Anda di halaman 1dari 5

Fortifikasi Zat Besi Pada Beras

Fortifikasi zat besi pada bahan pangan merupakan upaya untuk


meningkatkan asupan zat besi yang diharapkan dapat mengatasi masalah
defisiensi zat besi. Fortifikasi adalah penambahan fortifikan secara sengaja ke
dalam bahan pangan yang dipilih sebagai pembawa (vehicle) yang bertujuan
untuk mengatasi masalah kekurangan mikronutrien tertentu pada suatu populasi
(Allen et al. 2006).

Peningkatan kandungan Fe pada beras tidak akan mengubah penampakan,


rasa, tekstur atau mutu tanak beras karena mineral besi merupakan unsur yang
sangat halus. Hal ini tentu juga tidak akan mengubah cara menanak nasi dan pola
makan konsumen. Berbeda dengan penambahan beta karoten pada beras yang
mengubah penampakan beras menjadi kekuningan, yang akan mengurangi tingkat
preferensi konsumen.

Beras sebagai sumber karbohidrat utama dapat ditingkatkan kadar zat


besinya dengan cara difortifikasi (Hotz et al. 2008; Beinner et al. 2010).
Fortifikasi beras direkomendasikan juga oleh WHO (2018) karena beras
dikonsumsi secara luas dan teratur oleh masyarakat. Beras fortifikasi dapat
diproduksi secara masal dengan teknologi yang relatif sederhana. Permasalahan
yang dihadapi oleh beras yang difortifikasi adalah praktik di rumah tangga yang
biasanya melakukan pencucian beras sebelum dimasak. Di samping itu, pencucian
beras dapat menyebabkan kehilangan zat fortifikan (Indrasari 2006). Kehilangan
zat fortifikan ini dipengaruhi oleh lama pencucian, volume air yang digunakan,
dan proses pengadukan (Furter et al. 1946).

Alternatif teknologi fortifikasi zat besi yang dapat dikembangkan adalah


dengan membuat butiran premiks yang terbuat dari campuran tepung beras dan
feri pirofosfat. Butiran premiks merupakan campuran zat gizi mikro dengan bahan
lain yang ditambahkan dan dibentuk menyerupai beras (Allen et al. 2006).
Fortifikan dalam bentuk butiran premiks ini diharapkan dapat meminimalkan
kehilangan zat besi pada saat dicampurkan ke dalam beras dan selama pemasakan
beras menjadi nasi. Butiran premiks ini berbentuk butiran beras yang dapat
dihasilkan dengan menggunakan teknologi ekstrusi panas (hot extrusion). Prinsip
teknologi ekstrusi adalah melewatkan bahan premiks basah melalui ekstruder pada
suhu di atas 70°C (Mishra et al. 2012). Dalam premiks dapat ditambahkan
emulsifier gliserol monostearat (GMS) yang berfungsi untuk mengikat bahan dan
membantu pembentukan butiran premiks selama proses ekstrusi (Budi et al.
2013). GMS juga membantu agar butiran premiks yang dihasilkan tidak lengket.
Penggunaan GMS sudah digunakan dalam produk beras analog yang diproses
dengan teknologi ekstrusi (Budijanto & Yuliyanti 2012; Noviasari et al. 2013;
Noviasari et al. 2015). Dalam bentuk butiran premiks, beras fortifikan diharapkan
secara visual tidak dapat dibedakan dari beras tanpa fortifikasi. Fortifikan zat besi
dalam bentuk butiran premiks juga diharapkan lebih stabil dan kompak sehingga
tidak banyak hilang selama pencucian dan pengolahan beras fortifikasi. Penelitian
ini bertujuan untuk mengembangkan teknologi pembuatan butiran premiks
sebagai vehicle fortifikan zat besi, khususnya menentukan lama waktu proses
pencampuran tepung beras, feri pirofosfat, dan GMS yang optimum yang dapat
menghasilkan butiran premiks yang homogen, beras fortifikasi yang stabil selama
proses pencucian, dan dapat diterima secara organoleptik.

Fortifikasi Iodium Pada Beras

Beras merupakan bahan pokok Prospek Teknologi Pembuatan Beras


Bergizi Melalui Fortifikasi Iodium . Komponen alat penyosoh yang dapat
digunakan dalam pembuatan beras beriodium dengan fortifikasi yang dikonsumsi
dalam jumlah besar dan digunakan lebih dari 90 penduduk Indonesia. Komponen
utama dari beras ialah karbohidrat (85-90%, berat kering), yang mayoritas adalah
pati. Pati terdiri dari amilosa dan amilopektin, dan senyawa ini dapat berikatan
dengan iodium. Oleh karena itu untuk daerah yang mengalami defisiensi iodium
maka beras berpeluang besar untuk difortifikasi dengan iodium, kendala proses
fortifikan dengan cara pencampuran kering antara lain tingkat homogenitas
produk relatif rendah dan memerlukan perlatan khusus dan teknologi yang relatif
mahal. Dalam upaya memenuhi kebutuhan akan iodium dengan meningkatkan
mutu beras giling di masyarakat telah berkembang sistem pengkabutan yaitu
penyemprotan uap air dalam bentuk kabut sewaktu proses penyosohan beras,
maka sistem ini dapat diterapkan untuk pembuatan fortifikasi iodium dalam beras.
Apabila dibandingkan dengan fortifikasi iodium sebesar 80 ppm pada garam,
maka tambahan biaya dalam pembuatan garam beriodium jauh lebih mahal
dibandingkan dengan biaya pembuatan beras beriodium.

Fortifikasi Iodium pada beras dilakukan dengan prinsip memanfaatkan


sifat Iodium yang mudah terikat dengan amilosa yang merupakan unsur utama
beras. Fortifikasi Iodium dilakukan dengan menambahkan bahan pengikat pada
larutan Iodium sebagai fortifikan, dan melalui proses fortifikasi menggunakan alat
pengkabut yang digandengkan pada alat penyosoh beras.

Secara umum proses fortifikasi diawali dengan proses pembuatan beras


sosoh/giling seperti halnya yang biasa dilakukan pada setiap penggilingan beras
yaitu mulai dari gabah kering giling (GKG) hingga beras sosoh (putih).
Selanjutnya dari beras sosoh ini berlanjut dengan proses fortifikasi Iodium dengan
teknik pengkabutan fortifikan pada beras dalam mesin penyosoh, sehingga
diperoleh beras beriodium. Sistem pengkabutan yang dipergunakan terdiri atas
alat pengkabut yang dilengkapi dengan kompresor pengkabut udara dengan
tekanan 40-50 psi. Larutan fortifikan dikabutkan dengan bantuan tekanan udara
40 psi yang berasal dari kompresor sehingga terjadi kabut fortifikan iodium. Debit
fortifikan yang digunakan 4-5 l/jam tergantung dari kadar air atau kekeringan
beras yang akan diiodisasi. Kadar air beras merupakan hal yang sangat krusial
dalam proses fortifikasi dengan menggunakan teknologi pengkabut. Makin rendah
kadar air beras maka proses fortifikasi bisa dilakukan pada debit air yang lebih
besar. Makin banyak larutan fortifikan yang disemprotkan maka akan dihasilkan
beras iodium dengan kenampakan lebih bersih dan cemerlang karena lapisan
aleuron yang menempel pada permukaan endosperm akan tercuci selama proses
fortifikasi berlangsung, namun perlu dipertimbangkan secara ekonomi. Kapasitas
fortifikasi dapat ditingkatkan secara maksimal (700 kg/jam untuk polisher tipe N-
70) dengan mengurangi beban pada katup pengeluaran beras (pada polisher), dan
menurunkan debit aliran larutan fortifikan secara gravitasi, sehingga ceceran titik-
titik air (droplet) fortifikan dapat dicegah, serta diikuti dengan menambah tekanan
udara dari 30 menjadi 40 psi.
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Beras Iodium
DAFTAR PUSTAKA

Allen L, de Benoist B, Dary O, Hurrell R. 2006. Guidelines on Food Fortification


with Micronutrient. Geneva, Switzerland/Rome, Italy (IT): World Health
Organization/Food and Agriculture Organization of United Nations.

Budi FS, Hariyadi P, Budijanto S, Syah D. 2013. Teknologi proses ekstrusi untuk
membuat beras analog. Pangan. 22(3): 263–274.

Budijanto S, Yuliyanti. 2012. Studi persiapan tepung sorgum (Sorghum bicolor L.


Moench) dan aplikasinya pada pembuatan beras analog. Jurnal Teknik
Pertanian. 13(3): 177–186.

Damardjati, DS. 1995. Karakterisasi sifat dan standardisasi mutu beras sebagai
landasan pengembangan agribisnis dan agroindustri padi di Indonesia.
Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Balitbio 1992. Badan Litbang
Pertanian

Furter MF, Lauter WM, De Ritter E, Rubin SH. 1946. Enrichment of rice with
synthetic vitamin and iron. Industrial and Engineering Chemistry. 38(5):
486– 493. https://doi.org/10.1021/ie50437a014

Hotz C, Maribel P, Germán O., Armando GG., Terry E, Shirley J, Ted G. 2008.
Efficacy of iron-fortified ultra rice in improving the iron status of women
in Mexico. Bulletin Food and Nutrition. 29(2): 140–149.
https://doi.org/10.1177/156482650802900208

Indrasari, Siti, Dewi. Purwani. dan Prihadi, Wibowo. 2010. Evaluasi Mutu Fisik,
Mutu Giling dan Kandungan Antosianin Kultivar Beras Merah. Jurnal
Pertanian Tanaman Pangan.

Maryoto, A. 2005. Arah Pangan 2005, Fortifikasi Beras Produk Transgenik


Tergantung Evaluasi Keamanan. Kompas 3 Agustus. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai