Hutan Produksi
Pend&uluan
Hutan sebagai 5tlfttberdaya alam dengan sendirinya memiliki fungsi yang sama
dengan sumberdaya alam kinnya.
Berkaitan dengan ha1 itu, maka sasaran akhir dari sistem
pengelolaan hutan produksi svua lestari harus dapat memenuhi kepentingan
peningkatan kenialenumn rakyat. Artinya, Njuan sistem pcgelolaan hutan
produksi secara lestari buimnlah untuk smm pengelolaan hutan itu sendiri,
tetapi lebih jauh lagi adal& bagaimana pengclolaan hutan produksi secara
lctari menjadi alat bagi tercapainya keinakmuran rakyat. Dengan demikiaa,
segala upaya teknis maupun non teknis pengelolaan hutan produksi secara
lestari tidak bisa menafikan kepentingan peningkatan keinakmvan rakyat
lebih-lebih rakyat yang amat mmggantungkan hidupnya dari sumkrdaya
hutan.
Hal ini .penting dikeimikakan mengingat dalam pejalanan sejarah
pengclolaan hutan produksi yang dilakukan .oleh pengusaha HPH selama
ini kepeiningan masyarakat belum Orakomodir di dalamnya. Selama ini
pengdolaan hutan produksi yang ñlakukan oleh pengusaha HPH didasarkan
pada asumsi bahwa dengm adanya pemsabaan HPH akan dapat
menciptakan tejadinya tetesan he bawah bagi masyarakat-masyarakat lokal.
Dalam kenyataannya, hal itu tidak terbukti. Babkan yang tc;jm juuru
scbaliAya, pengelolaan hutaa produksi oleh HPH telah menyebabkan
uralienasinya masyarakat di dan sekinr hutan dari sumberdaya alam mereka.
Ddam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar ‹lalam Ilmu Administmsi
Negara Universitas Tanjung Pura tahun 1993, Syañf Ibralum Alqadri
luengungkapkan bahwa kedatmgan HPH telah menyebabkan berkurangnya
penghasihn masyarakat Dayak di pedalaman Kalbar. Berkumngnya
penghasilan tersebut dapat dilihat dari perbandingan penghasilan mereka rata-
rata per bulan sebelum dan sesudah beroperasinja HPH Sebelum ada HPH
(tahun 1963/1965) penghasilan penduduk scbulan berjumlah Rp. 42.655 (US$
102,79), yang berasal dari pertaniaa Rp. 11.375 (US$ 27,41), kehutauan Rp.
17.062 (US$ 4l,4l), serta perkebunan Rp. 14.218 (US$ 46,71). Jumlah ini
lebih rendah dalam nilai ruoiah sebesar Rp. 42.095, tetapi lebih tinegi dalam
nilai instrinsik mu dolar sebesar USS 56,08, jika dibandingkan dengan
penghasilan tahun 1990/1992 yang be;jumlah Rp. 88.750 (US$ 46,71) yang
tentiri dari perladangan Rp. 35.500 (US$ 18,68), kehutanan Rp. 17.750
(US$ 9,35) dan pcrkebunan Rp. 35.500 (US6 18,68).
&rkurangnya ucara insLnsik penghasilan penduduk sctempat pada
tahun 1990/1992 dibandingkan dengan tahun 1963/1965, menurut Alqadñe,
bukan hanya disebabkan .oleh inflasi tetapi bahkan oleh merosotnya
penghasilan dari sub sektor kehutanan, yakni sebesar 20% dari kontribusi yang
diberikannya, s&agar akibat dari berkumgnya areal hutan dan dari larangan
bagi penduduk setempat untuk mengumpulkan hasil hutan. Kendati
kekurangan sub sektor ini benisaha ditutupi dari sub sektor lainnya, tetapi
sulit terpenuhi karena terba&nya areal lahan dan kawasan hutan.
28
itu, harga kayu yang rendah juga mendorong investasi yao9 berlcbihan dalam
industri perkayuw, sehingga mcnimbulkan permintaan efekhf yang sangat besar
terhadap kayu alam. Akibatnya teqadi kesenja gan antan penyediaan kayu
bulat dengan 80% kap8Sitas terpasang industri. Pada tahun 1990, misalnya,
kebutuhan industri perkayuan sebesar 44 juta m' sedangkan kemampuan
supJai hutan produksi hanya 31,2 juta m', atau tejadi kekurangan kayu
geloadongan sebesar 12,8 juta m'. Kondisi-kondisi inilah yang mendorong
tcjadinya tingkat eksploitasi hutan yang ddak berkelanjutan.
Fakln-fakta di atas menunjukkan bahwa pengeloiaan hutan produksi
&lum menunjukkan bukti telah memberikan peningkatan kesdahteiaan
bagi masyarakat, bahkari ’sebaliknya telah menyebabkan rusak ya Aosistem
hutan serta luan mislonnya masyarakat di dan selutar hutati. Kendati
pemerintah terns mengupayakan perhatian terhadap piaktek-praktek HPH
ternyata tidak pemah memberikan hasil yang meniuaskan.Bukti-buku untuk
hal ini dapat ñlihai dari senngnya terjadi pelanggaran yang dilaJmkan oleh
pengusaha, baik pehnggaran dalam bentuk teknis maupun adminisnatif, seperti
yang ñvgkapkan senñri oleh Departertien Kehutanan melalui media mn‹m
pada bulan Juli 1994. Dalam pengumumao tersebut Departemen
Kelititanati mengungkapkan hampir semua HPH mendapat peringatan dari
pemerintah. ada 63 HPH jog
mendapatf:an pefinga& sampai 3 kali.
Sanski-sanksi a&ninistratif yang ditetapkan oleh Departemm kehutanan
taaipaknya belum menibah keadaan sebagai upaya antisipasi terhadap
pehnggaran yang dilaJnikan oleh HPH. Cnntohnya, pada tahun 1990,
Departemen Kehutanan telah mem&rikan sanksi kepada beberapa HPH yang
dianggap salah. Sanksi tersebut meliputi ' 294 HPH dini]ai berpetiampilan
kurang, 272 HPH dikategorikan lampu kuning, 37 HPH Acabuf (Pitman
Rakvat, 29 Oktober 1990), tetapi jumlah pclanggar pada tahun 1994 tntap
menuiij angka yang tidak jauh berbeda. Ternyata sankni tersebut tidak
efeVif, kalaupun tidak dilakukan oleh HPH yang sq ha1 ini mmandakan
bahwa sanksi Rrssbut tidak memberikan pelajaran kepa& pengusaha lainnya,
1. Tata Batas
masyuaka yagg memang hams dipenuhi, bukan sebagai belas kasihan terhadap
mereka. Hal ini menjadi penting untuk mengbindari adanya persepsi yang keliru
bahwa masyaraka menjadi obyek dari penibinaan, tanpa hA sama sekali.
Alokasi sumberdaya alam bagi masyarakat seudaknya mencakup lahan untuk
kegiatan penanian dan sumberdaya kehutanan yang dapat mcre% andalkan
snbagai smber pendapaian yang lokasinya di dalam areal HPH.Berlcaitan
dengan pemaxfamn hasil hutan non %yu di dalam areal HPH perlu adanya
mekaaisme yang tegas an&a pengelola HPH dengan masyarakat setempat.
Selama ini memang telah ada kewajiban bagi HPH umuk melindungi (tidak
mene5ang)j*ñej sMm!x4anyasgdimmofaafmn lMmas . Namus
karena tidak ada mekanisme untuk berkonsultasi dmgan masyarakat untuk
mamastikan apakah kepentingan masyazakat telah terakomodasilcAn dalam
keputusan yang dibua oleh pengclo& HPH, maka fidak ada peluang bagi
masyarakat untuk mela.lnikan pengawasan atau keberatan terhadap apa yang
dilakukan oleh pengusaha yang ñjalankan, masyarakat scmakin uraiieiiasi
sumberdaya alamnya. Akibat terbatasnya mata pencahanan masyarakat maka
seringkali hal ini menjadi pemicu bagi masyarakat vNk melakukan hd-hal di
luar hukum. Apalagi, bila kemudian ada pcmilik modal yang membeñkan modal
kepada masyarakai unNk melakukan penebangm liar.
Apa yang dicanangkan pemerintah dengan program HPH Bina Desa
Hutan temyata belum bisa mmjawab permasalahan yang ada. Selain bersifat
/op-daun (ukuran keberhasilannya ditentukan oleh fonnat pumerintak bukan
pengemban in kegiatan yang sesuai dengan karakteristik lam setempat),
program ini hanya duirahkan sebagai upaya pro-aktif pengusaha untuk menjaga
hutannya. JaA masyarakat yang terlibat dalam prognm ini tetap dipandang
sebagai obyek pembangunan. Seharusnya HPH Bina &sa Hutan dipandang
scbagé scbuah lan@ah pemberdayaan bagi masyarakat yagg memang menjadi
hak mereka. Persoalan apakah keberhasilan HPH Bina Desa Hutan mampun
mengurangi tekanan terhadap hutan menjadi persoalan berikutnya yang harus
dincgosiasikan lebih lanjut melalui kcsepakatan-kcsepakatan yang dibuat
bersama. Apabila memang masyarakat yang bersalah seRlah adanya
kesepakamn sudah selayaknya untuk ñjatuhi hukuman yang memadai. JaA
jangan memvonis masyarakat sebagai pihak yang salah, sebelum hak-bak
mereka tcrpeauhi terlebih dahulu.