Anda di halaman 1dari 3

Rangkumkan sebanyak mungkin produk pangan saat ini yang telah difortifikasi dan dibiofortiffikasi

dalam rangka mendukung ketahanan pangan. Sebutkan teknologi yang digunakan dan sumbernya.

1. Fortifikasi vitamin A pada minyak goreng sawit. minyak sawit secara alami mengandung pro
vitamin A (karoten) yang berasal dari minyak sawit itu sendiri sebesar 500-700 ppm namun
sebagian besar rusak/hilang selama proses pengolahan. Tujuan utama fortifikasi vitamin A
pada minyak goreng sawit adalah untuk meningkatkan gizi masyarakat khususnya vitamin A
(BSN, 2012). Kebutuhan asupan Vitamin A berbeda-beda sesuai usia dan status reproduksi
seseorang. Wanita menyusui direkomendasikan asupan vitamin A berkisar 1.200 s.d 1.300
RAE. Nilai yang lebih rendah direkomendasikan untuk bayi dan anak di bawah 14 tahun,
sedangkan usia 14 tahun ke atas kebutuhan Vitamin A antara 700 mcg – 900 mcg yang
setara aktivitas retinol (RAE) per hari.

Fortifikasi vitamin A pada minyak goreng sawit dilakukan dengan menggunakan vitamin A
sintetik retinil palmitat karena tidak merubah warna minyak goreng sawit (Hasibuan dan
Siahaan, 2013). Fortifikasi minyak goreng dengan retinil palmitat perlu memperhatikan nilai
peroksida dalam minyak goreng. Nilai peroksida merupakan penghalang yang potensial
terhadap kestabilan retinil palmitat. Tingkat oksidasi sangat berinteraksi dengan stabilitas
vitamin A yang ditambahkan ke minyak. Vitamin A menjadi lebih cepat teroksidasi dan
kehilangan aktivitasnya karenaMajalah Teknologi Agro Industri (Tegi) Volume 11 No. 1 Juni
2019 21 adanya minyak yang sangat teroksidasi atau memiliki tingkat peroksida yang tinggi
(Andarwulan dkk, 2014).

SUMBER: “Kesiapan Produk Minyak Goreng Sawit Terfortifikasi Dalam Rangka Penerapan
Wajib Standar Nasional Indonesia (SNI)” “Readiness of Fortified Palm Cooking Oil Products In
The Implementation Of Indonesian National Standard” oleh Amelia Sari dan Ira Setiawati,
Majalah Teknologi Agro Industri (Tegi), Volume 11 No.1 Juni 2019

2. Fortifikasi iodium pada Beras, beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi lebih
dari 90% penduduk Indonesia. Konsumsi beras di Indonesia saat ini sekitar 139,5 kg/kap/th,
atau sekitar 200 g/hari sedangkan kebutuhan iodium untuk pertumbuhan normal pada
manusia dewasa ialah 120 – 150 g/hari (Anonim, 1991). Sehingga iodium sebagai fortifikan
pada beras hanya diperlukan dalam konsentrasi yang sangat kecil (sekitar 750 g/kg atau 0,75
ppm).

Secara umum proses fortifikasi diawali dengan proses pembuatan beras sosoh/giling seperti
halnya yang dilakukan pada setiap penggilingan beras yaitu mulai dari gabah kering giling
(GKG) hingga beras sosoh (putih). Selanjutnya dari beras sosoh ini berlanjut dengan proses
fortifikasi Iodium dengan teknik pengkabutan fortifikan pada beras dalam mesin penyosoh,
sehingga diperoleh beras beriodium. Sistem pengkabutan yang dipergunakan terdiri atas alat
pengkabut yang dilengkapi dengan kompresor pengkabut udara dengan tekanan 40-50 psi.
Larutan fortifikan dikabutkan dengan bantuan tekanan udara 40 psi yang berasal dari
kompresor sehingga terjadi kabut fortifikan iodium. Debit fortifikan yang digunakan 4-5
l/jam tergantung dari kadar air atau kekeringan beras yang akan diiodisasi. Kadar air beras
merupakan hal yang sangat krusial dalam proses fortifikasi dengan menggunakan teknologi
pengkabut. Makin rendah kadar air beras maka proses fortifikasi bisa dilakukan pada debit
air yang lebih besar. Makin banyak larutan fortifikan yang disemprotkan maka akan
dihasilkan beras iodium dengan kenampakan lebih bersih dan cemerlang karena lapisan
aleuron yang menempel pada permukaan endosperm akan tercuci selama proses fortifikasi
berlangsung, namun perlu dipertimbangkan secara ekonomi. Kapasitas fortifikasi dapat
ditingkatkan secara maksimal (700 kg/jam untuk polisher tipe N-70) dengan mengurangi
beban pada katup pengeluaran beras (pada polisher), dan menurunkan debit aliran larutan
fortifikan secara gravitasi, sehingga ceceran titik-titik air (droplet) fortifikan dapat dicegah,
serta diikuti dengan menambah tekanan udara dari 30 menjadi 40 psi.

