Anda di halaman 1dari 8

Saida Dina Aryani 220360036

Hutan Produksi

Pend&uluan

Tumitan umuk melaksanakan pmgelolaai hutan produksi secara lestari


di Indonmia sudah tidak bisa dibindari lagi. Perubahan ekonomi dan politik
global, mau tidak mau, hams memperoleh perhatian yang seksama.
Pejapjian- pejanjian multilateral yang
menyangkut bidang ekonomi dan perdagan seperti APEC, GAm,
ImO dan WTO serta konvensi intcniasional (Ikklarasi Rio, Konvensi
Keanekaragamaa Hayati dan Prinsip-prinsip Kehutanan) untunya akan
mempcngaruhi arab pembangunan Rhutanan nasional, baik langsung
maupun tidak langsung.
Pengclolaan hutan produksi secara lesnri yang dimaksudkan dalam
makalab ini adalah suatu upaya pengelolaan hutan yang dapat meniproduksi
hasil hutan, baik kayu maupun non kayu, secara berRlanjutan dengan tidak
mengganggu fungsi-fungsi ekosistem huun serta menjamin keberiangsungan
fungsi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di scmtamya. Dengan dsmikian,
pengertian lestari ddam pengelolaan hutan produksi mcncakup aspek-aspek
ekonomi, ekologi (lingkungan) sem sosial-budaya.
Berdasarkan ba&san di atas, maka sudah selayaknya pengclolaan hutan
produksi tidak semata-mata ditckankan bagi kepentingan peningkatan deviu,
tetapi mencakup peran yang lebih luas lagi, termasuk juga peningkmn
kesejabkraan masyarakat di dalam dan skitar hutan. PerhaCan yang erlalu
besar bagi peningkatan devisa, sepefli yang selama ini tc;jadi, juuru menjadi
salah saN penycbab bagi timbulnya degradasi lingkungan serta konflik-
konhik dengan masyarakat di sekitamya.
Makalah ini akan memfokuskan perhatian pada prinsipprinsip yang
mesti termuat dalm konsep pengclolaan hutan sccan lestari, untuk
menghadapi tantangan-tantangan masa mendatang.

Hutan Sebagai Sumber Kemakmuran Rakyat

Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa


“Bumi air dan kekayaan alam yang terLandung di da'Iamnya diLuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi) kemakmuran rafyat”
27

Hutan sebagai 5tlfttberdaya alam dengan sendirinya memiliki fungsi yang sama
dengan sumberdaya alam kinnya.
Berkaitan dengan ha1 itu, maka sasaran akhir dari sistem
pengelolaan hutan produksi svua lestari harus dapat memenuhi kepentingan
peningkatan kenialenumn rakyat. Artinya, Njuan sistem pcgelolaan hutan
produksi secara lestari buimnlah untuk smm pengelolaan hutan itu sendiri,
tetapi lebih jauh lagi adal& bagaimana pengclolaan hutan produksi secara
lctari menjadi alat bagi tercapainya keinakmuran rakyat. Dengan demikiaa,
segala upaya teknis maupun non teknis pengelolaan hutan produksi secara
lestari tidak bisa menafikan kepentingan peningkatan keinakmvan rakyat
lebih-lebih rakyat yang amat mmggantungkan hidupnya dari sumkrdaya
hutan.
Hal ini .penting dikeimikakan mengingat dalam pejalanan sejarah
pengclolaan hutan produksi yang dilakukan .oleh pengusaha HPH selama
ini kepeiningan masyarakat belum Orakomodir di dalamnya. Selama ini
pengdolaan hutan produksi yang ñlakukan oleh pengusaha HPH didasarkan
pada asumsi bahwa dengm adanya pemsabaan HPH akan dapat
menciptakan tejadinya tetesan he bawah bagi masyarakat-masyarakat lokal.
Dalam kenyataannya, hal itu tidak terbukti. Babkan yang tc;jm juuru
scbaliAya, pengelolaan hutaa produksi oleh HPH telah menyebabkan
uralienasinya masyarakat di dan sekinr hutan dari sumberdaya alam mereka.
Ddam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar ‹lalam Ilmu Administmsi
Negara Universitas Tanjung Pura tahun 1993, Syañf Ibralum Alqadri
luengungkapkan bahwa kedatmgan HPH telah menyebabkan berkurangnya
penghasihn masyarakat Dayak di pedalaman Kalbar. Berkumngnya
penghasilan tersebut dapat dilihat dari perbandingan penghasilan mereka rata-
rata per bulan sebelum dan sesudah beroperasinja HPH Sebelum ada HPH
(tahun 1963/1965) penghasilan penduduk scbulan berjumlah Rp. 42.655 (US$
102,79), yang berasal dari pertaniaa Rp. 11.375 (US$ 27,41), kehutauan Rp.
17.062 (US$ 4l,4l), serta perkebunan Rp. 14.218 (US$ 46,71). Jumlah ini
lebih rendah dalam nilai ruoiah sebesar Rp. 42.095, tetapi lebih tinegi dalam
nilai instrinsik mu dolar sebesar USS 56,08, jika dibandingkan dengan
penghasilan tahun 1990/1992 yang be;jumlah Rp. 88.750 (US$ 46,71) yang
tentiri dari perladangan Rp. 35.500 (US$ 18,68), kehutanan Rp. 17.750
(US$ 9,35) dan pcrkebunan Rp. 35.500 (US6 18,68).
&rkurangnya ucara insLnsik penghasilan penduduk sctempat pada
tahun 1990/1992 dibandingkan dengan tahun 1963/1965, menurut Alqadñe,
bukan hanya disebabkan .oleh inflasi tetapi bahkan oleh merosotnya
penghasilan dari sub sektor kehutanan, yakni sebesar 20% dari kontribusi yang
diberikannya, s&agar akibat dari berkumgnya areal hutan dan dari larangan
bagi penduduk setempat untuk mengumpulkan hasil hutan. Kendati
kekurangan sub sektor ini benisaha ditutupi dari sub sektor lainnya, tetapi
sulit terpenuhi karena terba&nya areal lahan dan kawasan hutan.
28

Rbih lanjut Alqadrie mengungkapkao, bilama hutan tidak


dicksploitasi oleh perusahaan HPH, maka mta-rata pepgbasilan penduduk
setempat pada tahun 1990/1992 bequmlah Rp. 133.125 sebulan, yang tcrñri
dari kontribusi perladaagan Rp. 35.500, kehutanan Rp. 53.125 dan pertanian
Rp. 44.375. Angka ini masih lebih besar (Rp. 44.375) dibandinQan dengan
penghasilan riil tahun 1990/1992, ketika hutan dicksploitasi oleh HPH.
Mernang penduduk dapat menutupi kekurangan iN dengan cara bekeja pada
penisahaan HPH dmgan gaji mta-rata Rp. 60.000 sebulan, namun
penghasilan rat hanya sebesar Rp. 15.626 lebih rendah daripada sektor
pertanian yang hilang akibat berkurangnya aieal hutan. Pxdahal, bcrsamaan
dengan in, mceka hams membayar mahal dengan menjadi bwuh kasu ñ
bawah kondisi he a yazig buruk, menjadi Organtung pada belas kasihan
penisahaan dan hancurxiya sistem pertanian lokd berdasarkan hubungan kefja
yang meggamit prinsip kekeluargaan dan hubungan yang emt dengan lahan.
Kehadiran HPH jugn berpcpgaruh negatif terhadap kchidupan sosial
budaya masyarakat. Dalam tulisan yang sama Alqadrie menyatakan, dampak
ncgatif yang ñbmbulkan perusahaan HPH terhadap kchidupan sosial din
budaya relañf lebih dirasakan oleh penAduk setcmp@ ñbandingkan dengan
dampak positifnya. Ekses es negatif dalam bidang sosi& dari hadimya
karyawm dan bunA perusahaan HPH dari berbagai tempat be4entuk amara
lain pejudian yang lebih bervariasi jenis dan tarubannya, perkclahian,
berkembangnya pclacuran, baik sccam terang-terangan maupun tersebunp,
pclanggaran hukum adat, serta pengkambinghitaman penAduk setempat sebagai
sumber utama kerusakaa hutan. Dampak negatif lainnya adlah pencbangan
hutan secara beur-bcsaran yang dilakukan perusahaan HPH merupakan
ancaman terhadap kehidupan budaya. khususnya kchidupan religius
penduduk setempat.
HPH juga telah menyebabkan pesamya laju penggundulan huun ñ
Indonesia. Berdasarkan hasil sndi dari foto satelit yang dilakukan pemerintah
pada tahun 1982, luas penutupan hutan merest coverage) adalah 119,3 juta
hektar (RePPProTT, 1990). Scmcntara itu hasil amlisis cioa satelrt yang
dilakukan Departemen Kehutanan menunjukkanluas penutupan hutan tahun
1993 sebesar 92,4 jun hektar, dengan kawasan hutan yang kdak beAutan
seluas 20,6 juta hektar (REPELITA VI, 1993). Dengan demikian, dari tahun
1952 hingga 1993 laju deforcstasi yang tejadi sebesar 2,4 juta hektar.
An@a ini jauh mclebihi laju deforcstasi yang ñduga FAO silama
1982 - 1991, yakni seluas 1,3 juta hektar.
Hasil swdi WALHI menunjukkan bahwa salah saw penyebab kenisakan
’', hutaa produksi adalah harga kayu yang terlalu rendah, karma sama sekali
adak menceminkan adanya opportun‘Uy cost âxn nilé kelangkaan Jsc4zrcity
vaMe)
' dari kayu bulat. Rcndahnya harga kayu ini tehh megghambat efisiensi, baik di
1, areal pencbangan (hanya 60%) maupun di industri kayu (hanya 50oJo). Selain
29

itu, harga kayu yang rendah juga mendorong investasi yao9 berlcbihan dalam
industri perkayuw, sehingga mcnimbulkan permintaan efekhf yang sangat besar
terhadap kayu alam. Akibatnya teqadi kesenja gan antan penyediaan kayu
bulat dengan 80% kap8Sitas terpasang industri. Pada tahun 1990, misalnya,
kebutuhan industri perkayuan sebesar 44 juta m' sedangkan kemampuan
supJai hutan produksi hanya 31,2 juta m', atau tejadi kekurangan kayu
geloadongan sebesar 12,8 juta m'. Kondisi-kondisi inilah yang mendorong
tcjadinya tingkat eksploitasi hutan yang ddak berkelanjutan.
Fakln-fakta di atas menunjukkan bahwa pengeloiaan hutan produksi
&lum menunjukkan bukti telah memberikan peningkatan kesdahteiaan
bagi masyarakat, bahkari ’sebaliknya telah menyebabkan rusak ya Aosistem
hutan serta luan mislonnya masyarakat di dan selutar hutati. Kendati
pemerintah terns mengupayakan perhatian terhadap piaktek-praktek HPH
ternyata tidak pemah memberikan hasil yang meniuaskan.Bukti-buku untuk
hal ini dapat ñlihai dari senngnya terjadi pelanggaran yang dilaJmkan oleh
pengusaha, baik pehnggaran dalam bentuk teknis maupun adminisnatif, seperti
yang ñvgkapkan senñri oleh Departertien Kehutanan melalui media mn‹m
pada bulan Juli 1994. Dalam pengumumao tersebut Departemen
Kelititanati mengungkapkan hampir semua HPH mendapat peringatan dari
pemerintah. ada 63 HPH jog
mendapatf:an pefinga& sampai 3 kali.
Sanski-sanksi a&ninistratif yang ditetapkan oleh Departemm kehutanan
taaipaknya belum menibah keadaan sebagai upaya antisipasi terhadap
pehnggaran yang dilaJnikan oleh HPH. Cnntohnya, pada tahun 1990,
Departemen Kehutanan telah mem&rikan sanksi kepada beberapa HPH yang
dianggap salah. Sanksi tersebut meliputi ' 294 HPH dini]ai berpetiampilan
kurang, 272 HPH dikategorikan lampu kuning, 37 HPH Acabuf (Pitman
Rakvat, 29 Oktober 1990), tetapi jumlah pclanggar pada tahun 1994 tntap
menuiij angka yang tidak jauh berbeda. Ternyata sankni tersebut tidak
efeVif, kalaupun tidak dilakukan oleh HPH yang sq ha1 ini mmandakan
bahwa sanksi Rrssbut tidak memberikan pelajaran kepa& pengusaha lainnya,

Sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

” “' Pads masa mendatang, pengelolaan hutan produksi di lndones@ mau


tidak mau, harus mengalami perubahan. Hal ini terutama berkaitan dengan
munculnya pemahaman baru fieniang pengclolaan hutan yang harus
memperhatikan aspek kelestariannya. Pemabaman baru cii bahkan diikuti
dengan kesepakatan-kesepakatan International yang mengiAt pola
pengelolaan hutan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Organisasi Kaye
Tropis Intcrmtsional (ITTO}, misalnya, telah menetapkan bahwa tahun 2000
ssmua produk kayu yang diperdagangkannegara anggotanya harus berasal dari
hutan yang dikclola secara lestari.
30

Pada sisi lain, kepemilikan hutan Glah melewati batas-ba& aular


negara. Hutan, utamanya huun tropñ, dipandang sebagai warisan dunia
yang keberadaannya hams dipertabaakan untuk dapa berfungsi sebagai
pam-pani dunia. Konñsi ini mendorong lahimya kep&ulian di kalangan
interuasional untuk ikut berperan dalam menjaga Rlestarian hutan oopis di
Indonesia.
Konsepsi sistem pengclolaan hutan semra lestari setidaknya
memiliki dua fahor penang yapg satu sama hin saling berkai&, yakni
pertama faktor pengelolaan irñfirnal pada tingkat unit area tperusahaan
HPH). Kudua, falnor ekstemal yang menipakan makro sistem, baik yang
menymgkut kebijakan pwlbangunan kehutanan maupun kebijakan dan
&kOr lain di luar sektor kehutanan yang mempunyai dimcnsi ekonomi, sosial
dan po?tik.
Pengclolaan hutan produksi <can lestari dalam manajuinen unit
area pada dasamya adalah aspek teknis yang menyanghit perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan HPH di lapangan. Hal ini menjadi dasar bagi manajemen
iritcnlal HPH agar pemanfaatan hutan édak melebN daya dukung mm (fuik,
biotik dan sistem ekologinya). Hal ini dapat dilakukazi selama
pemanfaatan hutan produ&si tidak msebibi kenampuaa hutan untuk
mem@ildcan dirinya kembali. Umuk mencapai ha1 Brsebut maka volume
pemanfaatan hutan tidak mclebihi riap, efisien dalam pemanfaatan sumberdaya,
serta tig$kat pemaafaatan da» pcmbinaan hutan yang diazabkan uatuk
menjaga kclestarian ekosisteni setempat, sesuai”dengan karakteristik yang
ada.
Beberapa hal yang mesti ñpenuhi, diantaranya adalah tcrsedianya
sumberdaya manusia yang terlaih dan memi1‘iki komitmen terhadap
kelestarian sumberdaya hutan, megggunakan teAologi yang sAccil mungkin
dampaknya terhadap lingkungan, didukung dengan riset dan pengembangan
yang diNjukan unNk meningkatkan kemampuan pengelolaan hutan eecara
lestari.
Pada dasarnya hal-haI yang diungkapkan di atas, bukanlah sesuatu
yang terlalu sulit untuk dilaksanakan selama ada kominc untuk
melakukannya. Dengan kata lain, secan kAis, ha1 i% dapa dilaksanakan
sehingga tidak ada alasan untuk menghindari hal tersebut. Kendala yang
terbesar justru bersumber dari berbagai faktor ekstemal yang non teknis.
Beberapa isu non teknis yang sangat berpengaruh terhadap pengelolaan
hutan secara lestari adalah :

1. Tata Batas

Selama ini pengclolaan hutan produksi serinQali mcnimbulkan


konflik dengan pihak-pihak di luar kehutanan, baik dengan sektor-sektor lain
maupun dengan masyarakat seempa. Hal ini bermula dari peinberian areal
HPH yang tidak diikuti dengan pengkajian mendalam terhadap kondisi
faktual di lapangan yang menjangkut kepemilikan adat dan kegiatan
masyarakat yang masuk kc dalam kawasan kehutanan, sehingga.
ecñngkali Oqadi dalam kawasan
keliutanan termasuk juga kota-kota, desa. dusun dam kawasan perladangan

Rancunya tata batas menyebabkan pengelola hutan {HPH) tidak dapat


menghindari konflik dengan masyarakat setempat yang meirianfaatkan areal
hutan yang sama sRbagai akibat dari, misalnju, masyarakat mengzlokazikan
lahan tersebut untuk kegiatan ladang hergihr sedangkan HPH mnmanfaatkan
untuk produksi. Se&namya analisis pola berladang masyarakat dapat diamati
perkcmb ya day foto udara yang tslah dimi5ññ oleh HPH dan pemerintah
sendiri. Akan tetapi, ketika interpretasi foto udara dilakukan oleh Departemen
Kehutarian kawamn scmak beliikar yang sebenamya merupakan areal per!
adangan masyarakat Aanggap sebagai lahan tidak preduktif atau lahan kritis dan
uxap âang$zp sebagai bagian dari wilayah konscsi HFH, Pihak pemerintah
‹laiam hal ter tidak pernah berupaya untuk mencari tahn apakah scmak bstukar
tcrscbut adalah areal perladangan atau akibat pencbangan oleh p4ak HPH.
Dale format pemerintah belum ada kebijakan imtuk mengeluarkan kawasan
perJadangan masyarakat 4ari mlayah keqa HPH. Akibatnya, HPH tetap
mempunyai kewajiban melakukan penanaman pada lahan yang Aasumslk
sebagai 1VanWins.yang sobenamyaladangmwyarakatitu.
Kerancuan mi rncmbaiva konflik yang laten antara HPH dcngv
masyarakat, padahal mc-Acta sebcnamya sama-sami korban dun ketidakpast:as
tata batas ini. Namun, karcna HPH didukung oleh peraturan yang ads, maka
kzdudukannya jauh icbA kuat dibandingkan masyarakat yang sama sekali tidak
didukung etch sistem yang ada, maka sudah dapat dipastikan mas rakat sclalu
dalam pihak kaiah ketika menghadapi HPH.
Sicsunya sejak awal pemerintah mengantisipasi agar hai ini tidak terjadi
dcngw kebijakan tnta guna hutan tag akomodatif. utananya urtuk kepcntmgan
masyarakat di Mu sekitar hu*on. Pasalriya, jauh sebelum ditetapkannya areal
tersebut sebagai konsesi HPH telah bcrmakim pendudW SCcara turun temurl2ri
Pada sisi rum. ketidakpastian tats batas ini meriysbabhaii ketidakpastian kontrol
atas uilayR masing-masing, Artinya. di lapangan HPH tidak memiliki
ke«'énangw untuk mc]nrang masyarakat berladang di hutan produksi.
sedangkan masyarakat juga tidak merasa bersalali kareiia be
ladang adalah dan kebutuhan. Dalam keidakjelasan ru.
fentu saja mcnjadi kabur siapa ywg seiienarnya mclanggar, HPH
kah atau masyarakat *

2. Alokasi Sumberdaya untuk Nasyar Rkat Setempat

KepaStiw alokasi sumberdaya untuk masyarakat setempat ada!ah salah


satu prasyaral penting yang mendukiing pengclolaan hutan produksi secara
lestari. Masyarakat tidak akan mendukung kebijakan pelestarian hutan produksi
apabila friasyarakat tidak mendapatkan matifaat dan hutan di sckitar mcrcka.
.Alokasi sumberdaya alam untuk maS1'arakat harus Apandang sebagai hak
32

masyuaka yagg memang hams dipenuhi, bukan sebagai belas kasihan terhadap
mereka. Hal ini menjadi penting untuk mengbindari adanya persepsi yang keliru
bahwa masyaraka menjadi obyek dari penibinaan, tanpa hA sama sekali.
Alokasi sumberdaya alam bagi masyarakat seudaknya mencakup lahan untuk
kegiatan penanian dan sumberdaya kehutanan yang dapat mcre% andalkan
snbagai smber pendapaian yang lokasinya di dalam areal HPH.Berlcaitan
dengan pemaxfamn hasil hutan non %yu di dalam areal HPH perlu adanya
mekaaisme yang tegas an&a pengelola HPH dengan masyarakat setempat.
Selama ini memang telah ada kewajiban bagi HPH umuk melindungi (tidak
mene5ang)j*ñej sMm!x4anyasgdimmofaafmn lMmas . Namus
karena tidak ada mekanisme untuk berkonsultasi dmgan masyarakat untuk
mamastikan apakah kepentingan masyazakat telah terakomodasilcAn dalam
keputusan yang dibua oleh pengclo& HPH, maka fidak ada peluang bagi
masyarakat untuk mela.lnikan pengawasan atau keberatan terhadap apa yang
dilakukan oleh pengusaha yang ñjalankan, masyarakat scmakin uraiieiiasi
sumberdaya alamnya. Akibat terbatasnya mata pencahanan masyarakat maka
seringkali hal ini menjadi pemicu bagi masyarakat vNk melakukan hd-hal di
luar hukum. Apalagi, bila kemudian ada pcmilik modal yang membeñkan modal
kepada masyarakai unNk melakukan penebangm liar.
Apa yang dicanangkan pemerintah dengan program HPH Bina Desa
Hutan temyata belum bisa mmjawab permasalahan yang ada. Selain bersifat
/op-daun (ukuran keberhasilannya ditentukan oleh fonnat pumerintak bukan
pengemban in kegiatan yang sesuai dengan karakteristik lam setempat),
program ini hanya duirahkan sebagai upaya pro-aktif pengusaha untuk menjaga
hutannya. JaA masyarakat yang terlibat dalam prognm ini tetap dipandang
sebagai obyek pembangunan. Seharusnya HPH Bina &sa Hutan dipandang
scbagé scbuah lan@ah pemberdayaan bagi masyarakat yagg memang menjadi
hak mereka. Persoalan apakah keberhasilan HPH Bina Desa Hutan mampun
mengurangi tekanan terhadap hutan menjadi persoalan berikutnya yang harus
dincgosiasikan lebih lanjut melalui kcsepakatan-kcsepakatan yang dibuat
bersama. Apabila memang masyarakat yang bersalah seRlah adanya
kesepakamn sudah selayaknya untuk ñjatuhi hukuman yang memadai. JaA
jangan memvonis masyarakat sebagai pihak yang salah, sebelum hak-bak
mereka tcrpeauhi terlebih dahulu.

3. Insentif dan Disinseukf

Insentif dan disinsemif dapat pula ñjadikan sebagai pcrangkat bagi


terciplanya pengelolaan huian secara lestari. Bagi pengusaha ymg
memiliki kinezja baik, perlu men&patkar insentif agar lebih terpacu
lagi, dan dapa âjaâñazi cbagai pcndorong bagi pcgusaha lain. Sebaliknya
bagi pengusaha
yang berpenampilan buruk diberikan disinsentif berupa sanksi administrasi
maupun denda.
Satu syarat utâina bagi terciptanya mckanismc’ inn adalah bersihnva
ap'arat pengawas yap$ beiasal dan'kalapgan pemerintah, dari praktek kolusi dan
korupsi Kolusi dan konipsi &pat mcnbuat upaya mendorong peningkatan
kineya sebuah perusahaan menjadi sia-sia. Sebab, HPH yang mennliki niai
baik uatuk melakukan pcrbaikan &pat menjadi kustasi apabila praktek
ko]usi dan korup3i ini tejadi. ?idak’ ada dorongan bagi pengusaha untuk
memperbaiki kinerjatiya, apabila aparat pei;ga*vasan dapat dibeli. Pengusaha
akan lebih memilih berkoltisi apabila biaya jang dikcluarkannya lebih sedikit.
dengan kcuntungari yang besar. Sementara itu, pengusaha yang sebenamya
bemiat untuk rrielakukan hat yang baik, akan terdoron3 melakukan prakiek
kotor apabila hat itu lebih méngunti igka tiya. Dengan demiktan, sulit
diharapkaii adanya pengclolaan hutan secarn lestñri apabila praktek kolusi dan
korupsi int masih mombtidaya. Berkaitan dnngan Al ini malta perlu adanya
pergiiatan wzbawa pemerintah dan pencgak hukum terkait yang mempunyai
kredibilitas yang baik sehi a pengawasan terhadap praktek-praktek mclawari
hukun yang mensak hutandapat dijalankai dengan ketat. ’

4. Peran Serta Masyarakat

’Sâbenarnya tak ada satupun wâlayah ‹d IndSn@ia yang cukup luas


termasuk hutañ yang tidak fihurU oleh manusia, Semenjak beberapa ratus tahun
yang lalu, di banyak tempat kini d klasifikasikan sebagai kawasan hutan
negara SebW]nya sudah ada masyarakat-masyarakat tradisionai yang hifiup
dengan mmgelola suriiberdaya alam, yang kemudian diabaikan lteberadaann a
Untuk itu sudah selayaknya pula masyarakat dipandang sebagai s?aâe holder
dalam pengelolaan hutan produksi, Posisi‘irii bfikan sekedai mmempel tanpa
fungsi, tetapi harus terS&ia mekanisme konsnltasi yang heriar-benar menjamin
proses pemberdayaan masyarakat dalam p'cngelolaan hutan produksi

Anda mungkin juga menyukai