Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

PADA PASIEN DENGAN DIABETES MILITUS


DI RUANG ICU RS DJATIROTO

Disusun untuk memenuhi tugas praktik klinik keperawatan profesi ners

DISUSUN OLEH :
GETA RIZQI MAUFIROH
NIM. 14901.08.21018

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN GENGGONG
PROBOLINGGO
2022
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
PADA PASIEN DENGAN DIABETES MILITUS
DI RUANG ICU RS DJATIROTO

Djatiroto, 19 Maret 2022


Mahasiswa

Geta Rizqi Maufiroh


NIM : 14901.08.21018

Pembimbing Akademik Pembimbing Ruangan

Kepala Ruangan
1. Anatomi fisiologi pankreas

Gambar 2.1 :

Anatomi Pankreas (Masmusculo, 2019)

Pankreas adalah organ pipih yang berada di belakang lambung dalam abbdomen,
panjangnya kira-kira 20-25 cm, tebal ± 2,5 cm dan beratnya 80 gram, terbentang dari
atas sampai kelengkungan besar dari abdomen dan di hubungkan oleh saluran ke
duodenum. Struktur organ ini lunak dan berlobus, tersusun atas:
a. Kepala pankreas, merupakan bagian yang paling lebar, terletak di sebelah kanan
rongga abdomen dan didalam lekukan duodenum yang praktis melingkarinya.
b. Badan pankreas, merupakan bagian utama pada organ ini, letaknya di belakang
lambung dan di depan vertebratalumbalis pertama.
c. Ekor pankreas, bagian runcing disebelah kiri dan berdekatan /menyentuh limpa.
Kelenjar penkreas tersusun atas dua jaringan utama yaitu Asini yang merupakan
penyusun terbanyak (80 %) dari volume pankreas, jaringan ini menghasilkan getah
pencernaan dan pulau-pulau langerhans (sekitar 1 juta pulau) yang menghasilkan
hormon. Pulau langerhans merupakan kumpulan sel terbentuk ovoid dan tersebar
diseluruh penkreas tetapi lebih banyak pada ekor (kauda).
Kelenjar pankreas mempunyai hubungan ke depan dari kanan ke kiri : kolon
transversum dan perlekatan mesocolon transversum, bursa omentalis dan gaster
sedangkan ke bagian belakang dari kanan ke kiri ductus choleduchus, vena portae
hepatis dan vena lienalis, vena cava inferior, aorta, pangkal arteri mesenterica
superior, muskulus spoas majir sinistra, glandula suprarenalis.
Pankreas mempunyai dua saluarn utama yang menyalurkan sekresi ke dalam
duodenum yaitu:
a. Duktus wrisung atau duktus pankreatikus, duktus ini mulai dari ekor / cauda pankreas
dan berjalan sepanjang kelenjar, menerima banyak cabang dari perjalanannya. Ductus
ini yang bersatu dengan ductus koledukus, kemudian masuk kedalam doedenum
melalui spingter oddi.
b. Duktus sarotini atau penkreatikus asesori, duktus ini bermuara sedikit di atas duktus
pankreatikus pada duodenum.
Aliran darah yang memperdarahi pankreas adalah arteria lienalis dan arteria
pankreatikoduodenalis superior dan inferior. Sedangkan pengaturan persarafan
berasal dari serabut-serabut saraf simpatis dan parasimpatis saraf vagus (Tarwoto,
2017).
a. Fungsi pankreas
Kelenjar pankreas mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi eksokrin dan fungsi
endokrin.

Gambar: Pankreas
1) Fungsi eksokrin
Kelenjar pankreas hampir 99 persen terdiri dari sel asini yang merupakan
penghasil kelenjar penkreas yang menghasilkan 1200-1500 ml cairan. Cairan pankreas
jernih dan tidak berwarna, mengandung air, beberapa garam, sodium bikarbonat dan
enzim-enzim. pH cairan pankreas alkali (Ph: 7.1–8.2) karena mengandung sodium
bikarbonat. Keadaan pH ini akan menghambat gerak pepsin dari lambung dan
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan enzim-enzim dalam usus halus.
Enzim-enzim pada pankreas di hasilkan oleh sel-sel asinar, fungsinya
membantu pemecahan protein, karbohidrat dan lemak. Enzim-enzim yang berperan
dalam pencernaan protein atau preolitik diantaranya tripsin, kimotripsin dan
karboksipeptidae. Enzim-enzim ini di produksi di dalam sel-sel pankreas dalam bentuk
tidak aktif yaitu tripsingen, kimotripsinogen dan pokarboksipeptidae. Setelah di
sekresi kedalam saluran pencernaan, zat tersebut diaktifkan, tripsinogen di aktifkan
oleh enzim untuk pencernaan enterokinase diaktifkan oleh tripsin menjadi
kemotripsin, demikian juga terjadi pada prokarbonksipeptidase.
Pengaturan produksi dari cairan pankreas dilakukan oleh pengaturan saraf dan
pengaturan hormonal. Pengaturan saraf terjadi bila adanya stimulus dari fase sefalik
dan sekresi lambung terjadi maka impuls parasimpatis secara serentak dihantarkan
sepanjang nervus vagus ke pankreas dan mengakibatkan produksi cairan pankreas.
Sedangkan pengaturan hormonal terjadi akibat stimulasi hormon sekretin dan
kolesistokonin yang menyebabkan peningkatan sekresi enzim (Tarwoto, 2017).
2) Fungsi endokrin
Kelenjar endokrin dalam pankreas adalah pulau langerhans yang menghasilkan
hormon. Hormon merupakan zat organik yang mempunyai sifat khusus untuk
pengaturan fisiologis terhadap kelangsungan hidup suatu organ atau sistem. Sel-sel
pulau langerhans tersususn atas sel Alfa yang menghasilakn hormon glukagon, sel-sel
beta yang menghasilkan insulin, sel delta yang menghasilkan somastostatin atau
growh hormon-inhibiting hormone (GH-IH) dan sel F yang menghasilkan polipeptida
pankreatik.
a) Hormon glukagon
Molekul glukagon merupakan polipeptida rantai lurus yang mengandung residu
asam amino. Sasaran utama glukagon adalah hati, yaitu dengan mempercepat konversi
glikogen dalam hati dari nutrisi lainnya seperti asam amino, gliserol dan asam laktat
menjadi glukosa (glukoneogenesis). Sekresi glukagon secara langsung di kontrol oleh
kadar gula darah melalui system feed back negative. Ketika gula darah menurun
maka akan merangsang sel-sel alfa untuk mensekresi glukagon juga disebabkan
karena hormon somastostatin. Secara umum fungsi glukagon adalah merombak
glikogen menjadi glukosa, mensintesis glukosa dari asam lemak dan asam amino
(glukoneogenesis ) serta pembebasan glukosa ke darah oleh sel-sel hati (Tarwoto,
2012).
b) Hormon insulin
Hormon ini dihasilkan oleh sel beta pulau langerhans pada pankreas, merupakan
hormon peptida yang tersususn oleh dua rantai asam amino yaitu rantai A dan rantai B
yang di hubungkan melalui jembatan disulfida. Insulin di bentuk di retikulum
endoplasma sel B, kemudian di pindahkan ke aparatus golgi selanjutnya kemembran
plasma dan akan melintasi lamina basalis sel B serta kapiler dan endotel apiler yang
berpori untuk mencapai aliran darah. Insulin diproduksi dalam jumlah sedikit dan
meningkat ketika makanan di cerna. Pada orang dewasa rata-rata di produksi 40-50.
Insulin berfungsi memfasilitasi dan mempromosikan transport glukosa melalui
membran plasma sel dalam jaringan tertentu/targetnya seperti otot dan adiposa. Tidak
adanya insulin maka glukosa tidak dapat menembus sel. Glukosa sendiri digunakan
untuk kebutuhan energi dan sebagian lagi disimpan dalam bentuk glikogen. Insulin
juga berfungsi untuk mendorong glukosa masuk ke dalam sel lemak jaringan adiposa
untuk di jadikan gliserol.
Gliserol bersama asam lemak membentuk trigliserida, suatu bentuk lemak yang
disimpan. Insulin juga berperan dalam menghambat perombakan glikogen menjadi
glukosa dan konversi asam amino atau asam lemak menjadi glukosa. Peningkatan
kadar insulin mempunyai afek pada penurunan kadar glukosa darah (hipoglikemia)
(normal kadar gula darah 70 - 110 mg /dl). Jika kadar insulin menurun menyebabkan
peningkatan kadara gula darah (hiperglikemia) seperti yang terjadi pada diabetes
militus.
1. Transport dan metabolisme glukosa untuk energi.
2. Menstimulus penyimpanan glukosa dalam hati dan otot dalam bentuk glikogen.
3. Memberi peringatan pada hati untuk berhenti memecahkan glukogen menjadi
glikogen.
4. Membantu penyimpanan lemak dalam jaringan adiposa.
5. Mempercepat transport asam amino ke dalam sel.
6. Insulin juga bekerja untuk menghambat pemecahan cadangan glukosa, protein dan
lemak.

Sekresi insulin di kontrol oleh mekanisme kimia, hormonal dan persarafan,


produksi insulin meningkat oleh adanya peningkatan kadar gula darah, asam amino
(seperti arginin dan lysisne ), serum lemak bebas. Peningkatan hormon-hormon
gastrointestinal juga memicu peningkatan insulin, disamping adanya stimulus saraf
parasimpatik. Sedangkan yang menghambat produksi insulin adalah rendahnya kadar
gula darah (hipoglikemia), keadaan kadar gula yang tinggi yang sudah ada, stimulasi
saraf simpatis dan prostaglandin (Tarwoto, 2012).
c) Somastostatin atau growh hormone–inhibiting hormon (GH-IH).
Somastostatin diproduksi oleh sel delta, yang merupakan hormon yang penting
dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (keseimbangan pencernaan) (
Tarwoto, 2012).
Hormon ini juga diproduksi oleh hypothalamus. Produksi somastostatin
menghambat produksi hormon pertumbuhan, sekresi gastrin dalam lambung serta
menghambat produksi hormon- hormon yang dihasilkan oleh pankreas seperti
glukagon dan insulin sehingga mencegah terjadinya kelebihan sekresi insulin. Sekresi
somastostatin dari pulau langerhans meningkat oleh glukosa, asam amino tertentu
( Tarwoto, 2012).
d) Polipeptida pankreatik
Hormon ini dihasilkan sel F, mempunyai efek penghambat kontraksi kandung
empedu, pengaturan enzim-enzim pankreas dan berpengaruh terhadap laju absorbsi
nutrien oleh saluran cerna (Tarwoto, 2012).
b. Pengaturan glukosa
Glukosa merupakan unsur nutrien utama yang langsung dapat di gunakan untuk
metabolisme sel. Pada keadaan normal gula darah di pertahankan antara 70-110 mg/dl.
Selama periode puasa pankreas secara terus-menerus mensekresi insulin dalam jumlah
yang sedikit, sementara hormon glukagon di lepaskan ketika kadar gula darah
menurun dan menstimulasi hati untuk melepaskan cadangan glukosanya.
Sehingga hormon insulin dan glukagon sama-sama berperan dalam
mempertahankan kadar gula darah. Setelah 8-12 jam tanpa makanan, hati memecah
glikogen dari nonkarbohidrat, termasuk asam amino menjadi glukosa, yang kemudian
di manfaatkan sel untuk metabolisme dan energi sel (Tarwoto, 2012).
c. Metabolisme glukosa
Glukosa dari karbohidrat tersusun atas unsur karbon, hidrogen dan oksigen,
merupakan unsur untuk energi. Metabolisme glukosa melibatkan proses kimia dan
tergantung adanya hormon insulin, glukagon, adrenokortikotropik hormon (ATCH)
dan glukokortiroid. Hormon adrenokortikotropik (ATCH) dan glukokortiroid
dihasilkan oleh korteks adrenal dan berperan dalam menstimulasi konversi dari protein
ke glukosa. Seperti pada metabolisme yang lain, metabolisme karbohidrat juga
terdapat fase penguraian (katabolisme) dan fase sintetis (anabolisme). Katabolisme
glukosa adalah proses pemecahan glukosa menjadi molekul-molekul kecil yang
digunakan untuk energi. Ada tiga proses katabolisme glukosa yaitu:
1) Glikolisis merupakan proses awal dari katabolisme glukosa, merupakan pemecahan
glukosa menjadi komponen yang lebih kecil untuk cadangan energi.
2) Siklus krebs, melalui proses ini glukosa akan di pecah menjadi karbon dioksida, air
dan energi.
3) Glikogenelisis yaitu proses dimana glikogen diubah menjadi glukosa dihati, proses ini
akan meningkatkan kadar glukosa dalam darah.
Sedangkan proses metabolisme terjadi melalui proses:
1) Glikogenesis atau sintesis glikogen merupakan proses pembentukan glikogen dari
glukosa, fruktosa atau galaktosa. Mekanisme proses ini sangat tergantung adanya
insulin.
2) Glukoneogenesis adalah proses pengubahan dari asam amino, pyruvat dan laktat
menjadi glukosa atau glikogen untuk digunakan cadangan energi sel. Tubuh
melakukan proses ini pada saat puasa (Tarwoto, 2012).

