Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA

PERCOBAAN
PENELUSURAN PUSTAKA

Hari : Selasa
Tanggal : 22 Maret 2022
Nama : WINDY LIDIA RIZMA
NIM : 01019007
Kelompok :7
Kelas :6D

SEKOLAH TINGGI FARMASI


YAYASAN PENDIDIKAN IMAM BONJOL CIREBON
2022
PRAKTIKUM I

PENELUSURAN PUSTAKA

I. Pendahuluan

a. Tinjauan botani
Tapak dara (Catharanthus roseus [L.] G. Don)
1. Nama
- Sinonim
Ammocallis rosea Small, Lochnera rosea Reich, Vinca rosea L.
- Nama daerah
Sumatra : rutu-rutu, rumput jalang
Jawa : kembang sari cina, kembang serdadu, kembang tembaga
Bali : tapak lima
Sulawesi : sindapor
Maluku : usia
- Nama asing
China : chang chun hua
Vietnam : hoa hai dang, dira can
Belanda : soldatenbloem
Inggris : vinca, periwinkle
- Nama Simplisia
Catharanthi Herba (herba tapak dara), Catharanthi Radix (akar tapak dara)
2. Klasifikasi Tapak Dara
Klasifikasi Tumbuhan Tapak Dara, yaitu (Plantamor, 2008)
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatopyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil)
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Gentianales
Famili : Apocynaceae
Genus : Catharanthus
Spesies : Catharanthus roseus (L.) G. Don
3. Tempat tumbuh
Tapak dara dapat tumbuh di tempat terbuka dengan berbagai macam iklim,
serta ditemukan mulai dataran rendah hingga ketinggian 800 m dpl (Dalimartha,
2008).
4. Morfologi Tapak Dara Catharanthus roseus (L.) G. Don
Tumbuhan ini berasal dari Amerika Tengah, umumnya ditanam sebagai
Tumbuhan hias. Tapak dara bisa tumbuh ditempat terbuka. Daun tapak dara
tergolong daun tunggal dengan letaknya silang berhadapan, mempunyai morfologi
bulat telur dengan ujungnya terdapat getah dan pangkal tumpul, tepi rata, mengkilat,
memiliki tangkai dengan panjang 2-6 cm, lebar daun 1-3 cm, pertulangan menyirip,
serta berwarna hijau.
5. Masa waktu panen
Tumbuhan ini tidak tahan terhadap pemangkasan besar dan dapat mati
karenanya. Tapak dara biasanya diperbanyak dengan bijinya yang lembut. Caranya,
sediakan biji-biji yang tua, lalu semaikan pada suatu tempat persemaian. Masukkan
biji ke dalam tanah, lalu tutup dengan lapisan tanah setipis tebal bijinya. Rajinlah
menyiram. Bila biji-biji mulai tumbuh, dan tingginya sudah mencapai sekitar 15 - 20
cm, umumnya dapat dipindahkan ke tempat yang diinginkan. Jika ingin ditanam
dalam pot, tentu perlu disiapkan pot dan media tanamnya. Pot bisa dari tanah liat,
semen, atau kaleng bekas. Media tanamnya berupa campuran tanah subur, kompos,
dan pupuk kandang (2: 1: 1). Bibit langsung ditanam, dan setelah itu diletakkan di
tempat teduh. Seminggu kemudian, ditempatkan di tempat terbuka.
Jika ingin ditanam di kebun pekarangan, perlu dibuat lubang tanah berukuran
15 x 151 x 15 cm, dengan jarak di antara lubang 50 cm. Tiap lubang diberi pupuk
kandang atau kompos sebanyak 1,5 kg. Masukkan bibit ke dalam lubang, lalu
timbun dengan tanah, dan siram.
Untuk perawatannya, tapak dara tidak menuntut perawatan khusus. Asal
disiram dan diberi pupuk, sudah cukup. Pada awal pertumbuhan, gunakan pupuk
yang kandungan nitrogennya tinggi, atau pupuk daun yang disemprotkan pada
permukaan bawah daun di pagi hari. Kemudian, ketika tanaman mulai berbunga,
untuk merangsang pembungaan, dapat digunakan pupuk yang memiliki kandungan
fosfor tinggi. Nah, jika rajin merawat, tentulah dijamin tapak dara akan berbunga
sepanjang tahun.
b. Tinjauan Kimia

Kandungan Senyawa Bioaktif dalam Tapak Dara Tapak dara mengandung


berbagai zat kimia aktif. Hasil analisa fitokimia ekstrak daun tapak dara (Catharantus
roseus) menunjukkan adanya kandungan tanin, triterpenoid, alkaloid, dan flavonoid.
Alkaloid dan flavonoid merupakan senyawa aktif yang telah diteliti memiliki aktivasi
hipoglikemik (Ivorra et al., 1989). Flavonoid dapat menghambat kerja enzim α-
glukosidase dalam luteolin (Kim dan Sura, 2000). Sementara tanin dapat berfungsi
sebagai antimikroba untuk bakteri dan virus (Hara et al.,1993).
Alkaloid adalah kelompok besar senyawa organik alami dalam hampir semua
jenis tumbuhan. Alkaloid memiliki berbagai efek farmakologi seperti antikanker,
antiinflamasi dan antimikroba. Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol yang
terbesar ditemukan di alam. Tanin adalah senyawa fenol yang terdapat luas dalam
tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu.
Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi dengan protein yang tidak larut dalam air
(Harborne, 1987).
Tapak dara mengandung berbagai senyawa bioaktif, diantaranya 4 senyawa bioaktif
yang telah banyak dimanfaatkan untuk penyembuhan penyakit. Berikut merupakan
senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tapak dara
(Dalimartha, 2007).
1. Vinblasine, ternyata bisa dimanfaatkan dalam pengobatan penyakit leukemia.
2. Vincristine, disamping dipakai dalam pengobatan leukemia, juga kanker payudara,
dan tumor ganas.
3. Vindesine, dipakai dalam pengobatan leukemia pada anak-anak, dan penderita tumor
pigmen.
4. Vinorelbine, seringkali digunakan sebagai bahan pengobatan untuk mencegah
pembelahan kelenjar.
c. Khasiat dan Penggunaanya

