Anda di halaman 1dari 72

TEORI GAGNE

Robert M. Gangne adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang telah mengembangkan suatu
pendekatan prilaku eklektik mengenai psikologi belajar. Dalam bab ini kita akan membahas
hasil-hasil belajar yang dikemukakan oleh Gagne, serta kejadian-kejadian belajar dan kejadian-
kejadian instruksi, dan hubungan antara kejadian-kejadian itu.

A. Hasil-hasil Belajar menurut Gagne

Gagne mengemukakan lima macam hasil belajar, tiga diantaranya bersifat kognitif, satu bersifat
afektif, dan satu lagi bersifat psikomotorig. Penampilan-penampilan yang diamati sebagai hasil-
hasil dasar disebut kemampuan-kemampuan atau kapabeliti.

Menurut Gagne ada lima kemampuan-kemampuan, yaitu kemampuan pertama disebut


kemempuan-kemampuan intelektual, karena keterampilan itu merupakan penampilan-
penampilan yang ditunjukkan oleh siswa tentang operasi-operasi intelekual yang dapat
dilakukannya.  Kemampuan kedua meliputi penggunaan strategi-strategi kognitif, nomor tiga,
berhubungan dengan sikap atau memungkinkan sekumpulan sikap-sikap yang dapat ditunjukkan
oleh prilaku yang mencerminkan pilihan tindakan terhadap kegiatan-kegiatan sains. Nomor
empat dari hasil belajar gagne ialah informasi verbal, dan yang terakhir adalah keterampilan-
keterampilan motorik,

1. Keterampilan Intelektual

Keterampilan-keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan


lingkungannya melalui pengguaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Belajar keterampilan
inteektual telah dimulai sejak tingkat-tingkat pertama sekolah dasar dan dilanjutkan sesuai
dengan perhatian dan kemampuan intelektual seseorang.

Belajar memprngaruhi perkembangan intelektual seseorang dengan cara yang disarankan oleh
digram. Untuk memecahkan masalah siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi, yaitu
aturan-aturan yang kompleksdemikian pula diperlukan aturan-aturan dan konsep-konsep
terdifinisi. Untuk memperoleh aturan-aturan ini, siswa sudah harus belajar beberapa konsep
konkrit, dan untuk belajar konsep-konsep konkrit ini, siswa harus menguasai deskriminasi-
deskriminasi.

a. Deskriminasi-deskriminasi

deskriminasi merupakan suatu kemampuan untuk mengadakan respons-respons yang berbeda


terhadap stimulus-stimulus yang berbeda dalam satu atau lebih dimensi fisik

PEMECAHAN MASALAH

Melibatkan pembentukan

ATURAN-ATURAN TINGKAT TINGGI


Yang membutuhkan sebagai prasyaratan-prasyaratan

ATURAN-ATURAN

Dan

KONSEP-KONSEP TERDEFENISI

Yang memerlukan prasyaratan-prasyaratan

KONSEP-KONSEP KONKRIT

Yang memerlukan sebagai prasyaratan-prasyaratan

DISKRIMINASI-DISKRIMINASI

Tingkat-tingkat kompleksitas dalam keterampilan intelektual

b. Konsep-konsep konkrit

Menurut gagne, satu keteramilan intelektual ialah konsep konkrit, dan suatu konsep konktir
menunjukkan suatu sifat objek atau atribut objek dimana bentuk, dll. Konsep ini disebut
”konkrit”, penampilan manusia yang dibutuhkan konsep-konsep ini adalah mengenal satu objek
yang konkrit.

Contoh-contoh sifat konkrit adalah bulat, persegi, biru, merah, lurus, dll. Kita dapat mengatakan
bahwa orang tertentu telah mempelajari suatu konsep konkrit, dengan meminta orang untuk
menunjukkan dua atau lebih anggota-anggota yang termasuk kedalam kelas sifat objek sama;
misalnya dengan menunjukkan pada suatu uang logam, suatu ban mobil, dan bulan purnama
sebagai bulat. Operasi menunjuk dapat dilakukan dengan berbagai cara; dapat dengan memilih,
melingkari; atau memegang.

c. Konsep terdefinisi

            Seseorang dikatakan telah belajar suatu konsep terdefinisi bila ia dapat
mendemonstrasikan arti dari kelas tertentu tentang objek-objek, kejadian-kejadian, atau
hubungan-hubungan. Misalnya, kita perhatikan konsep asam, suatu zat yang yang memerahkan
kertas lakmus biru. Seorang siswa yang telah memelajari konsep itu,akan dapat memilih zat
sesuai dengan definisi, dengan memperlihatkan jika dimasukkan kertas lakmus biru kedalam zat
itu. Demonstrasi tentang arti, membedakan proses mental ini dari proses mental yang
menyangkut mengingat informasi verbal, seperti “Asam adalah zat yang dapat memerahkan
kertas lakmus biru.

d. Aturan-aturan
Seorang telah belajar suatu aturan, bila penampilannya mempunyai semacam keteraturan dalam
berbagai situasi-situasi khusus, banyak contoh mengenai perilaku yang dikuasai oleh aturan.
Sebagian besar dari perilaku manusa termasuk perilaku ini. Misalnya dalam membuat suatu
kalimat “ibu mencium adik dengan penuh kasih sayang”, kata kerja mencium ditempatkan
sesudah kata ibu, tidak sebelumnya. Demikian pula kata-kata yang lain dalam kalimat itu sudah
mengikuti suatu aturan dalam bahas kita. Dengan aturan yang telah kita pelajari ini, kita dapat
menyusun kalimat-kalimat lain dengan menyusun struktur yang sama.

Setelah kita mengenal apakah aturan itu, ddapat kita menerima bahwa suatu konsep terdefinisi
seperti yang telah dijelaskan terdahulu, pernyataannya tidak berbeda dengan suatu aturan, dan
dipelajari dengan cara yang sama. Dengan lain perkataan, suatu konsep terdefinisi meruakan
suatu bentuk khusus dari aturanyang bertujuan untuk mengelompokkan objek-objek dan
kejadian-kejadian; konsep terdefinisi adalah suatu aturan pengklasifikasian.

e. Aturan-aturan tingkat tinggi

Ada kalanya aturan-aturan yang kita pelajari merupakan gabungan yang kompleks tentang
aturan-aturan yang lebih sederhana. Lagi pula, kerap kali aturan-aturan yang kompleks atau
aturan-aturan tinkat tinggi ini ditemukan untu memecahkan masalah praktis atau sekelompok
masalah. Kemampuan untuk memecahkan suatu masalah pada dasarnya, merupakan tujuan
utama proses pendidikan. Bila para siswa memecahkan suatu masalah mewakili kejadian-
kejadian nyata, para siswa juga mencapai suatu kemampuan baru. Mereka telah belajar sesuatu
yang dapat digeneralisasikan pada masalah-masalah lain yang mempunyai ciri-ciri formal yang
mirip. Ini berarti, mereka telah memperoleh suatu aturan baru atau mungkin juga suatu set baru
tentang aturan-atauran.

Aturan-aturan memegang peranan penting dalam pemecahan masalah. Tidak mungkin bagi siswa
untuk memperoleh semua aturan yang diperlukan bagi setiap situasi, konsep-konsep dan aturan-
aturan harus disintesis menjadi bentuk-bentuk kompleks yang baru agar siswa dapat menghadapi
situasi-situasi masalah yang baru. Pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan manusia yang
menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang telah diperoleh sebelumnya dan tidak
sebagai keterampilan genetik. Kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah matematika
tidak secara otomatis pindah ke pemecahan masalah-masalah mekanik suatu mobil.

2. Strategi-Strategi Kognitif

Suatu macam keterampilan intelektual khusus mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan
berpikir ialah strategi kognitif. Dalam teori belajar modern, suaatu strategi kokginitif merupakan
suatu proses kontrol, yaitu proses internal yang digunakan siswa (orang yang belajar) untuk
memilih dan mengubah cara-cara memberikan, perhatian, belajar, mengingat dan berpikir.
Beberapa tulisan Bruner dalam memecahkan masalah.

Berbagai macam strategi kognitif

a. Strategi-stratei mengaafal (rehearsal strategies)


Dengan pertolongan strategi ini, para siswa melakukan latihan mereka sendiri tentang materi
yang dipelajari. Dalam bentuk yang paling sederhana, latihan itu berupa mengulang-ngulang
nama-nama dalam suatu urutan misalnya, nama pahlawa-pahlawan, tahun-tahun, pecahnya
perang Dunia. Dalam empelajari tugas-tugas yang lebih kompleks, misalnya mempelajari
gagasan-gagasan yang penting, menghaafal dapat dilakukan dengan menggaris bawahi gaagasan-
gagasan penting itu,  atau dengan menyalin bagian-bagian teks.

b. Strategi-strategi elaborasi

Dalam menggunakan teknik elaborasi, siswa mengasosiasikan hal-hal yang akan ddipelajari
dengan bahan-bahan lain yang tersedia. Bila diterapkan pada belajar dari teks prosa missalnya,
kegiatan elaborasi merupakan pembuatan paraprase, pemuatan rngkasan, pembuatan catatan, dan
perumusan pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban-jawaban.

c. Strategi-strategi pengaturan (organizing strategi)

Penyusunan materi yang akan dipelajari kedalamm ssuatu kerangka, merupakan teknik dasar dari
strategi-strategi ini. Sekumpulan kata yang harus diingat diatur oleh siswa menjadi kategori-
kategori yang bermakna. Hubungan-hubungan antara fakta-fakta disusun menjadi tabel-tabel ,
memungkinkan penggunaan pertolongan penyusunan ruang.

d. Strategi metakognitif

Menurut Brown, strategi-strategi metakognitif meliputi kemampuan-kemampuan siswa untukk


menentukan tujuan-tujuan belajar, memperkirakan keberhasialan pencapaian tujuan-tujuan itu.

e. Strategi-strategi Afektif

Teknik-teknik ini digunakan para siswa untuk meemusatkan dan mempertahankan perhatian,
untuk mengendalikan kemarahan, dan menggunakan waktu secara efektif

3. Invormasi Verbal

Informasi verbal juga disebut pengetahuan verbal;menurut teori, pengeetahuan ini disimpan
seebagai jaringan proposisi-proposisi (Anderson.1985; E.D Gagne, 1985). Nama lain untuk
pengetahuan verbal ialah pengetahuan deklaratif.

4. Sikap-Sikap

Sikap merupakan pembawaan yang dapat dipelajari, dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang
terhadap benda-benda, kejadian-kejadian, atau mkluk-mahkluk hidup lainnya. Sekelompok sikap
yang penting ialah sikap-sikap kita terhadap orang lain. Karena itu, gagne juga memperhatikan
bagaimana siswa-siswa memperoleh sikap-sikap sosial ini.

Suatu sikap mempengaruhi sekumpulan besar perilaku-perilaku khusus seseorang, oleh karena
itu ada beberapa prinsi-prinsip belajar umum yang dapat diterapkan untuk memperoleh dan
mengubah sikap-sikap keterampilan—keterampilan motorik tidak dapat membahas yang
mendalam dalam buku ini.

5. Keterampilan-keterampilan motorik

Keterampilan-keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan-kegiatan fisik, melainkan


juga kegiatan-kegiatan motorik yang digabung dengan keterampilan intelektual, misalnya bila
membaca, menulis atau dalam pelajaran sains bagaimana menggunakan berbagai macam alat,
seperti mikroskop, berbagai alat-alat listrik dalam pelajaran fisika, dan biuret, alat destilasi dalam
pelajaran kimia.

B. Kejadian-Kejadian Belajar

Bertitik tolak dari model belajarnya, yaitu model pemrosesan informasi, Ggne mengemukakan
delapan fase dalam satu tindakan belajarr. Fasa-fasa itu merupakan kejadian-kejadian eksternal
yang dapat distrukturkan oleh siswa(yang belajar) atau guru.

1. Fasa motifasi

Siswa (yang belajar harus diberi motifasi untuk belajar dengan harapan, bahwa belajar akan
memperoleh hadiah. Misalnya siswa-siswa dapat mengharapkan bahwa informasi akan
memenuhi keingintahu mereka tentang suatu pokok bahasan, akan berguna bagi mereka, atau
dapat menolong mereka untuk memperoleh angka yang lebih baik.

2. Fasa pengenalan

Siswa harus memberikan perhatian pada bagian-bagian yang esensial dri suatu kejadian
instruksional, jika belajar akan terjadi, misalnya siswa memperhatikan asek-aspek yang relevan
tentang apa yang dikatakan guru, atau tentang gagasan-gagasan utama buku teks.

3. Fasa perolehan

Bila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia telah siap untuk menerima pelajaran.
Sudah dikemukakan sebelumnya, bahwa informasi tidak langsuung disimpan dalam memori.
Informasi-informasi tersebut diubah kedalam bentuk yang bermakna yang diubungkan dengan
infomasi yang telah ada dalam memori siswa.

4. Fasa retensi

Informasi baru harus dipindahkan dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Ini
dapat terjadi mellalui pengulangan kembali (rehearsal), praktek, elaborasi, dan lain-lainnya.
5. Fasa pemanggilan (recall)

Mungkin saja kita dapat kehilangan hubungan dengan informasi dalam memori jangka anjang.
Jadi, bagian penting dalam belajar adalah untuk belajar memperoleh hubungan apa yang telah
kita pelajari, untuk memanggil informasi yang telah dipelajari sebelumnya.

6. Fase generalisasi

Biasanya ini kurang nilainya, jika tidak dapat diterapkan diluar konteks dimana informasi itu
dipelajari. Jadi, generalisasi, atau transfer informasi pada

situasi-situasi baru merupakan fasa kritis dalam belajar.

C. Kejadian-Kejadian Instruksi

Berdasarkan analisisnya tentang kejadian-kejadian belajar, Gagne menyarankan kejadian-


kejadian instruksi. Menurut Gagne, bukan hanya guru yang dapat memberikan instruksi.
Mengajar dapat kita pandang sebagai usaha mengontrol kondosi eksternal. Kondisi eksternal
merupakan satu bagian dari proses belajar, namun termasuk tugas guru dalam mengajar.

Menurutnya mengajar terdiri dari sejumlah kejadian-kejadian tertentu yang dikenal dengan ”
Kejadian-Kejadian instruksi ” yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Mengaktifkan motivasi (activating motivation)

Langkah pertama dalam suatu pelajaran adalah memotivasi para siswa untuk belajar.Kerap kali
ini dilakukan dengan membangkitkan perhatian mereka dalam isi pelajaran, dan dengan
mengemukakan kegunaannya.

2. Memberi tahu tujuan-tujuan belajar

Kejadian instruksi kedua ini sangat erat hubungannya dengan kejadian instruksi pertama.
Sebagian dari mengaktifkan motivasi para siswa adalah dengan memberi tahu mereka tentang
mengapa mereka belajar apa yang mereka pelajari, dan apa yang akan mereka pelajari. Memberi
tahu para siswa tentang tujuan-tujuan belajar juga menolong memusatkan perhatian para siswa
terhadap aspek-aspek yang relevan tentang pelajaran.

3. Mengarahkan perhatian

Gagne mengemukakan dua bentuk perhatian. Yang satu berfungsi untuk membuat siswa saiap
menerima stimulus-stimulus.

Bentuk kedua dari perhatian disebut persepsi selektif . Dengan cara ini,siswa memilih informasi
yang mana yang akan diteruskan ke memori jangka-pendek. Dalam mengajar, seleksi stimulus-
stimulus relevan yang akan dipelajari dapat ditolong guru dengan cara mengeraskan ucapan
suatu kata selama mengajar, atau menggaris-bawahi suatu kata atau beberapa kata dalam suatu
kalimat, atau dengan menunjukkan sesuatu yang harus diperhatikan para siswa.
4. Merangsang ingatan tentang pelajaran yang telah lampau

Guru dapat berusaha dalam menolong siswa-siswa dalam mengingat atau mengeluarkan
pengetahuan yang disimpan dalam memori jangka-panjang itu. Cara menolong ini dialakukan
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada para siswa, yang merupakan suatu cara
pengulangan.

5. Menyediakan bimbingan belajar

Untuk memperlancar masuknya informasi ke memori jangka-panjang, diperlukan bimbingan


langsung dalam pemberian kode pada informasi. Untuk mempelajari informasi verbal,
bimbingan itu dapat diberikan dengan cara mengaitkan informasi baru itu pada pengalaman
siswa. Dalam belajar konsep dapat diberikan contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh.

6. Melancari Retensi

Retensi atau bertahannya materi yang dipelajari (tidak dilupakan) dapat diusahakan oleh guru
dan para siswa itu sendiri dengan cara banyak kali mengulangi pelajaran itu. Cara lain adalah
dengan memberi banyak contoh-contoh. Dapat pula diusahakan dengan menggunakan “jembatan
keledai. Dengan cara ini, materi pelajaran disusun demikian rupa hingga mudah diingat.

7. Membantu transfer belajar

Tujuan transfer belajar ialah menerapkan apa yang telah dipelajari pada situasi baru. Ini berarti,
bahwa apa yang telah dipelajari itu dibuat umum sifatnya. Melalui tugas pemecahan masalah dan
diskusi kelompok guru dapat membantu transfer belajar. Untuk dapat melaksakan ini para siswa
diharapkan telah menguasai fakta-fakta, konsep-konsep, dan keterampilan-keterampilan yang
dibutuhkan.

8. Memperlihatkan penampilan dan memberikan umpan balik

Hasil belajar perlu diperlihatkan melalui suatu cara, agar guru dan siswa itu sendiri mengetahui
apakah tujuan belajar telah tercapai. Untuk itu, guru sebaiknya tidak menunggu hingga seluruh
pelajaran selesai. Sebaiknya guru memberikan kesempatan sedini mungkin kepada siswa untuk
memperlihatkan hasil belajar mereka, agar dapat diberi umpan balik, sehingga pelajaran akan
berjalan dengan lancar.
KONTRIBUSI STRATEGI KOGNITIF DALAM
AKSELERASI PEMBELAJARAN 06/04/2009
Posted by ebekunt in Uncategorized.
Tags: Psikologi Pendidikan
trackback

Oleh : Kuntjojo

A. Konsep-konsep Dasar Strategi Kognitif

1. Pengertian Strategi Kognitif

Gagne (Winkel, 2003: 72) menyatakan bahwa ada lima jenis hasil belajar
yang diperoleh dari lima jenis aktivitas belajar, yaitu : a. belajar informasi verbal,
b.belajar kemahiran intelektual, c. belajar pengaturan kegiatan kognitif, d. Belajar
keterampian motorik, dan. e. belajar sikap. Tiga kelompok aktivitas belajar
pertama oleh Gagne disebut sebagai belajar di bidang kognitif. Belajar pengaturan
kegiatan kognitif atau strategi kognitif (cognitive strategy), menurut Gagne
strategi kognitif merupakan keterampilan kognitif untuk memilih dan
mengarahkan proses-proses internal dalam belajar dan berpikir (Windiyani, 2008)

Hartono mengutip artikel dari www.angelfire.com berisi ringkasan mengenai


pengertian stratetegi kognitif. Dalam artikel yang ada di website tersebut
dinyatakan ”Cognitive strategies are techniques that learners use to control and
monitor their own cognitive prosesses” (Hartono, 2008: 3).

2. Latar Belakang Berkembangnya Strategi Kognitif

Strategi kognitif berkembang berdasarkan paradigma konstruktivistik dan


teori metakognisi (metacognition theory). Paradigma konstruktivistik dan teori
metakognisi melahirkan prinsip reflection in action. Menurut Schon (Pusdiklat
Depdiknas, 2008) reflection in action adalah refleksi dari pengalaman praktisi
profesional dalam pemecahan masalah yang pernah dihadapi untuk menghadapi
masalah-masalah baru,

Proses reflection in action pada dasarnya merupakan gambaran tentang proses


belajar. Bahwa proses belajar diawali dari pengalaman nyata yang dialami oleh si
pembelajar. Pengalaman tersebut direfleksi secara individual. Dengan demikian
pada dasarnya proses pembeljaran strategi kognitif merupakan proses reflection in
action.

Meta cognition merupakan ketrampilan yang dimiliki oleh siswa-siswa dalam


mengatur dan mengontrol proses berfikirnya, Preisseisen (Pusdiklatdepdiknas,
2008). Menurut Preisseien meta cognition meliputi empat jenis ketrampilan, yaitu:

a. Ketrampilan pemecahan masalah (problem solving) yaitu: Ketrampilan


individu dalam menggunakan proses berfikirnya untuk memecahkan
masalah melalui pengumpulan fakta-fakta, analisis informasi, menyusun
berbagai alternative pemecahan, dan memilih pemecahan masalah yang
paling efektif.

b. Ketrampilan pengambilan keputusan (decision making), yaitu: Ketrampilan


individu dalam menggunakan proes berfikirnya untuk memilih suatu
keputusan yang terbaik dari beberapa pilihan yang ada melalui
pengumpulan informasi, perbandingan kebaikan dan kekurangan dari setiap
alternative, analisis informasi, dan pengambilan keputusan yang terbaik
berdasarkan alas an-alasan yang rasional.

c. Ketrampilan berfikir kritis (critical thinking) yaitu: Ketrampilan individu


dalam menggunakan proses berfikirnya yaitu menganalisa argument dan
memberikan interprestasi berdasarkan persepsi yang benar dan rasional,
analisis asumsi dan bias dari argument, dan interprestasi logis.

d. Ketrampilan berfikir kreatif (creative thinking) yaitu:Ketrampilan individu


dalam menggunakan proses berfikirnya untuk menghasilkan gagasan yang
baru, konstruktif berdasarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang
rasional maupun persepsi, dan intuisi individu.

3. Peranan Strategi Kogntif dalam Keberhasilan Belajar Peserta Didik

Pesert adalah individu-individu yang telah dewasa baik secara fisik, afektif,
sosial, maupun kognitif. Mereka secara teoritis adalah idividu-individu yang telah
mampu menangani dan aktivitas belajar dan berpikirnya sendiri. Dengan
kemampuan mengatur kegiatan kognitif pada diri sendiri, mereka akan semakin
baik pula pemikirannya.
Berkenaan dengan uraian singkat di atas dapat dinyatakan bahwa proses
belajar dan pembelajaran di perguruan tinggi akan lebih berdaya guna jika
pelaksanaannya merupakan aplikasi dari strategi kognitif. Aplikasi strategi
kognitif di perguruan tinggi semakin diperlukan jika dilihat dari materi belajar
peserta didik yang lebih banyak berupa konsep-konsep dan teori-teori.

B. Konsep-konsep Dasar Belajar Akselerasi

1. Pengertian Belajar Akselerasi

Belajar akselerasi adalah belajar yang dilakukan dengan waktu yang lebih
pendek tanpa mengurangi materi yang seharusnya dipelajari. Jika pembelajaran
akselerasi berhasil dalam pelaksanaannya dimana tujuan yang diharapkan juga
tercapai maka diperoleh beberapa segi positif, yaitu: 1. peserta didik yang
potensial dapat menyelesaikan pendidikannya lebih cepat dari waktu biasanya,
2. Efisien dalam waktu, dan 3. Efisien dalam biaya.

Kelas akselerasi merupakan kelas percepatan pembelajaran yang disajikan


kepada peserta didik yang memiliki kemampuan lebih atau istimewa dengan
materi-materi atau kurikulum yang padat sehingga dalam waktu lebih pendek
mereka dapat menyelesaikan pendidikannya.

2. Konsekuensi Belajar Akselerasi

Percepatan waktu dalam pembelajaran akselerasi membawa konsekuensi


yang tidak ringan baik itu dalam hal penyediaan fasilitas belajar muapun
kemampuan guru untuk melaksanakannya. Jika pembelajaran akselerasi
pelaksanaannya sama dengan pembelajaran biasa hanya waktunya saja yang
diperpendek maka mustahil tujuan pembelajaran dapat tercapai. Untuk itu
perlu dilakukan pembelajaran yang mampu mengoptimalkan kemampuan
peserta didik, terutama kemampuan kognitif.

3. Perbedaan Belajar Secara Akseleratif dengan Belajar Secara Tradisonal

Belajar akselerasi dalam hal tujuan dan materi pembelajaran sama dengan
belajar tradisional. Namun keduanya berbeda dalam beberapa hal Perbedaan
keduanya selain dalam hal waktu, telah diidentifikasi oleh Maier (Pusdiklat
Depdiknas, 2008), sebagaimana dikemukakan berikut ini.
a. Belajar secara tradisional, memiliki karakteristik:

1) bersifat kaku

2) suasanya muram dan serius

3) menggunakan satu jalan

4) mementingkan sarana

5) situasi persaingan ketat

6) bersifat behavioristik

7) aspek verbal diutamakan

8) bersifat mengendalikan

9) lebih mementingkan materi

10) aspek kognitif ditonjolkan

11) berdasarkan waktu

b. .Belajar secara akseleratif memiliki karekteristik;

1) bersifat fleksibel

2) suasanya gembira

3) menggunakan banyak jalan

4) mementingkan tujuan

5) melatih kerja sama

6) bersifat humanistik

7) mengfungsikan multri inderawi

8) bersifat mengasuh
9) lebih mementingkan aktivitas

10) berbagai aspek diperhatikan

11) berdasarkan hasil

4. Prinsip-rinsip Belajar Akselerasi

Belajar akselerasi sebagimana dipaparkan di atas dalam beberapa hal


berbeda dengan belajar tradisional. Untuk mencapai keberhasilan belajar
akselarasi ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan. Prinsip-prinsip belajar
akselarasi menurut Dave Meier (Pusdiklat Depdiknas, 2008) menulis beberapa
prinsip pokok pemeblajaran akselerasi, yaitu:

1. Adanya keterlibatan total pembelajar dalam meningkatkan


pembelajaran.

2. Belajar bukanlah mengumpulkan informasi secara pasip, melainkan


menciptakan pengetahuan secara aktif.

3. Kerjasama diantara pembelajar sangat membantu meningkatkan hasil


belajar.

4. Belajar berpusat aktivitas sering lebih berhasil daripada belajar


berpusat presentasi.

5. Belajar berpusat aktivitas dapat dirancang dalam waktu yang jauh lebih
singkat daripada waktu yang diperlukan untuk merancang pengajaran
dengan presentasi.

C. Penerapan Strategi Kognitif dalam Akselerasi Pembelajaran

1. Strategi Kognitif sebagai pilihan untuk Akselerasi Pembelajaran

Tuntutan agar pembelajaran akselerasi mampu memenuhi harapan


sebagaimana diuraikan di atas antara lain dapat dipenuhi dengan
mengupayakan proses pembelajaran sedemian rupa. Salah satu upaya yang
dapat dipilih adalah menerapkan strategi kognitif dalam proses tersebut atau
pembelajaran startegi kognitif. Cognitive Strategy Instruction (CSI) is an
instructional approach which emphasizes the development of thinking skills
and processes as a means to enhance learning (EduTech Wiki, 2006).
Pembelajaran strategi kognitif menurut EduTech Wiki, adalah suatu
pendekatan dalam pembelajaran yang menekankan perkembangan
keterampilan berpikir dan proses-proses sebagai suatu alat untuk meningkatkan
belajar. Pembelajaran stategi kognitif menurut Scheid, dilaksanakan utnuk
memenuhi tujuan tertentu. Dalam konteks ini Scheid menyatakan: The
objective of CSI is to enable all students to become more strategic, self-reliant,
flexible, and productive in their learning endeavors (EduTech Wiki, 2006).

2. Peran dan Tugas Guru dalam Belajar dan Pembelajaran Akselerasi

Agar pembelajaran cognitive strategi betul-betul efektif, maka ada


beberapa ketentuan yang harus diikuiti oleh guru. Berkenaan dengan hal
tersebut Cara Falitz (2006) menyatakan :

The first guideline is to teach prerequisite skills before strategy


instruction begins. The second guideline would be for teachers to teach
learning strategies on a constant basis and intensively. And the third guideline
is requiring the student to gain mastery of a given strategy

Belajar merupakan proses holistik. Menurut Socrates dan John Dewey


(Pusdiklat Depdiknas, 2008: 3), belajar merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan secara mental dan fisik yang diikuti dengan kesempatan
merefleksikan hal-hal yang dilakukan dari hasil perilaku tersebut. Menurut
prinsip konstruktivisme, seorang pengajar atau guru, dan dosen berperan
sebagai mediator dan fasilitator yang membantu proses belajar siswa dan
mahasiswa agar berjalan dengan baik. Fungsi mediator dan fasilitator dapat
dijabarkan dalam beberapa tugas sbb:

a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa


bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.

b. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang


keingintahuan siswa.

c. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si


siswa jalan atau tidak.
Berdasarkan paradigma konstruktivisme, guru dituntut untuk dapat
menjalankan perandengan sebaik-baiknya agar proses belajar berhasil secara
optimal. Peran guru dan tugas guru menurut paradigma konstruktivistik
adalah :

a. Guru banyak berinteraksi dengan siswa.

b. Guru lebih banyak memberikan kesempatan untuk memecahkan


masalah kepada siswa.

c. Guru memberikan kesempatan kepada para siswa agar mereka belajar


dengan bekerja sama. Belajar dengan bekerja sama dapat
menguntungkan pembelajar karena mereka dapat saling member dan
menerima. Materi yang tidak bisa dimengerti dengan bekerja sama
akan dapat terpecahkan.

d. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan


bersama.

e. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai


dengan kebutuhan siswa.

f. Guru perlu memiliki pemikiran yang fleksibel.

Hal-hal yang penting dikerjakan oleh seorang guru konstruktivis sebagai


berikut:

a. Mendengar secara sungguh-sungguh interpretasi siswa terhadap data

b. Memperhatikan perbedaan pendapat dalam kelas dan mengharga


setiap pendapat yang diajukan.

c. Memahami bahwa “tidak mengerti” adalah langkah yang penting


untuk memulai menekuni.

Jika strategi kognitif dilaksanakan secara konsekuen dan ditunjang


dengan fasilitas belajar yang memadai maka proses belajar dan pembelajran
akselarasi dapat membawa hasil, di mana peserta didik dapat menyelesaikan
pendidikannya dengan hasil sebagaimana diharapkan dan dengan waktu yang
lebih pendek.

Referensi

EduTech Wiki. 2006. ”Cognitive Strategy Instruction” Tersedia pada :


http://www.edutechwiki.unige.ch/en/cognitive_strategy_instruction.
(Diakses pada 10 Januari 2008).

Falitz, Cara. 1998.“Direct Instruction vs. Cognitive Strategy Instruction. Ter-


sedia pada: http://ematusov.eds.udel.edu/EDST390.98F (Diakses pa-da
tanggal 16 Februari 2008).

Pusdiklat Depdiknas. 2006. ”Startegi Kognitif”. Tersedia pada: http://www.


Pusdiklatdepdiknas.net. (Diakses : 27 Maret 2008.)

Hartono. 2008. Modul Strategi Kognitif. Surabaya : UNIPA Surabaya.

Windiyani, Sri Bono. 2008. ”Belajar Bersama Alam” Tersedia pada :


http://www.bocahkecil.info (Diakses pada tanggal 17 Juli 2008).

Winkel, W.S. 2003. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT Grasindo.

Mencipta dalam Teknologi Pendidikan

Oleh: Andi Khairuzaman (1215081052) Reza Ifnuari (121505) Zahrotul Uyun


(1215080019)

Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri


Jakarta

Bab I Pendahuluan

Teknologi pendidikan adalah studi dan praktek etis untuk memfasilitasi pembelajaran dan
meningkatkan kinerja dengan menciptakan, menggunakan, dan mengelola proses, teknologi dan
sumber daya yang tepat.

Tidak ada proses atau sumber daya untuk menggunakan atau mengelola kecuali seseorang
menciptakan mereka. Bab ini menguraikan kegiatan dan teori yang berkaitan dengan keseluruhan
proses kompleks yang terlibat dalam menciptakan materi pembelajaran, lingkungan belajar, dan
sistem mengajarbelajar yang lebih besar. Definisi AECT sebelumnya (Seels & Richey, 1994)
menggunakan istilah desain, pengembangan, dan evaluasi untuk merujuk pada fungsi untuk
menciptakan sumber daya untuk belajar. Definisi saat ini menghindari istilah-istilah tersebut
untuk cadangan mereka untuk digunakan sebagai istilah teknis untuk menggambarkan
langkah-langkah tertentu dalam proses penciptaan yang lebih besar. kegiatan Orang-orang
telah menghasilkan secara sukses sumber daya belajar-mengajar tanpa terlibat sadar dalam
"desain," formal "pengembangan," atau "evaluasi".

Istilah-istilah ini cenderung berhubungan dengan pendekatan khusus

-pendekatan sistem. Tapi desain metodologi bersumber dari berbagai pendekatan: estetika,
ilmiah, teknik, psikologis, prosedural, atau sistemik, yang masing-masing dapat digunakan
untuk menghasilkan bahan yang efektif dan kondisi untuk belajar. Ini adalah maksud dari
bab ini untuk membahas berbagai cara untuk menciptakan berbagai jenis bahan dan sistem
untuk belajar. Paruh pertama bab ini menunjukkan bagaimana makna dan metode penciptaan
telah berkembang sebagai sorotan telah pindah dari satu bentuk media pada yang lain
sepanjang sejarah modern, dengan media yang berbeda membawa isu-isu penelitian yang
berbeda dan teori ke lapangan. Bagian kedua dari bab dengan "ide- ide besar," termasuk
prinsip-prinsip desain pesan dan model desain instruksional,

yang mendasari proses menciptakan media pembelajaran. Bab ini diakhiri dengan melihat isu-
isu kontemporer yang berkaitan dengan penciptaan Bab II Evolusi Teori dan Praktik
Mencipta

Bidang yang akan menjadi teknologi pendidikan dimulai sebagai pendidikan visual, sebagai
pendidik untuk menggali potensi gambar bergerak dan slide diproyeksikan pada pergantian abad
ke-20. Seperti radio, film suara, dan rekaman audio yang dikembangkan, bidang ini berevolusi
menjadi audiovisual pendidikan (AV) di sekitar pertengahan abad. Televisi pada 1950an
menambahkan dimensi baru penyiaran luas pemrograman AV. Selama periode ini, bidang desain
dan produksi fokus pada penciptaan presentasi yang menarik bagi mata dan telinga. Director
pendidikan film, radio, dan televisi bergantung pada imajinasi kreatif untuk menangkap faktor
"wow" yang pemirsa harapkan datang dari versi komersial film, radio, dan televisi.

Pergeseran Paradigma besar pertama terjadi pada 1950-an dan 1960-an, ketika teknologi
psikologis baru ditelurkan oleh penerapan behaviorismemanajemen perilaku , mesin pengajaran,
dan program instruksi dihadapkan pada paradigma AV. Fokus bergeser ke apa yang pelajar
lakukan, bukan pada visual apa yang mereka sedang tonton, sehingga fokus desain dan
produksi bergeser dari membuat presentasi AV ke penciptaan lingkungan belajar dimana
peserta didik memiliki kesempatan untuk berlatih keterampilan baru dalam kondisi
umpan balik konstan. Nama baru lapangan ini, teknologi pendidikan, tercermin baik teknologi
baru era perangkat pengajaran secara mekanis dan AV hardware

---dan soft teknologi- teori-memandu pemrograman di dalam mesin.

Pergeseran paradigma besar yang kedua terjadi setelah kelahiran mikrokomputer pada awal
tahun 1980. Serupa dengan gerakan pengajaran yang diprogramkan keseluruhan set baru dari
orang, dengan pola pikir yang berbeda, ke dalam daerah teknologi pendidikan. Pengajaran
Berbantuan Komputer (CAI) menjadi paradigma yang dominan. Kemampuan komputer menjadi
jaringan melalui Internet di awal 1990-an, secara besar menambah nilai potensi pendidikan dari
komputer.

Kemudian pada tahun 1993 antarmuka pengguna grafis Mosaic (GUI) dan kemudian perangkat
lunak browser Web diperbolehkan World Wide Web untuk menjadi sejauh protokol Internet
yang paling populer. Penggunaan Web tumbuh secara eksponensial selama sisa dekade. Karena
Web membuatnya mudah bagi individu untuk berpikir dan bekerja sama, dan karena ini
memungkinkan siapapun, dimanapun untuk mengakses lingkungan eksplorasi berbasis computer
yang menarik (misalnya, simulasi dan permainan), proses desain tradisional berada di bawah
tantangan. Desainer sekarang sedang berusaha untuk merancang pengalaman, bukan
hanya materi,

dan alat-alat mereka berasal dari bidang pemrograman komputer dan ilmu kognitif. Pada awal
abad ke-21 lapangan itu masuk ke dalam paradigma pergeseran ketiga -dari CAI untuk
lingkungan belajar berbasis web-dan menghadapi kemungkinan keempat, di mana-mana
pembelajaran melalui mobile media.

Pada bagian berikut, kami akan melacak evolusi dari praktek-praktek yang merupakan
"penciptaan" dan ide bahwa praktek terbentuk ketika sorotan bergerak dari film, radio dan
televisi, bahan-bahan AV, untuk pengajaran yang diprogramkan, untuk CAI, ke media digital ,
ke Internet dan pembelajaran berbasis web, dan blended learning dan media mobile

Film pendidikan

Asal-usul dan penggunaan awal film bisu dalam pendidikan di tahun 1910-an dan 1920-an ini
dibahas dalam Bab 8. Selama tahun 1930-an, film suara bersaing dengan film bisu, tetapi tidak
benar-benar menjadi standar sampai setelah Perang Dunia II.

Membuat Film Pendidikan. Pada 1920-an dan 1930-an, penciptaan film pendidikan tidak
secara eksplisit dipandu oleh teori pedagogis atau metodologi desain instruksional.
Produsen cenderung untuk memilih mata pelajaran yang visual di alam, kemudian menerapkan
metodologi dari salah satu drama genre film yang ada, perjalanan, dokumenter, etnografi,
pemeragaan historis, studi alam, percobaan ilmiah atau demonstrasi, kuliah, panduan prosedural,
dan seperti-tergantung pada apa genre sesuai dengan materi pelajaran. Untuk memulai proses
perencanaan, pendekatan secara keseluruhan film itu dijelaskan dalam dokumen ringkas yang
dikenal sebagai " perlakuan," yang dapat dianggap sebagai versi awal prototipe cepat. Berbagai
penjaga gerbang proyek bisa memutuskan pada titik ini apakah pendekatan ini sesuai target dan
dalam anggaran. Perubahan dapat dilakukan pada tahap perlakuan sebelum waktu dan dana yang
dikeluarkan pada produksi.

Ahli materi dan spesialis pengajaran atau pelatihan menjabat sebagai konsultan pendidikan,
sering duduk dengan staf produksi dalam pertemuan produksi, membahas isi dan teknik filmis
yang akan digunakan sebelum pengembangan naskah penuh, langkah besar berikutnya dalam
proses perencanaan .
Biasanya, mereka memeriksa dan menyetujui script karena mereka susun dari waktu ke waktu,
sebagai awal dari salah satu aspek evaluasi formatif. Setelah sebuah naskah berada di tempat,
adalah mungkin untuk mengatur pengambilan adegan sebenarnya. Kadang-kadang, khususnya
untuk proyekproyek pendidikan, storyboard diciptakan untuk memungkinkan diskusi dan
produksi efek visual. Setelah pengambilan gambar editing adegan sampai sebuah narasi selesai
atau presentasi.

Selama Perang Dunia IIII, kebutuhan untuk "pelatihan massal cepat" dari jutaan pejuang dan
pekerja industri film dibawa ke pelatihan militer terdepan. Di Amerika Serikat antara tahun 1941
dan 1945, Divisi Visual Aids untuk Pelatihan Militer memproduksi lebih dari 400 film suara dan
lebih dari 400 filmstrips diam (Saettler, 1990, hal 181). Partisipasi sutradara dan aktor
Hollywood meminjamkan sebuah patina artistik dan profesional untuk film-film pelatihan ini,
tetapi desain pedagogis lebih lambat datang.

Penelitian dan Teori yang mendasari

Gestalt dan teori kognitif. Selama perang, ketika film sedang diproduksi dan digunakan dalam
pelatihan, Angkatan Darat AS menugaskan serangkaian studi psikologis, kemudian diterbitkan
sebagai Percobaan pada Komunikasi Massa (Hovland, Lumsdaine & Sheffield, 1949), yang
hipotesisnya diuji secara ketat tentang berbagai teknik filmis dan efektivitas pembelajaran
mereka. Hipotesis terutama seputar isu yang menonjol dalam teori Gestalt dan psikologi kognitif
waktu itu: memberikan pengantar untuk menyediakan satu bentuk mental untuk memahami dan
mengingat pesan film, memilah presentasi sesuai kemampuan kognitif penonton, memilih kata
dan gambar untuk menggambarkan poin sejelas mungkin; mengendalikan kepadatan pesan visual
dan audio untuk pemahaman; menghindari isyarat mengganggu, dan pengulangan menggunakan
serta ringkasan untuk meningkatkan retensi. Karena konsentrasi waktu, uang, usaha, dan
pengeluaran penelitian dalam produksi ini, sebuah genre film instruksional datang denagn
sendirinya. Konvensi filmis baru didirikan, misalnya, menunjukkan tugas prosedural dari sudut
pandang pelaku dan bukan pemirsa dan menggunakan orang-pertama –urutan dari -kesadaran
narasi untuk model proses berpikir dari pelaku. Setelah perang, garis penelitian dilanjutkan di
bawah sponsor Angkatan Laut Amerika Serikat di Pennsylvania State University, sebuah
program penelitian yang dikenal sebagai "studi Penn State" yang menghasilkan lebih dari seratus
publikasi (Hoban & Van Ormer, 1970). Beberapa percobaan ditangani dengan teknik
pemanfaatan, tetapi banyak variabel presentasi dieksplorasi, seperti sudut kamera, pacing, narasi,
musik, dan warna (Saettler, 1990, hal 246).

Teori behavioris.

Angkatan Udara AS juga menugaskan serangkaian studi di awal 1950-an, eksplorasi ini
memungkinkan interaksi antara film dan teknik pengajaran yg terprogram-memeriksa nilai
respon pelajar selama film dan jenis-jenis pengajaran lain. Dalam beberapa tahun kemudian, tim
Penn State juga berbalik untuk mempelajari potensi penggabungan film atau video dengan
prinsip behavioris. Beberapa pelajaran eksperimental mereka tampak seperti pengajaran
terprogram pelajaran yang difilmkan dan diproyeksikan pada layar, dengan penonton diminta
untuk menonton penyajian informasi, kemudian mendengar atau membaca pertanyaan tentang
konten, yang mereka tanggapi dengan menulis jawaban pada lembar kerja atau diamdiam
berpikir jawabannya sebelum diberitahu jawaban yang benar.

Teori Kurikulum.

Pada periode sesudah perang, banyak perusahaan bersaing untuk menyediakan film pendidikan
untuk pasar sekolah. Sebuah perkembangan yang simbolik dari pendekatan mereka adalah
keputusan dari McGraw-Hill Book Company pada tahun 1947 untuk mempersiapkan
serangkaian Film berteks. Tujuan eksplisit dari film ini adalah untuk melengkapi buku pelajaran
dengan memberikan bahan-bahan visual khusus yang tidak dapat diduplikasi dalam buku teks
atau ceramah guru (Saettler, 1990, hal 115). Buku pelajaran dan film disertai oleh filmstrips dan
panduan guru, yang menunjukkan bagaimana guru bisa mengintegrasikan semua bahan ke dalam
rencana pelajaran yang koheren. Dari titik itu dan seterusnya, film dan video yang dirancang
terutama sebagai bahan pembantu bukan sebagai pengganti bahan-bahan tradisional.

Meskipun program-program penelitian formal tidak selalu memiliki dampak praktis yang besar
pada desain film pendidikan, mereka membawa kerangka kerja teoritis baru dan kosa kata untuk
wacana tentang penciptaan film pendidikan, dari teori psikologis persepsi, kognisi, dan operant
conditioning.

Radio dan Televisi Pendidikan

Seperti dijelaskan dalam bab 8, stasiun radio pendidikan berkembang biak pada tahun 1920 dan
1930-an. Program pertama untuk sekolah-sekolah di Inggris disiarkan oleh BBC pada tahun
1926. Pada tahun 1930-an, program radio dirancang untuk penggunaan di sekolah disiarkan oleh
sejumlah kota, negara, dan otoritas provinsi di Amerika Serikat dan Kanada (juga oleh sistem
Kereta Api Nasional, CNR, Kanada). Program yang dihasilkan pada berbagai mata pelajaran,
dari studi ilmu pengetahuan dan sosial untuk musik dan seni.

Membuat Radio Pendidikan dan Televisi.

Program ini cenderung bersifat " mendidik secara informal " (Levenson & Stasheff, 1952)
daripada pembelajaran langsung. Layanan radio dan televisi keduanya mengalami kesulitan
mengukir sebuah peran pembelajaran yg jelas, dan karenanya cenderung memainkan peran
perangkat di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Untuk satu hal, keuntungan dari penyiaran
adalah cakupan dari area yang luas, namun itu berarti melewati batas distrik sekolah dan bahkan
negara dan batas-batas provinsi. Sulit untuk menciptakan setiap pelajaran yang akan memenuhi
isi, cakupan, urutan, dan tuntutan waktu beberapa sistem sekolah. Untuk hal lain, guru, penjaga
pintu gerbang kelas, enggan untuk menyerahkan tanggung jawab untuk materi pelajaran inti,
merasakan bahwa hal itu akan mengancam otoritas mereka.

Setelah mempopulerkan rekaman video tape, kemudian rekaman kaset video, program televisi
pendidikan semakin dibuat dan digunakan seperti paket unit rak bukannya yang diterima melalui
penyiaran. Salah satu pencipta terkemuka dan distributor dari program televisi terekam adalah
Badan Instructional Technology (AIT), dimulai pada tahun 1962 sebagai Pusat Nasional untuk
Televisi Sekolah dan College. Selama 1970-an dan 1980-an, AIT menjadi produsen utama serial
televisi instruksional, banyak dari mereka memenangkan penghargaan, untuk sektor K-12,
mengembangkan sebuah proses konsorsium inovatif untuk penyatuan sumber daya dari
departemen pendidikan negara yang dibeli dalam proyek-proyek pada kasus- per kasus dan
langkah-per-langkah.

Setelah permintaan untuk produksi seri baru menurun, AIT terus menjadi distributor utama dari
program televisi pembelajaran dalam kaset, CD, dan format DVD. Dalam bisnis dan industri,
siaran radio dan televisi tidak digunakan seperti itu, tapi setelah popularisasi kaset video pada
1970-an, banyak perusahaan memilih format ini sebagai alat pelatihan.Sampai akhir 1990-an,
hampir 70% dari semua perusahaan AS menggunakan rekaman video sampai batas tertentu, baik
yang dibeli dari rak untuk tujuan umum atau secara lokal diproduksi untuk topik khusus untuk
perusahaan (Bichelmeyer & Molenda, 2006, hal7).

Radio dan televisi memiliki banyak kesamaan dalam hal desain dan produksi.

Mereka beroperasi pada paradigma naskah, seperti dengan film, untuk menciptakan sebuah paket
informasi mandiri, biasanya dimaksudkan untuk dikomunikasikan dalam satu cara. Seperti film
pendidikan, program radio dan televisi cenderung meniru genre familiar: ceramah, demonstrasi,
suaramelalui visualisasi, wawancara, diskusi panel, dramatisasi, kunjungan lapangan, atau
dokumenter (Kayu & Wylie, 1977, hal 259). Proses produksi sebanding dengan yang digunakan
di radio komersial dan televisi: "Kami meminjam dari televisi komersial ide-ide tertentu tentang
apa yang merupakan sebuah program, dan kami tidak bebas terguncang dari konsepkonsep ini
"(Suchman, 1966, hal 30). Secara umum, orang-orang yang menciptakan program pendidikan
memiliki latar belakang di radio komersial dan televisi. Tidak ada keahlian khusus lainnya yang
dianggap perlu.

