Anda di halaman 1dari 28

DEPRESSIVE DISORDERS

MAKALAH
Makalah ini diusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Diagnosis dan Perkembangan
Kesehatan Mental
Dosen Pegampu: Muhammad Muhajjirin, M.Pd

Disusun oleh:
Kelompok 1
Az-zahra C2086201087
Rani Mega Utami C2086201011
Siti Dini Desfiani Fatimah C2086201082

PROGAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada bapak Muhammad Muhajirin, M.Pd selaku dosen pengampu
mata kuliah diagnosis dan perkembangan kesehatan mental. Dan berterima kasih
juga kepada pihak pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya sehingga makalah ini bisa disusun sesuai dengan
tenggat waktu yang telah ditentukan.

Penyusun sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah
ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini. Terima kasih.

Tasikmalaya, 15 Maret 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar belakang..................................................................................................1
B. Ruang lingkup pembahasan............................................................................2
C. Tujuan penulisan..............................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................3
TEORI MATERI.........................................................................................................3
A. Pengantar..........................................................................................................3
B. Diferensial Diagnosis........................................................................................4
C. Konsep Dasar....................................................................................................4
1. Etiologi...........................................................................................................4
2. Penanganan...................................................................................................5
D. Faktor- Faktor Penyebab Depresi...................................................................5
1. Faktor biologi..................................................................................................5
2. Faktor psikologis/kepribadian.........................................................................6
3. Faktor sosial....................................................................................................6
E. Jenis-Jenis dan Kriteria Diagnosis..................................................................6
1. Disruptive Mood Dysregulation Disorder (DMDD).......................................6
2. Major Depressive Disorder, Single Episode (F32._) and Recurrent Episodes
(F33._ ) (MDD)......................................................................................................8
3. Gangguan Depresi Persisten (Dysthymia) (F34.1).......................................10
4. Gangguan Disforik Pramenstruasi (N94.3)...................................................12
5. Gangguan Depresi Karena Kondisi Medis Lain (F06_)...............................14
BAB III.......................................................................................................................16
APLIKASI KASUS....................................................................................................16
A. Kasus Angelo...................................................................................................16
B. Analisis kasus Angelo.....................................................................................17

ii
C. Rancangan penanganan kasus Angelo dengan pendekatan Cognitive
Behavior Therapy (CBT)......................................................................................18
BAB IV........................................................................................................................20
PENUTUP..................................................................................................................20
A. Kesimpulan dan implikasi.............................................................................20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................22

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Banyak orang yang mengalami stres dan kecemasan yang berlarut- larut hingga
menjadi suatu gangguan. Salah satunya adalah depresi yang sering dianggap sepele
dan bisa hilang dengan sendirinya. Faktanya saat ini depresi menjadi masalah
gangguan mental yang serius di masyarakat sampai sekarang dan sering rekurensi.
Selain itu budaya di Indonesia sulit untuk terbuka mengenai masalah-masalah yang
berkaitan dengan kesehatan mental. Stigma negatif yang melekat di masyarakat dan
mendapatkan cap “gila” membuat individu enggan untuk memeriksakan diri.
Dikenal dengan istilah SAD atau Seasonal Affective Disorder dan merupakan
salah satu tipe gangguan dari depresi. Individu dengan pola musiman (seasonal) akan
mengalami depresi dalam jangka waktu tertentu yang sama setiap tahun seiring
dengan perubahan musim tertentu setiap tahun (Liftiah, 2009, h. 93). Gangguan ini
mungkin tidak familiar karena Indonesia merupakan negara tropis, sehingga sulit
untuk mendeteksi kondisi ini mempertimbangkan latar belakang kemunculannya
yang lebih banyak muncul pada saat musim dingin, meskipun para peneliti
mengatakan gangguan ini juga bisa muncul pada musim panas. Kedua banyak pasien-
pasien dengan kasus depresi menerima diagnosis yang tidak spesifik melainkan hanya
sebatas mengalami gangguan depresi misalnya, depresi dengan psikotik, depresi
ringan, depresi tanpa gejala somatis dan seterusnya.
Menurut Vito A. Damay, meskipun depresi musiman lebih sering terjadi di
negara-negara yang memiliki empat musim, namun bukan berarti di negara tropis
seperti di Indonesia depresi semacam ini tak bisa dialami (Prasetyo, 2018). Di
Indonesia mungkin akan muncul pada musim penghujan yang cukup panjang, di
mana jarang terdapat hari-hari yang cerah. Hanya saja kondisi di Indonesia cukup
beruntung karena setelah hujan biasanya matahari bersinar terang, sehingga ini yang
membuat gangguan afektif musiman nyaris tidak terdeteksi (Legawa, 2014).
Penyebab pasti dari munculnya gangguan ini masih belum bisa diketahui, akan
tetapi sama halnya dengan depresi umum variasi dari depresi ini kemungkinannya
adalah perubahan musiman yang menyebabkan perubahan biologis. Kemungkinan
lain adalah terjadinya defisiensi pada beberapa bagian syaraf yang memengaruhi
hormon pengatur mood selama musim dingin (Nevid dalam Liftiah, 2009, h. 94).
Selain itu ada juga variasi genetik yang mempengaruhi ritme sirkardian. Faktor
resiko lain adalah adanya kerentanan terhadap stres, tinggal di lintang utara, dan
memiliki kerabat yang telah dinyatakan memiliki gejala depresi. Para peneliti
kemudian mengusulkan bahwa cara terbaik adalah sindrom ini dilihat sebagai

1
gangguan kompleks yang dihasilkan dari kombinasi beberapa faktor (Kurlansik &
Ibay, 2013).
B. Ruang lingkup pembahasan
Pada pembahasan ini terfokus pada hal-hal sebagai berikut :
1. mengacu pada kondisi berkelanjutan dari kesedihan, kesedihan, dan penarikan diri
yang berkepanjangan. Ini adalah keadaan afektif yang terus-menerus "mewarnai
persepsi seseorang tentang dunia
2. Gangguan disregulasi suasana hati yang mengganggu (DMDD) tidak terdaftar
dalam DSM-IV-TR tetapi ditambahkan ke DSM-5 sebagai respons terhadap
peningkatan anak-anak yang didiagnosis dengan gangguan bipolar.
3. Penanganan kasus MDD dengan pendekatan Cognitive Behavior Therapy
C. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan ini bertujuan untuk menangani kasus depressive disorders
seperti masalah dengan suasana hati atau penyesuaian kesulitan. Konselor harus
selalu menanyakan masalah lain, seperti penyalahgunaan zat, keluhan somatik,
atau perubahan status medis baru-baru ini. Kegagalan untuk melakukannya dapat
mengakibatkan asumsi bahwa gangguan depresi adalah satu-satunya masalah
klien.

2
BAB II

TEORI MATERI
A. Pengantar
Depresi mengacu pada kondisi berkelanjutan dari kesedihan, kesedihan, dan
penarikan diri yang berkepanjangan. Ini adalah keadaan afektif yang terus-menerus
"mewarnai persepsi seseorang tentang dunia" (Reid & Wise, 1995, hal. 145).
Gangguan depresi didiagnosis ketika suasana hati depresi seseorang cukup lama
untuk mengganggu fungsi rutin sehari-hari (APA, 2013a; NIMH, 2012).
Berbeda dari kecanduan, kontrol impuls, dan masalah perilaku, gangguan depresi
terutama mempengaruhi individu melalui gangguan mood dan gejala kecemasan yang
sering terjadi bersamaan (NIMH, 2013a, 2013b). Prevalensi di antara populasi umum
sangat tinggi dibandingkan dengan gangguan kesehatan mental lainnya. Asosiasi
Kecemasan dan Depresi Amerika (ADAA; 2013), misalnya, menyatakan bahwa
hampir 50% individu yang didiagnosis dengan gangguan kecemasan juga memenuhi
kriteria untuk gangguan depresi. Karena prevalensi depresi pada populasi umum
adalah sekitar 10%, diagnosis ini sering menjadi fokus perhatian klinis konselor
(ADAA, 2013; CDC, 2010).

