Anda di halaman 1dari 5

Nama : Desi Putri Mandiri

NIM : B021201040

Tugas Pengganti FINAL Hukum Kelembagaan Negara B

Menurut hasil amandemen UUD 1945, lembaga negara terdiri dari MPR, DPR, DPD, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, presiden dan wakil presiden.

1. Hubungan Antara MPR dan DPR

MPR terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan.
Karena semua anggota DPR adalah anggota MPR maka DPR merupakan bagian utama dari MPR.
Sebagai bagian utama atau tangan kanan MPR, maka DPR wajib menilai dan mengawasi jalannya
roda pemerintahan sehari-hari.

2. Hubungan Antara DPR dan DPD

Hubungan Antara DPR dan DPD tampak dalam hal ketika DPD dapat mengajukan rancangan
Undang-Undang kepada DPR, sehubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah. DPD ikut membahas rancangan UndangUndang tersebut, serta melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan UndangUndang yang telah disahkan, di mana hasilnya disampaikan
kepada DPR untuk ditindak lanjuti. Selain itu DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR
atas rancangan Undang-Undang APBN, pajak, pendidikan dan agama.

3. Hubungan MPR dengan DPR dan DPD

Keberadaan MPR dalam sistem perwakilan dilihat sebagai ciri yang khas dalam sistem
demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
dan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) menunjukkan kalau MPR merupakan lembaga
perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR
merupakan perwakilan atau cerminan rakyat melalui partai politik. Sedangkan unsur anggota DPD
merupakan perwakilan rakyat dari daerah untuk memperjuangkan kepentingan daerah. Sebagai
lembaga, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, memilih Presiden
dan/atau Wakil Presiden jika terjadi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden,
melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut UUD. Khusus untuk penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan
kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses ini hanya bisa
dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR. Secara umum bisa
disimpulkan kalau pada prinsipnya MPR, DPR, dan DPD merupakan wakil rakyat. Ketiga lembaga
negara ini memiliki hubungan yang erat karena anggota MPR merupakan anggota DPR dan DPD.
Karena itulah pelaksanaan tugas MPR juga menjadi tugas anggota DPR dan DPD saat
berkedudukan sebagai anggota MPR.

4. Hubungan DPR dengan Presiden, DPD, dan MK

Hubungan DPR dengan Presiden, DPD, dan MK (Mahkmah Konstitusi) terlihat dalam hubungan
tata kerja, yaitu:

a. Menetapkan undang-undang Kekuasaan DPR untuk membentuk undang-undang harus dengan


persetujuan Presiden, termasuk undang-undang anggaran dan pendapatan negara (APBN).

DPD juga berwewenang ikut mengusulkan, membahas, dan mengawasi pelaksanaan undang-
undang berkaitan dengan otonomi daerah. DPR dalam menetapkan APBN juga
mempertimbangkan pendapat dari DPD.

b. Pemberhentian Presiden DPR memiliki fungsi mengawasi Presiden dalam menjalankan


pemerintahan.

Apabila DPR berpendapat Presiden melanggar UUD 1945, DPR bisa mengajukan usul
pemberhentian Presiden kepada MPR. Namun sebelumnya usul tersebut harus melibatkan
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadilinya.

c. DPR berwenang mengajukan tiga anggota Mahkamah Konstitusi. Sedangkan Mahkamah


Konstitusi berwenang mengadili sengketa kewenangan lembaga negara, termasuk DPR.

5. Hubungan MA dengan Lembaga Negara Lainnya

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang terlepas dan kekuasaan pemerintah.


Mahkamah Agung sebagai badan pemegang kekuasaan kehakiman berhak memberikan
pertimbangan-pertimbangan hukum kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya baik diminta
maupun tidak diminta. Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan hukum kepada
Presiden sehubungan dengan pemberian atau penolakan grasi. Mahkamah Agung juga berwenang
untuk menyatakan tidak sahnya suatu peraturan atau perundang-undangan yang tingkatnya lebih
rendah dan undang-undang. Seperti PP, Keppres, Inpres.

Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini
menyatakan puncak kekuasaan kehakiman dan kedaulatan hukum ada pada MA dan MK.
Mahkamah Agung merupakan lembaga yang mandiri dan harus bebas dari pengaruh cabang-
cabang kekuasaan yang lain. Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, MA mengajukan
tiga orang hakim konstitusi untuk ditetapkan sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi.
Presiden selaku kepala negara memiliki kewenangan yang pada prinsipnya merupakan kekuasaan
kehakiman, yaitu memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi. Namun wewenang ini
harus dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung untuk grasi dan rehabilitasi.
Sedangkan untuk amnesti dan abolisi memperhatikan pertimbangan DPR. Pemilihan dan
pengangkatan anggota Mahkamah Agung melibatkan tiga lembaga negara lain, yaitu Komisi
Yudisial, DPR, dan Presiden. Komisi Yudisial yang mengusulkan kepada DPR, kemudian DPR
memberikan persetujuan, yang selanjutnya diresmikan oleh Presiden. Komisi Yudisial juga
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim.

6. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Presiden, DPR, DPD, MA, dan KY

Selanjutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu wewenang
Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan UUD. Karena kedudukan MPR sebagai lembaga negara, maka apabila
MPR bersengketa dengan lembaga negara lainnya yang sama-sama memiliki kewenangan yang
ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dengan kewenangan itu, jelas bahwa MK memiliki hubungan tata kerja dengan semua lembaga
negara, yaitu apabila terdapat sengketa antarlembaga negara atau apabila terjadi proses hak uji
material yang diajukan oleh lembaga negara pada Mahkamah Konstitusi.

7. Hubungan Antara MPR dengan Presiden

MPR sebagai lembaga tertinggi negara mengangkat Presiden. Presiden harus menjalankan haluan
negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan MPR. Dengan kata lain, Presiden
memperoleh mandat dan MPR untuk menjalankan GBHN. Sebagai mandataris MPR, Presiden
harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. MPR dapat memberhentikan Presiden sebelum
masa jabatannya berakhir, jika dianggap sungguh-sungguh melanggar haluan negara.

8. Hubungan Antara Presiden dan DPR

Antara Presiden dan DPR memiliki hubungan berupa kerjasama dan pengawasan. Hubungan
kerjasama tampak dalam membuat undang-undang dan penetapan anggaran pendapatan negara.
Pengawasan terjadi karena anggota DPR yang seluruhnya anggota MPR, berhak mengawasi segala
tindakan Presiden.

9. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung

hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung juga terkait Setiap perkara yang
telah diregistrasi wajib diberitahukan kepada Mahkamah Agung, agar pemeriksaan atas perkara
pengujian peraturan di bawah undang-undang yang bersangkutan oleh Mahkamah Agung
dihentikan sementara sampai putusan atas perkara pengujian undang-undang yang bersangkutan
dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara
pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pengujian
peraturan di bawah undang- undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mengenai kemungkinan sengketa kewenangan antar lembaga negara, untuk sementara waktu
menurut ketentuan Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi5, Mahkamah
Agung dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara di Mahkamah
Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara.
Mahkamah Agung terlibat sengketa dalam menjalankan kewenangannya dengan lembaga negara
lain menurut Undang- Undang Dasar di luar urusan putusan kasasi ataupun peninjauan kembali
(PK) yang bersifat final. Misalnya, ketika jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung yang lowong
hendak diisi, pernah timbul kontroversi, lembaga manakah yang berwenang memilih Wakil
Ketua Mahkamah Agung tersebut. Menurut ketentuan UUD, ketua dan wakil ketua Mahkamah
Agung dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Agung. Tetapi, menurut ketentuan UU yang
lama tentang Mahkamah Agung yang ketika itu masih berlaku, mekanisme pemilihan Wakil
Ketua Mahkamah Agung itu masih dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jika kontroversi
itu berlanjut dan menimbulkan sengketa antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
berkenaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR atau MA, maka otomatis Mahkamah
Agung harus bertindak sebagai pihak dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi. Namun
demikian, terlepas dari persoalan tersebut di atas, yang jelas ketentuan UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang mengecualikan Mahkamah Agung seperti itu dapat diterima
sekurang-kurangnya untuk sementara ketika Mahkamah Konstitusi sendiri baru didirikan. Jika
praktek penyelenggaraan peradilan konstitusi ini nantinya telah berkembang sedemikian rupa,
bukan tidak mungkin suatu saat nanti ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi mengenai hal
tersebut dapat disempurnakan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, hubungan antara
Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan status MA sebagai salah satu
lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi dan status MA sebagai penguji peraturan di bawah
undang- undang dapat diadakan perubahan sebagaimana mestinya. Mahkamah Konstitusi yang
mengatur kemungkinan Mahkamah Agung menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa
lembaga negara di Mahkamah Konstitusi, yaitu dengan mengadakan aturan pengecualian
terhadap ketentuan UU MK yang menentukan bahwa MA tidak dapat menjadi pihak dalam
berperkara di MK. Ketentuan yang mengecualikan MA sebagai pihak dalam perkara di MK,
ditafsirkan oleh MK dalam Peraturan yang ditetapkannya, yaitu hanya sepanjang yang terkait
dengan putusan-putusan Mahkamah Agung dalam menjalankan kewenangannya di bidang
yudisial. Artinya, semua putusan MA seperti kasasi tidak dapat lagi diperkarakan di MK yang
dapat menjadikan MA sebagai pihak yang diperkarakan. Akan tetapi, untuk hal-hal lain di luar
perkara, seperti misalnya soal administrasi pengelolaan biaya perkara, maka hal tersebut tidak
termasuk ke dalam pengertian yang dikecualikan oleh Pasal 65 UU tentang MK tersebut.
10. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan DPR
Hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat berkaitan
dengan status DPR sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi, DPR sebagai
pembentuk undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara yang berpotensi bersengketa
dengan lembaga negara lain dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar. Di samping itu, sengketa hasil pemilihan umum yang berpengaruh terhadap
terpilih tidaknya anggota DPR; dan yang terakhir pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau
Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden/Wakil Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan
diputuskan oleh MK. Dalam hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagai pemohon kepada MK.
DPR adalah lembaga perwakilan rakyat yang mencerminkan sistem demokrasi perwakilan
(representative democracy). Sebagai lembaga demokrasi, prosedur yang lebih diutamakan dalam
proses pengambilan keputusan politik di DPR adalah mayoritas suara (majoritarian democracy)
berdasarkan prinsip “Majority Rule”. Namun demikian, prinsip suara terbanyak itu sendiri tidak
identik dengan kebenaran konstitusional (constitutional truth) ataupun keadilan konstitusional
(constitutional justice). Jika demokrasi tidak hanya dipahami sebagai prosedur (procedural
democracy), maka prinsip “majority rule” harus dilengkapi dengan prinsip “minority rights”
yang harus dicerminkan dengan tegaknya “rule of law”, yang dimulai dengan tegaknya konstitusi
sebagai hukum tertinggi (the rule of the constitution). Meskipun UU yang ditetapkan oleh DPR
sudah mencerminkan kehendak mayoritas wakil rakyat, tetapi jika suara mayoritas itu
merugikan hak-hak asasi manusia suara minoritas, suara mayoritas itu tetap harus dapat
dibatalkan karena melanggar konstitusi. Untuk itulah diperlukan lembaga peradilan yang akan
menjaga dan mengawal tegaknya konstitusi sebagai hukum tertinggi itu. Itulah pada
hakikatnya fungsi Mahkamah Konstitusi, yang antara lain yaitu untuk mengawal konstitusi,
mengawal demokrasi, dan bahkan melindungi hak-hak minoritas.

11. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Komisi Yudisial


Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebut: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Dalam
ayat (4) pasal tersebut ditentukan pula: “Susunan, kedudukan, dan
keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”. Dibaca secara harfiah, maka
subjek yang akan diawasi oleh Komisi Yudisial ini adalah semua hakim menurut Undang-Undang
Dasar 1945. Artinya, semua hakim dalam jajaran Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
termasuk dalam pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) tersebut. Namun demikian, jika
ditelusuri sejarah perumusan Pasal 24B ayat (1) tersebut, ketentuan Pasal 24C yang mengatur
tentang Mahkamah Konstitusi tidak terkena maksud pengaturan yang tercantum dalam Pasal 24B
tentang Komisi Yudisial. Fungsi komisi ini semula hanya dimaksudkan terkait dengan Mahkamah
Agung yang diatur dalam Pasal 24A. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung, dan karena itu subjek hukum yang diawasi oleh Komisi Yudisial juga adalah para
hakim agung pada Mahkamah Agung.

Anda mungkin juga menyukai