Mengandung banyak antioksidan, tapak dara dipercaya efektif menyembuhkan


sejumlah penyakit ringan sampai berat. Semua bagian tanaman tapak dara bisa
digunakan sebagai obat herbal. Tapak dara mengandung vincristine dan vinblastine
yang bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan sel kanker leukemia dan jenis kanker
lainnya.
d. Peraturan Perndang-undangan yang berkaitan dengan produksi dan perdagangan
simplisia, ekstrak tanaman dan sediaan fitofarmaka
 Kebijakan perdagangan tanaman obat disisi hilir diatur dalam Permenkes No.
006 tahun 2002 tentang industri dan usaha obat tradisional, dimana pada pasal 42
disebutkan bahwa IOT, IEBA, IKOT dan IMOT wajib menyampaikan laporan
jenis jumlah bahan baku yang digunakan. Dengan adanya Permenkes 006/2002
diharapkan dikembangkan kebutuhan bahan baku tanaman obat dapat diketahui
sehingga dapat menjadi acuan dalam produksi dan perdagangan tanaman obat.
 Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaga Negara
Republik Indonesia bahan baku simplisia dan bahan baku ekstrak tanaman obat).

e. Peraturan zat tambahan pada obat tradisional dan analisa kualitatif zat yang
ditambahkan pada obat tradisional

Menurut UU Kesehatan RI No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dan


Sediaan Farmasi. Dalam Undang Undang ini yang dimaksud Sediaan Farmasi adalah
obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Dalam Undang-undang ini juga
disebutkan bahwa hakekat obat atau pengertian obat adalah bahan atau campuran yang
dipergunakan untuk diagnosa, mencegah, mengurangi, menghilangkan atau
menyembuhkan penyakit, luka atau kelainan badaniah dan mental pada manusia atau
hewan, mempercantik badan atau bagian badan manusia.
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan bahan-
bahan tersebut, yang secara traditional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
246/Menkes/Per/V/1990, tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran
Obat Tradisional.
Perkembangan selanjutnya obat tradisional kebanyakan berupa campuran yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan sehingga dikenal dengan obat herbal Khusus untuk Obat
herbal ada 3 : Jamu, obat herbal terstandarisasi dan fitofarmaka.Obat tradisional
merupakan salah satu warisan nenek moyang atau leluhur yang secara turun temurun
dipergunakan dalam proses mencegah, mengurangi, menghilangkan atau
menyembuhkan penyakit, luka dan mental pada manusia atau hewan. Sebagai warisan
nenek moyang yang dipergunakan secara turun temurun maka perlu kiranya
dikembangkan dan diteliti agar dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Hal ini
sebenarnya sudah dikembangkan puluhan tahun yang lalu sesuai dengan apa yang
tercantum dalam GBHN 1993 yaitu Pemeliharaan & Pengembangan Pengobatan
tradisional sebagai warisan budaya bangsa (ETNOMEDISINE) terus ditingkatkan dan
didorong pengembangannya melalui penggalian, penelitian, pengujian dan
pengembangan serta penemuan obat-obatan termasuk budidaya tanaman obat
tradisional yang secara medis dapat dipertanggungjawabkan Dalam hal ini dapat di
formulasikan menjadi 5 hal pokok yang harus diperhatikan yaitu etnomedicine,
agroindustri tanaman obat, iftek kefarmasian dan kedokteran, teknologi kimia dan
proses, pembinaan dan pengawasan produksi atau pemasaran bahan dan produk obat
tradisional.

