Anda di halaman 1dari 62

362176598

I
nd
s
Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatah RI

362 176 598


Ind Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat
s Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat
Sejarah Perkembangan Gizi di Indonesia (1951 – 2018).-
Jakarta : Kementerian Kesehatan 2019

ISBN 978-602-416-512-3

1. Judul I. DIET, FOOD AND NUTRITION


II. SUSTAINABLE DEVELOPMENT - HISTORY
SEJARAH PERKEMBANGAN GIZI DI INDONESIA
(1951 - 2018)

Buku ini melanjutkan “Sejarah Perkembangan Gizi di


Indonesia” yang pernah ditulis pada tahun 1997.

DIREKTORAT GIZI MASYARAKAT


KEMENTERIAN KESEHATAN
2019
“Adalah biasa ketika seorang ahli gizi bicara tentang
gizi, tetapi ketika orang diluar bidang gizi mampu
menyuarakan gizi, itu istimewa…” – Doddy Izwardy,
Direktur Gizi Masyarakat.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, atas izin Nya


buku Sejarah Perkembangan Gizi di Indonesia (1951-
2018) dapat diselesaikan. Buku ini mengumpulkan
informasi perjalanan program gizi serta profil pimpinan
Direktorat Gizi Masyarakat sejak mulai tebentuknya
Lembaga Makanan Rakyat setelah masa kemerdekaan
Indonesia hingga sekarang.
Kami menyadari masih terdapat kekurangan
pada buku ini. Kedepannya buku akan terus dilengkapi
sehingga sejarah gizi nasional dapat terdokumentasi
dengan baik.
Semoga terbitnya buku Sejarah Perkembangan
Gizi di Indonesia (1951-2018) sebagai edisi pertama ini
dapat memberikan manfaat untuk kita semua, dan dapat
digali untuk edisi- edisi yang akan datang perjalanan
program gizi di Indonesia.

Direktur Gizi Masyarakat,

Ir. Doddy Izwardy, MA


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
BAB I. PENDAHULUAN …………………………............1
BAB II. PERKEMBANGAN GIZI SEBELUM
TAHUN 2000 …………………………………….3
A. Perkembangan Gizi Tahun 1950-1960……3
B. Perkembangan Gizi Tahun 1960-1980 …..12
C. Perkembangan Gizi Tahun 1980-2000 …..22
BAB III. PERKEMBANGAN GIZI SETELAH
TAHUN 2000 ………………………...………....27
BAB IV. JEJAK KEPEMIMPINAN
DIREKTORAT GIZI MASYARAKAT …………44
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

Kegiatan-kegiatan bidang gizi di Indonesia


sebelum Perang Dunia II ditangani oleh Instituut Voor
Volksvoeding, suatu lembaga pemerintahan Hindia
Belanda yang didirikan pada tahun 1934 dan berada
dalam Instituut Eijkman di Jakarta. Perhatian waktu itu
banyak dicurahkan pada penelitian di laboratorium,
klinik dan survei makanan rakyat di desa-desa yang
dikenal antara lain : menee enderseek di Pacet,
Rengasdengklok, Segalaherang, Cirebon, Pulosari,
Kutowinangun, dan sebagainya.
Eratnya hubungan antara ilmu kedokteran,
pertanian, kimia, ekonomi tercermin pada kerjasama
antara tokoh-tokoh seperti DeHaas, Prof. Blank Haart,
Pestmus, Van Voen, Donath, Terra, Ockee dalam
mempelajari masalah makanan rakyat. Masalah busung
lapar, defisiensi vitamin A, defisiensi protein dan kalori,
beri-beri, gondok endemik telah dipelajari dan ditulis
dengan terperinci. Namun demikian laporan-laporan itu
hanya diketahui oleh kalangan terbatas dalam
pemerintahan Hindia Belanda, tidak diumumkan kepada
masyarakat.
Kegiatan-kegiatan gizi menurun dalam masa
Perang Dunia ke II, berhenti sama sekali selama
pendudukan Jepang hingga masa mempertahankan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945.
Indonesia terasing dari kemajuan ilmu pengetahuan

1
dunia, ketika ilmu gizi sedang berkembang pesat di
Eropa dan Amerika. Kegiatan dimulai lagi setelah
Insituut voor Volksvoeding diserahterimakan kepada
bangsa Indonesia.

Lembaga Eijkman (foto: id.wikipedia.org)

2
BAB II
PERKEMBANGAN GIZI SEBELUM TAHUN 2000

A. Perkembangan Gizi Tahun 1950-1960


Pada tahun 1950 Prof. Dr. Poerwo
Soedarmo mendapat amanah untuk memimpin
Insituut voor Volksvoeding, selanjutnya dinamakan
sebagai Lembaga Makanan Rakyat yang bertempat
di Gedung Eijkman di jalan Diponegoro No. 69,
Jakarta, yaitu salah satu gedung yang berada dalam
lokasi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Secara
garis besar, Lembaga Makanan Rakyat bertugas
mempelajari kesehatan penduduk dalam
hubungannya dengan makanan, serta memperbaiki
konsumsi makanan untuk meningkatkan taraf
kesehatan penduduk.

Pada masa itu masih banyak terjadi busung


lapar, kwashiorkor, defisiensi vitamin A dan angka
kematian yang tinggi. Produksi pangan tidak
mencukupi kebutuhan pokok, dan konsumsi
makanan yang kurang selama puluhan tahun
menyebabkan sebagian besar penduduk berada
dalam “status tidak sehat tidak sakit”. Pemimpin
Lembaga Makanan Rakyat menyadari bahwa
masalah gizi di Indonesia tidak dapat diatasi oleh
satu instansi saja. Berbagai instansi harus
bekerjasama dan bertanggung jawab mengatasi
masalah tersebut.

3
Langkah pertama yang dilakukan oleh
Lembaga Makanan Rakyat ialah membentuk tenaga
staf dan kader. Usaha menimbulkan perhatian
kalangan atas terhadap masalah gizi mendapat
prioritas. Sedangkan penyebarluasan masalah
kesadaran gizi pada masyarakat luas diberi
perhatian lebih banyak dari pada waktu penjajahan.
Kegiatan penelitian terus dijalankan dengan tenaga-
tenaga yang ada dan bantuan luar negeri.
Pada tahun 1951 Lembaga Makanan Rakyat
mendirikan sekolah Ahli Diet yang menerima siswa
lulusan Sekolah Guru Kepandaian Puteri dan dididik
selama 1,5 tahun untuk menjadi tenaga ahli di
bidang dietik bagi rumah-rumah sakit besar.
Sejumlah 14 orang lulusan sekolah ini ditugaskan di
Rumah Sakit Umum di Jakarta, Bandung, Semarang
dan Medan. Kebutuhan tenaga ahli gizi untuk
program kesehatan masyarakat semakin dirasakan,
sehingga Lembaga Makanan Rakyat pada tahun
1952 mengubah kurikulum Sekolah Ahli Diet
menjadi 3 tahun setelah SMA bagian B dibawah
Departemen Kesehatan. Selain untuk rumah-rumah
sakit, para lulusan dipekerjakan di Dinas Kesehatan
Rakyat di tingkat Provinsi sebagai staf Inspektur
Kesehatan (IKES). Kurikulum pendidikan
disempurnakan terus dan nama sekolah tersebut
diganti menjadi Akademi Pendidikan Nutritionis dan
Ahli Diet (1953-1956) yang berlokasi di Jl. Semboja
Bogor. Di tempat yang baru tersebut dibina
kerjasama yang erat dengan Fakultas Pertanian dan

4
Fakultas Kedokteran Hewan, serta lembaga-
lembaga penelitian di kota tersebut. Pada tahun
1966 nama dirubah menjadi Akademi Gizi yaitu
pendidikan tenaga gizi professional tingkat sarjana
muda (Bachelor of Science/Program D3).
Tahun 1951 tepatnya pada tanggal
25 Januari, Lembaga Makanan Rakyat juga
mendirikan Sekolah Juru Penerang Makanan di
Pasar Minggu Jakarta. Setamat dari pendidikan,
para lulusan ditugaskan sebagai tenaga pelaksana
gizi di dinas-dinas kesehatan atau sebagai tenaga
kejuruan dalam bidang penyelenggaraan makanan
di rumah sakit, membantu tugas ahli diet. Mulai
tahun 1959 kurikulum diubah menjadi 3 tahun,
berganti nama menjadi Sekolah Menengah Kejuruan
Atas Jurusan Gizi (SMKA Gizi). Lulusan lama diberi
kesempatan untuk mengikuti kursus tambahan
1 tahun guna mendapatkan ijazah persamaan. Pada
tahun 1980-an dirubah menjadi Sekolah Pembantu
Ahli Gizi (SPAG)
Sejak tahun 1960 Lembaga Makanan Rakyat
memperingati dimulainya pengkaderan sumber daya
manusia di bidang gizi setiap tahunnya di tanggal 25
Januari, dan diteruskan oleh Direktorat Gizi
Masyarakat hingga kini yang lebih dikenal dengan
Hari Gizi Nasional dan menjadi salah satu agenda
tahunan resmi Kementerian Kesehatan.

5
Dalam usaha menyebarkan kesadaran gizi
kepada masyarakat luas, sejak tahun 1951
dipopulerkan slogan “Empat Sehat Lima Sempurna”,
suatu pedoman sederhana menyusun menu sehat.
Poster-poster dan leaflet yang berhubungan dengan
itu telah diproduksi dan diperluas pula oleh Lembaga
Makanan Rakyat. Selanjutnya dilakukan kerjasama
dengan Perusahaan Film Negara (PFN) membuat 2
buah film berjudul “Rahasia Terbuka” dan “Empat
Sehat Lima Sempurna”. Buku-buku berjudul
“Pedoman Membuat Menu dan Hidangan Sehat”
karangan Poerwo Soedarmo, dan “Ilmu Makanan”
karangan Ny. Soekamto telah diterbitkan. Karangan-
karangan popular tentang masalah makanan ditulis
berturut-turut dalam majalah Star Weekly oleh
Poerwo Soedarmo.