Perubahan Besar Dari DSM-IV-TR ke DSM-5

Bab Gangguan Depresi dari DSM-5 berisi diagnosis yang sebelumnya tercantum
dalam bab Gangguan Mood dari DSM-IV-TR. Patut dicatat bahwa Gugus Tugas
DSM 5 memisahkan gangguan mood menjadi dua kelas yang berbeda: depresif dan
bipolar.
Oleh karena itu, bab Gangguan Depresi tidak lagi memuat gangguan yang
berhubungan dengan mania. Gangguan ini sekarang termasuk dalam bab terpisah
berjudul Bipolar dan Gangguan Terkait di DSM-5 (lihat Bab 4 dari Pendamping
Belajar ini).
Selain membedakan antara gangguan depresif dan bipolar, perubahan paling
umum pada bab Gangguan Depresi dari DSM-5 adalah penambahan gangguan
disregulasi suasana hati yang mengganggu (DMDD) dan gangguan disforik
pramenstruasi (PMDD).
Perubahan lain termasuk pengecualian dukacita sebagai bagian dari episode depresi
mayor, rekonseptualisasi gangguan distimik sebagai gangguan depresi persisten
termasuk kasus kronis MDD, dan klarifikasi untuk membantu konselor membedakan
antara depresi dan peristiwa yang melibatkan kehilangan yang signifikan seperti
berkabung atau kehancuran finansial (APA, 2013a, 2013d). DSM-5 terus
menggunakan tiga kelompok kriteria untuk mendiagnosis gangguan depresi: (a)

3
episode, (b) gangguan spesifik, dan (c) penentu yang menunjukkan episode dan
perjalanan penyakit terbaru.
B. Diferensial Diagnosis
Komorbiditas lebih menjadi aturan daripada pengecualian dengan gangguan
kecemasan dan depresi. Misalnya, gejala MDD dan gangguan kecemasan umum
(GAD) berkumpul di beberapa area tertentu, termasuk kelelahan yang berlebihan,
sulit berkonsentrasi, dan gangguan tidur (Aina & Susman, 2006). Survei
Komorbiditas Nasional menemukan bahwa 60% klien yang didiagnosis dengan MDD
juga memiliki gejala yang berhubungan dengan gangguan kecemasan (Kessler et al.,
2003). Namun, ada perbedaan spesifik di antara gangguan ini. Misalnya, individu
yang memiliki gangguan depresi biasanya tidak menunjukkan rasa takut dan
ketidakpastian yang umum dengan kecemasan. Selain itu, klien yang didiagnosis
dengan gangguan kecemasan biasanya tidak menunjukkan perasaan sedih, putus asa,
dan anhedonia yang terus-menerus yang biasanya diamati oleh konselor dalam
konteks gangguan depresi. Seperti yang kita diskusikan di bawah ini, DSM-5
termasuk yang baru dengan penentu kecemasan cemas dengan harapan dapat
menangkap fitur yang tumpang tindih dari gangguan depresi dan kecemasan.

C. Konsep Dasar
1. Etiologi
Ada beberapa teori tentang etiologi gangguan depresi, termasuk faktor
biologis, faktor kepribadian, neurokimia, proses perkembangan, dan faktor
lingkungan (Barlow, 2002; Kessler et al., 2003; Saveanu & Nemeroff, 2012).
Perawatan untuk gangguan ini paling berhasil ketika dimulai gangguan, pada awal
dan perjalanan konselor harus selalu merekomendasikan penilaian medis untuk
menyingkirkan penyebab fisik. Hipotesis terbanyak etiologi depresi disebabkan oleh
gangguan regulasi serotonin.
Pada percobaan hewan dan pemeriksaan jaringan otak setelah kematian
menunjukkan bahwa pada keadaan depresi terjadi gangguan serotonergik termasuk
jumlah metabolit, jumlah reseptor, dan respons neuroendokrin. Selain itu, pada lansia
depresi terjadi perubahan struktur otak seperti abnormalitas jalur frontostriatal yang
menyebabkan gangguan fungsi eksekutif, psikomotor, perasaan apatis; volume
struktur frontostriatal yang rendah; hiperintensitas struktur subkortikal; abnormalitas
makromolekular di korpus kalosum genu dan splenium, nukleus kaudatus, dan
putamen; penurunan jumlah glia di korteks singulata anterior subgenual; abnormalitas
neuron di korteks dorsolateral; atrofi kortikal; gangguan substansia alba; abnormalitas
struktur subkortikal; peningkatan aktivitas dan perubahan volume amigdala yang

4
berperan dalam emosi negatif dan gangguan mekanisme koping; dan penurunan
volume hipokampus dan striatum ventral.10-12 Perubahan tersebut berdampak pada
perubahan neurotransmiter yang menyebabkan lansia depresi.
2. Penanganan
Bentuk pengobatan yang paling umum dan efektif untuk gangguan depresi
menggabungkan pengobatan dan psikoterapi (Keller et al., 2000; NIMH, 2013a).
Konselor akan menemukan berbagai langkah penilaian online untuk gangguan
depresi, seperti Kuesioner Kesehatan Pasien, untuk orang dewasa, di situs web APA.
Konselor harus mencatat bahwa penilaian ini masih dalam peninjauan dan hanya
boleh digunakan untuk meningkatkan pengambilan keputusan klinis, bukan sebagai
alat diagnostik yang berdiri sendiri.
Dalam hal hasil pengobatan, penelitian menunjukkan bahwa gangguan depresi
biasanya merespon intervensi psikoterapi (Hausmann et al., 2007; NIMH, 2013a,
2013b). NIMH (2013a, 2013c) dan ADAA (2013) telah mengidentifikasi terapi
perilaku kognitif (CBT) dan terapi interpersonal sebagai dua modalitas pengobatan
psikoterapi yang paling manjur untuk gangguan depresi. CBT membantu individu
dengan merestrukturisasi dan membingkai ulang proses pemikiran negatif, dan terapi
interpersonal membantu mereka memahami dan bekerja melalui hubungan yang tidak
harmonis (Corey, 2013; Ivey, D'Andrea, & Ivey, 2012).
D. Faktor- Faktor Penyebab Depresi
Depresi disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor. Jika seseorang di
dalam riwayat kesehatannya memiliki keluarga yang mengalami depresi,
maka terdapat kecenderungan untuk mengalami depresi juga. Menurut
Kaplan (2002)dan Nolen –Hoeksema & Girgus (dalam Krenke & Stremmler,
2002), faktor –faktor yang dihubungkan dengan penyebab dapat dibagi atas :
faktor biologi, faktor psikologis/kepribadiandan faktor sosial. Dimana ketiga
faktortersebut dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
1. Faktor biologi
Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan mood melibatkan patologik dan
system limbiks serta ganglia basalis dan hypothalamus. Dalam penelitian
biopsikologi, norepinefrin dan serotoninmerupakan dua neurotrasmiter yang
paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Pada wanita, perubahan
hormondihubungkan dengan kelahiran anak dan menoupose juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya depresi. Penyakit fisik yang berkepanjangan
sehingga menyebabkan stress dan juga dapat menyebabkan depresi.

5
2. Faktor psikologis/kepribadian
Individu yang dependent, memiliki harga diri yang rendah, tidak asertif, dan
menggunakan ruminative coping. Nolen –Hoeksema & Girgus juga mengatakan
bahwa ketika seseorang merasa tertekan akan cenderung fokuspada tekanan yang
mereka rasa dan secara pasif merenung daripada mengalihkannya atau
melakukan aktivitas untuk merubah situasi.
Pemikiran irasional yaitu pemikiran yang salah dalam berpikir seperti
menyalahkan diri sendiri atas ketidakberuntungan. Sehingga individu yang
mengalami depresi cenderung menganggap bahwa dirinya tidak dapat
mengendalikan lingkungan dan kondisi dirinya. Hal ini dapat menyebabkan
pesimisme dan apatis.
3. Faktor sosial
 Kejadian tragis seperti kehilangan seseorang atau kehilangan dan
kegagalan pekerjaan
 Paska bencana
 Melahirkan
 Masalah keuangan
 Ketergantungan terhadap narkoba atau alkhohol
 Trauma masa kecil
 Terisolasi secara sosial
 faktor usia dan gender
 tuntutan dan peran sosial misalnya untuk tampil baik, menjadi juara di
sekolah ataupun tempat kerja
 Maupun dampak situasi kehidupan sehari-hari lainnya

E. Jenis-Jenis dan Kriteria Diagnosis


1. Disruptive Mood Dysregulation Disorder (DMDD)
Gangguan disregulasi suasana hati yang mengganggu (DMDD) tidak terdaftar dalam
DSM-IV-TR tetapi ditambahkan ke DSM-5 sebagai respons terhadap peningkatan
anak-anak yang didiagnosis dengan gangguan bipolar (Blader & Carlson, 2007;
Moreno et al., 2007 ). Penjelasan untuk peningkatan tingkat diagnosis gangguan
bipolar pada anak-anak dan remaja bervariasi; namun, beberapa praktisi percaya
underdi agnosis terkait dengan kurangnya kriteria diagnostik yang sesuai dengan
perkembangan. Masalah dengan mendiagnosis gangguan bipolar pada anak-anak dan
remaja termasuk kurangnya kejelasan tentang bagaimana konselor harus
mengoperasionalkan episode manik atau hipomanik, terutama yang durasinya lebih
pendek dari 4 hari. Selain itu, konselor prihatin apakah iritabilitas nonepisodik parah
adalah perkembangan yang bertentangan dengan gangguan patologis yang dapat

6
didiagnosis. Dimasukkannya DMDD bertujuan untuk memperjelas masalah ini dan
memungkinkan diagnosis yang tepat dari anak-anak yang tidak sesuai dengan
diagnosis baik gangguan perilaku atau gangguan bipolar.
DMDD adalah diagnosis gangguan depresi yang ditujukan untuk anak-anak
dan remaja antara usia 6 dan 18 dengan onset sebelum usia 10 (APA, 2013a).
Gangguan ini ditandai dengan ledakan amarah yang parah dan berulang, baik verbal
atau perilaku, yang secara signifikan tidak proporsional dalam intensitas dan durasi
dengan faktor situasional dan tahap perkembangan individu. Suasana hati individu di
antara ledakan amarah terus-menerus mudah tersinggung atau marah. Frekuensi harus
rata-rata setidaknya tiga kali per minggu selama setidaknya 12 bulan atau lebih, dan
perilaku harus dapat diamati oleh orang lain (misalnya, orang tua, guru, teman
sebaya). Perilaku tersebut harus terjadi setidaknya di dua tempat (misalnya, sekolah
dan rumah).
Konselor yang mendiagnosis DMDD perlu mempertimbangkan apakah gejala
suasana hati yang meningkat secara abnormal atau ekspansif pernah ada hampir
sepanjang hari selama 1 hari atau memiliki durasi lebih dari 1 hari. Jika demikian,
konselor perlu mempertimbangkan adanya kebesaran atau harga diri yang meningkat,
penurunan kebutuhan untuk tidur, pembicaraan yang tertekan, pelarian ide, distraksi,
peningkatan aktivitas yang diarahkan pada tujuan, atau keterlibatan berlebihan dalam
aktivitas dengan potensi tinggi untuk konsekuensi yang menyakitkan. Jika gejala-
gejala ini ada, diagnosis gangguan bipolar mungkin diperlukan. Perhatian khusus juga
harus diberikan untuk membedakan peningkatan suasana hati yang tidak normal dari
peningkatan suasana hati yang sesuai dengan perkembangan karena yang terakhir
dapat terjadi dalam konteks antisipasi atau partisipasi dalam acara khusus.
a. Perbedaan diagnosa
DMDD tidak dapat didiagnosis jika masalah perilaku secara eksklusif hadir
selama episode depresi mayor atau lebih baik dijelaskan oleh diagnosis lain. Selain
itu, DMDD tidak dapat didiagnosis bersamaan dengan ODD atau gangguan bipolar,
meskipun dapat terjadi bersamaan dengan ADHD, gangguan perilaku, dan gangguan
penggunaan zat. Hanya DMDD yang harus diberikan jika klien memenuhi kriteria
untuk gangguan ini serta ODD. Akhirnya, konselor harus memastikan bahwa tidak
ada penjelasan lain, seperti kondisi medis atau neurologis, yang lebih baik
menjelaskan perilaku tersebut
b. Kriteria diagnostic DMDD
 Ledakan amarah yang parah dan berulang yang dimanifestasikan secara verbal
(misalnya, kemarahan

7
 verbal) dan/atau perilaku (misalnya, agresi fisik terhadap orang atau properti)
yang sangat tidak proporsional dalam intensitas atau durasi dengan situasi
atau provokasi.
 Ledakan emosi tidak sesuai dengan tingkat perkembangan.
 Ledakan emosi terjadi, rata-rata, tiga kali atau lebih per minggu.
 Suasana hati di antara ledakan amarah terus-menerus menjadi mudah
tersinggung atau marah sepanjang hari, hampir setiap hari, dan dapat diamati
oleh orang lain (misalnya, orang tua, guru, teman sebaya)
 Kriteria A–D telah ada selama 12 bulan atau lebih. Selama waktu itu, individu
tidak mengalami periode yang berlangsung selama 3 bulan atau lebih berturut-
turut tanpa semua gejala dalam
 Kriteria A-D, di rumah, di sekolah, dengan teman sebaya) dan parah dalam
setidaknya satu dari ini.
 Diagnosis tidak boleh dilakukan pertama kali sebelum usia 6 tahun atau
setelah usia 18 tahun.
 Berdasarkan riwayat atau observasi, usia saat onset Kriteria A–E adalah
sebelum 10 tahun.
 Tidak pernah ada periode berbeda yang berlangsung lebih dari 1 hari selama
kriteria gejala lengkap, kecuali durasi, untuk episode manik atau hipomanik
telah terpenuhi.
 Perilaku tidak terjadi secara eksklusif selama episode gangguan depresi mayor
dan tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain (misalnya,
gangguan spektrum autisme, gangguan stres pasca trauma, gangguan
kecemasan perpisahan, gangguan depresi persisten [dysthymia]).
 Gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat atau kondisi medis atau
neurologis lainnya.
2. Major Depressive Disorder, Single Episode (F32._) and Recurrent Episodes
(F33._ ) (MDD)
Gangguan depresi mayor (MDD) memiliki sejarah panjang dimasukkan dalam
sistem diagnostik DSM dan merupakan salah satu gangguan mental yang paling
sering didiagnosis di kalangan profesional kesehatan (NIMH, 2013a). NIMH (2013a)
memperkirakan bahwa 6,7% dari populasi AS menderita MDD pada tahun tertentu.
Administrasi Layanan Penyalahgunaan Zat dan Kesehatan Mental (SAMHSA; 2008)
melaporkan bahwa hanya 64,5% orang yang mengalami MDD yang benar-benar
mencari pengobatan.
MDD dicirikan oleh hampir universal artinya setiap hari hampir sepanjang hari
perasaan sedih dan kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya dinikmati.

8
Banyak individu akan mengalami kehilangan nafsu makan, kelelahan, masalah
dengan tidur, dan ide bunuh diri. Orang lain mungkin juga mengalami agitasi,
masalah dengan konsentrasi, dan perasaan bersalah yang berlebihan. Karena perasaan
tidak berharga mendominasi individu dengan MDD, harga diri yang rendah dan rasa
bersalah yang berlebihan (baik yang nyata atau yang dibayangkan) tidak jarang
terjadi. Depresi berat dapat menyebabkan berbagai masalah emosional dan fisik dan
dianggap sebagai penyakit kronis yang mungkin memerlukan perawatan kesehatan
mental dan psikofarmasi jangka panjang.
a. Diagnostik
MDD dapat didiagnosis pada usia berapa pun, tetapi kemungkinan timbulnya
meningkat secara signifikan setelah seseorang mencapai pubertas (APA, 2013a).
Meskipun tingkat prevalensi di puncak populasi AS untuk orang-orang di awal 20-an,
tidak jarang episode pertama depresi berat terjadi pada pertengahan atau kemudian
kehidupan. Gangguan ini ditandai dengan episode depresif mayor tunggal atau
berulang, yang harus terdiri dari setidaknya lima dari sembilan kriteria. Kriteria ini
berbeda dari fungsi normal individu dan termasuk:

 suasana hati yang tertekan hampir setiap hari, dengan suasana hati yang
mudah tersinggung lebih sering ditemukan pada anak-anak dan remaja
 penurunan minat atau kesenangan yang nyata dalam aktivitas hampir setiap
hari;
 perubahan nafsu makan harian yang signifikan atau perubahan berat badan
yang signifikan (misalnya, kenaikan atau penurunan berat badan lebih dari 5%
berat badan dalam 1 bulan bukan karena diet; pada anak-anak, kegagalan
untuk membuat kenaikan berat badan yang diharapkan juga dipertimbangkan
 gangguan tidur, baik insomnia maupun hipersomnia, hampir setiap hari
 perubahan kecepatan fisik normal, baik agitasi atau keterbelakangan
psikomotor, dan selain laporan diri, masalah psikomotor harus dapat diamati
oleh orang lain
 kehilangan energi atau kelelahan yang signifikan hampir setiap hari, tidak
termasuk rasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri yang berhubungan
dengan sakit
 rasa bersalah yang berlebihan atau tidak pantas, yang dapat berupa delusi, atau
perasaan tidak berharga;
 berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi, fokus, atau membuat
keputusan hampir setiap hari, seperti yang dilaporkan oleh diri sendiri atau
orang lain; dan

9
 pikiran atau ide bunuh diri yang sering dengan atau tanpa rencana khusus
untuk melakukan bunuh diri atau mencoba bunuh diri

b. perbedaan diagnose
Individu yang mengalami MDD akan mengalami penderitaan atau gangguan yang
signifikan secara klinis dalam setidaknya satu area fungsi sehari-hari, seperti sosial,
pekerjaan, atau area penting lainnya (APA, 2013a), bukan akibat kondisi medis atau
penggunaan zat. Selain itu, gejala tidak lebih konsisten dengan diagnosis lain, seperti
gangguan skizoafektif, dan tidak menutupi gangguan lain, seperti gangguan delusi
atau spektrum skizofrenia tertentu atau gangguan psikotik. Jika klien sebelumnya
pernah mengalami episode manik atau hipomanik yang tidak terkait dengan
pengobatan, zat, atau kondisi medis, diagnosis gangguan bipolar mungkin lebih tepat
(APA, 2013a). Konselor harus membedakan MDD yang terkait dengan stresor dari
gangguan penyesuaian dengan suasana hati yang tertekan dengan memastikan bahwa
kriteria penuh untuk MDD terpenuhi.
c. pengodean, perekaman, penentu.
Pengkodean dan perekaman untuk MDD bergantung pada episode dan keparahan
tunggal atau berulang, seperti ringan, sedang, berat, dan dengan fitur psikotik, serta
penentu untuk mencatat fitur dan jalur unik. Kode diagnostik untuk satu episode
MDD adalah 296._ (F32. ) dan untuk episode berulang adalah 296._ (F33. ).
Perhatikan bahwa kode ICD-9-CM sama untuk episode tunggal dan berulang. Ruang
kosong menunjukkan penentu yang harus dipilih oleh konselor sebelum memberikan
diagnosis MDD. Karena penentu ini berlaku untuk semua gangguan depresi, kami
membahasnya (dan kode terkaitnya) di akhir bab ini. Pembaca akan mencatat,
bagaimanapun, bahwa untuk dianggap berulang, harus ada 2 bulan berturut-turut
bebas gejala antara episode di mana kriteria tidak terpenuhi. Sementara jumlah
episode, keparahan, dan penentu perjalanan selalu dicantumkan setelah kode
diagnosis MDD, ada penentu tanpa kode yang dapat digunakan sebagaimana berlaku
(APA, 2013a).
3. Gangguan Depresi Persisten (Dysthymia) (F34.1)
Gangguan depresi persisten (PDD), yang dikenal di DSM-IV-TR sebagai
gangguan distimik, awalnya disebut depresi neurotik dan kemudian diberi label ulang
gangguan distimik di DSM-III (Sprock & Fredendall, 2008). Pada kenyataannya,
PDD adalah konsolidasi dari MDD kronis DSM-IV-TR dan distimia. Seseorang
dengan PDD hadir dengan suasana hati yang tertekan lebih dari tidak selama minimal
2 tahun (APA, 2013a). Untuk anak-anak, gangguan tersebut dapat muncul sebagai

10
mood iritabel kronis, dan gangguan mood tersebut harus berlangsung selama 1 tahun
atau lebih. Konselor harus memperhatikan bahwa tidak jarang MDD mendahului
PDD, karena salah satu kriteria untuk PDD adalah bahwa MDD dapat terus muncul.
Hal ini akan dicatat di bagian Coding, Recording, dan Specifi ers.
a. Gejala diagnostic
Untuk diagnosis PDD yang akan ditetapkan selama pengalaman mood depresi,
individu akan melaporkan setidaknya 2 tahun mood depresi di mana dia mengalami
setidaknya dua gejala di antara berikut:
(a) nafsu makan yang buruk atau makan berlebihan,
(b) insomnia atau hipersomnia,
(c) energi rendah atau kelelahan,
(d) harga diri rendah,
(e) konsentrasi yang buruk atau kesulitan membuat keputusan, atau
(f) perasaan putus asa (APA, 2013a).
Namun, klien mungkin mengalami gejala yang melebihi kriteria minimal ini.
Pada anak-anak, gangguan tersebut mungkin termasuk suasana hati yang mudah
marah daripada depresi dan hanya perlu berlangsung selama 1 tahun. Dalam kedua
kasus, individu mungkin tidak bebas dari gejala selama lebih dari 2 bulan berturut-
turut. Usia onset biasanya di masa kanak-kanak, remaja, atau dewasa awal (APA,
2013a).
b. Perbedaan diagnose
Diagnosis distimia pada DSM-IV-TR mengharuskan individu tersebut bebas dari
setiap episode depresi mayor dalam 2 tahun pertama pengalaman. Namun, perubahan
kriteria PDD dalam DSM-5 menetapkan bahwa gangguan tersebut mungkin
melibatkan adanya kelainan mayor. episode yang menekan pada setiap titik dalam
pengalaman. DSM-5 memberikan pedoman ekstensif untuk membedakan antara
MDD dan PDD dan mencakup banyak penentu di mana episode depresi mayor ada
atau tidak ada bersamaan dengan gangguan tersebut (lihat APA, 2013a, hlm. 168-
171).
PDD tidak dapat didiagnosis jika gejala hanya terjadi selama perjalanan spektrum
skizofrenia atau gangguan psikotik lainnya atau jika klien pernah mengalami episode
manik, episode hipomanik, atau gangguan siklotimik. Gangguan atau penderitaan
yang signifikan secara klinis di area fungsi yang penting, seperti masalah dengan
hubungan interpersonal atau mempertahankan pekerjaan, harus terbukti. Selain itu,
gejala tidak lebih baik dijelaskan oleh efek langsung dari zat atau penggunaan obat.

