Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah: Ekonomi Islam
Dosen Pengampu: Ahmad Dahlan, MA

Disusun oleh
Kelompok 6:

1) Rivani Ristianti (200210004)


2) Mela Melani (200210010)
3) Syahru Ramadhan (200210017)
4) Thoriq Abdul Aziz (200310001)
5) Faizatun Amalia (200310014)
6) Dendi Rifai (200310027)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH & MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM (STEI)
AL-ISHLAH CIREBON
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, para
sahabat dan seluruh umatnya.

Berkat rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan penyusunan makalah


mengenai “Lembaga Keuangan Syariah”. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk memenuhi
salah satu tugas kelompok dari mata kuliah Ekonomi Islam oleh Dosen Pengampu Bapak
Ahmad Dahlan, MA.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat berbagai kekurangan di dalam menyusun


makalah ini. Untuk itu, penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan. Besar harapan
tugas ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan dan pengetahuan.

Cirebon, 27 Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Lembaga Keuangan Syariah

B. Sejarah Lembaga Keuangan Syariah

C. Prinsip Dasar Lembaga Keuangan Syariah

D. Jenis-jenis Lembaga Keuangan Syariah

E. Prinsip Manajemen Dalam Lembaga Keuangan Syariah

F. Akad-akad Dalam Lembaga Keuangan Syariah

G. Mekanisme Lembaga Keuangan Syariah

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam sistem ekonomi Islam, suatu identitas usaha seperti lembaga keuangan syariah
merupakan instrumen yang digunakan untuk menerapkan aturan-aturan ekonomi. Sebagai
bagian dari sistem ekonomi, lembaga tersebut merupakan bagian dari keseluruhan sistem
sosial. Oleh karenanya, keberadaan masyarakat (manusia), serta nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan. Karenanya, Islam menolak pandangan yang
menyatakan bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu yang bebas nilai (value free).

Aturan-aturan ekonomi Islam dalam melakukan suatu usaha tidak hanya berkaitan dengan
pelarangan berbisnis atas komoditas alkohol, pornografi, perjudian dan aktivitas
amoral/asosila lainnya, akan tetapi juga ditujukan untuk memberikan sumbangan positif
terhadap pencapaian tujuan sosial ekonomi masyarakat yang lebih baik. Bisnis secara
syariah dijalankan untuk menciptakan iklim bisnis yang baik dan lepas dari praktik
kecurangan. Aturan-aturan tersebut dibuat berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an,
petunjuk Nabi Muhammad Saw. dalam hadis, dan ijma’ serta qiyas para ulama.

Salah satu bentuk bisnis yang dijalankan secara syariah adalah bisnis keuangan yang
dilakukan oleh berbagai lembaga keuangan baik yang berbentuk bank atau non bank.
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merupakan salah satu sektor ekonomi Islam yang
berkembang pesat pada beberapa dekade terakhir. Perkembangan yang pesat ini tidak saja
didorong oleh memburuknya sistem perekonomian dunia uang dimotori oleh sistem
konvensial, akan tetapi juga oleh semangat religius dan kepentingan praktis pragmatis dalam
membangun perekonomian umat. Karena LKS berdiri di atas fondasi syariah, maka ia harus
senantiasa sejalan dengan syariah (shariah compliance). Baik dalam spirit maupun aspek
teknisnya. Dalam ajaran Islam, transaksi keuangan harus terbebas dari transaksi yang haram,
berprinsip kemaslahatan (tayyib), misalnya bebas dari riba, gharar, risywah, dan maysir.
Secara umum dapat dikatakan bahwa keuangan Islam harus mengikuti kaidah dan aturan
dalam fiqh muamalah. Persyaratan-persyaratan ini akan mengakibatkan adanya perbedaan
yang relatif substansial antara keuangan Islam dan keuangan konvensial. Faktor lain yang
membedakan adalah adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasi LKS
yang bertugas mengawasi produk dan operasionalnya.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Prinsip Dasar Lembaga Keuangan Syariah ?


2. Bagaimana Peranan Lembaga Keuangan Syariah ?
3. Bagaimana Mekanisme Lembaga Keuangan Syariah ?
4. Bagaimana Penerapan Akad-Akad di Lembaga Keuangan Syariah ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui Prinsip Dasar Lembaga Keuangan Syariah
2. Mengetahui Akad yang diterapkan di Lembaga Keuangan Syariah
3. Mengetahui Peranan Lembaga Keuangan Syariah
4. Mengetahui Mekanisme Lembaga Keuangan Syariah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Lembaga Keuangan Syariah


Dalam bahasa Inggris, dalam pengertian fisik, lembaga keuangan disebut institute,
yaitu sarana (organisasi) untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan dalam pengertian non
fisik adalah institution, yaitu suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan.¹ Sedangkan
lembaga keuangan, menurut SK Menkeu RI NO.792 tahun 1990, adalah semua badan yang
kegiatannya dibidang keuangan melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada
masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan.

Lembaga keuangan sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu lembaga keuangan


konvensional dan lembaga keuangan syariah. Secara esensial, lembaga keuangan
konvensional berbeda dengan lembaga keuangan syariah. Lembaga keuangan konvensional
lebih mengutamakan sistem bunga dalam penyelenggaraan sistem keuangannya. Sedangkan
lembaga keuangan syariah lebih mengedepankan bagi hasil dan beberapa akad muamalah.

Lembaga keuangan ini, pada prinsipnya berperan sebagai lembaga intermediasi bagi pihak
yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Lembaga keuangan ini memiliki peran
yang strategis untuk menggerakkan sektor perekonomian. Sebab, dengan adanya lembaga
keuangan ini, pihak-pihak yang kekurangan dana tetap memiliki peluang untuk
mengembangkan usahanya dan terbantu dengan kehadiran lembaga keuangan ini.

B. Sejarah Lembaga Keuangan Syariah


Diskusi mengenai sejarah LKS tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai
kemunculan perbankan syariah yang merupakan embrio dari LKS di seluruh dunia pada era
1940-an. Ide-ide tentang LKS atau bank yang bebas bunga sudah mulai bermunculan. Ide-ide
tersebut dilontarkan oleh beberapa pemikir Islam dalam beberapa tulisan mereka tentang
perbankan syariah, seperti Muhammad Hamidullah (1944-1962), Anwar Qureshi (1946),
Naiem Siddiq (1948) dan Mahmud Ahmad (1962) serta Al-Mahdudi (1962) yang menulis
kembali pemikiran tersebut secara lebih rinci.

Kemunculan bank syariah pada awalnya tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar
tahun 1940, yang pada waktu itu adalah usaha pengelolaan dana jamaah haji secara non-
ribawi. Akan tetapi, pendirian Mit Ghamr, Lokal Saving Bank oleh Ahmad El-Najar yang
dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi tercatat yang paling fenomenal. Dalam jangka
waktu empat tahun Mit Ghmar berkembang dengan membuka sembilan cabang dengan
nasabah mencapai satu juta orang. Gagasan lain muncul dari konferensi negara-negara Islam
se-dunia di Kuala Lumpur pada tanggal 21-27 April 1969 yang diikuti oleh negara peserta. Di
Indonesia sendiri sudah muncul gagasan mengenai bank syariah pada pertengahan 1970 yang
dibicarakan pada seminar Indonesia –Timur Tengah pada tahun 1974 dan Seminar
Internasional pada tahun 1976. Bank syariah pertama di Indonesia adalah Bank Muamalat
Indonesia (BMI) yang merupakan hasil kerja tim Perbankan MUI yang ditandatangani pada
tanggal 1 November 1991.

Di belahan benua Eropa, Denmark tercatat sebagai negara Eropa pertama yang
mempunyai bank syariah, yaitu the Islamic Bank Internasional or Denmark (1983). Pada
tahun 1987, di Pasedena, Amerika Serikat berdiri suatu LKS yang bernama American
Finance House-Lariba. LKS ini mendapatkan izin operasi dari pemerintah negara bagian
California sebagai perusahaan pembiayaan syariah. Lariba sendiri merupakan singkatan dari
Los Angeles Reliable Investment Bankers atau bermakna bankir investasi terpercaya Los
Angeles. Kecuali di AS juga terdapat sebuah konvensional yang membuka pelayanan
syariah yaitu Devon Bank. Beberapa bank lainnya yang membuka layanan syariah di
Amerika yaitu Freddie Mac, University bank, dan Guidance Residential.

C. Prinsip Dasar Lembaga Keuangan Syariah


Prinsip utama yang dijadikan landasan dalam operasional lembaga keuangan syariah antara
Iain:

1) Bebas dari unsur maysir, gharar, dan riba.


 Maysir merupakan transaksi yang dihubungkan dengan kondisi yang tidak pasti dan
bersifat untung-untungan atau biasa dikenal dengan istilah perjudian. Maisir ini
merupakan bentuk investasi yang tidak produktif, karena tidak terkait langsung
dengan sektor riil. Larangan maisir sangat jelas sebagaimana dalam QS Al-Baqarah,
[2]: 219.³
 Gharar, artinya menipu, memperdaya, ketidakpastian. Gharar adalah sesuatu yang
memperdayakan manusia dalam masalah harta. Gharar dapat terjadi pada transaksi
yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki dan tidak dimiliki keberadaannya, atau tidak
dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan.
 Riba adalah suatu tambahan yang tidak ada padanannya. Riba ini secara tegas
dilarang dalam Al-Qur'an.
2) Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada perolehan yang sah
menurut syariah Islam.

