Disusun Oleh:
Nama : Moch Aris Pradana
NIM : 4444190085
Kelas : 5B
Asisten:
Arni Komalasari
PENDAHULUAN
Produk mie merupakan salah satu jenis olahan pangan yang sangat digemari
oleh masyarakat Indonesia. Jenis produk mie yang mampu bersaing dipasar ialah
mie kering. Mie kering diolah dengan tidak mengalami proses pemasakan lanjut
ketika benang mie telah dipotong, melainkan mie segar yang langsung dikeringkan
hingga kadar airnya mencapai 8-10%. Tingginya peningkatan konsumsi dan
kebutuhan mie ini akan seiring meningkatkan volume impor gandum sebagai bahan
baku utama dalam pembuatan tepung terigu, dimana merupakan bahan baku
penting dalam pembuatan mie (Mulyadi, A.F., dkk, 2013) Mie kering merupakan
suatu jenis makanan hasil olahan tepung yang sudah dikenal oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia dan sudah dijadikan bahan pangan pokok selain beras
(Juniawati, 2003). Sejauh ini, pangsa pasar mie kering secara nasional mencapai 70
sampai 80% sehingga terjadi pergeseran konsumsi dari mie basah ke mie kering
(Mogoginta, J., 2007). Mie kering diperoleh dengan cara mengeringkan mie mentah
dengan metode penjemuran atau juga dikeringkan dalam oven pada suhu ± 50ºC
dan mempunyai daya simpan yang lebih lama tergantung dari kadar air dan cara
penyimpanannya (Astawan, M., 2003).
Dari total konsumsi mie rata-rata per minggu, untuk mie kering jumlahnya
lebih tinggi (1.21 %) dibandingkan makanan lain yang sejenis, seperti Mie basah
(0.04 %), dan Bihun (1.19 %). Tingginya peningkatan konsumsi dan kebutuhan mie
ini akan seiring meningkatkan volume impor gandum sebagai bahan baku utama
dalam pembuatan tepung terigu, dimana merupakan bahan baku penting dalam
pembuatan mie. Nilai impor gandum sepanjang semester pertama tahun 2010 naik
24.4% menjadi US$ 649.3 juta dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kondisi
impor gandum tersebut mesti diwaspadai karena harga gandum terus mengalami
peningkatan. Jika terjadi lonjakan harga pada gandum, tentunya akan menyulitkan
industri pangan di Indonesia, terutama produsen mie dengan bahan baku yang
sangat mahal (Febrianto et al, 2014).
Talas Beneng (Xanthosoma undipes K. Koch) merupakan sumber pangan lokal
potensial dari Provinsi Banten, Kabupaten Pandeglang karena pertumbuhannya
yang mudah dan cepat. Tanaman talas beneng banyak dijumpai di wilayah sekitar
Gunung Karang, Kabupaten Pandeglang. Talas Beneng (Xanthosoma undipes K.
Koch) dapat tumbuh di pinggir hutan, tepi sungai, rawa, dan tebing yang berhumus.
Talas ini hidup di daerah tropis pada dataran rendah 250-700 m di atas permukaan
laut (dpl) dengan curah hujan cukup.Talas seringkali dibudidayakan pada daerah
tropis dengan curah hujan cukup (175– 250 cm/tahun) serta memerlukan tanah yang
subur di daerah lembab dengan temperatur sekitar 21–27°C. Tanaman ini dapat
hidup pada dataran rendah sampai ketinggian 2700 m di atas permukaan laut namun
tidak tahan terhadap temperatur sangat rendah (beku) (Sofyan dan Yunia, 2017).
Kandungan yang khas pada talas beneng adalah kandungan beta karoten yang
dicirikan dengan pigmen warna kuning pada bagian daging umbinyanya. Rusbana
et.al., (2012) dalam Sofyan dan Yunia, (2017) menyatakan bahwa konsentrasi beta
karoten talas beneng baik liar maupun budidaya memiliki pola yang sama yaitu
kandungan beta karoten akan meningkat sampai berumur 9 bulan dan kemudian
menurun pada umur 12 bulan. Namun demikian konsentrasi beta karoten pada talas
beneng budidaya pada umur 9 bulan lebih tinggi (0,2717 µg/gr sampel) dibanding
yang liar (0,070 µg/gr sampel). Kandungan oksalat yang ada di talas memang cukup
tinggi dan bila tidak dihilangkan ataupun dikurangi, maka saat pangan olahan dari
talas dikonsumsi, orang yang mengkonsumsi akan merasa gatal-gatal pada
tenggorokannya. Pengeringan talas dapat dilakukan baik itu dengan menggunakan
alat pengering maupun sinar matahari (Suarnadwipa dan Hendra, 2008).
Tepung talas beneng dapat menghasilkan produk olahan pangan dengan
karakteristik yang sama seperti pangan olahan yang menggunakan tepung terigu
protein rendah dengan kandungan sebesar 7- 9%. Menurut Lestari dan Susilawati
(2015) talas beneng memiliki kandungan protein yang cukup tinggi dibandingkan
dengan talas lainnya. Dengan kandungan protein sebesar 8,53%. Selanjutnya
Muttakin et al. (2015) menyatakan bahwa talas beneng memiliki kandungan protein
8,77%; kadar pati 6,97%; kadar abu 8,53%; lemak 0,46% dan kadar air 84,65%.
Kandungan oksalat talas beneng cukup besar yaitu 60,56 ppm (Visiamah, 2016).
CMC (Carboxy Methyl Cellulose)
CMC merupakan turunan selulosa yang terbentuk oleh asetilasi gugus
hidroksi bebas pada rantai selulosa dan merupakan poli ion yang terdispersi pada
fase berair, sehingga CMC tidak mengandung komponen pati dan tidak
berpengaruh pada kadar pati makanan padat yang dihasilkan. Faktor proporsi CMC
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar pati (Arafa dan Sudarminto,
2014). CMC berfungsi sebagai stabilizer yang mengendalikan berpindahnya air
dalam adonan mie pada saat dimasak, sehingga adonan mie menjadi kompak dan
tidak mudah hancur. CMC juga berfungsi untuk mencegah terjadinya sinerisis,
yakni pecahnya gel akibat perubahan suhu (Febrianto et al, 2014)
Karboksimetil selulosa merupakan merupakan eter polimer selulosa linear
dan berupa senyawa anion, yang bersifat biodegradable, tidak berwarna, tidak
berbau, tidak beracun, butiran atau bubuk yang larut dalam air namun tidak larut
dalam larutan organik, memiliki rentang pH sebesar 6.5 sampai 8.0, stabil pada
rentang pH 2 – 10, bereaksi dengan garam logam berat membentuk film yang tidak
larut dalam air, transparan, serta tidak bereaksi dengan senyawa organik.
Karboksimetil selulosa berasal dari selulosa kayu dan kapas yang diperoleh dari
reaksi antara selulosa dengan asam monokloroasetat, dengan katalis berupa
senyawa alkali. Karboksimetil selulosa juga merupakan senyawa serbaguna yang
memiliki sifat penting seperti kelarutan, reologi, dan adsorpsi di permukaan. Selain
sifat-sifat itu, viskositas dan derajat substitusi merupakan dua faktor terpenting dari
karboksimetil selulosa. (Rosnah Mat Som dkk, 2004). Karboksimetil selulosa
memiliki beberapa nama lain, yaitu crosscarmellose sodium; Ac-di-sol; Aquaplast;
Carmethose; gum selulosa; sodium karboksimetil selulosa; asam glikolik selulosa,
Daice; Fine Gum HES; Lovosa; NACM, dan garam selulosa..
METODOLOGI PERCOBAAN
Bahan yang digunakan dalam pembuatan mie kering terdiri dari bahan baku
dan juga bahan tambahan pangan. Bahan baku pada pembuatan mie kering ini
terdiri dua macam tepung yaitu: tepung terigu, dan tepung talas beneng. Sedangkan
bahan tambahan pangan pada pembuatan mie kering ini terdiri: air, garam, CMC,
STTP, minyak goreng, dan telur. Adapun alat yang duganakan pada pembuatan mie
kering yaitu: mixer, timbangan, wadah, pipet, sendok, saringan, alat penggiling mie,
pisau, kompor, baskom, gelas ukur, dandang, cabinet dryer, Loyang, dan panci.
Peralatan yang digunakan pada pembuatan mie kering berfungsi sebagai
berikut:
Nama Alat Gambar Alat Prinsip Kerja
Pengeluaran air dari bahan
akibat proses pindah panas yang
berhubungan dengan adanya
Mesin pengering perbedaan suhu antara
mie permukaan produk dengan
permukaan air pada beberapa
lokasi dalam produk (Setyanto et
al., 2012).
Minyak 8gr,
Pencampuran
air 50ml,
telur bahan kedua
Diresting 5 menit
Dikukus 10
menit
Dikeringkan 5
jam
Dilakukan pengujian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penambahan bahan tambahan pangan adonan berguna untuk merekatkan adonan
sampai menyatu. Hal tersebut senada dengan pernyataan Lala dkk (2013) adapun
zat tambahan lainnya yang dipertimbangkan untuk menghasilkan mie dari bahan
bukan terigu adalah penambahan zat aditif seperti Carboxymethyl cellulose
(CMC). CMC adalah bahan yang berfungsi sebagai pemberi bentuk, konsistensi
dan tekstur. Beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan penambahan
perbandingan CMC 1% menghasilkan mie terbaik secara organoleptik. Menurut
Febrianto, dkk. (2014) bahan tambahan lain yang umum ditambahkan adalah telur.
Beberapa saran penambahan telur adalah penambahan telur 20% yang
menghasilkan mie yang terbaik ditinjau dari sifat sensoris, dan setiap parameter
yang diamati yaitu kadar air, cooking yield dan cooking loss. Proses pembuatan mie
pertama dengan cara menimbang tepung terigu dan tepung talas beneng sebagai
bahan dasar untuk pembuatan mie dan bahan tambahan lainnya. Setelah ditimbang,
kemudian disatukan. Pertama dicampur tepung terigu dengan tepung talas beneng
sampai rata, kemudian ditambah dengan air, telur, minyak, CMC, STPP, dan diaduk
rata menggunakan mixer. Setelah diaduk dan tercampur rata, dilanjutkan dengan
menguleni adonan sampai kalis. Menurut Syamsidar (2012) Faktor yang harus
diperhatikan dalam membuat adonan dalam pembuatan mie yang baik adalah,
jumlah air yang ditambahakan, lama pengadukan, dan suhunya. Pada awal
pencampuran terdapat pemecahan lapisan tipis air dan tepung. Semakin lama
semua bagian tepung terbasahi, oleh air dan menjadi gumpalan-gumpalan adonan.
Adonan air tersebut juga merupakan serat-serta gluten tertarik, disusun bersilang
dan terbungkus dalam pati, sehingga adonan menjadi lunak, harus serta elastis.
Secara umum, penambahan telur dimaksudkan untuk meningkatkan mutu protein
mie dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah putus-putus.
Putih telur berfungsi untuk mencegah kekeruhan saus mie waktu pemasakan.
Penggunaan putih telur harus secukupnya saja karena pemakaian yang berlebihan
akan menurunkan kemampuan mie menyerap air (daya dehidrasi) waktu direbus.
KESIMPULAN
Tingginya peningkatan konsumsi dan kebutuhan mie ini akan seiring
meningkatkan volume impor gandum sebagai bahan baku utama dalam pembuatan
tepung terigu, dimana merupakan bahan baku penting dalam pembuatan mie. Mie
kering diperoleh dengan cara mengeringkan mie mentah dengan metode
penjemuran atau juga dikeringkan dalam oven pada suhu ± 50ºC dan mempunyai
daya simpan yang lebih lama tergantung dari kadar air dan cara
penyimpanannya.Tingginya peningkatan konsumsi dan kebutuhan mie ini akan
seiring meningkatkan volume impor gandum sebagai bahan baku utama dalam
pembuatan tepung terigu, dimana merupakan bahan baku penting dalam pembuatan
mie.Tepung talas beneng dapat menghasilkan produk olahan pangan dengan
karakteristik yang sama seperti pangan olahan yang menggunakan tepung terigu
protein rendah dengan kandungan sebesar 7- 9%.CMC (Carboxy Methyl Cellulose)
REFERENSI
Astawan, M. 2003. Membuat Mie Dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta.
Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan
Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Mulyadi, A.F, Wignyanto, Anita N B. 2013. Pembuatan Mie Kering Kemangi
(Ocimum Sanctum L.) Dengan Bahan Dasar Tepung Terigu Dan Tepung
Mocaf (Modiied Cassava Flour) (Kajian Jenis Perlakuan Dan Konsentrasi
Kemangi). Proceeding Seminar Nasional “Konsumsi Pangan Sehat dengan
Gizi Seimbang Menuju Tubuh Sehat Bebas Penyakit” FTPUGM
Widyaningtyas, Mita., dan Wahono, H. Susanto. 2015. Pengaruh Jenis dan
Konsentrasi Hidrokoloid (Carboxy Methyl Cellulose, Xanthan Gum, dan
Karagenan) Terhadap Karakteristik Mie Kering Berbasis Pasta Ubi Jalar
Varietas Ase Kuning. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 3(2): 417-423.
Setyanto, N. W., Himawan, R., Zefry, D., Arifianto, E. Y., Rina, P., & Kurnia, N.
(2012). Perancangan alat pengering mie ramah lingkungan. Rekayasa
Mesin, 3(3), 411-420.
Febrianto, A. Mulyadi., Susinggih, Wijana., Ika, A. Dewi., dan Widelia, I. Putri.
2014. Karakteristik Organoleptik Produk Mie Kering Ubi Jalar Kuning
(Ipomoea batatas) (Kajian Penambahan Telur dan CMC). Jurnal
Teknologi Pertanian. Vol. 15(1): 25-36.
Perez, E., Schultz, F.S., and Delahaye, E.P. 2007. Characterization in Some
Properties of Starched Isolated from Santosoma Sagittifolium (Tannia)
and Colocasia esculenta L (Taro). J. Carbohydrate Polimer 60:139-145.
Sofyan, M. Budiarto., dan Yunia, Rahayuningsih. 2017. Potensi Nilai Ekonomi
Talas Beneng (Xanthosoma undipes K.Koch) Berdasarkan Kandungan
Gizinya. Jurnal Kebijakan Pembangunan Daerah. Vol. 1(1): 1-12.
Marliana, E. 2011. Karakterisasi dan Pengaruh NaCl terhadap Kandungan Oksalat
dalam Pembuatan Tepung Talas Banten. [Skripsi]. Institut Pertanian
Bogor.
Rusbana, TBR., Syabana, MA., Mulyati, S. 2012. Identifikasi Sifat Fungsional dan
Psikokimia Tepung dan Pati Talas Beneng dan Diverisfikasi Produknya
sebagai Bahan Pangan Sumber Karbohidrat Alternatif. Laporan Akhir
Penelitian Hibah Bersaing. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Suarnadwipa, N., dan Hendra, W. 2008. Pengeringan jamur dengan dehumifier.
Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Cakram. Vol 2 (1): 30-33.
Arafa, N. Ladamay., dan Sudarminto, S. Yuwono. 2014. Pemanfaatan Bahan Lokal
Dalam Pembuatan Foodbars (Kajian Rasio Tapioka : Tepung Kacang
Hijau dan Proporsi CMC). Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 2(1): 67-
78.
LAMPIRAN
Pada hasil WAI (%)
Water absorption index (WAI, %) = Increased wight of starch noodles after cooking x
100
Weight of uncooked starch noodle
Sampel A1 ulangan 1 = 2,46/ 4 x 100= 51,50
Sampel A1 ulangan 2 = 2,37/ 4,02 x 100= 58,96
Sampel A1 ulangan 3 = 2,46/ 4 x 100= 51,50
Sampel A2 ulangan 1 = 1.77 / 4,01 x 100= 44,14
Sampel A2 ulangan 2 = 1.74/ 4,01 x 100= 43,39
Sampel A2 ulangan 3 = 1,66/ 4,03 x 100= 41,19
Sampel A3 ulangan 1 = 09/ 4,06 x 100= 22,17
Sampel A3 ulangan 2 = 0,86/ 4,04 x 100= 21,29
Sampel A3 ulangan 3 = 0,82/ 4,03 x 100= 20,35
Sampel A4 ulangan 1 = 2,07/ 3,95 x 100= 52,41
Sampel A4 ulangan 2 = 2,01/ 4 x 100= 50,25
Sampel A4 ulangan 3 = 2/ 4,05 x 100= 49,38
Sampel A5 ulangan 1 = 2,39/ 4,04 x 100= 59,16
Sampel A5 ulangan 2 = 2,39/ 4,02 x 100= 59,45
Sampel A5 ulangan 3 = 2,39/ 4,05 x 100= 59,01
0,84
Sampel A5 = 4,036666667 𝑥 100
= 20,80925
1,21
Sampel A1 = 4,006666667 𝑥 100
= 30,19967
1,236667
Sampel A2 = 4,016666667 𝑥 100
= 30,7883
1,263333
Sampel A3 = 4,043333333 𝑥 100
= 31,24485
1,29
Sampel A4 = 𝑥 100
4
= 32,25
1,263333
Sampel A4 = 𝑥 100
4,036666667
= 31,29645
Organoleptic Rasa
No. FO BC DJ ZI RX AS
1. 5 5 5 6 4 5
2. 4 3 3 5 4 4
3. 5 4 4 6 5 5
4. 5 5 7 7 5 6
5. 3 3 3 3 5 3
6. 3 4 6 5 3 2
7. 3 4 2 5 6 4
8. 3 4 3 5 2 3
9. 2 3 2 4 2 4
10. 4 4 4 6 5 5
Rata-rata 3.7 3.9 3.9 5.2 4.1 4.1
Rata-rata Keseluruhan 4.15
Organoleptic Warna
No. FO BC DJ ZI RX AS
1. 5 4 4 6 4 5
2. 3 3 3 5 3 4
3. 3 3 3 5 3 3
4. 6 5 7 5 5 4
5. 5 4 2 6 4 3
6. 3 3 2 4 1 3
7. 6 5 5 6 4 5
8. 4 3 3 6 4 4
9. 5 4 4 6 4 4
10. 4 6 3 7 3 4
Rata-rata 4.4 4 3.6 5.6 3.5 3.9
Rata-rata Keseluruhan 4.167
Organoleptic Aroma
No. FO BC DJ ZI RX AS
1. 6 5 4 6 2 4
2. 4 3 3 5 3 3
3. 3 3 2 5 4 1
4. 4 4 4 5 3 6
5. 5 4 3 2 4 3
6. 5 3 4 2 4 3
7. 5 5 6 7 6 5
8. 3 4 3 4 3 3
9. 3 3 4 5 3 4
10. 5 4 5 6 5 6
Rata-rata 4.3 3.8 3.8 4.7 3.7 3.8
Rata-rata Keseluruhan 4.017
Organoleptic Tekstur
No. FO BC DJ ZI RX AS
1. 4 4 5 6 5 4
2. 3 2 1 4 2 2
3. 3 4 3 5 3 3
4. 3 4 3 5 4 6
5. 6 5 3 5 6 4
6. 2 3 1 2 4 4
7. 4 4 5 6 4 6
8. 4 4 3 6 5 4
9. 4 4 4 5 4 4
10. 4 4 3 6 6 5
Rata-rata 3.7 3.8 3.1 5 4.3 4.2
Rata-rata Keseluruhan 4.017