11
Akhirnya, konselor perlu memastikan tidak ada penjelasan lain untuk perilaku
tersebut, seperti kondisi medis atau neurologis lainnya.
c. Pengodean, Perekaman, dan Penentu
Hanya ada satu kode diagnostik untuk PDD (dysthymia): 300,4 (F34.1). Namun,
penasihat atau ors diminta untuk menunjukkan keparahan saat ini dari ringan, sedang,
atau berat dan spesifikasi lainnya secara tertulis. Penting bahwa konselor mencatat
penentu untuk menggambarkan keadaan suasana hati kronis klien (yaitu, dengan
gangguan cemas, dengan fitur campuran, dengan fitur melankolis, dengan fitur
atipikal, dengan fitur psikotik yang sesuai dengan suasana hati, dengan fitur psikotik
yang tidak sesuai dengan suasana hati, atau dengan fitur psikotik yang tidak sesuai
dengan suasana hati. peripartum onset) dan menunjukkan jika klien dalam remisi
parsial atau penuh pengampunan. Konselor juga harus mengidentifikasi apakah klien
mengalami awitan dini (yaitu, sebelum usia 21) atau awitan lambat (yaitu, setelah
usia 21) dan apakah hal berikut berlaku: dengan sindrom distimus murni, dengan
episode depresif berat yang persisten, dengan episode depresif mayor intermiten
(dengan episode saat ini), atau dengan episode depresi mayor intermiten (tanpa
episode saat ini; APA, 2013a).
4. Gangguan Disforik Pramenstruasi (N94.3)
Premenstrual dysphoric disorder (PMDD) adalah gangguan depresi eksklusif
untuk wanita dan ditandai dengan gejala emosional dan fisik yang intens yang terjadi
pada hari-hari sebelum onset menstruasi dan sering berlanjut hingga menstruasi
(Daw, 2002). Gangguan ini awalnya diadopsi ke dalam DSM-III-R (APA, 1987)
sebagai "gangguan disforik fase luteal akhir" dan diubah menjadi gangguan disforik
pramenstruasi di DSM-IV (Cunningham, Yonkers, O'Brien, & Eriksson, 2009 ), di
mana ia terdaftar dan dikodekan sebagai gangguan depresi NOS. Sedangkan bagi
sebagian besar wanita, gejala fisik dan emosional ringan dapat terjadi di dekat dan
selama menstruasi—sering disebut sebagai sindrom pramenstruasi, atau PMS—
sekitar 8% wanita menstruasi melaporkan gejala yang cukup menyedihkan hingga
menyebabkan gangguan fungsi sehari-hari (Pilver, Desai, Kasl, & Retribusi, 2011).
a. Gejala
PMDD hadir dengan gejala yang dimulai pada minggu sebelum menstruasi,
membaik pada hari-hari setelah menstruasi dimulai, dan menghilang saat menstruasi
berakhir. Individu harus mengalami setidaknya lima gejala, termasuk setidaknya satu
dari berikut ini:
(a) perubahan suasana hati yang parah (labilitas afektif), termasuk perasaan tiba-tiba
sedih atau menangis atau menjadi terlalu sensitif terhadap penolakan;

12
(b) konflik antarpribadi yang meningkat atau kemarahan atau lekas marah yang
meningkat secara signifikan;
(c) perasaan putus asa, pikiran kritis terhadap diri sendiri, atau suasana hati yang
sangat tertekan; atau
(d) kecemasan, ketegangan, atau perasaan gelisah yang nyata (APA, 2013a).
Gejala tambahan yang dapat dipertimbangkan termasuk kurangnya minat
dalam aktivitas normal, masalah konsentrasi yang dilaporkan sendiri, kelelahan atau
kekurangan energi, perubahan kebiasaan makan termasuk makan kurang atau
berlebihan dan/atau mengidam, gangguan tidur, perasaan kehilangan nafsu makan.
mengontrol atau kewalahan, dan gejala fisik seperti nyeri pada payudara, nyeri pada
otot atau persendian, pembengkakan, kembung, atau penambahan berat badan (APA,
2013a).
Selain itu, gejala harus terjadi pada sebagian besar siklus menstruasi setahun
sebelum diagnosis ini diberikan dan harus mengakibatkan gangguan yang signifikan
secara klinis dalam sosial, pekerjaan, sekolah, atau aktivitas biasa.
b. Pengodea, perekaman, penentu
Hanya ada satu kode diagnostik untuk PMDD: 625.4 (N94.3). Meskipun tidak ada
penentu, jika tidak ada penilaian harian gejala setidaknya selama dua siklus, diagnosis
sementara harus dicatat setelah namanya (APA, 2013a).
1. Gangguan depresi yang diinduksi zat/obat
Gangguan depresi yang diinduksi zat/obat, berjudul gangguan mood yang
diinduksi zat dalam DSM-IV-TR, adalah gangguan depresi di mana terdapat bukti
bahwa suatu zat atau obat secara fisiologis menyebabkan timbulnya gejala depresi.
Gejala harus melebihi apa yang diharapkan dengan zat dan harus berlangsung sebulan
atau lebih setelah keracunan atau penarikan zat. Tidak ada perubahan dari DSM-IV-
TR ke DSM-5 kecuali nama (APA, 2013a).dugaan hubungan fisiologis antara
penggunaan zat dan perkembangan episode depresi, diagnosis ini harus dibuat oleh
dokter atau berkonsultasi dengan dokter yang memiliki keahlian untuk menentukan
etiologi. Konselor harus menyadari bahwa gangguan depresi akibat zat/obat yang
melibatkan alkohol, heroin, atau kokain memiliki implikasi khusus untuk pengobatan.
Misalnya, Samet et al. (2012) menemukan bahwa individu dengan gangguan depresi
akibat zat memiliki risiko kambuh yang jauh lebih besar dibandingkan dengan
mereka yang didiagnosis dengan MDD. Para penulis ini melaporkan temuan mereka
konsisten dengan penelitian neurobiologis tentang kecanduan yang menyatakan
bahwa perubahan otak yang terjadi selama ketergantungan, yang muncul sebagai

13
gejala depresi, dapat bertahan lama setelah penarikan dan sampai ke tahap
pemeliharaan. Oleh karena itu, konselor yang bekerja dengan klien yang memenuhi
kriteria gangguan ini harus waspada terhadap risiko kekambuhan yang tinggi.
a. Gejala
Gangguan depresi akibat zat/obat muncul dengan gejala yang konsisten dengan
gejala gangguan depresi. Namun, bukti menunjukkan bahwa gejala gangguan ini
berkembang selama atau dalam satu bulan penggunaan atau penarikan dari zat
tertentu yang diketahui menghasilkan gejala depresi. Verifikasi dapat dihasilkan
dengan menggunakan riwayat, temuan laboratorium, atau pemeriksaan fisik klien
(APA, 2013a). Gangguan ini tidak harus didiagnosis jika gejala depresi mendahului
timbulnya penggunaan zat atau penarikan. Jika gejala berlanjut selama satu bulan
atau lebih setelah penghentian penggunaan zat atau akhir periode penarikan,
gejalanya mungkin lebih baik dijelaskan oleh gangguan mood independen (APA,
2013a). Selain itu, gejala depresi tidak boleh terjadi bersamaan dengan delirium saja
dan harus mengakibatkan penurunan yang signifikan secara klinis di area fungsional
utama.
5. Gangguan Depresi Karena Kondisi Medis Lain (F06_)
Gangguan depresi karena kondisi medis lain berbeda dari gangguan depresi yang
diinduksi zat/obat dalam diagnosis sebelumnya berlaku ketika gejala konsisten
dengan MDD dan disajikan secara eksklusif berkaitan dengan kondisi medis (APA,
2013a). Tidak ada perubahan pada bagian ini dari DSM-IV-TR ke DSM-5
Untuk mendiagnosis gangguan ini, penting untuk memastikan bahwa kondisi
medis terkait dapat menyebabkan gejala depresi. Penentuan ini harus dilakukan oleh
dokter yang berkualifikasi untuk mendiagnosis kondisi medis dan menentukan
etiologi. Beberapa kondisi medis yang terkait dengan gejala depresi termasuk
hipotiroidisme, stroke, penyakit Huntington, penyakit Parkinson, dan cedera otak
traumatis. Gejala depresi dapat muncul paling cepat 1 hari setelah stroke dan terjadi
cukup awal dalam hubungannya dengan penyakit Huntington. Gejala-gejala tersebut
cenderung mendahului gangguan yang berhubungan dengan perkembangan penyakit
Parkinson dan Huntington.
2. Gangguan Depresi Khusus dan Tidak Terspesifikasi Lainnya
Ini adalah kategori baru untuk DSM-5. Sementara DSM-IV-TR memungkinkan
diagnosis NOS, DSM-5 mencakup gangguan depresi spesifik dan tidak spesifik
lainnya. Kategori gangguan depresif spesifik lainnya (311.0 [F32.8]) disediakan
untuk presentasi gejala yang mengarah pada penderitaan atau gangguan yang
signifikan secara klinis tetapi tidak memenuhi kriteria penuh untuk gangguan depresi