II. Metodologi

a. Pembuatan simplisia
Akar tapak dara (Catharanthus roseus L. Radix).
Cara Kerja
1. Pengumpulan bahan baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda antara lain
tergantung pada :
Bagian tanaman yang digunakan. Umur tanaman yang digunakan. Waktu panen.
Lingkungan tempat tumbuh.
Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif di dalam
bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat pada saat bagian
tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah yang terbesar.
2. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan
asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat dari akar
suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun,
akar yang telah rusak, serta pengotoran lainnya harus dibuang. Tanah mengandung
bermacam-macam mikroba dalam jurnlah yang tinggi, oleh karena itu pembersihan
simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal.
3. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya yang
melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih, misalnya air
dari mata air, air sumur atau air PAM. Bahan simplisia yang mengandung zat yang
mudah larut di dalam air yang mengalir, pencucian agar dilakukan dalam waktu
yang sesingkat mungkin. Menurut Frazier (1978), pencucian sayur-sayuran satu kali
dapat menghilangkan 25% dari jumlah mikroba awal, jika dilakukan pencucian
sebanyak tiga kali, jumlah mikroba yang tertinggal hanya 42% dari jumlah mikroba
awal. Pencucian tidak dapat membersihkan simplisia dari semua mikroba karena air
pencucian yang digunakan biasanya mengandung juga sejumlah mikroba. Cara
sortasi dan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah rnikroba awal
simplisia. Misalnya jika air yang digunakan untuk pencucian kotor, maka jumlah
mikroba pada permukaan bahan simplisia dapat bertambah dan air yang terdapat
pada permukaan bahan tersebut dapat menipercepat pertumbuhan mikroba. Bakteri
yang umum terdapat dalam air adalah Pseudomonas, Proteus, Micrococcus, Bacillus,
Streptococcus, Enterobacter dan Escherishia. Pada simplisia akar, batang atau buah
dapat pula dilakukan pengupasan kulit luarnya untuk mengurangi jumlah mikroba
awal karena sebagian besar jumlah mikroba biasanya terdapat pada permukaan
bahan simplisia. Bahan yang telah dikupas tersebut mungkin tidak memerlukan
pencucian jika cara pengupasannya dilakukan dengan tepat dan bersih.
4. Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan.
Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan,
pengepakan dan penggilingan. Tanaman yang baru diambil jangan langsung dirajang
tetapi dijemur dalam keadaan utuh selama 1 hari. Perajangan dapat dilakukan
dengan pisau, dengan alat mesin perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau
potongan dengan ukuran yang dikehendaki. Semakin tipis bahan yang akan
dikeringkan, semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat waktu
pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga dapat menyebabkan
berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap. Sehingga
mempengaruhi komposisi bau dan rasa yang diinginkan. Oleh karena itu bahan
simplisia seperti temulawak, temu giring, jahe, kencur dan bahan sejenis lainnya
dihindari perajangan yang terlalu tipis untuk mencegah berkurangnya kadar minyak
atsiri. Selama perajangan seharusnya jumlah mikroba tidak bertambah. Penjemuran
sebelum perajangan diperlukan untuk mengurangi pewarnaan akibat reaksi antara
bahan dan logam pisau. Pengeringan dilakukan dengan sinar matahari selama satu
hari.
5. Pengeringan
Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah
rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi
kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau
perusakan simplisia. Air yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu
dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan jasad reniklainnya.Enzim tertentu
dalam sel, masih dapat bekerja, menguraikan senyawa aktif sesaat setelah sel mati
dan selama bahan simplisia tersebut masih mengandung kadar air tertentu. Pada
tumbuhan yang masih hidup pertumbuhan kapang dan reaksi enzimatik yang
merusak itu tidak terjadi karena adanya keseimbangan antara proses-proses
metabolisme, yakni proses sintesis, transformasi dan penggunaan isi sel.
Keseimbangan ini hilang segera setelah sel tumbuhan mati. Sebelum tahun 1950,
sebelum bahan dikeringkan, terhadap bahan simplisia tersebut lebih dahulu
dilakukan proses stabilisasi yaitu proses untuk menghentikan reaksi enzimatik. Cara
yang lazim dilakukan pada saat itu, merendam bahan simplisia dengan etanol 70%
atau dengan mengaliri uap panas. Dari hasil penelitian selanjutnya diketahui bahwa
reaksi enzimatik tidak berlangsung bila kadar air dalam simplisia kurang dari 10%.
Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau
menggunakan suatu alat pengering. Hal-ha1 yang perlu diperhatikan selama proses
pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, Waktu
pengeringan dan luas permukaan bahan. Pada pengeringan bahan simplisia tidak
dianjurkan menggunakan alat dari plastik. Selama proses pengeringan bahan
simplisia, faktor-faktor tersebut harus diperhatikan sehingga diperoleh simplisia
kering yang tidak mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan. Cara
pengeringan yang salah dapat mengakibatkan terjadinya “Face hardening”, yakni
bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah. Hal ini
dapat disebabkan oleh irisan bahan simplisia yang terlalu tebal, suhu pengeringan
yang terlalu tinggi, atau oleh suatu keadaan lain yang menyebabkan penguapan air
permukaan bahan jauh lebih cepat daripada difusi air dari dalam ke permukaan
tersebut, sehingga permukaan bahan menjadi keras dan menghambat pengeringan
selanjutnya. “Face hardening” dapat mengakibatkan kerusakan atau kebusukan di
bagian dalarn bahan yang dikeringkan.
Suhu pengeringan tergantung kepada bahan simplisia dan cara
pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 300 sampai 90°C,
tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60°C. Bahan simplisia yang
mengandung senyawa aktif yang tidak tahan panas atau mudah menguap harus
dikeringkan pada suhu serendah mungkin, misalnya 300 sampai 450 C, atau dengan
cara pengeringan vakum yaitu dengan mengurangi tekanan udara di dalam ruang
atau lemari pengeringan, sehingga tekanan kira-kira 5 mm Hg. Kelembaban juga
tergantung pada bahan simplisia,cara pengeringan, dan tahap tahap selama
pengeringan. Kelembaban akan menurun selama berlangsungnya proses
pengeringan. Berbagai cara pengeringan telah dikenal dan digunakan orang. Pada
dasarnya dikenal dua cara pengeringan yaitu pengeringan secara alamiah dan buatan.
6. Pengeringan Alamiah.
Tergantung dari senyawa aktif yang dikandung dalam bagian tanaman yang
dikeringkan, dapat dilakukan dua cara pengeringan : Dengan panas sinar matahari
langsung. Cara ini dilakitkan untuk mengeringkan bagian tanaman yang relatif keras
seperti kayu, kulit kayu, biji dan sebagainya, dan rnengandung senyawa aktif yang
relatif stabil. Pengeringan dengan sinar matahari yang banyak dipraktekkan di
Indonesia merupakan suatu cara yang mudah dan murah, yang dilakukan dengan
cara membiarkan bagian yang telah dipotong-potong di udara terbuka di atas
tampah-tampah tanpa kondisi yang terkontrol sepertl suhu, kelembaban dan aliran
udara. Dengan cara ini kecepatan pengeringan sangat tergantung kepada keadaan
iklim, sehingga cara ini hanya baik dilakukan di daerah yang udaranya panas atau
kelembabannya rendah, serta tidak turun hujan. Hujan atau cuaca yang mendung
dapat memperpanjang waktu pengeringan sehingga memberi kesempatan pada
kapang atau mikroba lainnya untuk tumbuh sebelum simplisia tersebut kering.
F’IDC (Food Technology Development Center IPB) telah merancang dan
membuat suatu alat pengering dengan menggunakan sinar matahari, sinar matahari
tersebut ditampung pada permukaan yang gelap dengan sudut kemiringan tertentu.
Panas ini kemudian dialirkan keatas rak-rak pengering yang diberi atap tembus
cahaya di atasnya sehingga rnencegah bahan menjadi basah jika tiba-tiba turun
hujan. Alat ini telah digunakan untuk mengeringkan singkong yang telah dirajang
dengan demikian dapat pula digunakan untuk mengeringkan simplisia. Dengan
diangin-anginkan dan tidak dipanaskan dengan sinar matahari langsung. Cara ini
terutama digunakan untuk menghasilkan bagian yang lebih halus (serbuk). Dalam
proses ini, akar tapak dara yang awalnya mempunyai berat 300 gram, beratnya
menyusut menjadi 30 gram saja ketika menjadi serbuk dikarenakan proses
pengeringan yang bertujuan mengurangi kadar air dari akar hingga menjadi 10%
saja.
7. Penyimpanan
Hasil serbuk dari simplisia akar tapak dara dimasukan dan disimpan didalam botol
kaca berwarna coklat atau gelap dalam keadaan tertutup rapat pada tempat yang
tidak panas, atau terlindung dari sinar matahari. Dan diberi label atau etiket.

b. Spesifikasi dan Standarisasi

Standardisasi dapat didefinisikan sebagai kualitas suatu sediaan farmasi yang memiliki
nilai yang tetap dan reprodusibel, serta menentukan jumlah minimum dari satu atau
beberapa komponen yang terkandung di dalamnya. Beberapa alasan perlunya dilakukan
standardisasi obat tradisional, antara lain dapat menyediakan produk yang terstandar,
reprodusibel, dan memiliki kualitas tinggi, serta memberikan rasa aman dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap obat tradisional. Standardisasi dalam
kefarmasian adalah serangkaian parameter, prosedur, dan cara pengukuran yang
hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian. Mutu dalam
artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi, farmasi), termasuk jaminan stabilitas
sebagai produk kefarmasian umumnya. Selain itu, standardisasi juga berarti proses
yang menjamin bahwa produk akhir (obat, ekstrak, atau produk ekstrak) mempunyai
nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu.
Standardisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan
digunakan sebagai bahan baku obat harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam
monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia),
sedangkan sebagai produk yang langsung dikonsumsi harus memenuhi persyaratan
produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Ekstrak yang digunakan sebagai bahan baku maupun produk kefarmasian, selain harus
memenuhi persyaratan monografi bahan baku (simplisia), juga diperlukan persyaratan
parameter standar ekstrak. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter
standar umum (non spesifik) dan parameter standar spesifik. Parameter non spesifik
meliputi susut pengeringan, kadar abu, kadar air, sisa pelarut, dan cemaran logam berat,
sedangkan parameter spesifik meliputi identitas ekstrak, organoleptik ekstrak, dan
kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu.
Parameter spesifik terdiri dari:
1. Identitas ekstrak, merupakan deskripsi tata nama ekstrak, nama latin tumbuhan,
bagian tumbuhan yang digunakan serta senyawa identitas yang menjadi petunjuk
spesifik dengan metode tertentu. Parameter ini bertujuan memberikan identitas
objektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas.
2. Organoleptik ekstrak, dilakukan dengan menggunakan panca indera untuk
mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa. Parameter ini bertujuan sebagai
pengenalan awal yang sederhana seobjektif mungkin.
3. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, dilakukan dengan cara melarutkan ekstrak
dengan pelarut (alkohol atau air) untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan
jumlah senyawa kandungan secara gravimetri. Parameter ini bertujuan untuk
memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan.

