di atas, tampaknya bangsa Indonesia harus
melakukan perubahan cara kerja dari kebiasaan bekerjasama secara komunal
menjadi kompetisi individual.8

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat di simpulkan bahwa:
1. Perdagangan internasional memegang peranan penting: perdagangan
memungkinlan setiap negara menghasilkan variasi batang yang terbatas

8
Riswandha Imawan, Peningkatan Daya Saing: Pendekatan Paradigmatik- Politis, Jurnal Urnu
Sosial SF Urnu Politik, Vol. 6,No.1, Juli 2002. Hal. 94-97

19
dan meraih keunggulan skala ekonomis tanpa mengorbankan keragaman
konsumsinya.
2. Dalam persaingan tak sempurna, perusahaan-perusahaan sadar bahwa
mereka dapat mempengaruhi harga produk-produk mereka, dan bahwa
mereka dapat menjual lebih banyak hanya dengan menurunkan harga
produk-produknya, Jika perusahaan tak dapat mempengaruhi harga,
maka diperlukan mengembangkan perangkat analisis tambahan untuk
menjelaskan bagaimana untuk mengamatinya ialah memonopoli murni
(pure monopoli)
3. Perkembangan teknologi mengalami percepatan terus-menerus pada
dekade 1980 dalam tiga arah, yaitu: (1) perbaikan aplikasi yang ada,
misalnya lebih cepat, lebih murah, dan sebagainya; (2) ekspansi ke dalam
aplikasi baru, misalnya dari pabrik ke desain, logistik, distribusi,
perencanaan, dan rantai suplai; dan (3) customising.
4. Siklus produk terdiri dari empat tahap. Tahap Pertama, adalah tahap
inovasi atau produk baru, Tahap Kedua, disebut tahap perlusan
(pertumbuhan) produksi. Tahap Ketiga, adalah tahap kejenuhan pasar
(maturity) dan Tahap Keempat, adalah produksi di negara-negara maju
menurun karena persainan yang semakin kuat di negara sedang
berkembang.
5. Ada 4 (empat) faktor yang memengaruhi daya saing suatu negara. Antara
lain sebagai berikut: (1) Strategi, struktur, dan tingkat persaingan, (2)
Sumber daya disuatu negara, (3) Permintaan domestik, dan (4)
Keberadaan industri terkait dan pendukung.

B. Saran

Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan


menambah wawasan bagi pembaca khususnya penyusun makalah ini. Tidak
lupa juga bahwasanya kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca mengenai pembahasan makalah agar kami
dapat menyusun makalah yang lebih baik lagi kedepannya, karena kami pun
menyadari saat ini masih banyak kekurangan yang ada di dalamnya.

20
Daftar Pustaka

Arifin, Imamul dan Giana Hadi W. 2007. Membuka Cakrawala Ekonomi, Jakarta
PT Grafindo Media Pratama
Imawan, Riswandha. 2002. Peningkatan Daya Saing: Pendekatan Paradigmatik-
Politis, Jurnal Urnu Sosial SF Urnu Politik, Vol. 6,No.1, Juli 2002.
Paul R. Krugman dan Maurice Obstfeld. 2003. Ekonomi internasional: Teori dan
Kebijakan Edisi Kedua). Jakarta: PT.Grafindo Persada.

21
Rahayu, Sri. 2011. Peranan Skala Prioritas Dan Jenis Pasar Dalam
Perdagangan Internasional. Jurnal Ilmiah Inkoma (Kajian Teori dan
Praktik Pembangunan) Vol.22 No.1 Februari 2011.
RH, Antaria, dkk.. 2015. Makalah Keompok Ekonomi Perpajakan: Pajak dan
Daya Saing Nasional. Jakarta: Universitas Indonesia.
Wardhani, Rulyanti Susi dan Agustina, Yulia. Analisis Faktor-Faktor Yang
Memengaruhi Daya Saing Pada Sentra Industri Makanan Khas Bangka
Di Kota Pangkalpinang. Jurnal Akuntansi Universitas Jember.
Wiratmo, Masykur. 2003. Berbagai Teori Mengenai Perkembangan Teknologi.
JSB No. 8 Vol. 1 Th. 2003. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Gadjah Mada.

22

Anda mungkin juga menyukai