14
spesifik. Konselor dapat menentukan salah satu dari tiga jenis: depresi singkat
berulang, episode depresi durasi pendek (4-13 hari), dan episode depresi dengan
gejala yang tidak cukup (APA, 2013a).
Ada satu kode untuk diagnosis ini (311 [F32.8]).
Konselor harus menunjukkan kode ini, diikuti dengan nama gangguan, dan terakhir
sebutan khusus, seperti episode depresif jangka pendek (APA, 2013a). Diagnosis
gangguan depresi yang tidak spesifik (311 [F32.9]) dapat ditetapkan ketika seorang
individu datang dengan gejala gangguan depresi tetapi konselor tidak memiliki akses
ke informasi diagnostik yang lebih spesifik atau memilih untuk tidak mendiagnosis
depresi tertentu. kekacauan.
3. Spesifik untuk gangguan depresi
Penentu tingkat keparahan digunakan di seluruh bab Gangguan Depresi dari DSM-5.
Penentu lain yang dapat dikaitkan dengan MDD dan PDD adalah dengan fitur
campuran.Untuk diagnosis MDD dan PDD, DSM-5 memungkinkan untuk
menentukan dengan gangguan cemas jika, selama sebagian besar hari dari
pengalaman MDD atau PDD saat ini atau yang terbaru, dua dari gejala berikut
dilaporkan: tegang atau tegang , kegelisahan yang meningkat, kekhawatiran
berlebihan yang menyebabkan sulit berkonsentrasi, ketakutan irasional bahwa sesuatu
yang negatif akan terjadi, dan ketakutan kehilangan kendali diri. Tingkat keparahan
gejala dapat diidentifikasi untuk spesifikasi ini. Jika dua gejala dicatat, tingkat
keparahan ringan diindikasikan. Untuk tiga gejala, sedang diindikasikan; jika ada
empat atau lebih gejala, digunakan sedang-berat.
Spesifik ini didasarkan pada episode terbaru dan diidentifikasi oleh jumlah
gejala, keparahan gejala, dan tingkat kerusakan. Untuk spesifik ringan, beberapa
gejala tambahan dicatat, mereka dapat dikelola, dan mereka hanya menghasilkan
gangguan kecil. Untuk parah, ada beberapa gejala kelebihan, mereka sangat
menyedihkan dan tidak dapat dikendalikan, dan ada gangguan fungsi yang nyata.
Isu budaya
Tidak seperti beberapa gangguan depresi lainnya, seperti gangguan Bipolar I,
tingkat DMDD lebih tinggi pada anak laki-laki dalam pengaturan klinis daripada
dalam populasi umum (APA, 2013a). Meskipun ada sedikit penelitian mengenai
DMDD dari perspektif budaya, penelitian menunjukkan bahwa individu yang
didiagnosis dengan DMDD tidak memiliki tingkat gangguan bipolar yang tinggi
(Leibenluft, 2011).

15
Dalam masyarakat postmodern dan multikultural, sulit untuk memberikan
norma budaya tentang bagaimana komunitas yang berbeda mengalami gangguan
depresi. Meskipun demikian, kami dapat memberikan pedoman umum yang dapat
digunakan konselor untuk lebih memahami peran budaya saat mendiagnosis MDD
(atau gangguan depresi apa pun). Pertama, konselor harus memahami bahwa banyak
orang mengenali depresi sebagai masalah fisik daripada masalah psikologis. Pola
somatisasi umum terjadi pada orang Latin, Meksiko Amerika, Puerto Rico, dan Kuba
Amerika (Guarnaccia, Martinez, & Acosta, 2013).
Depresi cenderung lebih banyak terjadi pada wanita dan orang dewasa yang
lebih tua, dengan 70% dari kasus yang dilaporkan adalah wanita (NIMH, 2013c).
Depresi dicatat sebagai masalah kesehatan mental yang paling signifikan di kemudian
hari (Myers & Harper, 2004), dan hampir 50% dari mereka yang tinggal di panti
jompo melaporkan gejala depresi (Koenig & Blazer, 1996).
Konselor perlu memahami bahwa budaya tidak hanya mempengaruhi
pengalaman klien tentang gejala tetapi juga bahasa yang digunakan untuk
melaporkannya dan keputusan klien tentang bagaimana mereka akan melakukan
pendekatan pengobatan. Konselor juga harus menyadari bagaimana budaya dapat
mempengaruhi kemungkinan pengambilan risiko atau perilaku bunuh diri klien dan
mempengaruhi bagaimana klien berinteraksi dengan profesional kesehatan mental.
Imigran generasi pertama mungkin tidak nyaman dengan model konseling yang
diarahkan pada klien; mereka mungkin membutuhkan hubungan terapeutik yang lebih
terarah dan hierarkis. Akhirnya, apakah bekerja dengan depresi, trauma, atau
gangguan kesehatan mental apa pun, konselor harus peka terhadap rasisme
institusional dan menyadari bahwa profesional kesehatan mental dapat secara tidak
sengaja menyampaikan rasa stigma kepada klien.

Sebagian dari etiologi PMDD dapat dikaitkan dengan kombinasi faktor fisiologis,
termasuk hormon, neurotransmiter, dan variasi reseptor estrogen tertentu
(Cunningham et al., 2009; Girdler et al., 2007; Pearlstein & Steiner, 2008). Namun,
pertimbangan budaya tetap penting. Cunningham dkk. (2009) melaporkan faktor
risiko untuk gangguan ini termasuk stres dan indeks massa tubuh yang tinggi. Girdler
dkk. (2007) melaporkan bahwa wanita yang didiagnosis dengan PMDD setidaknya
60% lebih mungkin mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidup mereka jika
dibandingkan dengan wanita yang tidak menerima diagnosis ini.
Mereka mengemukakan bahwa peristiwa traumatis, terutama trauma kehidupan awal,
dapat berkontribusi pada disregulasi dalam sistem yang responsif terhadap stres, yang

16
mungkin menjadi faktor risiko PMDD. Selain itu, Pilver et al. (2011) menemukan
hubungan antara gejala PMDD dan diskriminasi seumur hidup.
APA (2013a) mencatat bahwa penyakit tertentu berjalan di sepanjang garis
gender; dalam beberapa kasus, seperti stroke, yang lebih sering terjadi pada pria,
kondisi medis diketahui lebih mungkin menyebabkan gejala depresi. Meskipun
ada banyak data yang menunjukkan hubungan antara penyakit fisik dan depresi
(Østergaard & Foldager, 2011), hanya ada 48 penelitian tentang gangguan depresi
karena kondisi medis lain dan budaya. Hal ini mungkin karena kesulitan dalam
menilai, mendiagnosis, dan menentukan etiologi sebenarnya dari gejala depresi.

BAB III

APLIKASI KASUS
A. Kasus Angelo
Angelo adalah siswa sekolah menengah Amerika Latin berusia 16 tahun yang
tinggal bersama orang tua kandungnya yang sudah menikah di lingkungan perkotaan
kelas menengah. Dia tidak memiliki saudara kandung dan melaporkan merasa sangat
dekat dengan ibunya. Ayah Angelo telah bepergian secara ekstensif untuk bekerja
selama 7 tahun terakhir, dan Angelo melaporkan tidak memiliki hubungan dekat
dengannya. Angelo terlihat sehat secara fisik meskipun sedikit kurus dan umumnya
bertubuh kecil. Penampilan fisiknya tidak terawat, pakaiannya kotor, dan dia
tampaknya memiliki masalah dengan kebersihan pribadi. Ibunya menyatakan bahwa
mendapatkan Angelo untuk menyelesaikan kegiatan hidup sehari-hari seringkali
sangat sulit; dia tidak mendorongnya kecuali dia merasa itu sangat penting. Ketika
ditanya tentang kebersihan pribadinya, Angelo melaporkan bahwa mandi itu bodoh
karena dia akan kotor lagi, dan dia merasa dia terlihat baik-baik saja. Tes bakat
menunjukkan Angelo memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Namun, dia dalam
bahaya tidak lulus kelas 11, terutama karena penolakannya untuk menyerahkan
pekerjaan rumah dan kegagalan untuk menghadiri kelas. Angelo menyatakan bahwa