Empat Sehat Lima Sempurna

6
Usaha menimbulkan perhatian kalangan atas
terhadap masalah gizi mulai berhasil, antara lain
dengan terbentuknya Panitia Negara Perbaikan
Makanan pada tahun 1952. Panitia
interdepartemental yang diketuai oleh dr. Leimena,
Menteri Kesehatan RI ini beranggotakan wakil-wakil
dari Departemen Dalam Negeri, Pertanian, PKK,
Penerangan, Sosial dan sebagainya. Panitia
mempunyai status sebagai penasehat kabinet dalam
hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan
pangan. Pada tahun 1958 panitia tersebut berubah
menjadi Dewan Bahan Makanan, yang berfungsi
eksekutif, terutama menitik beratkan pada masalah
beras. Atas inisiatif beberapa tokoh setempat, di
Jawa Tengah didirikan Panitia Perbaikan Makanan
Rakyat (PPMR) pada tahun 1954 yang diketuai Dr.
Marzuki, anggota Badan Pemerintah Harian (BPH)
Provinsi Jawa Tengah. Panitia beranggotakan para
Kepala Dinas Jawatan Pertanian, Kehewanan,
Penerangan, Perikanan, Kesehatan dan beberapa
anggota BPH. Maksud dan tujuan PPMR adalah
mengusahakan perbaikan makanan rakyat sehingga
tercapai bangsa yang kuat dan sehat. Kegiatan
panitia berupa usaha koordinatif bersifat pendidikan
untuk meningkatkan produksi dan konsumsi pangan
guna mencapai tingkat kesehatan yang tinggi.
Serentetan kursus-kursus gizi diadakan di
Tarubudaya Ungara bagi pejabat-pejabat tingkat
kabupaten atau di bawahnya. Dan muncul kemudian
berbagai aktivitas di daerah tersebut antara lain,
kampanye memerah susu dan minum susu, mix

7
farming (warung hidup) dan sebagainya. Pada tahun
1958 PPMR berubah menjadi Lembaga Perbaikan
Makanan Rakyat (LPMR).
Lembaga Makanan Rakyat selanjutnya
membangun tempat pelatihan gizi masyarakat, yaitu
di Pasuruan Jawa Timur dan Pekalongan Jawa
Tengah. Di tempat ini diadakan kursus bagi petugas
dan tokoh-tokoh masyarakat setempat mengenai
usaha perbaikan gizi. Penyebarluasan kader gizi
juga dilakukan dengan memasukan ilmu gizi ke
dalam kurikulum berbagai perguruan tinggi, antara
lain di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
mulai tahun 1955, Fakultas Pertanian Bogor tahun
1958, Fakultas Kedokteran Hewan, IKIP dan
sebagainya. Setelah seminar Home Economics
yang diadakan pada tahun 1957 di komplek
Akademi Pendidikan Nutrisionis dan Ahli Diet Bogor,
melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
penyebaran kesadaran gizi kepada murid sekolah
menengah dan rendah menjadi lebih lancar.
Kegiatan di bidang penelitian pertama
dilakukan terhadap anak-anak di Jakarta.
Dr. H.A.P.C Oomen dengan timnya yang terdiri dari
ahli diet dan ahli sosiologi pada tahun 1953, berhasil
memperkenalkan nutrition syndrome kepada
kalangan kedokteran dan kesehatan di Indonesia.
Laporan Oomen itu membuka perhatian besar
terhadap masalah gizi. Pada tahun yang sama
Klerks mengadakan penelitian tentang gizi anak-
anak sekolah di Jakarta dan beberapa kota lain di

8
Jawa, dalam rangka menentukan standar tinggi dan
berat badan anak-anak Indonesia. Dalam usaha
menentukan makanan sumber protein bagi bayi dan
anak-anak kecil dilakukan penelitian terhadap
pembuatan susu kedele. Seorang expert dari FAO,
Dr. El Rawi yang diperbantukan kepada Lembaga
Makanan Rakyat ditugaskan menyelediki usaha itu,
juga menyelidiki sumber protein lainnya seperti
tepung ikan. Untuk tujuan itu pada tahun 1953 telah
dibuka Pabrik Sari Kedele di Yogyakarta.
Untuk memajukan bidang penelitian, pada
tahun 1957-1959 Blankhart dengan para nutrisionis
mengadakan penelitian keadaan gizi dan kesehatan
anak-anak pegawai rendah di Bogor. Laporan diberi
judul : “Measured Weaning Pattern”. Penelitian
hubungan gizi dan trachea juga dilakukan di daerah
Semarang, oleh tim ahlinya. Pada waktu yang sama
Bailey dan Tugirin dari Lembaga Makanan Rakyat
menelusuri daerah Gunung Kidul dan daerah minus
lainnya untuk mempelajari masalah Honger
Oedema. Atas hasil penelitian itu kemudian di
Wonogiri didirikan Lembaga Makanan Rakyat
sebagai organ pemerintah pusat yang khusus
bertugas dalam upaya perbaikan gizi, dan Tugirin
sebagai kepala lembaga. Beberapa kegiatan
penelitian lainnya yang dilakukan masa ini
diantaranya :
a) Penelitian masalah buruh di Jakarta oleh Drajat
D. Prawiranegara dan Djumadias dengan
menggunakan sepuluh persen sub sampel dari

9
sampel buruh yang diadakan oleh Pemerintah
Indonesia dengan ILO.
b) Penelitian wanita hamil di RSUP Jakarta oleh
Nye Tieng Tjiat dan Poerwo Soedarmo.
c) Penelitian Kwarshiorkor pada anak-anak di
Jakarta oleh Poey Seng Hin, yang kemudian
menjadi bahan disertasi untuk gelar doktor
dalam ilmu kedokteran di FKUI.
d) Pada tahun 1959 Djumaidias mengadakan
penelitian konsumsi makanan rakyat di daerah
Kabupaten Subang, Jawa Barat. Tujuannya
adalah untuk melengkapi data konsumsi
makanan dan sekaligus mengetes teknik
penelitian.
e) Pada tahun yang sama Drajat D. Prawiranegara
dan Djumaidias mengadakan penelitian tinggi
dan berat badan terhadap 2000 pegawai
golongan sosial ekonomi tinggi di Jakarta, dalam
rangka menentukan standar gizi penduduk
Indonesia.
Partisipasi Pemimpin Lembaga Makanan
Rakyat dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I
di Malang pada tahun 1958 membuka langkah
masuknya ilmu gizi ke dalam ilmu-ilmu lain yang
lebih tua di Indonesia. Pada waktu itu pula Lembaga
Makanan Rakyat duduk dalam Dewan Perancang
Nasional, yang berarti diakui pentingnya faktor gizi
dalam pembangunan bangsa.

10
Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I
Pada tahun yang sama dr. Poerwo
Soedarmo dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Gizi
pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di
Jakarta dan selanjutnya merintis dibukanya Bagian
Ilmu Gizi pada fakultas tersebut.
Pada tahun 1957 dibentuk Persatuan Ahli
Gizi Indonesia (PERSAGI) sebagai wadah
organisasi profesi di bidang gizi. Pada tahun 1967
PERSAGI menyelenggarakan Kursus Penyegaran
Ilmu Gizi, pada saat itu sekaligus mengangkat Prof.
Dr. Poerwo Soedarmo sebagai “Bapak” Gizi
Indonesia. Nutrisionis- nutrisionis yang bekerja di
daerah menyambut baik kegiatan ini dan dapat hadir
dalam kursus yang diselenggarakan setiap lima
tahun sekali. Pada tahun 1960-an juga dibentuk
Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan (PERGIZI
PANGAN) dengan Ketua Umum pertama Prof. Dr. Ir.
Sajogyo.

11
B. Perkembangan Gizi Tahun 1960-1980
Pada tahun 1958 wakil pimpinan Lembaga
Makanan Rakyat, Prof. Dr. Dradjat D. Prawiranegara
diangkat sebagai pemimpin yang baru
menggantikan Prof. Poerwo Soedarmo yang
mencurahkan perhatian penuh sebagai Kepala
Bagian Ilmu Gizi FKUI. LMR memperkuat stafnya
dengan nutrisionis-nutrisionis dan menyebarkan
lebih banyak tenaga-tenaga gizi ke daerah, baik
dipekerjakan di rumah sakit maupun Dinas
Kesehatan Rakyat.
Atas perjuangan para ahli diet di RSUP
Jakarta pada tahun 1962 ditetapkan bahwa Bagian
Gizi bertanggung jawab penuh terhadap seluruh
penyelenggaraan makanan di rumah sakit. Bagian
ini sederajat dengan bagian lain di rumah sakit.
Diperjuangkan pula agar pola ini diterapkan di
rumah sakit lain. Bagian gizi tersebut tidak lagi
dibawah Bagian Administrasi, tetapi berada di
bawah tanggung jawab Direktur Profesional Service.
Urusan mulai dari pengadaan bahan makanan
sampai dengan penyajian hidangan kepada pasien
menjadi tugas dan wewenang bagian gizi. Di
samping itu Bagian Gizi juga bertanggung jawab
atas penyelenggaraan pendidikan gizi di rumah
sakit, baik kepada pasien maupun kepada calon-
calon petugas rumah sakit.