2. Definisi DM
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu diantara penyakit tidak menular
yang masih menjadi permasalahan di Indonesia. DM terjadi ketika adanya peningkatan
kadar glukosa dalam darah atau yang disebut hiperglikemi, dimana tubuh tidak dapat
menghasilkan cukup hormon insulin atau menggunakan insulin secara efektif
(International Diabetes Federation, 2017).
Diabetes adalah penyakit serius kronis yang terjadi baik ketika pankreas tidak
menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah, atau glukosa), atau
ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan (World
Health Organization, 2016).
American Diabetes Association 2010 menjelaskan Diabetes Melitus (DM)
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik ditandai terjadinya hiperglikemia
akibat kelainan sekresi insulin dan kerja insulin atau kedua-duanya (Ndraha, 2014).
3. Klasifikasi Diabetes
Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association 2010 dalam (Ndraha,
2014) yaitu :
a. Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab
autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin
dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit
atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah
ketoasidosis.
b. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa
membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang
merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh
jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena
terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap
kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif
insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya
glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami
desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena
itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi
perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi
perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM
tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi. Sekitar 90-95% penderita DM
adalah tipe 2, DM tipe 2 ini adalah jenis paling sering dijumpai. Biasanya terjadi pada
usia diatas 40 tahun, tetapi bisa pula timbul pada usia diatas 20 tahun (Tandra, 2017).
c. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta,
defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin
lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain.
d. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati
pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM
gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM
gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam
jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.

1.
2.
3.
4. Faktor Resiko
Peningkatan jumlah penderita DM sebagian besar DM tipe 2, berkaitan dengan
faktor risiko yang tidak dapat diubah, faktor risiko yang dapat diubah dan faktor lain.
Menurut American Diabetes Association (2010) bahwa DM berkaitan dengan faktor
risiko yang tidak dapat diubah meliputi riwayat keluarga DM (first degree relative),
umur >45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi berat badan lahir bayi >4000 gram
atau < 2500gram, riwayat pernah menderita DM gestasional (Bennett 2008; Wild et al.
2004). Faktor risiko yang dapat diubah meliputi obesitas berdasarkan IMT >25kg/m2
atau lingkar perut >80 cm untuk wanita, >90 cm pada laki-laki, kurangnya aktivitas
fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet tidak sehat (Giugliano and Esposito, 2012)
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita Polycystic
Ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolik memiliki riwatyat Toleransi
Glukosa Terganggu (TGT), memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler seperti stroke,
Penyakit Jantung Koroner (PJK), Peripheral Arterial Diseases (PAD), konsumsi
alkohol, faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi dan kafein
(Kahn, Cooper and Del Prato, 2014).

