Sejarah Berdirinya Kerajaan Tidore
Sejarah Berdirinya Kerajaan Tidore
Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk
mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugis. Setelah
mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugis
sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah kerajaan paling
independen di wilayahMaluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah
1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi
daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya
banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore
dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah
kitab suci Al-Qur’an.
Pada tahun 1495 M syariat islam mulai digunakan dalam system pemerintahan kerajaan. Gelar
raja berubah menjadi Sultan. Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama
yang memakai gelar Sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansyur
naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan
baru di Rum Tidore Utara.
Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau
Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang
dan menjadi pelabuhan yang ramai. Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota
karena sebab yang beraneka ragam.
Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Ala ud-din Syah) ke Toloa
di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate,
sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain
menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina
komunitas Kolano Toma Banga yang masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota
yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saif ud-din (Jou Kota). Limau Timore ini
kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini.
Letak Geografi Kerajaan Tidore
Secara geografis Kerajaan Tidore memiliki letak yang sangat penting dalam dunia perdagangan
pada masa itu. Kerajaan ini terletak di daerah Kepulauan Maluku.
Pada masa itu, Kepulauan Maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar, sehingga
dijuluki sebagai “the Spice Island”. Rempah-rempah menjadi komoditi utama dalam dunia
pelayaran perdagangan saat itu, sehingga setiap pedagang maupun bangsa-bangsa yang datang ke
daerah Timur bertujuan untuk menemukan sumber rempah-rempah. Oleh karena itu/ muncullah
hasrat untuk menguasai rempah-rempah tersebut.Keadaan seperti ini, telah mempengaruhi aspek-
aspek kehidupan masyarakatnya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Ketika Tidore mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan di Tidore telah
berjalan dengan baik. Saat itu, sultan (kolano) dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam bahasa
Tidore disebut Syara, adat se nakudi. Dewan ini dipimpin oleh sultan dan pelaksana tugasnya
diserahkan kepada Joujau (perdana menteri). Anggota Dewan wazir terdiri dari Bobato pehak
raha (empat pihak bobato; semcam departemen) dan wakil dari wilayah kekuasan. Bobato ini
bertugas untuk mengatur dan melaksanakan keputusan Dewan Wazir. Empat bobato tersebut
adalah:
1. Pehak labe, semacam departemen agama yang membidangi masalah syariah. Anggota
pehak labe terdiri dari para kadhi, imam, khatib dan modim
2. Pehak adat bidang pemerintahan dan kemasyarakatan yang terdiri dari Jojau, Kapita Lau
(panglima perang), Hukum Yade (menteri urusan luar), Hukum Soasio (menteri urusan
dalam) dan Bobato Ngofa (menteri urusan kabinet).
3. Pehak Kompania (bidang pertahanan keamanan) yang terdiri dari Kapita Kie, Jou Mayor
dan Kapita Ngofa.
4. Pehak juru tulis yang dipimpin oleh seorang berpangkat Tullamo (sekretaris kerajaan). Di
bawahnya ada Sadaha (kepala rumah tangga), Sowohi Kie (protokoler kerajaan bidang
kerohanian), Sowohi Cina (protokoler khusus urusan orang Cina), Fomanyira Ngare
(public relation kesultanan) dan Syahbandar (urusan administrasi pelayaran).
Selain itu masih ada jabatan lain yang membantu menjalankan tugas pemerintahan, seperti
Gonone yang membidangi intelijen dan Serang oli yang membidangi urusan propaganda.
Dengan kondisi tersebut, maka perdagangan di Maluku semakin ramai dan hal ini tentunya
mendatangkan kemakmuran bagi rakyat Maluku. Tetapi setelah adanya monopoli perdagangan
oleh Portugis maka perdagangan menjadi tidak lancar dan menimbulkan kesengsaraan rakyat di
Maluku.
Berkenaan dengan garis kekerabatan, masyarakat Tidore menganut sistem matrilineal. Namun,
tampaknya terjadi perubahan ke arah patrilineal seiring dengan menguatnya pengaruh Islam di
Tidore. Klen patrilineal yang terpenting mereka sebut soa. Dalam sistem adat Tidore,
perkawinan ideal adalah perkawinan antar saudara sepupu (kufu). Setelah pernikahan, setiap
pasangan baru bebas memilih lokasi tempat tinggal, apakah di lingkungan kerabat suami atau
istri. Dalam antropologi sering disebut dengan utrolokal.
Dalam usaha untuk menjaga keharmonisan dengan alam, masyarakat Tidore menyelenggarakan
berbagai jenis upacara adat. Di antara upacara tersebut adalah upacara Legu Gam Adat Negeri,
upacara Lufu Kie daera se Toloku (mengitari wilayah diiringi pembacaan doa selamat), upacara
Ngam Fugo, Dola Gumi, Joko Hale dan sebagainya.
Untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, orang Tidore menggunakan bahasa Tidore
yang tergolong dalam rumpun non-Austronesia. Dengan bahasa ini pula, orang Tidore kemudian
mengembangkan sastra lisan dan tulisan. Bentuk satra lisan yang populer adalah dola bololo
(semacam peribahasa atau pantun kilat), dalil tifa (ungkapan filosofis yang diiringi alat tifa atau
gendang), kabata (sastra lisan yang dipertunjukkan oleh dua regu dalam jumlah yang genap,
argumennya dalam bentuk syair, gurindam, bidal dsb).
Sebagian di antara satra lisan ini disampaikan dan dipertunjukkan dengan iringan alat tifa, sejenis
gendang. Sasra tulisan juga cukup baik berkembang di Tidore, hal ini bisa dilihat dari
peninggalan manuskrip kesultanan Tidore yang masih tersimpan di Museun Nasional Jakarta.
Dan boleh jadi, manuskrip-manuskrip tersebut masih banyak tersebar di tangan masyarakat
secara individual.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, orang-orang Tidore banyak yang bercocok tanam di
ladang. Tanaman yang banyak ditanam adalah padi, jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Selain itu,
juga banyak ditanam cengkeh, pala dan kelapa. Inilah rempah-rempah yang menjadikan Tidore
terkenal, dikunjungi para pedagang asing Cina, India dan Arab, dan akhirnya menjadi rebutan
para kolonial kulit putih.
Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun
Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas,
meliputi Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua. Pengganti Sultan
Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat menentang Belanda yang berniat menjajah
kembali.
Sultan kedua Tidore adalah Almansur yang naik takhta pada tahun 1512 dan kemudian ia
menetapkan Mareku sebagai pusat pemerintahan. Ia adalah Sultan yang menerima kedatangan
Spanyol di Tidore untuk beraliansi secara strategis sebagai jawaban atas aliansi yang dibangun
oleh Ternate dan Portugis. Spanyol tiba di Tidore pada tanggal 8 November 1521, turut serta
dalam rombongan kapal armada Magellan, Pigafetta, seorang etnolog dan sejarawan Italia.
Sultan Almansur memberikan tempat bagi Spanyol untuk melakukan perdagangan di Tidore.
Sepotong kain merah ditukar dengan cengkih satu bahar (550 pon), 50 pasang gunting dengan
satu bokor cengkih, tiga buah gong dengan dua bokor cengkih. Dengan cepat cengkih di seluruh
Tidore ludes, sehingga harus dicari di tempat lain seperti Moti, Makian dan Bacan. Demikianlah
kerjasama antara Tidore dan Spanyol semakin berkembang, tidak hanya di bidang perekonomian
tetapi juga di bidang militer.
Pada tahun 1524, didasari persaingan ekonomi berupa penguasaan wilayah perdagangan rempah-
rempah, pasukan gabungan Ternate dan Portugis yang berjumlah 600 orang menyerbu Tidore
dan berhasil masuk ke ibukota Mareku. Hal yang menarik adalah, meski serangan gabungan
tersebut mencapai ibukota Tidore, mereka tidak dapat menguasai Tidore sepenuhnya dan
berhasil dipukul mundur beberapa waktu kemudian. Dua tahun berikutnya (1526) Sultan
Almansur wafat tanpa meninggalkan pengganti.
Kegagalan serangan tersebut berujung dilakukannya perjanjian Zaragosa antara Raja Portugis,
John III dan Raja Spanyol, Charles V pada tahun 1529. Dengan imbalan sebesar 350.000 ducats,
Charles V bersedia melepaskan klaimnya atas Maluku, namun demikian hal tersebut tidak serta
merta menyebabkan seluruh armada Spanyol keluar dari Maluku.
Pada tahun yang sama dengan Perjanjian Zaragosa, putera bungsu Almansur, Amiruddin
Iskandar Zulkarnaen, dilantik sebagai Sultan Tidore dengan dibantu oleh Kaicil Rade seorang
bangsawan tinggi Kesultanan Tidore sebagai Mangkubumi. Dimasanya terjadi tribulasi, ketika
Gubernur Portugis di Ternate, Antonio Galvao, memutuskan untuk kembali meyerang Tidore.
Pasukan Portugis mendapatkan kemenangan atas Tidore pada tanggal 21 Desember 1536 dan
mengakibatkan Tidore harus menjual seluruh rempah-rempahnya kepada Portugis dengan
imbalan Portugis akan meninggalkan Tidore.
Pada tahun 1547, Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnaen wafat dan digantikan oleh Sultan
Saifuddin, demikian pula tongkat estafet kesultanan berikutnya, berturut-turut Kie Mansur,
Iskandar Gani dan Gapi Baguna hingga tahun 1599. Pada era tersebut tidak terjadi sesuatu yang
luar biasa di Kesultanan Tidore, kecuali pada tahun 1578 Portugis membangun Benteng “Dos
Reis Mogos” di Tidore. Namun demikian benteng tersebut tidak mencampuri urusan internal
kesultanan.
Kejadian penting lainnya yang patut dicatat adalah terjadinya unifikasi kekuatan Portugis dan
Spanyol di Maluku di bawah pimpinan Raja Spanyol pada tahun 1580. Sehingga demikian
semua benteng Portugis dan Spanyol di seluruh kepulauan Maluku dapat digunakan oleh kedua
belah pihak.
Unifikasi ini sebenarnya didahului oleh kejadian sebelumnya, yaitu penaklukan benteng
Portugis-Gamlamo di Ternate oleh Sultan Babullah, Sultan Ternate terbesar, pada tanggal 26
Desember 1575. Menyerahnya Gubernur Portugis terakhir di Maluku, Nuno Pareira de Lacerda,
menunjukkan berakhirnya kekuasaan Portugis di Nusantara. Hal ini mengakibatkan mau tidak
mau armada perang Portugis membentuk persekutuan dengan Spanyol di kepulauan Maluku.
Pada tanggal 26 Maret 1606, Gubernur Jenderal Spanyol di Manila, Don Pedro da Cunha, mulai
membaca gerak-gerik VOC-Belanda memperluas wilayah dagangnya hingga Maluku. Karena
merasa terancam dengan kehadiran armada dagang VOC-Belanda yang mulai menjalin
kerjasama dengan Kesultanan Ternate, ia memimpin pasukan menggempur Benteng Gamlamo
tentu saja dengan bantuan dari Tidore yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Mole Majimu.
Spanyol berhasil menguasai Benteng Gamlamo di Ternate, tetapi tidak lama setelah itu VOC
Belanda berhasil pula membuat benteng yang kemudian disebut sebagai “Fort Oranje” pada
tahun 1607 di sebelah timur laut Benteng Gamlamo serta membangun garis demarkasi militer
dengan Spanyol. Paulus van Carden ditujuk sebagai Gubernur Belanda pertama di Kepulauan
Maluku.
Ketika Sultan Tidore ke 12 memerintah yaitu Sultan Saifudin, pada tahun 1663 secara
mengejutkan Spanyol menarik seluruh kekuatannya dari Ternate, Tidore dan Siau yang berada di
Sulawesi Utara ke Filipina. Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara,
membutuhkan semua kekuatan untuk mempertahankan Manila dari serangan bajak laut Cina,
Coxeng. Gubernur Spanyol di Maluku, Don Francisco de Atienza Ibanez, nampak meninggalkan
kepulauan Maluku pada bulan Juni 1663. Maka berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan
Maluku.
Dengan tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan VOC-
Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang kaya dengan rempah-
rempah itu. Akhirnya Sultan Saifudin kemudian melakukan perjanjian dengan Laksamana
Speelman dari VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret 1667 yang mana isinya adalah : (1) VOC
mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas Kepulauan Raja Empat dan Papua
daratan (2) Kesultanan Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam
wilayahnya kepada VOC.
Batavia kemudian mengeluarkan Ordinansi untuk Tidore yang membatasi produksi cengkeh dan
pala hanya pada Kepulauan Banda dan Ambon. Di luar wilayah ini semua pohon rempah
diperintahkan untuk dibasmi. Pohon-pohon rempah yang ‘berlebih’ ditebang untuk mengurangi
produksi rempah sampai seperempat dari masa sebelum VOC-Belanda memegang kendali
perdagangan atas Maluku.
