PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arti iman dalam Al-Qur’an maksudnya membenarkan dengan
penuh Keyakinan bahwa Allah SWT. mempunyai kitab-kitab yang
diturunkan kepada hamba-hambaNya dengan kebenaran yang nyata
dan petunjuk yang jelas. Dan bahwaNya Al-Qur’an adalah kalam
Allah yang Ia firmankan dengan sebenarnya
Mnurut Ali bin Abi Talib mengatakan bahwa iman adalah ucapan
dengan lidah dan kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan
dengan anggota.
seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman)
sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila
seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi
tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan,
maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang
sempurna. Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu
kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Iman yang buruk menunjukan iman yang lemah. Karena pada
dasarnya keimanan yang kokoh akan mengantarkan seseorang pada
jalan kebaikan. Sedangkan keimanan yang buruk merupakan cerminan
dari iman yang lemah. Keimanan yang buruk bisa terpancar baik dari
dalam hatinya maupun dari sikap dan moril sehari-harinya.
Setiap orang memiliki pehaman yang berbeda-beda, terutama
dalam hal keimanan. Terkadang seseorang terlena dengan hal-hal yang
terlalu biasa. Hal-hal yang sering terjadi sehari-harinya. Apabila kita
terlalu menikmati hidup tanpa memikirkan akhirat maka iman kita
perlu dipertanyakan. Bukankah nikmat ketenangan itu adalah salah
satu anugerah yang diberikan Tuhan kepada umatnya. Kita sebagai
umatnya patutlah untuk mengimani dan berserah diri hanya kepada
Khadiratnya.
Ahlak adalah manifestasi dari iman, maka baik atau buruknya
iman seseorang bisa dilihat dari ahlaknya. Akan tetapi seseorang tidak
bisa mengklaim iman orang lain apakah baik atau buruk, karena
keimanan itu terpancar dari qolbunya. Bagaimana ia mengimani
Tuhannya, Malaikatnya, Kitab-kitab Sucinya, Takdirnya, Serta
mengimani hari pembalasan yang akan datang. Wa’llahu Allam
Bi’sawab.
B. Rumusan Masalah
Setelah mempertimbangkan persoalan yang muncul seperti dalam
uraian sebelumnya, maka hal-hal yang perlu mendapat jawaban cukup
memadai dalam penelitian ini adalah:
1. Apa pengertian dari iman serta arti dari iman itu sendiri ?
2. Mengapa ahlak merupakan manifestasi dari iman ?
3. Apa saja perbuatan yang merupakan tanda dari lemahnya
iman?
4. Apa saja yang bisa membuat seseorang termotivasi untuk
menanamkan iman yang baik?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini dimaksudkan mampu:
1. Mengungkapkan berbagai pengertian dan pemahaman mengenai
iman
2. Mengerti dan paham akan arti dari rukun iman
3. Mengetahui perbuatan yang menunjukan lemahnya iman dan cara
memotivasi diri untuk menanamkan iman yang baik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.Rukun Iman
Rukun Iman adalah tiang-tiang fondasi keimanan dari seorang muslim,
apabila ia memiliki dan mengamalkan rukun iman, maka dia akan memiliki
keimanan yang kuat. Dan apabila ia mengabaikan rukun iman dalam hidupnya,
maka ia akan dengan mudah diguncang hatinya dengan berbagai masalah dan
kegelisahan dalam keimanan.
Terdapat enam rukun iman, yang didasarkan pada ayat-ayat Jibril pada
kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang diriwayatkan oleh Umar bin
Khattab. Berikut keenam rukun iman tersebut:
a. Iman kepada Allah SWT
Yaitu percaya kepada Allah, orang yang beriman kepada Allah akan
mendapatkan ketengan jiwa yang muncul dari kalbu secara ikhlas. Adapun
yang utama kita beriman kepada Allah yaitu kita menyakini bahwa tiada Tuhan
selain Allah.
Hal pertama yang wajib di amalkan oleh seorang muslim untuk menambah
keimanannya dalam islam adalah anda harus mengimani tentang keberadaan
Allah Subhanallahu wa ta’ala. Seperti halnya saat anda ingin menjadi seorang
muslim sepenuhnya, maka anda harus mengucapkan dua kalimat syahadat yang
menunjukkan bahwa anda bersedia untuk beriman.
“Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan Allah.” Hal ini menunjukkan bahwa saat anda
memilih islam sebagai agama anda, maka anda harus mengakui keesaan dari
Allah dan tidak ada dzat apapun yang mampu menjadi pesaing maupun mampu
menjadi sekutu Nya.
Cara beriman kepada Allah ada dua macam, yaitu beriman kepada Allah
secara rububuiah yang berarti bahwa tiada yang mampu mencipta, menguasai
dan mengatur alam semesta kecuali Allah. Dan secara uluhiah yang berarti
bahwa tidak ada dzat yang berhak disembah kecuali Allah dan mengingkari
adanya tuhan lain selain Allah.
Mengimani sifat Allah, yakni wujud, qidam, baqa’, almumatsalatu lil
hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, wahdaniyat, qudrat, iradah, ilmu, hayat, sama’,
bashar’ kalam, qadiran, muridan, ‘aliman, hayyan, samian, basyiran,
mutakalliman. Mengimani sifat Allah dapat membantu anda untuk terus
menambah keimanan kepada Allah.
Salah satu dari beberapa tugas Nabi Muhammad saw di muka bumi adalah
untuk menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah SAW bersabda,
“Bahwasanya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak.” (HR.
Ahmad).
Beliau begitu lembut tutur katanya, santun perangainya, dan bijaksana
dalam bersikap. Keluhuran akhlak beliau dapat kita mengerti karena beliau
merupakan manusia yang terjaga dan dijaga langsung oleh Allah swt. Bahkan
ketika beliau berbuat sedikit saja kesalahan langsung mendapat teguran dari Allah
swt. Akan tetapi yang lebih penting lagi kita perlu cermati adalah keluhuran
akhlak beliau ini merupakan manifestasi keimanan beliau yang begitu besar dan
mendalam kepada Allah swt. Tugas di atas tentu saja tidak bersifat parsial tetapi
justru holistik atau menyatu, berkait dan berkelindan. Dengan demikian kita
pahami bahwa akhlak mulia itu tidak berdiri sendiri di suatu sisi lalu keimanan itu
berdiri di sisi yang lainnya. Keduanya adalah satu kesatuan.
Dalam suatu hadits dinyatakan bahwa sesungguhnya Allah swt tidak
memerlukan ibadah yang kita kerjakan, melainkan ibadah yang seorang muslim
lakukan adalah demi kebaikan diri mereka sendiri. “Bacalah Kitab (Al-Quran)
yang diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dan (ketahuilah)
mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain).
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ankabut: 45).
Allah swt berfirman, “Bahwasanya Aku menerima shalat hanya dari
orang yang bertawadhu dengan shalatnya dengan keagunganKu yang tidak terus
menerus berdosa, menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk berdzikir
kepadaKu, kasih sayang kepada fakir miskin, ibnu sabil, janda, serta mengasihi
orang yang mendapat musibah.” (terjemah Hadits Qudsi, Hadits Riwayat Al
Bazzar).
Kondisi faktual iman seseorang dapat diketahui dari perilaku dan
akhlaknya. Iman yang kokoh kuat akan dimanifestasikan dalam bentuk akhlak
yang baik dan mulia. Sedangkan akhlak yang buruk dan hina adalah gambaran
yang diberikan oleh imannya yang lemah. Sosok yang lemah imannya akan
mudah tergelincir kepada perbuatan buruk yang merugikan dirinya. Akhlak
sendiri adalah suatu sikap perilaku yang spontan dan tidak dibuat-buat. Oleh
karena itu reaksi spontan dari kebaikan iman seseorang adalah perilaku dan
akhlaknya yang baik.
Guna menjaga stabilitas tingkat keimanan Allah swt telah memperingatkan
pada kita dalam firmannya yaitu “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At
Taubah: 119).
Tuntutan atas iman dan takwa seseorang adalah dengan berbuat baik dan
benar. Manifestasi dari ketinggian iman seseorang adalah akhlak dan perbuatan
baik yang dilakukan. Rasulullah saw telah memberikan gambaran kelemahan
iman seseorang yang berwujud pada hilangnya rasa malu. Rasulullah saw
bersabda, “Rasa malu dan iman itu sebenarnya padu menjadi satu, maka
bilamana lenyap salah satunya hilang pulalah yang lain.”
Berbagai macam bentuk ibadah sebagaimana termaktub dalam rukun
Islam seperti shalat, puasa, zakat, dan haji serta ibadah-ibadah sunnah lainnya
adalah program-program yang telah diajarkan oleh Islam. Semua program ibadah
itu ditetapkan sebagai sarana untuk mensucikan jiwa dan memelihara
kehidupannya yang mulia dalam cahaya iman takwa. Sehingga bagi jiwa-jiwa suci
yang kehidupannya selalu dipandu cahaya kebenaran itu yang kesehariannya
adalah mereka-mereka yang berakhlak yang mulia, berperilaku yang santun,
berbudi pekerti yang baik. Sekali lagi, intisari ibadah adalah untuk mensucikan
jiwa, hati, dan pikiran untuk memperluas dan memperdalam hubungan dan
interaksi dengan Allah swt dan juga sesama manusia serta makhluk Allah swt
lainnya.
Rasulullah saw bersabda, “Kaum mukminin yang paling sempurna
imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara mereka.” (HR.
Ahmad dan Abu Dawud).
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di
antara kalian dan orang yang paling dekat duduknya denganku pada hari kiamat
adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara kalian.” (HR. Bukhari)
Akhlak tercela atau perangai buruk (su-ul khuluq) adalah sifat, sikap, atau
perilaku yang dibenci Allah SWT dan merusak hubungan harmonis dengan
sesama manusia. Akhlak tercela wajib dijauhi umat Islam.
Dalam Q.S. 49:12 kita dapati larangan Allah SWT untuk berperangai
buruk, berupa menghina atau mengolok-olok orang lain, mencela sesama
mukmin, memanggil seseorang dengan nama panggilan yang buruk atau tidak
disukai yang dipanggil, berprasangka, mencari-cari kesalahan orang lain
(tajassus), serta bergunjing atau membicarakan aib orang lain.
Berikut uraian singkat sifat-sifat atau perilaku yang tergolong perangai
buruk yang dilarang Islam.
a.Menghina
Menghina adalah mengeluarkan kata-kata yang merendahkan dan
menyakiti hati orang lain, termasuk mengolok-olok, mencela,
melaknat/mengutuk, memaki, dan mengejek.
“Cukuplah kejelekan seseorang jika ia menghina saudaranya yang
Muslim” (HR Muslim).“Memaki sesama Muslim itu kedurhakaan,” (HR Muttafaq
‘Alaih).“Mukmin itu bukanlah pencela dan bukan pelaknat dan bukan yang jelek
perangai dan bukan yang kotor lidah” (HR Ibnu Mas’ud).
b. Buruk Sangka
c. Bergunjing / Ghibah
d. Dengki
Hasad merupakan sikap batin, keadaan hati, atau rasa tidak senang, benci, dan
antipati terhadap orang lain yang mendapatkan kesenangan, nikmat, memiliki
kelebihan darinya. Sebaliknya, ia merasa senang jika orang lain mendapatkan
kemalangan atau kesengsaraan. Sikap ini termasuk sikap kaum Yahudi yang
dibenci Allah (maghdhub).
"Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika
kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya..." (Q.S. 3: 120).
"Janganlah kamu mengharap-harapkan sesuatu yang telah dilebihkan Allah pada
sebagian darimu atas sebagian yang lain" (Q.S. 4:32).
"Hindarilah hasad, karena sesungguhnya hasad itu menghapus semua amal
kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar" (H.R. Abu Daud).
"Janganlah kalian saling benci, jangan bersikap hasad, jangan saling
membelakangi, dan jangan bermusuhan. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang
besaudara!" (H.R. Bukhari dan Muslim).
Sikap hasad ini berbahaya karena dapat merusak nilai persaudaraan atau
menumbuhkan rasa permusuhan secara diam-diam. Hasad juga dapat mendorong
seseorang mencela, menjelek-jelekkan, dan mencari-cari kelemahan atau
kesalahan orang lain dan menimbulkan prasangka buruk (suudzan).
e. Serakah
Serakah atau tamak yaitu sikap tidak puas dengan yang menjadi hak atau
miliknya, sehingga berupaya meraih yang bukan haknya. Setiap orang berpotensi
bersikap serakah. "Jika seseorang sudah memiliki dua lembah emas, pastilah ia
akan mencari yang ketiganya sebagai tambahan dari dua lembah yang sudah ada
itu" (H.R. Bukhari dan Muslim).
"Jika seorang anak Adam telah memiliki harta benda sebanyak satu lembah,
pasti ia akan berusaha lagi untuk memiliki dua lembah. Dan andaikata ia telah
memiliki dua lembah, ia akan berusaha lagi untuk memiliki tiga lembah. Memang
tidak ada sesuatu yang dapat memenuhi keinginan anak Adam kecuali tanah
(tempat kubur, yakni mati). Dan Allah akan menerima tobat mereka yang
bertobat" (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi).
f. Kikir (Bakhil).
Kikir adalah penyakit hati. Sifat kikir ini bersumber dari ketamakan, cinta
dunia, atau suka kemegahan. Orang yang terbebas dari sifat kikir termasuk orang
beruntung (Q.S. Al-Hasyr:9). “Dua perkara tidak akan berkumpul pada seorang
mukmin: sifat kikir dan perangai jelek” (HR Tirmidzi).
g. Riya’
Riya’ adalah sikap ingin dipuji orang lain. Lawan ikhlas ini haram hukumnya.
Nabi Saw menyebutnya sebagai syirik kecil (syirkul ashgar).
“Sesungguhnya yang aku paling takuti atas umatku adalah syirik kecil, yaitu
riya’” (HR Ahmad).
Riya’ merupakan lawan atau kebalikan dari ikhlas (semata-mata karena Allah
SWT). Ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal-ibadah oleh Allah
SWT (maqbul). "Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali agar beribadah
pada Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) pada-Nya dalam menjalankan
agama dengan lurus..." (Q.S. Al-Bayinah:5, juga Q.S. 4:146, 7:29, Az-
Zumar:2,11, 2:139, Luqman:32).
h.Berdusta
Berkata dusta adalah salah satu ciri kaum munafik, selain mengkhianati
kepercayaan dan mengingkari janji (HR Bukhari dan Muslim).
“Dan jauhilah perkataan dusta” (Q.S. 22:30).
“Jauhilah kedustaan karena sesungguhnya kedustaan (kadzib) itu memimpin
kepada kedurhakaan dan kedurhakaan membawa ke neraka” (HR Muttafaq
‘Alaih).
i. Bermusuhan.
j. Mengadu-domba (Namimah).