5. Etiologi
Penyebab penyakit ini belum diketahui secara lengkap dan kemungkinan faktor
penyebab dan faktor penyakit DM diantaranya:
a. Faktor keturunan
Riwayat keluarga dengan DM tipe 2, akan mempunyai peluang menderita DM sebesar
15 % dan resiko mengelami intoleransi glukosa yaitu ketidakmampuan dalam
memetabolisme karbohidrat secara normal sebesar 30%. Faktor genetik dapat
langsung mempengaruhi sel beta dan mengubah kemampuannya untuk mengenali dan
menyebarkan rangsang sekretoris insulin. Keadaan ini meningkat kerentangan individu
tersebut terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat merubah integritas dan fungsi
sel beta pankreas. Secara genetik resiko DM tipe 2 meningkat pada saudara kembar
monozigotik seorang DM tipe 2, ibu dari neonatus yang beratnya lebih dari 4 kg,
individu dengan gen obesitas, ras atau etnis tertentu yang mempunyai insiden tinggi
ternadap DM (Damayanti, 2018).
b. Obesitas
Obesitas atau kegemukan yaitu kelebihan berat badan ≥ 20 % dari berat badan ideal
atau BMI (Body Mask Index) ≥ 27 kg/m3. Kegemukan menyebabkan kurangnya
jumlah reseptor insulin yang dapat bekerja di dalam sel pada otot skeletal dan jaringan
lemak. Hal ini dinamakan resistensi insulin perifer. Kegemukan juga merusak
kemampuan sel beta untuk melepas insulin saat terjadi peningkatan glukosa darah.
(Soegondo, 2017).
c. Usia
Faktor usisa yang resiko menderita DM tipe 2 adalah usia diatas 30 tahun, hal ini
karena adanya perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari
tingkat sel, kemudian berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ
yang dapat mempengaruhi homostatis. Setelah seseorang mencapai umur 30 tahun,
maka kadar glukosa dalam darah naik 1- 2 % tiap tahun saat puasa dan akan naik 6-
13% pada 2 jam setelah makan, berdasarkan hal tersebut bahwa umur merupakan
faktor utama terjadinya kenaikan relevansi diabetes serta gangguan toleransi glukosa
(Damayanti, 2018).
d. Tekanan darah
Seorang yang beresiko menderita DM adalah orang yang mempunyai tekanan darah
tinggi (Hypertensi) yaitu tekanan darah ≥ 140/90 mmHg. Pada umumnya pada
Diabetes melitus menderita juga hipertensi. Hipertensi yang dikelola dengan tidak baik
akan mempercepat kerusakan pada ginjal dan kelainan pada kardiovaskuler.
Sebaliknya apabila tekanan darah dapat di kontrol maka akan memproteksi terhadap
komplikasi mikro dan makrovaskuler yang disertai pengelolaan hiperglikemia yang
terkontrol. Patogenesis hipertensi pada penderita DM tipe 2 sangat kompleks, banyak
faktor yang mempengaruhi pada peningkatan tekanan darah. Pada DM faktor tersebut
adalah: resistensi insulin, kadar gula darah plasma, obesitas selain faktor lain pada
sistem otoregulasi pengaturan tekanan darah (Damayanti, 2018).
e. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang kurang menyebabkan resistensi insulin pada DM tipe 2
(Soegondo, 2019). Menurut ketua assosiation (persadia) bahwa DM tipe 2 selain faktor
genetik, juga bisa di picu oleh lingkungan yang menyebabkan perubahan gaya hidup
tidak sehat, seperti makan berlebihan (berlemak dan kurang serat ), kurang aktivitas
fisik, stress. DM tipe 2 sebenarnya dapat dikendalikan atau dicegah terjadinya melalui
gaya hidup sehat, seperti makanan sehat dan aktivitas fisik teratur. Aktivitas fisik
berdampak pada aksi insulin pada orang yang berisiko DM. Mekanisme fisik dalam
mencegah atau menghambat perkembangan DM tipe 2 yaitu penurunan resistensi
insulin, peningkatan toleransi glukosa, penurunan lemak adiposa dalam tubuh,
pengurangan lemak sentral, perubahan jaringan otot (Damayanti, 2018).
f. Kadar kolestrol
Kadar HDL kkolestrol ≤ 35 mg/dl (0,09 mmol/L) Sudoyo, 2009. Kadar abnormal lipid
darah erat kaitannya dengan obesitas dan DM tipe 2. Kurang lebih 38 % pasien dengan
BMI 27 adalah penderita hiperkolesterolemia. Pada kondisi ini, perbandingan antara
HDL (High Density lipoprotein) dengan LDL (Low Density lipoprotein) cenderung
menurun (dimana kadar trigliserida secara umum meningkat) sehingga memperbesar
resiko atherogenesis, salah satu mekanisme yang diduga menjadi predisposisi diabetes
tipe 2 adalah terjadi pelepasan asam-asam lemak bebas secara cepat yang berasal dari
suatu lemak visceral yang membesar, proses ini menerangkan terjadinya sirkulasi
tingkat tinggi dari asam-asam lemak bebas di hati, Sehingga kemampuan hati untuk
mengikat dan mengekstrak insulin dari darah menjadi berkurang.
Hal ini dapat mengakibatkan hiperinsulinemia. Akibat lainnya adalah peningkatan
glukoneogenesis dimana glukosa darah meningkat. Efek kedua dari peningkatan asam-
asam lemak bebas adalah menghambat pengambilan glukosa oleh sel otot. Dengan
demikian, walaupun kadar insulin meningkat, namun glukosa dalam darah tetap
abnormal tinggi. Hal ini menerangkan suatu resistensi fisiologis terhadap insulin
seperti yang terdapat pada diabetes tipe 2 (Damayanti, 2018).
g. Stress
Stres adalah segala situasi dimana tuntutan nonspesifik mengharuskan individu untuk
berespon atau melakukan tindakan. Respon ini sangat individual, karena individu
mempunyai sifat multidimensi. Stres muncul karena ada ketidakcocokan antara
tuntutan yang dihadapi dengan kemampuan yang dimiliki. Diebetes yang mengalami
stres dapat mengubah poal makan, latihan, penggunaan obat yang biasanya dipatuhi
dan hal ini menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Stress memicu reaksi bokimia
tubuh melalui 2 jalur, yaitu neural dan neuroendokrin. Reaksi pertama respon stress
yaitu sekresi sistem saraf simpatis untuk mengeluarkan norepinefrin yang
menyebabkan peningkatan frekuensi jantung.
Kondisi ini menyebabkan glukosa darah meningkat guna sumber energi untuk perfusi.
Bila stress menetap akan menyebabkan hipotalamus pituitary. Hipotalamus men
sekresi corticotropin relealising faktor, yang menstimulus pituitari anterior untuk
memproduksi adrenocortocotropic Hormone (ACTH) kemudian ACTH menstimulus
pituitari untuk memproduksi glukokortikoit, terutama kortisol. Peningkatan kortisol
mempengaruhi peningkatan glukosa darah melalui glukoneogenesis, katabolisme
protein dan lemak. Selain itu kortisol juga dapat menginhibisi ambilan glukosa oleh sel
tubuh (Damayanti, 2018).
h. Riwayat diabetes gestasional
Wanita yang mempunyai riwayat diabetes gestasional atau melahirkan bayi dengan
berat badan lahir 4 kg mempunyai resiko untuk menderita DM tipe 2. DM tipe ini
terjadi ketika ibu hamil gagal mempertahankan euglikemia (kadar glukosa darah
normal). Faktor resiko DM gestasional adalah riwayat penyakit keluarga, obesitas
glukosuria. DM tipe ini dijumpai pada 2-5 % populasi ibu hamil. Biasanya gula darah
akan kembali normal setelah melahirkan, namun resiko ibu untuk mendapatkan Dm
tipe II dikemudian hari cukup besar (Damayanti, 2018).

6. Patofisiologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu :
resistensi insulin dan disfungsi sel P pankreas. DM tipe 2 bukan disebabkan oleh
kurangnya sekresi insulin, namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak
mampu merespon insulin secara normal (Kahn, Cooper and Del Prato, 2014).
Resistensi insulin banyak teijadi akibat dari obesitas dan kurangnya aktivitas fisik
serta penuaan. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi
glukosa hepatik berlebihan namun tidak terjadi pengerusakan sel- sel β langerhans
secara auto imun. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat
relatif dan tidak absolut (D’Adamo and Caprio, 2011).
Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel β menunjukan gangguan pada sekresi
insulin fase pertama, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel β
pankreas. Kerusakan sel-sel β pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin
eksogen. Pada penderita DM tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Kahn, Cooper and Del Prato,
2014).
PATHWAY

Usia > 45 tahun, obesitas, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan bayi BB >4000 gr, riwayat DM pada kehamilan, riwayat TGT dan GDPT,
Penderita penyakit jantung koroner, TBC, Hipertiroidisme, Kdar lipit kolesterol HDL< 35 mg/dl dan Trigliserida > 200 mg/dl

Destruksi sel beta pulau langerhans akibat proses auto imun,


Kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin

Diabetes melitus (DM)