Parameter non spesifik terdiri dari:


1. Susut pengeringan, merupakan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
temperatur 105oC selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan
dengan nilai prosen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak
menguap/atsiri dan sisa pelarut organik menguap) identik dengan kadar air, yaitu
kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan udara terbuka. Parameter ini
bertujuan untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa
yang hilang pada proses pengeringan.
2. Bobot jenis, adalah masa per satuan volume pada suhu kamar tertentu (25oC) yang
ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Parameter ini bertujuan
untuk memberikan batasan tentang besarnya masa per satuan volume yang
merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih
dapat dituang.
3. Kadar air, merupakan pengukuran kandungan air yang berada dalam bahan,
dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi atau gravimetri.
Parameter ini bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang
besarnya kandungan air di dalam bahan.
4. Kadar abu, yaitu bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan
turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga tinggal unsur mineral dan
anorganik. Parameter ini bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral
internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak.
5. Sisa pelarut, dilakukan dengan menentukan kandungan sisa pelarut tertentu yang
memang ditambahkan yang secara umum dengan kromatografi gas. Parameter ini
bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa
pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk ekstrak cair
menunjukkan jumlah pelarut (alkohol) sesuai dengan yang ditetapkan.
6. Residu pestisida, dilakukan dengan menentukan kandungan sisa pestisida yang
mungkin saja pernah ditambahkan atau mengkontaminasi pada bahan simplisia
pembuatan ekstrak. Parameter ini bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa
ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya
(toksik) bagi kesehatan.
7. Cemaran logam berat, dilakukan dengan menentukan kandungan logam berat secara
spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid. Parameter ini bertujuan
untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu
(Hg, Pb, Cd, dll.) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi
kesehatan.
8. Cemaran mikroba, dilakukan dengan menentukan (identifikasi) adanya mikroba yang
patogen secara analisis mikrobiologis. Parameter ini bertujuan untuk memberikan
jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak
mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang ditetapkan karena
berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan.

Uji kandungan kimia ekstrak meliputi:


1. Pola kromatogram, dimana ekstrak ditimbang, diekstraksi dengan pelarut dan cara
tertentu, kemudian dilakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola
kromatogram yang khas. Uji ini bertujuan untuk memberikan gambaran awal
komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram.
2. Kadar total golongan kandungan kimia, dilakukan dengan penerapan pola
spektrofotometri, titrimetri, volumetri, gravimetri atau lainnya. Uji ini bertujuan
untuk memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai parameter
mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis.
3. Kadar kandungan kimia tertentu, dimana uji ini bertujuan untuk memberikan data
kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga
bertanggung jawab pada efek farmakologi. Untuk uji kandungan kimia ekstrak,
meskipun termasuk ke dalam lingkup parameter spesifik, namun kelompok ini
dibahas tersendiri karena menyangkut senyawa kimia yang ada dalam ekstrak.

c. Pembuatan Ekstrak
Cara Ekstrasi
Ekstraksi bisa dilakukan dengan metode maserasi, perkolasi, digesti,refluks
atau ekstraksi fluida super kritik. Sifat zat aktif yang terkandung didalam bahan
mempengaruhi metode ekstraksi dan jenis pelarut yang dipilih. Selain itu pada metode
maserasi dan perkolasi dapat dimodifikasi menggunakan ekstraktor yang dilengkapi
dengan mantel pemanas. Pada buku ini, metode yang dibahas meliputi maserasi,
perkolasi, dan digesti. Ekstrak yang dibuat harus memenuhi standar yang telah
ditentukansebagaimana tercantum di dalam monografi.
Maserasi
Maserasi digunakan untuk simplisia segar, kering atau serbuk zat aktifnya
tidak tahan terhadap proses pemanasan. Pelarut yang dipakaiadalah air atau pelarut
organik. Keuntungan dari maserasi adalah pengerjaannya dan peralatannya mudah dan
saederhana. Sedangkan kekurangannya antara lain waktuyang dibutuhkan untuk
mengekstraksi bahan cukup lama, penyarian kurang sempurna, pelarut yang digunakan
jumlahnya banyak.Metode : Kecuali dinyatakan lain lakukan sebagai berikut :
masukkan satu & bagian simplisia ke dalam maserator, tambahkan sepuluh & bagian
penyari dan rendam selama - jam sambil sekali+kali diaduk,kemudian diamkan hingga
24 jam. Pisahkan maserat dengan separator dan ulang 2 kali dengan jumlah dan jenis
pelarut yang sama, kemudian kumpulkan semua maserat. Jika maserasi dilarutkan
dengan pelarut air maka tambahkan etanol minimal 0,5, selain sebagai pengawet,
jugauntuk memudahkan penguapan maserat.

d. Standarisasi Ekstrak

Standardisasi Ekstrak Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan


mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa
atau serbuk yang diperoleh diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan. Standardisasi ekstrak tidak lain adalah serangkaian parameter yang
dibutuhkan sehingga ekstrak persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan persyaratan
yang berlaku.

e. Pembuatan obat tradisional

Simplisia menurut peraturan ini adalah bahan alam yang telah dikeringkan
yang digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali
dinyatakan lain suhu pengeringan tidak lebih dari 600. Pengemasan obat tradisional
dalam kapsul, sebetulnya hanya dibenarkan bagi industri obat tradisional dan harus
memenuhi cara pembuatan obat tradisional yang baik (CPOTB). Oleh karena itu
pemberian obat tradisional dalam bentuk kapsul dapat menyalahi ketentuan yang telah
digariskan dalam peraturan ini.Uraian di atas juga menjelaskan bahwa suhu
pengeringan sebaiknya tidak lebih dari 600C.4 Sebagaimana dikemukakan dalam
CPOTB, maksud pengeringan adalah untuk membatasi kandungan kadar air sehingga
tidak memungkinkan pertumbuhan kapang,khamir dan/atau jasad renik lainnya.
Pengeringan harus diperhatikan sehingga zat aktif dalam bahan baku obat tidak
mengalami kerusakan akibat suhu pengeringan yang berlebihan.
Apabila mengacu pada CPOTB, penggunaan alat perajang sebetulnya
memiliki beberapa aturan khusus, yaitu harus mampu menghaluskan bahan baku
atauproduk antara menjadi serbuk dengan derajat halus yang dikehendakisejumlah
minimum 90% dari jumlah bahan, yang dihaluskan. Apabila alat perajang tidak
digunakan semestinya, dikhawatirkan akan mengganggu proses metabolisme obat
tradisional dalam tubuh pasien.
Penggunaan sarung tangan juga dikhawatirkan justru dapat mencemari bahan baku
obat,
akibat adanya bedak (talk) yang melekat pada sarung tangan tersebut. oleh karena itu
CPOTB tidak menyatakan secara eksplisit bahwa pembuat obat tradisional harus
menggunakan sarung tangan. Namun CPOTB justru lebih menekankan pada masalah
pencemaran/kontaminasi bahan baku obat tradisional. Uraian di atas menunjukkan
bahwa konsep pembuatan obat tradisional yang dikuasai oleh para pengobat tradisional
belum sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh berbagai kebijakan yang diterbitkan
oleh pemerintah.
f. Evaluasi obat tradisional

Produk obat tradisional saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Menurut
hasil evaluasi pengujian oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih
ditemukan produk obat tradisional yang tidak memenuhi syarat diperedaran. Untuk
melindungi masyarakat terhadap efek negatif dari penggunaan obat tradisional yang
tidak memenuhi persyaratan kualitas, diperlukan standar proses pembuatan agar
diperoleh produk yang memenuhi syarat kualitas yang konsisten dari bets ke bets
melalui penerapan Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB). Penerapan
CPOTB dapat melindungi masyarakat dari penggunaan obat tradisional yang tidak
memenuhi syarat dan dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk obat
tradisional Indonesia dalam era pasar bebas sehingga siap menghadapi Harmonisasi
Asean tahun 2010. Teknik Statistical Quality Control (SQC) dapat digunakan untuk
memantau dan meningkatkan kinerja proses produksi agar dihasilkan produk obat
tradisional yang berkualitas.

III. Kesimpulan

Tapak dara adalah  perdu tahunan yang berasal dari Madagaskar. tetapi telah


menyebar ke berbagai daerah tropika  lainnya. Nama ilmiahnya Catharanthus roseus (L.)
Don. Di Indonesia tumbuhan hias pekarangan ini dikenal dengan bermacam-macam
nama, seperti di disebut sindapor (Sulawesi), kembang tembaga (bahasa Sunda),
dan kembang tapak dårå (bahasa Jawa). Orang Malaysia lebih mengenalnya sebagai
kemunting cina,  pokok rumput alang,  pokok kembang sari cina, atau  pokok rose pantai.
Di Filipina ia dikenal sebagai Tsitsirika, di Vietnam sebagai hoa hai dang, di Cina
dikenal sebagai Chang chun Hua, di Inggris sebagai Rose Periwinkle, dan
di Belanda sebagai soldaten bloem.
Kandungan Kimia
1. Vinblasine, ternyata bisa dimanfaatkan dalam pengobatan penyakit leukemia.
2. Vincristine, disamping dipakai dalam pengobatan leukemia, juga kanker payudara,
dan tumor ganas.
3. Vindesine, dipakai dalam pengobatan leukemia pada anak-anak, dan penderita tumor
pigmen.
4. Vinorelbine, seringkali digunakan sebagai bahan pengobatan untuk mencegah
pembelahan kelenjar.
Khasiat dan Penggunaanya
Mengandung banyak antioksidan, tapak dara dipercaya efektif menyembuhkan
sejumlah penyakit ringan sampai berat. Semua bagian tanaman tapak dara bisa
digunakan sebagai obat herbal. Tapak dara mengandung vincristine dan vinblastine
yang bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan sel kanker leukemia dan jenis kanker
lainnya.

IV. Daftar Pustaka


http://e-journal.uajy.ac.id/11903/6/2BL01379.pdf

https://id.wikipedia.org/wiki/Tapak_dara

http://e-journal.uajy.ac.id/11903/2/1BL01379.pdf

http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/
123456789/585/09bab5_amanah_10060310112_skr_2015.pdf?
sequence=9&isAllowed=y

https://aljabarselaras.com/food/training-cpotb-cara-pembuatan-obat-tradisional-
yang-baik/

https://jdih.pom.go.id/download/product/1308/25/2021

https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-7/20181276-S32674-Rahmadiah.pdf
LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA
PERCOBAAN
PENELUSURAN PUSTAKA

Hari : Selasa
Tanggal : 22 Maret 2022
Nama : RIZAL AHMAD PRATAMA
NIM : 01019117
Kelompok :1
Kelas :6D

SEKOLAH TINGGI FARMASI


YAYASAN PENDIDIKAN IMAM BONJOL CIREBON
2022
PRAKTIKUM I

PENELUSURAN PUSTAKA

I. Pendahuluan

a. Tinjauan botani
1. Nama ilmial : Curcuma zanthorrhiza) adalah tumbuhan obat yang tergolong dalam
suku temu-temuan (Zingiberaceae). Tanaman ini di wilayah Jawa Barat (Sunda)
dikenal sebagai koneng gede, sedangkan di Madura disebut temu labak.
2. Klasifikasi Rimpang temulawak
(Curcuma zanthorrhiza L.) termasuk ke dalam :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Familia : Zingiberceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma zanthorrhiza L. (Anonymous, 2011).
3. Tempat tumbuh
Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan
terlindung dari teriknya sinar matahari. Di habitat alami rumpun tanaman ini tumbuh
subur di bawah naungan pohon bambu atau jati. Namun demikian temulawak juga
dapat dengan mudah ditemukan di tempat yang terik seperti tanah tegalan.
4. Ciri morfologi
Temulawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun dengan
habitus mencapai ketinggian 2-2,5 meter. Tiap rumpun tanaman ini terdiri atas
beberapa anakan dan tiap anakan memiliki 2-9 helai daun. Daun temulawak
bentuknya panjang dan agak lebar. Panjang daunnya sekitar 50-55 cm dan lebar ± 18
cm.
5. Masa waktu panen
Rimpang dipanen dari tanaman yang telah berumur 9-10 bulan. Tanaman yang
siap panen memiliki daun-daun dan bagian tanaman yang telah menguning dan
mengering, memiliki rimpang besar dan berwarna kuning kecoklatan.
6. Khasiat dan penggunaannya
Temulawak (Curcuma zanthorrhiza) adalah tanaman herbal asli Indonesia
yang kerap dimanfaatkan untuk mengobati berbagai masalah kesehatan, mulai dari
kurang nafsu makan, gangguan lambung, sembelit, diare, demam, radang sendi,
hingga gangguan fungsi hati. Tanaman ini masih kerabat dekat dengan kunyit.
b. Tinjauan kimia
Kandungan senyawa kimia pada temulawak seperti Alkaloid, Flavonoid,
Triterpenoid, Saponin dan Tanin. Kandungan ini memiliki manfaat untuk antioksidan,
antimikroba, dan antiinflamsi.
c. Khasiat dan Penggunaanya

