Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENGEMBANGAN DIRI

BIMBINGAN TEKNIS (BIMTEK)


PROGRAM GURU BELAJAR DAN BERBAGI
SERI PENDIDIKAN INKLUSIF

Diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan Kebudayaan


Riset dan Teknologi

Dalam Jaringan:
Tanggal 27 Mei – 03 Juni 2021

 Disusun Oleh :
MARIA IMELDA SEUK BRIA, S.Pd
NIP. 198704072009042002

 PEMERINTAH KABUPATEN BELU


DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SMP NEGERI 2 ATAMBUA
TAHUN 2021
IDENTITAS DIRI

1. Nama Sekolah : SMP NEGERI 2 ATAMBUA

2. Nama Guru : Maria Imelda Seuk Bria S.Pd.

3. NIP : 198704072009042002

4. NRG : -

5. NUPTK : 2739-7656-6521-0022

6. Sertifikat Pendidik : 1211709700897

7. Pangkat/Jabatan/Golongan : Penata/Guru Muda, III/c

8. Alamat Instansi :

 Alamat Sekolah : : Jl. Loro Lamaknen

 Kelurahan/Kecamatan : Manuaman/ Atambua Selatan

 Kabupaten, Provinsi : Belu

 Provinsi : Nusa Tenggara Timur

 Telpon/Fax : 082237902447

 Email : misseinstein08@gmail.com

9. Mengajar Guru Kelas/Mapel : Guru Mata Pelajaran IPA


LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN PENGEMBANGAN DIRI

BIMBINGAN TEKNIS (BIMTEK)


PROGRAM GURU BELAJAR DAN BERBAGI
SERI PENDIDIKAN INKLUSIF

Disusun Oleh :

MARIA IMELDA SEUK BRIA, S.Pd.


NIP. 198704072009042002

Telah Disetujui Oleh :


KEPALA SMP NEGERI 2 ATAMBUA

DRS. PHILIPUS NAHAK


NIP. 196412311995121027
PELAKSANAAN KEGIATAN
“Bimbingan Teknis Program Guru Belajar dan Berbagi Seri Pendidikan Inklusif”

A. PENDAHULUAN
Program Guru Belajar seri Pendidikan Inklusif oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus merupakan
kegiatan dirancang untuk menjawab tantangan guru-guru di sekolah penyelenggara pendidikan inklusi agar mereka mampu melayani keragaman peserta didik di
kelasnya masing-masing. Program ini dilaksanakan melalui tiga tahapan kegiatan yaitu Bimbingan Teknis (Bimtek), Pelatihan, dan Pengimbasan.
Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan pengetahuan guru tentang konsep keberagaman peserta didik, konsep dasar pendidikan inklusif dan sistem
layanan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Selain itu juga meningkatkan dan memberikan pengalaman langsung kepada guru untuk melakukan
identifikasi, menyusun asesmen dan planning matrix, serta membuat program pembelajaran individual (PPI).Memberikan pengalaman kepada guru dalam mengikuti
kegiatan bimtek dan diklat secara daring.

B. ALASAN MENGIKUTI BIMTEK


1. Surat Undangan/Brosur Bimtek dari Dirjen GTK Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
2. Surat Tugas dari Kepala Sekolah
3. Mengetahui bagaimana Menerapkan Pendidikan Inklusif di sekolah
4. Dapat mengupayakan Pendidikan Inklusif dapat dilaksanakan di Sekolah.
5. Meningkatkan profesionalisme sebagai guru.

C. PELAKSANA BIMTEK
Bimbingan Teknis Program Guru Belajar dan Berbagi Seri Pendidikan Inklusif dilaksanakan oleh Dirjen GTK Kementrian Penidikan dan Kebudayaan.
D. TEMPAT DAN WAKTU
Kegiatan Bimbingan Teknis Program Guru Belajar dan Berbagi Seri Pendidikan Inklusif dilaksanakan tanggal 27 Mei - 03 Juni 2021 , bertempat di
https://gurubelajar.kemdikbud.go.id/

E. TUJUAN BIMTEK

Tujuan dilaksanakannya Bimbingan Teknis Program Guru Belajar dan Berbagi Seri Pendidikan Inklusif adalah untuk :
1. Mendapat pemahaman tentang latar belakang, tujuan umum, penyesuaian kebijakan, pengantar program, dan struktur program Guru Belajar Seri Pendidikan
Inklusif
2. Mendapat pemahaman tentang Konsep Keberagaman Peserta Didik, Jenis Hambatan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dan Kebutuhan Pembelajaran Peserta
Didik Berkebutuhan Khusus
3. Mendapat pemahaman tentang hakikat pendidikan inklusif, Sekolah Ramah Anak (SRA), dan Mekanisme Layanan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
4. Mendapat pemahaman tentang identifikasi, asesmen, dan program pembelajaran individual (PPI)

F. MATERI DALAM BIMTEK


Materi pokok yang disajikan Bimbingan Teknis Program Guru Belajar dan Berbagi Seri Pendidikan Inklusif adalah sebagai berikut: Keberagaman Peserta Didik,
Jenis Hambatan PDBK, Kebutuhan Pembelajaran PDBK, Hakikat Pendidikan Inklusif, Sekolah Ramah Anak, Mekanisme Layanan PDBK, Konsep Dasar Identifikasi,
Konsep Dasar Asasmen dan Planning Matrix, Akomodasi Kurikulum, Program Pembelajaran Individu (PPI).
Adapun Ringkasan materi pokok di atas adalah sebagai berikut
1. Keberagaman Peserta Didik
a. Pengertian Keberagaman Peserta Didik
Keberagaman peserta didik di kelas inklusif memiliki karakteristik tersendiri, baik pada peserta didik reguler maupun pada peserta didik berkebutuhan
khusus (PDBK). Keberadaan PDBK dipayungi Undang Undang Dasar 1945 pasal 31, ayat 1 mengamanatkan bahwa; “Setiap warga Negara berhak
mendapatkan pendidikan” dan ayat 2; “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. Dengan demikian,
peserta didik dalam kelas walaupun berbeda keyakinan, fisik, gender, latar belakang keluarga, harapan, kemampuan, kelebihan peserta didik memiliki hak
untuk belajar.
b. Indikator Kualitas Hidup Peserta Didik
Ada empat indikator kualitas hidup bagi setaip peserta didik, yakni sebagai berikut:
1) To Live, setiap peserta didik di sekolah inklusif memilki hak untuk hidup mengembangkan potensi dirinya, tanpa harus terhalangi atau dibatasi oleh kondisi
hambatan yang dimilikinya.
2) To Love, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus merasa terlindungi, mengikuti kegiatan pembelajaran dan aktivitas sekolah lainnya secara ramah,
nyaman dan tidak dibiarkan mendapat bully dari peserta didik lainnya.
3) To Play, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus memperooleh kesempatan yang sama untuk mengikuti aktivitas belajar secara aktif dan bermain di
sekolah, seperti dalam diskusi kelompok, kegiatan ekstrakurikuler, dan perlombaan yang diadakan sekolah.
4) To Work, setiap peserta dididk di sekolah inklusif memperoleh hak yang sama untuk mengembangkan dirinya dalam upaya mengembangkan potensi dirinya
untuk nantinya menjadi individu yang mandiri dalam memasuki dunia kerja.
2. Jenis Hambatan PDBK
a. Anak Berkebutuhan Khusus dengan Hambatan Sensorik
1) Anak dengan Hambatan Penglihatan (Tunanetra)
2) Anak dengan Hambatan Pendengaran (Tunarungu)
b. Anak dengan Hambatan Mental Kognitif
Anak dengan Hambatan Intelektual (Tunagrahita)
Pengelompokkan itu berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas dasar itu anak tungrahita dapat dikelompokkan.
1) Hambatan Intelektual
2) Hambatan Intelektual
3) Hambatan Intelektual Berat
c. Anak dengan Hambatan Fisik
Anak dengan Hambatan Anggota Gerak (Tunadaksa)
d. Anak dengan Hambatan Lainnya
1) Anak dengan Gangguan Perilaku dan Emosi
2) Anak Autis
3) Anak Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa
4) Kesulitan Belajar Spesifik (Disleksia, Diskalkulia, Disgrafia)

3. Kebutuhan Pembelajaran PDBK


a. Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Sensorik
1) Anak dengan Hambatan Penglihatan (Tunanetra)
Layanan khusus dalam pendidikan bagi anak dengan gangguan penglihatan yaitu dalam membaca menulis dan berhitung diperlukan huruf Braille
bagi yang hambatan penglihatan total. Bagi yang masih memiliki sisa penglihatan diperlukan kaca pembesar atau huruf cetak yang besar, media yang dapat
diraba dan didengar atau diperbesar. Di samping itu, diperlukan latihan Orientasi dan Mobilitas (OM) yang penerapannya bukan hanya di sekolah,
melainkan dapat diterapkan di lingkungan tempat tinggalnya.

2) Anak dengan Hambatan Pendengaran (Tunarungu)


Seperti sudah dikemukan sebelumnya, peserta didik yang mengalami hambatan pendengaran perlu Alat Bantu Dengar (ABD), tetapi walaupun telah
diberikan pertolongan dengan ABD, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena gangguan pendengaran berdampak pada aspek-
aspek di bawah ini.
(a) Aspek Motorik. Anak tunarungu yang tidak memiliki hambatan lain dapat mencapai tugas- tugas perkembangan motorik (early major motor
milestones), seperti duduk, merangkak, berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang mendengar (Preisler, 1995,
dalam Alimin, 2007). Namun demikian, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami hambatan pendengaran memiliki kesulitan
dalam hal kesimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang
kompleks.
(b) Aspek bicara dan Bahasa. Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling banyak dipengaruhi oleh peserta didik
hambatan pendengaran. Khususnya anak-anak yang mengalami hambatan pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi individu yang
congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat didengarnya meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar.
b. Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Mental Kognitif
1) Anak dengan Hambatan Intelektual (Tunagrahita)
Pendidikan bagi peserta didik anak mengalami hambatan intelektual seharusnya ditujukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara
optimal, agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka berada.
c. Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Fisik
1) Anak dengan Hambatan Gerak Anggota Tubuh (Tunadaksa)
Pendidikan bagi peserta didik anak mengalami hambatan intelektual seharusnya ditujukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara
optimal, agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka berada.
d. Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Lainnya
1) Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Perilaku dan Emosi.
Kebutuhan pembelajaran bagi anak hambatan perilaku dan emosi yang harus diperhatikan oleh guru antara lain adalah:
(a) Mengetahui strategi pencegahan dan intervensi bagi individu yang beresiko mengalami gangguan emosi dan perilaku.
(b) Menggunakan variasi teknik yang tidak kaku dan keras untuk mengontrol tingkah laku target dan menjaga atensi dalam pembelajaran.
(c) Menjaga rutinitas pembelajaran dengan konsisten, dan terampil dalam
problem solving dan mengatasi konflik.
(d) Merencanakan dan mengimplementasikan reinforcement secara individual dan modifikasi lingkungan dengan level yang sesuai dengan tingkat perilaku.
(e) Mengintegrasikan proses belajar mengajar (akademik), pendidikan afektif, dan manajemen perilaku baik secara individual maupun kelompok.
(f) Melakukan asesmen atas tingkah laku sosial yang sesuai dan problematik pada siswa secara individual.
(g) Perlu adanya penataan lingkungan yang kondusif (menyenangkan) bagi setiap anak.
(h) Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan hambatan dan masalah yang dihadapi oleh setiap anak.
(i) Adanya kegiatan yang bersifat kompensatoris sesuai dengan bakat dan minat anak.
(j) Perlu adanya pengembangan akhlak atau mental melalui kegiatan sehari-hari, dan contoh dari lingkungan.
2) Kebutuhan Pembelajaran Anak Cerdas dan Bakat Istimewa
Kebutuhan pembelajaran bagi anak cerdas istimewa dan bakat istimewa adalah sebagai berikut.
(a) Program pengayaan horisontal, meliputi:
 Mengembangkan kemampuan eksplorasi.
 (Mengembangkan pengayaan dalam arti memperdalam dan memperluas hal-hal yang ada di luar kurikulum biasa.
 eksekutif intensif dalam arti memberikan kesempatan untuk mengikuti program intensif bidang tertentu yang diminati secara tuntas dan mendalam
dalam waktu tertentu.
(b) Program pengayaan vertikal, yaitu:
 Acceleration, percepatan/maju berkelanjutan dalam mengikuti program yang sesuai dengan kemampuannya, dan jangan dibatasi oleh jumlah waktu,
atau tingkatan kelas.
 Independent study, memberikan seluas-luasnya kepada anak untuk belajar dan menjelajahi sendiri bidang yang diminati.
 Mentorship, memadukan antara yang diminati anak gifted dan tallented dengan para ahli yang ada di masyarakat.
3) Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Autism
Kebutuhan pembelajaran bagi anak anak autis adalah sebagai berikut:
(a) Diperlukan adanya pengembangan strategi untuk belajar dalam seting kelompok.
(b) Perlu menggunakan beberapa teknik di dalam menghilangkan perilaku- perilaku negatif yang muncul dan mengganggu kelangsungan proses belajar
secara keseluruhan (stereotip).
(c) Guru perlu mengembangkan ekspresi dirinya secara verbal dengan berbagai bantuan.
(d) Guru terampil mengubah lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan bagi anak, sehingga tingkah laku anak dapat dikendalikan pada hal yang
diharapkan.
4) Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Kesulitan Belajar Spesifik
Peserta didik yang mengalami hambatan belajar spesifik (disleksia, diskalkulia, disgrafia) perlu adanya intervensi yang melibatkan seluruh indera dalam
proses belajar mengajarnya. Salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah teknik multi sensori. Berikut hal-hal yang harus dilakukan guru dalam
menangani di dalam kelas;
(a) Perkenalkan belajar alfabet secara sekuensial (berurutan) secara bertahap dan berurut.
(b) Alfabet diperkenalkan menggunakan huruf-huruf dari kayu atau plastik, sehingga anak dapat melihat huruf, mengambilnya, merasakannya dengan mata
terbuka atau tertutup dan mengucapkan bunyinya.
(c) Peserta didik perlu tahu bahwa huruf /i/ muncul sebelum /k/, Alfabet dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yang membuat mudah anak mengingat
di kelompok mana huruf tersebut berada.
(d) Menyortir dan mencocokkan huruf kapital, huruf kecil, bentuk cetak, dan tulisan tangan dari huruf; melatih keterampilan sequencing dengan huruf dan
bentuk-bentuk terpotong; dan melatih menempatkan tiap huruf dalam alfabet dalam hubungannya dengan huruf lain.
Alasan dari teknik ini karena saluran pembelajaran visual, auditori dan taktil- kinestetik semua digunakan secara berkesinambungan. Teknik multisensori
juga melibatkan proses anak dalam hal (1) mengulang suara yang didengar; (2) merasakan bentuk yang dibuat bunyi di mulut; (3) membuat bunyi dan
mendengarkan; dan (4) menulis huruf.
Visual (penglihatan)
Peserta didik belajar paling baik dengan cara melihat informasi. Karena itu, cara mulai yang baik adalah dengan menggunakan kartu bergambar dengan
kata-kata tertulis di bawahnya (flash card). Pilihlah kata-kata yang sesuai dengan level belajar anak. Selain itu, jika anak kesulitan dengan bunyi, tunjukkan
di mana bunyi itu dibuat di dalam mulut secara umum.
Auditori (pendengaran)
Anak-anak auditori belajar paling baik dengan cara mendengarkan apa yang diajarkan. Untuk anak yang kesulitan pada masalah bunyi, ajarkan sepasang
kata singkat dan mintalah anak untuk mengatakan kata mana yang betul (tas/das). Juga, mintalah mereka menulis huruf, kata, atau kalimat sementara guru
mengucapkannya.
Taktil (perabaan)
Anak-anak ini belajar paling baik dengan proses ‘menyentuh’. Ini adalah anak-anak yang biasa terlihat memisahkan bagian suatu benda dan kemudian
menyatukannya kembali. Mereka belajar paling baik dengan melalui sentuhan, sehingga sangatlah penting untuk memasukkan gaya belajar ini ke dalam
perintah-perintah guru.

4. Hakikat Pendidikan Inklusif


Pada awalnya pendidikan khusus menerapkan pembelajaran model “segregasi” yaitu yang menempatkan anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah
khusus/Sekolah Luar Biasa (SLB), terpisah dari teman sebayanya. Dengan kata lain, di sekolah ini Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dipisahkan dari sistem
sekolah yang diselenggrakan secara reguler. Misalnya, Sekolah Luar Biasa (SLB) mulai jenjang Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar
Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Luar Biasa (SMPLB), sampai Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). Sekolah dengan model segregasi tersebut
menerima siswa dengan hambatan yang sama, maka ada Sekolah Luar Biasa Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa, dan Tunalaras
Dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Kerugian tersebut sebagaimana pandangan Reynolds dan Birch (1988) antara lain bahwa
model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan
kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan
masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, mereka dipisahkan dengan masyarakat pada umumnya. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model
segregatif relatif mahal.
Berbeda halnya dengan TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus, sehingga di dalamnya mungkin
terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis, ataupun hambatan majemuk. Sekolah-sekolah tersebut memiliki kurikulum, metode
mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan
administrator. Akan tetapi, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi bisa jadi pada kondisi tertentu merugikan peserta didik.
Dengan model segregatif tersebut, Depdiknas (2007:1) menjelaskan bahwa tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus mengembangkan potensi
secara optimal. Hal ini mengingat, kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Di samping itu, peserta didik tidak disiapkan untuk kelak dapat
berintegrasi dengan masyarakat normal. Mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Dengan demikian, perkembangan emosional dan sosialisasi siswa kurang
luas karena faktor lingkungan menjadi terbatas.
Kurangnya interaksi sosial yang bermakna menyebabkan kesepian dan perasaan rendah diri bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Kurangnya kedekatan dan
stimulasi dapat pula mengakibatkan mereka mengembangkan prilaku stereotip dan stimulasi diri. Ini menambah kondisi mereka dan membatasi perkembangan
mereka lebih lanjut.
Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, pertengahan abad 20 muncul model “mainstreaming”. Model mainstreaming ini memungkinkan berbagai
alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkebeutuhan khusus. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling
berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment),
artinya anak berkebutuhan khusus harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis/tingkat kemampuannya.
Para ahli berbagai disiplin ilmu, simpatisan, dan kelompok penyandang disablitias melakukan berbagai usaha perbaikan untuk menyebutkan secara spesifik
orang penyandang disabilitas dan menekankan bahwa semua penyandang disabilitas–tanpa memandang tingkat keparahannya–memiliki hak atas pendidikan.
Usaha-usaha yang dilakukan tersebut memperoleh hasil, maka pada Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989 memuat instrumen-instrumen hak untuk
memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum dan tidak mendiskriminasikan penyandang disabilitas dan anak berebutuhan khusus lainnya.
Dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989 tersebut telah ditandatangani oleh semua negara kecuali dua negara (Amerika Serikat dan Somalia) suatu
instrumen yang secara sah mengikat hak untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum. Bahkan Pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan dasar
“wajib dan bebas biaya bagi semua”.
Perkembangan sejarah pendidikan inklusif di Indonesia mulai mengembangkan pendidikan inklusif tahun 2000. Pada awalnya pendidikan bagi anak
berkebutuhan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan sebagaiman dikutip dari http://www.ditplb.or.id/2006, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis hambatan yang sama,
sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Autis. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis
hambatan anak, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis ataupun hambatan majemuk.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak dengan hambatan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak
hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak
disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak
mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya
mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.
Perkembangan selanjutnya diawali dengan penyelenggaraan Konvensi Nasional pada 8 s.d. 14 Agustus 2004. Konferensi tersebut diselenggarakan atas
kerjasama antara Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat PLB, Braillo Norway, dan UNESCO Jakarta yang melahirkan Deklarasi Bandung untuk menuju
Indonesia pada pendidikan inklusif. Kelanjutan dari konvensi tersebut, tahun 2005 di Bukittinggi dilaksanakan Simposium Internasional. Tujuan dari simposium
tersebut adalah upaya mengupayakan agar hak-hak anak yang mengalami hambatan belajar. Hasil rekomendasi Bukittinggi tersebut yaitu perlu terus
ditumbuhkembangkan pendidikan inklusif untuk menjamin agar semua siswa memperoleh pendidikan yang layak serta berkualitas.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkebuthan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (reguler) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Oleh
karena itu, anak berkebutuhan khusus perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak reguler untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah.
Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini. Tidak mungkin
membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.