Ketika menjalankan bisnis atau bentuk perdagangan, maka transaksi yang dilakukan
hendaknya sesuai dan yang diakui oleh syariah. Misalnya, akad yang dilakukan harus
memenuhi syarat dan rukunnya sesuai dengan ketentuan Fiqh muamalah. seperti adanya
objek yang dijadikan akad, pihak-pihak yang berakad, adanya pernyataan akad untuk
mengikatkan diri dalam transaksi tersebut dan diupayakan adanya saksi, terutama untuk
barang-barang yang berharga. Di samping harus memenuhi syarat dan rukun akad, harus pula
diperhatikan etika dalam Islam, seperti kejujuran, amanah, pelestarian lingkungan dan lain-
lain.

3) Menyalurkan zakat, infak, sedekah dan wakaf (ZISWAF)

Berbeda dengan lembaga keuangan konvensional, Lembaga Keuangan Syariah (LKS)


juga memiliki peran sosial. Artinya, di samping menjadi badan usaha di bidang keuangan,
LKS ini juga menjadi lembaga sosial, khususnya terkait dengan penyaluran zakat, infak,
sedekah, dan wakaf.

D. Jenis-jenis Lembaga Keuangan Syariah

Ada beberapa macam atau jenis lembaga keuangan syariah, antara lain:
1) Perbankan Syariah.

Sebagai sebuah bank dengan misi khusus, bank syariah diharapkan menjadi lembaga
keuangan yang dapat menjembatani antara pemilik modal atau pihak yang memiliki
kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana. Fungsi didirikannya bank syariah ini
antara lain:

a. Mengarahkan agar umat Islam dalam melaksanakan kegiatan muamalahnya secara


islami, dan terhindar dari praktik "maghrib";
b. Dalam rangka menciptakan keadilan dalam bidang ekonomi dengan melakukan
pemerataan pendapatan melalui berbagai kegiatan investasi;
c. Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup umat manusia dengan jalan membuka
peluang usaha yang lebih besar.⁴

2) Asuransi Syariah (takaful)

Yang dimaksud asuransi syariah adalah asuransi yang sumber hukum, akad, jaminan
(risiko), pengelolaan dana, investasi, kepemilikan dan sebagainya berdasarkan atas nilai dan
prinsip syariah. DSN-MUI dalam fatwanya tentang pedoman “Umum Asuransi Islam
mengartikan tentang asuransi Islam (ta’min, takaful, tadhamun)” adalah usaha saling
melindungi dan saling menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam
bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko
tertentu melalui akad pertukaran sesuai dengan syariah.⁵

3) Pasar Modal Syariah

Definisi pasar modal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (UUPM) adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan
Perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta
lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Berdasarkan definisi tersebut, terminologi
pasar modal syariah dapat diartikan sebagai kegiatan dalam pasar modal sebagaimana yang
diatur dalam UUPM yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Pasar modal syariah merupakan bagian dari sistem pasar modal secara keseluruhan. Pada
dasarnya, kegiatan Pasar Modal Syariah tidak memiliki perbedaan dengan pasar modal
konvensional, namun terdapat beberapa karakteristik khusus Pasar Modal Syariah yaitu
bahwa produk dan mekanisme transaksi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Pasar Modal Syariah adalah pasar modal yang seluruh mekanisme kegiatannya terutama
mengenai emiten, jenis efek yang diperdagangkan dan mekanisme perdagangannya telah
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Pasar modal syariah berfungsi untuk memungkinkan
bagi masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan bisnis dengan memperoleh bagian dari
keuntungan dan risikonya.⁶

4) Reksadana Syariah

Reksadana adalah wadah dan pola pengelolaan dana/modal bagi sekumpulan investor
untuk berinvestasi dalam instrumen-instrumen investasi yang tersedia di pasar dengan cara
membeli unit penyertaan reksadana. Dana ini kemudian dikelola Oleh Manajer Investasi (MI)
ke dalam portofolio investasi, baik berupa saham, obligasi, pasar uang ataupun efek/sekuriti
Iainnya. Dalam bahasa yang Iain reksadana adalah bentuk suatu investasi kolektif yang
memungkinkan bagi investor yang memiliki tujuan investasi sejenis untuk mengumpulkan
dananya, agar dapat diinvestasikan dalam bentuk portofolio oleh manajer investasi.⁷

Pada prinsipnya, reksadana syariah sama dengan reksadana konvensional hanya saja
dalam pengelolaannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal.
Pada reksadana syariah (RD Syariah), pemilihan instrumen investasi harus berdasarkan DES
(Daftar Efek Syariah) yang diterbitkan Oleh DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional- Majelis
Ulama Indonesia) yang bekerja sama dengan BAPEPAM-LK (Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan). Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011, terhitung mulai tanggal 31
Desember 2012, tugas dan fungsi BAPEPAM-LK berpindah ke OJK (Otoritas Jasa
Keuangan).

5) Pegadaian Syariah

Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir mirip dengan Pegadaian konvensional.


Seperti halnya Pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman
dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat
sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai
jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15
menit saja).

Begitu pun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang
dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat. Akan tetapi jika ditinjau
dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan pendanaan. Pegadaian syariah memiliki ciri
tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan pegadaian konvensional.
Pegadaian Syariah adalah lembaga pembiayaan dengan sistem gadai yang sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah. Akad yang digunakan dalam pegadaian syariah ini biasanya ada dua
akad, yaitu akad rahn dan akad ijarah.

6) Baitul Mal wa Tamwil dan Koperasi Syariah

Nama Baitul Mal berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata bait artinya rumah, dan mal
yang berarti harta. Baitul mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta.
Baitul mal, pada awalnya merupakan suatu lembaga yang mempunyai tugas khusus
menangani segala harta umat berupa pendapatan maupun pengeluaran negara.⁸ Dalam
konteks sekarang khususnya di Indonesia, pengertian Baitul Mal menjadi menyempit. Baitul
Mal tidak lagi menjalankan tugas luas yang dahulunya dilakukan oleh pemerintah atau negara
sebagaimana masa kekhalifahan Islam.

Baitul mal yang merupakan bagian dan rangkaian kata dari Baitul Mal wa al-tamwil
(BMT)—dengan tambahan kata al-tamwil yang berarti pengolahan dan pendayagunaan harta
untuk usaha—-lebih diartikan sebagai lembaga sosial untuk menyalurkan zakat, infak, dan
shadaqah. Didorong oleh kesadaran akan perlunya perbaikan ekonomi umat, dirasakan
keberadaan Baitul Mal perlu diperluas fungsinya tidak hanya sebagai lembaga sosial saja,
namun juga dana yang dapat ditumbuhkembangkan sebagai modal umat untuk melakukan
kegiatan usaha sehingga mampu meningkatkan kondisi ekonomi umat. Pada periode
berikutnya BMT mulai konsentrasi pada kegiatan bisnis, namun tetap melakukan kegiatan
sosial dengan pemisahan manajemen secara tegas.⁹ Gerakan nasional BMT tahun 1995 yang
dimotori oleh PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil) mempunyai peran yang
signifikan. Pada inilah BMT yang dikenal beroperasi di Indonesia dengan mendasarkan
kegiatan operasionalnya sebagai lembaga keuangan dengan prinsip perbankan syariah telah
diadopsi dan dilegalkan oleh pemerintah melalui Departemen Koperasi dan UKMK terkait
dengan Keputusan Koperasi UKMK No. 91/Kep/M.KUKM/1X/2004.

Karena di bawah naungan departemen dan koperasi, BMT pun pada dasarnya adalah
koperasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah atau koperasi syariah. Adapun penyebutan
KJKS (Koperasi Jasa Keuangan Syariah) didasarkan pada Keputusan Menteri Negara
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor
91/Kep/1V/KUKM/1X/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa
Keuangan Syariah (KJKS) yang mana memberikan pengertian bahwa Koperasi Simpan
Pinjam Syariah atau koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) adalah koperasi yang kegiatan
usahanya bergerak di bidang pembiayaan, investasi dan simpanan sesuai pola bagi hasil
(syariah) .¹⁰

Pada tahun 2015, koperasi yang sudah atau akan menjalankan usaha simpan pinjam dan
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah akhirnya diberi dasar hukum yang kuat melalui
Peraturan Menteri Koperasi dan UKM no.16/2015. Bentuk yang dapat dipilih adalah
Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) atau Unit Usaha Simpan Pinjam
dan Pembiayaan Syariah (USPPS). Berdasarkan Peraturan Menteri tersebut, pada tahun 2016
ini Baitul Mal wa Tamwil (BMT) yang pada umumnya berbadan hukum koperasi diberi opsi
perundang-undangan untuk memilih menjadi Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)
yang tunduk kepada rezim regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau menjadi KSPPS
(Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah) yang tunduk kepada rezim regulasi
Kementerian Koperasi dan UKM.

Perhimpunan BMT Indonesia (PBMTI) , akhirnya memutuskan memilih opsi regulasi


Kemenkop dan UKM, sehingga semua BMT anggota PBMTI diminta untuk memenuhi
persyaratan sebagai KSPPS/USPPS selambat-lambatnya akhir tahun 2016 ini. Sebagai
konsekuensinya, BMT-BMT anggota PBMTI tersebut diminta segera melakukan perubahan
AD/ART dan mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Induk Koperasi (NIK). Dengan
demikian, sampai saat ini BMT identik dengan KSPPS (Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah) berdasarkan PERMEN tersebut.

E. Prinsip Manajemen Dalam Lembaga Keuangan Syariah

Lembaga Keuangan Syariah merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk
menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam bidang keuangan. Lembaga ini merupakan bagian
dari sistem ekonomi syariah. Sebagai bagian dari sistem ekonomi, lembaga keuangan syariah
tersebut merupakan bagian dari keseluruhan sistem sosial. Oleh karenanya, keberadaannya
harus dipandang dalam konteks keseluruhan keberadaan masyarakat, serta nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Ekonomi Syariah menekankan pada ekonomi keseimbangan, artinya bahwa hak


individu dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil tentang dunia dan
akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, iman dan kekuasaan.
Ekonomi yang menekankan pada aspek keseimbangan merupakan paham ekonomi yang
moderat tidak menzalimi masyarakat, khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada
masyarakat kapitalis. Di samping itu, İslam juga tidak menzalimi hak individu sebagaimana
yang dilakukan oleh kaum sosialis, tetapi İslam mengakui hak individual dan masyarakat. ¹¹

Lembaga Keuangan Syariah sebagai bagian dari Sistem Ekonomi Syariah, dalam
menjalankan bisnis dan usahanya juga tidak terlepas dari nilai-nilai syariah. Oleh karena itu,
Lembaga Keuangan Syariah tidak akan mungkin membiayai usaha-usaha yang di dalamnya
terkandung hal-hal yang diharamkan. Demikian pula dengan proyek yang menimbulkan
kemudharatan bagi masyarakat luas atau berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila,
perjudian, peredaran narkoba, senjata ilegal, serta proyek-proyek yang dapat merugikan syiar
İslam. Untuk itu dalam struktur organisasi Lembaga Keuangan Syariah harus terdapat Dewan
Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi produk dan operasional lembaga tersebut.

Ciri-ciri sebuah Lembaga Keuangan Syariah dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:

1. Dalam menerima titipan dan investasi, Lembaga Keuangan Syariah harus sesuai
dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah.
2. Hubungan antara investor (penyimpan dana), pengguna dana, dan Lembaga Keuangan
Syariah sebagai intermediary institution, berdasarkan kemitraan, bukan hubungan
debitur-kreditor.
3. Bisnis Lembaga Keuangan Syariah bukan hanya berdasarkan profit orianted, tetapi
juga falah orianted, yakni kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
4. Konsep yang digunakan dalam transaksi Lembaga Syariah berdasarkan prinsip
kemitraan bagi hasil, jual beli atau sewa menyewa guna transaksi komersial, dan
pinjam-meminjam (qardh/kredit) guna transaksi sosial.
5. Lembaga Keuangan Syariah hanya melakukan investasi yang halal dan tidak
menimbulkan kemudharatan serta tidak merugikan syiar Islam.

Dalam membangun sebuah usaha, salah satu yang dibutuhkan adalah modal. Modal
dalam pengertian ekonomi syariah bukan hanya uang, tetapi meliputi materi baik berupa uang
ataupun materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan. Salah satu modal yang penting
adalah sumber daya insani yang mempunyai kemampuan di bidangnya. Sumber Daya Insani
(SDI) yang dibutuhkan oleh sebuah lembaga keuangan syariah adalah seorang yang
mempunyai kemampuan profesionalitas yang tinggi, karena kegiatan usaha lembaga
keuangan secara umum merupakan usaha yang berlandaskan kepada kepercayaan
masyarakat.

F. Akad-Akad Muamalah Dalam Lembaga Keuangan Syariah


Secara garis besar, akad-akad yang dipraktikkan dalam keuangan syariah antara lain:

1) Penghimpunan Dana

a. Al-wadi ’ah

Al-wadi ’ah pada dasarnya adalah penitipan barang/uang antara pihak yang
mempunyai barang/uang (muwaddi') dengan pihak yang diberi kepercayaan (mustawda')
dengan tujuan untuk menjaga keselamatan,, keamanan, serta keutuhan barang/uang, balam
dunia perbankan syariah, al-wadi ’ah terdiri dari dua jenis, yaitu: wadi ’ah yad al-amănah dan
wadi ’ah yad al-damănah.

Wadi ’ah yad al-amănah adalah akad penitipan barang/uang di mana pihak penerima
tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab
atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau
kelalaian penerima titipan (Wirdyaningsih, (ed.), 2005: 128). Dalam konteks manajemen
perbankan modern. akad wadi 'ah seperti ini jelas tidak mungkin dilakukan, sebab bank
bukan tempat penitipan barang yang berfungsi menjaga harta barang tersebut dengan tanpa
'menyentuh' dan memanfaatkannya sama sekali.

Dalam hal ini, akad al-wadi ‘ah yang digunakan perbankan syariah adalah wadi ’ah
yad al-damănah di mana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang
dapat memanfaatkannya dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan
barang/uang titipan tersebut. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam
penggunaan barang/uang tersebut menjadi hak penerima titipan. Bank dapat memberi bonus
yang tidak disyaratkan sebelumnya. Wadi ‘ah yad al-amanah dalam kegiatan usaha
perbankan syariah dapat diaplikasikan pada rekening giro (current account) dan rekening
tabungan (saving account), yakni bank dapat menggunakan uang itu dalam proyek berjangka
pendek. Bank bertanggung jawab atas keselamatan uang tersebut. Tetapi peluang bagi bank
untuk menggunakannya terbatas, sebab pemilik uang tersebut dapat mengambil uangnya
sewaktu-waktu.. Sedangkan untuk wadi ‘ah yad al-amanah dapat diaplikasikan pada safe
deposit box (Wiroso, 2005:23).

b. Al- mudârabah

Istilah merupakan mudârabah merupakan istilah 'inti' dalam perbankan syariah. Akad
ini juga dikenal sebagai qirad atau muqaradah. Mudârabah sendiri adalah perjanjian atas
suatu jenis pengkongsian di mana pihak pertama (shahibul mil) menyediakan dana dan pihak
kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan hasil usaha
dibagikan sesuai dengan nisbah porsi bagi hasil yang telah disepakati bersama sejak awal.

Tujuan akad mudârabah adalah supaya ada kerja sama kemitraan antara pemilik harta
(modal) yang tidak/kurang berpengalaman dalam perniagaan atau karena tidak ada
kesempatan untuk menggeluti dunia usaha/perniagaan dengan orang yang berpengalaman di
bidang tersebut tetapi tidak memiliki modal. Dengan akad mudârabah tersebut keduanya
dapat disinergikan (Wiroso, 2005:34).

Akad mudârabah ini dipergunakan oleh perbankan syariah dalam rangka menghimpun
dana, di mana penyimpan bertindak sebagai shahibul mal (pemilik modal) dan bank sebagai
mudharib (pengelola). Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang
telah disepakati diawal akad. Dana nasabah yang telah disimpan di bank akan dikelola oleh
bank untuk mendapatkan keuntungan. Hasil pengelolaannya dibagikan antara bank dan
nasabah. Berdasarkan prinsip ini, dalam kedudukannya sebagai mudharib, bank menyediakan
jasa bagi para investor berupa:

1. Rekening investasi umum, di mana bank menerima simpanan dari nasabah yang
mencari kesempatan investasi atas dana mereka dalam bentuk investasi
berdasarkan prinsip mudârabah mutlaqah (unrestricted investment account).
Simpanan diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu.
2. Rekening investasi khusus, di mana bank bertindak sebagai manajer investasi bagi
nasabah untuk menginvestasikan dana tersebut pada unit-unit usaha atau proyek-
proyek tertentu yang mereka setujui atau kehendaki. Rekening ini dioperasikan
berdasarkan prinsip mudârabah muqayyadah (restricted investment account).
Bentuk investasi dan nisbah pembagian keuntungan biasanya dinegosiasikan
secara kasus per kasus.
3. Rekening Tabungan Mudârabah. Tabungan mudârabah ini tidak dapat ditarik
sewaktu-waktu sebagaimana tabungan wadi ‘ah. Oleh sebab itu, tabungan
mudârabah tidak diberikan fasilitas ATM, karena penabung tidak dapat menarik
dananya secara leluasa. Aplikasinya perbankan syariah melayani tabungan
mudârabah dalam bentuk targeted saving, seperti tabungan haji atau tabungan
kurban (Muhammad, 2002: 234).

2) Pembiayaan atau Penyaluran Dana

a. Jual Beli (al-buyû')


l. Bai' Murâbahah

Murâbahah (al-Bai' bi tsaman ajil) lebih dikenal sebagai murâbahah saja. Murâbahah,
yang berasal dari kata ribhu (keuntungan) adalah transaksi jual beli di mana bank menyebut
jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli.
Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin) (Karim 2004:
88).

Bank syariah menerapkan murâbahah pada pembiayaan untuk pembelian barang-


barang inventori, baik produksi maupun konsumsi. Dalam hal ini bank bertindak sebagai
penjual, sementara nasabah bertindak sebagai pembeli. Bank dan nasabah harus menyepakati
harga pokok, keuntungan, dan jangka waktu. Lalu bank membeli barang yang dipesan dan
diberikan kepada nasabah. Nasabah kemudian mencicilnya sesuai harga dan jangka waktu
yang disepakati. Bank memperoleh margin keuntungan berupa selisih harga beli dari
pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah.

2. Bai' al-salam

Pembiayaan bai' al-salam, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan
nasabah untuk membeli suatu barang/jasa dengan pembayaran di muka sebelum barang/jasa
diantarkan atau bahkan belum terbentuk (Wirdyaningsih, (ed.), 2005: 135). Dalam akad bai'
al-salam ini nasabah berkewajiban mengembalikan talangan dana tersebut di tambah margin
keuntungan bank secara menyicil sampai lunas dalam jangka waktu tertentu atau tunai sesuai
dengan kesepakatan. Bank memperoleh margin keuntungan berupa selisih harga beli dari
pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah.

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No.05/DSNMUI/IV/2000 ditentukan beberapa


hal yang berkaitan dengan bai' al-salam, antara lain: objek akad salam harus jelas ciri-cirinya
dan dapat diakui sebagai utang, harus dapat dijelaskan spesifikasinya, waktu dan tempat
penyerahan harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan pembeli tidak boleh menjual
barang sebelum menerimanya.

Pelaksanaan salam, selain antara nasabah dan bank dapat juga dilakukan antara bank
dengan penjual. Salam yang kedua disebut juga salam paralel yang dilakukan terpisah dari
akad pertama dan dilakukan setelah akad pertama sah. Biasanya, untuk pembiayaan pertanian
jangka pendek, seperti penanaman padi, cabai, dan sebagainya bank syariah biasanya
menggunakan bai' al-salam. Di sini bank sebagai pembeli dan nasabah sebagai penjual. Bank
lalu membayar harga yang disepakati di awal kontrak, sementara nasabah akan mengirim
barang yang dipesan setelah jatuh tempo. Ketika barang akan dikirimkan oleh nasabah, bank
dapat menjualnya kepada pihak Iain dengan harga yang lebih tinggi agar mendapat
keuntungan.

3. Bai' Istisna'

Untuk pembiayaan konstruksi dan barang-barang manufaktur jangka pendek, bank


syariah biasanya menggunakan akad bai' istisna'.

Dalam hal ini bank bertindak sebagai pemesan (pembeli) sedangkan nasabah
bertindak sebagai penjual (pembuat). Bank dapat menyalurkan dana secara bertahap sesuai
dengan prinsip bai' istisna'. Ketika barang akan atau sudah selesai, bank dapat menjualnya
secara cicilan kepada nasabah Iain untuk mendapat keuntungan. Dalam akad bai' istisna' ini,
permasalahannya hampir sama dengan bai' al-salam.

b. Bagi Hasil (Muqasamah fi al-ribh)

1) Akad Musyârakah

Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyârakah. Pembiayaan dengan akad
musyârakah, yaitu pembiayaan sebagian modal pada suatu usaha untuk jangka waktu terbatas
sesuai kesepakatan. Hasil usaha bersih dibagi antara bank sebagai penyandang dana
(Shahibul mâl) dengan pengelola usaha (mudharib). Pada akhir jangka waktu pembiayaan,
dana pembiayaan dikembalikan kepada bank.

Transaksi musyârakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama
untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Semua bentuk usaha
melibatkan dua pihak atau lebih untuk bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber
daya baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Secara spesifik bentuk kontribusi
dari pihak yang bekerja sama dapat berupa dana, barang dagangan (trading asset),
kewirausahaan (entrepreneurship), kepandaian (skiil), kepemilikan (property), peralatan
(equipment), kepercayaan (creditworthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai
dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari berbagai bentuk kontribusi masing-
masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel
(Karim, 2004: 92).

2) Akad Mudârabah
Untuk proyek jangka pendek maupun jangka panjang, bank dapat melakukan
pembiayaan kepada nasabah dengan sistem bagi hasil atas dasar prinsip al-mudârabah.
Dalam hal ini bank bertindak sebagai shahibul mâl (pemilik modal) dan nasabah bertindak
sebagai mudharib (pengelola). Jika proyek itu mendapat keuntungan, maka keuntungan itu
dibagi menurut kesepakatan awal. Sedangkan jika terjadi mudârabah yang disebabkan bukan
karena kelalaian nasabah, maka hal itu menjadi risiko bank. Prinsip mudârabah dapat
dilakukan oleh bank untuk melaksanakan investasi pada reksadana atau portofolio investasi
lainnya.

Mudârabah merupakan kontrak profit-and-loss sharing, di mana satu pihak


mempercayakan sejumlah modal kepada seorang investor dengan imbalan memperoleh suatu
bagian yang ditentukan dari keuntungan/kerugian bisnis yang dimodali. Prinsip ini
merupakan ”inti” sistem perbankan syariah karena sebagian besar dana yang diberikan
kepada sebuah bank syariah dikelola dalam aransemen seperti itu (Algaoud dan Lewis, 2003:
13).

Dalam istilah lain, mudârabah dapat didefinisikan sebagai sebuah perjanjian di antara
paling sedikit dua pihak, pemilik modal (shahibul mâl atau rabb al-mâl), mempercayakan
sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan aktivitas atau
usaha. Dalam mudârabah, pemilik modal tidak diberikan peran dalam manajemen
perusahaan. Konsekuensinya Mudârabah merupakan perjanjian profit and loss sharing di
mana yang diperoleh para pemberi pinjaman adalah bagian suatu bagian tertentu dari
keuntungan/kerugian proyek yang telah dibiayai.