Mengandung banyak antioksidan, tapak dara dipercaya efektif menyembuhkan


sejumlah penyakit ringan sampai berat. Semua bagian tanaman tapak dara bisa
digunakan sebagai obat herbal. Tapak dara mengandung vincristine dan vinblastine
yang bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan sel kanker leukemia dan jenis kanker
lainnya.

d. Peraturan Perndang-undangan yang berkaitan dengan produksi dan perdagangan


simplisia, ekstrak tanaman dan sediaan fitofarmaka

 Kebijakan perdagangan tanaman obat disisi hilir diatur dalam Permenkes No.
006 tahun 2002 tentang industri dan usaha obat tradisional, dimana pada pasal 42
disebutkan bahwa IOT, IEBA, IKOT dan IMOT wajib menyampaikan laporan
jenis jumlah bahan baku yang digunakan. Dengan adanya Permenkes 006/2002
diharapkan dikembangkan kebutuhan bahan baku tanaman obat dapat diketahui
sehingga dapat menjadi acuan dalam produksi dan perdagangan tanaman obat.
 Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaga Negara
Republik Indonesia bahan baku simplisia dan bahan baku ekstrak tanaman obat).

e. Peraturan zat tambahan pada obat tradisional dan analisa kualitatif zat yang
ditambahkan pada obat tradisional

Menurut UU Kesehatan RI No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dan


Sediaan Farmasi. Dalam Undang Undang ini yang dimaksud Sediaan Farmasi adalah
obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Dalam Undang-undang ini juga
disebutkan bahwa hakekat obat atau pengertian obat adalah bahan atau campuran yang
dipergunakan untuk diagnosa, mencegah, mengurangi, menghilangkan atau
menyembuhkan penyakit, luka atau kelainan badaniah dan mental pada manusia atau
hewan, mempercantik badan atau bagian badan manusia.
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan bahan-
bahan tersebut, yang secara traditional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
246/Menkes/Per/V/1990, tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran
Obat Tradisional.
Perkembangan selanjutnya obat tradisional kebanyakan berupa campuran yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan sehingga dikenal dengan obat herbal Khusus untuk Obat
herbal ada 3 : Jamu, obat herbal terstandarisasi dan fitofarmaka.Obat tradisional
merupakan salah satu warisan nenek moyang atau leluhur yang secara turun temurun
dipergunakan dalam proses mencegah, mengurangi, menghilangkan atau
menyembuhkan penyakit, luka dan mental pada manusia atau hewan. Sebagai warisan
nenek moyang yang dipergunakan secara turun temurun maka perlu kiranya
dikembangkan dan diteliti agar dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Hal ini
sebenarnya sudah dikembangkan puluhan tahun yang lalu sesuai dengan apa yang
tercantum dalam GBHN 1993 yaitu Pemeliharaan & Pengembangan Pengobatan
tradisional sebagai warisan budaya bangsa (ETNOMEDISINE) terus ditingkatkan dan
didorong pengembangannya melalui penggalian, penelitian, pengujian dan
pengembangan serta penemuan obat-obatan termasuk budidaya tanaman obat
tradisional yang secara medis dapat dipertanggungjawabkan Dalam hal ini dapat di
formulasikan menjadi 5 hal fokok yang harus diperhatikan yaitu etnomedicine,
agroindustri tanaman obat, iftek kefarmasian dan kedokteran, teknologi kimia dan
proses, pembinaan dan pengawasan produksi atau pemasaran bahan dan produk obat
tradisional.

II. Metodologi

a. Pembuatan simplisia
1. Pemanenan
Waktu panen ditandai oleh berakhirnya pertumbuhan vegetatif, pada keadaan
ini rimpang telah berukuran optimal dan umur di lahan antara 9 - 10 bulan. Ciri
tanaman yang siap panen adalah memiliki daun-daun yang telah menguning dan
mengering.
Pemanenan dilakukan dengan cara membongkar rimpang menggunakan
garpu/cangkul secara hati-hati agar tidak terluka/rusak. Tanah yang menempel pada
rimpang dibersihkan dengan cara dipukul pelan-pelan hingga tanah terlepas dari
rimpang. Kemudian daun-daun dan batang dibuang.
2. Pencucian
Rimpang direndam dalam bak pencucian selama 2 – 3 jam. Selanjutnya
rimpang dicuci sambil disortasi. Setelah bersih rimpang segera ditiriskan dalam rak -
rak peniris selama 1 hari. Penirisan sebaiknya dilakukan di dalam ruangan atau di
tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung.
3. Perajangan
Perajangan dapat menggunakan mesin ataupun perajang manual. Arah irisan
melintang agar sel-sel yang mengandung minyak atsiri tidak pecah dan kadarnya
tidak menurun akibat penguapan. Tebal irisan rimpang antara 4 - 6 mm. Untuk
mendapatkan warna dan kualitas rimpang yang bagus, setelah perajangan rimpang
diuapi dengan uap panas atau dicelup dalam air mendidih selama 1 jam sebelum
dikeringkan.
4. Pengeringan
Pengeringan dilakukan dengan mesin, selain lebih cepat juga hasilnya lebih
berkualitas. Rimpang yang akan dikeringkan ditaruh di atas tray oven dan pastikan
bahwa rimpang tidak saling menumpuk. Hal yang perlu diperhatikan dalam
pengeringan dengan mengunakan mesin adalah suhu pengeringan yang tepat. Untuk
rimpang temulawak digunakan suhu pengeringan antara 40 - 60 oC. Dengan suhu
tersebut waktu pengeringan yang diperlukan antara 3 - 4 hari.
5. Pengemasan
Setelah rimpang mencapai derajat kekeringan yang diinginkan, selanjutnya
dapat segera dikemas untuk menghindari penyerapan kembali uap air oleh rimpang.
Pengemasan hendaknya dilakukan dengan hati-hati agar rimpang tidak hancur.
Seterusnya simplisia dapat segera disimpan atau diangkut ke pasar.
6. Penyimpanan
Kondisi gudang harus dijaga agar tidak lembab, suhu tidak melebihi 30 oC,
memiliki ventilasi yang baik, terhindar dari kontaminasi bahan lain yang
menurunkan kualitas simplisia, memiliki penerangan yang cukup (terhindar dari
sinar matahari langsung), serta bersih dan bebas dari hama gudang.
Minyak atsiri dalam simplisia temulawak mengandung siklo isoren, mirsen, d-
kamfer, P-tolil metikarbinol, zat warna kurkumin. Kandungan kurkumin dalam
rimpang temulawak berkisar antara 1,6% - 2,22% dihitung berdasarkan berat kering.

b. Spesifikasi dan Standarisasi

Standardisasi dapat didefinisikan sebagai kualitas suatu sediaan farmasi yang


memiliki nilai yang tetap dan reprodusibel, serta menentukan jumlah minimum dari
satu atau beberapa komponen yang terkandung di dalamnya. Beberapa alasan perlunya
dilakukan standardisasi obat tradisional, antara lain dapat menyediakan produk yang
terstandar, reprodusibel, dan memiliki kualitas tinggi, serta memberikan rasa aman dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap obat tradisional. Standardisasi dalam
kefarmasian adalah serangkaian parameter, prosedur, dan cara pengukuran yang
hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian. Mutu dalam
artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi, farmasi), termasuk jaminan stabilitas
sebagai produk kefarmasian umumnya. Selain itu, standardisasi juga berarti proses
yang menjamin bahwa produk akhir (obat, ekstrak, atau produk ekstrak) mempunyai
nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu.
Standardisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan
digunakan sebagai bahan baku obat harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam
monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia),
sedangkan sebagai produk yang langsung dikonsumsi harus memenuhi persyaratan
produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Ekstrak yang digunakan sebagai bahan baku maupun produk kefarmasian, selain harus
memenuhi persyaratan monografi bahan baku (simplisia), juga diperlukan persyaratan
parameter standar ekstrak. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter
standar umum (non spesifik) dan parameter standar spesifik. Parameter non spesifik
meliputi susut pengeringan, kadar abu, kadar air, sisa pelarut, dan cemaran logam berat,
sedangkan parameter spesifik meliputi identitas ekstrak, organoleptik ekstrak, dan
kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu.

Parameter spesifik terdiri dari:


1. Identitas ekstrak, merupakan deskripsi tata nama ekstrak, nama latin tumbuhan,
bagian tumbuhan yang digunakan serta senyawa identitas yang menjadi petunjuk
spesifik dengan metode tertentu. Parameter ini bertujuan memberikan identitas
objektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas.
2. Organoleptik ekstrak, dilakukan dengan menggunakan panca indera untuk
mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa. Parameter ini bertujuan sebagai
pengenalan awal yang sederhana seobjektif mungkin.
3. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, dilakukan dengan cara melarutkan ekstrak
dengan pelarut (alkohol atau air) untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan
jumlah senyawa kandungan secara gravimetri. Parameter ini bertujuan untuk
memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan.

Parameter non spesifik terdiri dari:


1. Susut pengeringan, merupakan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
temperatur 105oC selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan
dengan nilai prosen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak
menguap/atsiri dan sisa pelarut organik menguap) identik dengan kadar air, yaitu
kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan udara terbuka. Parameter ini
bertujuan untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa
yang hilang pada proses pengeringan.
2. Bobot jenis, adalah masa per satuan volume pada suhu kamar tertentu (25oC) yang
ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Parameter ini bertujuan
untuk memberikan batasan tentang besarnya masa per satuan volume yang
merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih
dapat dituang.
3. Kadar air, merupakan pengukuran kandungan air yang berada dalam bahan,
dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi atau gravimetri.
Parameter ini bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang
besarnya kandungan air di dalam bahan.
4. Kadar abu, yaitu bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan
turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga tinggal unsur mineral dan
anorganik. Parameter ini bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral
internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak.
5. Sisa pelarut, dilakukan dengan menentukan kandungan sisa pelarut tertentu yang
memang ditambahkan yang secara umum dengan kromatografi gas. Parameter ini
bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa
pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk ekstrak cair
menunjukkan jumlah pelarut (alkohol) sesuai dengan yang ditetapkan.
6. Residu pestisida, dilakukan dengan menentukan kandungan sisa pestisida yang
mungkin saja pernah ditambahkan atau mengkontaminasi pada bahan simplisia
pembuatan ekstrak. Parameter ini bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa
ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya
(toksik) bagi kesehatan.
7. Cemaran logam berat, dilakukan dengan menentukan kandungan logam berat secara
spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid. Parameter ini bertujuan
untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu
(Hg, Pb, Cd, dll.) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi
kesehatan.
8. Cemaran mikroba, dilakukan dengan menentukan (identifikasi) adanya mikroba yang
patogen secara analisis mikrobiologis. Parameter ini bertujuan untuk memberikan
jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak
mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang ditetapkan karena
berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan.

Uji kandungan kimia ekstrak meliputi:


1. Pola kromatogram, dimana ekstrak ditimbang, diekstraksi dengan pelarut dan cara
tertentu, kemudian dilakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola
kromatogram yang khas. Uji ini bertujuan untuk memberikan gambaran awal
komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram.
2. Kadar total golongan kandungan kimia, dilakukan dengan penerapan pola
spektrofotometri, titrimetri, volumetri, gravimetri atau lainnya. Uji ini bertujuan
untuk memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai parameter
mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis.
3. Kadar kandungan kimia tertentu, dimana uji ini bertujuan untuk memberikan data
kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga
bertanggung jawab pada efek farmakologi. Untuk uji kandungan kimia ekstrak,
meskipun termasuk ke dalam lingkup parameter spesifik, namun kelompok ini
dibahas tersendiri karena menyangkut senyawa kimia yang ada dalam ekstrak.

c. Pembuatan Ekstrak
Cara Ekstrasi
Ekstraksi bisa dilakukan dengan metode maserasi, perkolasi, digesti,refluks
atau ekstraksi fluida super kritik. Sifat zat aktif yang terkandung didalam bahan
mempengaruhi metode ekstraksi dan jenis pelarut yang dipilih. Selain itu pada metode
maserasi dan perkolasi dapat dimodifikasi menggunakan ekstraktor yang dilengkapi
dengan mantel pemanas. Pada buku ini, metode yang dibahas meliputi maserasi,
perkolasi, dan digesti. Ekstrak yang dibuat harus memenuhi standar yang telah
ditentukansebagaimana tercantum di dalam monografi.
- Cara membuat ekstrak temulawak yang pertama adalah dengan menyiapkan alat-alat
terlebih dahulu seperti parutan, wajan, kompor, pengaduk, pisau, saringan dan juga
ayakan.
- Jangan lupa siapkan juga bahan-bahan lain seperti : Rimpang temulawak, gula pasir,
kayu manis, jeruk nipis, cengkeh, daun pandan segar dan garam.
- Cara membuat ekstrak temulawak selanjutnya adalah dengan mencuci bersih
rimpang temulawak tersebut. Setelah dicuci, kupaslah temulawak dan kemudian
diparut hingga halus. Setelah halus, tambahkan air dan peras agar ampas berpisah
dengan air. Simpanlah air temulawak dalam wadah yang terpisah.
- Tumbuklah cengkeh yang telah dibersihkan dan campurkan tumbukan tersebut
dengan kayu manis bubuk. Masukkan air dan kemudian peras dan simpan di wadah
terpisah.
- Haluskan daun pandan dengan cara ditumbuk dan tambahkan sedikit air, simpan
dalam wadah terpisah.
- Satukan semua air perasaan tersebut ke dalam satu wadah. Saringlah kembali
campuran air perasaan tersebutagar tak ada ampas yang ikut.
- Masukkan gula dan tambahkan garam secukupnya.
- Masaklah campuran tersebut di atas wajan dengan api sedang (wajan harus terbebas
dari minyak karena akan menyebabkan gagalnya sari terbentuk)
- Aduklah campuran tersebut hingga terbentuk adonan kental dan terlihat berminyak.
- Tambahkan gula dan aduk hingga adonan berubah menjadi bubuk. Haluskan bubuk
dengan pengaduk saat keadaan masih panas agar butirannya lebih halus
- Angkat, dinginkan dan ayak serbuk hingga benar-benar sama ukuran butirannya
dengan yang lain.

d. Standarisasi Ekstrak

Standardisasi Ekstrak Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan


mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa
atau serbuk yang diperoleh diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan. Standardisasi ekstrak tidak lain adalah serangkaian parameter yang
dibutuhkan sehingga ekstrak persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan persyaratan
yang berlaku.

e. Pembuatan obat tradisional

Simplisia menurut peraturan ini adalah bahan alam yang telah dikeringkan
yang digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali
dinyatakan lain suhu pengeringan tidak lebih dari 600. Pengemasan obat tradisional
dalam kapsul, sebetulnya hanya dibenarkan bagi industri obat tradisional dan harus
memenuhi cara pembuatan obat tradisional yang baik (CPOTB). Oleh karena itu
pemberian obat tradisional dalam bentuk kapsul dapat menyalahi ketentuan yang telah
digariskan dalam peraturan ini.Uraian di atas juga menjelaskan bahwa suhu
pengeringan sebaiknya tidak lebih dari 600C.4 Sebagaimana dikemukakan dalam
CPOTB, maksud pengeringan adalah untuk membatasi kandungan kadar air sehingga
tidak memungkinkan pertumbuhan kapang,khamir dan/atau jasad renik lainnya.
Pengeringan harus diperhatikan sehingga zat aktif dalam bahan baku obat tidak
mengalami kerusakan akibat suhu pengeringan yang berlebihan.
Apabila mengacu pada CPOTB, penggunaan alat perajang sebetulnya
memiliki beberapa aturan khusus, yaitu harus mampu menghaluskan bahan baku
atauproduk antara menjadi serbuk dengan derajat halus yang dikehendakisejumlah
minimum 90% dari jumlah bahan, yang dihaluskan. Apabila alat perajang tidak
digunakan semestinya, dikhawatirkan akan mengganggu proses metabolisme obat
tradisional dalam tubuh pasien.
Penggunaan sarung tangan juga dikhawatirkan justru dapat mencemari bahan baku
obat,
akibat adanya bedak (talk) yang melekat pada sarung tangan tersebut. oleh karena itu
CPOTB tidak menyatakan secara eksplisit bahwa pembuat obat tradisional harus
menggunakan sarung tangan. Namun CPOTB justru lebih menekankan pada masalah
pencemaran/kontaminasi bahan baku obat tradisional. Uraian di atas menunjukkan
bahwa konsep pembuatan obat tradisional yang dikuasai oleh para pengobat tradisional
belum sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh berbagai kebijakan yang diterbitkan
oleh pemerintah.

f. Evaluasi obat tradisional

Produk obat tradisional saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Menurut
hasil evaluasi pengujian oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih
ditemukan produk obat tradisional yang tidak memenuhi syarat diperedaran. Untuk
melindungi masyarakat terhadap efek negatif dari penggunaan obat tradisional yang
tidak memenuhi persyaratan kualitas, diperlukan standar proses pembuatan agar
diperoleh produk yang memenuhi syarat kualitas yang konsisten dari bets ke bets
melalui penerapan Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB). Penerapan
CPOTB dapat melindungi masyarakat dari penggunaan obat tradisional yang tidak
memenuhi syarat dan dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk obat
tradisional Indonesia dalam era pasar bebas sehingga siap menghadapi Harmonisasi
Asean tahun 2010. Teknik Statistical Quality Control (SQC) dapat digunakan untuk
memantau dan meningkatkan kinerja proses produksi agar dihasilkan produk obat
tradisional yang berkualitas.

III. Kesimpulan

Curcuma zanthorrhiza) adalah tumbuhan obat yang tergolong dalam suku temu-
temuan (Zingiberaceae). Tanaman ini di wilayah Jawa Barat (Sunda) dikenal
sebagai koneng gede, sedangkan di Madura disebut temu labak.
Kandungan kimia
Kandungan senyawa kimia pada temulawak seperti Alkaloid, Flavonoid,
Triterpenoid, Saponin dan Tanin. Kandungan ini memiliki manfaat untuk antioksidan,
antimikroba, dan antiinflamsi.
Khasiat dan Penggunaanya
Mengandung banyak antioksidan, tapak dara dipercaya efektif menyembuhkan
sejumlah penyakit ringan sampai berat. Semua bagian tanaman tapak dara bisa
digunakan sebagai obat herbal. Tapak dara mengandung vincristine dan vinblastine
yang bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan sel kanker leukemia dan jenis kanker
lainnya.
IV. Daftar Pustaka

https://id.wikipedia.org/wiki/Temu_lawak

http://pustaka-pertanian.blogspot.com/2013/08/cara-pengolahan-simplisia-
temulawak.html

https://aljabarselaras.com/food/training-cpotb-cara-pembuatan-obat-tradisional-
yang-baik/

https://jdih.pom.go.id/download/product/1308/25/2021

https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-7/20181276-S32674-Rahmadiah.pdf

Anda mungkin juga menyukai