12
Dalam Kongres Pengetahuan Nasional II di
Yogyakarta tahun 1962, Lembaga Makanan Rakyat
mengirim anggota stafnya untuk menyajikan hasil-
hasil penelitian gizi, antara lain penelitian tinggi dan
berat badan serta penelitian gizi di desa Ciwalen
dan Amansari Jawa Barat.
Pada seminar gizi tahun 1963 di Senayan
Jakarta (aslinya seminar untuk menentukan proyek-
proyek riset utama kearah perbaikan pangan dalam
rangka Deklarasi Ekonomi) yang diadakan oleh
Departemen Urusan Research Nasional, tokoh-
tokoh gizi berpartisipasi aktif. Dalam seminar ini
dapat ditentukan Recommended Dietary Allowance
(RDA) bagi orang Indonesia yang sekaligus memuat
jumlah dan jenis bahan makanan yang dibutuhkan
rata-rata orang Indonesia per hari dan per tahun,
untuk menyusun target produksi ditetapkan pula
prioritas penelitian dalam bidang pangan, mulai dari
produksi dan manusianya, pemasaran dan
konsumsinya.
Tokoh-tokoh gizi ikut berpartisipasi dalam
Kongres Pediatrika Asia – Afrika ke II yang
diselenggarakan di Hotel Indonesia Jakarta tahun
1964, dengan menyajikan hasil-hasil penelitian yang
mutakhir. Pada tahun 1960 dilakukan penelitian gizi
mahasiswa Bogor dalam rangka kerjasama dengan
Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran Hewan dan
Akademi Pertanian Ciawi, Bogor, dengan mendapat
bantuan dari World University Service (WUS).

13
Dengan bantuan tenaga expert FAO, Miss
Emma Reh, pada tahun 1962 Lembaga Makanan
Rakyat mengadakan penelitian konsumsi makanan
dan keadaan gizi di kabupaten Wonosobo,
Kebumen dan Wonogiri, Jawa Tengah. Survei ini
merupakan persiapan kearah National Nutrition
Survey yang dicita-citakan oleh para ahli gizi
Indonesia.
Dalam usaha menanggulangi defisiensi
vitamin A, pada tahun 1960-1961 diadakan
eksperimen suplementasi pada sejumlah anak
penderita defisiensi vitamin A di Bogor dan Rumah
Yatim Piatu Muslimin Jakarta. Proyek penelitian ini
dilakukan dengan bantuan dari Bagian Anak-anak
RSUP Jakarta, Bagian Mata dan Prof. O.A Roels
dari Columbia University, New York. Minyak kelapa
sawit menunjukan hasil baik sebagai bahan untuk
menanggulangi defisiensi vitamin A di Indonesia.
Kemudian penggunaan minyak kelapa sawit secara
massal dicoba di beberapa desa di Jawa Tengah,
dengan bantuan UNICEF dan ahli-ahli, antara lain :
Dr. Rose dan P. Gyorgy sampai tahun 1965.
Pada tahun 1964 Djumadias A.N. dan
Dradjat D. Prawiranegara mengadakan penelitian
tinggi dan berat badan terhadap 2000 anak sekolah
golongan sosial-ekonomi menengah dan atas di
Jakarta dalam rangka mengumpulkan data untuk
menentukan standar gizi penduduk Indonesia. Pada
tahun yang sama Darwin Karjadi mengadakan follow
up study anak-anak keluarga pegawai rendah di

14
Bogor yang pernah diteliti oleh Blankhart lima tahun
sebelumnya. Penelitian tersebut diteruskan hingga
saat ini, dengan memasukan tim psikologi untuk
mempelajari hubungan antara keadaan gizi dengan
perkembangan mental.
Dalam penelitian di laboratorium, Lembaga
Makanan Rakyat mengadakan penentuan Net
Protein Utilization (NPU) dengan animal experiment
dari berbagai campuran bahan makanan.
Serentetan studi dirintis dan diselenggarakan hingga
sekarang oleh Loe Goan Hong dan Oey Kam Nio di
Laboratorium Gizi Diponegoro 69.
Dalam kerjasama dengan Fakultas
Pertanian, Akademi Pendidikan Nutrisionis
melakukan penelitian gizi diberbagai tempat di Jawa
Barat, yaitu tahun 1961 di desa Ciawi dan Amansari,
tahun 1962 di Pelabuhan Ratu, tahun 1963 di
daerah perikanan darat Cisaat Sukabumi, tahun
1964 di daerah Kabupaten Subang dan tahun 1965
di daerah Purwakarta.
Sesuai dengan gelombang politik di
Indonesia sekitar tahun 1964, Menteri Kesehatan,
Prof. Satrio meningkatkan kegiatan gizi dengan
membentuk Komando Operasi Gizi. Slogan “Empat
Sehat Lima Sempurna” dianggap tidak cocok lagi
dengan keadaan dan kemudian ditinggalkan.
Selanjutnya dipopulerkan “Menu Seimbang”, suatu
revolusi menu untuk mengubah pola makanan yang
beras sentris menjadi pola makan beraneka ragam

15
yang bermakna pokok plural. Propaganda makan
jagung dilancarkan oleh Presiden RI dan banyak
pejabat-pejabat tinggi pusat dan daerah walaupun di
sana-sini terdengar nada sinis. Lembaga Makanan
Rakyat diubah status dan namanya menjadi Bagian
Makanan Rakyat, yang mempunyai fungsi
organisatoris seperti bagian-bagian lain dalam
Departemen Kesehatan. Propaganda masal dan
revolusioner itu akhirnya berhenti dengan
berubahnya situasi politik di Indonesia sejak
pecahnya peristiwa G.30.S pada tahun 1965.
Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan
Presiden No.15 dan 75 tahun 1966, semua
Departemen mengadakan perubahan struktur
organisasi. Bagian Makanan Rakyat diubah menjadi
Direktorat Gizi di bawah Direktorat Jenderal
Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Perubahan
struktur organisasi di daerah bercermin pada pusat.
Gizi mendapat kesempatan di daerah-daerah yang
nutrisionisnya aktif, gizi menduduki eselon bagian.
Dengan demikian diperoleh otoritas dan fasilitas
yang layak untuk melancarkan usaha-usahanya.
Usaha Perbaikan Makanan Rakyat di daerah
Jawa Tengah mendapat perhatian dari pemerintah
pusat dan juga organisasi internasional FAO dan
UNICEF memberikan bantuannya. Ini terhenti pada
waktu Indonesia memutuskan hubungan dengan
PBB. Sejak Indonesia masuk menjadi anggota PBB
kembali pada tahun 1967, program bantuan UNICEF
untuk usaha perbaikan gizi tersebut diaktifkan lagi.

16
Kegiatan gizi itu disempurnakan organisasinya dan
kemudian dengan istilah Applied Nutrition Program
(ANP) yang kemudian dikenal sebagai program
“Usaha Perbaikan Gizi Keluarga” (UPGK). Kegiatan
UPGK atau ANP mulai tahun1969 diperluas dari
Jawa Tengah ke daerah-daerah lain, berturut-turut :
Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Selatan dan
Nusa Tenggara Barat, kemudian mulai tahun 1970
Bali, Jawa Timur dan Sumatera Utara.

Logo UPGK

Pada tahun 1967 dokter Dradjat D.


Prawiranegara dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu
Gizi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat UI di
Jakarta. Ini memberikan kesempatan untuk
mengembangkan ilmu gizi dalam fakultas tersebut.
Fakultas ini merupakan wadah pendidikan tingkat
sarjana bagi lulusan akademi di lingkungan
Departemen Kesehatan termasuk pada nutrisionis.
Atas instruksi Menteri Kesehatan, pada bulan
Oktober 1965 Akademi Pendidikan Nutrisionis
dipindahkan ke Kebayoran Baru menjadi satu
kompleks dengan Akademi Penilik Kesehatan dan

17
Biro Pendidikan Departemen Kesehatan. Sedang
bekas tempatnya di Bogor digunakan untuk Balai
Penelitian Gizi. Pimpinan akademi diserah terimakan
dari Prof. Poerwo Soedarmo kepada Ig. Tarwotjo
dan tahun 1967 namanya dirubah menjadi Akademi
Gizi. Proses perpindahan dan akibat peristiwa
G 30 S membawa pengaruh yang tidak
menguntungkan terhadap jalannya pendidikan di
akademi tersebut. Semua tenaga staf pimpinan dan
staf pengajar harus diperbaharui. Fasilitas
pendidikan terutama laboratorium hampir tak ada
sama sekali. Keadaan berangsur-angsur menjadi
lebih baik, dengan diperolehnya gedung tersendiri
dari bantuan UNICEF dalam bentuk sarana
transportasi, perlengkapan laboratorium kimia,
teknologi makanan, dapur diet dan perpustakaan.
Pada tahun 1968 atas prakarsa LIPI
diadakan suatu Workshop untuk membahas
masalah pangan di Indonesia ini dari berbagai
aspek. Workshop diadakan di Jakarta dan dihadiri
oleh para sarjana dan ahli-ahli berbagai disiplin dari
Indonesia dan Luar Negeri (USA), Exponen ilmu gizi
ikut aktif dalam workshop tersebut, terutama dalam
grup I yang menentukan angka kecukupan gizi dan
makanan penduduk Indonesia untuk target produksi.
Pertemuan ilmiah yang diselenggarakan atas
kerjasama dengan National Academy of Sciencies
USA (Yang terkenal sebagai LIPI-NAS Workshop on
Food) itu, merupakan suatu langkah penyusunan
food policy yang baik. Workshop ini memberikan

18
masukan kepada Bappenas mengenai kebijakan
pangan dalam Repelita I. Sejak itu LIPI setiap lima
tahun sekali mengadakan workshop yang sekarang
dikenal dengan Widyakarya Nasional Pangan dan
Gizi (WNPG) untuk memberikan masukan aspek
pangan dan gizi dalam perencanaan perbaikan gizi
masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1969 Indonesia menjadi tuan
rumah untuk Nutrition Seminar Seameo yang
diselenggarakan di Fakultas Kedokteran UI Jakarta.
Mulai tahun berikutnya menjadi tuan rumah untuk
menyelenggarakan Graduate Cource in Applied
Nutrition yang diikuti oleh partisipan dari Filipina,
Thailand, Vietnam dan Indonesia.
Berbagai kegiatan penelitian gizi yang
dijalankan oleh para peneliti pada masa sebelum
1970an diantaranya penelitian tentang pengaruh gizi
terhadap perkembangan mental anak-anak oleh
Darwin Karjadi dkk; penelitian Aflatoxin pada
pelbagai kacang-kacangan oleh Muhilal dkk;
penelitian dan anemia pada ibu-ibu hamil, oleh
Sukartijah dkk; penelitian pemakaian Picung sebagai
pengawet ikan dan penelitian cara pembuatan
tempe, oleh Hermana dkk; Analisa Bahan Makanan
Indonesia, oleh Ig. Tarwotjo dkk; penentuan NPU
dan PKH berbagai sumber protein, oleh Lie Goan
Hong dkk; penelitian keadaan gizi penderita
defisiensi vitamin A dengan pengobatan minyak
kelapa sawit, oleh Darwin Karjadi dkk; penelitian
aspek sosial budaya pola makanan dan kebiasaan

19
makanan di 5 desa di Indonesia, oleh Melly G. Tan
dkk; penentuan PER ikan, oleh Aziz dkk; pengaruh
pemberian dosis masip vitamin A kepada ibu hamil
terhadap air susu ibu, oleh Djaeni dkk; kadar vitamin
A dan karotin cairan cerebrospinal anak-anak
penderita meningitis, oleh Djaeni dan Witawarja.
Selanjutnya Menteri Kesehatan dengan
Surat Keputusan nomor 257/KAB/B.VII/71 tanggal
15 November 1971 telah membentuk Badan Pekerja
Usaha Perbaikan Gizi Pusat, yang anggotanya wakil
dari departemen yang ikut dalam UPGK.
Pada tahun 1972, Dr. Soedarso, DPH
diamanahkan menjadi Kepala Direktorat Gizi. Pada
masa ini diterbitkan instruksi Presiden RI nomor 14
tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan
Rakyat. Pada 19 Februari 1975 dilaksanakan
Pelantikan Anggota Komisi Teknik Perbaikan Menu
Makanan Rakyat oleh Menteri Negara
Kesejahteraan Rakyat selaku Koordinator
Penyelenggaraan Usaha-usaha Perbaikan Menu
Makanan Rakyat sesuai dengan Inpres nomor 14
tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan
Rakyat.
Beberapa agenda internasional juga
dilaksanakan pada tahun 1970an diantaranya
International Meeting on The Control of Vitamin A
Deficiency di Jakarta, hasil kerjasama Pemerintah
Indonesia, WHO dan USAID, Seminar International
mengenai makanan dan gizi yang diadakan oleh

20
SEADAG (South East Asia Development Advisory
Group) New York pada tanggal 27-30 April 1975 di
Yogyakarta.
Tahun 1976 kepemimpinan Direktorat Gizi
dipercayakan kepada dr. S. Malasan, MPH. Di
tingkat masyarakat pada tahun 1970an mulai
muncul inisiatif membentuk Kelompok Timbang
(Pokbang) serta tempat-tempat pelayan gizi bagi
balita seperti Taman Gizi, Pos Timbang, Pos Balita,
dll yang didasari oleh adopsi dari gagasan David
Morley tentang upaya pencegahan kurang gizi pada
anak melalui pemantauan pertumbuhan yang
ditetapkan menjadi Program GOBBIF UNICEF pada
tahun 1950an serta program dunia oleh FAO/WHO
pada tahun 1970an. Dikembangkan pula Growth to
Health Chart atau yang dikenal sekarang dengan
Kartu Menuju Sehat (KMS). Jenis pelayanan
dikembangkan dengan adanya Nutrition
International Pilot Project (NIPP) dengan kegiatan
inovatif termasuk kegiatan teknologi tepat guna.
Pada masa ini sekitar tahun 1976 kegiatan
pemantauan pertumbuhan balita menjadi komponen
dari Usaha Perbaikan Gizi Keluarga dengan
dukungan hasil Penelitian Sayogyo tentang
“Pendidikan Gizi Plus” dari UPGK.
Menjelang tahun 1980, tepatnya pada tahun
1979 dilantik dr. Ig. Tarwotjo, M.Sc sebagai
pimpinan baru di Direktorat Gizi Masyarakat

21
C. Perkembangan Gizi Tahun 1980 - 2000
Pada masa ini kegiatan UPGK salah satunya
melalui pemantauan pertumbuhan balita terus
digencarkan. Pada tahun 1984 dikeluarkan instruksi
bersama antara Menteri Kesehatan, Kepala BKKBN,
dan Menteri Dalam Negeri yang mengintegrasikan
kegiatan kesehatan ibu dan anak, keluarga
berencana, imunisasi, gizi, dan penanggulangan
diare ke dalam sebuah wadah yang disebut dengan
nama Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Posyandu dicanangkan secara resmi oleh Bapak
Pembangunan Soeharto sebagai Presiden Republik
Indonesia saat itu yaitu tahun 1986 di Yogyakarta
bertepatan dengan peringatan Hari Kesehatan
Nasional. Sejak saat itu Posyandu berkembang
dengan pesat dan memiliki kontribusi besar dalam
penurunan Angka Kematian Ibu dan Angka
Kematian Bayi, sehingga banyak negara lain yang
belajar dari kesuksesan Indonesia.

KMS tahun 90an dan 2000an

22
Disamping itu, kegiatan UPGK juga meliputi
penyuluhan gizi masyarakat termasuk anak sekolah
dasar dan menengah, pelayanan gizi di Posyandu,
serta pemanfaatan pekarangan sebagai bagian dari
Program Diversifikasi Pangan dan Gizi.
Pada tahun 1988, kepemimpinan di Direktorat
Gizi Masyarakat dipercayakan kepada Drs. Benny A.
Kodyat, MPA Penanggulangan masalah gizi
berfokus terutama pada sasaran penanggulangan 4
masalah gizi utama yaitu Kurang Kalori dan Protein
(KKP), Kekurangan Vitamin A (KVA), Anemia Gizi
Besi, dan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
(GAKI) tanpa mengabaikan kemungkinan timbul
masalah gizi yang lainnya. Pemantauan
pertumbuhan di Posyandu, Pemberian Makanan
Tambahan (PMT), penyuluhan gizi, suplementasi
Kapsul Vitamin A dosis tinggi, suplementasi Tablet
Tambah Darah (TTD), pemberian kapsul Iodiol dan
garam beryodium menjadi bagian dari intervensi
unggulan yang diberikan.
Upaya promotif di bidang gizi juga terus
berkembang pada tahun 1990-an utamanya upaya
peningkatan pengetahuan dan perilaku gizi melalui
pendidikan dan penyuluhan gizi seimbang. Upaya ini
dibarengi dengan perbaikan gizi di institusi seperti
perusahaan, pabrik, panti asuhan, dsb; pendekatan
kepada dunia pendidikan melalui Pemberian
Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS); serta
peningkatan konsumsi anekaragam pangan.

23
Pada tahun 1994 terbit Instruksi Presiden
Nomor 69 Tahun 1994 tentang Wajib Fortifikasi
Garam, sejak saat itu garam konsumsi untuk
masyarakat wajib difortifikasi dengan Iodium.
Pada tahun 1995, Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan mengeluarkan Pedoman Umum Gizi
Seimbang (PUGS) dengan 13 pesan dasar
didalamnya, sebagai tindak lanjut rekomendari
Konferensi Gizi Internasional di Roma tahun 1992
dengan tujuan mencapai dan memelihara kesehatan
dan kesejahteraan gizi seluruh penduduk sebagai
prasyarat membangun sumber daya manusia.

Pedoman Umum Gizi seimbang

Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997


menjadi tantangan berat dalam upaya perbaikan
gizi. Pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan
dan Gizi (SKPG) mencakup sistem isyarat dini dan

24
intervensi segera menjadi salah satu bagian dari
respon cepat yang dilakukan guna mencegah
semakin meningkatnya masalah gizi terutama di
wilayah rawan pangan.
Pengembangan sistem kewaspadaan pangan
dan gizi dilakukan melalui pelatihan tenaga,
pengembangan indikator dan cara-cara
pengumpulan dan pemanfaatan data yang lebih
efektif dengan tujuan penanggulangan secara dini
terhadap kemungkinan terjadinya penurunan
keadaan gizi penduduk. Pengembangan Sistem
Isyarat Dini (SIDI) diutamakan pada daerah-daerah
rawan pangan dan rawan gizi. Sistem informasi
pada saat itu dilakukan dengan memantau keadaan
gizi balita melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional
dan cara-cara khusus lainnya.
Penelitian-penelitian pada periode ini juga
terus berkembang. Indonesia terus aktif dalam
agenda nasional maupun internasional terkait gizi
masyarakat seperti Widyakarya Nasional Pangan
dan Gizi, International Committe of Controlling on
Iodine Deficiency Disorder dimana Drs. Benny
Kodyat, MPA sebagai Direktur Gizi Masyarakat pada
saat itu menjadi Executive membernya, serta
berbagai forum lainya.
Menjelang tahun 2000 tepatnya pada tahun
1998, dilantik dr. Dini Koeswandewi Latief, M.Sc
sebagai pimpinan Direktorat Gizi Masyarakat. Upaya
perbaikan gizi pada upaya peningkatan

25
pengetahuan, produktivitas dan prestasi kerja, serta
penurunan masalah gizi terutama gizi kurang dan
gizi buruk terus digencarkan diantaranya melalui
Gerakan Nasional Penanggulangan Gizi Buruk,
penajaman sistem kewaspadaan pangan dan gizi,
penanggulangan anemia pada remaja putri, serta
Gerakan Pekerja Wanita Sehat dan Produktif.
Fortifikasi pada bahan makana yang umum
dikonsumsi masyarakat terus diupayakan untuk
pemenuhan gizi mikro. Pada tahun 1998 dikeluarkan
kebijakan fortifikasi tepung terigu dalam 3 peraturan
pemerintah yaitu SK Menteri Kesehatan Nomor
632/Menkes/SK/VI/1998 tentang fortifikasi Tepung
Terigu, Keputusan Nomor 153/MPP/KeEP/5/2001 jo
323/MPP/KEP/XI/2001 tentang kewajiban standar
tepung terigu (SNI) pada semua jenis tepung terigu
yang diperjualbelikan di Indonesia, serta SK Dirjen
IKAH Nomor 03/Dirjen-IKAH/SK/II/2002 tentang
standar prosedur operasional kewajiban SNI.
Fortifikasi tepung terigu ini mulai diberlakukan
secara wajib pada tahun 2001.

26
BAB II
PEMBANGUNAN GIZI SETELAH TAHUN 2000

Memasuki era milenium, upaya perbaikan gizi


semakin dihadapkan pada berbagai tantangan baru.
Para pakar gizi mulai melihat terjadinya transisi gizi
pada era ini. Menghadapi pesatnya perubahan global
yang juga berpengaruh pada keadaan gizi penduduk,
berbagai langkah inovasi gizi pun diterapkan dengan
mengedepankan pada tujuan jangka panjang perbaikan
generasi.
Penyuluhan gizi masyarakat pada ditujukan
sebagai upaya pencegahan penyakit dengan sasaran
masyarakat baik di perkotaan maupun pedesaan.
Pesan-pesan penyuluhan selain mengenai pencegahan
dan penanggulangan masalah gizi kurang dan gizi
buruk, juga mulai menekankan pada pentingnya pola
makan seimbang untuk mencegah timbulnya penyakit
degeneratif mengingat transisi gizi yang mulai terjadi.
Pada bulan September tahun 2000,
dideklarasikan delapan tujuan pembangunan milenium
untuk dicapai pada tahun 2015, atau dikenal sebagai
Millenium Development Goals (MDGs) dimana
Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut
menandatangani kesepakatan tersebut. Prevalensi
balita gizi kurang dan gizi buruk masuk kedalam salah
satu indikator penilaian pencapaian salah satu tujuan
pembangunan milenium yaitu Tujuan 1 : Menanggulangi
Kemiskinan dan Kelaparan.

27
Tahun 2000 Akademi Gizi bergabung didalam
Poltekkes menjadi Poltekkes Jurusan Gizi. Program alih
jenjang dari D3 ke D4 dimulai pada tahun 2005 oleh
Jurusan Gizi Poltekkes Depkes Yogyakarta yang
selanjutnya diikuti oleh provinsi lainnya. Pada tahun
2011 dimulai oleh Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes
Jakarta II dibuka program D4 Gizi regular yang
menerima lulusan SMA dengan masa pendidikan 4
tahun dan gelar Sarjana terapan Gizi (STr.Gz).
Tahun 2002, pimpinan Direktorat Gizi
Masyarakat dilanjutkan oleh dr. Rachmi Untoro, MPH.
Upaya penanganan anak gizi kurang dan gizi buruk
terus berlanjut, pada tahun 2003 tatalaksana gizi buruk
dibuat secara komprehensif dan terintegrasi oleh tim
mulai dari dokter, perawat, hingga ahli gizi.
Pembangunan Therapeutic Feeding Centre (TFC) pada
daerah-daerah dengan banyak kasus dan rumah sakit
yang jauh dari jangkauan, hingga Community Feeding
Centre (CFC) dan Pos-pos Gizi untuk balita-balita gizi
buruk tanpa komplikasi dengan rawat jalan.
Pada tahun yang sama, Save The Children
memperkenalkan sebuah pendekatan yang dikenal
dengan Positive Deviance (PD) yang sebelumnya telah
sukses dilaksanakan di Vietnam oleh Jerry Sternin. Di
Indonesia pendekatan PD dimulai di Desa Gekbrong,
Cianjur, Jawa Barat yang bekerjasma dengan Dinas
Kesehatan setempat dengan memberdayakan
masyarakat melalui Pos Gizi sebagai kegiatan diluar
hari buka Posyandu. Pendekatan ini dinilai cukup efektif
mengatasi masalah balita gizi buruk tanpa komplikasi.

28
Pada tahun 2005 Direktorat Gizi Masyarakat bergabung
dalam PD Network dan memperkenalkan pendekatan ini
ke seluruh Indonesia bersama mitra pembangunan
lainnya dan akademisi seperti CARE, Wahana Visi,
Islamic Relief, Mercy Corps, Universitas Indonesia, dan
sebagainya melalui pelatihan-pelatihan dan
pembentukan Pos Gizi di berbagai wilayah. Bulan
Agustus Tahun 2009 didirikan Positive Deviance
Resources Centre (PDRC) atau Pusat Kajian Positive
Deviance bertempat di Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
Sistem kewaspadaan pangan dan gizi
merambah pada pemanfaatan teknologi. Tahun 2003
dikembangkan Jejaring Informasi Pangan dan Gizi
(JIPG) serta website www.gizi.net. Berbagai informasi
dan pedoman gizi mulai saat itu dapat lebih mudah
diakses oleh masyarakat umum. Selain itu, untuk
membantu ahli gizi melaksanakan konseling
dikembangkan piranti lunak yang diberi nama Nutriclin.
Akhir Desember 2004 terjadi bencana tsunami di
Aceh dengan korban yang begitu banyak dan
mengakibatkan pengungsian secara massal termasuk
kelompok rentan yaitu bayi, anak, ibu hamil, ibu
menyusui, dan lansia. Sebagai respon cepat untuk
menghindari kerawanan gizi, Direktorat Gizi bersama
dengan BNPB dan Departemen Sosial serta jajaran di
tingkat provinsi melakukan penanganan,
pendampingan, dan monitoring gizi darurat selama
hampir satu tahun dari waktu bencana hingga dapat
dipastikan pemerintah daerah mampu melanjutkan.

29
Pengembangan gizi darurat terus dilakukan untuk
menanggulangi keadaan-keadaan darurat, tidak
terbatas pada bencana alam tetapi juga konflik sosial
dsb.
Mengawali RPJMN 2005-2025, dibawah
koordinasi BAPPENAS disusun Rencana Aksi Nasional
Pangan dan Gizi yang melibatkan lintas sektor dalam
penanganan masalah pangan dan gizi, yang pada
penerapannya ini diturunkan menjadi Rencana Aksi
Pangan dan Gizi Daerah sesuai kearifan lokal masing –
masing, yang diperbarui setiap 5 tahun sekali hingga
sekarang.
Dengan semakin pesatnya perkembangan
teknologi, upaya peningkatan pengetahuan masyarakat
untuk perubahan perilaku gizi yang lebih baik
merambah pada seluruh media yang ada salah satunya
media elektronik. Strategi KIE untuk mewujudkan
Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) menjadi salah satu
program unggulan yang mulai dirintis pada tahun 2005.
Tidak hanya penyuluhan secara langsung, KADARZI
juga merambah iklan-iklan layanan masyarakat,
talkshow di televisi maupun radio secara terus menerus,
serta pencetakan media-media KIE dengan mencermati
selera yang disesuaikan dengan sasaran termasuk
menggunakan talent dari para selebriti yang banyak
digemari masyarakat, salah satunya Ike Nurjanah.
Selanjutnya pedoman operasional KADARZI ditetapkan
secara resmi melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 747/Menkes/SK/VI/2007. Pada saat itu desa
siaga menjadi wilayah sasaran penerapan KADARZI

30
melalui pendampingan keluarga, yang menyasar pada
kemampuan keluarga untuk mengenal, mencegah, dan
mengatasi masalah gizi setiap anggotanya.
Pada tahun 2006, dr. Ina Hernawati, MPH
mendapatkan amanah melanjutkan kepemimpinan di
Direktorat Gizi masyarakat. Di tahun yang sama, WHO
memperkenalkan The New WHO Child Growth
Standards pada Regional Workshop yang dilaksanakan
di Bangkok, Thailand tanggal 5-7 Juni 2006. Setelah
melalui proses kajian yang cukup panjang oleh para
pakar gizi dan kedokteran anak dalam beberapa forum
diantaranya lokakarya di Makassar tahun 2007, Pra
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi IX bulan Juli
tahun 2008, serta pertemuan lintas pemangku
kepentingan yang mendatangkan langsung narasumber
dari WHO SEARO - Amani Siyam, selanjutnya WHO
Child Growth Standards 2005 ini kemudian diadopsi
oleh pemerintah Indonesia.
Tahun 2010 Dr. Minarto, MPS menjabat sebagai
Direktur Gizi Masyarakat. Perubahan penamaan
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat menjadi
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA pada tahun 2011
juga merubah nomenklatur Direktorat Gizi Masyarakat
menjadi Direktorat Bina Gizi.
Tahun 2010 adopsi WHO Child Growth
Standards di Indonesia disahkan dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 1995 tahun 2010 tentang
Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Sejak
saat itu standar baru secara resmi menggantikan

31
Rujukan WHO/NCHS yang diikuti dengan pelatihan
berjenjang hingga kepada para Tenaga Pelaksana Gizi
Puskesmas sebagai End-user tentang penilaian
pertumbuhan balita menggunakan standar baru
menggunakan modul yang juga disdopsi langsung dari
WHO. Penyesuaian juga dilakukan pada pedoman-
pedoman yang ada termasuk Kartu Menuju Sehat
(KMS), pedoman tatalaksana gizi buruk, dan
sebagainya.

KMS Laki-laki dan Perempuan dengan Standar WHO 2005

Dalam perjalanannya, KMS pada tahun 2007


diintegrasikan kedalam buku KIA dan sejak tahun 2015
dilengkapi dengan 3 macam grafik yaitu BB/U, TB/U,
dan BB/TB.

32
Tahun 2010 hingga 2012 Proyek NICE dibentuk
untuk mendukung pemerintah dalam menanggulangi
masalah gizi di 24 Kabupaten/kota yang tersebar di 6
Provinsi yaitu Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, NTB dan NTT.
Proyek ini berfokus pada pemberdayaan masyarakat
melalui pendampingan dari fasilitator masyarakat untuk
peningkatan status gizi, hygiene, dan sanitasi di
masyarakat.
Pada tahun 2011, dikembangkan SMS Gateway,
yang memanfaatkan teknologi pada saat itu untuk
mempermudah pelacakan kejadian gizi buruk sehingga
saat terjadi sebuah kasus di suatu wilayah, ketika
dilaporkan dapat segera diketahui hingga tingkat pusat.
Perkembangan terhadap pemberian makan bayi
dan anak juga tidak luput dari perhatian. Setelah melalui
proses yang cukup panjang, pada tahun 2012
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tentang
Pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan yang diikuti
dengan peraturan-peraturan turunan lainnya. Promosi
dan peningkatan pengetahuan terhadap pemberian ASI
Eksklusif terus ditingkatkan melalui peningkatan
kapasitas petugas kesehatan tentang konseling
menyusui dan konseling Makanan Pendamping ASI
(MP-ASI), yang kemudian berkembang menjadi dan
konseling Pemberian Makan bayi dan Anak (PMBA),
penerapan menu sehat “4 bintang”, pembentukan
kelompok-kelompok pendukung ASI (KPASI), dsb.

33
Setelah tahun 2010, fokus penanggulangan
masalah gizi mengarah pada penanggulangan stunting
(pendek) dengan tetap mengupayakan penanggulangan
masalah gizi lainnya. Mulai dilakukan upaya
mengenalkan masalah stunting dan efek jangka panjang
terhadap kualitas sumber daya manusia. Diawali dari
gerakan Scaling Up Nutrition (SUN) sebagai respon
negara-negara di dunia terhadap kondisi status gizi di
sebagian besar negara berkembang dan akibat
kemajuan yang tidak merata dalam pencapaian MDGs,
gerakan tersebut di Indonesia dilaksanakan sebagai
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam
Rangka 1000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000
HPK) yang diresmikan melalui Peraturan Presiden
nomor 42 tahun 2013.
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang,
tahun 2012 ditetapkan SNI nomor 7709 : 2012 tentang
Minyak Goreng Sawit. Hal ini merupakan sebuah
pencerahan pada bidang fortifikasi mengingat
inisiasinya telah dimulai sejak tahun 2002. Namun
demikian, penetapan wajib SNI tersebut masih
berproses dan sedang direvisi hingga tahun saat ini.
Tahun 2013 Direktorat Bina Gizi dipercayakan
kepada Ir. Doddy Izwardy, MA. Upaya memperkuat
pelaksanaan surveilans gizi dengan pemanfaatan
teknologi terus dikembangkan terutama untuk
mempermudah sistem pencatatan dan pelaporan. Sejak
tahun 2014 disosialisasikan Pemantauan Status Gizi
melalui survey serentak di seluruh provinsi yang
pelaksanaanya dilakukan di 60 Kabupaten/Kota terpilih.

34
Pada tahun 2015 hingga 2017 pelaksanaan PSG
dilakuka di seluruh Kabupaten/Kota. Pada tahun 2016
PSG dilengkapi dengan Pemantauan Konsumsi Gizi
(PKG) pada ibu hamil dan di tahun 2017 PKG
dilaksanakan pada Balita.
Sumber data status gizi nasional lainnya juga
diperoleh dari data Susenas dan Riskesdas. Setelah
dilakukan pada tahun 2007 dan 2010, Riskesdas
kembali dilaksanakan pada tahun 2013 dan selanjutnya
di tahun 2017.
Pada tahun 2014 juga dilaksanan Studi Diet total
(SDT) termasuk Survei Konsumsi Makanan Indonesia
(SKMI). Data yang diperoleh dari berbagai survey
tersebut tidak hanya digunakan oleh para pengelola
program gizi untuk perencanaan program tahun
berikutnya, namun juga evaluasi program oleh lintas
sektor terkait gizi hingga level Kabupaten.

Pada tahun 2013 diluncurkan Proyek Kesehatan


dan Gizi Berbasis Masyarakat untuk Mengurangi
Stanting (PKGBM) sebagai upaya mendukung
pemerintah mengurangi prevalensi stunting. Proyek ini

35
berlangsung hingga tahun 2018 dengan
mengedepankan kegiatan - kegiatan yang berorientasi
pada perbaikan status gizi ibu hamil dan anak, melalui
peningkatan peran serta masyarakat, perbaikan asupan
gizi, pengurangan kasus diare, meningkatkan
ketersediaan makanan bergizi yang terjangkau, serta
meningkatkan koordinasi lintas sektor dan masyarakat
tentang pentingnya isu anak stunting.
Penerapan PUGS yang cukup sulit di
masyarakat pada akhirnya mengharuskan PUGS tahun
1995 direview kembali pada tahun 2014, dan hasilnya
13 pesan dasar diperbarui menjadi 10 pesan dasar.
Untuk optimalisasi penerapannya juga ditetapkan 4 pilar
gizi seimbang yaitu makan beraneka ragam, melakukan
aktivitas fisik, menerapkan pola hidup bersih dan sehat,
serta memantau berat badan secara teratur. Namun hal
ini juga dinilai masih sulit dihafal dan dimengerti
masyarakat, istilah 4 sehat 5 sempurna dinilai masih
sangat melekat. Kemudian untuk memudahkan
masyarakat memahami gizi seimbang dengan aplikasi
langsung pada makanan sehari-hari, selain 4 pilar
tersebut pengembangan dilakukan pada isi piringku
yang di promosikan secara gencar hingga sekarang,
dan pada awal tahun 2017 melalui Inpres Nomor 1
Tahun 2017 dicanangkan Gerakan Masyarakat Hidup
Sehat dengan salah satu aspek yang sangat terkait
dengan upaya penerapan gizi seimbang melalui isi
piringku yaitu makan buah dan sayur.

36
Gizi Seimbang dan Isi Piringku

Melalui Peraturan Presiden Nomor 35 tahun


2015 tentang Kementerian Kesehatan, ditetapkan
susunan organisasi baru di Kementerian Kesehatan,
dimana salah satunya Direktorat Jenderal Bina Gizi dan
KIA kembali menjadi Direktorat Jenderal Kesehatan
Masyarakat. Selanjutnya Ir. Doddy Izwardy, MA kembali
dilantik sebagai pimpinan Direktorat Gizi Masyarakat.
Tahun 2016 dilakukan restrukturisasi organisasi
di lingkungan Direktorat Gizi Masyarakat yang semula
terdapat lima Sub Direktorat yaitu Subdit Bina Gizi
Makro, Subdit Bina Gizi Mikro, Subdit Bina Konsumsi
Makanan, dan Subdit Bina Gizi Klinis menjadi 4 Sub
Direktorat yaitu Subdit Peningkatan Mutu dan
Kecukupan Gizi, Subdit Kewaspadaan Gizi, Subdit
Penanggulangan Masalah Gizi, dan Subdit Pengelolaan
Konsumsi Gizi.
Setelah melewati MDGs tahun 2015, agenda
pembangunan berkelanjutan kembali ditetapkan untuk
15 tahun kedepan dalam Sustainable Development
Goals (SDGs). Sebanyak 17 tujuan ditetapkan, dimana

37
bidang gizi berkontribusi pada tujuan kedua yaitu
mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan
perbaikan gizi, dan pertanian yang berkelanjutan.
Upaya mencapai sasaran hingga rumah tangga
melalui Program Indonesia Sehat (PIS-PK) yang
mengedepankan pendekatan keluarga mulai tahun 2016
menyasar pada 12 indikator dimana 2 diantaranya
adalah bidang gizi yaitu Pemantauan Pertumbuhan dan
ASI Eksklusif. PMT juga tidak luput menjadi sorotan, di
era kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang
seringkali turun langsung ke masyarakat, PMT Balita
dan Ibu Hamil menjadi salah satu topik yang biasa
dibawakan saat turun ke berbagai wilayah di Indonesia.
Untuk memperbaiki kualitas PMT, dilakukan
review bersama para pakar terhadap makanan
tambahan untuk balita kurus, ibu hamil KEK, dan anak
sekolah yang menghasilkan sebuah naskah akademik.
Berdasarkan hal tersebut ditetapkan Keputusan Menteri
Kesehatan nomor 51 Tahun 2016 tentang Standar
Produk Suplementasi Gizi termasuk perubahan
komposisi terhadap bubuk tabur gizi.

PMT Balita dan ibu Hamil kemasan Lama

38
PMT Balita, PMT Ibu Hamil, dan PMT Anak Sekolah kemasan baru

Bubuk tabur gizi juga mengalami pembaharuan


tidak hanya dari sisi kualitas produk, namun juga
kemasan untuk meningkatkan daya terima masyarakat.
Pada tahun 2016 bekerjasama dengan GAIN, dihasilkan
kemasan Taburia yang baru.

Taburia kemasan lama dan baru

Sejak tahun 2015 hingga sekarang Direktorat


Gizi Masyarakat juga membuat perjanjian kerjasama
dengan berbagai instansi untuk penanggulangan
stunting diantaranya dengan Ditjen Penguatan Daya
Saing produk Kelautan dan Perikanan, Kementerian

39
Kelautan dan Perikanan; FKM dan FK Universitas
Hasanuddin; FK Unversitas Diponegoro; FKM
Universitas Indonesia; FEMA dan FATETA Institut
Pertanian Bogor, FKM Universitas Airlangga, FK
Universitas Gadjah Mada, FKM dan FK Universitas
Andalas, FK Universitas Lambung Mangkurat, dan
SEAMEO RECFON, serta BPPT.
Pada tahun 2018 dilakukan kajian teknologi yang
bertujuan meningkatkan asupan zat besi pada remaja.
Dari hasil kajian tersebut dihasilkan sebuah produk yang
dinamakan PURULA yang didesain dalam bentuk abon
tabur sebagai pendamping makanan untuk memberikan
dan meningkatkan asupan zat besi.

PURULA kemasan sachet dengan berbagai rasa

Tahun 2017 upaya melawan stunting untuk


perbaikan generasi semakin gencar. Masalah stunting
tidak hanya dibicarakan di bidang kesehatan saja,
namun telah menjadi perhatian pimpinan negara. Pada
tanggal 9 Agustus 2017 di Kantor Wakil Presiden
dilakukan rapat terbatas masalah stunting yang dipimpin
langsung oleh Wakil presiden RI Yusuf Kalla yang
kemudian ditindaklanjuti dengan pelaksanaan Rembuk

40
Stunting Tahap 1 pada tanggal 27 – 30 November 2017
dan Tahap 2 tanggal 26 – 27 Maret 2018 di Jakarta.
Dalam beberapa tahun terkahir, terjadi beberapa
bencana berskala besar yang mengakibatkan
pengungsian massal diantaranya letusan Gunung
Merapi, letusan Gunung Sinabung, ledakan kasus gizi
buruk di Asmat, hingga bencana baru-baru ini yaitu
tsunami di Palu, Banten serta Lampung Selatan.
Pendampingan terhadap penanganan gizi darurat terus
diperkuat untuk mengatasi dampak yang terjadi
terutama pada kelompok rentan seperti balita dan ibu
hamil. Atas kerjasama dengan UNICEF, pada bulan
September 2018 dilaksanakan peningkatan kapasitas
untuk penanganan gizi darurat di Yogyakarta. Hingga
saat ini, penanganan gizi darurat semakin kuat dengan
terbentuknya Kluster Gizi dibawah koordinasi Pusat
Krisis Kesehatan.
Pemanfaatan teknologi untuk penanggulangan
masalah gizi terus dilakukan. Dalam upaya
mengembangkan surveilans gizi secara real time serta
mendapatkan data akurat by name by address, sejak
tahun 2016 dirintis sistem elektronik pencatatan dan
pelaporan gizi berbasis masyarakat atau dikenal dengan
e-PPGBM dan mulai tahun 2018 telah diterapkan oleh
seluruh Puskesmas di Indonesia.

41
elektronik-Pencatatan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat

Pembaharuan terhadap Tabel Komposisi


Pangan Indonesia juga terus dilakukan. Setelah update
yang dilakukan oleh PERSAGI pada tahun 2009,
kemudian melalui Kelompok Kerja Data Komposisi
Pangan Indonesia yang diketuai oleh Dr. Marudut
Sitompul, MPS mulai tahun 2016 dilakukan upaya
melengkapi TKPI melalui metode borrowing. Kini
Indonesia memiliki 1.169 bahan pangan yang dapat
dilihat komposisi gizinya yang tidak hanya dapat diakses
di buku, tetapi juga melalui website www.panganku.org.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi terkini
dilaksanakan pada tanggal 3-4 Juli 2018 dimana
Direktorat Gizi menjadi koordinator Bidang I :
Peningkatan Gizi Masyarakat. Dalam forum ini
ditetapkan kembali Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk
orang Indonesia dengan AKE 2100 kkal dan AKP 57
gram. Forum ini juga menghasilkan sebuah Policy
Paper kebijakan pangan dan gizi sebagai masukan
untuk RPJMN 2020-2024.

42
Hingga kini pedoman-pedoman gizi juga terus
disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam beberapa tahun terakhir telah dihasilkan
berbagai naskah akademik diantaranya standar
antropometri anak, pangan untuk keperluan medis
khusus, pangan fungsional, serta beberapa pedoman
program seperti Pedoman Asuhan Gizi, Pedoman
Surveilans Gizi, dsb.
Perkembangan terkini yang menjadi harapan
besar dari bidang penelitian gizi untuk masa mendatang
adalah dengan diresmikannya Unit Pelaksana
Fungsional Inovasi Penanggulangan Stunting yang
berada dibawah ampuan Puslitbang Upaya Kesehatan
Masyarakat. Unit ini dahulunya adalah Puslitbang Gizi
Bogor yang kemudian menjadi Pusat Teknologi Terapan
Kesehatan dan Epidemiologi Klinis, dan kini kembali
menjadi bagian dari bidang gizi.

43
BAB IV
JEJAK KEPEMIMPINAN DIREKTORAT GIZI
MASYARAKAT

I. Prof. Dr. Poerwo Soedarmo


(Kepala Lembaga Makanan Rakyat 1950-1958)
Lahir di Malang 20 Februari 1904.
Lulus dari sekolah kedokteran
STOVIA pada tahun 1927.
Kemudian pada tahun 1949
melanjutkan pendidikan di Post
Graduate Institute, London dan
Institute of Nutrition, Manila pada
tahun 1950.
Selanjutnya beliau mendalami ilmu gizi di School of
Public Health and Nutrition, Harvard
University tahun 1954-1955 dan di Institute of
Nutrition Sciences, Columbia University, New York
tahun 1960. Prof. Poerwo Soedarmo dinobatkan
sebagai guru besar pertama Ilmu Gizi di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1958
dan mendapat Doctor Honoris Causa dalam ilmu
kedokteran dari FKUI pada tahun 1975.
Prof. Dr. Poerwo Soedarmo tutup usia pada tanggal
13 Maret 2003 di Jakarta dalam usia 99 tahun.

44
II. Prof. DR. Dradjat D. Prawiranegara
(Kepala Lembaga Makanan Rakyat 1958-1972)

III. Dr. Soedarso, DPH


(Kepala Direktorat Gizi Tahun 1972-1976)

IV. Dr. S. Malasan, MPH


(Kepala Direktorat Gizi Tahun 1976-1979)

45
V. Dr. Ig. Tarwotjo, M. Sc
(Direktur Gizi Masyarakat 1979-1988)
Lahir di Klaten pada tangal 5
April 1930 sebagai anak
pertama dari Bapak Adrianus
Pardi Notowihardo dan Ibu
Anna Kamirah. Menempuh
pendidikan menengah pertama
di Solo dan lulus SLTA di
Semarang.
Pak Tarwotjo melanjutkan pendidikannya ke
Jakarta dan lulus dari Sekolah Ahli Diet pada tahun
1955. Tahun 1957 Pak Tarwotjo memperdalam ilmu
gizi di University of Tannesse, Knoxville, USA dan
mendapatkan gelar Doktor dari Universitas
Diponegoro pada tahun 1990.
Pak Tarwotjo menikah pada tanggal 7 Januari 1961
dengan Caecilia Soejoeti. Dari pernikahan tersebut,
beliau dikaruniai 5 anak dan 11 cucu.
Sebelum menjabat sebagai Kepala Direktorat Gizi,
pada tahun 1965 beliau menjadi Direktur Akademi
Gizi Jakarta. Pak Tarwotjo adalah seorang peneliti
yang disegani pada masanya. Selepas menjadi
Direktur Gizi, beliau melanjutkan karirnya sebagai
peneliti di Puslitbang Gizi. Tanggal 17 Mei 1995, Dr.
Ig. Tarwotjo, M.Sc kembali kepada sang Pencipta
pada usia 65 tahun.

46
VI. Drs. Benny A. Kodyat, MPA
Direktur Gizi Masyarakat 1988-1998
Drs Benny A. Kodyat lahir pada
tanggal 14 April 1938 dari pasangan
H. Kodyat dan Ny. Turmi’ah. Pak
Beny menghabiskan masa kecilnya
di kota Cirebon, kemudian
melanjutkan pendidikan tinggi di
Akademi Pendidikan Nutrisionis –
Ahli Diit hingga mendapat gelar B.Sc
pada tahun 1961, S2 Administrasi Negara STIA-
LAN pada tahun 1966 dan Health Services
Administration Leeds University Inggris, 1980.
Pada tahun 1968, beliau mendapatkan Certificate in
Public Health Nutrition dari Columbia University
New York USA dan Post Graduate Diploma in Food
Science & Nutrition Agricultural dari Wageningen
University Netherland pada tahun 1973.
Pak Benny dikaruniai 3 orang putri dan 4 orang
cucu. Saat waktu senggangnya, beliau senang
berkegiatan berenang, memancing dan membaca,
Sebelum menjadi Direktur Gizi, jabatan yang
pernah diemban Pak Benny diantaranya Kepala
Bagian Tata Usaha Direktorat Yankesmas
Departemen Kesehatan tahun 1974-1984, Kepala
Bagian Keuangan Direktorat Jenderal Binkesmas
Departemen Kesehatan tahun 1984-1988, Direktur
Penyehatan Lingkungan dan Pemukiman
Departemen Kesehatan bulan April-Oktober 1988.

47
Selama menjadi Direktur Gizi, Pak Benny juga aktif
sebagai pengajar di FKM UI dan Prodi Gizi FK
UGAMA Yogyakarta; Ketua Tim UPGK, GAKI
Pusat, dan GWPSP; Ketua umum PERSAGI serta
Ketua bidang organisasi PERGIZI PANGAN. Pak
Beny saat ini menjadi Ketua Pengurus Yayasan
MPGKI (Mitra Pangan Gizi dan Kesehatan
Indonesia).

