Anda di halaman 1dari 8

Nama : Dionisius Christensen Hala

NIM : 200102007
Mata Kuliah : Konsili Vatikan II
UAS Konsili Vatikan II
FOMO Syndrome di kalangan Orang Muda Katolik
Pengantar
Zaman dahulu orang-orang masih mengabadikan setiap momen lewat kamera lalu
dicetak untuk dipasang menjadi bingkai foto atau sekedar memasukkannya kedalam album
foto. Zaman sekarang orang-orang terutama anak muda memiliki kemudahan untuk
mengabadikan setiap momen yang mereka alami di media sosial. Setiap momen yang
diabadikan mereka masukan berupa story berupa foto atau video. Setiap momen yang
diupload memiliki keuntungan bagi setiap orang karena di tahun-tahun berikutnya atau kelak
jika sudah tua setiap orang dapat bernostalgia dengan melihat kembali foto atau video yang
mereka unggah dulu di media sosial. Munculnya media sosial memiliki pengaruh yang sangat
baik bagi generasi ini karena kita dapat saling mengetahui kegiatan setiap orang tanpa harus
bertanya “kamu lagi apa?, kamu lagi dimana, kamu lagi makan apa?” kepada setiap orang,
karena hampir semua orang selalu mengabadikan setiap momen yang mereka lakukan, entah
itu kegiatan yang dilakukan, sedang berada dimana, atau sedang makan dan minum apa.
Media sosial pun sudah menjalankan fungsi utamanya yaitu membuat setiap orang dapat
terhubung dengan mudah.
Media sosial sangat memainkan peran yang sangat penting dalam perubahan mental
dan sikap setiap pribadi. Media internet maupun media sosial keduanya bisa memberikan
pengaruh yang positif maupun negatif bagi setiap orang. Pengaruh yang positif salah satunya
adalah setiap orang dapat saling terhubung tanpa khawatir dengan jarak lagi, sementara
pengaruh negatif salah satunya yang paling meresahkan dan berkembang pesat hingga saat ini
adalah mudahnya orang-orang mengakses situs-situs pornografi, judi online. Hal negatif
lainnya yang sudah menjadi penyakit adalah Fear of Missing Out atau istilah gaulnya adalah
FOMO Syndrome atau kecemasan disaat tidak mengabadikan momen ke media sosial. Baik
internet maupun media sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan sikap setiap
orang yang menggunakannya, terutama orang muda Katolik yang menggunakan media
tersebut. Rumusan yang penulis gunakan adalah bagaimana FOMO Syndrome dianalisis
berdasarkan ilmu Psikologi, bagaimana terang Konsili Vatikan II terhadap FOMO Syndrome,
Bagaimana Paus Fransiskus secara tidak langsung menanggapi FOMO Syndrome. Dalam
tulisan ini penulis menggunakan sumber utama salah satu dekrit dari Konsili Vatikan kedua
yaitu Dekrit tentang upaya-upaya komunikasi sosial atau Inter Mirifica serta beberapa
sumber lainnya.
Analisis FOMO Syndrome Berdasarkan Ilmu Psikologi
Pada tahun 1969 menjadi titik awal lahirnya internet yang dimulai oleh para peneliti
di Universitas California di Los Angeles1. Sejak saat itu internet pun semakin berkembang.
Pada tahun 2000 menjadi titik awal dari kemunculan media sosial hingga pada tahun 2003
Mark Zuckerberg menciptakan Facebook yang merupakan salah satu media sosial terbesar di
dunia2. Setelah muncul Facebook beberapa tahun kemudian muncul berbagai macam media
sosial seperti Twitter, Instagram, Ask.fm, Youtube, Whatsapp, serta yang paling terkenal
sekarang adalah Tiktok. Media sosial ini sudah menyatu dengan kehidupan setiap orang.
Dalam setiap kegiatan yang dilakukan, orang-orang menggunakan media sosial sebagai alat
untuk membagikan kesehariannya baik kepada keluarga, teman maupun kenalan.
Media sosial dewasa ini sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat terutama orang-
orang muda. Media sosial membuat orang mudah untuk sekedar mengakses informasi,
berselancar didunia maya, dan hiburan, namun bagaimana jika sosial media membuat
seseorang menjadi kecanduan. Salah satu penyakit kecanduan yang sedang mewabah di
kalangan anak muda saat ini adalah FOMO Syndrome. Media sosial bagi beberapa orang bisa
dikatakan sebagai sebuah narkoba yang sangat susah dilepaskan dari rasa candunya.
Pemerintah Jepang memperkirakan sekitar 518.000 anak-anak pada tahun 2013 di Jepang
berusia 12 dan 18 tahun mengalami kecanduan internet, dan mereka harus direhabilitasi.
Pemerintah Jepang khawatir jika adanya dampak ini dapat membatasi perkembangan
mereka3. Di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan oleh APJII atau Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, dikatakan bahwa pengguna media sosial dengan
intensitas tertinggi ialah mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi sehingga salah
satu populasi yang memenuhi kriteria tersebut adalah mahasiswa/i atau kaum muda 4.
Generasi milenial merupakan generasi yang lahir ditandai oleh peningkatan penggunaan
media komunikasi dan teknologi digital. Anak kecil sudah terbiasa menonton lewat Youtube
1 “Mengenal Sejarah Internet”
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190312125646-185-376484/mengenal-sejarah-internet (diakses
pada 30 November 2021, pukul 07.57)
2 “Mengenal Sejarah Internet”
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190312125646-185-376484/mengenal-sejarah-internet (diakses
pada 30 November 2021, pukul 08.02)
3 Silvia Fardila Soliha. “Tingkat Ketergantungan Pengguna Media Sosial dan Kecemasan Sosial”. Jurnal
Interaksi, Vol 4 No.1, Januari 2015. Hal 2.
4 Silvia Fardila Soliha. “Tingkat Ketergantungan Pengguna Media Sosial dan Kecemasan Sosial”. Jurnal
Interaksi, Vol 4 No.1, Januari 2015. Hal 2.
dan bermain game. Dari perspektif ilmu Psikologi seorang anak ini dikatakan kecanduan zat
psikotropika5, hal-hal ini yang mendorong kecenderungan seseorang memiliki pola hidup
yang tak bisa lepas dari namanya media komunikasi maupun media sosial. Pola hidup yang
sudah terbentuk dari kecil hingga remaja serta kecanduan zat psikotropika inilah yang
membuat seseorang terkena yang namanya FOMO Syndrome. FOMO Syndrome adalah
kondisi dimana orang menjadi gampang merasa cemas, dan akan terus menerus kepikiran jika
mereka tahu bahwa mereka melewatkan sebuah berita yang sedang terjadi, serta tidak
mengupdate momen-momen keseharian mereka pada media sosial6. Seorang Profesor dari
Universitas Oxford yang bernama Andrew K. Przybylski menemukan fakta bahwa tingkat
tertinggi FOMO dialami oleh remaja dan umur dewasa awal, rendahnya kepuasan dalam
hidup mendorong FOMO yang tinggi disebabkan karena terlalu sering mengakses internet
maupun media sosial7. Setelah mengetahui FOMO Syndrome dengan menggunakan analisis
ilmu psikologi, selanjutnya akan dijelaskan bagaimana Konsili Vatikan II menanggapi
FOMO Syndrome.
Terang Konsili Vatikan II Terhadap FOMO Syndrome
Pada tanggal 4 Desember 1963 Konsili Vatikan II sebuah dokumen bernama Inter
Mirifica disahkan dan dipromulgasikan bersama dengan dokumen Sacrosanctum Concilium.
Inter Mirifica merupakan dekrit tentang upaya-upaya komunikasi sosial. Berkaitan dengan
FOMO Syndrome, Konsili Vatikan II melalui Inter Mirifica memberikan terangnya sebagai
berikut :
1. Pada poin ke 2 bab Pendahuluan dikatakan bahwa “............Gereja menyadari pula
bahwa manusia dapat menyalahgunakan media itu melawan Sang Pencipta Ilahi
dan memutar balikannya sehingga mengakibatkan kebinasaan.”8 Kalimat ini ingin
menjelaskan bahwa secara tidak langsung Gereja tidak ingin media sosial menjadi
boomerang bagi penggunanya. Gereja tidak ingin media sosial yang awalnya
memiliki tujuan yang baik malah mengakibatkan kesengsaraan bagi manusia karena
kecanduan. Masalah kecanduan ini pun disinggung melalui bab pendahuluan

5 Lira Aisafitri dan Kiayati Yusriyah. “Kecanduan Media Sosial (FOMO) Pada Generasi Milenial. Jurnal
Audience Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol 04 No.01 Tahun 2021. Hal. 88.
6 Lira Aisafitri dan Kiayati Yusriyah. “Kecanduan Media Sosial (FOMO) Pada Generasi Milenial. Jurnal
Audience Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol 04 No.01 Tahun 2021. Hal. 88.
7 Inter Mirifica Art.2.
8 Inter Mirifica Art.2.
“Bahkan, hatinya yang penuh keibuan merasa cemas dan sedih
menyaksikan betapa besarlah kerugian yang sering kali ditimbulkan bagi
masyarakat karena penyalahgunaannya.”9
2. Pada bab 1 Inter Mirifica menjelaskan mengenai penggunaan media sosial secara
tepat. Gereja ingin setiap orang muda menggunakan media sosial untuk dimanfaatkan
dalam hal-hal yang positif, seperti dikatakan bahwa
“Terutama termasuk panggilan kaum awam untuk menjiwai media
komunikasi itu dengan semangat manusiawi dan Kristen supaya
menanggapi sepenuhnya harapan besar masyarakat dan maksud Allah.”10
Pada Art 4 mengenai hukum moral Gereja ingin setiap orang terutama kaum muda
untuk menentukan sikap dalam membina suara hatinya sendiri tentang pemakaian
media sosial “sungguh perlulah bahwa siapa saja yang berkepentingan, dengan
cermat membina suara hatinya sendiri tentang pemakaian media itu”11. Melalui Inter
Mirifica juga Gereja melalui konsili mengingatkan bahwa media sosial ini dapat
mengubah kadar moral seseorang sehingga perlu diperhatikan lagi fungsi dari media
sosial ini, lalu daya pengaruhnya, jika dirasa tidak siap untuk menerima pengaruhnya
yang besar diharapkan kita bisa mengendalikannya atau bisa menolaknya, hal itu
dapat dilihat dari
“Sebuah konteks itu dapat mengubah kadar moralnya, bahkan
mengubahnya sama sekali. Antara lain perlu diperhatikan cara berfungsi
yang khas bagi masing-masing medium; begitu pula daya pengaruhnya,
yang dapat sedemikian besar sehingga orang-orang, terutama kalau tidak
siap, cukup menyadarinya, mengendalikannya, dan bila perlu
menolaknya.”12
3. Pada bab satu artikel 9 terdapat kewajiban-kewajiban para pemakai media komunikasi
sosial. Dikatakan bahwa kewajiban ini mengikat seluruh pengguna media sosial
terutama orang muda Katolik agar mereka mendukung hal-hal yang baik dalam
penggunaan media sosial. Gereja mengajak untuk setiap pribadi menghindari segala
hal yang membuat seseorang mengalami kerugian rohani atau juga menyebabkan hal
yang buruk bagi penggunanya.

9 Inter Mirifica Art.3.


10 Inter Mirifica Art.4.
11 Inter Mirifica Art.4.
12 “Paus Fransiskus Beri Pesan Terhadap Pengguna Media Sosial”
https://www.idntimes.com/news/world/christ-bastian-waruwu/paus-fransiskus-beri-pesan-terhadap-para-
pengguna-sosial-media-c1c2/1 (diakses pada 07 Desember 2021, pukul 22.49)
“Sebaliknya, hendaklah mereka menghindari apa saja yang bagi diri
mereka sendiri menyebabkan atau memungkinakn timbulnya kerugian
rohani, atau yang dapat membahayakan sesama karena contoh yang buruk”
Kecanduan media sosial merupakan hal yang buruk karena dapat membuat seseorang
mengalami kerugian rohani. FOMO Syndrome merupakan penyakit yang dapat dikatakan
menjauhkan seseorang terutama orang muda Katolik dari kegiatan rohaninya. Dikarenakan
sudah kecanduan sosial media seseorang lebih fokus untuk mengabadikan momen-momen
saat sedang berdoa bersama atau saat sedang misa. FOMO Syndrome membuat orang muda
katolik yang datang pergi misa hanya untuk mengabadikan momen dan memasukkannya ke
media sosial dan memberitahu bahwa ia sedang misa dan lupa tujuan awal datang ke Gereja
adalah untuk bertemu Tuhan. Ada orang yang mengikuti setiap kegiatan orang muda Katolik
seperti doa rosario bersama atau acara-acara komunitas Katolik lainnya hanya agar tidak
kehilangan momen agar selalu update sehingga lupa untuk memaknai kegiatan-kegiatan
rohani tersebut, hal inilah yang menyebabkan FOMO Syndrome membuat seseorang
mengalami kerugian rohani.
Pendalaman Pesan Paus Fransiskus yang Menyinggung FOMO Syndrome
Pada beberapa kesempatan dalam kunjungannya Paus Fransiskus memberikan pesan
mengenai para pengguna media sosial. Pesan pertama adalah bahwa Media Sosial mengubah
kaum muda menjadi “pertapa” hal ini disampaikan saat Paus Fransiskus melakukan
kunjungan resmi ke Panama, pada hari Kamis tanggal 24 Januari 2019 yang merupakan hari
Komunikasi Nasional Sedunia13. "Ada fenomena berbahaya dari anak-anak muda menjadi
'pertapa sosial' yang berisiko mengasingkan diri sepenuhnya dari masyarakat," ungkap
pernyataan dari Paus Fransiskus seperti yang dikutip dari Dailymail.co.uk14. Paus Fransiskus
melihat bahwa kecanduan sosial media yang berlebihan membuat kita seperti pertama yang
mengasingkan diri dari dunia luar. FOMO Syndrome salah satunya membuat seseorang
terasing dari dunia nyata. Penderita FOMO Syndrome cenderung berfokus pada dirinya yang
berada di sosial media sehingga melupakan realitas. Setiap momen yang dilalui ia lupa cara
menikmatinya, yang ia tahu hanyalah bagaimana ia dapat mengabadikan momen tersebut
agar tetap update selalu. Paus Fransiskus juga memperingatkan bahwa sementara internet

13 “Paus Fransiskus Beri Pesan Terhadap Pengguna Media Sosial”


https://www.idntimes.com/news/world/christ-bastian-waruwu/paus-fransiskus-beri-pesan-terhadap-para-
pengguna-sosial-media-c1c2/1 (diakses pada 07 Desember 2021, pukul 22.52)

14 “Paus Fransiskus Beri Pesan Terhadap Pengguna Media Sosial”


https://www.idntimes.com/news/world/christ-bastian-waruwu/paus-fransiskus-beri-pesan-terhadap-para-
pengguna-sosial-media-c1c2/1 (diakses pada 07 Desember 2021, pukul 22.57)
memberikan kesempatan untuk terhubung dengan orang lain dan orang-orang muda mungkin
akan tertipu untuk berpikir bahwa web dapat sepenuhnya memenuhi semua kebutuhan
relasional mereka15.
Selain itu Paus Fransiskus juga memberikan pidato di Athena, Yunani. Pada tanggal
06-12-2021 Paus Fransiskus mengakhiri kunjungannya ke Yunani dengan mengadakan
pertemuan dengan kaum muda Katolik di Sekolah Saint Dionysius di ibu kota Athena 16. Pada
pidatonya Paus Fransiskus tidak secara langsung menyinggung mengenai FOMO Syndrome
akan tetapi ia mengatakan agar kaum mudah fokus untuk mengejar impian dan tidak tergoda
oleh konsumerisme atau menjadi terobsesi dengan penampilan. Paus Fransiskus mengatakan
bahwa “Sadarilah bahwa nilaimu terletak pada siapa dirimu dan bukan pada apa yang kau
miliki, nilaimu bukanlah pada merek pakaian atau sepatu yang kamu kenakan, tetapi pada
keunikanmu”17.
FOMO Syndrome mengakibatkan seseorang ingin selalu update bahkan jika ia
membeli baju, sepatu, atau aksesoris yang baru ia harus mempostingnya terlebih dahulu di
media sosial sebelum digunakan, sehingga secara tidak langsung melalui pidatonya Paus
Fransiskus mengajak seluruh kaum muda Katolik di dunia untuk menyadari nilai dari dirinya
bukanlah dari apa yang ia tunjukan baik itu momen atau barangnya melainkan dari keunikan
kita sendiri. Paus Fransiskus pun mendesak agar Kaum Muda katolik menghabiskan lebih
sedikit waktu di media sosial dan mencoba keluar dari zona nyaman. Maksud dari pesan Paus
Fransiskus agar mencoba dari keluar dari zona nyaman adalah mencoba melakukan segala
kegiatan tanpa harus mempostingnya di media sosial, mencoba menikmati hidup dengan diri
sendiri tanpa harus orang lain tahu bahwa saya sedang makan, mau tidur, punya sepatu baru,
punya gadget baru, sedang melakukan ini dan itu. Paus Fransiskus ingin agar setiap kaum
muda membebaskan kaum muda dari belenggu terhadap keharusan untuk update setiap saat
di media sosial.

