Anda di halaman 1dari 33

Kode Mata Kuliah : PWK21W0406

Mata Kuliah : Studio Perencanaan Kota

Tanggal Penyerahan : 2 Maret 2022

Dosen : Dr. Ir. Firmansyah, M.T

Ratih Rantini, ST., MT

Asisten Dosen : Meyliana Lisanti., ST., M.Si

Zaenal Ramhadani,, ST

PROPOSAL ASPEK TATAGUNA LAHAN KAWASAN PERKOTAAN


PADALARANG
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studio Perencanaan Kota

Disusun Oleh:
1. Rian Fitriadi (203060007)
2. Ceasar Faris Hersanto (203060027)
3. Fathan Muhammad (163060064)

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH KOTA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS PASUNDAN

BANDUNG
2022

i
DAFTAR ISI

ii
DAFTAR TABEL

1
DAFTAR GAMBAR

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007,
tentang penataan ruang menjelaskan wilayah adalah ruang yang merupakan
kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Dalam hal
ini, perencanaan wilayah merupakan hal yang krusial dalam penataan ruang.

Perencanaan adalah perhitungan dan penentuan tentang sesuatu yang akan


dijalankan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, siapa yang melakukan,
bilamana, dimana, dan bagaimana cara melakukannya (Prajudi Atmosurdirjo dan
Husaini Usman, 2008). Dalam perencanaan memerlukan setiap aspek, termasuk
aspek tata guna lahan. Perencanaan tata guna lahan (land use planning)
merupakan suatu proses perencanaan terhadap penggunaan/pemanfaatan lahan
dan alternatif pola tata guna lahan dengan mempertimbangkan faktor
pengembangannya, baik fisik, sosial, budaya, maupun ekonomi. Perencanaan tata
guna lahan ini memiliki tujuan diantaranya adalah untuk melakukan penentuan
pilihan dan penerapan salah satu pola tata guna lahan yang terbaik dan sesuai
dengan kondisi yang ada sehingga diharapkan dapat mencapai suatu sasaran
tertentu (Riyadi, 2003).
Penggunaan lahannya, daerah pinggiran merupakan wilayah yang banyak
mengalami perubahan penggunaan lahan terutama perubahan penggunaan lahan
pertanian menjadi non pertanian yang disebabkan adanya pengaruh perkembangan
kota di dekatnya. Penurunan luas lahan pertanian di wilayah ini perlu mendapat
perhatian khusus mengingat hal ini akan membawa dampak negatif terhadap
kehidupan kekotaan maupun kehidupan kedesaan (Eko & Rahayu, 2012).

Alih fungsi lahan dalam arti perubahan penggunaan lahan, pada dasarnya
tidak dapat dihindarkan dalam pelaksanaan pembangunan. Pertumbuhan
penduduk yang pesat serta bertambahnya tuntutan kebutuhan masyarakat akan
lahan, seringkali mengakibatkan benturan kepentingan atas penggunaan lahan
serta terjadinya ketidaksesuaian antara penggunaan lahan dengan rencana
peruntukannya (Eko & Rahayu, 2012).
Pada studio kota kali ini akan membahas terkait permasalahan yang ada di
Kawasan Perkotaan Padalarang. diperlukan peninjauan dari aspek tata guna lahan
untuk mengidentifikasi dan menganalisis potensi dan masalah serta melihat
tingkat perkembangan yang ada di Kawasan Perkotaan Padalarang sehingga dapat
mengetahui Konsep dan Strategi Pengembangan Kawasan Perkotaan Padalarang.

Kawasan yang kami kaji ialah Kecamatan Padalarang sebagai kawasan


perkotaan. Kawasan Perkotaan Kabupaten Bandung Barat merupakan salah satu
kawasan yang strategis Berdasarkan RTRW Kabupaten Bandung Barat Tahun
2009-2029, Kecamatan Padalarang termasuk ke dalam Kawasan Stratergis
Perkotaan.

Oleh karena itu, Pada studio kota ini yang akan dilaksanakan, diharapkan
dapat mengidentifikasi dan menentukan karakteristik, masalah serta potensi di
Kawasan Perkotaan Padalarang. Pentingnya aspek tata guna lahan didalam studi
ini merupakan upaya untuk tercapainya efektifitas dan efisiensi didalam
pemanfaatan ruang.
5

1.2 Isu Permasalahan

A. Berdasarkan BPBD KBB terdapat bencana longsor dengan ukuran


tinggi sekitar 20 meter dan lebar 25 meter dan juga bencana banjir yang
berada di Desa Jayamekar Kecamatan Padalarang yang di akibatkan
oleh curah hujan yang tinggi dengan waktu yang lama serta kondisi
tanah yang labil (Duddy Prabowo, 2020).
B. Berdasrkan BPBD saat musim kemarau kecamatan Padalarang
mengalami bencana kekeringan yang mengakibatkan krisis air bersih
(Duddy Prabowo, 2021).
C. Potensi gerekan tanah yang berada di Kawasan perkotaan Kabupaten
Bandung Barat masuk kedalam tingkat menengah-tinggi (Badan
Geologi, 2018).
6

1.3 Tujuan dan Sasaran


Ada pun tujuan dan sasaran sebagai berikut:

Tujuan

Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik potensi dan masalah serta


melihat peluang dan tantangan perkembangan yang ada di Kawasan Perkotaan
Padalarang Kabupaten Bandung Barat dilihat dari aspek Tata Guna Lahan.

Sasaran

Teridentifikasinya Isu, Potensi, dan Masalah dari Aspek Tata Guna Lahan
Kawasan Perkotaan Padalarang Kabupaten Bandung Barat meliputi :
1. Teridentifikasinya Penggunaan Lahan Eksisting di Kawasan Perkotaan
Padalarang;
2. Teridentifikasinya pemanfaatan ruang kapasitas daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup untuk pembangunan
3. Teridentifikasinya Kecenderungan Kawasan Terbangun dan Non Terbangun
di Kawasan Perkotaan Padalarang;
4. Teridentifikasinya Perubahan Lahan di Kawasan Perkotaan Padalarang;
5. Teridentifikasinya Potensi dan Masalah Penggunaan Lahan di Kawasan
Perkotaan Padalarang.

1.4 Ruang Lingkup


Ruang lingkup merupakan suatu batasan-batasan mengenai suatu materi. Pada
kajian studi ruang lingkup terbagi menjadi 2, yaitu Ruang Lingkup Wilayah dan
Ruang Lingkup Materi.
1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup Wilayah terdiri dari ruang lingkup eksternal dan ruang lingkup
internal sebagai berikut :
7

A. Ruang Lingkup Eksternal

Kawasan Kabupaten Bandung Barat terletak antara 06º 41’ - 07º 19’
Lintang Selatan dan 107º 22’-108º 05’ Bujur Timur. Kabupaten Bandung Barat
merupakan dataran tinggi yang memilki ketinggian 110 mdpl sampai 2.2429 mdpl.
Kabupaten ini berbatasan langsung dengan:
 Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Cianjur
 Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan
KabupatenSubang
 Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kota
Cimahi
 Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Selatan Kabupaten Bandung
dan Kabupaten Cianjur

Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 16 Kecamatan dengan luas wilayah


keseluruhan mencapai 1.305,77 km2. Berikut ini adalah tabel luas wilayah Kawasan
Perkotaan berdasarkan luas Kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung Barat.

Tabel I. 1 Luas Wilayah Kabupaten Bandung Barat


No Kecamatan Luas Kecamatan (Ha)

1 Rongga 11.312

2 Gununghalu 16.064

3 Sindangkerta 12.047

4 Cililin 7.779

5 Cihampelas 4.699

6 Cipongkor 7.996

7 Batujajar 3.204

8 Saguling 5.146

9 Cipatat 12.605
8

No Kecamatan Luas Kecamatan (Ha)

10 Padalarang 5.140

11 Ngamprah 3.601

12 Parongpong 4.515

13 Lembang 9.556

14 Cisarua 5.511

15 Cikalongwetan 11.293

16 Cipeundeuy 10.109

Total 130.577

Sumber: BPS Kabupaten Bandung Barat Dalam Angka 2021

Berdasarkan tabel di atas, Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 16


Kecamatan mulai dari Kecamatan Rongga sampai Kecamatan Cipeundeuy.
Untuk Kecamatan dengan luas terbesar yaitu Gununghalu dengan luas 16.064 ha,
sedangkan kecamatan dengan luas terendah yaitu Kecamatan Batujajar dengan
luas 3.104 ha.
9

Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Bandung Barat


10

Gambar 1.2 Peta Kawasan Perkotaan Padalara


11

B. Ruang Lingkup Internal

Kawasan Perkotaan Padalarang yang dikaji terdiri dari 7 desa dengan total
luas sebesar 5142.2 Ha. Batas-batas administrasi Kawasan Perkotaan Padalarang
Kabupaten Bandung Barat sebagai berikut :
 Sebelah utara : Desa Ciburuy, Kecamatan Padalarang
 Sebelah barat : Kecamatan Cipatat, Kecamatan Saguling
 Sebelah timur : Kecamatan Ngamprah
 Sebelah selatan : Kecamatan Batujajar
Terdapat 7 (tujuh) desa yaitu Cimerang, desa Cipeundeuy, desa
Jayamekar, desa Kertajaya, desa Kertamulya, desa Laksanamekar dan desa
Padalarang yang menjadi kawasan kajian. Lebih jelasnya, ditunjukan pada tabel
berikut :
Tabel II. 1 Luas Wilayah Kecamatan Padalarang Berdasarkan Desa
No. Desa Luas (Ha) Persentase
1. Cimerang 512.0 16%
2. Cipeundeuy 504.7 16%
3. Jayamekar 577.2 18%
4. Kertajaya 439.2 14%
5. Kertamulya 248.6 8%
6. Laksanamekar 422.9 13%
7. Padalarang 511.6 16%
Total 3216.1 100%
Sumber: Hasil Analisis, 2021

Berdasarkan tabel di atas, desa terluas yang ada di Kecamatan Padalarang


Kabupaten Bandung Barat berada di Desa Jayamekar seluas 577 Hektar,
sedangkan luas desa tersempit berada di Desa Kertamulya seluas 248.6 Hektar.
12

1.4.2 Ruang Lingkup Materi

Ruang lingkup materi adalah suatu batasan kajian pada suatu materi yang
lebih detail mengenai isi pada materi tersebut. Adapun untuk ruang lingkup
substansi aspek tata guna lahan akan dijabarkan seperti di bawah ini:
1. Mengidentifikasi Penggunaan Lahan Eksisting di Kawasan Perkotaan
Padalarang;
2. Mengidentifikasi pemanfaatan ruang kapasitas daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
3. Mengidentifikasi Kecenderungan Kawasan Terbangun dan Non
Terbangun di Kawasan Perkotaan Padalarang untuk mengetahui gaya
kecenderungan Kawasan terbangun dan non-terbangun apakah gaya
sebtrifugal atau sentripental;
4. Mengidentifikasi Perubahan Lahan di Kawasan Perkotaan Padalarang untuk
mengetahui perkembangan penggunaan lahan dari penggunaan lahan
lampau dengan penggunaan lahan eksisting;
5. Mengidentifikasi Potensi dan Masalah Penggunaan Lahan di Kawasan
Perkotaan Padalarang.
13

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan proposal aspek tata guna lahan meliputi :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan dan sasaran, ruang
lingkup wilayah dan materi, dan sistematika penulisan proposal.
BAB II TINJAUAN TEORI
Bab ini menguraikan tentang teori – teori yang akan menjadi tinjauan
pembahasan dalam aspek tata guna lahan.
BAB III METODOLOGI
Bab ini menguraikan mengenai pendekatan, metode pengumpulan data,
metode analisis dan kerangka berfikir yang digunakan dalam penelitian ini
14

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Tinjauan Teori Perkotaan
Menurut UU No. 24/1992 mendefinisikan kawasan perkotaan adalah kawasan yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan Perkotaan boleh jadi merupakan
aglomerasi kota (otonom) dengan kota-kota fungsional di wilayah sekitarnya yang
memiliki sifat kekotaan, dapat melebihi batas wilayah administrasi dari kota yang
bersangkutan. Di dalam (UU No. 26 Tahun 2007) disebutkan bahwa kawasan perkotaan
adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
2.1.1. kriteria Kawasan perkotaan
Perkotaan adalah suatu pemukiman yang relatif besar, padat dan
permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi
sosial, yang dijabarkan dalam 10 kriteria yang lebih spesifik untuk
merumuskan kota. Menurut Restina (2009) 10 kriteria tersebut adalah
sebagai berikut :
a. ukuran dan jumlah penduduk yang besar terhadap massa dan tempat,

b. bersifat permanen,

c. Kepadatan minimum terhadap jumlah penduduk dan luas wilayah,

d. struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukkan jalur

jalan dan ruang perkotaan yang nyata

e. heterogenitas dan pembedaan yang bersifat hirarki pada masyarakat,

f. pusat ekonomi perkotaan yang menghubungkan sebuah daerah


pertanian ditepi kota dan memeroses bahan mentah untuk pemasaran
yang lebih luas

2.1.2. Perencanaan Kota


Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PRT/M/2009
mengenai Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota,
rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Rencana tata ruang
wilayah adalah hasil perencanaan tata ruang pada wilayah yang merupakan
kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administratif.
15