Underlying Penelitian dan Teori Reflektif praktek. Ada sedikit perhatian untuk riset psikologi
atau teori tentang radio / produksi program TV sampai setelah Perang Dunia IIII. Namun, ada
beberapa praktik teladan yang berkembang melalui praktek reflektif. Sebagai contoh, para
produser radio sekolah CNR menemukan pada tahun 1920 bahwa penggabungan partisipasi
pendengar aktif secara cepat meningkatkan penggunaan program (Buck, 2006). Dan di tahun
1930-an, sekolah program radio Cleveland yang diproduksi dengan pertanyaan, jeda untuk
respon penonton, dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan. Seperti program radio
pseudointeractive telah diciptakan kembali untuk mengajar matematika dan bahasa Inggris di
beberapa negara di Amerika Latin dan Afrika dalam beberapa tahun terakhir (Heinich, Molenda,
& Russell, 1993).

Di Cleveland, stasiun radio Dewan Pendidikan Ohio, WBOE, di tahun 1930-an, mereka
mengetes program dengan membuat draf kasar dan melakukannya dengan pelajar. Praktek ini
meramalkan gagasan kemudian meningkatkan hasil kecerdasan dan memvalidasi nilai mereka
melalui evaluasi formatif dan sumatif (Cambre, 1981).

Teori komunikasi. Selama hari-hari selanjutnya radio pendidikan dan harihari awal televisi
pendidikan, teori komunikasi adalah paradigma yang dominan baik dalam ilmu-ilmu fisik dan
sosial. Menurut Shannon dan Weaver (Shannon, 1949) teori informasi, melalui Wiener (1950)
cybernetics dan "proses komunikasi" Berlo (1960) pemikir dalam teknologi pendidikan sedang
melihat masalah belajar-mengajar sebagai masalah komunikasi .

Variabel kunci adalah sifat-sifat, kemampuan, dan niat dari pengirim dan penerima, kapasitas
saluran komunikasi yang berbeda, struktur dan isi dari pesan yang dikirim, jenis-jenis kebisingan
yang ditemui dalam berkomunikasi, dan kualitas pertukaran umpan balik antara penerima dan
pengirim. Peningkatan komunikasi tergantung pada pendeteksian dimana titik lemah dalam
proses itu dan memperbaikinya-memilih medium yang lebih visual, membangunn redundansi
lebih ke dalam pesan, pencocokan kemampuan bahasa penerima yang lebih baik, memberikan
pengirim dengan umpan balik yang lebih baik tentang respon penerima, dan sejenisnya.

Kerangka konseptual cukup baik sesuai dengan sudut pandang produsen karena menangani
masalah-masalah yang berada dalam rentang kontrol produsen. Mereka berada di posisi yang
baik untuk memikirkan kebutuhan dan kepentingan penonton, untuk memilih isi dan bentuk itu
ke dalam pesan, dan untuk memilih sistem pengiriman. Pendidik yang menggunakan sumber
belajar tidak cukup puas dengan paradigma komunikasi karena mereka menyadari pentingnya
dari apa yang pelajar lakukan dengan pesan-pesan yang diterima. Mereka melihat komunikasi
hanya sebagai satu langkah dalam proses pengajaran.

Penelitian pada variabel penyajian. Pada waktu itu penelitian intensif sedang dilakukan pada
variabel penyajian setelah Perang Dunia II, perhatian telah bergeser dari radio dan film pada
televisi. Jadi, panduan prinsip-prinsip ditemukan melalui penelitian yang diterapkan terutama
untuk produksi siaran program televisi atau urutan rekaman pendek. Sebagai tambahan penelitian
yang disponsori militer, banyak penelitian yang dilakukan universitas, dipicu oleh infus uang
hibah federal di bawah Judul Undang-Undang Pendidikan Pertahanan Nasional tahun 1958.
Salah satu upaya paling ambisius untuk meringkas penelitian ini adalah Belajar dari Televisi
(Chu dan Schramm, 1968). Hanya sebagian kecil dari penelitian yang dikutip dalam kesepakatan
monografi dengan "variabel pedagogis" yang berhubungan dengan desain dan produksi,
termasuk seperti isu-isu seperti humor, presentasi dramatis versus ekspositoris, pertanyaan
dengan jeda, teknik pemecahan masalah, dan ceramah versus format diskusi (Hal. 28-37). Bab
lain berurusan dengan belajar dari televisi pada umumnya, televisi dalam konteks kelas, variabel
fisik (misalnya, ukuran layar, sudut pandang), praktek pemanfaatan, sikap terhadap televisi
pembelajaran, dan pelajaran yang dipelajari di negara-negara berkembang.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam banyak studi di periode ini terinspirasi oleh
keprihatinan praktek dari staf produksi bukan oleh teori-teori psikologis atau pedagogis.
Bagaimanapun, dua aliran teori pembelajaran cukup merangsang eksperimen: pengajaran yang
terprogram dan belajar penemuan.

Penelitian respons pelajar. Studi The Penn State dan Angkatan Udara yang dibahas
sebelumnya berusaha untuk membuat dan menguji bahan film dan video yang mengandung fitur
pengajaran terprogram. Penelitian lain dilakukan dengan personel sekolah dan perguruan tinggi
mempelajari isu-isu seperti praktik terbuka versus praktek tertutup dan pengaruhnya terhadap
hasil pengetahuan, dan menemukan bahwa itu bisa bekerja: "Telah ditetapkan bahwa televisi
dapat digunakan dalam peraturan 'kunci-langkah' dari pemrograman linear (Skinnerian) untuk
kelompok siswa. Sistem televisi menyampaikan frame aba-aba, siswa membuat tanggapan pada
lembar jawaban cetak, setelah sistem menyediakan pengetahuan hasil "(televisi dalam
pengajaran, 1970, hal 9).

Untuk sebagian besar bagian, temuan itu tidak praktis untuk diterapkan dalam pengaturan media
massa. Inti dari pengajaran terprogram adalah untuk menghindari pengaturan seluruh kelas dan
memungkinkan individu untuk belajar dengan kecepatan mereka sendiri, sedangkan penyiaran
secara ekonomi menuntut banyak audience dimana untuk penyebarannya membutuhkan cukup
biaya produksi.

Menariknya, kasus radio pseudointeractive yang disebutkan sebelumnya adalah sebuah-balikan.


Pertama, ketika radio pendidikan telah ditinggalkan di Amerika Serikat, radio itu naik dan
menonjol di negara-negara kurang berkembang setelah proyek televisi pendidikan terbukti tidak
berkelanjutan pada tahun 1970an. Kedua, hal itu menunjukkan bahwa hal itu mungkin, dengan
mempertimbangkan percobaan dan revisi, untuk menyiapkan program-program yang berhasil
dimasukkan respon siswa paduan suara dan pseudoreinforcement dari respon mereka (Teman,
Searle, & Suppes, 1980).

Penelitian Belajar Penemuan. Sekitar waktu yang sama saat teknologi perilaku mengalami
dampak terbesar di teknologi pendidikan, yang disebut Revolusi Kognitif berkumpul, dipimpin
oleh Jerome Bruner (1960). Tema utama dari Bruner adalah bahwa belajar adalah sebuah
proses aktif di mana peserta didik membangun ide-ide baru berdasarkan pengetahuan
yang ada pada mereka. Dia berargumen bahwa fungsi sekolah harus memberikan kondisi yang
akan mendorong penemuan hubungan. Ide ini menunjukkan bahwa televisi harus bersifat
partisipatif daripada pasif. Televisi harus mengajukan pertanyaan, menimbulkan masalah
menantang, dan memicu diskusi dan mencari jawaban. Singkatnya, harus memicu penyelidikan
(McBride, 1966). Gerakan Belajar Penemuan akhirnya mengarah pada produksi rekaman berseri,
terutama dalam studi sains dan sosial, yang menggambarkan situasi permasalahan dan
mengundang pelajar untuk mendiskusikannya. Ini memerlukan suatu perubahan pola pikir
melihat penyajian visual sebagai bagian dari aktivitas ruang kelas yang lebih besar daripada
sebagai sebuah paket lengkap itu sendiri.

Penelitian pada perhatian anak-anak dan pemahaman. Dimulai pada akhir 1960-an, Televisi
Anak-anak Workshop (CTW) menjadi lokus utama untuk kegiatan R & D yang berkaitan dengan
penciptaan televisi pendidikan bagi anak-anak. Para pengembang CTW difokuskan pada isu-isu
tentang bagaimana untuk menangkap dan mempertahankan perhatian dan kemudian
meningkatkan pemahaman bahan televisi. Mereka berusaha untuk mengajarkan keterampilan
kognitif dasar dan membentuk sikap prososial. Dipimpin oleh Keith Mielke, CTW merintis
dalam penggunaan sistematis evaluasi formatif dan sumatif untuk menguji pengaruh berbagai
variabel desain pesan perhatian dan pemahaman (Seels, Fullerton, Berry, & Horn, 2004, hal
257).

Selama beberapa dekade, CTW menerapkan pendekatan R & D untuk terciptanya sejumlah serial
televisi yang digunakan di rumah-rumah dan sekolah, bertujuan pada keterampilan khusus untuk
audiens yang berbeda: Sesame Street- pengembangan kognitif dan sosial untuk anak prasekolah,
Electric Company - keterampilan membaca untuk tahun awal sekolah dasar, 32-1 Contact- minat
ilmiah dan sikap untuk tahun sekolah dasar lanjutan, dan Square One-matematika di tingkat
sekolah dasar (hal. 300-301). Program berikutnya, seperti Blue's Clues meneruskan tradisi
memperbaiki desain melalui pengujian yang sistematis, dan mereka diperpanjang menjadi
peningkatan partisipasi dan pemecahan masalah aktif.

Audiovisual (AV) Bahan

Sepanjang abad ke-20, beragam jenis bahan audio dan visual digunakan untuk pendidikan dan
pelatihan. Seperti dijelaskan dalam bab 8, slide lentera yang digunakan pada akhir abad ke-19
dan film bisu yang digunakan oleh 1910-an. The phonograph, kemudian film suara, penambahan
audio ke media visual pada tahun 1920. Pada periode pasca-WII, slide dua-by-dua-inci, 35mm
filmstrips, dan transparansi overhead adalah bagian standar dari program AV sekolah dan
perguruan. Pada 1970-an, format tape kaset menggantikan kaset reel-to-reel untuk amatir dan
merekam pendidikan . Format ini tetap populer hingga abad ke 21 di banyak negara, ketika
distribusi komersial dari musik populer pindah ke compact disc (CD) pada 1990-an di daerah
yang lebih berteknologi maju.

Membuat Bahan AV. Filmstrip dan penciptaan slide-set mengikuti proses yang sama dengan
pembuatan film. Pengembang mulai belajar sebanyak mungkin tentang topik, penonton, dan
tujuan pengajaran. Ini dilakukan melalui membaca dan wawancara dengan para ahli subyek dan
pemangku kepentingan lainnya, khususnya klien. Pengembang menuliskan ide-ide ke kartu
catatan, yang akhirnya disusun ke dalam kelompok logis. Saat struktur set filmstrip atau slide
terbentuk, memperhatikan "psikologi" kebutuhan penonton, sebuah script dapat ditulis (Fakta
Harus Anda Ketahui, 1965, hal 17).

Dengan script di tangan, sebuah storyboard visual dapat dibangun, yang terdiri dari sketsa
thumbnail visual ditambah dengan teks yang menyertainya. Idealnya, rancangan kasar dari visual
dalam format slide dan rekaman teks bisa disajikan kepada sampel yang representatif dari
kelompok sasaran untuk menguji reaksi mereka. Setelah melakukan revisi, naskah final dan
storyboard bisa dikonversi menjadi produk selesai menggunakan pemain profesional dan
produsen (Fakta Harus Anda Ketahui, 1965, hlm 19-21).

Underlying Penelitian dan Teori. Penelitian tentang penciptaan bahan AV telah berkisar sekitar
tiga isu utama: persepsi, interpretasi, dan retensi gambar visual, persepsi, interpretasi, dan retensi
bahan pendengaran, dan interaksi dari mekanisme visual dan auditori dalam format multimedia.
Sebagian besar penelitian dasar pada persepsi visual dan pendengaran telah dilakukan di luar
bidang teknologi pendidikan. Penelitian di dalam lapangan menerima stimulus besar dengan
pendirian jurnal, Review Komunikasi Audio- Visual, pada tahun 1953 oleh Departemen
Pengajaran Audio-Visual (DAVI), pendahulu AECT. Kemudian Undang-Undang Pendidikan
Pertahanan Nasional tahun 1958 memberikan dana melimpah untuk penelitian AV di bawah
Judul VII.

Ruang di sini tidak mengizinkan ringkasan yang memadai tentang jenis penelitian yang
dilakukan atau temuannya, tetapi beberapa dari pekerjaan ini disinggung kemudian di bawah
topik desain pesan. Dwyer (1972, 1978) memberikan distilasi awal temuan penelitian untuk
meningkatkan pembelajaran visual, terutama didasarkan pada studi sistematis penulis
eksperimental di Pennsylvania State University. Sebuah sintesis terbaru dan berwibawa dari
penelitian pembelajaran visual disediakan oleh Anglin, Vaez, dan Cunningham (2004). Suatu
tinjauan paralel penelitian tentang pembelajaran audio diberikan oleh Barron (2004), dan
penelitian multimedia ditinjau oleh Moore, Burton, dan Myers (2004).

Pengajaran terprogram dan Pengajaran Mekanis

Bidang ini, yang sampai tahun 1960-an secara umum dikenal sebagai media pendidikan,
difokuskan pada penciptaan dan penggunaan bahan audio dan visual untuk meningkatkan
pembelajaran. Pergeseran besar paradigma pertama dalam kepentingan utama bidang ini terjadi
ketika pengajaran mekanis dan pengajaran terprogram meledakankesadaran publik. BF Skinner
(1954) menyajikan pengajaran mekanis pertama berdasarkan prinsip operant conditioning, dan
proyek-proyek utama sekolah demonstrasi sedang berlangsung antara 1957 dan 1962.

Pengajaran terprogram, baik yang disajikan dalam format mesin pengajaran atau buku ditentukan
(a) urutan perintah dari materi stimulus, (b) masingmasing siswa merespon dengan cara yang
ditentukan, (c) tanggapan siswa diperkuat dengan segera oleh hasil pengetahuan, (d) sehingga ia
bergerak dengan langkah-langkah kecil, (e) sehingga membuat beberapa kesalahan dan berlatih
sebagian besar tanggapan yang benar, dari apa yang ia tahu, melalui proses pendekatan yang
secara sukses mendekati perkiraan, terhadap apa yang ia seharusnya pelajari dari program.
(Schramm, 1962, hal 2) The DAVI, organisasi pendahulu AECT, bergabung dengan gerakan
baru pengajaran terprogram dengan menerbitkan Pengajaran meknis dan pembelajaran
terprogram: Sebuah buku sumber (Lumsdaine & Glaser, 1960). Program 1959 konvensi DAVI
tidak menyebutkan pengajaran terprogram, tapi ada sesi utama pada tahun 1960 pada “bahan
pembelajaran terprogram untuk penggunaan dalam pengajaran mekanis” . Judul ini memberi
petunjuk terhadap hubungan antara administrator AV dan pengajaran terprogram: Mesin yang
awalnya digunakan untuk menyampaikan pelajaran terprogram. Ketika sekolah dan perguruan
tinggi memperoleh pengajaran mekanis, seseorang harus merawat mereka-co-ordinator AV!
Keunggulan mesin itu ditunjukkan oleh nama yang ditandai grup ini minat khusus pada beberapa
konvensi DAVI berikutnya: kelompok pengajaran mekanis.

Secara bertahap, meskipun, penekanannya bergeser pada perancangan dan pemanfaatan sistem
pembelajaran diri interaktif. Konsep "teknologi pengajaran" dipopulerkan oleh BF Skinner untuk
menjelaskan pandangannya tentang pengajaran terprogram sebagai aplikasi sistematis dari ilmu
pembelajaran. Gagasan ini melengkapi dukungan sebelumnya oleh James D. Finn bahwa
teknologi pembelajaran dapat dilihat sebagai cara berpikir tentang pengajaran, bukan hanya
perpaduan perangkat. Setelah itu, teknologi memiliki makna ganda dari "penerapan pemikiran
ilmiah" dan berbagai media komunikasi dan perangkatnya.

Membuat Pengajaran Terprogram. Proses pembuatan perangkat lunak untuk pengajaran


terprogram jelas adalah sangat berbeda dari bahan-bahan AV.

Sekarang langkah-langkah kritis menganalisis tugas dipelajari dalam rangka untuk memecahnya
menjadi serangkaian langkah-langkah kecil, menetapkan indikator perilaku dari penguasaan tiap
langkah (sasaran kinerja), urutan kegiatan dalam perintah hirarkis, menciptakan petunjuk untuk
respon yang diinginkan, memerlukan respon pelajar, dan mengelola konsekuensi yang sesuai
(yang kemungkinan yang kebetulan: penguatan positif atau negatif, hukuman, atau penghapusan
penguatan) untuk setiap respon.

Underlying Penelitian dan Teori. Penelitian pengajaran terprogram akhirnya memalsukan


kesucian resep khusus sebagaimana yang diberikan oleh Schramm (1962) sebelumnya: sebuah
urutan perintah materi stimulus, respon terbuka, hasil pengetahuan langsung, langkah-langkah
kecil, dan tanggapan sebagian besar benar. Masing-masing unsur ini diabaikan, namun
pengajaran terprogram secara konsisten menghasilkan prestasi yang lebih baik bila dibandingkan
dengan pengajaran konvensional. Apa yang dicatat untuk perbaikan, jika bukan kerangka
formula. Secara bertahap, praktisi mulai menyadari bahwa itu adalah proses pengembangan
telaten, yang meliputi evaluasi formatif untuk memastikan peserta didik sedang membuat
tanggapan yang benar. Mereka menemukan bahwa "program adalah sebuah proses" (Markle &
Tiemann, 1967). Selanjutnya, proses itu-analisa peserta didik dan tugas-tugas belajar,
menetapkan sasaran kinerja, membutuhkan latihan aktif dan umpan balik, dan menundukkan
prototipe untuk pengujian dan revisi-sangat kompatibel dengan analisis, desain,
mengembangkan, mengevaluasi, dan menerapkan siklus diusulkan dalam pendekatan sistem
model.

Computer-Assisted Instruction (CAI)

Sebagaimana dibahas di Bab 2, CAI dimulai pada saat pengajaran terprogram mencapai
puncaknya, dan begitu, banyak program awal CAI diikuti latihan dan praktek atau format tutorial
mirip dengan pengajaran mekanis atau buku instruksi yang diprogramkan: unit kecil informasi
diikuti dengan pertanyaan dan respon siswa. Sebuah respon yang benar dikonfirmasi sementara
sebuah respon salah mungkin berujung pada urutan perbaikan atau pertanyaan yang lebih mudah.
Desain kerja itu mirip pengajaran terprogram, sedangkan pengembangan produksi kerja
mensyaratkan keterampilan dalam menulis program komputer.

Penciptaan CAI. PLATO proyek, dimulai pada tahun 1961, bertujuan untuk mengurangi biaya
dengan jaringan terminal murah dan menawarkan programmer sebuah bahasa pemrograman
yang disederhanakan untuk pengajaran, TUTOR. Ini menjadi lokus untuk R & D yang intensif
pada fitur pesan desain pelajaran yang berhasil serta pada sistem authoring. Sistem PLATO
memelopori banyak fungsi-fungsi lanjutan (misalnya, grafis antarmuka, diskusi kelompok
pengguna, e-mail, dan instant messaging), dan itu terus tumbuh dan berkembang hingga tahun
2000-an. Program R & D juga memimpin jalan dalam mengembangkan pendekatan kreatif untuk
CAI seperti penemuan belajar dan Belajar Berbasis Masalah (PBL) melalui partisipasi dalam
percobaan laboratorium dan simulasi lainnya. Seperti banyak perangkat lunak CAI lain,
perangkat lunak PLATO akhirnya bermigrasi ke format floppy disk, kemudian CD-ROM, lalu
World Wide Web.

Pada hari-hari komputasi berbasis mainframe dan pada tahun-tahun awal mikrokomputer (di luar
lingkungan PLATO), memori dan keterbatasan penampilan pendiktean desain pelajaran yang
sama dengan yang pengajaran mekanis dan pengajaran terprogram cetak: kemajuan frame-by
frame melalui penyajian konten diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan yang pelajar tanggapi
dengan menggunakan input device-, keyboard, tombol angka, layar sentuh, atau mungkin tablet
grafis. Komputer menilai kebenaran respon dan memberikan umpan balik kepada pelajar,
mungkin berujung pada satu set perbaikan frame.

Underlying Penelitian dan Teori. Jenis format pelajaran pengajaran terprogram meminjam
jenis yang sama pada desain proses seperti yang digunakan dalam pengajaran terprogram (Burke,
1982). Produk adalah serangkaian frame pengajaran dan frame kriteria (tes). Tahap
pengembangan dan produksi sangat tergantung dari apa bahasa pemrograman atau Authorware
yang dipekerjakan untuk memasukan pelajaran ke dalam sistem komputer. Seperti pengajaran
terprogram, evaluasi dan validasi dari pelajaran itu diharapkan (tetapi tidak selalu dilakukan).

Paradigma penelitian ini adalah sangat banyak dalam pola pengajaran terprogram, seperti juga
temuan. Penelitian ini juga cenderung dipandu oleh konstruk teoretis yang sama seperti dalam
penelitian pengajaran terprogram, meskipun penelitian CAI lebih sering termasuk penyelidikan
variabel penyajian dan masalah-masalah ekonomi (sejak komputasi perangkat keras, waktu
pemrograman, dan waktu proses adalah faktor biaya yang cukup signifikan pada waktu itu) .

Media Digital

Ketika daya komputasi tumbuh dan menjadi lebih luas cakupannya melalui jaringan, dan sistem
komputer menjadi lebih mampu menggabungkan visual, suara, dan gambar bergerak, program
berbasis komputer mulai dilihat dalam cahaya baru, sebagai "media digital," dibahas dalam lebih
rinci dalam Bab 8. Konsep penggabungan segala bentuk media di bawah payung komputer
mengubah bidang teknologi pendidikan serta industri hiburan.

Penciptaan Hypermedia. Istilah hypermedia muncul di tahun 1980 sebagai perluasan dari
istilah hypertext yang merujuk pada dokumen digital di mana teks, audio, dan video
dihubungkan dengan hyperlink untuk memungkinkan navigasi nonlinier diantara unsur-unsur
program. Hal ini kontras dengan multimedia, yang bisa mengkombinasikan media yang sama
tetapi dalam format linear. Hypermedia memerlukan komputer yang kuat dengan RAM luas,
sebuah hard drive internal yang besar, dan monitor plus perangkat periferal untuk input AV,
seperti pemutar CD dan videodisc dan sistem audio. Semua ini dikendalikan oleh program
hypermedia yang berjalan di bawah sistem authoring seperti HyperCard ™ atau Toolbook ™.
Fitur utama dari format ini adalah interaktivitas tingkat tinggi antara pembelajar dan sumber
informasi yang bervariasi.

Hypermedia menjadi mungkin ketika komputer mulai beroperasi dengan GUI, dilengkapi dengan
alat grafis seperti windows, menu, hyperlink, dan perangkat penunjuk (misalnya, mouse). GUI
tidak hanya membuatnya lebih mudah bagi pengguna pemula untuk menavigasi tetapi
memperbolehkan guru dan nonspesialis lainnya untuk membuat materi mereka sendiri.

Underlying Penelitian dan Teori. Dalam mengembangkan media interaktif digital atau
hypermedia, desainer instruksional mulai terlibat dalam desain perangkat lunak (atau dalam
sebagian besar kasus, agak kurang teknis "authoring perangkat lunak "). Sama seperti proses,
demikian juga pergeseran dari media tradisional ke media interaktif digital (Jonassen & Mandl,
1990).
Proses desain itu sendiri menjadi subyek penelitian dan teori. Sebagai contoh, konsep rapid
prototyping (prototype cepat) (Tripp & Bichelmeyer, 1990), desain yang berpusat pada
pengguna, dan metode kegunaan (Corry, Frick, & Hansen, 1997; Frick & Boling, 2002) menjadi
subyek perdebatan dan pengkajian. Gagasan ini dipinjam dari desain perangkat lunak dan
dimasukkan ke dalam ID untuk mengenali kompleksitas bahan interaktif dan karena itu
meningkatkan kesempatan bahwa bahan tersebut mungkin akan sulit untuk digunakan, untuk
dipahami, atau untuk diterima. Penggunaan pendekatan tersebut dapat dilihat sebagai perluasan
dari penekanan tradisional pada analisis audience dan evaluasi formatif dalam ID. Pencipta
materi memandang pengguna akhir sebagai penonton, dan proses kegunaan sebagai sarana untuk
memastikan bahwa bahan tersebut efektif sebagai bagian dari lingkungan pembelajaran.