B1 B2 B3 B4 B5 B6
Breath Blood Brain Bladder Bowel Bone

Destruksi sel beta akibat Oksidasi glukosa terganggu Konsentrasi glukosa dalam Destruksi sel beta akibat Kegagalan relatif sel beta
Kegagalan relatif sel beta dan darah ↑
resistensi insulin pada jaringan proses autoimun proses autoimun danresistensi insulin
lemak
Perubahan fungsi selebral
Vasikularisasi aliran Ginjal tidak dapat menyerap Mengganggu kerja enzim
glukosa di pankreas Sistem otot terganggu
darah ↓
Perubahan metabolisme
lemak
Menurunya kesadaran dan
penglihatan Glukosa di urine + dan Mengganggu proses
Pembuluh darah
disertai pengeluaran cairan arbsorbsi makanan Transport asam amino
menyempit
Pembentukan dan akumulasi berlebih terganggu
benda-benda keton Resiko cidera
Vasokontriksi Penyimpanan dan
Peningkatan dalam
metabolisme gizi Cadangan glikogen
berkemih
Keseimbangan asam basa terganggu dalam otot ↓

 
terganggu Resiko tinggi
penurunan curah Perfusi perifer tidak Kekurangan volume
jantung cairan
efektif Ketidakseimbangan Gangguan urat saraf
Hiperventilasi Ketidak seimbangan zat gizi
kadar glukosa darah Gangguan eliminasi urine

Hipoglikemi/Hiperglikemia
Pola nafas tidak efektif Kesemutan, kelelahan,
Transport O2 ↓ dan kram
Resiko nutrisi kurang dari Gangguan mobilitas
Gangguan pertukaran gas kebutuhan / Resiko nutrisi lebih fisik
darikebutuhan
Perfusi perifer tidak efektif
7. Tanda dan Gejala
Gejala diabetes pada setiap penderita tidak selalu sama. Ada macam-macam
gejala diabetes, ada yang termasuk “gejala klasik” yaitu gejala khas diabetes, dan yang
tidak termasuk kelompok itu. Gejala Klasik yang ditunjukkan meliputi: banyak makan
(polifagia), banyak minum (polidipsia), banyak kencing (poliuria), berat badan turun
dan menjadi kurus . Beberapa keluhan dan gejala klasik pada penderita DM tipe
(Kariadi, 2009) . yaitu :
a. Penurunan berat badan (BB) dan rasa lemah
Penurunan berat badan ini disebabkan karena penderita kehilangan cadangan lemak
dan protein digunakan sebagai sumber energi untuk menghasilkan tenaga akibat dan
kekurangan glukosa yang masuk ke dalam sel
b. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin)
Kadar glukosa darah yang tinggi, jika kadar gula darah melebihi nilai ambang ginjal (>
180 mg/dl) gula akan keluar bersama urine, untuk menjaga agar urine yang keluar
yang mengandung gula itu tidak terlalu pekat, tubuh akan menarik air sebanyak
mungkin kedalam urine sehinga volume urine yang keluar banyak dan kencingpun
menjadi sering terutama pada malam hari
c. Polidipsi (peningkatan rasa haus)
Peningkatan rasa haus sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang
keluar melalui sekresi urin lalu akan berakibat pada terjadinya dehidrasi intrasel
sehingga merangsang pengeluaran Anti Diuretik Hormone (ADH) dan menimbulkan
rasa haus.
d. Polifagia (peningkatan rasa lapar)
Pada pasien DM, pamasukan gula dalam sel-sel tubuh berkurang sehingga energi yang
dibentuk kurung. Inilah sebabnya orang merasa kurang tenaga dengan demikian otak
juga berfikir bahwa kurang energi itu karena kurang makan, maka tubuh berusaha
meningkatkan asupan makanan dengan menimbulkan rasa lapar. Kalori yang
dihasilkan dari makanan setelah dimetabolisasikan menjadi glukosa dalam darah, tidak
seluruhnya dapat dimanfaatkan sehingga penderita selalu merasa lapar.