5. Sekolah Ramah Anak


Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi,
menghargai hak hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan salah lainya serta mendukung partisipasi anak berkebutuhan khusus di
sekolah inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan
khusus dan/atau pendidikan layanan khusus, terutama dalam perencanaan kebijakan pembelajaran dan pegawasan.

6. Mekanisme Layanan PDBK


Layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat dilakukan dengan mengimplementasikan sistem pendidikan inklusif. Saat ini Pemerintah
telah mengakomodasi penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan menerbitkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, khususnya terdapat pada Pasal 6 ayat 1 sampai dengan 3, yaitu:
a. Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
b. Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang ditunjuk.
c. Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya pendidikan inklusif.
Peraturan di atas menunjukkan bahwa seluruh pemerintah daerah harus menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif di daerahnya masing-masing.
Minimal terdapat satu sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dalam satu kota. Hal ini perlu untuk memastikan bahwa semua warga negara berhak untuk
mendapatkan layanan pendidikan.

7. Konsep Dasar Identifikasi


a. Pengertian Identifikasi
Istilah identifikasi erat hubungannya dengan kata mengenali, menandai, dan menemukan. Kegiatan mengidentifikasi adalah kegiatan untuk mengenal dan
menandai sesuatu. Dalam pendidikan khusus, identifikasi merupakan langkah awal yang sangat penting untuk menandai anak-anak yang mengalami kebutuhan
khusus. 

Pengamatan yang seksama mengenai kondisi dan perkembangan anak sangat diperlukan dalam melakukan identifikasi anak-anak berkebutuhan khusus di
sekolah oleh guru, dan ini dapat dilakukan guru pada awal siswa masuk sekolah. Untuk dapat memperoleh informasi yang lebih lengkap, maka usaha identifikasi
perlu dilakukan dengan berbagai cara, selain melakukan pengamatan secara seksama, perlu juga dilakukan wawancara dengan orang tua ataupun keluarga lainnya.
Informasi yang telah diperoleh selanjutnya dapat digunakan untuk menemukenali dan menentukan anak-anak mengalami kesulitan/hambatan yang dialami,
sehingga dapat diketahui apakah anak tergolong: (1) tunanetra, (2), tunarungu, (3) tunagrahita, (4) tunadaksa (5) anak tunalaras, (6) anak dengan gangguan
spektrum autistik, dan (7) anak berbakat (gifted dan talented), atau anak dengan gangguan/hambatan lainnya.

b. Tujuan Identifikasi
1) Penjaringan (screening)
2) Pengalihtanganan (referal)
3) Klasifikasi 
4) Perencanaan pembelajaran
5) Pemantauan kemajuan belajar

8. Konsep Dasar Asasmen dan Planning Matrix


a. Asasmen
1) Pengertian
Asesmen anak berkebutuhan khusus adalah suatu proses pengumpulan informasi tentang anak secara menyeluruh yang berkenaan dengan kondisi dan
karakteristik kelainan, kelebihan dan kekurangan sebagai dasar dalam penyusunan program pembelajaran dan program kebutuhan khusus yang sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan anak.
Identifikasi dan asesmen merupakan tahapan atau rangkaian kegiatan dari suatu proses pelayanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Identifikasi sering disebut sebagai kegiatan penjaringan, sedangkan asesmen disebut penyaringan (Direktorat PSLB, 2007). Kegiatan penjaringan biasanya
belum tentu dilanjutkan ke kegiatan penyaringan. Sementara itu, kegiatan penyaringan sudah tentu dilakukan karena adanya kegiatan penjaringan. Dalam
pelaksanaannya, kegiatan identifikasi dapat dilakukan oleh guru dan pihak lain yang dekat dengan anak, seperti orang tua dan keluarganya, sedangkan
asesmen biasanya perlu melibatkan tenaga profesional yang ahli dalam bidangnya, seperti psikolog, sosiolog dan therapist.
2) Jenis asesmen dalam pendidikan khusus
a) Asesmen akademik
b) Asesmen non-akademik (kekhususan)
c) Asesmen perkembangan
3) Tujuan dan fungsi
Tujuan utama kegiatan asesmen adalah memperoleh informasi tentang kondisi anak, baik yang berkaitan dengan kemapuan akademik, non akademik
dan kekhususan secara lengkap, akurat dan obyektif.
Sedangkan fungsi asesmen dalam kontek ini adalah untuk membantu guru dan terapis dalam menyusun perencanaan pembelajaran dan program layanan
kebutuhan khusus yang tepat. Dalam hal ini hasil asesmen dapat difungsikan sebagai kondisi kemampuan awal (baseline) anak sebelum diberikan layanan
baik akademik maupun program kebutuhan khusus.
4) Sasaran
Sejalan dengan tujuan dan fungsi asesmen seperti diuraikan di atas, maka sasaran asesmen adalah semua peserta didik yang pada fase identifikasi telah
ditetapkan sebagai peserta didik berkebutuhan khusus.
5) Strategi
a) Menetapkan jenis asesmen yang akan dilakukan (akademik, non-akademik/kekhususan atau perkembangan)
b) Memilih/mengembangkan instrumen asesmen yang tepat
c) Melakukan asesmen sesuai dengan panduan yang dipersyaratkan.
d) Melakukan tabulasi, klasifikasi dan analisis hasil asesmen.
e) Melakukan case conference terhadap temuan dan hasil analisis tersebut, untuk menentukan baseline dan penetapan perencanaan pembelajaran/ program
pengembangan/interfensi yang akan dilakukan.
f) Mendokumentasikan semua data hasil asesmen dan kesepakatan hasil case conference