Internet dan World Wide Web

Pada 1990-an, pertumbuhan yang cepat dari Internet dan protokolnya yang paling populer,
World Wide Web, secara fundamental mengubah lingkungan media untuk desainer instruksional.
Dalam satu dekade, pengajaran dipersiapkan untuk digunakan di Web daripada di platform
media lain.

Penciptaan Pembelajaran Berbasis Web. Pada tahap pengembangan dan produksi tantangan
untuk produsen Web adalah menangani satu set baru authoring tool dan protokol pemrograman.
Dalam era CAI, seperti PF Merrill tunjukkan (2005), author harus belajar dan kemudian
mempelajari hal baru beberapa alat yang berbeda selama bertahun-tahun: Basic, Pascal, Pilot,
TICCIT, dan HyperCard ™ (hal. 4). Di era Web, HTML (hypertext markup language) telah
merupakan aplikasi authoring standar untuk teks statis. Untuk menambahkan suara, gerak, atau
interaktivitas, kode pemrograman-komputer harus ditambahkan ke dalam HTML, dengan
menggunakan bahasa scripting seperti JavaScript atau authoring tools seperti Flash ®, Director,
dan Authorware (Merrill, PF, 2005, hal 4 ). Pada tahun 2005, adalah mungkin untuk memisahkan
konten dari kode pemrograman melalui penggunaan XML (extensible markup language). Hal ini
dilihat sebagai cara untuk menyederhanakan masalah konten dan pemrograman berpindah dari
satu lingkungan authoring kepada yang lain dan mencapai tujuan penanganan konten sebagai
objek pembelajaran yang bisa dibagi dan digunakan kembali (Merrill, PF, 2005).

Objek pembelajaran. Pada tahun 1990-an, ketika penggunaan pengajaran berbasis Web
dipercepat, desainer, terutama dalam pelatihan militer dan perusahaan, mencari jalan pintas
untuk menciptakan ribuan jam materi pelajaran yang dibutuhkan di ratusan program
pembelajaran jarak jauh berbasis web. Kunci untuk masalah ini, banyak orang merasa, adalah
membuat objek pembelajaran yang dapat digunakan kembali: " komponen kecil (relatif terhadap
ukuran dari seluruh pelajaran) pembelajaran yang dapat digunakan kembali beberapa kali dalam
konteks belajar yang berbeda" (Wiley, 2002, hal 4). Gerakan ini merupakan kelanjutan dari
paradigma pemrograman berorientasi objek yang mengubah pengembangan perangkat lunak
pada awal 1980-an.

Tantangan teknis adalah untuk mengkodekan objek pembelajaran digital sehingga mereka akan
berpindah dan berjalan pada sistem manajemen pembelajaran masing-masing organisasi. Pada
1990-an, beberapa upaya internasional mulai menetapkan standar untuk blok bangunan ini. Salah
satu upaya dipimpin oleh IMS Global Learning Consortium, Inc, yang menghasilkan Spesifikasi
Metadata IMS ("metadata" adalah label yang diletakkan pada objek pembelajaran, yang
memungkinkan objek/materi dapat disimpan dan diambil secara efisien). Spesifikasi IMS, pada
gilirannya, dimasukkan ke Sharable Courseware Object Reference Model (SCORM). Pada tahun
2000, spesifikasi ini digunakan dalam sejumlah organisasi.

Harapan dari objek pembelajaran termasuk mengurangi biaya tenaga kerja pengembangan dan
penyebaran usaha penciptaan material pada kemungkinan kolam bakat terbesar, sehingga
menempatkan materi pembelajaran yang dirancang dengan baik dalam jangkauan orang-orang
yang mungkin tidak mampu membuatnya. Namun, baik masalah konseptual dan teknis telah
memperlambat adopsi ide ini lebih luas. Satu masalah konseptual direpresentasikan dalam nama
yang sangat konsep: sedikit konten pada item tes bukanlah objek pembelajaran jika belajar
adalah sebuah proses yang terjadi di dalam individu, mereka adalah penggalan dari konten.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah penggalan konten dapat dihapus dari konteks aslinya, dapat
dimasukkan ke dalam konteks yang berbeda, dan masihkah memiliki nilai. Hal itu terlihat
tergantung pada "penggalan" apa dan bagaimana perbedaan dua konteks tersebut. Pada materi
yang lebih umum, seperti lembar kerja pada pecahan, mungkin dapat digunakan dalam berbagai
kelas, bahkan mungkin di seluruh budaya. Butiran yang lebih kecil atau lebih besar, yang
disajikan dalam konteks yang lebih kontras mungkin dapat menjadi masalah. Mereka yang
keyakinan tentang belajar menekankan pentingnya kontekstualisasi meragukan tentang prospek
pengupasan konteks keluar dari penggalan bahan pembelajaran.

Pada tingkat teknis, kritik tentang biaya dan segudang rintangan teknis diajukan dengan
mengembangkan sistem katalog dan berbagi objek media yang akan berguna baik standar
maupun penggunaan yang fleksibel. David Wiley (2002, 2006), yang membantu
memperkenalkan objek pembelajaran ke dalam teknologi pendidikan, juga vokal dalam
mendukung baik kritik konseptual maupun teknis. Dia terus mendukung tujuan "peningkatan
akses terhadap kesempatan pendidikan untuk orang-orang yang telah menyangkal hak untuk
salah satu dari berbagai alasan," tetapi ia mengusulkan bahwa sebuah metode yang lebih seperti
dari PF Merrill (2005), yang dijelaskan sebelumnya, akhirnya akan menjadi lebih berguna. Jadi,
konsep material digital yang dapat digunakan kembali akan terus berkembang tapi arah ke masa
depan belum jelas.

Underlying Penelitian dan Teori. Dengan ubiquity dari the Web dan luas difusi CMS dan
LMSs, adalah mungkin untuk melihat pendidikan berbasis web sebagai genre terpisah untuk
desain dan pengembangan. Salah satu ciri khas adalah, karena sifatnya, pembelajaran berbasis
web berkisar antara kegiatan berorientasi belajar -membaca, diskusi, menggagas, ekspresi,
refleksi, dan mungkin kegiatan penyelidikan-, sedangkan kelas tatap muka berputar di sekitar
kegiatan mengajar yang berorientasi ceramah- demonstrasi, diskusi, dan pertukaran tutorial
antara guru dan pelajar. Hal ini akan merubah fokus penelitian dan teori dari masalah mengajar
(misalnya, variabel penyajian) kepada masalah pembelajaran (misalnya, pola komunikasi
interpersonal dalam pembelajaran kolaboratif).

Mobile Media

Kecenderungan di hardware komputer adalah menuju miniaturisasi dan operasi nirkabel, yang
mengarah ke sebuah genre baru dari perangkat mobile- notebook dan tablet PC, ponsel, pemutar
audio digital, konsol permainan genggam; personal digital asisten (PDA), yang dapat mencakup
fungsi komputer, ponsel, pemutar musik, dan kamera, dan berbagai kombinasi lainnya perangkat
tersebut. Ketika perangkat tersebut juga dapat terhubung ke Internet, pengguna, pada dasarnya,
memiliki akses ke komputer workstation high-end di tangan mereka. Mereka bisa berbicara atau
pesan teks dengan orang lain dan menavigasi Web dari manapun mereka berada (selama mereka
berada dalam jangkauan jalur akses nirkabel). Pada tahun 2006, di Eropa dan Asia, fungsi ini
dengan cepat bermigrasi ke arah konvergensi pada perangkat ponsel jenis, tapi gerakan ini
muncul lebih lambat di Amerika Serikat. Hal ini meningkatkan kemungkinan belajar paradigma-
mobile baru belajarmengajar, atau m-learning. Seperti dirangkum oleh Wagner (2005),
pembelajaran bergerak merupakan langkah berikutnya dalam tradisi lama belajar teknologi-
dimediasi. Ini akan menampilkan strategi baru, praktek, peralatan, aplikasi, dan sumber daya
untuk mewujudkan janji di mana-mana, menyeluruh, pribadi, dan terhubung belajar. (hal. 44)

Beberapa aspek dari m-learning sudah jelas, berdasarkan pengalaman dengan teknologi
sebelumnya, termasuk pendidikan jarak jauh berbasis Web. Kami juga memiliki pengalaman di
bidang pendidikan dengan beberapa teknologi mobile, misalnya, penggunaan perangkat
PDADAs sebagai respon kelas atau "Clickers." Seperti sumber daya yang berbasis web, sumber
daya mobile dapat digunakan terutama untuk mendukung kinerja dan untuk melengkapi
pengiriman tradisional dalam mode hybrid baru. Fungsi laboratorium dapat menjadi lebih
didistribusikan, dengan banyak terjadi di perangkat genggam siswa (Alexander, 2004). Sejauh
yang mereka digunakan untuk menawarkan instruksi yang berdiri sendiri, mereka diharapkan
akan digunakan untuk program pendek yang dapat digunakan selama downtime antara pekerjaan
lain dan kegiatan santai (Wagner, 2005, hal 51).

Aplikasi yang spesifik untuk teknologi mobile dapat berkembang sesuai dengan adaptabilities
khusus mereka untuk komunikasi interpersonal. Alexander (2004) meminjam konsep
"mengerumuni" untuk berspekulasi "kawanan belajar" tentang atau ad hoc, kelompok belajar
sementara (hal. 32). Serupa dengan kelompok-kelompok yang terbentuk pada jaringan sosial
seperti Facebook.com, siswa yang mengembangkan rasa ingin tahu tentang topik mungkin
berbicara atau bertukar pesan teks dengan orang lain dan membentuk kelompok diskusi virtual,
yang mungkin bertemu muka dengan muka pada beberapa kali. Atau mereka mungkin hanya
menggunakan perangkat mobile untuk melaksanakan kerja kelompok ditugaskan di kelas.

Menciptakan untuk M-Learning. Pada titik ini kita hanya bisa berspekulasi tentang apa bentuk
m-learning akan mengambil dan apa macam proses penciptaan itu akan menuntut. Kita tahu dari
studi kami teknologi lain yang itu bukan teknologi tapi pengalaman yang memfasilitasi belajar.
Pada tahap desain, pengembang harus diingat bahwa perangkat mobile akan mampu mendukung
beberapa jenis pengalaman lebih baik dari orang lain akan, tugastugas belajar sangat berbeda
akan membutuhkan strategi pengajaran yang berbeda. Kendala dari pengaturan m-learning daya
komputasi perangkat mobile terbatas.

Berbagai perangkat mobile menggunakan berbagai sistem operasi, yang berarti authoring tools
yang berbeda untuk setiap perangkat. Perangkat ini juga memiliki layar sangat kecil,
memaksakan batas-batas sempit pada ukuran dan jumlah teks dan ukuran dan resolusi gambar
grafis. Demikian juga, kemampuan input yang terbatas (Berapa banyak teks yang Anda inginkan
untuk mengetik dengan jempol anda?). Mengingat kondisi penggunaan, desainer akan harus
membayar perhatian khusus untuk mendapatkan dan memegang perhatian pengguna dalam
keadaan mengganggu, menunjukkan modul pendek yang sangat menarik-seperti permainan, kuis,
atau chatting.

Pada tahap pengembangan dan produksi, coding lagi masalah. Scripting bahasa dan authoring
tools (seperti Flash ®) telah membuat relatif mudah untuk menggabungkan media berbasis
waktu dan interaksi menjadi pelajaran Web. Ini ekstensi ke protokol asli juga memungkinkan
pencipta untuk mengatasi teknologi mobile dengan mendirikan style sheet yang menampilkan
konten tunggal file dalam beberapa cara tergantung di mana file yang akan ditampilkan (browser
yang berbeda, perangkat mobile, dll). Pada saat yang sama, mereka telah meningkatkan keahlian
teknis yang diperlukan untuk membuat dokumen berbasis web dengan benar, sehingga kurva
belajar untuk pengembang sekali lagi curam untuk semua tapi bahan sederhana. Imbalannya
adalah bahwa cross-platform dan lintas-media pembangunan benar-benar mungkin.

Blended Learning

Secara historis, pendidik memikirkan instruksi tatap muka dan instruksi komputer dimediasi
sebagai domain terpisah. Pelajaran atau kursus dilakukan baik wajah muka atau melalui salah
satu format yang dibahas di atas-CAI, multimedia / hypermedia, Web, atau perangkat mobile.
Kenyataannya adalah bahwa meningkatkan proporsi pelajaran dan kursus, terutama dalam
pendidikan tinggi dan pelatihan perusahaan dan militer, dilakukan melalui kombinasi antara tatap
muka dan format komputer-mediated, kombinasi disebut sebagai blended learning (Graham,
2006 ). Tren ini telah diminta oleh mana-mana Internet dan Web dalam kehidupan sehari-hari
mahasiswa dan pekerja, setidaknya dalam masyarakat teknologi maju. Selama sebagai siswa dan
pekerja sudah digunakan untuk berkomunikasi melalui e-mail, pesan instan, dan chat room dan
selama instruktur sudah digunakan untuk bertukar file elektronik dan membuat bahan ajar
dengan komputer, mengapa tidak mengeksploitasi praktik-praktik di kelas

? Di dalam pendidikan tinggi, kursus campuran biasanya terdiri dari satu pertemuan kelas tatap
muka per minggu, dengan siswa menggunakan Internet dan Web untuk menyelesaikan proyek
kelompok dan tugas kelas yang lain (Dziuban, Hartman, juge, Moskal, & Sorg, 2006, p. 198).
Dalam dunia perusahaan, campuran cenderung lebih ke arah pendekatan "sandwich": preclass
pembacaan dan diskusi asynchronous, maka wajah-to-face sesi untuk interaksi yang intensif,
diikuti dengan latihan aplikasi online dan mentoring (Lewis & Orton, 2006). Dalam militer,
campuran yang biasanya melibatkan penggunaan trainee simulasi tinggi-fidelity (misalnya,
lapangan tembak dan penerbangan pesawat) yang terintegrasi dengan pelatihan lapangan kolektif
(Wisher, 2006).

Sebuah konsep terkait dicampur lingkungan belajar, menciptakan lingkungan total immersive
yang memadukan aspek-aspek realitas, simulasi, realitas campuran, dan virtual reality. Konsep
ini dibahas secara terpisah kemudian dalam bab ini. Belajar Membuat Blended. Unsur-unsur
yang berbeda yang terdiri dari campuran masing-masing diciptakan melalui proses yang sesuai
untuk itu instruksi format-tatap muka, CAI, simulasi, dan sebagainya. Pelajaran dicampur secara
keseluruhan atau kursus dapat dirancang melalui proses ISD generik, dengan khusus perhatian
pada langkah memilih pengiriman mediamelihat masing-masing tujuan dan memutuskan apakah
itu akan dipelajari terbaik dengan salah satu metode tatap muka atau melalui salah satu metode
computer-mediated (Hoffman, 2006).

Bab III Menciptakan Media Membuat Media: Tingkat Kecanggihan

Membuat media pembelajaran dapat menjadi sangat sederhana atau sebuah proses yang sangat
kompleks. Kemp dan Smellie (1994) menyarankan tiga tingkat kecanggihan: mekanik, kreatif,
dan desain. Pada tingkat, terendah mekanis, adalah prosedur sederhana, misalnya, memotong
dan menyisipkan gambar ke halaman Web, fotokopi grafik untuk membuat transparansi
overhead, atau video rekaman pembicara tamu untuk kemudian pemutaran. Ini adalah tindakan
rutin yang membutuhkan perencanaan sedikit atau kreativitas.

Pada, kedua kreatif, tingkat produsen harus menempatkan pikiran dan perencanaan ke dalam
proses. Seorang guru membangun sebuah bulletin board tidak hanya akan mengumpulkan atau
membuat bahan, tetapi juga berpikir tentang pengaturan mereka, baik estetis dan secara
mendidik-untuk mengumpulkan perhatian dan membuat dampak yang mengesankan. pelatih
mungkin sketsa ide-ide ke kartu indeks dan mengatur mereka untuk efek psikologis sebelum
menghasilkan presentasi PowerPoint ™. Pilihan kata-kata dan gambar, urutan mereka, tata letak
visual yang sesuai dengan prinsip desain visual-semua ini memerlukan beberapa tingkat
kemampuan artistik dan pertimbangan dari variabel psikologis yang mempengaruhi dampak
penonton. Namun produksi di tingkat kreatif tidak selalu berarti perencanaan yang sistematis
untuk hasil belajar yang spesifik.

Desain, ketiga, tingkat mencakup kasus-kasus di mana seorang desainer, atau bahkan tim desain,
merencanakan dan merakit bahan atau lingkungan belajar keseluruhan untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu. Mereka akan berpikir tentang kebutuhan audiens khusus mereka dan
bagaimana peserta didik akan berinteraksi dengan bahan untuk mencapai tujuan mereka. Bahan
sendiri mungkin membutuhkan beberapa keahlian teknis untuk menghasilkan. Sebagai contoh,
sebuah konsultan instruksional dari layanan dukungan kampus mungkin bekerja dengan dua
profesor geografi untuk mengembangkan latihan Web interaktif untuk mencari, pelaporan, dan
menafsirkan variasi suhu laut. Hal ini akan membutuhkan menggabungkan keahlian subjek-
materi, metode pengajaran, pengetahuan desain visual untuk tata letak layar, dan keahlian Web-
pemrograman; dan karena proyek ini bisa memerlukan beberapa orang berkolaborasi selama
periode waktu, manajemen proyek juga akan ikut bermain. Dalam bagian berikut, kita akan
membahas isu-isu yang terkait dengan tingkat "kreatif" dan "desain" tingkat produksi. Pertama,
pada tingkat "kreatif" kita fokus pada pencarian untuk kualitas teknis dan estetis dan bagaimana
hal itu dipandu oleh prinsip-prinsip dari bidang-bidang seperti teori komunikasi, psikologi
persepsi, dan semiotika. Kemudian, pada tingkat "desain", kami survei metodologi desain
terkemuka, termasuk pendekatan sistem dan beberapa alternatif.

Masalah pada Tingkat Kreatif: Kualitas Teknis pesan dan Prinsip Desain

Media produksi, bahkan pada tingkat mekanis dan kreatif, dapat menuntut keahlian teknis yang
cukup, keahlian, dan kemampuan artistik. Ada sebuah tradisi panjang dalam teknologi
pendidikan mengharapkan dan menghargai keunggulan teknis produk-produknya. Untuk
melampaui pelaksanaan teknis baik saja, prinsip-prinsip yang memandu kreatif media produksi
yang paling sering berasal dari estetika dan penelitian pada desain pesan.

Pesan Desain Teori dan Prinsip

Berdasarkan dari teori komunikasi untuk konsep pesan instruksional, Fleming dan Levie
(1978, 1993) berkumpul temuan yang berlaku dari ilmu perilaku dan penelitian ilmu kognitif
dalam mencari prinsip-prinsip desain pesan. Mereka mendefinisikan pesan sebagai "pola tanda-
tanda (kata-kata, gambar, gerak) yang dihasilkan untuk tujuan memodifikasi psikomotor,
perilaku kognitif atau afektif dari satu atau lebih orang" (Fleming & Levie, 1993, hal x).
Kontributor untuk ringkasan Fleming dan Levie's melakukan upaya tertentu untuk
menerjemahkan penelitian dasar menjadi prinsip yang dapat digunakan untuk pencipta media
pembelajaran. Perspektif penulis berkontribusi dan editor adalah bahwa mengharapkan pesan
dibentuk sesuai dengan prinsip-prinsip suara untuk "memodifikasi psikomotor, kognitif atau
perilaku afektif [huruf miring ditambahkan]" dari mereka yang menerima pesan itu, sehingga
menggabungkan gagasan cognitivist bawah kerangka behavioris .

Houghton dan (1987) Willows's bekerja dua volume, The Psychology of Ilustrasi, disurvei
penelitian dasar pada persepsi gambar dan penggunaan gambar untuk meningkatkan belajar dari
teks. Ini menawarkan model untuk klasifikasi dan mendiskusikan gambar sesuai dengan sifat
mereka sendiri dan hubungannya dengan teks instruksional, dan demonstrasi penerapan
prinsipprinsip desain pesan. Koleksinya meliputi perspektif semiotika, khususnya mengenai
penafsiran gambar lintas budaya, dan diskusi respon afektif, atau emosional, untuk gambar dan
peran mereka dalam mempromosikan keterlibatan dalam belajar. Isu gambar pemahaman yang
berorientasi pada penelitian persepsi (bagaimana proses fisik dan kognitif memungkinkan kita
untuk mengenali gambar) dan pertimbangan konseptual foto diri (sebagai data persepsi, sebagai
simbol dalam suatu sistem, sebagai jenis representasi). Dan, dalam terang keunggulan
berkelanjutan dari teks sebagai pengantar mediated, sebagian besar diskusi mengenai gambar
dalam pembelajaran berorientasi pada peran gambar dalam membantu peserta didik untuk
mengingat, memahami, atau menikmati teks.

Banyak prinsip yang dikumpulkan oleh Fleming dan Levie (1978, 1993) dan Houghton dan
Willows (1987), bersama dengan yang dikembangkan khusus untuk pembuatan bahan teks
instruksional (Hartley, 1986, 1996; Jonassen, 1982), tetap menjadi penelitian utama berbasis
sumber pedoman untuk membuat media pembelajaran meskipun perubahan radikal dalam
teknologi interaktif dan multimedia.

Pesan Desain untuk Media Motion. Diasumsikan bahwa prinsip-prinsip desain pesan yang
dibahas di atas tetap layak untuk memindahkan displaygambar di lingkungan media baru
interaktif, meskipun dengan tidak adanya penyelidikan menyeluruh ini hanya asumsi. Sebagai
contoh, Reeves dan (1996) Nass's studi menunjukkan bahwa kita menanggapi macam gambar
bergerak orang (hidup atau animasi) yang ditampilkan di TV monitor seakan- akan mereka
Aplikasi "orang lain." Pemahaman ini ke penciptaan pembelajaran interaktif bahan dapat
diartikan sejumlah prinsip-prinsip desain pesan yang memodifikasi perspektif dari mana prinsip-
prinsip yang asli dikembangkan, menetapkan tanah untuk pengembangan prinsip-prinsip baru,
atau dalam beberapa kasus, menambahkan dukungan untuk dasar bagi prinsip-prinsip asli.
Perspektif Semiotik. Perspektif semiotik yang berlaku untuk menciptakan bahan ajar yang
praktis diartikulasikan untuk pencipta bahan ajar oleh Sless (1981, 1986), yang terfokus diskusi
penciptaan bukan pada karakteristik bahan ajar sendiri, tetapi pada kode eksplisit dan tacit
dimana orang memutuskan apa benda (termasuk teks) mean.

Dalam desain dokumen, saudara bidang desain instruksional, Schriver (1997) berspekulasi
bahwa pembaca informasi teks-verbal, visual, dan keduamengembangkan dan terus-menerus
memperbaiki hipotesis tentang makna sebuah teks yang berkaitan dengan diri mereka sendiri
karena mereka kemajuan melalui materi. penelitiannya menunjukkan bahwa pengalaman masa
lalu pembaca, perspektif budaya, dan bahkan dugaan mereka tentang siapa yang menciptakan
bahan mempengaruhi semua hipotesis berkembang. Sementara perspektif ini telah mendapatkan
pijakan lebih tegas dalam desain dokumen, komunikasi teknis, dan lingkaran literasi visual
daripada di komunitas desain instruksional, mereka menawarkan dimensi kaya untuk
memperluas pemahaman kolektif kita desain pesan.

Memunculkan Pesan Prinsip Desain. Majelis prinsip berbasis penelitian untuk bimbingan
eksplisit pencipta bahan terus (Clark & Lyons, 2004; Lohr, 2003; Misanchuk, Schwier, &
Boling, 2000). Kompilasi ini juga menarik pada penerapan psikologi Gestalt (umum dalam
desain grafis dan seni rupa) dan pada tradisional, pemahaman non-empiris dari dunia desain
media profesional dan mereka umumnya menawarkan beberapa panduan proses bagi desainer
media pembelajaran. Namun, kemajuan yang sistematis dalam penelitian tentang isu media
dalam materi pembelajaran diri dalam bidang ini jarang dengan pengecualian Dwyer's (Moore &
Dwyer, 1994) lama program studi membandingkan hasil pembelajaran dengan menggunakan
material yang menunjukkan sifat formal yang berbeda.

Standar Produksi. Sepanjang evolusi film, video, dan media AV proses konversi selesai cetak
biru ke dalam presentasi telah dibimbing oleh pengetahuan teknis dibangun dari waktu ke waktu.
Wetzel, Radtke, dan Stern (1994) disebut pedoman ini produksi tradecraft profesional (hal. 113).
Dalam film dan video, misalnya, isu-isu utama berkaitan dengan teknik kamera, komposisi
gambar, mengedit, dan efek khusus (Mascelli, 1965). Masingmasing daerah memiliki kader
sendiri spesialis teknis yang mungkin telah belajar tradecraft mereka melalui tahun magang.
Audiens telah tumbuh digunakan untuk tingkat tertentu kualitas teknis dan cenderung untuk
membawa harapan untuk melihat mereka media pendidikan juga.

Trade-offs pada Kualitas Teknis. Sebagai Schiffman (1986) berpendapat, baik estetika dan
permintaan bahan pembelajaran pedagogi yang harus jelas, menarik, dan bermanfaat. Pada saat
yang sama, ia memperingatkan terhadap "penekanan yang tidak proporsional pada standar
produksi" (hal. 15) ketika waktu dan biaya tingkat produksi profesional berada di luar proporsi
untuk tujuan material. Dalam kasus tertentu, "cepat dan kotor" akan cukup, tercermin dalam
anekdot tentang iklan tim kreatif yang menemukan bahwa "storyboard bekerja lebih baik
daripada selesai komersial!"

Masalah pada Tingkat Design: ISD Model dan Pendekatan Alternatif

Ketika berhadapan dengan proyek-proyek yang lebih kompleks, perencana yang beroperasi pada
apa Kemp dan Smellie (1994) disebut tingkat desain, tingkat di mana beberapa jenis pemikiran
desain yang serius diperlukan. Penciptaan bahan ajar dan lingkungan belajar yang dapat
dibimbing oleh pola pikir desain yang berbeda serta prosedur desain yang berbeda. Sebagai
contoh, dalam genre film pendidikan, radio, dan televisi proses perencanaan dipandu oleh
paradigma script, pola pikir dibawa dari media hiburan. Seni visual memiliki pola pikir yang
sangat berbeda untuk proses kreatif ; engineering telah lain, dan desain perangkat lunak telah
lain. teknologi pendidikan telah dipinjam dari disiplin ilmu seperti ini dan itu telah berkembang
pendekatan sendiri. Tujuan dari bagian ini adalah untuk survei array yang luas dari pendekatan
yang telah digunakan, dimulai dengan pendekatan sistem, yang biasanya disebut sebagai
paradigma yang dominan, dan kemudian mempertimbangkan kemungkinan banyak alternatif.

Pendekatan Sistem Desain Instruksional

Esensi dari pendekatan sistem adalah untuk membagi proses perencanaan pembelajaran ke
langkah, untuk mengatur langkah-langkah dalam urutan logis, maka untuk menggunakan output
dari setiap langkah sebagai input berikutnya. Pendekatan sistem jejak asal-usulnya untuk konsep-
konsep yang muncul dari penelitian militer selama Perang Dunia IIII. Teknik analisis yang
tumbuh dari berburu kapal selam disebut riset operasi, di mana komputer digunakan untuk
membuat perhitungan yang diperlukan. Setelah perang, pendekatan ini untuk menganalisa,
menciptakan, dan pengelolaan manusiamesin, sekarang disebut sebagai pendekatan sistem,
diaplikasikan pada pengembangan materi pelatihan dan program. Sejak periode sesudah perang
setiap layanan militer AS telah mengembangkan model sendiri untuk pengembangan pelatihan,
yang semuanya didasarkan pada pendekatan sistem, sebuah "ilmu lunak" versi analisis sistem,
sendiri merupakan cabang dari riset operasi. Mood Alexander (1964), berbicara pada konferensi
awal pada pendekatan sistem dalam pendidikan, menjelaskan perbedaan tersebut:

Sistem analisis sering digunakan bergantian dengan analisis operasi jangka panjang dan mengacu
pada teknik analisis tertentu yang terdiri dari membangun model matematis dari fenomena dan
mengoptimalkan beberapa fungsi dari variabel yang terlibat dalam model. Sistem pendekatan
mengacu pada ide yang kurang pasti jauh lebih umum dan karenanya. Ini hanyalah ide melihat
masalah atau situasi secara keseluruhan dengan segala konsekuensi, dengan semua interaksi
interior, dengan semua koneksi eksterior dan dengan kesadaran penuh tempatnya dalam
konteksnya. (Hal. 1)

Pendekatan sistem dipandang dalam militer sebagai paradigma untuk menggabungkan elemen
manusia dengan elemen mesin dalam sistem manusia-mesin, obat penawar untuk berpikir
mekanistik murni. Dari masuknya pendekatan sistem dalam bidang teknologi pendidikan, itu
diakui oleh para pendukungnya sebagai kumpulan longgar pedoman yang berlaku terhadap
masalah-masalah yang kompleks dari manusia belajar hanya dengan analogi, dan bukan jenis
sepenuhnya deterministik dan dikontrol ketat metodologi yang dijelaskan oleh beberapa
pengkritiknya. Mood (1994), dalam penyajian yang sama, memperingatkan, "Satu
menggunakannya [Sistem pendekatan] terutama sebagai panduan dan sebagai asuransi terhadap
menghadap faktor penting, "dan kemudian," Ini adalah masalah yang paling merepotkan dari
pendekatan sistem; itu adalah seni-bukan ilmu "(hal. 14).

Evolusi Pendekatan Sistem Teknologi Pendidikan. Konsep pendekatan sistem mungkin


diperkenalkan untuk teknologi pendidikan pada konferensi 1956 kepemimpinan Okoboji Danau.
Ini konferensi tahunan, yang pemimpin lapangan diundang dan di mana mereka diharapkan
untuk menghasilkan kertas kerja, sering menampilkan pembicara kunci, yang menyediakan
gandum untuk diskusi berikut. Salah satu alamat keynote paling berpengaruh adalah yang
pertama, "Pendekatan Sistem untuk Audio-Visual Komunikasi," yang diberikan oleh Charles F.
Hoban pada konferensi musim panas 1956. Sorotan konferensi bertepatan dengan serangkaian
artikel oleh James D. Finn diterbitkan sekitar waktu yang sama. Bersama-sama, mereka
membantu menciptakan momentum di balik ide pendekatan sistem, yang akhirnya menjadi ciri
khas lapangan.

Visi yang mendorong pemikiran baru itu diungkapkan ringkas oleh Phillips (1966): "Untuk
fashion kumpulan koheren sumber belajar, khusus dirancang dari awal mereka untuk digunakan
dengan dan memungkinkan pelaksanaan kurikulum baru" (hal. 373) . Artinya, berapa banyak
lebih produktif mungkin pendidikan jika kita bisa melihat sistem sebagai keseluruhan-guru,
siswa, administrator, pembantu, fasilitas, perangkat keras, perangkat lunak dan desain paket total
sekitar tujuan yang jelas?

Sejak 1960-an, pendekatan sistem mulai muncul dalam model prosedural dari IDI dalam
pendidikan tinggi Amerika. (1967) Barson's Instruksional proyek Pengembangan Sistem,
dilakukan di Michigan State University dan tiga universitas lainnya antara tahun 1961 dan 1965,
menghasilkan model berpengaruh dan seperangkat pedoman heuristik untuk pengembang.
Selama periode yang sama, Leonard dr perak (1965) di University of Southern California (USC)
mulai menawarkan kursus pertama dalam menerapkan sistem pendekatan instruksi, "Merancang
Sistem Instruksional," yang berdasarkan pengalamannya militer dan kedirgantaraan. Dia juga
memproduksi model prosedural rinci yang dipengaruhi pembangun kemudian model.

The IDI model. Ini awal kegiatan di konsorsium yang meliputi Syracuse, Michigan State, US
International University, dan USC (kemudian bergabung dengan Indiana University) memuncak
dalam sebuah proyek bersama, yang dikenal sebagai Instruksional Development Institute (IDI).
The IDI adalah program pelatihan dikemas pada pengembangan instruksional bagi guru, dan
antara 1971 dan 1977, itu ditawarkan untuk ratusan kelompok pendidik. Sejak itu biasanya
dilakukan oleh mahasiswa fakultas dan lulus dari universitas di dekatnya, IDI menjadi kendaraan
yang sangat berpengaruh untuk mensosialisasikan ide-ide tentang proses IDI antara fakultas
teknologi pendidikan dan mahasiswa di seluruh Amerika Serikat.

Model ini membagi proses pembuatan menjadi tiga tahap utama: (a) mendefinisikan fase, di
mana analisis dilakukan dengan jelas menetapkan masalah yang akan dipecahkan dan kendala
situasional, dan rencana kerja yang terorganisir, (b) tahap desain , di mana tujuan ditentukan dan
metode untuk mencapai tujuan tersebut diputuskan dan instantiated dalam prototipe, yang
mengarah ke (c) mengembangkan tahap, di mana prototipe diuji dan revisi dilakukan
berdasarkan tes prototipe. Model IDI cukup maju berpikir dalam penekanan pada manajemen
proyek, pengembangan berulang, dan pengujian prototipe.

TABEL 1 !!!

Layanan militer 'ISD model. Pusat Kinerja Teknologi di Florida State University dipilih pada
tahun 1973 oleh Departemen Pertahanan Amerika untuk mengembangkan prosedur untuk secara
substansial meningkatkan pelatihan Angkatan Darat. Seperti yang diceritakan oleh Branson
(1978), prosedur IDI dikembangkan untuk Angkatan Darat berkembang menjadi sebuah model
yang diadopsi oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Marinir, yang disebut
"Interservice Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (IPISD)." Tampil di Gambar. 4.2,
IPISD dimaksudkan untuk digunakan dalam proyek-proyek berskala besar IDI. Akhirnya
memiliki pengaruh sangat besar dalam pelatihan militer dan industri karena penggunaannya yang
diamanatkan tidak hanya di semua layanan bersenjata AS tapi juga di kalangan kontraktor
pertahanan. Benih dari singkatan "Addie" dapat dilihat pada unsur-unsur top-level pada Gambar.
4.2: menganalisa, merancang, mengembangkan, menerapkan, dan kontrol. Sebagai evaluasi
diganti pengawasan, singkatan Addie muncul menjadi ada. Keluarga Addie Sistem Pendekatan
Model. Tahapan Addie kadang-kadang dimasukkan ke dalam bentuk diagram alir untuk
menunjukkan keterkaitan mereka, seperti ditunjukkan pada Gambar. 4.3, sehingga menimbulkan
ironi "model Addie" bahkan

TABEL 2 !!!!

meskipun tidak ada dan tidak model yang sebenarnya, Addie sepenuhnya dikembangkan.
Namun, dapat berfungsi sebagai label yang nyaman bagi keluarga model sistem-pendekatan.
Mengikuti logika diagram pada Gambar. 4.3, output dari tahap analisis deskripsi-a dari pelajar,
tugas yang harus dipelajari, dan tujuan instruksionalberfungsi sebagai masukan untuk tahap
desain, di mana mereka deskripsi dan tujuan yang diubah menjadi spesifikasi untuk pelajaran.
Selanjutnya, spesifikasi desain dapat digunakan sebagai masukan untuk tahap pengembangan, di
mana mereka digunakan untuk memandu pemilihan atau produksi bahan dan kegiatan pelajaran.
Dalam pelaksanaan tahap instruktur, materi, kegiatan, dan peserta didik datang bersama-sama
untuk menggunakan produk dari tahap pengembangan. Setelah program pembelajaran yang
digunakan, dievaluasi untuk melihat apakah tujuan telah dapat terpenuhi dan masalah asli
terpecahkan.

Selain evaluasi sumatif dilakukan pada akhir, di sepanjang jalan keputusan yang dibuat pada
setiap tahap dievaluasi (evaluasi formatif) untuk menentukan apakah tahap yang telah selesai
dengan sukses dan sesuai dengan arah strategis asli proyek. Jika hasil langkah tidak memuaskan,
misalnya, jika sekelompok sampel trainee bingung dengan petunjuk dalam prototipe dari latihan
simulasi baru, maka langkah desain harus

TABEL 3 !!!! diulang, mencari cara untuk memperjelas arah. Proses berulang langkahlangkah
sampai hasil memuaskan tercapai disebut sebagai pendekatan literatif.

Gagne, Taruhan, Golas, dan Keller (2005) memberikan perluasan tahap Addie dasar menjadi
panduan prosedural yang lebih rinci, yang ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Analisis

a. Pertama menentukan kebutuhan yang instruksi adalah solusinya. b. Melakukan analisis


instruksional untuk menentukan target kognitif, afektif, dan tujuan keterampilan motor untuk
kursus. c. Tentukan apa keterampilan peserta didik masuk diharapkan memiliki, dan yang akan
berdampak belajar pada kursus. d. Menganalisis waktu yang tersedia dan seberapa banyak
mungkin bisa dicapai dalam jangka waktu tertentu. Beberapa penulis juga merekomendasikan
analisis konteks dan sumber daya yang tersedia.

Desain

a. tujuan saja Terjemahkan ke dalam hasil kinerja secara keseluruhan, dan tujuan utama untuk
setiap unit kursus. b. Tentukan topik instruksional atau unit yang akan dibahas, dan berapa
banyak waktu yang akan dihabiskan pada masing-masing. c. Urutan unit berkaitan dengan tujuan
program. d. Daging keluar unit instruksi, mengidentifikasi tujuan-tujuan utama yang harus
dicapai selama setiap unit. e. Tentukan pelajaran dan kegiatan pembelajaran untuk setiap unit. f.
Mengembangkan spesifikasi untuk penilaian apa yang siswa pelajari.

Pembangunan

a.Membuat keputusan tentang jenis kegiatan dan bahan pembelajaran.

b. Draft Siapkan bahan dan / atau kegiatan.

c. Cobalah bahan dan kegiatan dengan anggota kelompok sasaran. d. Merevisi, memperbaiki,
dan menghasilkan bahan-bahan dan kegiatan.

e. Memproduksi pelatihan instruktur atau bahan tambahan.

Melaksanakan

a. Pasar bahan untuk diadopsi oleh instruktur dan peserta didik potensial. b. Memberikan bantuan
atau dukungan yang diperlukan.

Mengevaluasi

a. Aku Melaksanakan rencana untuk penilaian peserta didik.

b. Aku Melaksanakan rencana untuk evaluasi program.

c. Aku Melaksanakan rencana program pemeliharaan dan revisi.

Sejumlah sistem model pendekatan telah diajukan. Mereka berbeda dalam hal jumlah
langkah, nama tangga, dan urutan fungsi yang direkomendasikan. (2002) Survei Gustafson dan
Cabang tentang Model Pengembangan Instruksional meliputi 18 model. daftar mereka tidak
dimaksudkan untuk menjadi lengkap, tetapi menggambarkan berbagai cara menerapkan
pendekatan sistem. Organisasi biasanya menggunakan model Homegrown mereka sendiri, sering
mengadaptasi atau konsep penggabungan dari model-model lain.

The Model Dick dan Carey. Salah satu model sistem-pendekatan yang paling terkenal adalah
yang dikembangkan oleh Dick, L. Carey, dan JO Carey (2005), ditunjukkan pada Gambar. 4.4.
Hal ini diajarkan di banyak program teknologi pendidikan dan telah diadopsi atau diadaptasi di
banyak organisasi sebagai panduan perencanaan. Salah satu ciri khas dari Dick, L. Carey, dan JO
Carey (2005) model adalah bahwa hal itu dianjurkan menetapkan instrumen penilaian sebelum
mengembangkan strategi pembelajaran. Konsep mereka adalah bahwa jika para pengembang
dapat cukup jelas tentang apa dan bagaimana mereka akan menguji, mereka memiliki ide yang
lebih baik dari apa jenis instruksi akan berhasil.

Saat ini, ada konsensus umum mengenai unsur-unsur utama dari model sistem-pendekatan,
menurut penulis kompetensi desain instruksional: Standar (Richey, Fields, & Foxon, 2001),
mewakili Dewan Standar Internasional untuk Pelatihan, Kinerja , dan Instruksi (IBSTPI). Dalam
menetapkan kompetensi yang diharapkan dalam desainer instruksional profesional, standar
IBSTPI menggunakan kategori profesionalnya TABEL 4 !!!!

sional yayasan (komunikasi keterampilan, pengetahuan dan keterampilan riset, pengembangan


diri, dan norma-norma hukum dan etika), perencanaan, analisis, desain, pengembangan,
implementasi, dan manajemen. Ini daftar mirror kompetensi cukup erat unsur-unsur umum untuk
model sistempendekatan yang paling.

Karena sistem-pendekatan model tidak harus mengikuti urutan Addie atau nomenklatur, nama
yang lebih umum untuk keluarga ini model adalah "model ISD." Beberapa penulis lebih suka
istilah Instructional Systems Design, sementara yang lain lebih suka Pengembangan Sistem
Instruksional. Kami akan menghindari diskusi tentang manfaat dari setiap panjang dan hanya
menggunakan akronim ISD.

Tahapan dalam Proses ISD

Tahap Analisis. Prioritas pertama dalam analisis adalah untuk menentukan apakah instruksi
diperlukan sama sekali. Sebuah proses desain pengembangan dilakukan, mungkin, karena
seseorang telah memutuskan bahwa satu atau lebih orang memiliki kesenjangan dalam
pengetahuan, keterampilan, atau sikap yang penting untuk jembatan. Pembelajar yang diusulkan
bisa siapa saja, dari seorang anak TK kepada karyawan organisasi dewasa. Pada 1970-an, Joe
Harless, seorang desainer pelatihan bekerja di sektor thebusiness, menyadari bahwa banyak
orang-orang yang berhasil "terlatih," akhirnya dikembalikan ke kinerja kekurangan. Harless
(1975) menemukan bahwa kinerja buruk lebih sering disebabkan oleh kurangnya insentif atau
alat yang tidak memadai dibandingkan dengan kurangnya pengetahuan. Dia mengembangkan
"analisis front-end," langkah-langkah analitis untuk dilakukan di akhir depan proses desain untuk
memisahkan penyebab yang berbeda dari kekurangan kinerja, dan untuk memastikan bahwa
instruksi dikembangkan hanya ketika instruksi benar-benar dibutuhkan.

Analisis front-end atau analisis kebutuhan akan mengumpulkan bukti-bukti pada sifat dan
besarnya kekurangan kinerja, menentukan apakah ada kebutuhan belajar, dan menentukan
apakah akan biaya bermanfaat untuk membuat beberapa materi pembelajaran atau sistem untuk
memenuhi kebutuhan ini. Sebagaimana dijelaskan dalam bab 3, intervensi noninstructional lain
dapat diupayakan untuk bagian-bagian masalah tidak disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
atau keterampilan. Jika masalah tersebut telah ditetapkan menjadi salah satu kekurangan dalam
pengetahuan atau keterampilan, edisi berikutnya pada tahap analisis adalah untuk menentukan
jenis tujuan pembelajaran yang perlu dikejar-kognitif, afektif, interpersonal, atau motor
keterampilan dan apa yang struktur keterampilan. Artinya, yang bergantung pada orang lain?
Yang harus dilakukan pertama, kedua, dan ketiga? Seperti analisis instruksional dapat terdiri dari
pengamatan orang-orang di tempat kerja, algoritma perilaku, diskusi kelompok fokus,
wawancara dengan pelajar atau ahli, analisis tugas hirarkis, atau cara lain. Panduan ke banyak
metode kebutuhan dan analisis tugas ditemukan di Zemke dan Kramlinger (1982), Rossett
(1987), dan Jonassen, Tessmer, dan Hannum (1999).

Perencana juga ingin survei sumber daya yang mereka harus bekerja dengan, termasuk waktu,
uang, dan orang-orang dan kendala melompat-lompat pekerjaan mereka untuk menentukan
apakah proyek tersebut berharga. Pada tahap ini, perencana juga dapat mulai plot garis-garis
waktu dan tugas tugas untuk proyek.

Tahap Desain. Dalam konteks proses pembuatan total, "desain" mengacu pada tahap di mana
isi, urutan, strategi, dan metoda yang dipilih untuk memenuhi tujuan pembelajaran tertentu. Dari
semua tahapan dalam proses ISD, ini adalah salah satu yang telah menerima perhatian yang
besar oleh para sarjana. penelitian psikologis tentang belajar manusia dan penelitian pendidikan
mengenai metode pengajaran yang efektif telah memberikan kekayaan panduan untuk keputusan
ini. Desain bimbingan ditemukan dalam karya-karya seperti Leshin, Pollock, dan Reigeluth
(1992) dan Foshay, Silber, dan Stelnicki (2003).

Sebuah keputusan besar pada tahap desain adalah memilih suatu kerangka menyeluruh untuk
pelajaran atau unit instruksional lainnya. Kerangka Banyak pelajaran yang berbeda telah
diusulkan, sering terinspirasi oleh teori belajar tertentu atau instruksi. Dua kerangka pelajaran
cognitivist-Gagne's (Gagne & Medsker, 1996) peristiwa instruksi dan (2003) model pelatihan
kognitif Foshay, Silber, dan Stelnicki adalah dibahas dalam bab 2. Kerangka lain pelajaran
dengan penampilan konstruktivis lebih berasal dari karya MD Merrill (2002a).

MD Merrill (2002a) mengembangkan badan eklektik prinsip-prinsip pembelajaran, yang ia sebut


"prinsip-prinsip pertama dari instruksi" (hal. 43). Prinsip-prinsip ini terpusat masalah dan
berfokus pada konstruksi pengetahuan oleh pembelajar, seperti ditunjukkan pada Gambar. 4.5.
Mereka atribut tertentu tumpang tindih dengan beberapa menganjurkan dalam perspektif
konstruktivis

. MD (2002a) teori Merrill mengusulkan empat fase dalam proses pembelajaran: (a) aktivasi
pengalaman sebelumnya, (b) demonstrasi keterampilan, (c) aplikasi dari keterampilan, dan (d)
integrasi keterampilan ini ke dalam kegiatan dunia nyata, dengan keempat fase bergulir sekitar
(e) masalah. Masing-masing lima unsur telah mendukung generalisasi atau prinsip-prinsip, yang
menyediakan resep untuk instruksi yang efektif.

MD Merrill (2002b) mengusulkan suatu kerangka sederhana untuk menerapkan nya "prinsip-
prinsip pertama" untuk belajar, yang disebut "model kerikil-in-the-kolam." Adalah Esensi dari
kerangka kerja untuk memulai dengan membayangkan seluruh versi sederhana dari tugas yang
pelajar harus mampu melakukan-riak pertama dari kerikil jatuh ke kolam, maka untuk
mengidentifikasi riak memperluas: "suatu perkembangan masalah seperti kesulitan
meningkatkan atau kompleksitas sedemikian sehingga jika peserta didik mampu melakukan
semua tugas seluruh sehingga diidentifikasi, mereka akan menguasai pengetahuan dan
keterampilan yang akan diajarkan "(hal. 41). Fokus pada masalah di tempat kerja-aktual yang
dibuat pendekatan ini sangat cocok untuk aplikasi di tempat kerja. TABEL 5 !!!!

Kerangka Banyak pelajaran lain dijelaskan sepenuhnya dalam Reigeluth (1983, 1999), JR Davis
dan AB Davis (1998), dan Medsker dan Holdsworth (2001).

Tahap Pengembangan. Ketika pembangunan jangka panjang digunakan sebagai bagian dari
proses ISD lebih besar, itu merujuk ke tahap di mana spesifikasi yang dihasilkan dari tahap
desain diubah menjadi bahan beton yang dapat digunakan oleh instruktur dan peserta didik.
Tahap pengembangan biasanya menerima sedikit perhatian rinci dalam model ISD atau
dokumentasi pendukungnya, mungkin karena penulis model ISD bukan merupakan ahli dalam
berbagai seni produksi dan ragu-ragu untuk menguraikan proses-proses ini secara rinci.

Pada tahap pengembangan, cetak biru desain pertama berubah menjadi prototipe yang dapat
digunakan. Pensil, kuas, kamera, mikrofon, dan alat-alat kreatif lainnya digunakan untuk
menangkap atau membuat kata-kata dan gambar yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan
pelajaran. Sukses adalah tergantung pada keterampilan artistik dan teknis dari spesialis di
berbagai media. Hal ini tidak biasa untuk menemukan beberapa ketegangan antara desainer dan
pengembang sebagai tim produksi mungkin berjuang untuk menafsirkan spesifikasi samar-samar
atau bertentangan. Idealnya, keduanya cukup memahami tentang bisnis lain untuk dapat saling
menegosiasikan solusi yang memuaskan.

kegiatan evaluatif pada tahap ini berkisar ujicoba dan revisi bahan prototipe atau proses. Sampel
dari populasi target bisa mencoba prototip 0:59 atau dalam kelompok kecil dengan pengamatan
kegunaan bahan atau proses dan penilaian hasil belajar untuk menentukan bagaimana bahan
prototipe hampir memenuhi tujuan yang dimaksudkan. Untuk meningkatkan penerimaan dari
produk atau proses yang sedang dikembangkan, tujuannya harus untuk membuatnya semenarik
mungkin untuk pengguna yang dimaksudkan. Setelah pengujian prototype dan revisi, bahan baru
atau proses yang siap untuk diedit dan ditingkatkan untuk membentuk terakhir mereka. Masters
produk akhir yang diserahkan untuk produksi massal, baik oleh lembaga produksi in-house atau
oleh sumber-sumber eksternal. Versi Final akan diproduksi dalam jumlah yang pada saat ini.
Output dari tahap produksi adalah sepenuhnya bekerja keluar produk atau program yang telah
dikembangkan, diuji, direvisi, dan dipersiapkan untuk implementasi skala besar.

Tantangan pada antarmuka desain, pengembangan, dan produksi.

Kerr (1983) mencatat bahwa ISD pemula sering gagal untuk menggunakan paling generik
prosedur desain umum di bidang lain: menghasilkan beberapa solusi, menerima atau menolak
pada beberapa dasar yang koheren, merupakan masalah desain efektif untuk diri sendiri dan
orang lain, dan menunjukkan dalam menangkap menghentikan aturan (ketika itu masuk akal
untuk berhenti). Prosedur-prosedur ini tidak hanya diperlukan untuk desain instruksional awal,
mereka diwajibkan sepanjang tahap pengembangan sebagai bahan instantiated baik untuk
mewujudkan atau untuk mendukung visi yang ditetapkan dalam cetak biru.

Sebagai bidang teknologi pendidikan telah bergerak lebih jauh dari akar di film dan produksi
AV, sebuah split identitas telah terjadi, memisahkan peran perancang dan pengembang media
pembelajaran / produser. Dengan pemisahan ini, proses desain pembelajaran dan pengembangan
bahan cenderung dalam banyak kasus untuk bergerak terpisah juga (pengecualian sering berada
di sekolah dan lingkungan akademik dimana desain instruksional yang terjadi pada skala yang
sangat kecil, dan mungkin tidak terang-terangan diakui sebagai instruksional desain sama sekali).
Munculnya alat digital dengan kurva belajar dangkal mungkin membawa dua kembali bersama
dalam beberapa konteks, namun pengembangan dan produksi masih cenderung menjadi waktu
proses-intensif, dan yang di mana alat-alat pelajari hari ini harus relearned besok. Banyak
desainer instruksional lega karena tidak harus dilihat sebagai bertanggung jawab atas, atau
mampu, partisipasi langsung dalam tahap proses. Selain itu, media dikembangkan pada saat itu
dilakukan dengan baik cenderung membutuhkan set khusus beberapa keterampilan, membuat
pembagian kerja antara desain pedagogis dan produksi media semua lebih tak terelakkan.

Melakukan produksi digital sendiri. Pendidikan teknologi yang melakukan produksi digital
sendiri harus menguasai sejumlah keterampilan teknis dan proses, khususnya, mekanika
menggunakan alat digital dari jenis. Tantangan bukanlah yang terpenting, juga bukanlah
langkah-langkah yang menakjubkan dalam keseluruhan proses pengembangan pembelajaran
yang sering menguasai pikiran para desainer walaupun mereka tidak cukup untuk memastikan itu
hebat atau bahkan berguna, materi akan membuahkan hasil. Pada tahap ini, kecocokan antara
peralatan dan hasil yang diinginkan adalah yang sangat penting, sehingga efisiensi tidak
dikorbankan oleh penggunaan alat-alat. Langkah-langkah pembuatan, mengidentifikasi langkah-
langkah diharuskan untuk membuat komponen-komponen materi dan bahan itu sendiri, harus di
indetifikasi, di uji cobakan dan kemudian melakukan penilaian. Secara bertahap, sebuah tim akan
menemukan fitur baru pada sebuah alat (contoh: penambahan layer pada fitur adobe pohotoshop)
secara keseluruhan mengubah langkah produksi dan mungkin juga meniadakannya pada tahap
penting sebelumnya. Dukungan untuk melakukannya sendiri. Sebuah industri dibangun untuk
mengisi kesenjangan antara keinginan dan kemampuan teknis yang dibutuhkan untuk membuat
produk multimedia. Hal itu dapat menghasilkan keuntungan komersil yang mendukung
ketersediaan clipart, color schemes, template power point,dll. Sayangnya, alat tersebut memiliki
sedikit atau bahkan tidak memiliki kemampuan untuk mengarahkan pilihan pengguna yang
masih awam atau yang berjiwa seni. Sesuatu dapat membuat lapisan slide show tetapi
bermasalah pada daya tarik visual, pengaruh psikologi atau nilai pembelajaran. Outsourcing
production. Alternatif untuk melakukannya sendiri adalah dengan tetap memakai kontraktor
dari luar atau sepesialis pembuatan yang ada. Desainer pembelajaran disewa untuk sebuah
operasi yang bersekala kecil mungkin untuk menangani pengembangan aktual dan pembuatan
materimaterinya, tetapi sebaliknya malah mengharapkannya untuk mengelola proses
pengembangan atau menyewa orang lain untuk mengelolanya. Dalam hal lain, dimana
pembangunan berskala besar ditangani, desainer pembelajaran bertanggung jawab untuk
melayani hubungan dengan tim spesialis lainnya.

Walaupun itu sangat penting untuk dipertimbangkan, desain pesan sering merupakan bidang
yang saling tidak berhubungan antara desainer pembelajaran dengan ahli pengembangan media,
baik diluar maupun di dalam. Rencana pada desain pembelajaran mungkin tidak sesuai dengan
petunjuk desain pesan, yang mana masalah keputusan tersebut bersebrangan dengan ahli yang
mungkin memiliki sedikit laporan mengenai hasil pembelajaran yang dikeluarkan kedalam
bentuk produk dan karena itu tidak berdasarkan pada penjualan akhir atau bahkan keputusan
dasar tentang bentuk media.
Di lain kasus, perencanaan desain pembelajaran mungkin memiliki spesifikasi yang tinggi pada
desain pesan dan desain media. Tetapi dalam segi teknis itu merupakan hal yang tidak realistis
atau naïf dalam segi produksi. Appelman (2005) telah mengemukakan sebuah metode untuk
menganalisis calon “kompleks” di ligkungan belajar mengenai kemampuan mereka yang dapat
membantu menjembatani kesenjangan komunikasi antara desain pembelajaran dan
pengembangan materi. Appelman and boling (2005) mengadopsi bentuk dan fungsi standart
hubungan pada kawasan desain yang dikaitkan untuk menyediakan suatu kerangka di mana
perancang pembelajaran dan spesialis media dapat berkomunikasi tentang tujuan fungsional
untuk keputusan bentuk.

Tahap implementasi. Setelah bentuk dasar materi, lingkungan belajar atau system pembelajaran
telah diuji coba dan di revisi, barulah dapat digunakan oleh pebelajar.

Gerakan instruksi yang diprogramkan menunjukkan bahwa prestasi bisa ditingkatkan melalui
pemikiran individu , bukan kelompok, sebagai pengguna terakhir. Itu dimungkinkan pada
pembelajaran individu dengan mengizinkan peserta didik untuk meningkatkan kemampuan
mereka masing-masing dan untuk menerima remedial pada bagian-bagian pelajaran yang mereka
anggap sulit. Hal ini menimbulkan gagasan bagi penguasaan belajar (mekar, 1968), yaitu,
mengharapkan bahwa semua siswa dapat mencapai tujuan pelajaran (sebagai lawan dari kurva
lonceng berbentuk prestasi diasumsikan di sebagian besar A, B, C, D, grading F sistem). Konsep
penguasaan menunjukkan bahwa hasil setiap pelajar harus dibandingkan dengan beberapa
kriteria prespecified (tidak dengan pelajar lain) dan bahwa mereka harus diberi kesempatan
untuk terus berjuang dan mendapatkan bantuan dalam memenuhi kebutuhan mereka sampai
berhasil. Hanya setelah menunjukkan penguasaan yang rendah mereka harus diberikan
kesempatan untuk mencoba bekerja lebih giat. Hal ini untuk mencegah bola salju ketidaktahuan
dan untuk mengurangi tingkat kegagalan. Meskipun mungkin pelaksanaan perlu melakukan
kegiatan seluruh kelas, itu lebih untuk melibatkan siswa atau peserta pelatihan menggunakan
bahan sendiri atau lingkungan belajar yang mendalam. Filosofi dan praktek-praktek di sekitarnya
dijelaskan secara rinci dalam Bab 5.

Tahap evaluasi

Asal praktek evaluasi. Praktek mengevaluasi produk-produk dari proses desain sebelum
menempatkannya dalam menggunakan skala penuh yang berasal dari radio pendidikan di stasiun
WBOE pada 1930-an. Produsen radio Cleveland telah mengembangkan suatu proses yang cukup
canggih dan cukup sebanding dengan model ISD. Secara khusus, proses itu menampilkan
penyiapan konsep naskah yang masih kasar, yang mana telah diperiksa oleh kepala sekolah,
kemudian ditampilkan kepada kelas-kelas regular melalui alamat umum sistem. Para anggota tim
desain mengamati reaksi siswa, kemudian melaakukan pertemuan untuk putusan revisi. Naskah
yang telah direvisi kemudian diuji dengan penonton lain dan direvisi lagi sebelum diumumkan
menjadi seluruh sistem sekolah (C Cambre, 1981)

Proses pembuatan film militer perang dunia ke-II tidak menyertakan semacam evaluasi formatif.
Karena waktu yang mendadak dan mahalnya biaya memproduksi film, dianggap tidak praktis
untuk membuat versi trial untuk pengujian. Sebaliknya, prototip yang diselesai kemudian
ditinjau oleh klien dan disetujui atau dikirim kembali untuk perubahan mengedit.Biasanya
beberapa evaluasi sumatif resmi terdiri dari laporan pengguna dan survei tempat informal. Film
yang berkualitas menerima evaluasi yang lebih menyeluruh, termasuk uji penonton.

Dalam periode pasca perang film pendidikan dan produksi televisi, prosedur untuk pengujian
reaksi penonton dan pembelajaran yang semakin halus. Instrumen untuk mengukur hasil kognitif
dan afektif adalah subyek dari banyaknya pekerjaan R & D, misalnya, di Angkatan Laut,
Angkatan Udara dan Penn State studi dibahas sebelumnya dalam bab ini. Namun, prosedur dan
instrumen cenderung digunakan dalam proses penelitian formal tentang "belajar dari televisi"
daripada dalam pengembangan sehari-hari bahan pendidikan.

Evaluasi Formatif menerima peningkatan besar di era instruksi yang diprogramkan, terutama
karena resep sederhana pelajar sebagian besar merupakan tanggapan yang sesuai, sehingga
perilaku yang diinginkan dapat diperkuat. Bagaimana mungkin sesuatu yakin bahwa urutan
frame akan memperoleh respon yang benar? Pengujian adalah satu-satunya jawaban. Bahkan,
kontrak departemen pertahanan AS untuk bahan pelatihan yang diprogram dibutuhkan produsen
untuk mengajukan bukti bahwa materi telah diuji dan bahwa 90% dari peserta didik membuat
tanggapan yang benar 90%. Jadi pengujian dan revisi menjadi bagian dari budaya instruksi yang
diprogramkan. Sejak desain proses instruksi yang diprogramkan berubah menjadi ISD, tahap
pengujian proses dan revisilah yang menonjol dalam model ISD. Cara berpikir ini sangat
didukung oleh penekanan pendekatan sistem pada umpan balik dan kontrol kualitas, sehingga
memberikan alasan lain untuk melakukan evaluasi dalam ISD.

Meskipun scriven (1967) memberikan nama untuk evaluasi formatif - data yang dikumpulkan
untuk meningkatkan produk selama pengembangan - dan evaluasi sumatif - data yang
dikumpulkan untuk memvalidasi keberhasilan intervensi setelah implementasi - ide-ide yang
mapan dalam teknologi pendidikan pada waktu itu.

evaluasi Formatif. Komitmen untuk evaluasi terus menerus merupakan salah satu keunggulan
dari ISD. Setiap tahap proses ISD terlibat dalam membuat keputusan atau menciptakan artefak,
yang dapat diuji melalui caracara empiris. Mengingat bahwa esensi teknologi adalah "aplikasi
sistematis dari ilmu atau pengetahuan terorganisir lainnya (Galbraith, 1967, hal 12), itu adalah
fungsi evaluasi formatif yang paling memberikan kontribusi untuk membuat ISD sebuah proses
teknologi.

Model ISD menggunakan berbagai perangkat grafis untuk menggambarkan evaluasi formatif
berkelanjutan. Model Morrison, Ross dan Kemp's (2004) menunjukkan prinsip ini dengan
menggambarkan fungsi evaluasi formatif sebagai gerhana, mengelilingi dan berinteraksi dengan
semua fungsi lainnya. Model dampak strategis (molenda & Pershing, 2004), dibahas panjang
lebar dalam bab 3, mengatur analisis, desain, pengembangan, produksi dan fungsi pelaksanaan
sekitar evaluasi dan revisi, digambarkan sebagai jantung pada proses ISD.

Sumatif evaluasi. evaluasi sumatif bertujuan untuk menentukan efektivitas akhir dari intervensi,
sering disebut sebagai verifikasi atau validasi. Hal ini dilakukan setelah artefak atau sistem telah
diimplementasikan dengan pengguna. Masalah utama adalah apa yang harus diukur untuk
menentukan keberhasilan. Kerangka kerja yang diterima secara luas adalah bahwa empat
tingkatan Kirkpatrick (1998), yang mengusulkan bahwa orang bisa mengevaluasi keberhasilan
program oleh empat kriteria: (1) reaksi atau kepuasan peserta didik, (2) pencapaian tujuan
pembelajaran, (3) penerapan belajar dalam kehidupan nyata atau (4) hasil organisasi, yaitu,
dampak keseluruhan dari intervensi pada tujuan organisasi. Pemilihan dari salah satu target ini
bisa dibenarkan, tergantung pada keadaan.

Manajemen proyek. proyek-proyek pembangunan instruksional yang membutuhkan lebih dari


beberapa jam kerja mungkin menuntut perhatian terhadap organisasi dan kontrol. Formalitas
manajemen proyek biasanya meningkat sebagai skala kenaikan proyek. Proyek dengan anggaran
besar, terutama yang didanai publik atau dengan konsekuensi serius bagi kegagalan akan
membutuhkan pengawasan ketat dan kontrol. Untuk proyek-proyek kecil, sering lebih mentolerir
beberapa kesalahan awal dan slip jadwal daripada mencekik kreativitas dengan manajemen
resmi. Salah satu temuan utama McCombs (1986) tinjauan penelitian tentang ISD adalah bahwa
ketika militer supervisor diperlukan desainer pelatihan untuk mendokumentasikan setiap langkah
kerja ISD mereka, mereka dikembangkan pelajaran membosankan "cat dengan angka-angka"
atau kepala mereka dilatih dengan desain kreatif dan mengisi dokumen sesudahnya. Maguire
(1994) mengatakan, "cara terbaik untuk salah mengurus proyek dan membahayakan produk ini
adalah dengan memberi begitu banyak penekanan pada jadwal bahwa kemerosotan moral tim
dan dorongan untuk membuat keputusan bodoh ..." (p.105)

Beberapa isu-isu manajemen umum muncul dalam proyek-proyek pengembangan pembelajaran


lingkup besar (Foster, 1993). Set pertama berkisar masalah perencanaan awal: menentukan
tujuan proyek secara keseluruhan, penjadwalan untuk setiap tahap, menyiapkan prosedur operasi
untuk proyek-proyek, penyusunan anggaran dan mengamankan pendanaan. Untuk proyek seperti
itu, sangat penting untuk mengantisipasi milestone proyek dan menjelaskan tentang apa yang
akan "disampaikan", ketika klien menerima mereka dan seberapa cepat reaksi dan persetujuan
harus diterima. (Morrison dkk., 2004) Desain instruksional adalah suatu proses lebih dari
proses teknologi (Schwen, Leitzman, Misanchuk, Foshay & Heitland, 1984). Jadi masalah
interpersonal menjadi perhatian kedua. Proses ini dibentuk dengan cara-cara penting oleh
hubungan sosial di antara para anggota tim desain, antara tim desain, klien dan stakeholder
lainnya, dan antara aktivitas desain dengan pengaturan sosial pembelajaran (Durzo, Diamond &
Doughty, 1979). Sederhananya, seseorang harus latihan kepemimpinan dalam membangun
hubungan kerja dengan klien atau sponsor, memperjuangkan tujuan proyek, memilih dan
memotivasi anggota tim dan mengatur komunikasi yang sehat antara stakeholder.

Set ketiga isu berkaitan dengan mengorganisir: menciptakan struktur organisasi,


mengalokasikan tugas, mendelegasikan tanggung jawab, dan memelihara lingkungan kerja yang
produktif. Isu-isu besar keempat adalah pemantauan dari hari ke hari dan pengendalian sebagai
pengembangan sebenarnya yang dilakukan: menentukan kriteria evaluasi, melakukan evaluasi
formatif dan sumatif, mengambil tindakan korektif dan memegang jadwal. Kekhawatiran
terakhir adalah menghentikan proyek yang besar dan menyiapkan laporan akhir, yang mungkin
mencakup analisis operasi: analisis apa yang berhasil dan apa yang salah dapat membantu tim
belajar bagaimana untuk berbuat lebih baik di masa depan.

Di area kompleks pengembangan dasar lingkungan belajar dan sistem interaktif serupa, masalah
manajemen thorniest berkisar pada proses produksi aktual - bagaimana untuk menyeimbangkan
tuntutan teknis dari pemrograman komputer, animasi, grafis dan spesialisasi lain sambil menjaga
fokus pada tujuan pembelajaran. Masalah ini dibahas kemudian mengenai lingkungan blended
learning.

Proyek perangkat lunak manajemen. Latihan rutin dalam menggunakan perangkat lunak
manajemen proyek untuk membimbing proyek ID dari lingkup besar. Program generic/umum
seperti Proyek Microsoft menyediakan template untuk dengan cepat mengatur perencanaan,
penjadwalan, pemantauan dan kegiatan anggaran dalam proyek ID. Software untuk
melaksanakan desain yang sebenarnya dan langkah-langkah pembangunan dibahas nanti dalam
kaitannya dengan lingkungan blended learning dan otomatisasi ID.

Pendekatan desain selain ISD

Meskipun model berdasarkan pendekatan sistem yang paling banyak dibahas dan diajarkan, ada
banyak cara alternatif untuk berpikir tentang pengembangan instruksi. Dills dan Romiszowski
(1997) memberikan deskripsi panjang dari beberapa lusin pendekatan, termasuk yang berhubung
dgn sibernetika, analisis perilaku, terletak kognitif, semiotika, instruksi langsung, konstruktivis,
eksistensialis, komunikasi struktural, prototyping kolaboratif cepat, simulasi dan bimbingan
cerdas, dll. Banyak dari itu tidak dimaksudkan sebagai panduan yang dibentuk sepenuhnya untuk
seluruh proses perencanaan instruksi. Beberapa hanya berurusan dengan bagian-bagian dari
proses pembangunan, khususnya menawarkan pilihan yang berbeda untuk strategi pengajaran
dan taktik pada tahap desain. Lainnya lebih besar dari pengembangan instruksional, menawarkan
suatu pandangan filsafat yang berbeda pada belajar atau instruksi secara keseluruhan. Sebagai
contoh, (1997) empat komponen model ID van merrienboer bertujuan memandu desain
lingkungan belajar untuk mencapai keterampilan teknis yang rumit. Dalam langkah-langkah
untuk menentukan dan kemudian mempraktekkan operasi kognitif diperlukan penguasaan
keterampilan kompleks tersebut. Intinya adalah bahwa meskipun merupakan tampilan ortodoksi
mengenai proses pengembangan desain, sebenarnya ada keragaman pandangan untuk
memanfaatkan domain model proses.

Tradisi Alternatif Desain. Salah satu pandangan alternatif dari proses desain yang besar adalah
bahwa model proses tidak dapat menggambarkan sepenuhnya atau langsung menunjukkan
keberhasilan pada efektifitas desain tetapi situasi sederhana. Dalam pandangan ini, desain
dipandang sebagai ruang di mana pencipta artefak (contoh: bahan, pengalaman) bergulat dengan
beberapa ketegangan dan keinginan dari berbagai sumber. Upaya mereka pada pemecahan
masalah dalam ruang ini didasarkan pada pengetahuan pengalaman yang luas dan pelatihan
kebiasaan berpikir serta kinerja yang membimbing mereka (Goel, 1995: Rowe, 1987). Perbedaan
antara pandangan dan tampilan model-centric di teknologi pendidikan digambarkan oleh Rowe
(1987) ketika ia menulis tentang perkembangan model proses beserta sistem pemikiran revolusi
tahun 1950-an dalam arsitektur. Dia menggambarkan "fase" kegagalan atau "tingkatan proses"
model untuk bidang tersebut. Dalam deskripsi itu, model ini mirip dengan yang digunakan dalam
desain instruksional, yang "ditandai oleh bentuk-bentuk kegiatan yang dominan, seperti analisa,
sintesis, evaluasi dan seterusnya" (hal.46). Rowe mengamati, "apa yang kelihatannya diperlukan
(pada saat pembangunan mereka) adalah prosedur yang jelas dan logis untuk memproduksi
desain dan rencana yang dapat dipahami dan diikuti oleh semua yang terlibat" (p.111). Ia
mengakui pemahaman konseptual yang diperoleh melalui usaha, tetapi :
Terlepas dari kontribusi yang sangat nyata yang dibuat, paling tidak untuk pemahaman kita
tentang proses-proses ini, di hampir semua kasus, langkahlangkah tidak tergambarkan ke alam
normatif di mana proses menjadi sebagai tujuan itu sendiri sehingga mengakibatkan kegagalan
total. Upaya untuk merancang proses menjadi latihan sia-sia jika dibandingkan dengan besarnya
kehalusan dan kedalaman yang diamati dalam pemecahan masalah perilaku. (Rowe, 1987, p.111)

Persamaan proses perjuangan model "air terjun" yang lebih preskriptif telah terjadi dalam
rekayasa perangkat lunak. Mereka juga, telah menerapkan mentalitas ADDIE dan menemukan
bahwa hal itu dapat tumbuh menjadi rutinitas yang sangat preskriptif yang membutuhkan
pedoman yang besar untuk menggambarkannya. Seperti dalam desain instruksional, seseorang
bisa membuat pendekatan ini menjadi satu yang lambat dan rumit. Douglas (2006)
menggambarkan pendekatan alternatif yang dieksplorasi dalam rekayasa perangkat lunak,
termasuk "desain cerdas": alternatif pendekatan ini lebih adaptif dengan situasi dan lebih
berorientasi kepada orang-orang. Dilihat dari perspektif alternatif, sentralitas langkah-langkah
model ISD yang sangat kaku dalam bidang ini dapat dipertanyakan.