8. Komplikasi
DM yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan
kronis. DM merupakan penyakit metabolik yang tidak dapat disembuhkan, oleh karena
itu kontrol terhadap kadar gula darah sangat diperlukan untuk mencegah komplikasi
baik komplikasi akut maupun kronis. Lamanya pasien menderita DM dikaitkan dengan
komplikasi akut maupun kronis. Hal ini didasarkan pada hipotesis metabolik, yaitu
terjadinya komplikasi kronik DM adalah sebagai akibat kelainan metabolik yang
ditemui pada pasien DM (Waspadji, 2009).
Semakin lama pasien menderita DM dengan kondisi hiperglikemia, maka
semakin tinggi kemungkinan untuk terjadinya komplikasi kronik. Kelainan vaskuler
sebagai manifestasi patologis DM dari pada sebagai penyulit karena erat hubungannya
dengan kadar glukosa darah yang abnormal, sedangkan untuk mudahnya terjadinya
infeksi seperti tuberkolosis atau gangrene diabetic lebih sebagai komplikasi (Waspadji,
2009). Menurut (Ernawati, 2013)
komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
a. Komplikasi akut
Gangguang keseimbangan kadar gula darah dalam jangka waktu pendek meliputi
hipoglikemi, ketoasidosis diabeteik dan syndrome HHNK (Koma hiperglikemik
hiperosomolar nonketotik) atau hyperosmolar nonketotik (HONK).
1) Hipoglikemi
Hipoglikemi merupakan keadaan gawat darurat yang dapat terjadi pada perjalanan
penyakit DM. glukosa merupakan bahan bakar utama untuk melakukan metabolisme
di otak. Sehingga kadar glukosa darah harus selalu dipertahankan diatas kadar kritis,
merupakan salah satu fungsi penting sistem pengatur glukosa darah. Hipoglikemi
merupakan keadaan dimana kadar gula darah abnormal yang rendah yaitu dibawah 50
hingga 60 mg/ dl (2,7 hingga 3,3 mmol/ L) (smeltzer & Bare, 2002). Seorang juga
dikatan hipoglikemi jika kadar glukosa darah < 80 mg/ dl dengan gejala klinis.
2) Ketoasidosis diabetik (KAD)
KAD adalah keadaaan dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias
hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebebkan oleh defisiensi insulin absolut
atau relative. Keadaan komplikasi akut ini memerlukan penanganan yang tepat karena
merupakan ancaman kematian bagi penderita diabetes.
b. Komplikasi kronis dibagi menjadi 2 yaitu :
1) Komplikasi makrovaskuler
a) Penyakit arteri coroner
Penyakit arteri koroner yang menyebabkan penyakit jantung koroner merupakan salah
satu komplikasi makrovaskuler yang sering terjadi pada penderita DM tipe 1 maupun
DM tipe 2. Proses terjadinya penyekit jantung koroner pada penderita DM disebabkan
oleh kontrol glukosa darah yang buruk dalam waktu yang lama yang disertai dengan
hipertensi, resistensi insulin, hiperinsulinemia, hiperamilinemia, dislipedemia,
gangguan sistem koagulasi dan hiperhormosisteinemia.
b) Penyakit serebrovaskuler
Penyakit serebrovaskuler pasien DM memiliki kesamaan dengan pasien non DM,
namun pasien DM memiliki kemungkinan dua kali lipat mengalami penyakit
kardiovaskuler. Pasien yang mengalami perubahan aterosklerotik dalam pembuluh
darah serebral atau pembentukan emboli ditempat lain dalam sistem pembuluh darah
sering terbawa aliran darah dan terkadang terjepit dalam pembuluh darah serebral.
Keadaan ini dapat mengekibatkan serangan iskemia sesaaat Transient Ischemic Attack
(TIA)
c) Penyakit vaskuler perifer
Pasien DM beresiko mengalami penyakit oklusif arteri perifer dua hingga tiga kali
lipat diabandingkan pasien non DM. hal ini disebabkan pasien DM cenderung
mengalami perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar pada ekstermitas
bawah. Pasien dengan gangguan pada vaskuler perifer akan mengalami berkurangnya
denyut nadi perifer dan klaudikasio intermiten (nyeri pada pantat atau betis ketika
berjalan). Penyakit oklusif arteri yang parah pada ekstermitas bawah merupakan
penyebeb utama terjadinya ganggren yang dapat berakibat amputasi pada pasien DM.
2) Komplikasi mikrovaskuler
a) Retinopati diabetic
Retinopati diabetik merupakan kelainan patologis mata yang disebabkan perubahan
dalam pembuluh darah kecil pada retina mata, keadaan hiperglikemia yang
berlangsung lama merupakan faktor risiko utama terjadinya retinopati diabetik.
b) Komplikasi oftalmologi yang lain
Katarak, peningkatan opasitas lensa mata pada penderita DM sehingga katarak terjadi
pada usia lebih muda dibandingkan pasien non DM, dan perubahan lensa mata
mengalami perkembangan ketika kadar gula darah naik.
c) Nefropati
Merupakan sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai dengan albuminuria
menetap (>300 mg/24 jam) minimal dua kali pemeriksaan dalam waktu tiga hingga
enam bulan.
d) Neuropati diabetes
Adalah gangguan klinis maupun sublkinis yang terjadi pada penderita DM tanpa
penyebab neuropati perifer yang lain (konfrensi neuropati, febuari 1988 di san
Antonio).
9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi (Perkeni, 2015):
a. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi akut.
b. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Dalam
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia
2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan
DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis
(Ndraha, 2014).
a. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang memerlukan
partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan secara
komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku
sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang
diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali
masalah kesehatan/komplikasi yang mungkin timbul secara dini/saat masih reversible,
ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan
perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada penyandang DM meliputi
pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan,
berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet
tinggi lemak.
b. Terapi Gizi Medis (diet)
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM yaitu makanan yang seimbang, sesuai
dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan keteraturan
jadwalal makan, jenis, dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan
terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium
kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.
c. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang lebih
30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan santai,
jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.
d. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,
pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.
e. Motoring (kadar gula darah)
Pada pasien diabetes diperlukan pemantauan kadar gula darah, dan bila
memungkinkan pematauan dilakukan secara mandiri. Cara ini memungkinkan deteksi
dan pencegahan secara dini terhadap peningkatan atau penurunan kadar glukosa darah.
Pemantauan secara mandiri dengan benar akan mengurangi komplikasi yang
ditimbulkan dari DM tipe 2. Pemantauan kadar glukosa sendiri (PKGS) sudah banyak
dikembangkan dalam upaya pengendalian diabetes mellitus.
f. Mekanisme koping yang sehat
adalah perilaku positif terhadap diabetes saat ini dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya (ADCES, 2021). Ada dua jenis mekanisme koping yaitu koping
fungsional dan koping disfungsional (Luyckx, Seiffge-Krenke, & Hampson, 2010).
Koping fungsional merupakan koping adaptif dalam mengelola masalah dengan aktif
mencari dukungan, mengambil tindakan nyata, atau mencari alternatif pemecahan
masalah. Sedangkan koping disfungsional merupakan koping maladaptif, dimana
diabetisi menarik diri dari atau menyangkal keberadaan stressor, dan menghindari
mencari solusi. Koping maladaptif ini berisiko memperburuk kondisi diabetes akibat
efek stress yang dialami. Peningkatan keterampilan mekanisme koping dan dukungan
dalam pelaksanaan koping yang adaptif dapat menurunkan kadar HbA1c pada DM
baik tipe 1 maupun tipe 2 (Carpenter, DiChiacchio, & Barker, 2019; McGill et al.,
2020; Wollny et al., 2019)
g. Mengurangi resiko
Mengurangi risiko berarti melakukan perilaku yang meminimalkan atau
mencegah komplikasi dan efek negatif dari diabetes (ADCES, 2021). Perawatan kaki
merupakan tindakan mengurangi risiko yang paling dianjurkan. Kerusakan kaki
merupakan masalah umum pada diabetisi, dengan prevalensi 15% - 25% (Boulton,
2010). Gangguan ini termasuk neuropati perifer dan penyakit arteri perifer (PAD),
dimana keduanya dapat menyebabkan cedera traumatis, ulserasi kaki dan gangrene
(Fujiwara et al., 2011). Neuropati perifer dan PAD disebabkan oleh hiperglikemia
persisten dan dapat dicegah dengan beberapa intervensi antara lain mengoptimalkan
kontrol glikemik, berhenti merokok, pemeriksaan kaki, penggunaan alas kaki dan
ortotik khusus, debridement kapalan, operasi kaki profilaksis, dan operasi
revaskularisasi (Singh, Armstrong, & Lipsky, 2005). Perawatan kaki diabetes
mandiri meliputi:
1) memeriksa kaki setiap hari
2) membasuh kaki dengan air hangat
3) bersikap lembut saat mencuci kaki
4) melembabkan kaki, kecuali sela-sela jarijari kaki
5) memotong kuku dengan hatihati
6) idak melakukan perawatan mata ikan dan kapalan sendiri
7) memakai kaus kaki yang bersih dan kering
8) menghindari jenis kaus kaki yang salah
9) memakai kaus kaki saat tidur
10) memeriksa dan memberihkan bagian dalam sepatu
11) menjaga kaki tetap hangat dan kering
12) tidak berjalan tanpa alas kaki
13) merawat diabetes Anda
14) tidak merokok dan
15) mendapatkan pemeriksaan kaki secara berkala
(American College of Foot and Ankle Surgeon, 2015). Pengetahuan dan praktik
perawatan kaki pada diabetisi sangat rendah sehingga dibutuhkan intervensi yang
tepat untuk meningkatkan praktik perawatan kaki diabetes (MuhammadLutfi,
Zaraihah, & Anuar-Ramdhan, 2014).

10. Asuhan Keperawatan Teori


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar keperawatan yang diperlukan untuk
mengenal masalah klien agar dapat memberikan tindakan keperawatan. Tahap
pengkajian ini terdiri dari 4 komponen antara lain : pengumpulan data,
pengelompokan data, analisa data dan perumusan diagnosa keperawatan.
2. DATA SUBYEKTIF Keluhan Utama
Keluhan utama diperoleh dengan menanyakan tentang gangguan yang paling
dirasakan klien hingga klien memerlukan pertolongan. Keluhan utama pada klien
dengan gangguan sistem kardiovaskuler secara umum antara lain sesak napas, batuk,
nyeri dada, pingsan, berdebar – debar, cepat lelah dan edema ekstremitas.
1. Riwayat Penyakit
a. Riwayat Penyakit Sekaranag
Pengkajian riwayat penyakit sekarang meliputi perjalanan penyakit sejak
timbul keluhan hingga klien meminta pertolongan. Misalnya sejak kapan keluhan
dirasakan, berapa lama dan berapa kali keluhan tersebut terjadi, bagaimana sifat dan
berat keluhan, keadaan apa yang memperberat atau meringankan keluhan, adakah
usaha mengatasi keluhan ini sebelum meminta pertolongan.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Hal yang dikaji adalah penyakit – penyakit yang pernah dialami klien
sebelumnya. Misalnya hipertensi, pericarditis, kardiomiopati, pneumonia, PPOK dan
lain – lain.
c. Pengobatan Yang Lalu dan Riwayat Alergi
Adakah obat yang diminum oleh klien pada masa lalu yang masih relevan
dengan kondisinya saat ini. Obat – obat tersebut meliputi kortikostreroid dan obat –
obat antihipertensi. Catat adanya efek samping yang terjadi dimasa lalu. Tanyakan
jugaalergi klien terhadap obat dan reaksi ibat yang timbul.

3. DATA OBYEKTIF ( menggunakan pendekatan B1 – B6)


Keadaan Umum
Keadaan umum klien : mengobservasi keadaan fisik tiap bagian tubuh dan
kesadaran klien.
Tanda – tanda Vital
a. Pernapasan (Breath)
Inspeksi :bentuk dada pasien normalchest, pergerakan dada simetris, terdapat
otot bantu napas
Palpasi : gerakan dinding toraks saat inspirasi dan ekspirasi, taktil fremitus.
Perkusi : redup pada lapang paru kanan dan kiri
Auskultasi : Suara napas ronchi
Pemeriksaan tambahan di jalan nafas bersih atau tidak, pernapasan asien sesak atau tidak,
adakah penggunaan otot bantu pernapasan, frekuensi pernapasan, irama pernapasan
teratur atau tidak, kedalaman pernapasan, adakah suara tambahan, analisa gas darah
jika ada
b. Kardiovaskuler (Blood)
Inspeksi :tidak ada sianosis, tidak terdapat oedema dan tampak ictus cordis (
tampak ictus cordis pada ICS ke 5 midklavikula sinistra )
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, CRT > 2 detik dan akral hangat
Perkusi : Batas jantung
Auskultasi : irama regular, bunyi S1 dan S2 tunggal ( bunyi abnormal jantung :
gallop, murmur, snap dan klik)
Pemeriksaan tambahan nadi x/menit, denyut nadi kuat atau tidak, tekanan darah, adakah
distensi vena jugularis, akral dingin atau hangat, warna kulit pucat atau kemerahan,
crt, adakah edem, irama jantung, keluhan sakit di area jantung, karakteristik sakit,
kadar HB dalam darah, adakah perdarahan
c. Persyarafan (Brain) :
Setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan GCS pasien 4,5,6 total 15, kemudian
dilakukan pemeriksaan reflek didapatkan reflek fisiologis pasien bisep, trisep, patella,
achiles positif ( hasil normal), pada reflek patologis ( babinsky, caddock, kernig )
didapatkan hasil negative.
Pemeriksaan tambahan tingkat kesadaran, pupil, gcs, psiko, sosial, reaksi pupil
terhadap cahaya
d. Perkemihan (Bladder) dan genetalia
BAK, produksi urin/jam, warna urin, rasa sakit waktu BAK, distensi kandung kemih,
keluhan sakit pinggang
e. Pencernaan (Bowel)
Keadaan mulut bersih, membrane mukosa lembab, gigi lengkap, tidak ada gigi
palsu, SMRS pasien mengkonsumsi makanan sembarangan, tapi saat diruangan (MRS)
pasien mandapat dari RS, tidak terdapat mual dan muntah,perut tidak buncit,
peristaltic usus 15 x / menit, tidak terdapat nyeri abdomen. Eliminasi alvI SMRS
pasien BAB 2 kali sehari dengan frekuensi banyak dan konsistensi lunak, sedangkan
pada saat MRS pasien belum BAB.
BAB dirumah dan saat sakit, konsistensi, warna,lender,mual, muntah, kembung,
nyeri tekan, distensi abdomen, NGT, intake ml/jam
f. Muskuluskeletal ( Bone)
Pada pasien tidak terjadi masalah pada sistem muskuluskeletal, pasien mampu
melakukan ROM bebas, kekuatan otot 555, tidak ada kelainan pada tulang ataupun
fraktur dan terpasang plug infuse ditangan kanan.
Turgor kulit, keadaan kulit, lokasi luka, kesulitan dalam bergerak, adakah
fraktur, adakah odem, kekuatan otot