SUMBER: “Prospek Teknologi Pembuatan Beras Bergizi Melalui Fortifikasi Iodium” (Ridwan
Rachmat dan Syafaruddin Lubis), PANGAN, Vol. 19 No. 3 September 2010: 265-274
(Jurnalpangan.com)

3. Fortifikasi MSG dengan Vitamin A. Defisiensi vitamin A merupakan salah satu masalah gizi
utama. Salah satu upaya penanggulangannya ialah dengan fortifikasi bahan makanan
dengan vitamin A. Bahan makanan yang potensial untuk wahana fortifikasi menurut hasil
Temu Karya Fortifikasi Vitamin A pada makanan ialah mono sodium glutamat (MSG). Teknik
pencampuran yang paling baik ialah dengan dibuat premix untuk menyelimuti partikel
vitamin A dengan bubuk MSG 100 mesh dengan memakai zat perekat lipida. Hasil dari teknik
pencampuran ini warna kuning dari vitamin A diselimuti MSG yang berwarna putih. Premix
kemudian dicampur dengan MSG dengan konsentrasi yang dikehendaki. Tipe vitamin A yang
sesuai untuk dipakai dalam fortifikasi. MSG dilihat dari stabilitasnya ialah tipe 250 CWS.
Retensi vitamin A dalam 1, 2, 3, dan 4 bulan masing-masing 99%, 89%, 81% dan 76%. Cara
deteksi yang dapat digunakan untuk monitoring yang telah dikemukakan ialah 1 sendok MSG
ditaruh di kertas saring lalu ditetesi larutan TCA dalam chloroform. Intensitas warna yang
terbentuk dan lamanya warna hilang dapat dipakai untuk memperkirakan konsentrasi
vitamin A dalam MSG.

SUMBER: “Teknologi Fortifikasi MSG dengan Vitamin A” (Muhilal dan Ance Murdiana)
Penelitian Gizi dan Makanan 1985, 8:57-66
(https://www.neliti.com/publications/158898/teknologi-fortifikasi-msg-dengan-vitamin-a)

4. Fortifikasi pada Susu, Penambahan fortifikan protein pada susu bubuk biasanya
menggunakan kasein dan whei, namun keduanya sangat mahal dan belum diproduksi di
dalam negeri, maka diperlukan sumber protein yang lebih murah. Penggalian potensi
sumber daya alam yang diberi sentuhan teknologi diharapkan mampu meningkatkan nilai
tambah produk turunan susu dan menjawab kebutuhan akan pangan tinggi protein. Hasil
penelitian Hera (2012) ini mengindikasikan bahwa IPPUS berpotensi untuk dikembangkan
sebagai fotifikan untuk menghasilkan susu bubuk tinggi protein. Prosedur yang dilakukan
melalui enam tahap yakni pembuatan tepung pupa, penghilangan lemak (delipidasi), isolasi
protein, pengeringan isolat, fortifikasi isolat ke dalam susu bubuk dan analisis kualitas susu
bubuk yang telah difortifikasi. Delipidasi menjadi tahapan yang sangat penting karena lemak
merupakan komponen terbesar kedua setelah protein dalam bahan kering tepung pupa.
Fortifikasi IPPUS pada taraf 20% menghasilkan susu bubuk dengan kadar protein yang
berbeda nyata yakni 40,44% dan kecernaan protein secara in vitro sebesar 95,15%. Kadar
protein ini mencukupi 32,15%-40,44% kebutuhan protein harian manusia. Namun dengan
menggunakan formula terpilih ini, menurunkan kesukaan panelis. Hera bersama rekannya
melakukan riset dengan menambahkan flavor sebanyak 15%.

5. Fortifikasi pada Keju, Keju cottage yang beredar di pasaran hampir memiliki semua kebaikan
susu, namun kandungan vitamin C nya sangat rendah. Selama proses pengolahan,  akibat
adanya panas dan sinar,  kandunga n vitamin C dalam susu hampir sebagian besar telah
teroksidasi. Padahal vitamin C yang secara kimia berguna sebagai antioksidan bagi beberapa
jenis maka nan termasuk produk olahan susu (deMan, 1997). Menurut Sweeney dan Ashoor
(1988), banyak penelitian yang menyangkut tentang fortifikasi vitamin pada susu, tetapi
tidak pada keju cottage. Lemon merupakan salah satu jenis je ruk yang cocok untuk ditanam
di daerah tropis seperti Indonesia. Lem on mengandung vitamin C sebesar 53 mg/100 gram,
jumlah yang cukup banyak dibandingkan dengan jeruk jenis lainnya.

Cairan buahnya yang asam sering digunakan dalam pembuatan berbagai jenis makanan juga
obat, dan karena kandungan asam sitratnya yang tinggi, lemon juga bersifat bakterisida.
Besarnya manfaat vitamin C baik untuk tubuh maupun untuk makanan itu sendiri membuat
pentingnya fortifikasi vitamin tersebut pada keju cottage. Diharapkan dengan fortifikasi
lemon ke dalam keju cottage , maka akan meningkatkan kandungan vitamin C dalam keju. 
Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Egrina (2009), menggunakan susu skim sebagai
bahan dasar pembuatan keju cottage dengan menggunakan kultur bakteri starter
campuran Streptococcus thermophilus, Lactococcus lactis dan Leuconostoc mesentroides
serta menambahkan enzim papain sebagai koagulan.

SUMBER: “Teknologi Pangan: Fortifikasi Makanan”


https://muchlassains.wordpress.com/2013/06/18/teknologi-pangan-fortifikasi-makanan/

Anda mungkin juga menyukai