Penutup

15 “Paus Peringatkan Penggunaan Media Sosial Berlebihan” https://www.voaindonesia.com/a/paus-


peringatkan-penggunaan-media-sosial-berlebihan/6341895.html (diakses pada 07 Desember 2021, pukul 23.08)
16 “Paus Peringatkan Penggunaan Media Sosial Berlebihan” https://www.voaindonesia.com/a/paus-
peringatkan-penggunaan-media-sosial-berlebihan/6341895.html (diakses pada 07 Desember 2021, pukul 23.12)
17 Larasati Aurora Arifin dan Farid Agung Rahmadi. “Hubungan Tingkat Kecanduan Gadget Dengan Prestasi
Belajar Siswa Usia 10-11 Tahun”. Jurnal Kedokteran Diponegoro, Volume 6, Nomor 2, April 2017. Hal 730.
Pada penjelasan awal kita sudah mengetahui bahwa zaman sekarang orang tidak bisa
lepas dari yang namanya media komunikasi, internet, terutama media sosial. Hal ini akhirnya
menimbulkan penyakit bagi banyak anak muda yaitu FOMO Syndrome. Seperti yang telah
diketahui bahwa FOMO Syndrome menyebabkan seseorang menjadi gelisah karena tidak
dapat update di media sosial. Penyakit ini membuat orang muda Katolik akhirnya menjadi
jauh dengan kehidupan menggereja serta Tuhan. Alasan FOMO Syndrome menjauhkan kaum
muda dari kehidupan menggereja serta Tuhan adalah karena yang menjadi utama dalam diri
mereka bukanlah seperti fokus misa lagi, dalam misa atau kegiatan rohaniah lainnya
seseorang akan cenderung mengecek hp demi mendapatkan kabar terbaru, entah itu saat misa
maupun kegiatan lainnya. Hal ini lah yang menghilangkan makna dan nilai dari ekaristi
tersebut karena tubuh kita hadir di Gereja namun hati kita tidak sepenuhnya untuk Tuhan
melainkan untuk media sosial. Konsili Vatikan II melalui dokumen Inter Mirifica
memberikan terang bagi orang-orang yang terkena FOMO Syndrome dengan melihat
bagaimana seharusnya media komunikasi terutama media sosial dilihat tujuannya serta
manfaatnya untuk hal-hal yang positif, serta bagaimana juga hukum moral Gereja ingin
supaya setiap kaum muda bisa menentukan suara hatinya sehingga dapat menggunakan media
sosial dengan bijak. Selain itu Paus Fransiskus dalam beberapa kunjungannya di beberapa
negara dalam memperingati hari komunikasi sedunia mengungkapkan pesan-pesan dalam
pidatonya terhadap kaum muda yang dalam tanda kutip sudah kecanduan media sosial dengan
memberikan beberapa saran agar terlepas dari belenggu media sosial.
Apapun penyakit kecanduan yang dialami oleh kaum muda, semuanya kembali lagi
pada kesadaran diri kita masing-masing. Mulai dari bagaimana kita mencari kegiatan-kegiatan
positif untuk menghilangkan rasa candu tersebut atau mungkin menahan diri dalam rasa
candu tersebut. Semua kembali pada kontrol diri masing-masing dengan juga bantuan dari
sesama baik kenalan, teman maupun keluarga. Kita sebagai pribadi yang menerima ajaran
cinta kasih dari Yesus harus dengan rela dan rendah hati peduli terhadap sesama kita yang
terkena kecanduan ini atau salah satunya adalah FOMO Syndrome. Setiap orang dapat saling
mengingatkan agar terlepas dari kemungkinan-kemungkinan negatif yang dapat ditimbulkan
dari FOMO Syndrome. Seperti yang pernah dikutip dari Inter Mirifica Art 9 yang mengatakan
bahwa hendaklah mereka menghindari apa saja yang bagi diri mereka sendiri menyebabkan
atau memungkinakn timbulnya kerugian rohani, atau yang dapat membahayakan sesama
karena contoh yang buruk.
Daftar Pustaka
Soliha,Silvia Fardila. Tingkat Ketergantungan Pengguna Media Sosial dan Kecemasan
Sosial. Jurnal Interaksi, Vol 4 No.1, Januari 2015.
Arifin, Larasati Aurora dan Rahmadi, Farid Agung. Hubungan Tingkat Kecanduan Gadget
Dengan Prestasi Belajar Siswa Usia 10-11 Tahun. Jurnal Kedokteran Diponegoro,
Volume 6, Nomor 2, April 2017.
Aisafitri, Lira dan Yusriyah, Kiayati. Kecanduan Media Sosial (FOMO) Pada Generasi
Milenial. Jurnal Audience Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol 04 No.01 Tahun 2021.
Dokumen Konsili Vatikan II. Inter Mirifica. Terj. R. Hardawiryana. Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003.

Anda mungkin juga menyukai