b. Planning Matrix
1) Pengertian
Planning matrix adalah mapping diskripsi tentang kondisi ABK secara individu yang menggambarkan tentang kondisi actual hambatan karakteristiknya,
dampak, strategi layanan dan media yang diperlukan dalam intervensi. Deskripsi mapping karakteristik kebutuhan khusus tersebut selanjutnya disusun skala
prioritas yang menggambarkan urutan urgensi masalah yang perlu segera ditangani. Oleh sebab itu dengan adanya planning matrix ini, guru pendidikan
khusus menjadi sangat terbantu, karena untuk menetapkan program layanan kebutuhan khusus, tinggal menyusun program layanan kebutuhan khusus
tersebut sesuai dengan skala prioritas yang telah diperoleh. Pada awalnya planning matrix ini dibuat untuk anak autis spectrum disorder, namun dalam
perkembangannya, ABK dengan hambatan lainnya juga menjadi sangat terbantu dengan plaanning matrix ini. Jenis hambatan/kelainan pada ABK yang
selanjutnya dapat dirumuskan.
2) Tujuan
a) Memetakan kondisi aktual akademik maupun kekhususan ABK berdasarkan hasil asesmen yang telah dilakukan
b) Menganalisis dampak dari masing-masing aspek kondisi aktual ABK baik akademik maupun kekhususannya.
c) Menganalisis strategi layanan yang tepat pada ABK sesuai dengan kondisi dan kebutuhan khusus ABK baik akademik maupun kekhususannya.
3) 3. Fungsi
a) Memudahkan guru/terapis dalam menetapkan kondisi awal aktual (baseline) ABK baik aspek akademik maupun kekhususan.
b) Membantu guru/terapis dalam mempuan mapping kondisi ABK secara komprehensif.
9. Akomodasi Kurikulum
Bagaimana cara melakukan akomodasi kurikulum di sekolah inklusif? Akomodasi kurikulum yang dapat dilakukan bagi PDBK yang mengikuti pendidikan
di sekolah inklusif adalah melalui modifikasi dan adaptasi kurilkulum.
 Model Modifikasi
Modifikasi berarti merubah atau menyesuaikan satu atau beberapa komponen kurikulum dengan menggunakan standar isi (KI-KD) standar kurikulum
nasional. Dalam kaitan dengan model kurikulum untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus, maka model modifikasi berarti cara pengembangan kurikulum,
dimana kurikulum umum yang diberlakukan bagi siswa-siswa reguler dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa
berkebutuhan pendidikan khusus.
Dengan demikian, siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan mereka.
Modifikasi dapat diberlakukan pada empat komponen utama, yaitu tujuan, materi, proses, dan evaluasi.

 Model Adaptasi
Adaptasi kurikulum bagi PDBK di sekolah inklusif meruapakan suatu keharusan. Mengingat bervariasnya kemampuan dan hambatan yang dimiliki oleh
PDBK. Adaptasi kurikulum dilakukan dengan melakukan penyesuaian pada salah satu atau beberapa komponen kurikulum dan memungkinkan melakukan
penyesuaian (menaikkan atau menurunkan) standar isi (KI dan KD).
Dalam artikel Toto Yulianto, (2012 : ..), berdasarkan grand design pendidikan inklusif nasional yang telah disepakati di Palembang tanggal 27-30
November 2007 bahwa yang menjadi substansi implementasi pendidikan inklusif adalah adaptasi. Adapun adaptasi itu meliputi kurikulum, pembelajaran,
media dan alat pembelajaran, bahan ajar, penilaian serta pelaporan hasil belajar.
Untuk melakukan adaptasi kurikulum perlu mempertimbangkan:
1) PDBK dengan kecerdasan rata-rata dapat menggunakan kurikulum reguler.
2) PDBK dengan kecerdasan di atas rata-rata (amat cerdas/ IQ ≥ 125) dapat diikutkan program akselerasi.
3) PDBK dengan kecerdasan di bawah rata-rata (IQ ≤ 90) dapat menggunakan mengadaptasi kurikum reguler sesuai dengan karakteristik PDBK ABK.
4) Jenis PDBK tertentu memerlukan program kurikulum plus yaitu program kurikulum tambahan yang bersifat rehabilitatif-kompensatif dan tidak ada di
sekolah reguler.
5) PDBK yang tidak mampu mengikuti alternatif a), b), c) di atas dapat digunakan program pembelajaran individual (PPI) dimana kurikulum disusun atas
dasar karakteristik PDBK secara individual.
Adapun pola yang dapat diterapkan sebagai berikut:
 Membuang sebagian standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dianggap kurang penting bagi kehidupan anak.
 Membuang sebagian kompetensi dasar.
 Menggunakan bagian awal dan membuang di bagian akhir baik pokok bahasan dan atau sub pokok bahasan.
 Membuang bagian awal dan menggunakan di bagian akhir baik pokok bahasan dan atau sub pokok bahasan.