2.2. Tinjauan Teori Tata Guna Lahan


Pengertian yang luas digunakan tentang lahan ialah suatu daerah
permukaan daratan bumi yang ciri-cirinya mencakup segala tanda
pengenal, baik yang bersifat cukupmantap maupun yang dapat
diramalkan bersifat mendaur, dari biosfer, atmosfer, tanah, geologi,
hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, serta hasil kegiatan
manusia pada masa lampau dan masa kini, sejauh tanda-tanda pengenal
tersebut memberikan pengaruh murad atas penggunaan lahan oleh
manusia pada masa kini dan masa mendatang (FAO, 1977).
Lahan merupakan kesatuan berbagai sumberdaya daratan yang
saling berinteraksimembentuk suatu sistem struktural dan fungsional.
Sifat dan perilaku lahan ditentukan oleh macam sumberdaya yang
merajai dan macam serta intensitas interaksi yang berlangsung antar
sumberdaya. Faktor-faktor penentu sifat dan perilaku lahan tersebut
bermatra ruangdan waktu. Maka lahan selaku suatu ujud pun bermatra
ruang dan waktu.
Ada dua macam harkat lahan, yaitu kemampuan (capability) dan
kesesuaian atau keserasian (suitability). Dua macam pengharkatan itu
berbeda dalam hal maksud penilaian. Penilaian kemampuan bermaksud
menetapkan pembenahan pengelolaan yang diperlukanuntuk mencegah
degradasi lahan. Pembenahan ini mencakup pemilihan
bentukpenggunaan dan upaya konservasi yang perlu diterapkan dalam
mengembangkan suatu program konservasi jangka panjang. Penilaian
kesesuaian bermaksud menetapkan pengelolaan khas yang diperlukan
untuk memperoleh nasabah lebih baik antara manfaat dan masukan yang
diperlukan, baik berdasarkan pengalaman maupun berdasarkan
antisipasi. Jadi, istilah
16

kesesuaian lahan berkonotasi ekonomi. Pengharkatan kesesuaian


merupakan sarana menaksir produktivitas usahatani yang dijalankan
secara khas (Murray,1963; Brinkman, 1973; Bennet, 1939).
2.2.1. Penggunaan lahan
Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur
tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang
bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhikebutuhan hidup baik material
maupun spiritual(Arsyad, 1989). Secara umum penggunaan lahan di Indonesia
merupakan akibat nyata dari suatu prosesyang lama dari adanya interaksi yang
tetap, adanya keseimbangan, serta keadaan dinamis antara aktifitas-aktifitas
penduduk diatas lahan dan keterbatasan- keterbatasan di dalam lingkungan
tempat hidup mereka.
Salah satu tujuan utama dari pemanfaatan lahan adalah untuk mendapatkan
nilai tambah tertinggi dari kegiatan yang diselenggarakan di atas lahan. Menurut
Chapin dan Kaiser (1979) kebutuhan penggunaan lahan dalam struktur tata ruang
kota/wilayah berkaitan dengan 3 sistem yang ada yaitu:
 Sistem kegiatan, manusia dan kelembagaannya untuk memenuhi
kebutuhannya berinteraksi dalam waktu dan ruang.
 Sistem pengembangan lahan yang berfokus untuk kebutuhan manusia dalam
aktifitas kehidupan.
 Sistem lingkungan berkaitan dengan kondisi biotik dan abiotik dengan air,
udara dan material.
2.2.2. Pola penggunaan lahan
Susunan Penggunaan lahan pada suatu wilayah akan membentuk pola
yang berbeda – beda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Menurut
Bintarto (1977:56), adanya perbedaan luas daerah kota, unsur topografi, faktor
social, faktor budaya, faktor politik, dan faktor ekonomi. Pembahasan pola
penggunaan lahan dan faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola
tersebut terbagi menjadi :
 Pola Penggunaan Lahan Di Kawasan Perkotaan
Secara teoritis, terdapat 3 (tiga) model pola penggunaan lahan di
17

perkotaan, yaitu Concentric, Sektor, Multiplei Nuclei Concept.


 Teori Jalur Sepusat (Concentric Zone Theory)
Teori ini membagi 5 (lima) zona penggunaan lahan dalam
kawasan perkotaan yaitu sebagai berikut:
1) Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (central business
district atau CBD), yang terdiri atas: bangunan –
bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar dan toko
pusat perbelanjaan.
2) Pada lingkaran tengah pertama terdapat jalur alih yaitu
terdiriatas rumah – rumah sewaan, kawasan industry, dan
perumahan buruh yang relative sempit/kumuh. Zona ini
disebut juga dengan zona peralihan atau transition zone.
3) Pada lingkaran tengah kedua terletak jalur wisma buruh,
yakni kawasan perumahan untuk tenaga kerja pabrik.
Penduduk zona ini terdiri dari buruh rendahan, banyak
yang berasal dari zona peralihan dan migran, serta buruh
menengah. Pertimbangan pemilihan lokasi sebagai tempat
tinggal adalah karena dekat dengan tempat kerja. Kondisi
rumah relative tidak berdempetan lagi. Zona ini disebut
juga dengan Zone of Working men’s home.
4) Pada lingkaran luar terdapat jalur mdyawisma, yakni
kawasan perumahan yang luas untuk tenaga kerja halus
dan kaum madya (middle class). Zona ini disebut juga
dengan Zone of better residences.
18

