Anda di halaman 1dari 12

RESUME

HARGA DIRI RENDAH DAN ISOLASI SOSIAL


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa I

Dosen pengampu : Bapak Ns. Bagja Angga Sukma., MAN

Disusun oleh:

Alifia Nurmandini (C.0105.20.004)

PRODI PENDIDIKAN NERS TINGKAT 2A

STIKES BUDI LUHUR CIMAHI

2021/2022
A. HARGA DIRI RENDAH
1. Pengertian
Keliat B.A mendefinisikan harga diri rendah adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Perasaan tidak berharga, tidak
berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan
kemampuan diri (Fajariyah, 2012)
Harga diri rendah adalah semua pemikiran, kepercayaan dan keyakinan yang merupakan
pengetahuan individu tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain.
Harga diri terbentuk waktu lahir tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang
dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat dan dengan realitas dunia (Stuart,2006)
Gangguan harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan
diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan ( Townsend,
2001 ).
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri.
Adanya perasaan

hilang percaya diri, merasa gagal karena karena tidak mampu mencapai keinginansesuai
ideal diri (Keliat, 2001).
Menurut Schult & videbeck (1998) gangguan harga diri rendah adalah penilaian negatif
seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak
langsung.
Dapat disimpulkan harga diri rendah adalah kurangnya rasa percaya diri sendiri yang dapat
mengakibatkan pada perasaan negatif pada diri sendiri, kemampuan diri dan orang lain.
Yang mengakibatkan kurangnya komunikasi pada orang lain.
2. Komponen Konsep Diri
Konsep diri adalah semua pikiran, kepercayaan dan kenyakinan yang diketahui tentang
dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Fajariyah, 2012).
Ciri konsep diri menurut Fajariyah (2012) terdiri dari konsep diri yang positif, gambaran diri
yang tepat dan positif, ideal diri yang realitis, harga diri yang tinggi, penampilan diri yang
memuaskan, dan identitas yang jelas. Konsep diri terdiri dari citra tubuh (body image), ideal
diri (self-ideal), harga diri (self-esteem), peran (self-role), dan identitas diri (self-identity)
(Suliswati, 2004).
a) Citra tubuh
Citra tubuh adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik disadari atau tidak disadari
meliputi persepsi masa lalu atau

sekarang mengenai ukuran dan bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh. Citra tubuh
sangat dinamis karena secara konstan berubah seiring dengan persepsi dan pengalaman-
pengalaman baru. Citra tubuh harus realitis karena semakin dapat menerima dan menyukai
tubuhnya individu akan lebih bebas dan merasa aman dari kecemasan. Individu yang
menerima tubuhnya apa adanya biasanya memiliki harga diri tinggi daripada individu yang
tidak menyukai tubuhnya (Suliswati, 2004).
b) Ideal diri
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaiman ia seharusnya bertingkah laku
berdasarkan standart pribadi. Standart dapat berhubungan dengan tipe orang yang
diinginkan/disukainya atau sejumlah aspirasi, tujuan, nilai yang ingin diraih. Ideal diri, akan
mewujudkan cita-cita atau penghargaan diri berdasarkan norma-norma sosial dimasyarakat
tempat individu tersebut melahirkan penyesuaian diri (Suliswati, 2004).
c) Harga diri
Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan
menganalisa seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah
perasaan yang berasal dari penerimaan diri sendiri

tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan kegagalan, tetap merasa
sebagai orang yang penting dan berharga (Stuart,2006).
d) Peran
Peran adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan oleh
masyarakat dihubungkan dengan fungsi individu didalam sekelompok sosial dan merupakan
cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang berarti. Setiap orang
disibukkan oleh beberapa peran yeng berhubungan dengan posisi setiap waktu sepanjang
daur kehidupnya. Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi
kebutuhan dan cocok dengan ideali diri (Suliswati, 2004).
e) Identitas diri
Prinsip penorganisasian kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan,
kesinambungan, konsistensi, dan keunikan individu. Prinsip tersebut sama artinya dengan
otonomi dan mencakup persepsi seksualitas seseorang. Pembentukan identitas, dimulai
pada masa bayi dan terus berlangsung sepanjang kehidupan, tetapi merupakan tugas utama
pada masa remaja (Stuart, 2006).