11. Diagnosa keperawatan


1) Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas
2) Perfusi serebral tidak efektif b.d penurunan kadar hemoglobin
3) Kestabilan kadar glukosa darah b.d resistensi insulin

12. Intervensi keperawatan


No Diagnosa T Inte
r
v
e
n
s
i

k
e
p
e
r
a
w
a
t
a
n
1. Pola T Man
a
S
j
e
Indikator
m
Dispnea menurun e
Penggu n

J
a
l
a
n

N
a
Pemanjangan fase f
ekspirasi menurun a
Ortopnea menurun
s
Frekuensi napas
Obse
membaik
v
a
s
i
1. Monitor pola nafas
2. Monitor bunyi nafas
tambahan
3. Monitor sputum
Tera
p
i
4. Pertahankan kepatenan
jalan napas dengan head-
tilt dan chinlift (jaw-thrust
jika dicurigai trauma
servikal)
5. Posisikan semi-fowler atau
fowler
6. Berikan minum hangat
7. Lakukan fisioterapi dada
8. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15 detik
9. Lakukan hiperoksigensi
sebelum penghisapan
endotrakeal
10. Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsep
McGlll
11. Berikan oksigen
Edu
k
a
s
i
12. Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari
13. Ajarkan teknik batuk
efektif
Kola
b
o
r
a
s
i
Kola
b
o
r
a
s
i

p
e
m
b
e
r
i
a
n

b
r
o
n
k
o
d
i
l
a
t
o
r
,

e
k
s
p
e
k
t
o
r
a
n
,

m
u
k
o
l
i
t
i
k

j
i
k
a

p
e
r
l
u
.

2 Perfusi S Pera
w
Indikator a
Denyut nadi periver t

Akral a
n
Turgor kulit
Tekanan darah diastol
s
Tekanan darah sistol
i
Kelemahan otot
r
k
u
l
a
s
i
Obse
r
v
a
s
i
1. Periksa sirkulasi periver (nadi
periver, edem, pengisian
kapiler, akral)
2. Identifikasi faktor resiko
gangguan sirkulasi (diabetes/
hipertensi)
3. Monitor edem pada
ekstermitas
Tera
p
e
u
t
i
k
4. Lakukan pencegahan infeksi
5. Lakukan perawatan kaki dan
kuku
6. Lakukan hidrasi
Edu
k
a
s
i
7. Anjurkan berolahraga rutin
8. Anjurkan rehabilitasi vaskuler
9. Anjurkan program diet untuk
memperbaiki sirkulasi
Kola
b
o
r
a
s
i
10. Kolaborasi dengan tim medis
lain

3 Ketidak S Men
e
Indikator ST j
Mengantuk e

Pusing m
e
Lelah/lesu
n
Keluhan lapar
Keluhan haus
h
Kadar glukosa dalam
darah i
p
e
r
g
l
i
k
e
m
i
a
Obse
r
v
a
s
i
1. Identifikasi keluhan penyebab
hiperglikemia
2. Monitor kadar glukosa dalam
darah jika perlu
3. Monitor intek dan output
cairan
Tera
p
e
u
t
i
k
4. Konsultasi dengan medis jika
tanda dan gejala hiperglikemi
tetap ada atau memburuk
5. Berikan asupan cairan oral
Edu
k
a
s
i
6. Anjurkan kepatuhan diet dan
olahraga
7. Anjurkan pengelolaan diabetes
Kola
b
o
r
a
s
i
8. Kolaborasi pemberian insulin
jika perlu
9. Kolaborasi pemberian cairan
iv jika perlu
10. Kolaborasi pemberian kalium
jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Amirian, M. E. and Fazilat-Pour, M. (2016) ‘Simple and Multivariate Relationships
Between Spiritual Intelligence with General Health and Happiness’, Journal of
Religion and Health, 55(4), pp. 1275–1288. doi: 10.1007/s10943-0150004-y.
D’Adamo, E. and Caprio, S. (2011) ‘Type 2 diabetes in youth: epidemiology and
pathophysiology.’, Diabetes care. American Diabetes Association, 34 Suppl 2(Suppl
2), pp. S161-5. doi: 10.2337/dc11-s212.
Ernawati (2013) ‘Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu dengan Penerapan Teori
Keperatan Self Care Orem’. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Giugliano, D. and Esposito, K. (2012) ‘Efficacy and safety of insulin lispro protamine
suspension as basal supplementation in patients with type 2 diabetes.’, Therapeutic
advances in endocrinology and metabolism, 3(3), pp. 99–108. doi:
10.1177/2042018812442949.
International Diabetes Federation (2015) ‘Annual Report’, International Diabetes
Federation.International Diabetes Federation (2017) Eighth edition 2017.
Kahn, S. E., Cooper, M. E. and Del Prato, S. (2014) ‘Pathophysiology and treatment of type
2 diabetes: perspectives on the past, present, and future’, The Lancet, 383(9922), pp.
1068–1083. doi: 10.1016/S0140-6736(13)62154-6.
Kariadi, S. H. (2009) Diabetes? siapa takut!!: Panduan lengkap untuk diabetisi, keluarga,
dan profesional medis. Available at: https://books.google.co.id/books?
id=XNTQ5i458cC&pg=PA35&dq=tanda+gejala+diabetes&hl=id&sa=X&ved=0ahU
KEwjJ35TAuLreAhUaA3IKNdraha, S. (2014) ‘Diabetes Melitus Tipe 2 Dan
Tatalaksana Terkini’, 27(2), pp. 9–16.
Perkeni (2015) Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.
Tandra, H. (2017) Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes - Hans andra
- Google Buku. Available at: https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=espGDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=pengertian+diabetes+menur
ut+idf&ots=VsK8oZmJg4&sig=BCsKUoUDCNDE6NAx5JmkneRf1Y&redir_esc=y#
v=onepage&q=pe ngertian diabetes menurut idf&f=false (Accessed: 18 August 2018).
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
World Health Oraganization (2006) definition and diagnosis of diabetes mellitus and
intermediate hyperglycemia RepoRt of a WHo/IDf ConsultatIon.
Availableat:http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/43588/9241594934_eng
pdf;jsessionid=2E0DF28EA8CE1F5B82E37E56FB4199EA?sequence=1(Accessed: 4
November 2018).
World Health Organization (2016) ‘Global report on diabetes.’, World Health Organization,
58(12), pp. 1–88. doi: 10.1128/AAC.03728-14.

Anda mungkin juga menyukai