Apa yang dilakukan oleh VOC-Belanda tersebut, yaitu memusnahkan atau eradikasi pohon-
pohon cengkih di Kepulauan Maluku, disebut sebagai “Hongi Tochten”. Kesultanan Ternate
sebenarnya telah terlebih dahulu mengadakan perjanjian yang berkenaan dengan “Hongi
Tochten” pada tahun 1652 kemudian disusul oleh Tidore beberapa waktu berikutnya setelah
Tidore mengakui kekuatan ekonomi-militer Belanda di Maluku. Pihak kesultanan menerima
imbalan tertentu (recognitie penningen) dari pihak VOC akibat operasi ini. “Hongi Tochten”
dilakukan akibat banyaknya penyelundup yang memasarkan cengkih ke Eropa sehingga harga
cengkih menjadi turun drastis.
Sepeninggal Sultan Saifudin, Kesultanan Tidore semakin melemah. Banyaknya pertentangan dan
pemberontakan di kalangan istana kesultanan menyebabkan Belanda dengan begitu mudah
mencaplok sebagian besar wilayah Tidore. Hal ini mencapai puncaknya hingga pemerintahan
Sultan Kamaluddin (1784-1797), dimana sejarawan mencatat bahwa sultan ini memiliki perangai
yang kurang baik. Namun demikian lambat laun situasi mulai berubah ketika Tidore memiliki
Sultan yang terbesar sepanjang sejarah mereka yaitu Sultan Nuku.
Setelah berjuang beberapa tahun, Sultan Nuku memperoleh kemenangan yang gemilang. Ia
berhasil membebaskan Kesultanan Tidore dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan
pamornya. Penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 adalah era keemasan Tidore di
bawah Nuku. Pada titik ini, kebesaran Sultan Nuku dapat dibandingkan dengan keagungan
Sultan Babullah yang telah mengusir Portugis dari Ternate.
Kemenangan-kemenangan yang diraih Sultan Nuku juga tidak lepas dari kondisi politik yang
terjadi di negeri Belanda. Tahun 1794, Napoleon Bonaparte menyerbu Belanda yang
mengakibatkan Raja Willem V mengungsi ke Inggris. Selama menetap di Inggris, ia
mengeluarkan instruksi ke seluruh Gubernur Jenderal daerah jajahannya agar menyerahkan
daerahnya ke Inggris supaya tidak jatuh ke tangan Perancis. Tahun 1796, Inggris menduduki.
Ditambah dengan bubarnya VOC pada Desember 1799, maka hal ini semakin memperlemah
kedudukan Belanda di Kepulauan Maluku.
Tetapi pada tanggal 14 November 1805, Tidore kehilangan seorang sultan yang pada masa
hidupnya dikenal sebagai “Jou Barakati” atau di kalangan orang Inggris disapa dengan “Lord of
Forrtune”. Wafatnya Sultan Nuku dalam usia 67 tahun tidak hanya membawa kesedihan bagi
rakyat Malaku, tetapi juga memberikan kedukaan bagi rakyat Tobelo, Galela dan Lolada yang
telah bergabung ke dalam barisan Nuku sejak awal perjuangannya.
Selain memiliki kecerdasan dan karisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal akan keberanian dan
kekuatan batinnya. Ia berhasil mentransformasi masa lalu Maluku yang kelam ke dalam era baru
yang mampu memberikan kepadanya kemungkinan menyeluruh untuk bangkit dan melepaskan
diri dari segala bentuk keterikatan, ketidakbebasan dan penindasan.
Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan
strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.
Peninggalan Kerajaan Tidore
Berikut ini terdapat beberapa peninggalan kerajaan tidore, yaitu sebagai berikut:
Benteng Tore
Salah satu benteng pertahanan Bangsa Spanyol untuk melawan Bangsa Belanda saat itu. Benteng
Tore dibangun pada tahun 1521 M di Kota Tore pada waktu itu, dimana kondisi benteng 60 %
masih utuh. Benteng Torre berada di atas bukit sekitar kawasan Kedaton Kesultanan Tidore,
tepatnya di sekitar makam Kapitalau serta Makam Sultan Zainal Abidin Syah.
Pemugaran benteng Torre dilakukan dalam dua tahap; Tahap Pertama pada tahun anggaran 2012,
dan Tahap Kedua pada tahun anggaran 2013. Dasar pelaksanaan pemugaran ini adalah
rekomendasi Studi Teknis yang dilakukan oleh BPCB Ternate (waktu itu Balai Peninggalan
Purbakala Ternate) pada 11-17 April 2011, yang menyatakan bahwa Benteng Torre mengalami
kerusakan tingkat parah dan struktur benteng hanya tersisa sekitar 30%, sehingga harus segera
dipugar untuk menghindari bertambah parahnya kerusakan benteng.
Keraton Tidore
Keraton ini dibangun oleh Sultan Muhammad Taher pada Tahun 1812 masa pemerintahan Sultan
Syahjuan T.