3) Jasa Pelayanan

Selain jenis-jenis penghimpunan dan penyaluran, perbankan syariah juga menyelenggarakan


pelayanan-pelayanan dengan memperoleh upah atau fee sebagaimana yang dilakukan bank
konvensional. Jenis-jenis pelayanan yang biasanya diselenggarakan oleh perbankan syariah
antara lain:

a. Al-Kafâlah

yaitu pemberian jaminan oleh bank sebagai penanggung (kâfil) kepada pihak ketiga
atas kewajiban pihak kedua (yang makful 'anhu), Atas pemberian jaminan ini memperoleh
fee.
b. Al-Hiwâlah

yaitu jasa pengalihan tanggung jawab pembayaran utang dari seseorang yang berutang
kepada orang lain. Atas jasa pengalihan utang ini bank memperoleh fee.

c. Al-Wakalah

yaitu jasa melakukan tindakan/pekerjaan mewakili nasabah sebagai pemberi kuasa.


Untuk mewakili nasabah melakukan tindakan/pekerjaan tersebut nasabah diminta untuk
mendepositokan dananya secukupnya Contoh pembukaan L/C oleh bank atas nama nasabah.
Untuk menerima kuasa mewakili nasabah melakukan tindakan/pekerjaan, bank memperoleh
fee.

d. Al-Rahn

yaitu pembiayaan berupa pinjaman dana tunai dengan jaminan barang bergerak yang
nilai relatif tetap seperti emas, perak, intan, berlian, batu mulia, dan lain-lain dalam jangka
tertentu sesuai kesepakatan. Bank memperoleh pendapatan berupa sewa tempat penyimpanan
jaminan.

e. Al-Ju'âlah

yaitu jasa pelayanan pesanan,/permintaan tertentu dari nasabah, misalnya untuk


memesan tiket pesawat atau barang dengan mempergunakan kartu debet atau
kredit/cek/transfer. Atas jasa pelayanan ini bank memperoleh fee.

Dengan akad-akad tersebut perbankan syariah berupaya untuk menghindarkan diri


dari praktik riba yang jelas-jelas dilarang dalam Al-Qur’an. Sebab bunga yang selama ini
dalam perbankan konvensional diduga kuat oleh banyak kalangan ulama dan cendekiawan
Muslim adalah riba. Sebab, ketika terjadi akad utang piutang dengan penambahan tertentu,
maka tambahan inilah yang dimaksud dengan riba sebab tidak ada padanan apa pun terhadap
tambahan tersebut. Oleh sebab itu, paling tidak secara legal formal, kehadiran perbankan
syariah ini dalam rangka menjunjung tinggi dan melaksanakan perintah Allah mengenai
larangan riba.

G. MEKANISME LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Pada dasarnya setiap lembaga keuangan memiliki sistem dan mekanisme khusus yang
dapat membedakan satu dengan yang lainnya. Di lembaga keuangan syariah ini tidak dikenal
istilah “bunga” baik saat menghimpun dana (pemasukan) dari masyarakat maupun dalam
pembiayaan/dana untuk usaha yang membutuhkan. Sistem bunga dapat merugikan
penghimpunan modal, baik itu dalam bentuk suku bunga tinggi maupun rendah.

Suku bunga tinggi dapat menghambat suatu perusahaan dalam investasi maupun
formasi modal. Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan penurunan produktivitas dan laju
pertumbuhan yang rendah. Suku bunga yang rendah bisa saja menimbulkan ketidakrataan
kekayaan pada para penabung. Hal ini dapat berimbas pada rasio tabungan kotor juga
merangsang pengeluaran secara konsumtif yang dapat menimbulkan tekanan inflasioner.

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Lembaga keuangan syariah lebih mengedepankan bagi hasil dan beberapa akad
muamalah. Lembaga keuangan syariah, pada prinsipnya berperan sebagai lembaga
intermediasi bagi pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Lembaga
keuangan ini memiliki peran yang strategis untuk menggerakkan sektor perekonomian.

Prinsip utama yang dijadikan landasan dalam operasional lembaga keuangan syariah
antara Iain: bebas dari unsur maysir, gharar, dan riba, menjalankan bisnis dan aktivitas
perdagangan yang berbasis pada perolehan yang sah menurut syariah Islam, menyalurkan
zakat, infak, sedekah dan wakaf (ZISWAF).

Lembaga ini merupakan bagian dari sistem ekonomi syariah. Lembaga keuangan
syariah merupakan bagian dari keseluruhan sistem sosial. Keberadaannya harus dipandang
dalam konteks keseluruhan keberadaan masyarakat, serta nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.

Dalam menjalankan bisnis dan usahanya juga tidak terlepas dari nilai-nilai syariah.
Oleh karena itu, Lembaga Keuangan Syariah tidak akan mungkin membiayai usaha-usaha
yang di dalamnya terkandung hal-hal yang diharamkan.

DAFTAR PUSTAKA
Ghofur, Abdul (2017). Pengantar Ekonomi Syariah: Konsep Dasar, Paradigma,
Pengembangan Ekonomi Syariah. Depok: PT Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai