Anda di halaman 1dari 15

PERAN AKTOR KEBIJAKAN DALAM MEMBUAT KEBIJAKAN

PERTUMBUHAN DAN PEMBANGUNAN WILAYAH

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Manajemen Pertumbuhan Wilayah

Dosen Pengampu : Salamatul Afiyah Dr, M.Si.

Kelas D Semester VI
Disusun oleh :

Nina Melinda 1188010156

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah


berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi. Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah
pengetahuan para pembaca.

Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Bandung, April 2021

Penyusun

i
PERAN AKTOR KEBIJAKAN DALAM MEMBUAT KEBIJAKAN
PERTMBUHAN DAN PEMBANGUNAN WILAYAH

Oleh : Nina Melinda

Administrasi Publik/D/VI

ABSTRACT

In an effort to achieve these goals, development that is being carried out by


developing countries is generally oriented to how to improve or elevate the living
standards of the people of that country. In regional development efforts, the most
important issue that concerns economists and regional planning concerns the
process of economic growth and equitable development. In realizing healthy
regional growth, several policy actors are involved in making policies to suit
public needs. After the formulation of policies, these policies will be implemented
in areas related to regional growth, both from human resources, natural
resources, and economic growth. This writing uses litSerature studies by
observing several journals and papers related to the title raised.

ABSTRAK

Dalam upaya mencapai tujuan pembangunan yang dilakukan oleh negara


berkembang pada umumnya berorientasi pada bagaimana memperbaiki atau
meninggikan taraf hidup masyarakat negara tersebut. Dalam upaya pembangunan
daerah, hal terpenting yang menjadi perhatian para ekonom dan perencanaan
daerah menyangkut proses pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan.
Dalam mewujudkan pertumbuhan daerah yang sehat, beberapa pelaku kebijakan
dilibatkan dalam pengambilan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Pasca perumusan kebijakan, kebijakan tersebut akan dilaksanakan di
bidang-bidang yang terkait dengan pertumbuhan daerah, baik dari sumber daya
manusia, sumber daya alam, maupun pertumbuhan ekonomi. Penulisan ini
menggunakan studi pustaka dengan mengamati beberapa jurnal dan makalah yang
berkaitan dengan judul yang diangkat.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i

ABSTRAK ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..............................................................................................1


B. Rumusan Masalah .........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan ...........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Peran Aktor Yang Terlibat Dalam Proses Kebijakan ....................................3


B. Proses Pembuatan Kebijakan .........................................................................6
C. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah .....................................................8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi adalah suatu usaha yang dimaksud agar praktik-praktik politik yang
dianggap oleh masyarakat tidak sesuai dan tidak selaras dengan kepentingan dan
aspirasi masyarakat diubah atau ditata ulang agar menjadi lebih sesuai dan lebih
selaras. Dimasa transisi sekarang ini, maraknya pemekaran wilayah disebabkan
karena faktor peluang (faktorfaktor di Pusat) yang memang terbuka lebar khususnya
oleh kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah reformasi.
Ditengah-tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten/kota, peluang-peluang tersebut dipayungi oleh Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 4-8, pada Pasal 5
ayat 1 ditegaskan: pembentukan daerah atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua
daerah atau lebih harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Terkait dengan Undangundang tersebut, maka Pemerintah juga melakukan revisi
terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2007 tentang “tata cara pembentukan, penghapusan dan
penggabungan daerah”. Pemekaran wilayah dimasa reformasi terjadi disebabkan oleh
lemahnya Pemerintah Pusat dan menguatnya Pemerintah Daerah (local power) hal ini
dipandang dari kepentingan daerah adalah peluang untuk mengajukan tuntutan atau
aspirasi terhadap Negara.
Karena Pemerintahan Pusat yang lemah maka lemah pula dalam menghadapai
tekanantekanan dari daerah, elit-elit lokal serta massa bergerak (mobs) namun hal ini
bukanlah suatu alasan pembenar atas begitu banyaknya proposal pemekaran dari
daerah-daerah yang ujung-ujungnya diloloskan oleh Pusat. Hal ini dikarenakan para
aktor Negara juga mempunyai agenda tersembunyi (hidden agenda), para politisi dan
partai politik tertentu merasa diuntungkan dengan adanya pemekaran wilayah yaitu
bertambahnya daerah pemilihan dan merebut posisi-posisi sentral di daerah baru
tersebut. Disamping itu para politisi dan partai politik tersebut (plus para aktor-aktor
di Depdagri/DPOD) dicurigai menerima pelicin atau uang gratifikasi dari elit-elit
daerah pengusung proposal pemekaran. Sehingga pemekaran wilayah benar-benar
merupakan industri atau bisnis yang mendatangkan banyak keuntungan dan investasi
untuk masa depan dari para aktor pelakunya.

i
Artinya, tujuan-tujuan pragmatis sangat dominan dalam pemekaran wilayah di
Indonesia era reformasi, dan sebaliknya kepen-tingan publik dalam pemekaran hanya
sebagai tumpangan atau antara bagi aktor-aktor dalam mencapai self-interest mereka
yang sesungguhnya. Sebagai penyelenggara Pemerintahan Daerah, Pemerintah
Daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat. Dalam melaksanakan kewenangan untuk mengatur, Pemerintah
Daerah dan DPRD perlu merumuskan kebijakan publik. Berdasarkan Undang-undang,
proses perumusan kebijakan publik dilakukan oleh Pemerintahan Daerah dan DPRD
dimana dalam proses tersebut akan terjadi interaksi antara masyarakat dengan
penyelenggara Pemerintahan Daerah dan antara instansi penyelenggara Pemerintahan
Daerah (Madani, 2011:5).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah kami paparkan, maka masalah yang
dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Siapa saja yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan?
2. Bagaimana proses pembuatan suatu kebijakan?
3. Peran apa saja yang dilakukan oleh para aktor yang terlibat dalam pembuatan
kebijakan wilayah?
4. Bagaimana proses perencanaan dan pengembangan wilayah?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan yang
ingin dicapai dalam pembahasan ini yaitu:

1. Untuk mengetahui siapa saja yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan

2. Untuk mengetahui bagaimana proses pembuatan suatu kebijakan

3. Untuk mengetahui peran apa saja yang dilakukan oleh para aktor yang terlibat
dalam pembuatan kebijakan wilayah

4. Untuk mengetahui bagaimana proses perencanaan dan pengembangan wilayah

BAB II

2
PEMBAHASAN

A Peran Aktor Yang Terlibat Dalam Proses Pembuatan Kebijakan


Peran aktor dalam membahas pemeran serta atau aktor-aktor dalam proses
perumusan kebijakan, ada perbedaan yang cukup penting yang perlu diperhatikan
antara negara maju dengan negara berkembang. Di negara berkembang, struktur
pembuatan kebijakan cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan negara-negara
maju. Kecenderungan struktur pembuatan keputusan di negara-negara maju adalah
lebih kompleks karena kualitas hidup sudah menjadi isu utama dalam pembuatan
kebijakan. Pembahasan mengenai siapa yang terlibat dalam proses kebijakan publik
menurut Anderson (1979), Lindblom (1980) maupun Lester dan Joseph Stewart, Jr
(2000) bahwa “aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses kebijakan publik dapat
dibagi dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi (inside of government)
dan para pemeran serta tidak resmi (ourside of government).
Yang termasuk ke dalam pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah
(birokrasi), presiden (eksekutif ), legislatif, dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk
dalam kelompok pemeran serta tidak resmi meliputi kelompok-kelompok kepentingan
(interest group), partai politik dan warga negara individu. Namun menurut Moore
(dalam Badjuri dan Yuwono, 2003:24) bahwa “secara umum aktor ini dapat
dikelompokkan dalam tiga domain utama yaitu aktor publik, aktor privat dan aktor
masyarakat (civil society)”. Ketiga aktor ini saling berperan dalam sebuah proses
penyusunan kebijakan publik. Secara lebih makro konsep Anderson (1984) adalah
diungkap bahwa aktor kebijakan meliputi aktor internal birokrasi dan aktor eksternal
yang selalu mempunyai konsem terhadap kebijakan.
Mereka dapat terdiri dari aktor individu maupun kelompok yang turut serta
dalam setiap perbincangan dan perdebatan tentang kebijakan publik. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa makna aktor dalam kaitannya dengan kebijakan
publik selalu terkait dengan pelaku dan penentu terhadap suatu kebijakan yang
berinteraksi dan melakukan interrelasi di dalam setiap tahap proses kebija-kan publik.
Merekalah pada dasarnya yang menentukan pola dan distribusi kebijakan yang akan
di lakukan oleh birokrasi yang di dalam proses interaksi dan interrelasinya cenderung
bersifat konfliktif dibandingkan dengan sifatnya yang harmoni dalam proses itu
sendiri. Anderson menegaskan bahwa proses bargaining dapat terjadi dalam tiga

3
bentuknya yaitu negosiasi (negotitation), saling memberi dan menerima (take and
give) dan kompromi (compromise).
Sesungguhnya penjelasan bargaining berakar pada istilah bahwa jika terdapat
dua atau lebih aktor atau kelompok aktor yang masing-masing memiliki kewenangan
dan posisi tertentu tetapi dapat melakukan penyesuaian (sharing) yang diharapkan
dapat terbangun dalam sistem pembahasannya. Dengan demikian negosiasi menjadi
langkah awal untuk membentuk opini dan mengarahkan aktor untuk melakukan
langkah negosiasi. Setelah proses negosiasi antaraktor terjadi dalam posisi yang
berbeda diantara aktor, maka prinsip saling memberikan dan meneri-ma kemudian
mewarnai proses pengambilan kebijakan yang di bahas dalam forum aktor yang
terlibat. Pada akhirnya proses itu akan berjuang pada proses kompromistik dimana
masing-masing aktor saling melakukan penyesuaian dengan konsep atau ide aktor
yang lainnya sehingga dapat di putuskan kebijakannya. Sementara itu proses
pengambilan kebijakan publik dengan menempatkan adanya pola hierarki yang
berlaku antara aktor satu dengan aktor yang lain disebut sebagai pengarahan
(commanding) (Anderson, 1984).
Pola hubungan dan interaksi antara aktor pada model ini adalah berkaitan
dengan pola perumusan kebijakan yan sangat struktural, dimana satu kelompok aktor
menjadi superornidat dan kelompok yang lain tentu saja menjadi subornidat.

B Proses Pembuatan Kebijakan


Proses pengambilan kebijakan publik dengan menempatkan adanya pola
hierarki yang berlaku antara aktor satu dengan aktor yang lain disebut sebagai
pengarahan (commanding) (Anderson, 1984). Pola hubungan dan interaksi antara
aktor pada model ini adalah berkaitan dengan pola perumusan kebijakan yan sangat
struktural, dimana satu kelompok aktor menjadi superornidat dan kelompok yang lain
tentu saja menjadi subornidat. Penyusunan agenda (agenda setting) adalah suatu
proses yang meliputi suatu rangkaian tindakan dan strategi dalam mana isu tertentu
menjadi pusat perhatian bagi masyarakat. Penyusunan agenda (agenda setting) adalah
tahap awal dari suatu proses kebijakan publik.
Meskipun merupakan tahap awal, tetapi kegiatan penyusunan agenda adalah
kegiatan yang sulit karena meliputi pengenalan masalah yang benar. Hal ini
dikarenakan pembuat kebijakan tidak selalu berhadapan dengan masalah yang akan
dipecahkannya (melalui kebijakan yang akan diputuskannya). Meskipun terkadang

4
pembuat kebijakan sudah menemukan "masalah", tetapi belum tentu "masalah" itulah
yang pali-ng urgen dan dituntut oleh publik untuk dipecahkan Charles O. Jones dalam
bukunya "An Introduction to the Study of Public Policy" (Third Edition) menyadari
dan mengilustrasikan betapa pengambil kebijakan dihadapkan pada kondisi sulit
dalam penyusunan agenda dikarenakan kompleksitas masalah yang akan ditangani
dengan kalimat menarik sebagai berikut: Masalah dapat timbul dari peristiwaperistiwa
penting apa saja; sebagian diamati dan diambil tindakan oleh pembuat kebijakan, dan
banyak lagi yang dibiarkan saja (Jones, 1984: 76).
Untuk memahami seluk beluk penyusunan agenda (agenda setting), maka
menurut Hoppe dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1969, "Agenda adalah
sebuah istilah tentang pola-pola tindakan pemerintahan yang spesifik sifatnya,
terutama dalam tahapan awal perkembangan suatu kebijakan. Agenda bisa diartikan
sebagai analisis tentang bagaimana suatu problem dikembangkan, didefinisikan, dan
diformulasikan cara-cara untuk pemecahannya" (Hoppe, 1969; dan Jones, 1984).
Kegiatan membuat masalah publik (public problems) menjadi masalah kebijakan
(policy problems) sering disebut dengan penyusunan agenda (agenda setting). Dengan
demikian, agenda kebijakan akan memuat masalah kebijakan yang perlu direspons
oleh sistem politik yang bersumber dari lingkungan.
Oleh karena itu, kegiatan awal proses perumusan kebijakan publik (public
policy formulation) diawali dengan kegiatan penyusunan agenda (agenda setting).
Proses penyusunan agenda kebijakan (policy agenda) menurut Anderson dalam
Lembaga Administrasi Negara (2002:10) secara runtut terdiri atas: masalah pribadi
(private problems), masalah publik (public problems) dan isu (issues). Kebijakan
berasal dari bahasa Inggris „policy‟ yang dibedakan dari kata kebijaksanaan maupun
kebajikan, sedangkan menurut pengertian kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak
yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan.
Menurut Ealau dan Prewitt (1973), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang
berlaku yang dicirikan oleh prilaku yang konsisten dan berulang baik dari yang
membuatnya maupun yang mentaatinya. Menurut Anderson (1984:3) memberikan
pengertian atas defenisi kebijakan adalah serangkaian kegiatan yang mempunyai
maksud dan tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau
sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang
diperhatikan. Maka dalam kebijakan harus mempunyai penyusunan agenda dimana
penyusunan agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas

5
kebijakan publik. Sejalan dengan perkembangan studi yang makin maju, Dunn (1980)
mengaitkan pengertian kebijakan dengan analisis kebijakan yang merupakan sisi baru
dari perkembangan ilmu sosial untuk pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Di
sini dia melihat ilmu kebijakan sebagai perkembangan lebih lanjut dari ilmu-ilmu
sosial yang sudah ada.
Metodologi yang dipakai bersifat multidisiplin. Hal ini berhubungan dengan
kondisi masyarakat yang bersifat kompleks dan tidak memungkinkan pemisahan satu
aspek dengan aspek lain Pemekaran Daerah bila dicermati ulang agaknya sedikit
membingungkan dan terbalik dengan pemahaman kita selama ini. Pengertian
pemekaran dearah dapat diartikan memekarnya atau mengembangnya suatu daerah
menjadi lebih luas. Sedangkan makna pemekaran daerah, sebagimana sudah dipahami
umum saat ini, adalah terbaginnya daerah otonom Provinsi, Kabupaten/Kota menjadi
beberapa daerah otonom baru (Ratnawati, 2006:331).

C Perencanaan Dan Pengembangan Wilayah


Perencanaan wilayah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang
dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih
baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah
tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang
ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetap berpegang
pada azas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2003). Setiap pembangunan daerah
memiliki tujuan untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk
masyarakat daerah.
Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pembangunan yang sedang
dilaksanakan oleh negara-negara sedang berkembang pada umumnya berorientasi
pada bagaimana memperbaiki atau mengangkat tingkat hidup masyarakat pada negara
tersebut. Dalam upaya pembangunan wilayah, masalah yang terpenting yang menjadi
perhatian para ahli ekonomi dan perencanaan wilayah adalah menyangkut proses
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan.
Dalam sistem wilayah keluar masuk orang atau barang dan jasa relatif bersifat
lebih terbuka, sedangkan pada skala nasional bersifat lebih tertutup (Sirojuzilam,
2007). Menurut Jhinghan (2000) perencanaan wilayah merupakan satu-satunya jalan
yang terbuka untuk menaikkan pendapatan per kapita, mengurangi ketimpangan
pendapatan dan meningkatkan kesempatan kerja. Perencanaan Pembangunan Daerah

6
adalah “Suatu usaha yang sistematik dari pelbagai pelaku (aktor), baik umum (publik)
atau pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang
berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial,
ekonomi dan aspek lingkungan lainnya.
Menurut Suhanto (1992) secara umum terdapat enam unsur pokok dari
perencanaan pembangunan, yang pertama adalah kebijakan dasar atau strategi dasar
terkait rencana pembangunan yang meliputi perumusan tujuan atau sasaran
pembangunan. Kedua, adanya kerangka rencana yang mencakup hubungan-hubungan
antara berbagai variasi makro ekonomi serta implikasi daripada hubungan tersebut.
Ketiga, terdapat rumusan rencana mengenai sumber-sumber pembangunan, khususnya
sumber biaya pembangunan. Sdangkan keempat, 11 adanya uraian tentang kerangka
kebijakan yang konsisten.Kelima, program investasi dari perencanaan pembangunan
yang bersifat operasional dengan penetapan skala prioritas sesuai dengan tersedianya
pembiayaan dan yang keenam adalah adanya administrasi pembangunan.
Pembangunan ekonomi dilaksanakan secara terpadu, selaras, seimbang dan
berkelanjutan dan diarahkan agar pembangunan yang berlangsung merupakan
kesatuan pembangunan nasional. Sehingga dalam mewujudkan pembangunan
ekonomi nasional perlu adanya pembangunan ekonomi daerah yang pada akhimya
mampu mengurangi ketimpangan antar daerah dan mampu mewujudkan kemakmuran
yang adil dan merata antar daerah.
Istilah pembangunan dapat diartikan berbeda-beda oleh satu orang dengan
orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya bahkan antara negara satu dengan
Negara lain. Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus
menerus pada Gross Domestic Product (GNP) atau Produk Domestik Bruto (PDB)
suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada
peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu Propinsi, Kabupaten
atau Kota. Definisi pembangunan tradisional ini sering dikaitkan dengan sebuah
strategi mengubah struktur suatu negara menjadi negara industrialisasi.
Kontribusi sektor pertanian mulai digantikan dengan kontribusi industri. Salah
satu upaya untuk menjabarkan kebijaksanaan pembangunan ekonomi di tingkat
daerah, maka diperlukan suatu kawasan andalan yang berorientasi untuk
mengembangkan potensi daerah. Menurut Royat (1996) dalam Mudrajad Kuncoro
(2002:28) kawasan andalan merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai penggerak
perekonomian wilayah, yang memiliki kriteria sebagai kawasan yang cepat tumbuh

7
dibandingkan lokasi lainnya dalam suatu provinsi atau kabupaten, memiliki sektor
basis dan memiliki keterkaitan ekonomi dengan daerah sekitar. Pertumbuhan kawasan
andalan diharapkan dapat meinberikan impas positif bagi pertumbuhan ekonomi
daerah sekitar atau daerah dibelakangnya (hinterland), melalui pembudayaan sektor
atau subsektor basis sebagai penggerak perekonomian daerah dan keterkaitan
ekonomi antar daerah. Tujuan utama clan kawasan andalan adalah mempercepat
pembangunan. Untuk meratakan pembangunan, harus digunakan pendekatan
perwilayahan atau regionalisasi, yaitu pembagian wilayah nasional dalam satuan
wilayah geografi, sehingga setiap bagian mempunyai sifat tertentu yang khas. Di
samping itu, diperlukan desentralisasi yaitu kebijaksanaan yang diputuskan oleh
pemerintah baik regional maupun lokal.
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Paradigma pembangunan modern
memandang suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional.
Beberapa ekonom modern mulai mengedepankan dethronement of GNP (penurunan
tahta pertumbuhan ekonomi), pengentasan garis kemiskinan, pengurangan distribusi
pendapatan yang semakin timpang, dan penurunan tingkat pengangguran yang ada.
Jelasnya bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang
multidimensional (Mudrajat, 2003). Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu
proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-
industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan
produk barang dan jasa yang baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu
pengetahuan dan pengembangan pasar baru (Arsyad, 1999).
Dijelaskan lebih lanjut oleh Kuncoro (2000) bahwa pembangunan regional
sebaiknya lebih memperhatikan keunggulan-keunggulan dan karakteristik khusus
suatu daerah. Pembangunan juga harus dapat meningkatkan pendapatan per kapita
dari penduduk tersebut dan akan meningkatkan daya tarik daerah untuk menarik
investor-investor baru untuk menanamkan modalnya di daerah, yang pada akhirnya
akan mendorong kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Pertumbuhan ekonomi
merupakan unsur penting dalam proses pembangunan wilayah yang masih merupakan
target utama dalam rencana pembangunan di samping pembangunan sosial.
Pertumbuhan ekonomi adalah proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto
riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau
berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang
lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output per kapita.

8
Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output
riil per orang. Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya dipengaruhi oleh
keunggulan komparatif suatu daerah, spesialisasi wilayah, serta potensi ekonomi yang
dimiliki oleh daerah tersebut.
Oleh karena itu pemanfaatan dan pengembangan seluruh potensi ekonomi
menjadi prioritas utama yang harus digali dan dikembangkan dalam melaksanakan
pembangunan ekonomi daerah secara berkelanjutan. Dalam kerangka pertumbuhan
ekonomi wilayah, perlu dibatasi pengertian “wilayah” yakni ruang permukaan bumi
dimana manusia dan makhluk lainnya dapat hidup dan beraktivitas. Menurut Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wilayah diartikan sebagai
kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Dalam kerangka
pembangunan nasional, perencanaan pengembangan wilayah dimaksudkan untuk
memperkecil perbedaan pertumbuhan kemakmuran antar wilayah atau antar daerah.
(Jayadinata, 1999).
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan
jika tingkat kegiatan ekonominya meningkat atau lebih tinggi jika dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangannya baru terjadi jika
jumlah barang dan jasa secara fisik yang dihasilkan perekonomian tersebut bertambah
besar pada tahun-tahun berikutnya. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi
suatu daerah dapat ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi. 13 Pertumbuhan ekonomi
adalah pertumbuhan pendapatan masyarakat secara keseluruhan sebagai cerminan
kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang tercipta di suatu wilayah.
Teori pertumbuhan ekonomi wilayah menganalisis suatu wilayah sebagai
suatu sistem ekonomi terbuka yang berhubungan dengan wilayah-wilayah lain melalui
arus perpindahan faktor-faktor produksi dan pertukaran komoditas. Pembangunan
dalam suatu wilayah akan mempengaruhi pertumbuhan wilayah lain dalam bentuk
permintaan sektor untuk wilayah lain yang akan mendorong pembangunan wilayah
tersebut atau suatu pembangunan ekonomi dari wilayah lain akan mengurangi tingkat
kegiatan ekonomi di suatu wilayah serta interrelasi. Pertumbuhan ekonomi dapat
dinilai sebagai dampak kebijaksanaan pemerintah, khususnya dalam bidang ekonomi.

9
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Yang termasuk ke dalam pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah
(birokrasi), presiden (eksekutif ), legislatif, dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk
dalam kelompok pemeran serta tidak resmi meliputi kelompok-kelompok kepentingan
(interest group), partai politik dan warga negara individu. Namun menurut Moore
(dalam Badjuri dan Yuwono, 2003:24) bahwa “secara umum aktor ini dapat
dikelompokkan dalam tiga domain utama yaitu aktor publik, aktor privat dan aktor
masyarakat (civil society)”

kegiatan awal proses perumusan kebijakan publik (public policy formulation)


diawali dengan kegiatan penyusunan agenda (agenda setting). Proses penyusunan
agenda kebijakan (policy agenda) menurut Anderson dalam Lembaga Administrasi
Negara (2002:10) secara runtut terdiri atas: masalah pribadi (private problems),
masalah publik (public problems) dan isu (issues).

Perencanaan wilayah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang


dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih
baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah
tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang
ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetap berpegang
pada azas prioritas

10
DAFTAR PUSTAKA

Adiwirya, Muhammad Firdiansayah dan I Putu Sudana, 2015, Akuntabilitas,


Transparansi dan Anggaran Berbasis Kinerja pada atuan Kerja Perangkat
Daerah Kota Denpasar, E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana Vol 11.2
(2015), hal 611-628.
Aristoteles dalam Prof. Drs.H.A.Widjaja, Etika Pemerintahan, Edisi kedua, Bumi
Aksara, Jakarta, 1997.
Mustopadidjaja, A.R 2003, Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik
Indonesia, LAN RI Jakarta.
Niko Adrianto, 2007, Good E-Government: Trasparansi dan Akuntabilitas Publik
Melalui e-government, Bayu Media Publishing, Malang.
Suwandi M, 2001, LPJ Kepala Daerah Dalam Perspektif Administrasi dan
Akuntabilitas Publik, Depagri, Jakarta.
Thoha M, 1999, Menyoal Birokrasi Publik, Balai Pustaka, Jakarta.
Mahmudi, 2001, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Bumi Aksara, Jakarta.
Ridha Suaib, 2016, Pengantar Kebijakan Publik, Dari Administrasi Negara,
Kebijakan Publik, Administrasi Publik, Pelayanan Publik, Good Government
Hingga Implementasi Kebijakan, Candi Gerbang, Yogyakarta.
Penny Kusumastuti Lukito, 2014, Membumikan Transparansi dan Akuntabilitas
Kinerja Sektor Pubik, Grasindo, Jakarta.
Indra Bastian, 2001, Akuntansi Untuk LSM dan Partai Politik, Erlangga, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai