TERBENTUKNYA IMAN
Dr.H.M.Rifa’I. M.Pd.I
B. WUJUD IMAN
Wujud iman termuat dalam tiga unsur, yaitu isi hati, ucapan,
dan perbuatan. Diyakini dalam hati yaitu dengan percaya akan
adanya Allah Swt, diucapan dengan lisan adalah dengan
mengucapkan dua kalimat syahadat dan dilakukan dengan
perbuatan adalah menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi
semua larangan-Nya.
Wujud dari iman adalah sebuah pekerjaan di dalam hati dan angan-
angan kitahanya tertuju kepada Allah (bertauhid kepada Allah).
Bila kerjaan tersebut belum selesai, hati dan angan-angan tidak
berhenti bekerja mewujudkan benda atau gambar tersebut.
Demikian juga dengan iman sebelum kita bertemu dengan Allah di
hari kiamat, hati dan angan-angan kita tidak berhenti untuk
beriman. Bila jasad kita telah mati, ruh kita yang melanjutkan
pekerjaan iman kita tersebut sampai dengan hari akhir (kiamat).
Dari hal tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa sewaktu-
waktu di kala kita sedang bekerja, sedang tidur bahkan sedang
buang hajat pun hati dan angan-angan kita tetap hanya tertuju
kepada Allah Swt, semata. Sebab, beriman yang seperti itu
merupakan kunci dari semua urusan pribadahan yang kita lakukan
terutama pada saat kita shalat.
Pada umumnya, bila kita shalat mulut kita menyebut asma Allah,
tapi angan-angan dan pikiran kita lari ke pasar, memikirkan utang,
memikirkan pekerjaan kantor dan sebagainya, sebenernya hal yang
seperti itu disebut orang munafik, fasik, atau kafir hatinya. Hal
tersebut yang sebenernya disebut menyekutukan kepada Allah Swt.
Hal tersebut seperti dalam firman Allah dalam QS Al Baqarah (2)
ayat 162 menyatakan bahwa:
“dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan seklin Allah; mereka mencintainya
sebagaimna mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman zmat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui
ketika mereka melihat siksa ( pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah
amat berat siksaannya-Nya (niscaya mereka menyesal)”.
(QS Al-Baqarah [2]: 165)
3. Prinsip sosialisasi
Pada umumnya nilai-nilai hidup bru benar-benar mempunyai arti
apabila telah memperoleh dimensi sosial. Oleh karena itu suatu
bentuk tingkah laku terpola baru teruji secara tuntas bilamana sudah
diterima secara sosial. Implikasi metodologinya ialah bahwa usaha
pembentukan tingkah laku mewujudkan nilai iman hendaknya tidak
diukur keberhasilannya terbatas pada tingkat individual (yaitu hanya
dengan memperhatikan kemampuan seseorang dalam kedudukannya
sebagai individu), tetapi perlu mengutamakan penilaian dalam kaitan
kehidupan interaksi sosial (proses sosialisasi) orang tersebut. Pada
tingkat akhir harus terjadi proses sosialisasi tingkah laku, sebagai
kelengkapan proses individuasi, karena nilai iman yang diwujudkan
ke dalam tingkah laku selalu mempunyai dimensi sosial.
5. Prinsip integrasi
Hakikat kehidupan sebagai totalitas, senantiasa menghadapkan
setiap orang pada problematika kehidupan yang menuntut pendekatan
yang luas dan menyeluruh. Jarang sekali fenomena kehidupan yang
berdiri sendiri. Begitu pula dengan setiap bentuk nilai hidup yang
berdimensi sosial. Oleh karena itu tingkah laku yang dihubungkan
dengan nilai iman tidak dapat dibentuk terpisah-pisah. Makin integral
pendekatan seseorang terhadap kehidupan, makin fungsional pula
hubungan setiap bentuk tingkah laku yang berhubungan dengan nilai
iman yang dipelajari. Implikasi metodologinya ialah agar nilai iman
hendaknya dapat dipelajari seseorang tidak sebagai ilmu dan
keterampilan tingkah laku yang terpisah-pisah, tetapi melalui
pendekatan yang integratif, dalam kaitan problematik kehidupan yang
nyata.
KESIMPULAN