48
VII. Dr. Dini Latief, M. Sc
Direktur Gizi Masyarakat 1998-2001
Lahir di Yogyakarta pada tanggal
26 Februari 1948 dari pasangan
Bapak Koeswandani dan Ibu
Pardjilah. Bu Dini menghabiskan
masa sekolahnya di kota
Bandung dan menyelesaikan
sekolah kedokteran di Fakultas
Kedokteran Padjajaran Bandung
setelah itu melanjutkan pendidikan ke SEAMEO,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan
Spesialis Kolegium Ilmu Gizi Klinik.
Pada tahun 1975 Bu Dini menikah dengan bapak Ir.
Latief E. Setiono dan di karunia 2 orang putra/ putri
dan 2 orang cucu. Di waktu senggang bu Dini
berkegiatan membaca, berenang dan berwisata.
Sebelum bertugas sebagai Direktur Gizi, Bu Dini
pernah bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten
Tangerang. Beliau menjabat sebagai Direktur Gizi
pada tahun 1998 hingga 2001. Selepas masa
jabatannya sebagai Direktur Gizi, beliau
melanjutkan karirnya sebagai Staf Ahli Menteri
Kesehatan Bidang Desentralisasi tahun 2001
hingga 2003, menjadi Kepala Badan Litbangkes
pada tahun 2004 dan Ketua Umum Pengurus Pusat
Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia periode
2004 – 2007. Pada tahun 2006 hingga 2010 Ibu
Dini menjadi Director of Family Health and
Research, WHO-SEARO.

49
VIII. Dr. Rachmi Untoro, MPH
Direktur Gizi Masyarakat 2002 -2006
Lahir di Pontianak pada 17 Juni
1949 dari pasangan Bapak H.
Rachman Arief dan ibu Hj.
Rahadjeng. Menikah dengan dr.
Hario Untoro, Sp.OG.MARS
pada 1975 dan dikaruniai 2
orang anak dan 3 orang cucu.
Di waktu senggangnya, Ibu Rachmi menyukai
kegiatan membaca dan olah raga renang. Ibu
Rachmi menghabiskan masa sekolah di
Kebayoran Baru, kemudian melanjutkan
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, lulus pada tahun 1975 dan pasca
sarjana di School of Hygiene & Public Health
Jhon Hopkins University Baltimore USA, lulus
pada tahun 1984.
Sebelum menjadi Direktur Bina Gizi beliau pernah
bertugas sebagai Kepala Bagian Tata Usaha
Pimpinan Setjen Departemen Kesehatan pada
tahun 1984 dan pada tahun 1989 beliau menjadi
Kasubdit Balita pada Direktorat Bina Kesehatan
Keluarga, kemudian sebagai Kasubdit Usia Subur
di unit kerja yang sama tahun 1996. Tahun 1999
Ibu Rachmi menjabat sebagai Direktur Kesehatan
Keluarga dan pada tahun yang sama menjabat
sebagai Kepala Direktorat Kesehatan Khusus
yang kemudian menjadi Direktorat Kesehatan
Komunitas.

50
Selepas menjabat Direktur Gizi Masyarakat tahun
2006, beliau melanjutkan karir sebagai Direktur
Kesehatan Anak hingga tahun 2007, kemudian
menjadi Staf Ahli Menteri Bidang Mediko Legal.
Ibu Rahmi juga aktif dalam organisasi profesi
sebagai Sekjen PDGMI tahun 2004 hingga 2007
dan Ketua Umum PDGMI hingga 2 periode yaitu
2007– 2010 dan 2010 – 2014.
IX. Dr. Ina Hernawati, MPH
Direktur Bina Gizi 2006-2010
Lahir pada tanggal 15 November
1954 dari pasangan Bapak Suyoto
dan Ibu Siti Sutarti. Ibu Ina
menamatkan pendidikan di
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia pada tahun 1979 dan
melanjutkan pendidikan S2 di
Mahidol University Thailand hingga lulus pada
tahun 1990. Ibu Ina bersuamikan Bapak Suhartono
Yos Alirama. Sebelum menjadi Direktur Gizi
Masyarakat, beliau adalah Kasubdit Kesehatan
Balita di Direktorat Kesehatan Keluarga. Selepas
menjadi Direktur Gizi Masyarakat, beliau menjadi
Direktur Bina Kesehatan Ibu pada tahun 2010
hingga 2012. Beliau melanjutkan karir di
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat sebagai Deputi Bidang Koordinasi
Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan
Anak. Ibu dr. Ina Hernawati, MPH tutup usia pada
tanggal 8 Januari 2019.

51
X. Dr. Minarto, MPS
Direktur Bina Gizi 2010-2013
Lahir di Yogyakarta tanggal 11
Desember 1954 dari pasangan
Bapak Noto Sudarjo dan Ibu
Sumarsih. Pak Min begitu beliau
biasa disapa, menghabiskan masa
sekolahnya di Yogyakarta dan
melanjutkan pendidikan tinggi di Akademi Gizi
Jakarta, pasca sarjana di UPLB Los Banos
Phillipines dan pendidikan doktoral di FKM UI. Pak
Min dikaruniai 4 anak dan 6 cucu. Diwaktu
senggangnya Pak Min senang berolah raga.
Pada awal karirnya, Pak Min pernah menjadi
Kepala Seksi Gizi Kesga di Kanwil Depkes Sumsel
tahun 1986. Kemudian pada tahun 1996 beliau
melanjutkan karirnya di Kementerian Kesehatan
sebagai Kasubdit Kewaspadaan Gizi dan Kasubdit
Gizi Makro di tahun 2004 sebelum akhirnya
diamanahkan menjadi Direktur Bina Gizi pada
tahun 2010.
Selepas menjadi Direktur Bina Gizi, Pak Min
menjadi Director CBHN MCAI tahun 2013 hingga
2016. Kemudian pada tahun 2017 sebagai National
Coordinator, National Nutrition Communication
Campaign, National Lead Writer Nutrition Sector
Review (Bagian HSR) background study RPJMN
2020-2024, dan GFF Liaison Officer/Adviser –
World Bank sejak Juli 2018 hingga sekarang.

52
XI. Ir. Doddy Izwardy, MA
Direktur Gizi Masyarakat 2013 – sekarang
Ir. Doddy Izwardy, MA lahir di
Medan pada tanggal 16 Februari
1963 dari pasangan Bapak Ismail
Abdullah dan Ibu Zubaidah. Pada
tahun 1988 menikah dengan Ibu
Dr. Rita Djupuri, DCN, M.Epid,
dikaruniai 2 anak dan kini telah memiliki 1 orang
cucu. Beliau menyukai ketenangan yang didapat
dari alam pegunungan.
Pak Doddy menghabiskan masa sekolahnya di
daerah Jakarta Barat, melanjutkan pendidikan
tinggi ke Akademi Gizi Jakarta, Sarjana dari Institut
Pertanian Bogor, Pasca sarjana di Bournemouth of
University Inggris. Saat ini menjadi kandidat Ph.D
Management Science, Shah Alam University,
Malaysia.
Mengawali karirnya, pada tahun 1985-1988 beliau
bekerja sebagai dosen Sekolah Pembantu Ahli Gizi
Banda Aceh dan juga menjadi asisten konsultan
proyek intervensi ganda vitamin A dan Imunisasi di
Kabupaten Aceh Barat. Tahun 1994 hingga 1996
beliau mendapat amanah sebagai Direktur Akademi
Gizi Banda Aceh.
Melanjutkan karir di Kementerian Kesehatan, Pak
Doddy pernah menjabat sebagai Kasubag Tata
Usaha di Direktorat Kesehatan Keluarga dan

53
Direktorat Kesehatan Ibu pada tahun 2004 dan
2006. Kemudian di tahun 2009 sampai 2010, beliau
menjabat sebagai Kepala Bidang Kerjasama Luar
Negeri di Biro Perencanaan, sebelum Pusat
Kerjasama Luar Negeri lahir.
Jabatan terakhir beliau sebelum menjadi Direktur
Gizi Masyarakat adalah Kepala Bidang Kerjasama
Kesehatan Regional, Pusat Kerjasama Luar Negeri.
Pak Doddy menjabat sebagai Direktur Gizi
Masyarakat sejak tahun 2013 hingga sekarang.
Saat ini beliau juga aktif sebagai Governing Board
Members SEAMEO RECFON mewakili Indonesia,
dan Sekretaris II pada Tim Teknis Gugus Tugas
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang
ditetapkan melalui Peraturan Presiden RI Nomor 42
tahun 2013.

54
DAFTAR PUSTAKA

Ig. Tarwotjo, M. Sc., Drs. Suaspendi, Djumadias Abu Naim,


M. Sc., Prof. Poerwo Soedarmo, Prof. Drajat D.
Prawiranegara, Prof. Soekirman, SKM, MPS-ID, Ph.D.
Sejarah Perkembagan Gizi di Indonesia 1945-1970.
Soekirman, Prof. SKM, MPS-ID, PhD. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Ilmu
Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2018. Ignatius Tarwotjo –
Pelopor Gizi Menurut Sahabat dan Teman. EGC
Hardinsyah, dkk. 2002. Fortifikasi Tepung Terigu dan Minyak
Goreng. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi IPB.
Kementerian Kesehatan. 2011. Sejarah Pembangunan
Kesehatan Indonesia 1973 -2009
Kumpulan Tulisan Prof. Soekirman 1962 – 2015. Gizi
Pembangunan. IPB Press
Gambar : www.google.com
Kontributor :
1. Dini Latief
2. Benny Kodyat
3. Minarto
4. Rachmi Untoro
5. Doddy Izwardy
6. Titi Sukmanah
7. Siti Zainab
8. Trihadiah
9. Martini Markum
10. Yuni Zahraini
11. Lia Rahmawati
12. Kukuh Wicaksono

Anda mungkin juga menyukai