5) Di lingkaran luar terdapat jalur ulang – alik: sepanjang


jalan besar terdapat perumahan masyarakat golongan
madya dan golongan atas. Zona ini disebut juga dengan
Zone of Commuters.

Gambar 2.6 Pola penggunaan Lahan jalur


Sepusat (Concentric Zone Theory)

 Teori Sektor (Sector Theory)


Konsep yang dikemukakan Homer Hoytini menyatakan bahwa
kota tersusun sebagai berikut:
1) Pada lingkaran pusat terdapat pusat kota atau CBD
2) Pada sector tertentu terdapat kawasan industry ringan dan
kawasan perdagangan
3) Dekat pusat kota dan dekat sekotr tersebut, pada bagian
sebelah menyebelahnya terdapat sector murbawisma,
yaitu kawasan tempat tinggal kaum murba atau kaum
buruh.
4) Agak jauh dari pusat kota dan sector industry serta
perdagangan terletak sekotr madyawisma.
5) Lebih jauh lagi terdapat sekotr adiwisma, kawasan
tempat tinggal golongan atas. Secara singkat pola
penggunaan lahan menurut teori sector, dapat dilihat
padagambar 2.1
19

Gambar 2.6 Pola Penggunaan Lahan Sektor

 Teori Pusat Lipat Gamda (Multiplei Nuclei Concept)


Teori Multiple-Nuclei atau teori Inti Ganda ini dikemukakan oleh
C.D Harris dan F.L. Ullman (1945). Teori yang dikemukankan
oleh Haris dan Ullman ini menyatakanbahwa kawasan pusat kota
tidak dianggap satu – satunya pusat kegiatan atau pusat
pertumbuhan tetapi suatu rangkaian pusat kegiatan atau pusat
pertumbuhan dengan fungsi yang berlainan seperti industry,
rekreasi, perdagangan dan sebagainya.

2.2.3. Perubahan penggunaan lahan


Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu
penggunaan lahan dari satu sisipenggunaan ke penggunaan yang lainnya
diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu
waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun
waktu yang berbeda (Martin, 1993 dalam Wahyunto dkk.,2001). Perubahan
penggunaan lahan dapat mempengaruhi sistem ekologi setempat
diantaranya pencemaran air, polusi udara (Hu, et al., 2008), perubahan iklim
lokal (Mahmood, et al., 2009; Hu, etal., 2008), berkurangnya
keanekaragaman hayati(Sandin, 2009), dinamika aliran nitrat (Poor and
McDonnell, 2007), serta fluktuasi pelepasan dan penyerapan CO2 (Canadell,
2002).
Suatu kegiatan pembangunan dapat mendampak banyak
komponen kehidupan sekaligus, seperti pendapatan, konsumsi,
ketersediaan pangan dan sumberdaya alam pokok (natural resource
base).
20

Dampaknya kepada berbagai komponen lebih sering tidak sama, baik


dalam hal intensitasnya maupun dalam hal akibatnya (positif atau
negatif). Maka Mc Cracken mengatakan pelu dikembangkan suatu sistem
pemantauan dampak dengan indikator-indikator yang handal. Hal ini
terutama diperlukan berkenaan dengan kegiatan tersebut, disamping
paling banyak dan paling luas mendampak lahan, juga paling berperan
dalam menyelamatkan dan memelihara sumberdaya lahan bagi
keterlanjutan fungsi sumberdaya tersebut.
Menurut McCracken, mengembangkan indikator-indikator untuk
memantau dampak program-program pertanian dan perhutanan justru
sangat sulit. Dia mengusulkan delapan indikator murad untuk
mengunjukkan kecenderungan dan status kini sumberdaya lahan :
1. Produktivitas tanah ,dengan parameter erosi, status hara tanah,
cekaman tanah (soil stresses) berupa kemasaman, alkalinitas, sainitas,
dan toksisitas, serta upaya pemeliharaan dan pembenahan kesuburan
tanah.
2. Efektifitas dan efisiensi penggunaan dan pengolahan lahan, dengan
parameter kemampuan dan kesesuaian lahan, pola pertanaman, sistem
usaha tani danketerlanjutan produksi.
3. Penutupan vegetasi dan kesehatan tanaman, dengan parameter ragam
vegetasi dan daerah agihannya, ragam penggunaan lahan menurut
pengelompokan hutan, perumputan dan pertanaman budidaya, dan
hama serta penyakit tanaman.
4. Hutan tani (agroforestry) dan pasokan kayu bakar, dengan parameter
penghijauan danpenghutanan.

5. Padang penggembalaan, dengan parameter tingkat penutupan dan


daerah agihannya, vegetasi klimaks dan daya dukung untuk ternak.
Pasokan air, dengan parameter jumlah dan ketersediaan musiman
untuk pertanaman dan ternak, anggaran dan neraca air, banjir,
kekeringan,dan penyelenggaraan irigasi.
6. Mutu lingkungan, dengan parameter mutu sumberdaya air, mutu udara,
21

produktivitas tanah, beban sediman dalam sungai, habitat ikan dan


margasatwa, pencagaran lahan basah dan jalur mangrove, serta
pencemaran.
7. Proses degradasi umum yang dipercepat, dengan para meter
desertifikasi wilayah, pengendapan debu dan pasir, pergerakan
permukaan tanah,penggaraman tanah, erosi,penurunan air tanah, dan
pemburukan ekosistem.

8. Pasokan air, dengan parameter jumlah dan ketersediaan musiman


untuk pertanaman dan ternak, anggaran dan neraca air, banjir,
kekeringan,dan penyelenggaraan irigasi.

2.2.4. Kecenderungan kawasan terbangun


Lahan terbangun (built up area) merupakan lahan yang sudah mengalami
proses pembangunan atau perkerasan yang terjadi di atas lahan tersebut. Ada
juga yang menyebut lahan terbangun sebagai lingkungan terbangun. T.
Bartuska dan
G. Young (1994) menjelaskan definisi lingkungan terbangun (built environment)
sebagai segala sesuatu yang dibuat, disusun dan dipelihara oleh manusia untuk
memenuhi keperluan manusia untuk menengahi lingkungan secara keseluruhan
dengan hasil yang mempengaruhi konteks lingkungan. Lingkungan terbangun
tersebut meliputi bangunan, jalan, fasilitas umum dan sarana lainnya.
Permukiman diartikan sebagai suatu wadah fisik (perumahan) dengan
sarana perpaduan antara wadah dan isinya yakni manusia yang hidup
bermasyarakat dan didalamnya memiliki unsur budaya (Sudharto, 2005).
Selanjutnya Catanese (1996), mengemukakan bahwa masalah kualitas
lingkungan yang terjadi di kawasan perumahan mengacu pada berbagai hal,
meliputi: Kulitas lingkungan fisik; Kualitas dan kelengkapan sistem pelayanan
kota. Berdasarkan teori tersebut aspek fisik yang meliputi fisik bangunan rumah
itu sendiri maupun fisik prasarana dan sarana perumahan dan permukiman
merupakan faktor penting yang mempengaruhi kualitas suatu lingkungan
perumahan dan permukiman.
Penurunan kualitas lingkungan di kawasan permukiman ditandai dengan
kondisi kepadatan bangunan dalam lingkungan yang tinggi, proporsi ruang
22

terbuka dan tamantaman dalam lingkungan yang semakin menipis, tidak


mencukupinya prasarana dan sarana lingkungan yang tersedia, menurunnya
tingkat pelayanan fasilitas umum, serta hilangnya ciri khas dari suatu daerah
permukiman (Budiharjo, 1991).
23

BAB III
METODOLOGI

3.1 Metode Pendekatan


Dalam melakukan penelitian ini dilakukan tiga pendekatan diantaranya:
A. Pendekatan Kualitatif
Menurut Denzin dan Lincoln (1987) Penelitian Kualitatif adalah penelitian
yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang
terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.
Menurut Jane Richie Penelitian Kualitatif adalah upaya untuk menyajikan dunia
sosial , dan perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan
persoalan tentang manusia yang diteliti.
Menurut Bodgan dan Taylor (1975:5) yang mendefinisikan bahwa
kualititatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Kirk dan Miller
(1986:9) mendefinisikan bahwa kualitatif adalah tradisi tertentu yang bersifat
fundamental yang bergantung dengan pengamatan pada manusia dalam
kawasannya sendir dan berhubungan dengan orang-orang tersebut baik bahasanya
maupun peristilahannya.
B. Pendekatan Kuantitatif
Menurut Nana Sudjana dan Ibrahim (2001) penelitian kuantitatif adalah
penelitian yang didasari pada asumsi, kemudian ditentukan variabel, dan
selanjutnya dianalis dengan menggunakan metodemetode penelitian yang valid,
terutama dalam penelitian kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah penelitian
yang analisisnya lebih fokus pada data-data numerikal (angka) yang diolah
dengan menggunakan metode statistika. Pada umumnya penelitian menggunakan
pendekatan kuantitatif merupakan penelitian sampel besar, karena pada
pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian inferensial yaitu dalam rangka
pengujian hipotetsis dan menyandarkan kesimpulan pada suatu probabilitas
kesalahan penolakan hipotesis nihil. Dengan menggunakan pendekatan ini, maka
akan diperoleh signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti. Metode
24

kuantitatif adalah metode utama, sedangkan data kualitatif sebagai data


penunjuang.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penyusunan laporan ini


menggunakan metode pengumpulan data secara deskriptif, yaitu data-data yang
telah diperoleh baik secara langsung dari obyek (pengumpulan data primer)
maupun secara tidak langsung dari pihak lain atau instansi (pengumpulan data
sekunder). Secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu :
A. Pengumpulan Data Primer
Data yang diperoleh langsung dari lapangan mengamati obyek yang
menjadi sasaran penelitian. Adapun bentuk pengumpulan data primer yaitu :
 Observasi lapangan dilakukan dengan mengamati keadaan wilayah studi
untuk mendapatkan informasi secara langsung terhadap kondisi eksisting
wilayah studi
1. Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan jalan
tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis dan
berlandaskan kepada tujuan penelitian (Lerbin,1992 dalam Hadi,
2007)Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dalam
metode survei yang pertanyaan secara lisan kepada responden atau
pihak terkait. Teknik wawancara dilakukan jika memerlukan
komunikasi atau hubungan dengan responden mengenai masalah
yang dibutuhkan yang tidak ada pada data sekunder yang di
dapatkan mengenai kependudukan atau pertanyaan untuk
melengkapi penjelasan data sekunder. Wawancara dilakukan
terhadap responden yang dianggap dapat mewakili kelompoknya.
2. Interview/Kuesioner Kuesioner dibuat bila data yang dibutuhkan
diperkirakan sulit diperoleh dari hasil wawancara atau data
sekunder ditujukan kepada masyarakat. Interview bertujuan untuk
mendapatkan data kondisi sosial budaya masyarakat dan kondisi
25

sarana dan prasarana di Kawasan Perkotaan Radalarang. Untuk


penentuan jumlah responden bagi pengambilan kuisioner yang
dilakukan oleh aspek sarana dan prasarana dan aspek
kependudukan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Kami
menggunakan tabel issac penentuan jumlah sampel dari Isaac dan
Michael untuk menentukan jumlah kuisioner yang di butuhkan
berdasarkan tingkat kesalahan 1%, 5% dan 10% untuk menentukan
jumlah responden dengan menggunakan tingkat kesalahan 5 %
karena kami anggap tingkat akurasi yang cukup akurat dan jumlah
kuisioner yang tidak terlalu banyak karena terbatasnya dan serta
waktu. Menggunakan metode sampel issac karena sampel yang
digunakan lebih sedikit dari pada menggunakan slovin dan taro
Yamane.
B. Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder Merupakan pengambilan data yang diperoleh
dari sumber lain (buku-buku yang berkaitan studi atau instansi-instansi tertentu)
yang sudah diolah sebelumnya.

3.3 Metode Analisis

Metodologi adalah tata cara atau jalan yang ditempuh sehubungan dengan
penelitian yang dilakukan, yang memiliki langkah-langkah yang sistematis untuk
menyelesaikan masalah yang dibahas dengan mendayagunakan sumber data
danfasilitas yang ada. Metodologi juga merupakan cara kerja untuk dapat
memahami hal yang menjadi sasaran penelitian yang bersangkutan, meliputi
prosedur penelitian dan teknik penelitian (Hasan, 2002).
Metoda Analisis penggunaan lahan yang dilakukan dalam wilayah kajian
dimaksudkan untuk menghasilkan pola pemanfaatan ruang yang mampu menjadi
wadah bagi berlangsungnya berbagai kegiatan masyarakat serta keterkaitan
fungsional antara kegiatan, sehingga tercipta keserasian antara satu kegiatan
dengan kegiatan lain serta tetap menjaga kelestarian lingkungan dalam
mengembangkan penggunaan lahan.
26

3.3.1 Metode Analisis Deskriptif

Metodologi penelitian deskriptif adalah sebuah metode penelitian yang


menggambarkan objek penelitian berupa data-data yang sudah ada. Dalam
penelitian deskriptif, peneliti tidak mungkin memanipulasi dan mengkontrol data
atau variable penelitian. Dengan demikian, penelitian ini dikenal sebagai
penelitian noneksperimental karena data yang diteliti, baik data saat ini maupun
data di masa lalu sudah ada dan tidak mungkin di manipulasi.
Tujuan utamanya adalah untuk menggambarkan karakteristik subjek
ataupun objek penelitian secara terperinci dan sistematis. Penelitian ini sangat
sederhana karena tidak perlu data statistik yang rumit untuk menggambarkan
subjek dan objek penelitian.
3.3.2 Metode Analisis Superimpose
Teknik overlay merupakan pendekatan yang sering dan baik digunakan
dalam perencanaan tata guna lahan/landscape. Teknik ini dibentuk melalui
pengunaan secara tumpang tindih (seri) suatu peta yang masing-masing mewakili
faktor penting lingkungan atau lahan. Pendekatan teknik overlay efektif
digunakan untuk seleksi dan identifikasi dari berbagai jenis dampak yang muncul.
Kekurangan dari teknik ini adalah ketidakmampuan dalam kuantifikasi serta
identifikasi dampak (relasi) pada tingkat sekunder dan tersier. Perkembangan
teknik overlay saat ini mengarah pada teknik komputerisasi (Canter, 1977).
3.3.3 Metode Intensitas Pemanfaatan Ruang
a. Metode Koefisien Dasar Bangunan

KDB dihitung berdasarkan nilai presentase yang sudah ditetapkan oleh


pejabat pemerintah setempat. Sebagai contoh yakni daerah A memiliki nilai KDB
sebesar 75%. Artinya luas bangunan yang didirikan di daerah A tersebut tidak
boleh melebihi 75 persen dari luas tanahnya. Sehingga apabila Anda memiliki
sebidang tanah di daerah A dengan luas 400 m2, maka luas maksimal lantai dasar
bangunan yang diizinkan untuk dibuat adalah 300 m2, sedangkan 100 m2 sisanya
harus dijadikan RTH. Sisa lahannya digunakan untuk ruang terbuka hijau yang
berfungsi sebagai area resapan air. Berikut adalah Cara menghitung KDB :
27

Luas Lantai Dasar


KDB= x 100
Luas Lahan
b. Metode Koefisien Lantai Bangunan

Angka presentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung


dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata
ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan. Berikut adalah cara menghitung
KLB:
Luas Seluruh Lantai
KLB=
Luas Lahan
c. Metode Koefisien Dasar Hijau

Koefisien Dasar Hijau (KDB) adalah presentase berdasarkan perbandingan


antara total luas daerah hijau dengan luas kavling/pekarangan. Koefisien Dasar
Hijau (KDH) ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian lingkungan/resapan air
permukaan. Berikut adalah cara menghitung KDH :
KDH = Luas Lahan x Luas Lahan Hijau (dalam %)
28

3.5 Matriks Analisis


Matriks Analisis
Sumber Bentuk
No Sasaran/Output Metodologi Jenis Data Instansi
Data Data
Deskriptif
1 Penggunaan Lahan (kualitatif dan
Eksisting kuantitatif) Peta
Penggunaan
Deskriptif Lahan
Analisis Pola (kualitatif dan Eksisting
2
Penggunaan Lahan kuantitatif) dan Tahun Terbaru
Overlay

RTRW
Kabupaten
Deskriptif Bandung
Kecenderungan
(kualitatif dan Barat
3 kawasan terbangun
kuantitatif) dan Tahun Bappeda,
dan non terbangun Peta
Overlay terbaru Peta, SHP, PUPR bagian
Penggunaan
dan tata ruang, dan
Lahan
Dokumen Dinas Tata
Eksisting 10
Ruang
Tahun
Kecenderungan Deskriptif Kebelakang
4 Perubahan (kualitatif dan
Penggunaan Lahan kuantitatif)

Potensi dan Masalag


Penggunanaan Lahan
5
di Kawasan
Perkotaan Padalarang
29

3.5 Kerangka Analisis

DATA

Penggunaan lahan Pola penggunaan Kecenderungan Intensitas


eksisting kawasan Terbangun Perubahan
lahan Pemanfaatan Ruang
dan non terbangun Penggunaan Lahan

METODOLOGI

Deskriptif (Kualitatif & Kuantitatif) dan SuperImpose

OUTPUT

Peta Guna Lahan Perkotaan Padalarang

Teridentifikasinya Karakteristik, potensi dan permasalahan aspek tata guna lahan Perkotaan
Padalarang
30

Anda mungkin juga menyukai