17
sekolah tidak ada gunanya karena dia tidak akan pernah menggunakan informasi
dalam kehidupan nyata. Dia sering terlibat konflik verbal dengan gurunya.
Angelo melaporkan bahwa dia telah memiliki banyak kenalan selama bertahun-
tahun tetapi tidak ada yang berteman lama. Ketika ditanya mengapa, dia melaporkan
bahwa "mereka idiot dan tidak melakukan apa yang saya perintahkan, jadi saya
berhenti bergaul dengan mereka." Angelo mengaku ingin memukul orang ketika
mereka membuatnya marah. Dia telah diskors dari sekolah karena berkelahi. Angelo
aktif dalam olahraga dan unggul dalam bisbol, di mana ia memiliki rata-rata pukulan
yang tinggi. Namun, laporan sekolah menunjukkan dia sering dikeluarkan dari
barisan atau dikeluarkan dari permainan karena kemarahan yang berlebihan dan
agresi verbal terhadap pemain lain. Pelatihnya menyatakan bahwa dia bisa memiliki
masa depan dalam bisbol, tetapi reputasinya untuk sportifitas yang buruk melarang
dia untuk maju dalam olahraga. Dia tidak berteman dengan rekan satu timnya.
Ibu Angelo menyatakan bahwa mulai sekitar usia 9 tahun, Angelo mulai
menunjukkan tanda-tanda lekas marah dan ledakan yang tidak semestinya. Ledakan
ini termasuk berteriak, melempar benda, dan menolak untuk terlibat dalam kegiatan
sosial atau kehidupan sehari-hari. Perilaku ini terjadi baik dirumah maupun di
sekolah. Selama setahun terakhir, ledakan Angelo telah terjadi setidaknya tiga kali
per minggu, dengan 3 minggu Angelo terpanjang telah pergi tanpa ledakan. Dia telah
diminta untuk berbicara dengan konselor sekolah dua kali sepanjang tahun karena
ledakannya. Ketika ditanya tentang suasana hatinya, Angelo melaporkan perasaan
sedih, tidak berdaya, dan putus asa tetapi menyangkal pikiran menyakiti dirinya
sendiri. Angelo tidak pernah mengalami gejala episode manik. Angelo tidak memiliki
riwayat diagnosis klinis atau penggunaan zat sebelumnya.
B. Analisis kasus Angelo
Keselarasan kasus dengan berbagai kriteria. Penyusun memadukan ciri ciri , jenis
dan kriteria yang terjadi pada diri Angelo dengan teori yang dipelajari yaitu, DMDD.
Di dalam kasus disebutkan bahwa Angelo hidup di lingkungan keluarga
kandungnya. Angelo hanya memiliki hubungan baik dengan ibunya, karena selama 7
tahun ayahnya bekerja di lokasi yang cukup jauh dari rumannya. Angelo memiliki
masalah dengan keadaan fisiknya yang tidak terawat. Angelo bisa dikatakan orang
yang malas karena dia sulit menyelesaikan kegiatan sehari-hari. Ibunya juga
mensupport kegiatannya, namun karena angelo yang pemalas, ia hanya mendorong
kegiatan yang menurut dia penting untuk angelo.
Angelo merasa depresi dan juga frustasi dengan keadaan yang membuatnya tidak
merasa puas dengan hidupnya. Angelo terancam tidak lulus. Angelo selalu bolos

18
sekolah dan tidak mengumpulkan pekerjaan rumah (pr). Ketika dia dihadapkan
dengan pemikirannya, Angelo mengatakan bahwa sekolah tidak ada gunanya karena
dia tidak akan pernah menggunakan materi pelajarannya dalam kehidupan nyata. Dia
sering terlibat konflik verbal dengan gurunya. Sampai pada akhirnya, dia di skorse
dari sekolahnya.
Guru Angelo mengatakan bahwa hasil dari tes bakat Angelo memiliki hasil diatas
rata-rata dan berpotensi dalam bidang olahraga bisbol. Namun, dia sering melakukan
pelanggaran akibat ledakan amarah Angelo yang tidak bisa terkontrol. Bahkan ketika
dia berkumpul dengan teman-temannya, dia merasa temannya itu idiot bahkan tidak
berguna jika tidak menuruti perintah dari dirinya. Ledakan emosinya juga tidak sesuai
dengan tingkat perkembangan diri Angelo. Ledakan emosi terjadi, rata-rata, tiga kali
atau lebih per minggu, selama satu tahun dalam pantauan.
Karena diagnosis tidak boleh dilakukan pertama kali sebelum usia 6 tahun atau
setelah usia 18 tahun. Sementara saat kejadian itu umur Angelo 9 tahun. Dan
berdasarkan riwayat atau observasi, usia Angelo saat ini 16 tahun. Juga dak pernah
ada periode berbeda yang berlangsung lebih dari 1 hari selama kriteria gejala lengkap,
kecuali durasi, untuk episode manik atau hipomanik telah terpenuhi.
Didalam teori penerimaan dan komitmen, konseli benar benar terlibat dalam
membangun, menciptakan, membentuk komitmen dan mengatur dunia pribadinya
sendiri dalam menentukan sifat, isi, struktur, dan makna dunianya supaya dapat
diterima oleh dirinya sendiri. Dalam teori penerimaan dan komitmen berdasarkan
pengalaman pribadinya, therapy ini adalah upaya untuk mengubah seseorang dari apa
menjadi seperti apa orang itu. Hal ini dapat diterapkan pada permasalahan pada kasus
Angelo. Dimana Angelo adalah seorang pemuda yang mengalami berbagai macam
permasalahan.
Tujuan dari teori penerimaan dan komitmen ini yaitu meningkatkan fleksibilitas
psikologis dengan menerima pengalaman internal, mengkonfrontasi penghindaran
pengalaman, mengkontekstualisasikan pikiran bermasalah, menjelajahi nilai-nilai
pribadi dan tujuan yang terkait, serta mendorong komtmen untuk bergerak maju
sesuai dengan nilai kehidupan yang telah dipilih oleh Angelo.
Dikarenakan Angelo sudah tidak bisa berpikir dengan jernih karena isi pikirannya
sudah terisi oleh pikiran negatif maka dari itu disinilah tugas konselor dibutuhkan.
Konselor membantu Angelo dalam membangun kembali dunianya yang baru
sehingga Angelo bisa menjadi orang yang baru dengan kualitas yang baik. Gejala
kasus Angelo juga tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat atau kondisi medis

19
atau neurologis lainnya. Maka dari itu penyusun mendiangnosis kasus ini termasuk
kepada jenis DMDD.
Dari proses konseling ini diharapkan Angelo mengalami perubahan yang radikal
dan juga bisa mengubah Angelo menjadi seperti apa nantinya sesuai apa yang Angelo
inginkan. Angelo menjadi orang baru yang secara kualitas baik di dalam maupun
diluar. Angelo harus benar-benar merasa menjadi orang baru yang sudah mengalami
perubahan yang didalamnya apa yang Angelo rasakan, pikirkan harus bagaimana
seperti orang baru yang berada di dunia barunya. Sehingga Angelo terbebas dari
situasi menyakitkan yang awalnya ia rasakan karena situasi atau perasaan
menyakitkan tersebut bukan lagi bagian dalam diri baru Angelo.
C. Rancangan penanganan kasus Angelo dengan pendekatan Cognitive
Behavior Therapy (CBT)
Dalam kasus Angelo, penyusun akan menggunakan cara konselor menekankan
bahwa konselor bersedia membantu klien tetapi tidak akan bisa mengubah klien,
konselor menekankan agar klien mengambil tanggung jawab atas tingkah lakunya,
konseling ini akan diadakan menjadi 4 tahapan, diantaranya:
1. Melakukan asesmen (assessment) 
Tahap ini bertujuan untuk menentukan apa yang dilakukan oleh konseli
pada saat ini. Asesmen dilakukan adalah aktivitas nyata, perasaan dan
pikiran konseli. Terdapat enam informasi yang digali dalam asesmen
yaitu: 
a. Analisis tingkah laku yang bermasalah yang dialami konseli saat ini.
Tingkah laku yang dianalisis adalah tingkah laku yang khusus. 
b. Analisis tingkah laku yang didalamnya terjadi masalah konseli.
Analisis ini mencoba untuk mengidentifikasi peristiwa yang mengawali
tingkah laku dan mengikutinya sehubungan dengan masalah konseli. 
c. Analisis motivasional yang berkenaan dengan hal-hal yang menarik
dalam kehidupan klien.
d. Analisis self kontrol, yaitu tingkatan kontrol diri konseli terhadap
tingkah laku bermasalah ditelusuri atas dasar bagaimana kontrol itu
dilatih atas dasar kejadian-kejadian yang menentukan keberhasilan self
kontrol.
e. Analisis hubungan sosial, yaitu orang lain yang dekat dengan
kehidupan konseli diidentifikasi juga hubungannya orang tersebut
dengan konseli. Metode yang digunakan untuk mempertahankan
hubungan ini dianalisis juga. 

20
f. Analisis lingkungan fisik-sosial budaya. Analisis ini atas dasar norma-
norma dan keterbatasan lingkungan.
2. Menentukan tujuan (goal setting) 
Konselor dan konseli menentukan tujuan konseling sesuai dengan
kesepakatan bersama berdasarkan informasi yang telah disusun dan
dianalisis. Fase goal setting disusun atas tiga langkah, yaitu: 
a. Membantu konseli untuk memandang masalahnya atas dasar tujuan-
tujuan yang diinginkan.
b. Memperhatikan tujuan konseli berdasarkan kemungkinan hambatan-
hambatan situasional tujuan belajar yang dapat diterima dan dapat
diukur. 
c. Memecahkan tujuan ke dalam sub-tujuan dan menyusun tujuan
menjadi susunan yang berurutan.
3. Mengimplementasikan Teknik (technique implementation) 
Setelah tujuan konseling dirumuskan, konselor dan konseli menentukan
strategi belajar yang terbaik untuk membantu konseli mencapai perubahan
tingkah laku yang diinginkan. Konselor dan konseli
mengimplementasikan teknik-teknik konseling sesuai dengan masalah
yang dialami oleh konseli (tingkah laku excessive atau deficit).
a. Evaluasi dan mengakhiri konseling (evaluation termination) 
Evaluasi konseling behavioristik merupakan proses yang
berkesinambungan. Evaluasi dibuat atas apa yang konseli perbuat.
Tingkah laku konseli digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi
efektivitas konselor dan efektivitas tertentu dari teknik yang digunakan.
Terminasi lebih dari sekedar mengakhiri konseling. Terminasi
meliputi: 
1.)Menguji apa yang konseli lakukan terakhir. 
2.)Eksplorasi kemungkinan kebutuhan konseling tambahan. 
3.)Membantu konseli mentransfer apa yang dipelajari dalam konseling
ke tingkah laku konseli.
4.)Memberi jalan untuk memantau secara terus menerus tingkah laku
konseli.

21
BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan dan implikasi
Gangguan depresi didiagnosis ketika suasana hati depresi seseorang cukup
lama untuk mengganggu fungsi rutin sehari-hari.Dalam hal hasil pengobatan,
penelitian menunjukkan bahwa gangguan depresi biasanya merespon intervensi
psikoterapi (Hausmann et al., 2007; NIMH, 2013a, 2013b). NIMH (2013a, 2013c)
dan ADAA (2013) telah mengidentifikasi terapi perilaku kognitif (CBT) dan terapi
interpersonal sebagai dua modalitas pengobatan psikoterapi yang paling manjur untuk
gangguan depresi. CBT membantu individu dengan merestrukturisasi dan
membingkai ulang proses pemikiran negatif, dan terapi interpersonal membantu
mereka memahami dan bekerja melalui hubungan yang tidak harmonis (Corey, 2013;
Ivey, D'Andrea, & Ivey, 2012).
Kemampuan konselor untuk mengenali gangguan depresi penting karena
hampir 10% dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat memenuhi kriteria untuk
gangguan depresi pada suatu titik waktu tertentu (CDC, 2010). Gangguan depresi
lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria, dan meskipun orang dari latar
belakang ras atau kelas sosial apa pun dapat terpengaruh, gangguan ini lebih sering
didiagnosis pada individu keturunan Afrika-Amerika atau Latin, individu yang
menganggur atau tidak dapat bekerja, individu yang sebelumnya telah menikah, dan
individu tanpa asuransi kesehatan. Klien yang memiliki riwayat keluarga depresi juga
memiliki risiko yang lebih tinggi (CDC, 2010; Morrison, 2006).
Depresi adalah penyebab utama kecacatan di Amerika Serikat dan dapat
menjelaskan sebanyak 50% klien dalam praktik kesehatan mental yang khas (CDC,
2010; Morrison, 2006). Konselor sering membuat kesalahan dengan mengabaikan
gejala yang mendasari depresi, lebih fokus pada keluhan utama klien, seperti masalah
dengan suasana hati atau penyesuaian kesulitan. Konselor harus selalu menanyakan
masalah lain, seperti penyalahgunaan zat, keluhan somatik, atau perubahan status
medis baru-baru ini. Kegagalan untuk melakukannya dapat mengakibatkan asumsi
bahwa gangguan depresi adalah satu-satunya masalah klien.
Kekuatan pendekatan perilaku adalah pengembangan prosedur terapeutik spesifik
yang harus terbukti efektif melalui cara yang objektif. Hasil intervensi perilaku
menjadi jelas karena konselor menerima umpan balik langsung terus menerus dari
klien mereka. Ciri dari pendekatan perilaku adalah bahwa teknik terapeutik didukung
secara empiris dan praktik berbasis bukti sangat dihargai. Untuk kreditnya, efektivitas
terapi perilaku telah diteliti dengan populasi yang berbeda dan beragam gangguan.

22
Menurut Lazarus (1989, 1992b, 1996b, 1997a, 2005, 2008a, 2008b), praktisi
perilaku dapat memasukkan ke dalam rencana perawatan mereka teknik apa pun yang
dapat ditunjukkan untuk mengubah perilaku secara efektif. Lazarus menganjurkan
penggunaan berbagai teknik, terlepas dari asal teoretisnya. Jelas bahwa konselor
perilaku tidak harus membatasi diri hanya pada metode yang diturunkan dari teori
belajar. Demikian juga, teknik perilaku dapat dimasukkan ke dalam pendekatan lain.
Ini diilustrasikan kemudian dalam bab ini di bagian tentang penggabungan
pendekatan kesadaran dan penerimaan ke dalam praktik konseling perilaku.
Prosedur terapeutik yang digunakan oleh konselor perilaku dirancang khusus
untuk konseli tertentu daripada dipilih secara acak dari "sekantong teknik." Konselor
seringkali cukup kreatif dalam intervensi mereka. Pada bagian berikut saya
menjelaskan berbagai teknik perilaku yang tersedia untuk praktisi: analisis perilaku
terapan, pelatihan relaksasi, desensitisasi sistematis, konseling paparan, desensitisasi
dan pemrosesan ulang gerakan mata, pelatihan keterampilan sosial, program
manajemen diri dan perilaku mengarahkan diri, multimodal konseling, dan perhatian
dan pendekatan berbasis penerimaan. Teknik-teknik ini tidak mencakup spektrum
penuh prosedur perilaku, tetapi mereka mewakili sampel pendekatan yang digunakan
dalam praktik terapi perilaku kontemporer.

23
DAFTAR PUSTAKA
COREY, G. (t.thn.). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy
ninth edition.

Rachman, T. (2018). In Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952.

Vernon, A. [Ed], & Doyle, K. A. [Ed]. (2018). Cognitive behavior therapies: A


guidebook for practitioners. In Cognitive behavior therapies: A guidebook for
practitioners. http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?
T=JS&PAGE=reference&D=psyc15&NEWS=N&AN=2017-42211-000

24

Anda mungkin juga menyukai