10. Program Pembelajaran Individu (PPI).


a. Pengertian PPI
Program Pembelajaran Individual dikenal dengan The Individualized Education Program (IEP) yang diprakarsai oleh SAMUEL GRIDLEY HOWE tahun
1971, yang merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK).
Bentuk pembelajaran ini sudah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1992, yang merupakan satu rancangan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan
khusus (PDBK) agar mereka mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhannya dengan lebih memfokuskan pada kemampuan dan kelemahan kompetensi peserta
didik berkebutuhan khusus (PDBK).
MERCER and MERCER (1989) mengemukakan bahwa “program pembelajaran individual menunjuk pada suatu program pembelajaran dimana peserta
didik berkebutuhan khusus (PDBK) bekerja dengan tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi dan motivasinya”.
Hal ini disebabkan karena perbedaan antara individu pada peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) sangat beragam, sehingga layanan pendidikannya
lebih diarahkan pada layanan yang bersifat individual, walaupun demikian layanan yang bersifat klasikal dalam batas tertentu masih diperlukan.
Progrm Pembelajaran Individual harus merupakan program yang dinamis, artinya sensitif terhadap berbagai perubahan dan kemajuan peserta didik
berkebutuhan khusus (PDBK), yang diarahkan pada hasil akhir yaitu kemandirian yang sangat berguna bagi kehidupannya, mampu berperilaku sesuai dengan
lingkungannya atau berperilaku adaptif.
Perlu dipahami, PPI merupakan fungsi mata rantai terpadu antara asesmen dan pengajaran; jadi pengembangan PPI tergantung pada pengumplan data
asesmen. PPI memberi tekanan pada keterbatasan minimal, kesesuaian penempatan dan garis besar program pengajaran. Untuk itu PPI harus dievaluasi
kemudian ditulis ulang dalam jangka waktu satu tahun, sepanjang layanan masih dibutuhkan.
b. Fungsi Program Pembelajaran Individual
1) Untuk memberi arah pengajaran; dengan mengetahui kekuatan, kelemahan dan minat peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) maka program yang
diindividualisasikan terarah pada tujuan atas dasar kebutuhan dan sesuai dengan tahap kemampuannya saat ini.
2) Menjamin setiap peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) memiliki suatu progrm yang diindividualkan untuk mempertemukan kebutuhan khs mereka
dan mengkomunikasikan program tersebut kepada orang-orang yang berkepentingan.
3) Meningkatkan keterampilan guru dalam melakukan asesmen tentang karakteristik kebutuhan belajar tiap peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) dan
melakukan usaha mempertemukan dengan kebutuhan-kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK).
4) Meningkatkan potensi untuk komunikasi antar atau dengan anggota tim, khususnya keterlibatan orang tua, sehingga sering beretemu dan saling
mendukung untuk keberhasilan peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) dalam pendidikan
5) Menjadi wahana bagi peningkatan usaha untuk memberikan pelayanan pendidikan yang lebih efektif.
c. Komponen Program Pembelajaran Individual.
Secara garis besar komponen Progrm Pembelajaran Individual meliputi :
1) Deskripsi tingkat kecakapan/kemampuan saat ini (performance levels): tingkat kemampuan/kecakapan yang diketahui setelah dilakukan asesmen,
sehingga guru kelas dapat mengetahui kekuatan, kelemahan dan kebutuhan pembelajaran peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) yang bersangkutan.
Informasi ini umumnya berkaitan dengan kemampuan akademik, pola perilaku khusus, keterampiln menolong diri, bakat voksional, dan kemampuan
berkomunikasi
2) Sasaran program tahunan/tujuan pengajaran tahunan ( longrange or annual goals) Komponen ini merupakan kunci komponen pembelajaran karena dapat
memperkirakan program jangka panjang selama kegiatan sekolah dan dapat dipecah-pecah menjadi beberapa sasaran. Kerjasama antara guru dan orangtua
perlu dilakukan sehingga tujuan pembelajaran lebih realis.
Merumuskan tujuan PPI hrus memperhatikan empat kriteria yaitu:
1) dapat diukur -> pernyataan harus menggunakan kata kerja opersional (menyebutkan ,menjelaskan, mendefinisikan,mengidentifikasi, menulis dll) dan tidak
menimbulkan penafsiran ganda (memahami, mengetahui, mengerti )
2) positif -> tujuan itu harus membawa perubahan ke arah positif (mis. “peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) dpat merespon waktu dengan tepat”
bukan “peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) dapat bertahan menutup mulut”
3) orientasi pada peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) > merumuskan apa yang dipelajari bukan apa yang peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK)
pikirkan (mis: siswa dapat menanggapi secara lisan pertanyaan dengan dua-tiga prase)
4) relevan -> sesuai dengan kebutuhan individu.
3) Sasaran belajar jangka pendek (shortterm objectives)
4) Diskripsi pelayanan(Description of services) , meliputi :* guru yang mengajar, * isi program pengajaran dan kegiatan pembelajaran, * alat yang
dipergunakan.
5) Tanggal pelayanan (Dates of service)
6) Penilaian (Evaluation

G. NARASUMBER

Narasumber Bimbingan Teknis Program Guru Belajar dan Berbagi Seri Pendidikan Inklusif adalah oleh TIM guru belajar di Dirjen GTK Kementrian Penidikan dan
Kebudayaan.

H. PESERTA BIMTEK
Bimbingan Teknis Program Guru Belajar dan Berbagi Seri Pendidikan Inklusif diikuti oleh Guru semua jenjang di Seluruh Indonesia yang telah mendaftar
kegiatan Bimtek ini, Adapun kriteria peserta yang bisa mengikuti kegiatan ini adalah :

1. Semua guru PAUD, TK/TKLB, SD/SDLB, SMP/SMPLB, SMA/SMALB/SMK.


2. Kepala Sekolah.
3. Pengawas Sekolah.
4. Tenaga Administrasi Sekolah.
5. Telah memiliki Akun SIMPKB.
6. Tidak terdaftar sebagai peserta Bimtek Daring Pemenuhan GPK.
I. HASIL / MANFAAT YANG DIPEROLEH
Hasil / manfaat yang diperoleh dalam Bimbingan Teknis Program Guru Belajar dan Berbagi Seri Pendidikan Inklusif antara lain :
1. Pengalaman belajar yang seru untuk memahami Pendidikan Inklusif.
2. Kompetensi guru meningkat terkait topik-topik Pendidikan Inklusif sehingga dapat mendukung peserta didik berkebutuhan khusus guna mencapai tujuan
pendidikan nasional Indonesia;
3. Berkembang keterampilan guru dalam memfasilitasi pembelajaran Pendidikan Inklusif kepada peserta didik berkebtuhan khusus dengan menggunakan metode
pembelajaran yang aktif, partisipatif, dan menyenangkan.

J. TINDAK LANJUT
Tindak lanjut dari Bimbingan Teknis Program Guru Belajar dan Berbagi Seri Pendidikan Inklusif adalah sebagai berikut:
1. Peserta membuat laporan Bimtek dengan baik benar.
2. Mempersiapkan nilai pengembangan diri dan karya dalam pembelajaran untuk kenaikan pangkat sedini mungkin.
3. Dapat semakin tergerak untuk menerapkan : Pendidikan Inklusif

K. DAMPAK SETELAH MENGIKUTI BIMTEK


Dampak yang diharapkan melalui pelaksanaan Bimbingan Teknis Program Guru Belajar dan Berbagi Seri Pendidikan Inklusif antara lain:
1. Peningkatan profesional guru, terutama di dalam penyusunan program Pembelajaran di Sekolah dengan mengimplementasikan Pendidikan Inklusif
2. Tidak mengalami kesulitan dalam perolehan nilai angka kredit terutama dalam pengembangan diri setelah mengikuti kegiatan ini.
3. Peningkatan profesionalitas guru yang dibuktikan dengan perubahan perilaku, tingginya kreativitas, dan inovasi dalam pengembangan pembelajaran yang
terintegrasi dengan Pendidikan Inklusif.
4. Dengan adanya kreativitas guru dalam melaksanakan perencanaan pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.

L. PENUTUP
Melalui Bimtek Program Guru Belajar dan Berbagi Seri Pendidikan Inklusif diharapkan dapat meningkatkan semangat guru dalam mengambangkan
Perencanaan dan pengembangan Pembelajaran di Sekolah.
MATRIKS KEGIATAN PENGEMBANGAN DIRI
Bimbingan Teknis Program Guru Belajar dan Berbagi Seri Pendidikan Inklusif

Jumlah Jam Nama


Tempat Nama
Nama Diklat Kegiatan Mata Diklat/Kompetensi Penyelenggara Dampak*)
Kegiatan Fasilitator
Diklat Kegiatan
Guru Belajar dan Daring 32 Jam Tim 1. Keberagaman Peserta Didik (2 Direktorat 1. Peningkatan profesional
Berbagi Seri /Online GTK JP) Jenderal Guru guru, terutama di dalam
Pendidikan /PJJ Kemdikbud 2. Jenis Hambatan PDBK (6 JP) dan Tenaga penyusunan program
Inklusif 3. Kebututhan Pembelajaran PDBK Kependidikan Pembelajaran di Sekolah
(4 JP) dengan
4. Hakikat Pendidikan Inklusif (2 mengimplementasikan
JP) Pendidikan Inklusif
5. Sekolah Ramah Anak (2 JP) 2. Peningkatan
6. Mekanisme Layanan PDBK (2 profesionalitas guru yang
JP) dibuktikan dengan
7. Konsep Dasar Identifikasi (2 JP) perubahan perilaku,
8. Konsep Dasar Asasmen dan tingginya kreativitas, dan
Planning Matrix (4 JP) inovasi dalam
9. Akomodasi Kurikulum (6 JP) pengembangan
10. Program Pembelajaran pembelajaran yang
Individu (PPI) (2 JP) terintegrasi dengan
Pendidikan Inklusif.
3. Dengan adanya kreativitas
guru dalam melaksanakan
perencanaan
pembelajaran diharapkan
dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran.
Lampiran 5

Anda mungkin juga menyukai