Dengan cara desain. Nelson dan Stolterman (2003) menjabarkan filosofi desain sebagai tradisi
dan budaya, yaitu cara hidup dengan beberapa aspek internal (pengembangan penilaian, rasa
tanggung jawab, untuk efek desain seseorang, dll) maupun eksternal (pengumpulan data, analisis
sistematis, dll). Dalam pandangan ini, perancang tidak mengikuti model proses desain, atau
menghuni suatu "ruang desain" sebagai aktor terampil, tetapi mendiami dunia pada umumnya
sebagai anggota dari tradisi desain. Dalam pandangan ini, desain tidak selalu soal pemecahan
masalah (yang, bahkan jika tidak memiliki solusi yang jelas, dilakukan adengan memecahkan
definisi), tetapi masalah membentuk dunia menuju negara yang diinginkan dan terus-menerus
tidak diketahui. Ini membentuk sikap pelayanan kepada dunia, yang berarti partisipasi yang
setara - status dari dunia - yaitu, desainer bukanlah penyedia solusi berpengetahuan, tetapi
kolaborator yang sah dengan mereka yang bertanggung jawab pada desain yang sedang
dilaksanakan. Dalam pandangan ini, karakter desainer, bukan hanya perilaku mereka atau
keterampilan atau pengetahuan, tetapi sesuatu yang fundamental dan merupakan sumber dari
proses yang fleksibel. Pengguna Desain. Keterbatasan ISD tradisional adalah bahwa hal itu
melibatkan pengguna akhir - guru dan pelajar - sangat sedikit dalam proses desain. Di satu sisi,
hal ini menghalangi pengguna untuk kekuasaan mengendalikan dan belajar dari karya mereka
sendiri pada konstruksi pengetahuan. Di sisi lain, rintangan desainer dalam bahwa mereka
kehilangan wawasan yang dapat ditawarkan oleh pengguna, dan produk-produk mereka sering
diabaikan atau ditentang pengguna. Konsep desain pengguna mencoba untuk memperbaiki
ketidakseimbangan kekuasaan. Burkman (1987) adalah seorang advokat awal yang
meningkatkan efektivitas desain produk instruksional dengan melibatkan pengguna akhir dalam
proses desain, atas dasar bahwa orang lebih mungkin untuk menerima dan menggunakan solusi
jika mereka membantu desain.

Carr-Chellman dan Savoy (2004) menggambarkan berbagai pendekatan desain yang berbasis
pengguna, berpusat pada pengguna, benar-benar dikendalikan atau pembebas oleh pengguna
desain, yang dapat membuat perubahan pada pelajar dan petunjuk di mana mereka beroperasi.
Mereka juga membahas kesulitan pendekatan yang dikendalikan oleh pengguna tersebut, dalam
hal pengeluaran waktu dan ketegangan dalam dinamika kekuasaan diantara para peserta. Ini
adalah area di mana penelitian belum mengungkapkan suatu solusi yang optimal untuk
kepentingan semua pemangku kepentingan dalam belajar.

Desain penelitian. Yang diusulkan oleh Laurel (2003), berasal dari lingkungan pengembangan
perangkat lunak, proses desain harus melibatkan spektrum lengkap beserta alat-alat penelitian
berdasarkan tujuan dari perusahaan desain tertentu. Dalam hal desain instruksional, Carr-
chellman dan Savoy (2004) menjelaskan berbagai keterlibatan pelajar, dari menanggapi survei
dan kuesioner untuk berpartisipasi sebagai mitra penuh dalam penelitian tindakan. (P.712)

Rapid prototipe. Konsep rapid prototype mengacu pada perkembangan awal sebuah prototipe
skala kecil dalam rangka untuk menguji fitur kunci dari desain (Wilson, Jonassen & Cole, 1993).
Ide ini tidak sepenuhnya baru untuk teknologi pendidikan, yang meramalkan pada 1950-an
dalam praktek pembuatan film pendidikan mempersiapkan "pengobatan" untuk ditinjau sebelum
produksi. Dan dalam model ISD awal, Diamond (1975) menganjurkan memvisualisasikan solusi
ide dan mendiskusikan dengan klien sebagai langkah awal dalam proses ISD. Namun, Tripp dan
Bichelmeyer (1990) menunjukkan bagaimana gagasan ini bisa diadaptasi dari rekayasa perangkat
lunak untuk desain instruksional untuk mengatasi masalah biaya meningkatnya ID, khususnya di
bidang perusahaan. Mereka merekomendasikan proses empat tingkat termasuk tahapan
melakukan analisis kebutuhan, membangun prototipe, prototipe dimanfaatkan untuk melakukan
penelitian dan menginstal sistem final.

Lingkungan belajar

Menggunakan istilah yang bebas, lingkungan belajar dapat berupa apa saja dari kelas, sekolah,
sampai keadaan pikiran. Dalam konteks teknologi pendidikan, itu berarti ruang fisik atau virtual
yang telah dirancang untuk memberikan kondisi yang optimal dalam belajar, termasuk akses ke
sumber daya yang kaya, mungkin difokuskan pada masalah dan mungkin mendukung
pembelajaran eksplorasi. Sebuah simulasi berbasis komputer seperti SimCity bisa dianggap
sebagai lingkungan belajar. Emporium matematika (dijelaskan dalam bab 3), ruangan fisik
pembelajaran itu sendiri, sumber belajar melalui komputer dan tutor langsung, adalah contoh lain
dari lingkungan belajar sebuah sistem mandiri yang sangat mendukung fokus pada pelajaran.

Penciptaan yang kaya pengindraan, pemberdayaan lingkungan belajar memiliki tradisi panjang
dalam teknologi pendidikan. Pada 1940-an, Edgar Dale (1946) berdasarkan pedagogi audiovisual
tentang "pengalaman yang kaya. . . . dibumbui dengan rasa pengalaman langsung, memiliki
suatu kualitas kebaruan, kesegaran, kreativitas dan petualangan, dan. . . ditandai dengan emosi
"(hal.23)

George leonard (1968) membayangkan sebuah sekolah dasar masa depan sebagai lingkungan
bebas, terbuka, berpusat pada pelajar. Meskipun khayalan Leonard tidak terwujud seperti itu, ia
terus mengaitkannya dengan perwujudan dari banyak elemen sekolah masa depan. Pada kampus
masa depan, setiap anak memiliki rencana pendidikan individu (yang diamanatkan oleh hukum
untuk pelajar berkebutuhan khusus pada tahun 1975) dan mengikuti kurikulum yang mencakup
pengalaman dalam interpersonal, intrapersonal, kinestetik dan banyak domain lain (1983 teori
kecerdasan majemuk ala Howard Gardner, diusulkan dan diterapkan di beberapa sekolah
eksperimental). Mereka belajar keterampilan dasar melalui interaksi dengan menampilkan
proyeksi yang brilian (misalnya, layar plasma yang dikembangkan di lab cai's plato Bitzer,
dipatenkan pada 1971) melalui perangkat input komputer yang dikendalikan (juga di lab
PLATO). Subyek berasal dari "bank data umum budaya" (Leorand, 1968, hal.45: mirip dengan
World Wide Web, operasional pada tahun 1992). Siswa berbagi gambar pada layar mereka
dengan siswa lain (seperti visi Dyknow tablet PC, digunakan pada tahun 2000). Leonard
merupakan lingkungan yang kaya yang melibatkan tatap muka dan kegiatan yang dimediasi,
yang mencakup berbagai pengalaman intelektual, olahraga, seni, spiritual dan moral.
Perkembangan terbaru dalam teknologi dan pedagogi telah memicu visi baru dari lingkungan ide
belajar.

Konstruktivis, Lingkungan yang kaya untuk belajar aktif (real) Konstruktivis, Lingkunganyang
kaya untuk belajar aktif (real) adalah sistem pembelajaran komprehensif yang menggabungkan
fitur yang dipertimbangkan yang sesuai dengan perspektif konstruktivis, yaitu untuk
mempromosikan studi dan eksplorasi dalam konteks asli: untuk mendorong tanggung jawab
individu dan inisiatif pelajar: untuk menumbuhkan kerjasama di antara pelajar dan guru: untuk
mendukung kedinamisan, kegiatan belajar generatif: dan menggunakan penilaian otentik untuk
menentukan prestasi pelajar (Grabingar 1996). teori fleksibilitas kognitif, pelabuhan
pembelajaran dan PBL adalah semua teori konstruksi yang telah mengilhami penciptaan REAL.

Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

Pendidikan medis secara historis merupakan tempat paling menonjol untuk PBL, tetapi saat ini
sedang disesuaikan dengan pengaturan sekolah dan perguruan tinggi. Dalam lingkungan belajar
PBL, kelompok kecil siswa berdiskusi didampingi oleh seorang fasilitator dihadapkan dengan
masalah yang dibuat seolah-olah nyata. Mereka kemudian menyatukan pertanyaan untuk
mengetahui dan memecahkan masalah. Peserta didik membahas isuisu, tujuan pembelajaran
berasal dan mengatur pekerjaan lebih lanjut (misalnya, pencarian literatur dan database). Para
pelajar mempresentasikan dan mendiskusikan temuan mereka pada sesi berikutnya, mereka
kemudian menerapkan hasil dari belajar yang diarahkan pada diri mereka untuk memecahkan
masalah. Siklus PBL diakhiri dengan refleksi belajar, pemecahan masalah dan kerja sama
(Savery & duff, 1996)

Lingkungan Blended learning: nyata, simulasi, virtual dan dicampur

Salah satu kecanggihan pada bidang pembelajaran berbasis teknologi dalam penciptaan
lingkungan mendasar yang memadukan unsur-unsur kehidupan nyata, simulasi komputer,
permainan video dan keyataan yang sesungguhnya di berbagai kombinasi hibrida (Kirkley, SE &
JR kirkley, 2005). Sebagai contoh, pada kunjungan lapangan ke lahan basah (wetland), siswa
yang sedang menyelidiki efek dari polusi mungkin memakai tutup kepala untuk menunjukkan
tampilan utama informasi tentang kualitas air dan satwa liar di daerah tersebut. Atau peserta
pelatihan militer mungkin berlatih melakukan pencarian menggunakan bahasa Arab di sebuah
desa timur tengah dengan cara PC notebook menampilkan simulasi 3-D dari desa dan
penduduknya: warga desa virtual menjawab pertanyaan peserta pelatihan ', yang dianalisis
dengan software pengenalan suara. Dengan menambahkan suatu mekanisme penilaian, simulasi
tersebut dapat mencakup unsur permainan.
Lingkungan yang mendasar ini biasanya mencakup beberapa tingkat simulasi, gambaran buka -
tutup dari "mengembangkan situasi dengan banyak variabel interaksi" (Gredler, 2004). Nilai
pedagogis dari simulasi adalah bahwa mereka memungkinkan pengguna untuk memainkan
peran, menghadapi masalah, dan konsekuensi pengalaman, sehingga belajar dengan melakukan
(Gredler, 2004, p.571)

Sebuah variasi yang umum pada simulasi digital adalah dunia mikro eksplorasi lingkungan
berbasis komputer yang "terasa seperti" sebuah dunia yang berisikan miniatur diri, di mana
peserta dapat mengeksplorasi alternatif, uji hipotesis dan menemukan fakta-fakta tentang dunia.
Ini berbeda dari sebuah simulasi dalam peserta itu didorong untuk melihatnya sebagai sebuah
dunia nyata dalam dirinya sendiri, dan hanya sebagai simulasi dari beberapa irisan realitas.
Pendidikan dunia mikro telah dibangun untuk studi fisika (Thinker / tools), matematika (Sim
Calc) dan genetika (Kej lingkup), dan di antara mata pelajaran lain (Rieber, 2004)

Banyak kombinasi lain dari unsur-unsur mendasar adalah kemungkinan, yang belum ada bahkan
keserakahan nama. Apakah mereka memiliki kesamaan adalah tujuan menciptakan lingkungan di
mana peserta didik mengalami masalah realistis dalam pengaturan hidup. lingkungan tersebut
memungkinkan para peserta didik untuk memanipulasi variabel yang saling berhubungan seperti
dalam dunia nyata, yang memungkinkan mereka untuk menemukan pola dan melihat bagaimana
berbagai tindakan mempengaruhi hasil, memungkinkan pembelajaran terjadi secara induktif. SE
Kirkley dan JK Kirkley (2005) melihat potensi besar untuk lingkungan gabungan realitas,
terutama ketika mereka meliputi kegiatan game-tipe, tetapi mereka juga mengakui bahwa seperti
simulasi immersive kompleks dapat menimbulkan tantangan bagi peserta didik yang pemula
dalam hal subjek atau teknologi. Mereka juga menjadi tantangan bagi desainer.

Menciptakan lingkungan yang mendalam. Tantangan pertama dari lingkungan mendasar


kompleks adalah bahwa proses desain memerlukan tim multidisiplin, yang mungkin "tidak hanya
desainer instruksional dan ahli materi pelajaran, tetapi desainer permainan dan interaksi serta
desainer grafis

/ model, programmer dan mungkin bahkan penulis naskah dan aktor" (SE Kirkley dan JK
Kirkley, 2005, hal.49). masing-masing spesialisasi mungkin memiliki desain proses dan masalah
teknis sendiri, yang semuanya harus dikoordinasikan. SE Kirkley dan JK Kirkley (2005) telah
mengembangkan alat mencipta, membuat IIPI, yang dapat membimbing tim melewati tahapan
analisis kebutuhan belajar, menerjemahkan kebutuhan tersebut ke dalam tujuan dan kriteria
evaluasi, serta mengembangkan kegiatan dan lingkungan untuk mencapai tujuan (p. 50).
Appelman (2005) merekomendasikan fokus pada pengalaman peserta didik atau modus
pengalaman, dan menguraikan rincian sebagai salah satu lingkungan belajar yang akan
membangun peta konsep (p.72). Karena kesulitan untuk membuat program seperti itu, mereka
cenderung terkonsentrasi pada daerah dimana pelatihan tradisional terlalu mahal atau berbahaya
atau keduanya.

Bab IV Tren dan Isu yang terkait dengan menciptakan Analog-digital dilema.

Sebuah tren yang dominan dalam teknologi pendidikan sejak tahun 1990 adalah kegelisahan
hidup berdampingan dari peralatan lengkap seluruh media analog (misalnya, slide, kaset, kaset
video, film, overhead, dll) di samping berkembangnya media digital (komputer-based). Kedua
kelas media ditandai dengan banyak format dan standar yang tidak kompatibel.

Instruktur - pengaturan di sekolah, perguruan tinggi dan universitas serta dalam perusahaan -
masih sering mengandalkan yang lebih tua, format media yang lebih akrab, seperti slide video
dan OHP. Di sekolah dan universitas, kaset video VHS masih merupakan kekuatan dari koleksi
media, dan mereka masih banyak digunakan untuk menampilkan gambar bergerak. Dalam
pelatihan perusahaan, rekaman video masih digunakan di lebih dari setengah perusahaan dalam
merespon survei tahunan Majalah Pelatihan (Dolezalek, 2004). Slide dalam format tradisional
dua-dua masih disukai untuk mata pelajaran dengan gambar beresolusi tinggi yang kritis.
Overhead projector tetap menjadi format yang nyaman untuk penciptaan spontan sebuah gambar
verbal atau grafis (Molenda & bichelmeyer, 2005). Instruktur memahami sebuah nilai komunal
(yang bertautan/berhubungan) dalam melihat beberapa jenis bahan pada layar besar dengan
gambar ketajaman yang tinggi (seperti film teater). Mereka menolak menyerahkan kemampuan
analog sampai jenis pengalaman ini bisa disesuaikan oleh media digital.

Dari sudut pandang administrasi, banyak modal dan sumber daya manusia yang terikat dalam
memperoleh, mempertahankan, dan bergerak di sekitar perangkat keras yang diperlukan untuk
penggunaan ini. Bahkan lebih banyak waktu dan upaya yang telah dihabiskan dalam proyek
pembangunan untuk menghasilkan perangkat lunak baru yang disesuaikan dalam format analog.
Biasanya, output dari proyek tersebut terlalu khusus untuk diadopsi atau bahkan diadaptasi oleh
instruktur lain. Oleh karena itu, proyek tersebut mahal dan berdampak rendah (South & Morson,
2001)

Pada saat yang sama, administrator pendidikan sedang berjuang untuk memenuhi kebutuhan
yang lebih dan lebih dari infrastruktur berbasis komputer. perangkat keras tersebut harus terus
ditingkatkan, sedangkan perangkat lunak menjadi tidak terpakai pada langkah yang
memusingkan. Modal dan biaya-biaya manusia dari perkembangan format media dan disertai
kompleksitas kerja yang menakutkan.

Jalan keluar dari dilema ini dipilih oleh berbagai institusi untuk pelan-pelan mengurangi
dukungan pada media analog dan untuk beralih ke kebijakan untuk memperoleh dan
memproduksi bahan-bahan masa depan dalam format digital. Kepala Produksi Media di sebuah
universitas besar melaporkan bahwa "alat-alat produksi yang sekarang kita gunakan semuanya
adalah digital di alam. . . . kita membuat siaran rekaman video digital berkualitas, mengedit
video dan mengarang DVD pada komputer, serta menghasilkan produk yang lengkap menjadi
format digital (DVD atau Web) "(R. zuzulo, komunikasi pribadi, 3 Maret 2006)

Selanjutnya, organisasi mencari format standar dalam rangka meningkatkan kompatibilitas di


seluruh departemen, bahkan sampai ke titik membayangkan sebuah database tunggal untuk
semua media pembelajaran organisasi. Standardisasi seperti itu akan bergerak ke arah obyek
belajar yang digunakan ulang, sehingga memungkinkan untuk benar-benar mengurangi biaya
penyediaan media pembelajaran yang diperlukan oleh instruktur.

Kritik dari ISD


Dari waktu ke waktu sejak tahun 1990, berbagai suara mempertanyakan kelangsungan hidup
terus-menerus dari pendekatan ISD untuk desain instruksional. Kritik baru-baru ini telah datang
terutama dari dua arah. Yang pertama adalah dari perusahaan spesialis pelatihan, yang
mengatakan ISD itu membutuhkan banyak waktu dan tenaga mengingat hasil yang diberikan.
Yang kedua adalah dari ahli pendidikan yang memiliki pandangan belajar dan mengajar
konstruktivis, yang merasa bahwa ISD merupakan mata air dari paradigma behavioris dan karena
itu mengarah ke solusi yang tidak memadai.

Kritik korporasi itu mungkin disajikan paling kuat oleh Gordon dan zemke (2000), yang dikutip
ahli pengisian bahwa pendekatan ISD terlalu lambat dan kaku untuk pengisian cepat lingkungan
digital, gagal untuk fokus pada apa yang paling penting dan cenderung untuk menghasilkan
solusi yang tidak bersemangat . Sebuah artikel lanjutan (zemke & rossett, 2002) memeriksa
pertanyaan-pertanyaan ini lebih dekat dan menyimpulkan bahwa ada titik yang valid pada kedua
sisi pertanyaan ini, tetapi kekurangan tersebut lebih sering berupa kesalahan dari orang yang
menggunakan proses dibanding proses itu sendiri. Mereka menyimpulkan, "ISD adalah hal
terbaik yang kita miliki, jika kita menggunakannya dengan benar (zemke & rossett, 2002, hal.35)
kritikus lain terfokus pada kritik pertama Gordon & zemke's (2000) - bahwa ISD tidak cocok
dengan lingkungan digital, yang biasa membutuhkan perubahan yang cepat kalau-kalau masalah
berubah atau menghilang sebelum solusi selesai. Sebuah tinjauan model-model alternatif untuk
pendidikan jarak jauh online baru-baru ini (Schoenfeld & Berge, 2004) menunjukkan bahwa
banyak dari model tersebut merupakan adaptasi dari garis ADDIE, dengan fitur-fitur khusus
dalam satu atau lebih dari tahap utama. Salah satu konsep populer yang muncul di sejumlah
model adalah prototipe cepat, dibahas sebelumnya dalam bab ini. Ini menunjukkan penciptaan
awal prototipe kasar dari solusi yang diajukan. Kemudian menguji dan merevisi peningkatan
penuh dan versi jadi dari solusi. Paradigma di jantung proses pendekatan berturut-turut, bukan
proses linear tersirat dalam pendekatan ADDIE.

Konstruktivisme dapat dilihat sebagai sebuah tantangan untuk ISD baik di tingkat memilih
metode pembelajaran atau pada tingkat dewan filosofis (Dick, 1997). Pada tingkat metode,
konstruktivisme adalah label untuk pembelajaran yang berpusat pada siswa berdasarkan prinsip
yang diterima secara luas dari psikologi kognitif. Dengan demikian, adalah mungkin untuk
menggunakan resep konstruktivis untuk merancang lebih mendalam, kegiatan masalahterpusat.
Jadi, pendekatan sistem tetap membimbing paradigma pada tingkat strategis, tetapi pada tingkat
taktis beberapa teknik konstruktivis dapat digunakan. Dilihat pada tingkat dewan filosofis,
konstruktivisme adalah paradigma alternatif untuk teori-teori belajar dan pembelajaran
sebelumnya. Oleh karena itu Beberapa menyatakan bahwa konstruktivisme memerlukan proses
desain dan pengembangan yang sepenuhnya berbeda. Willis dan wright (2000) mengusulkan
pedoman untuk desain pembelajaran konstruktivis, yang memerlukan tim partisipatif terlibat
dalam proses spiral klarifikasi progresif ruang masalah strategi pembelajaran untuk digunakan
dan sangat bertujuan pada pelajaran. Proses ini akan melibatkan prototyping cepat dan masukan
pelajar berkali-kali.

Kompleksitas desain pembelajaran dan kebutuhan untuk otomatisasi

Kemajuan teknologi tidak membuat perencanaan dan memproduksi menjadi lebih mudah,
melainkan lebih sulit (Spector, 2001) dan lebih padat karya, dengan masing-masing jam instruksi
multimedia interaktif membutuhkan 300 jam kerja pada waktu pengembangan (Merrill, MD &
kelompok ID2 penelitian, 1998). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, membuat pelajaran CAI
atau lingkungan belajar mendalam memerlukan tenaga kerja yang besar hanya untuk
pemrograman komputer. Selain itu, manajemen proyek secara keseluruhan bisa sangat kompleks
dan memakan waktu. Proyek-proyek pembangunan tidak hanya dapat meliputi beberapa media
berbasis komputer tetapi juga database dan sistem kinerja dukungan, memerlukan komunikasi
dan koordinasi antara tim dengan sangat beragam spesialisasi:

Desain instruksional dapat berinteraksi dengan manajer, dengan orang-orang yang melakukan
tugas-tugas pelatihan, dengan para ahli subjek, dengan spesialis sistem dan sebagainya. Seorang
desainer mengusulkan solusi dan mempertahankan rencana proyek, mengelola proyek, memilih
media, mengembangkan storyboard dan produk lainnya, melakukan evaluasi dan sebagainya. . . .
sebagai pertumbuhan kompleksitas proyek, begitu pula kebutuhan untuk berkolaborasi dan untuk
mengkoordinasikan kegiatan (Spector, 2001 hal.31)

Banyak upaya telah dilakukan untuk mengelola kerumitan ini dengan perangkat lunak. Pertama,
seperti yang dijelaskan sebelumnya, authoring software dikembangkan untuk mengurangi
kesulitan atau pemrograman komputer untuk CAI rutin. Pada tahun 1980 menuju 1990-an, MD
Merrill dan ID2 Research Group (1998) bekerja pada proses otomatis pemilihan strategi
instruksional untuk kebutuhan belajar yang berbeda dan juga proses menciptakan pelajaran rutin
didasarkan pada strategi pembelajaran yang dipilih. Mereka kemudian mengembangkan produk
prototipe, "ID2 Instruksional Simulator" untuk membangun lingkungan belajar eksplorasi (MD
Merrill dan ID2 Research Group, 1998, p.261). Semua produk ini didasarkan pada penciptaan
dan penggunaan kembali objek pengetahuan. Namun, penggunaan sistem ini belum menyebar
jauh melampaui organisasi yang terlibat langsung dalam pembangunan. Konseptual dan masalah
teknis terus menghalangi otomasi desain instruksional (Spector, polson, muraida, 1993).

Bab V Penutup Kesimpulan Proses yang terkait untuk menciptakan dalam teknologi
pendidikan telah sangat berkembang dari waktu ke waktu dan perubahan teknologi, dengan teori
yang mendasari mereka. Media massa awal - film, radio dan televisi – yang disesuaikan dengan
tujuan pendidikan sebagian besar dibentuk oleh paradigma dari media massa komersial. program
berbasis naskah mengikuti protokol sejarah perundangan-undangan kembali, demonstrasi,
etnografi dan genre lainnya yang ditemukan di dunia komersial. Eksperimen, pertama berbasis
pada teori gestalt, kognitif dan kemudian teori behavioris, memberikan wawasan untuk
pemurnian presentasi AV yang memberikan kontribusi untuk kognitif, afektif, dan keterampilan
motorik belajar. Prosedur Evaluasi juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan program
individu.

Sebuah prosedur yang lebih sistemik dan sistematis untuk merencanakan dan memproduksi
media pembelajaran berkembang setelah Perang Dunia II di bawah pengaruh pendekatan sistem
dan perilaku protokol manajemen pembelajaran. Digunakan pada awalnya untuk menghasilkan
pelajaran instruksional yang diprogramkan, model pengembangan sistem pembelajaran, (ISD)
yang banyak mengambil bentuk adaptasi lokal, hadir untuk diterapkan secara umum pada
perencanaan dan produksi segala macam bahan ajar dan sistem. Pembagian dari sebagian besar
model ISD adalah perkembangan logis dari analisis desain, untuk pengembangan, implementasi,
evaluasi dalam siklus iteratif.
Ketika mesin mekanik mengajar ditempatkan dengan komputer yang diprogram pada proses ISD
tetap, tetapi tahap produksi diperlukan seperangkat keterampilan baru dalam pemrograman
komputer atau setidaknya dalam menggunakan authoring software.Selama internet tumbuh
populer di tahun 1980-an dan 1990-an, pendidikan dan program pelatihan mencari cara untuk
memasukkan konferensi komputer ke dalam program pendidikan jarak jauh. Ketika World Wide
Web muncul sebagai layanan Internet yang dominan, desainer mampu menggabungkan interaksi
antara siswa-dengan-siswa dan siswa-kepada-instruktur dengan teks statis atau gambar bergerak
dalam satu paket pelajaran dimana komponen telah terhubung dengan hyperlink, memungkinkan
pengguna untuk mengeksplorasi sumber daya kurang lebih secara cuma-cuma (bebas).
Kemampuan baru ini memberikan dorongan untuk penemuan sistem pembelajaran dan PBL
yang terinspirasi oleh teori-teori konstruktivis.

Selain pendekatan sistem, pendekatan desain untuk menciptakan dalam teknologi pendidikan
telah dipinjam dan diadaptasi dari bidang lain, termasuk seni visual, desain software, desain
sistem sosio teknis, pengembangan organisasi dan psikologi kognitif, untuk beberapa nama.
Salah satu tantangan ke depan adalah untuk memutuskan apakah akan mempertahankan,
mengadaptasi atau membuang model pendekatan sistem dan untuk menemukan cara berpikir
tentang desain yang produktif bagi lingkungan media perubahan abad ke-21.

Dengan pengerucutan terus menerus dan pemusatan media di bawah payung komputer,
pengembang instruksional menghadapi tantangan teknis baru dalam hal bahasa pemrograman
yang selalu berubah dan sistem authoring. Mereka juga menghadapi pola pikir baru tentang apa
lingkungan belajar dan bagaimana harus terstruktur, terutama dalam hal pedoman bahwa peserta
didik harusnya telah berhadapan dengan skenario masalah dan database terbuka informasi yang
nyata atau simulasi. Immersive lingkungan kompleks, yang dapat menggabungkan unsur-unsur
realitas, simulasi dan virtual reality, menjanjikan untuk bermakna, PBL. Mereka juga membawa
desain dan tantangan pembangunan baru, memerlukan teknik pengaturan dari spesialisasi yang
berbeda, masing-masing dengan spesialisasi yang berbeda, masing-masing dengan kosa kata dan
pendekatan desain yang berbeda.

Daftar Pustaka Lampiran


MODEL-MODEL PEMBELAJARAN

 Pembelajaran Humanisme

Dalam teori humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini
melihat kejadian yaitu bagaimana dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan positif ini
yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya
menfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan yang positif. Kemampuan positif tersebut
erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif.

Emosi merupakan karateristik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanisme.
Dalam teori pembelajaran humanistik, belajar merupakan proses yang dimulai dan ditujukan untuk
kepentingan memanusiakan manusia. Dimana memanusiakan manusia di sini berarti mempunyai tujuan
untuk mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal.
beberapa tokoh ahli yang berpendapat tentang pembelajaran humanisme ini : Arthur Combs (1912-
1999), Abraham Maslow (1962) dan Carl Roger (1961).

A.    Model-model Pembelajaran dengan Pendekatan Humanistik

1. Model Pendidikan Populer (Popular Education)


     

Model pendidikan populer dikembangkan oleh Jane K. Vella (Medsker dan Holdsworth, 2001). Fokus
utama model ini adalah intensitas pelibatan si belajar dalam seluruh tahapan belajar yang meliputi :
analisis kebutuhan, desain aktivitas belajar, penyampaian pelatihan, dan evaluasi.

Simpul penting model ini antara lain :

o  Penyediaan lingkungan yang aman dan hangat secara psikologis,

o  Praksis (siklus aksi-refleksi),

o  Dialog jujur dan sejajar antara si belajar dan fasilitator,

o  Perlakuan terhadap si belajar sebagai subjek,


o  Mempelajari apa yang langsung dirasakan manfaatnya oleh si belajar,

o  Kerja aktif dalam kelompok kecil.

2. Model Belajar Orang Dewasa (Adult Learning)


   

Malcolm Knowles (1913-1977) digelari predikat sebagai Bapak Pendidikan Orang Dewasa (Medsker dan
Holdsworth).

Simpul penting model ini antara lain :

      Konsep diri,

      Pengalaman,

      Kesiapan untuk belajar,

      Orientasi belajar,

      Motivasi,

      Kebutuhan untuk tahu.

 Pembelajaran Konvensional

Metode Ceramah

Metode ceramah adalah penuturan bahan pelajaran secara lisan. Metode ini senantiasa bagus bila
pengunaannya betul-betul disiapkan dengan baik, didukung alat dan media serta memperhatikan batas-
batas kemungkinan penggunannya.

Metode Diskusi

Metode diskusi adalah metode pembelajaran yang menghadapkan siswa pada suatu permasalahan.
Tujuan utama metode ini adalah untuk memecahkan suatu permasalahan, menjawab pertanyaan,
menambah dan memahami pengetahuan siswa, serta untuk membuat suatu keputusan.
Metode Tanya Jawab

Metode tanya jawab adalah metode mengajar yang memungkinkan terjadinya komunikasi langsung
yang bersifat two way traffic sebab pada saat yang sama terjadi dialog antara guru dan siswa. Guru
bertanya siswa menjawab atau siswa bertanya guru menjawab.

 Pembelajaran Kooperatife

Model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk
bekerja sama saling membantu mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri.
Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota
kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada kontrol
dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok
heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok dan pelaporan. Macam-macam model
pembelajaran kooperatife :  

      Model Pembelajaran Role Playing

Langkah-langkah kegiatan pembelajaran :

1)      Guru menyusun atau menyiapkan skenario pembelajaran yang akan ditampilkan,

2)      Guru menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario 2 hari sebelum KBM,

3)      Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang,

4)      Guru memberikan penjelasan tentang kompetensi yang akan dicapai,

5)      Guru memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah
dipersiapkan,

6)      Masing-masing siswa duduk di kelompoknya dan memperhatikan skenario yang sedang
ditampilkan,
7)      Setelah selesai, masing-masing siswa diberikan selembar kertas untuk membahas apa yang
sudah ditampilkan,

8)      Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulan,

9)      Guru memberikan kesimpulan secara umum.  

10)  Evaluasi,

11)  Penutup.  

      Model Pembelajaran Cooperative Script

Skrip kooperatif adalah metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan secara lisan
mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari. Langkah-langkah :

 Guru membagi siswa untuk berpasangan.

 Guru membagikan wacana/materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan.

 Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang
berperan sebagai pendengar.

 Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok


dalam ringkasannya. Sementara pendengar menyimak/mengoreksi/menunjukkan ide-ide pokok
yang kurang lengkap dan membantu mengingat/menghapal ide-ide pokok dengan
menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya.

 Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya, serta
lakukan seperti di atas.

 Guru memberikan kesimpulan.

 Penutup.
      Model Pembelajaran Problem Based Introductions (PBI)

Langkah-langkah pembelajaran :

1)      Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi
siswa terlibat dalam aktifitas pemecahan masalah yang dipilih.

2)      Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dan lain-lain).

3)      Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis dan pemecahan
masalah.

4)      Guru membantu siswa dalam merencanakan, menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan
dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.

5)      Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka
dan proses-proses yang mereka gunakan.

      Model Pembelajaran Problem Solving

Strategi belajar mengajar penyelesaian masalah adalah bagian dari strategi belajar mengajar
inkuiri. Penyelesaian masalah menurut J. Dewey (dalam Hudojo, 2003:163), ada enam tahap :

 Merumuskan masalah : mengetahui dan menemukan masalah secara jelas.

 Menelaah masalah : menggunakan pengetahuan untuk memperinci, menganalisis masalah dari


berbagai sudut.

 Merumuskan hipotesis : berimajinasi dan menghayati ruang lingkup, sebab akibat dan alternatif
penyelesaian.

 Mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian hipotesis : kecakapan


mencari dan menyusun data, menyajikan data dalam bentuk diagram, gambar.
 Pembuktian hipotesis : cakap menelaah dan membahas data, menghitung dan menghubungkan,
keterampilan mengambil keputusan dan kesimpulan.

 Menentukan pilihan penyelesaian : kecakapan membuat alternatif penyelesaian kecakapan


menilai pilihan dengan memperhitungkan akibat yang akan terjadi

      Model Pembelajaran Bersiklus (Cycle Learning)

Langkah-langkah pembelajaran :

o  Fase Engage (Menarik Perhatian-Mengikat)

Fase engage merupakan fase awal. Pada fase ini guru menciptakan situasi teka-teki yang sesuai
dengan topik yang akan dipelajari siswa. 

o  Fase Exploration (Eksplorasi)

Selama fase eksplorasi, siswa harus diberi kesempatan untuk bekerja sama dengan teman-
temannya tanpa arahan langsung dari guru. 

o  Fase Explain (Menjelaskan)

Pada fase ini guru mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri.

o  Fase Expand (Perpanjangan)

Pada fase ini siswa harus mengaplikasikan konsep dan kecakapan yang telah mereka miliki
terhadap situasi lain.

o  Fase Evaluate (Evaluasi)

Pada fase ini guru mengevaluasi materi yang telah dilaksanakan.

      Model Pembelajaran Teams Games Tournament (TGT)


Ada 5 komponen utama dalam komponen utama dalam TGT yaitu :

1. Penyajian kelas : Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas,
biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin
guru.

2. Kelompok (team) : Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya
heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau etnik.

3. Game : Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan
yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok.

4. Turnamen : Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru
melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja.

5. Team recognize (penghargaan kelompok) : Guru kemudian mengumumkan kelompok yang


menang, masing-masing team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor
memenuhi kriteria yang ditentukan.  

      Model Pembelajaran Examples dan Non-Examples

Examples Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-contoh. Langkah-
langkah pembelajaran :

1)      Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran,

2)      Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan melalui OHP/LCD,

3)      Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan pada siswa untuk menganalisis gambar,

4)      Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusin dari analisa gambar tersebut dicatat
pada kertas,

5)      Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya,

6)      Berdasarkan hasil diskusi, guru mulai menjelaskan materi sesuai dengan tujuasn yang hendak
dicapai,
7)      Kesimpulan.

      Model Pembelajaran Model Jigsaw 

Langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang ditempuh adalah : 

 Siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok dan tiap kelompok beranggotakan 4-5 anak.

 Tiap anak dalam tim diberi bagian materi yang berbeda sesuai dengan yang ditugaskan, anggota
dari tim yamg berbeda yang telah mempelajari bagian atau subbab yang sama bertemu dalam
kelompok baru (kelompok ahli) dan mendiskusikan subbab mereka.

 Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok masing-masing dan tiap
anggota lainnya mendengarkan penjelasan dari tim ahli.

 Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi.

 Guru memberi evaluasi.

 penutup. 

      Model Pembelajaran Think Pair and Share

Langkah-langkah kegiatan pembelajaran :

  Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai.

  Siswa secara perorangan diminta untuk berfikir tentang materi/permasalahan yang disampaikan
guru. 

  Siswa diminta berpasangan dengan teman sebangku (1 kelompok 2 orang) dan mengutarakan
hasil pemikiran masing-masing.

  Masing-masing pasangan membentuk kelompok baru (tiap kelompok 4 siswa).


  Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya. Berawal
dari kegiatan tersebut mengarah pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi
yang belum diungkapkan siswa.

  Guru memberi kesimpulan.

  Penutup

      Model Pembelajaran Student Teams Achievments Divisions (STAD)

Langkah-langkah kegiatan pembelajaran :

   Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi,
jenis kelamin, suku, dll.).

   Guru menyajikan pelajaran.

   Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota yang
tahu menjelaskan kepada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.

   Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh
saling membantu.

   Guru memberi evaluasi.

   Penutup.

      Model Pembelajaran Number Heads Togheter (NHT)

Numbered Heads Together adalah suatu metode belajar dimana setiap siswa diberi nomor
kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil nomor dari siswa.

Langkah-langkah kegiatan pembelajaran :

 Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor.
 Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.

 Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat
mengerjakannya.

 Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil
kerjasama mereka.

 Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain.

 Guru memberi kesimpulan.

      Model Pembelajaran Picture and Picture

Langkah-langkah pembelajaran :

1)      Guru menyampaikan kompetensi yang akan dicapai,

2)      Guru menyajikan materi sebagai pengantar,

3)      Guru menunjukkan/memperlihatkan gambar-gambar kegiatan yang berkaitan dengan materi,

4)      Guru menunjuk/memanggil siswa secara bergantian untuk memasang/mengurutkan gambar-


gambar menjadi urutan yang logis,

5)      Guru menanyakan alasan/dasar pemikiran urutan gambar tersebut,

6)      Dari alasan/urutan gambar tersebut guru mulai menanamkan konsep/materi sesuai dengan
kompetensi yang ingin dicapai,

7)      Kesimpulan.

      Model Pembelajaran Artikulasi

Langkah-lanmgkah pembelajaran :
1)      Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai,

2)      Guru menyajikan materi,

3)             Untuk mengetahui daya serap siswa, guru membentuk kelompok berpasangan 2 orang,

4)      Salah satu dari pasangan itu menceritakan materi yang baru diterima dari guru dan
pasangannya mendengar sambil membuat catatan kecil kemudian berganti peran. Begitu juga
dengan kelompok yang lainnya,

5)      Seluruh siswa secara bergiliran/diacak menyampaikan hasil wawancaranya dengan teman
pasangannya,

6)             Guru mengulangi penjelasannya mengenai materi yang belum dimengerti siswa,

7)      Kesimpulan/penutup.

      Model Pembelajaran Mind Mapping

Langkah-langkah pembelajaran :

1)      Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.

2)      Guru mengemukakan konsep/permasalahan yang akan ditanggapi oleh siswa. Sebaiknya
permasalahan yang diutarakan guru memiliki alternatif jawaban,

3)      Membentuk kelompok yang anggotanya 2-3 orang,

4)      Tiap kelompok mencatat alternatif jawaban hasil diskusi,

5)      Tiap kelompok membacakan hasi diskusinya dan guru memcatat dipapan dengan
mengelompokkan sesuai dengan kebutuhan guru,

6)      Dari data-data di papan siswa diminta menarik suatu kesimpulan atau guru memberi bandingan
sesuai konsep yang disediakan guru.
      Model Pembelajaran Make a Match (Mencari Pasangan)

Langkah-langkah pembelajaran :

1)      Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk
sesi review, sebaiknya satu bagian kartu berisi soal dan bagian lainnya berisi jawaban.

2)      Setiap siswa mendapat satu buah kartu.

3)      Tiap siswa memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang dipegangnya.

4)             Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya.

5)             Setiap siswa yang dapat memcocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.

6)      Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari
sebelumnya .

7)      Demikian seterusnya.

8)      Kesimpulan/penutup.

      Model Pembelajaran Group Investigation

Langkah-langkah pembelajaran :

1)      Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok heterogen.

2)      Guru menjelaskan maksud pembelajaran dan tugas kelompok.

3)      Guru memanggil ketua dari masing-masing kelompok dan membagikan materi yang berbeda
tiap kelompok.

4)      Masing-masing kelompok membahas materi yang diberikan guru secara kooperatif berisi
penemuan.

5)      Setelah diskusi selesai, lewat juru bicara, tiap-tiap kelompok menyampaikan hasil diskusinya.
6)      Guru memberikan penjelasan singkat serta menarik kesimpulan.

7)      Evaluasi.

8)      Penutup.

      Model Pembelajaran Bertukar Pasangan

Langkah-langkah pembelajaran :

1)      Setiap siswa mendapat satu pasangan (guru bisa menunjukkan pasangan atau siswa menunjuk
pasangannya sendiri).

2)      Guru memberikan tugas dan siswa mengerjakan tugas dengan pasangannya.

3)      Setelah selesai, setiap pasangan bergabung dengan pasangnan yang lain.

4)      Kedua pasangan tersebut saling bertukar pasangan, masing-masing pasangan baru saling
menanyakan dan mengukuhkan jawaban mereka.

5)      Temuan baru yang didapat dari pertukaran pasangan kemudian dibagikan kepada pasangan
yang semula.

      Model Pembelajaran Snowball Throwing

Langkah-langkah pembelajaran :

1)      Guru menyampaikan materi yang akan disajikan.

2)      Guru membentuk kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk
memberikan penjelasan tentang materi.

3)             Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing kemudian menjelaskan


materi yang disampaikan oleh guru kepada anggota kelompoknya.
4)             Masing-masing siswa diberikan selembar kertas untuk menuliskan satu pertanyaan yang
menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok.

5)      Kemudian kertas tersebut dibuat seperti bola dan dilemparkan dari siswa stri ke siswa lain
selama 15 menit.

6)      Setelah siswa mendapat satu bola/satu pertanyaan, mereka diberi kesempatan untuk menjawab
pertanyaan yang ada pada kertas tersebut secara bergantian.

7)      Evaluasi.

8)      Penutup.

      Model Pembelajaran Inside-outside Circle

Langkah-langkah pembelajaran :

1)      Separuh kelas berdiri membentuk lingkaran kecil dan menghadap keluar.

2)      Separuh kelas lainnya membentuk lingkaran diluar lingkaran pertama, menghadap ke dalam.

3)             Dua siswa yang berpasangan dari lingkaran kecil dan besar berbagi informasi. Pertukaran informasi ini
bisa dilakukan oleh semua pasangan dalam waktu yang bersamaan.

4)      Siswa yang berada di lingkaran kecil diam di tempat sedangkan siswa yang berada di lingkaran
besar bergeser satu atau dua langkah searah jarum jam.

5)             Kemudian giliran siswa yang berada di lingkaran besar yang berbagi informasi.

      Model Pembelajaran Course Review Horary

Langakah-langkah pembelajaran :

1)      Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.

2)      Guru mendemonstrasikan/menyampaikan materi.


3)      Guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya.

4)      Untuk meguji pemahaman, siswa diminta untuk membuat kotak 9/16/25 sesuai dengan
kebutuhan dan tiap kotak diisi dengan angka sesuai dengan selera masing-masing siswa.

5)             Guru membaca soal secara acak dan siswa menilis jawaban di dalam kotak yang nomornya
disebutkan guru dan langsung mendiskusikannya, kalau jawaban siswa benar diisi tanda (Ö) dan jika
jawaban siswa salah maka diisi tanda (X).

6)      Siswa yang mendapat tanda Ö vertikal atau horizontal, atau diagonal harus berteriak ”hore”
atau yel-yel yang lainnya.

7)      Nilai siswa dihitung dari jumlah jawaban yang benar.

8)      Penutup.

             Model Pembelajaran Cooperative Integreted Reading and Compositions (CIRC)

Langkah-langkah pembelajaran :

1)      Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen.

2)      Guru memberikan wacana atau kliping sesuai dengan topik pembelajaran.

3)      Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan memberi tanggapan
terhadap wacana/kliping dan ditulis pada selembar kertas.

4)      Tiap kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompok.

5)      Guru bersama siswa membuat kesimpulan.

6)      Penutup.

      Model Pembelajaran Student Facilitator and Explaining

Langkah-langkah pembelajaran :
1)      Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.

2)      Guru mendemonstrasikan atau menyajikan materi.

3)      Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menjelaskan pada siswa lain baik melalui
bagan/peta konsep atau melalui media yang lainnya.

4)      Guru menyimpulkan pendapat siswa.

5)      Guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu.

6)      Penutup.

      Model Pembelajaran Talking Stik

Langkah-langkah pembelajaran :

1)      Guru menyiapkan sebuah tongkat.

2)      Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan
kepada siswa untuk membaca atau mempelajari materi pada buku panduan.

3)      Kemudian siswa diminta untuk menutup buku panduan.

4)      Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada siswa, setelah itu guru memberikan
pertanyaan pada siswa yang memegang tongkat dan siswa tersebut harus menjawabnya.
Demikian seterusnya sampai semua siswa mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan
dari guru.

5)      Guru memberikan kesimpulan.

6)      Evaluasi.

7)      Penutup.

      Model Pembelajaran Multi Level


Langkah-langkah kegiatan pembelajaran :

1)      Menentukan siswa yang berada pada level 1, 2, dan 3. Misalnya dari nilai ulangan harian, atau
melalui pretest.

2)      Membentuk kelompok, banyaknya kelompok sesuai dengan banyaknya siswa pada level 1.

3)      Guru memberikan materi secara keseluruhan dan memberikan soal (LKS) untuk dikerjakan
secara individu.

4)      Sementara siswa yang lain mengerjakan soal, guru mengumpulkan siswa level 1 untuk
diberikan materi secara langsung dengan membahas soal yang telah diberikan sebelumnya.

5)      Siswa level 1 kembali pada kelompoknya dan memberikan pembelajaran pada siswa level 2.

6)      Dengan dibantu siswa level 1, siswa level 2 memberikan pembelajaran pada siswa level 3
dengan membahas soal yang sama.

7)      Guru memantau dan mengevaluasi proses kegiatan pembelajaran dan memberikan bantuan
secukupnya pada masing-masing kelompok.

8)      Guru memberikan penghargaan bagi kelompok atau individu yang berhasil.

      Model Pembelajaran Pesan berantai

Langkah-langkah pembelajaran :

1)      Guru memberikan informasi tentang materi secara umum.

2)      Membentuk kelompok yang beranggotakan 5 orang.

3)      Setiap anggota kelompok diberikan nomor 1-5.

4)      Guru memberikan pesan materi kepada anggota nomor 1 secara berbisik untuk disampaikan
kepada nomor 2, 3, 4 dan 5.

5)      Anggota nomor 5 menyampaikan pesan tersebut pada guru.


6)      Kelompok yang berhasil menyampaikan pesan dengan benar diberi point.

7)      Pembahasan materi oleh guru bersama siswa.

8)      Kesimpulan

      Model Pembelajaran Debat

Langkah-langkah pembelajaran :

1)      Guru membagi kelas menjadi 2 kelompok yang satu pro dan yang lain kontra.

2)      Guru membagi tugas untuk membaca materi yang akan didebatkan oleh kedua kelompok
diatas.

3)             Setelah selesai membaca materi, guru menunjuk salah satu anggota kelompok yang pro
untuk berbicara dan ditanggapi oleh kelompok yang kontra. Demikian seterusnya sampai sebagian
besar siswa mengemukakan pendapatnya.

4)      Sementara siswa menyampaikan gagasan, guru menulis inti/ide-ide dari setiap pembicara di
papan tulis.

5)      Guru menambahkann konsep/ide yang belum terungkap.

6)      Dari data-data yang ada di papan, guru mengajak siswa membuat kesimpulan yang mengacu
pada topik yang dibahas.

      Model Pembelajaran Exsplicit Instruction

Langkah-langkah pembelajaran :

1)      Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa.

2)      Mendemonstrasikan pengetauan dan keterampilan.

3)      Membimbing pelatihan.


4)      Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik.

5)      Memberikan kesempatan untuk latihan lanjutan.

Anda mungkin juga menyukai