3. Rentang Respon Konsep Diri


Respon adaptif
Akualisasi konsep
Harga diri rendah
Respon maladaptif
Keracunan Depersonalisasi identitas
diri
diri positif
Gambar 1.1 Rentang Respon Konsep Diri Rendah Sumber : (Fajariyah, 2012)
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) respon individu terhadap konsep dirinya sepanjang
rentang respon konsep diri yaitu adaptif dan maladaptif (Fajariyah, 2012).
a) Akualisasi diri adalah pernyataan diri positif tentang latar belakang pengalaman nyata
yang sukses diterima.
b) Konsep diri positif adalah mempunyai pengalaman yang positif dalam beraktualisasi diri.
c) Harga diri rendah adalah transisi antara respon diri adaptif dengan konsep diri maladaptif.
d) Keracunan identitas adalah kegagalan individu dalam kemalangan aspek psikososial dan
kepribadian dewasa yang harmonis.

e) Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realitis terhadap diri sendiri yang
berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan dirinya dengan
orang lain.
(Fajariyah, 2012)
4. Etiologi
Penyebab terjadi harga diri rendah adalah :
a) Pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas
keberhasilannya.
b) Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang
dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima.
c) Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah, pekerjaan, atau
pergaulan
d) Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung
mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya. (Yosep, 2009)
5. Tanda dan gejala harga diri rendah
Tanda gejala harga diri rendah menurut (Carpenito 2003) antara lain yaitu perasaan malu
terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan terhadap penyakit, rasa bersalah
terhadap diri sendiri, merendahkan martabat, gangguan hubungan sosial, seperti menarik
diri, tidak ingin bertemu dengan orang lain, lebih suka sendiri, percaya diri kurang, sukar
mengambil keputusan,

mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, ingin
mengakhiri kehidupan. Tidak ada kontak mata, sering menunduk, tidak atau jarang
melakuakan kegiatan sehari- hari, kurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak
rapi, berkurang selera makan, bicara lambat dengan nada lemah.
6. Akibat terjadinya harga diri rendah
Menurut Karika (2015) harga diri rendah dapat berisiko terjadinya isolasi sosial : menarik
diri, isolasi soasial menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada
tingkah laku yang maladaptif mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial. Dan
sering dirtunjukan dengan perilaku antara lain :
Data subyektif
a) Mengungkapkan enggan untuk memulai hubungan atau
pembicaraan.
b) Mengungkapkan perasaan malu untuk berhubungan dengan
orang lain.
c) Mengungkapkan kekhawatiran terhadap penolakan oleh orang
lain.
Data obyektif
a) Kurang spontan ketika diajak bicara.
b) Apatis.
c) Ekspresi wajah kosong.
d) Menurun atau tidak adanya komunikasi verbal.

e) Bicara dengan suara pelan dan tidak ada kontak mata saat bicara.
7. Proses terjadinya harga diri rendah
Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri rendah
situasional yang tidak diselesaikan. Atau dapat juga terjadi karena individu tidak pernah
mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien sebelumnya bahkan mungkin
kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon negatif mendorong individu menjadi
harga diri rendah.
Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu berada pada
suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha menyelesaikan krisis
tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa diri tidak mampu atau merasa gagal
menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu terhadap diri sendiri karena kegagalan
menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi harga diri rendah situasional, jika lingkungan
tidak memberi dukungan positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi secara terus
menerus akan mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis (Direja, 2011)

B. Isolasi Sosial

Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak
mampu berinteaksi dengan orang lain disekitarnya (Damaiyanti, 2012). Klien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang
lain (Keliat, 2011). Isolasi sosial juga merupakan kesepian yang dialami individu dan dirasakan saat
didorong oleh keberadaan orang lain sebagai pernyataan negatif atau mengancam (NANDA-I dalam
Damaiyanti, 2012).
Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang
tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan
sosial (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Isolasi sosial merupakan upaya Klien untuk menghindari
interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan
orang lain (Trimelia, 2011).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial merupakan keaadaan seseorang yang mengalami
penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain karena mungkin merasa
ditolak, kesepian dan tidak mampu menjalin hubungan yang baik antar sesama.
Etiologi
Terjadinya Gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi di antaranya perkembangan dan sosial
budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan individu tidak percaya pada diri, tidak percaya pada orang
lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan,
dan merasa tertekan. Kedaan ini menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain,
lebih suka berdiam diri, menghindar dari orang lain, dan kegiatan sehari-hari (Direja, 2011).
a. Faktor Predisposisi
Menurut Direja (2011) faktor predisposisi yang mempengaruhi masalah isolasi sosial yaitu:
1. Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang harus
dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Apabila tugas-tugas dalam setiap
perkembangan tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial selanjutnya.
Menurut Yosep (2009), hidup manusia dibagi menjadi 7 masa dan pada keadaan
tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa. a) Masa Bayi
Masa bayi adalah menjelang usia 2-3 tahun, dasar perkembangan yang dibentuk pada masa tersebut
adalah sosialisasi dan pada masa ini timbul dua masalah yang penting yaitu:
1) Caramengasuhbayi
Cinta dan kasih sayang ibu akan memberikan rasa hangat/aman bagi bayi dan di kemudian hari
menyebabkan kepribadian yang hangat, terbuka dan bersahabat. Sebaliknya, sikap ibu yang dingin
acuh tak acuh bahkan menolak di kemudian hari akan berkembang kepribadian yang bersifat
menolak dan menentang terhadap lingkungan.
2) Caramemberimakan
Sebaiknya dilakukan dengan tenang, hangat yang akan memberikan rasa aman dan dilindungi,
sebaliknya,pemberian yang kaku, keras, dan tergesa
-gesa akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan.
b) MasaAnakPrasekolah
Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan tumbuh disiplin dan otoritas. Hal-hal
yang penting pada fase ini adalah:
1) Hubungan orangtua-anak
2) Perlindungan yang berlebihan 3) Otoritas dan disiplin

4) Perkembangan seksual
5) Agresi dan cara permusuhan
6) Hubungan kakak-adik
7) Kekecewaan dan pengalaman yang menyakitkan
c) Masa Anak Sekolah
Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmani dan intelektual yang pesat. Pada masa ini
anak akan mulai memperluas pergaulan, keluar dari batas-batas keluarga. Masalah- masalah penting
yang timbul adalah:
1) Perkembanganjasmani
2) Penyesuaiandiridisekolahdansosialisasi d) MasaRemaja
Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahn-perubahan yang penting yaitu timbulnya tanda-
tanda sekunder (ciri-ciri kewanitaan atau kelaki-lakian). Secara kejiwaan, pada masa ini terjadi
pergolakan yang hebat. Pada masa ini, seorang remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya, di
satu pihak ia merasa sudah dewasa, sedangkan di pihak lain belum sanggup dan belum ingin
menerima tanggung jawab atas semua perbuatannya.
e) Masa Dewasa Muda
Seseorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan bahagia akan
cukup memiliki kesanggupan dan kepercayaan diri dan umumnya ia akan berhasil mengatasi
kesulitan-kesulitan pada masa ini. Bila mengalami masalah pada masa ini mungkin akan mengalami
gangguan-gangguan jiwa.
f) Masa Dewasa Tua
Sebagai patokan, pada masa ini dicapai apabila status pekerjaan dan sosial seseorang
sudah mantap. Masalah-masalah yang mungkin timbul adalah:
4

2.
1) Menurunnya keadaan jasmani
2) Perubahan susunan keluarga
3)Terbatasnya kemungkinan perubahan-perubahan yang baru dalam bidang
pekerjaan atau perbaiki kesalahan yang lalu. g) MasaTua
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan pada masa ini yaitu berkurangnya daya tangkap, daya
ingat, berkurangnya daya belajar, kemampuan jasmani dan kemampuan sosial ekonomi
menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman serta sering mengakibatkan kesalah pahaman
orangtua terhadap orang sekitarnya. Perasaan terasingkan karena kehilangan teman sebaya,
keterbatasan gerak, dapat menimbulkan kesulitan emosional yang cukup berat.
Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung untuk terjadinya gangguan
hubungan sosial, seperti adanya komunikasi yang tidak jelas (double bind) yaitu suatu keadaan
dimana individu menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan, dan ekspresi
emosi yang tinggi di setiap berkomunikasi.
3. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma- norma yang
salah dianut oleh keluarga, dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti lanjut usia,
berpenyakitan kronis, dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosial.
4. Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung yang menyebabkan
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang jelas mempengaruhi adalah
5

otak. Klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial terdapat struktur yang
abnormal pada otak, seperti atropi otak, perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan
kortikal (Sutejo, 2017). Klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki ciri-ciri biologis yang khas
terutama susunan dan struktur syaraf pusat, biasanya klien dengan skizofrenia mengalami
pembesaran ventrikel ke-3 sebeah kirinya. Ciri lainnya yaitu memiliki lobus frontalis yang lebih kecil
dari rata-rata orang normal (Yosep, 2009).
Menurut Candel dalam Yosep (2009), pada Klienskizofrenia memiliki lesi pada area Wernick’s dan
area Brocha biasanya disertai dengan Aphasia serta disorganisasi dalam proses bicara. Adanya
hiperaktivitas Dopamine pada Kliendengan gangguan jiwa seringkali menimbulkan gejala skizofrenia.
Menurut hasil penelitian, Neurotransmitter tertentu seperti Norepinephrine pada Klien dengan
gangguan jiwa memegang peranan dalam proses learning, memory reinforcement, siklus tidur dan
bangun, kecemasan, pengaturan aliran darah dan metabolisme.
Menurut Singgih dalam Yosep (2009), gangguan mental dan emosi juga bisa disebabkan oleh
perkembangan jaringan otak yang tidak cocok (Aphasia). Kadang-kadang seseorang dilahirkan
dengan perkembangan cortex cerebry yang kurang sekali, atau disebut sebagai otak yang
rudimenter. Contoh gangguan tersebut terlihat pada Microcephaly yang ditandai oleh kecilnya
tempurung otak. Adanya trauma pada waktu kelahiran, tumor, infeksi otak seperti Enchepahlitis
Letargica, gangguan kelenjer endokrin seperti tiroid, keracunan CO (Carbon Monocide) serta
perubahan-perubahan karena degenerasi yang mempergaruhi sistem persyarafan pusat (Yosep,
2009).
b. Faktor Presipitasi
6

Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor presipitasi dapat dikelompokan sebagai berikut:
1. StressorSosialBudaya
Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor keluarga seperti
menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya,
misalnya karena dirawat dirumah sakit.
2. Stressor Psikologi
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang dekat atau kegagalan
orang lain untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan dapat menimbulkan kecemasan tingkat
tinggi.
2.1.3 Patopsikologi
Menurut Stuart and Sundeen (2007) dalam Ernawati (2009). Salah satu gangguan berhubungan
sosial diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak
berharga, yang bisa di alami klien dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan,
ketegangan, kekecewan, dan kecemasan.
Perasaan tidak berharga menyebabkan klien semakin sulit dalam mengembangkan hubungan
dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam
aktifitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Klien semakin
tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku primitive antara lain
pembicaraan yang austistic dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat
lanjut menjadi halusinasi (Ernawati, 2009).

Tabel 2.2 Proses Terjadinya Masalah Isolasi Sosial


Gangguan Tugas Perkembangan
Sumber: Yosep (2009)
Pola Asuh Keluarga
Misal: Pada anak yang kelahirannya tidak dikehendaki akibat kegagalan KB, hamil diluar nikah, jenis
kelamin tidak diinginkan, bentuk fisik kurang menawan menyebabkan keluarga mengeluarkan
komentar-komentar negatif, merendahkan, serta menyalahi anak.
Misal: Kegagalan menjalin hubungan intim dengan sesama jenis atau lawan jenis, tidak mampu
mandiri.
Koping Individu Tidak Efektif
Misal: Saat individu menghadapi kegagalan mengalahkan orang lain, ketidakberdayaan, tidak
mampu menghadapi kenyataan dan menarik diri dari lingkungan.
Stress Internal Dan Eksternal
Misal: Stress terjadi akibat ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan individu untuk mengatasi. Ansietas tejadi akibat berpisah dengan orang terdekat,
kehilangan pekerjaan atau orang yang dicintai.
Menurut Stuart Sundeen dalam Sutejo tentang respon klien ditinjau dari interaksinya dengan
lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang terbentang antara respon adaptif dengan
maladaptive sebagai berikut:
Adaptif Maladaptif
Menyendiri, Otonomi, kebersamaan, saling ketergantungan
Kesepian, menarik diri, ketergantungan
Skema 2.1 Rentang respon isolasi sosial
8
Manipulasi, impulsif, narsisme
(sumber: Sutejo, 2017)

. Respon Adaptif
Menurut Sutejo (2017) respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma
sosial dan kebudayan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut masih dalam
batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut adalah sikap yang termasuk respon adaptif:
1. Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah terjadi di
lingkungan sosialnya.
2. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan
dalam hubungan sosial.
3. Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan interpersonal yang saling membutuhkan
satu sama lain.
4. Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling ketergantungan antara individu
dengan orang lain
b. Respon Maladaptif
Menurut Sutejo (2017) respon maladaptif adalah respon yang menyimpang dari norma sosial dan
kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respon maladaptif:
1. Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi pada diri sendiri.
2. Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subjek yang tidak dapat
diduga, tidak dapat dipercaya dan tidak mampu melakukan penilaian secara
objektif.
3. Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh, dan mudah marah.
2.1.4 Pohon Masalah Isolasi Sosial
Daftar masalah isolasi sosial menurut Sutejo, 2017 adalah:
9

1. Resiko Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi


2. Isolasi Sosial
3. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
Resiko Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
ISOLASI SOSIAL
(effect)
(core problem)
Gangguan konsep diri: Harga diri rendah (causa) Skema 2.2 Pohon Masalah Diagnosa Isolasi Sosial
(Sumber: Sutejo, 2017)
2.1.5 Manifestasi Klinis
Menurut Yosep (2009)tanda dan gejala klien isolasi sosial bisa dilihat dari dua cara yaitu secara
objektif dan subjektif. Berikut ini tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial:
a. Gejala subjektif
1. Klienmenceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
2. Klienmerasa tidak aman berada dengan orang lain.
3. Respons verbal kurang dan sangat singkat.
4. Klienmengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
5. Klienmerasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
6. Klientidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
7. Klienmerasa tidak berguna.
b. Gejala objektif
1. Klienbanyak diam dan tidak mau bicara.
2. Tidak mengikuti kegiatan.
3. Klienberdiam diri di kamar.
10

4. Klienmenyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.


5. Klientampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
6. Kontak mata kurang.
7. Kurang spontan.
8. Apatis
9. Ekspresi wajah kurang berseri.
10. Mengisolasi diri
11. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
12. Aktivitas menurun.
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah, segera timbul perasaan
malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan
menyebabkan perubahan persepsi sensori: halusinasi dan resiko mencederai diri, orang lain, bahkan
lingkungan (Herman Ade, 2011).
2.1.6 Mekanisme Koping
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu
kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme koping yang sering digunakan adalah proyeksi,
splitting (memisah) dan isolasi. Proyeksi merupakan keinginan yang tidak mampu ditoleransi dan
klien mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan sendiri. Splitting merupakan
kegagalan individu dalam menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk. Sementara itu,
isolasi adalah perilaku mengasingkan diri dari orang lain maupun lingkungan (Sutejo, 2017).
2.1.7 Komplikasi
11

Kliendengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu primitif
antara lain pembicaraan yang austistik dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan,
sehingga berakibat lanjut menjadi resiko gangguan sensosi persepsi: halusinasi, mencederai diri
sendri, orang lain serta lingkungan dan penurunan aktifitas sehingga dapat menyebabkan defisit
perawatan diri (Damaiyanti, 2012)
2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dapat diberikan kepada kliendengan isolasi sosial antara lain pendekatan
farmakologi, psikososial, terapi aktivitas, terapi okupasi, rehabilitasi, dan program intervensi
keluarga (Yusuf, 2019).
1. Terapi Farmakologi
1. Chlorpromazine (CPZ)
Indikasi: Untuk Syndrome Psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai realitas,
kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial dan titik diri terganggu. Berdaya berat dalam
fungsi-fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau tidak
terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari- hari, tidak mampu bekerja, hubungan
sosial dan melakukan kegiatan rutin.
Efek samping: sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/ parasimpatik, mulut kering,
kesulitan dalam miksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung), gangguan endokrin, metabolik, biasanya untuk pemakaian jangka panjang.
2. Haloperidol (HLP)
Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi netral serta
dalam kehidupan sehari-hari. Efek samping: Sedasi dan inhibisi prikomotor, gangguan otonomik.
12

3. Trihexy Phenidyl (THP)


Indikasi: Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk paksa ersepalitis dan idiopatik,
sindrom Parkinson, akibat obat misalnya reserpine dan fenotiazine. Efek samping: Sedasi dan inhibisi
psikomotor gangguan otonomik.
2. Terapi Psikososial
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting dalam proses
terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan
lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa adanya, memotivasi pasien untuk
dapat mengungkapkan perasaannya secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien
(Videbeck, 2012).
3. Terapi Individu
Terapi individual adalah metode yang menimbulkan perubahan pada individu dengan
cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilaku-perilakunya. Terapi ini meliputi hubungan
satu-satu antara ahli terapi dan klien(Videbeck, 2012). Terapi individu juga merupakan salah satu
bentuk terapi yang dilakukan secara individu oleh perawat kepada kliensecara tatap muka perawat-
klien dengan cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai (Zakiyah, 2018).
Salah satu bentuk terapi individu yang bisa diberikan oleh perawat kepada klien dengan isolasi sosial
adalah pemberian strategi pelasanaan (SP). Dalam pemberian strategi pelaksanaan klien dengan
isolasi sosial hal yang paling penting perawat lakukan adalah berkomunikasi dengan teknik
terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah suatu interaksi interpersonal antara perawat dank klien,
yang selama interaksi berlangsung, perawat berfokus
13

pada kebutuhan khusus klien untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif antara perawat
dan Klien (Videbeck, 2012).
Semakin baik komunikasi perawat, maka semakin bekualitas pula asuhan keperawatan yang
diberikan kepadaklien karena komunikasi yang baik dapat membina hubungan saling percaya antara
perawat dengan klien, perawat yang memiliki keterampilan dalam berkomunikasi secara terapeutik
tidak saja mudah menjalin hubungan saling percaya dengan klien, tapi juga dapat menumbuhkan
sikap empati dan caring, mencegah terjadi masalah lainnya, memberikan kepuasan profesional
dalam pelayanan keperawatan serta memudahan dalam mencapai tujuan intevensi keperawatan
(Sarfika, 2018).
4. Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Keliat (2015) terapi aktivitas kelompok sosialisasi merupakan suatu rangkaian
kegiatan kelompok dimana klien dengan masalah isolasi sosial akan dibantu untuk melakukan
sosialisasi dengan individu yang ada di sekitarnya. Sosialissai dapat pula dilakukan secara bertahap
dari interpersonal, kelompok, dan massa). Aktivitas yang dilakukan berupa latihan sosialisasi dalam
kelompok, dan akan dilakukan dalam 7 sesi
dengan Sesi 1 Sesi 2 Sesi 3 Sesi 4 Sesi 5 Sesi 6 Sesi 7
tujuan:
: Klien mampu memperkenalkan diri
: Klienmampu berkenalan dengan anggota kelompok
:Klienmampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok
: Klienmampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan
: Klienmampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain : Klienmampu
bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok
: Klienmampu menyampaikan pendapat tentang mamfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan.
14

5. Terapi Okupasi
Terapi okupasi yaitu Suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktifitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk memperbaiki,
memperkuat, meningkatkan harga diri seseorang, dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Contoh
terapi okupasi yang dapat dilakukan di rumah sakit adalah terapi berkebun, kelas bernyanyi, dan
terapi membuat kerajinan tangan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien dalam
keterampilan dan bersosialisasi (Elisia, 2014).
6. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga banyak manfaat.
Misalnya angkat rawat inap pada klien skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaaan lebih
rendah bila dibandingan dengan mereka yang tidak mengikutinya (Dadang, 1999 dalam Yosep 2009).
Menurut Zakiah Darajat, perasaan berdosa merupakan faktor penyebab gangguan jiwa yang
berkaitan dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini diakibatkan karena seseorang merasa
melakukan dosa tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut (Yosep, 2009).
Penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit jiwa menurut Yosep (2009) meliputi:
a. Perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang agamanya/ kolaborasi
dengan agamawan atau rohaniawan.
b. Psikoreligius tidak diarahkan untuk mengubah agama Kliennya tetapi menggali sumber
koping.
c. Memadukan milieu therapy yang religius; kaligrafi, ayat-ayat, fasilitas ibadah, buku-
buku, music/lagu keagamaan.
d.Dalam terapi aktifitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama untuk pasien
rehabilitasi.
15

e. Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat hidup didunia, dan sebagainya.
Untuk klien dengan isolasi sosial terapi psikoreligius dapat bermanfaat dari aspek auto- sugesti yang
dimana dalam setiap kegiatan religius seperti sholat, dzkir, dan berdoa berisi ucapan-ucapan baik
yang dapat memberi sugesti positif kepada diri klien sehingga muncul rasa tenang dan yakin
terhadap diri sendiri (Thoules, 1992 dalam Yosep, 2010). Menurut Djamaludin Ancok (1989) dan
Ustman Najati (1985) dalam Yosep (2009) aspek kebersamaan dalam shalat berjamaah juga
mempunyai nilai terapeutik, dapat menghindarkan seseorang dari rasa terisolir, terpencil dan tidak
diterima.
7. Rehabilitasi
Program rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain rumah sakit yang dikhususkan
untuk rehabilitasi. Terdapat banyak kegiatan, antaranya terapi okupasional yang meliputi kegiatan
membuat kerajinan tangan, melukis, menyanyi, dan lain-lain. Pada umumnya program rehabilitasi ini
berlangsung 3-6 bulan (Yusuf, 2019).
8. Program Intervensi Keluarga
Intervensi keluarga memiliki banyak variasi, namun pada umumnya intervensi yang
dilakukan difokuskan pada aspek praktis dari kehidupan sehari-hari, memberikan pendidikan
kesehatan pada keluarga tentang isolasi sosial, mengajarkan bagaimana cara berhubungan yang baik
kepada anggota keluarga yang memiliki masalah kejiwaan (Yusuf, 2019).

Anda mungkin juga menyukai