Anda di halaman 1dari 9

Gambaran Pembelajaran Kelas Rangkap

Yang Ideal Dan Praktek Yang Terjadi Di


Lapangan
Herman Firdaus Kumpulan Makalah

Praktik Mengajar Kelas Rangkap di Lapangan

Praktik pembelajaran kelas rangkap masih banyak yang menyimpang dari gambaran
pembelajaran kelas rangkap yang ideal. Pembelajaran yang berlangsung hanya secara bergilir,
sehingga banyak waktu yang terbuang dengan percuma, pemanfaatan sumber belajar belum
maksimal, dan supervisi guru terhadap belajar murid masih kurang, kadang mengakibatkan
pembelajaran membosankan. Sehingga hasil belajar tidak sesuai dengan dengan harapan.
Padahal mengajar kelas rangkap bukan suatu keadaan yang pantas dituduh sebagai penyebab
rendahnya kemampuan siswa. Penyimpangan praktik pembelajaran kelas rangkap yang saat ini
masih banyak terjadi adalah sebagai berikut.

1. Dilaksanakan Secara Bergilir (Pembelajaran Duplikasi)

Pembelajaran yang dilaksanakan secara bergilir (Pembelajaran duplikasi) merupakan proses


pembelajaran, dimana guru mengajar secara bergilir dari kelas yang satu ke kelas lain dan
kembali lagi. Kegiatan pembelajaran tersebut bukan pembelajaran kelas rangkap karena kegiatan
belajar mengajar berlangsung tidak serempak. Berikut contoh praktik pelaksanaan pembelajaran
secara bergilir.
Ibu Indri (bukan nama sebenarnya) mengajar di kelas 3 dan kelas 5. Murid dari kedua kelas
tersebut berada pada ruang kelas masing-masing, tetapi masih bersebelahan. Pelajaran dimulai
pukul 07.30. Ibu Indri pertama masuk di kelas 3 dan mulai mengabsen muridnya. Tiba-tiba Nico
baru saja datang, dialog terjadi karena keterlambatan salah satu murid tersebut.
Kegiatan bu Indri berikutnya adalah menjelaskan pelajaran matematika. Sekali-kali berhenti dan
bertanya pada murid apakah ada yang belum dimengerti. Kemudian ia memberi soal-soal
dipapan tulis. Setelah itu, Ibu Indri masuk ke kelas 5. Di kelas 5 ia juga mengabsen murid
dengan cara yang tidak berbeda dengan apa yang dilakukan di kelas 3. Bahkan terjadi dialog
yang agak panjang karena Salma salah satu murid kelas 5 tidak hadir. Beberapa musid ditanya bu
Indri tidak ada yang mengetahui keberadaan Salma. Tapi tiba-tiba Martha cerita kalau pulang
sekolah kemarin bersama Salma, ia badannya panas dan hidungnya mengeluarkan darah.

Kemudian bu Indri menjelaskan pelajaran bahasa Indonesia untuk hari itu. Seperti yang
dilakukan di kelas 3 tadi, setelah bu Indri menjelaskan dan memberi kesempatan bertanya pada
murid-murid kelas 5 lalu menulis beberapa soal di papan tulis dan menyuruh para murid
mengerjakannya secara individual.

Ibu Indri kembali lagi ke kelas 3 menanyakan apakah mereka sudah selesai mengerjakan soal
matematika. Kemudian bu Indri menyuruh beberapa murid untuk bergiliran maju kedepan
mengerjakan soal matematika dan secara bersama-sama dengan murid bu Indri memeriksa
jawaban murid. Semua murid dianjurkan untuk mencocokkan dengan jawaban di papan tulis.
Sebelum istirahat bu Indri kembali memberi soal matematika sebagai PR. Selanjutnya bu Indri
kembali masuk ke kelas 5. Apa yang dilakukan di kelas 5 sama saja dengan apa yang dilakukan
di kelas 3. Mula-mula murid disuruh maju ke depan mengerjakan soal, memeriksa bersama dan
pada akhirnya murid disuruh mencocokkan pekerjaannya dengan jawaban di papan tulis. Bu
Indri kembali memberi soal untuk dikerjakan di rumah, dan selesailah pelajaran bahasa
Indonesia hari itu.

Dari contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bergilir memiliki beberapa
kelemahan yaitu,
a. Pemborosan waktu

Pemborosan waktu telah terjadi tanpa disadari oleh Ibu Indri. Ibu Indri melakukan pemborosan
waktu ketika mengabsen murid bahkan pada saat ada murid yang tidak hadir terjadi dialog
panjang dengan murid-murid lain. Belum waktu yang hilang pada saat bu Indri mondar-mandir.
Bahkan pada saat bu Indri masuk di kelas 3, murid kelas 5 menungggu agak lama. Hal tersebut
dapat juga mengakibatkan murid kehilangan semangat untuk belajar.

b. Pembelajaran berlangsung seragam

Pembelajaran berlangsung dengan metode yang sama (seragam) dalam waktu yang sama dan
untuk semua murid, proses pembelajaran pun berlangsung sederhana, mulai dari menerangkan,
memberi soal, mengerjakan soal, menyuruh murid maju ke papan tulis. Pembelajaran seperti ini
terkesan monoton. Meskipun murid-murid ditugaskan untuk mengerajakan soal secara individual
dan beberapa murid disuruh mengerjakan di papan tulis, tetapi pembelajaran yang dilakukan oleh
bu Indri ini masih jauh dari prinsip-prinsip belajar aktif.
c. Kontak psikologis antara guru dengan murid sangat terbatas

Guru memang menanyakan kepada murid: “Siapa yang belum mengerti?”, “Siapa yang betul?”.
Tetapi pertanyaan seperti itu tidak dapat mendorong siswa untuk aktif, apalagi hampir tidak
dijumpai interaksi aktif dan langsung diantara sesama murid. Pertanyaan yang diajukan secara
umum tersebut, juga tidak berguna untuk mengetahui kesulitan siswa secara perorangan. Lebih-
lebih tidak ada upaya bu Indri untuk mengelilingi kelas dan mendatangi murid yang sedang
mengerjakan soal.

Pemanfaatan Sumber Belajar Belum Maksimal Dan Supervisi Guru Terhadap


Belajar Murid Masih Kurang

Guru merupakan sumber belajar yang utama, yaitu dengan segala kemampuan, wawasan
keilmuan, keterampilan dan pengetahuan yang luas, maka segala informasi pembelajaran dapat
diperoleh dari guru tersebut. Sumber belajar pada dasarnya banyak sekali baik yang terdapat di
lingkungan kelas, sekolah, sekitar sekolah bahkan di masyarakat, keluarga, di pasar, kota, desa,
hutan dan sebagainya. Yang perlu dipahami dalam hal ini adalah masalah pemanfaatannya yang
akan tergantung kepada kreativitas dan budaya mengajar guru atau pendidikan itu sendiri.

Supervisi merupakan kegiatan pembinaan untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu mengajar
dan belajar dengan bantuan yang diberikan oleh guru. Supervisi yang dimaksud adalah
kemampuan guru untuk mencari inspirasi atau ide-ide agar ia dapat menghasilkan sesuatu yang
terbaik bagi anak didiknya. Dapat dibayangkan jika pemanfaatan sumber belajar belum
maksimal dan supervisi guru terhadap belajar murid juga dalam kondisi kurang, maka murid
mengalami kesulitan dalam proses belajar mengajar selain itu dapat dipastikan kemampuan
murid dalam klasifikasi yang rendah. Berikut contoh praktik pelaksanaan pembelajaran dimana
pemanfaatan sumber belajar belum maksimal dan supervisi guru terhadap belajar murid juga
masih kurang.

Bapak Suruan hari itu memulai pengajarannya di kelas 4. Setelah mengucapkan salam dan
mengarahkan murid, kemudian pak Suruan menyuruh murid-murid mengeluarkan buku catatan.
Jam pertama adalah pelajaran IPS. Pak Suruan kemudian menyalin salah satu bahan pelajaran
IPS dan sementara menulis di papan tulis pak Suruan mengingatkan supaya anak-anak juga
mulai menyalin.

Kurang lebih lima belas menit, pak Suruan telah selesai menyalin kemudian mengingatkan anak-
anak untuk menyalin dengan rapi dan berpesan jangan ramai karena bapak akan mengajar juga di
kelas 5.

Selanjutnya pak Suruan masuk ke kelas 5 dan memberikan pelajaran IPA, tentu saja waktu untuk
kelas 5 sudah terulur selama kurang lebih lima belas menit. Kemudian pak Suruan menyuruh
murid-murid mengeluarkan buku catatan dan disuruh menyalin bahan pelajaran IPA yang sedang
ditulis pak Suruan di papan tulis sampai selesai.
Semua yang dilakukan oleh pak Suruan di dua kelas tadi disebabkan karena murid-murid tidak
mempunyai buku. Buku milik guru pun sangat terbatas sekali dan itupun termasuk buku-buku
lama. Di sekolah tersebut juga tidak mempunyai alat peraga, apalagi alat-alat IPA.

Dari contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan sumber belajar belum maksimal dan
supervisi guru terhadap belajar murid yang juga masih kurang memiliki dampak sebagai berikut.

a. Mengurangi bahkan dapat menghilangkan kesempatan murid untuk membaca

Kebiasaan menyalin bahan pembelajaran yang dilakukan oleh murid-murid yang mungkin sudah
berlangsung lama sejak di kelas rendah mengurangi, bahkan dapat menghilangkan kesempatan
untuk membaca. Seharusnya ketiadaan buku tidak diatasi dengan cara menyalin. Kalau saja pak
Suruan dapat lebih kreatif atau mau berusaha, maka sebenarnya pak Suruan bisa menyuruh
beberapa murid yang mempunyai tulisan baik untuk menulis salah satu bahan ajar sebagai PR.
Kemudian esoknya dibagikan kepada semua murid dan kemudian menyuruhnya membaca
dengan keras atau dalam hati.

b. Rendahnya kemampuan murid

Sebenarnya mengajar kelas rangkap bukan suatu keadaan yang pantas dituduh sebagai penyebab
rendahnya kemampuan murid rendah. Ketidakmampuan guru dan enggannya guru berupaya
lebih keras untuk membelajarkan siswa lebih pantas dikatakan sebagai penyebab utamanya.
Apalagi bila guru sudah kehilangan hasrat untuk mencari inspirasi atau ide-ide agar ia dapat
menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi anak didiknya.

Pembelajaran Kelas Rangkap yang Ideal (yang diinginkan)

Tidak ada pembelajaran kelas rangkap yang mampu dilakukan dengan 100% benar, masih
banyak kelemahan-kelemahan dalam melakukan praktik pembelajaran kelas rangkap. Akan
tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana membuat pembelajaran kelas rangkap yang
ideal untuk sang guru dan murid yang diajarnya. Berikut contoh pelaksanaan pembelajaran kelas
rangkap yang ideal (yang diinginkan). Memang contoh berikut bukan yang terbaik, tetapi paling
tidak dapat menggambarkan unsur-unsur penting dalam pembelajaran kelas rangkap sehingga
dapat menyimpulkan perbedaan-perbedaan dari praktik mengajar kelas rangkap sebelumnya.

Contoh 1 :

Mungkin tidak banyak yang mengira bahwa di daerah perkotaan masih ada SD yang mengalami
kekurangan guru. Maka mengajar dengan merangkap kelas tak dapat dihindarkan. Hal itulah
yang dialami oleh Pak Theo.

Hari itu Pak Theo mengajar di kelas 5 dan kelas 6. Murid-murid yang terdiri dari dua tingkatan
kelas yang berbeda itu diajar dalam satu ruang kelas dan dalam waktu yang bersamaan. Mata
pelajaran kedua kelas itu berbeda, kelas 5 mata pelajaran matematika dan kelas 6 mata pelajaran
Bahasa Indonesia. Murid kelas 5 duduk dijajaran sebelah kanan dan kelas 6 duduk dijajaran
sebelah kiri. Masing-masing kelas membentuk kelompok yang terdiri dari 3-5 orang murid.
Papan tulis pun digunakan untuk kedua tingkat kelas tersebut.

Pak Theo memulai pelajaran dengan mengucapkan selamat pagi. Dengan sikap yang ramah dan
senyum yang cerah ia menyapa anak-anak. Pak Theo kemudian bertanya kepada anak-anak
tentang pengalaman mereka ketika berangkat ke sekolah. Markus, salah satu murid kelas 6
mendapat kesempatan bercerita tentang pengalamannya saat berangkat ke sekolah tadi. Pak Theo
tersenyum dan kemudian memberi kesempatan murid yang lain untuk menceritakan
pengalamannya yang lain. Kali ini Winda murid kelas 5 mendapat giliran. Winda lalu bercerita
bahwa setiap hari ia harus berangkat setengah enam pagi karena rumahnya agak jauh dari
sekolah dan ia harus berjalan kaki.

Selanjutnya Pak Theo memanggil para ketua kelompok, baik dari ketua kelompok kelas 5
maupun ketua kelompok dari kelas 6. Mereka diberikan wacana (bahan bacaan) dan meminta
agar wacana itu dibaca di kelompok masing-masing secara bergiliran. Murid kelas 6 mendapat
kesempatan bercerita tentang pengalamannya saat berangkat ke sekolah tadi. Pak Theo
tersenyum dan kemudian memberi kesempatan murid yang lain untuk menceritakan
pengalamannya yang lain. Kali ini Winda murid kelas 5 mendapat giliran. Winda lalu bercerita
bahwa setiap hari ia harus berangkat setengah enam pagi karena rumahnya agak jauh dari
sekolah dan ia harus berjalan kaki.

Selanjutnya Pak Theo memanggil para ketua kelompok, baik dari ketua kelompok kelas 5
maupun ketua kelompok dari kelas 6. Mereka diberikan wacana (bahan bacaan) dan meminta
agar wacana itu dibaca di kelompok masing-masing secara bergiliran.

Apa yang harus dilakukan di dalam kelompok, telah ditulis di papan tulis oleh Pak Theo. Murid-
murid diminta membaca petunjuk di papan tulis dan dipersilahkan bertanya jika ada yang belum
jelas. Sementara murid membaca, Pak Theo memantau setiap kelompok dan mencocokkan
jumlah murid yang hadir dengan daftar absen kelas.

Selama murid-murid bekerja, Pak Theo berkeliling mengawasi kegiatan dan memantau bila ada
yang mengalami kesulitan. Beberapa saat kemudian ada murid kelas 6 yang angkat tangan dan
menyatakan bahwa kelompoknya sudah selesai mengerjakan tugas bahasa Indonesia, kemudian
Pak Theo meminta salah satu anggota kelompok tadi untuk membantu salah satu kelompok di
kelas 5 yang sedang menyelesaikan soal matematika, dan satu murid lagi diminta membantu
kelompok lain yang juga mengerjakan tugas bahasa Indonesia.

Wacana atau bahan bacaan itu bercerita tentang upaya penduduk yang membuat sebuah jembatan
dari bambu secara gotong royong. Berapa jumlah bambu, tali, berapa lama waktu penyelesaian
dengan sekian banyak pekerja, berapa ketinggian jembatan jika air naik sekian centimeter,
berapa biaya yang diperlukan, berapa persen sumbangan masyarakat setempat, dan sebagainya,
sengaja dimasukkan dalam wacana untuk materi matematika. Sedangkan untuk bahasa
Indonesia, apa arti kata-kata musyawarah mewakili rumpun, curah hujan, dan sebagainya.

Waktu yang diberikan untuk menyelesaikan tugas bahasa Indonesia dan matematika berbeda.
Sementara kelas 5 masih menyelesaikan tugas matematika, pak Theo membahas tugas bahasa
Indonesia, setiap kelompok mendapat giliran menjawab atau berkomentar. Beberapa saat
kemudian murid kelas 5 juga sudah selesai mengerjakan tugas matematika. Pak Theo
membahasnya dan setiap kelompok juga mendapat giliran mengerjakan di papan tulis. Murid
yang lain diminta mencocokkan dengan jawaban yang benar di papan tulis.

Contoh 2 :

Seperti halnya Pak Theo, Bu Ningsih juga bertugas mengajar dengan merangkap kelas yaitu
kelas 4 dan kelas 3. Kelas Bu Ningsih tampil agak berbeda dengan kelas Pak Theo. Bu Ningsih
memanfaatkan sudut ruang kelas sebagai sudut sumber belajar. Di sudut itu disamping ada buku
pelajaran juga ada buku bacaan, guntingan koran, kertas kosong, mainan, pensil warna dan
sebagainya.

Di sudut yang lain juga ada beberapa benda yang mengesankan sebagai sudut IPA, karena ada
tanaman dalam pot-pot kecil, botol-botol, kupu-kupu dan belalang yang diawetkan, gambar
bagian tubuh manusia, gambar hewan dan juga gambar tumbuhan, beberapa peralatan listrik
seperti lampu, baterai, kabel, dan sebagainya.

Bu Ningsih mulai pelajaran dengan mengucapkan salam dan menanyakan kabar anak-anak dan
juga orang tua mereka. Kemudian menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh murid kelas 4 dan
kelas 3. Anak kelas 3 diminta untuk ke salah satu sudut belajar yang ada buku-buku dan benda-
benda lainnya. Disana ada toples berisi gulungan kertas dan masing-masing anak diminta
mengambil satu gulungan kertas dan kemudian mengerjakan tugas sesuai dengan tulisan yang
didapatnya.

Beberapa saat kemudian murid kelas 3 masing-masing terlibat dengan tugasnya. Sementara itu
bu Ningsih menerangkan pelajaran murid kelas 4 tentang ikan gabus, bagaiman ikan itu bernafas,
dimana ia hidup, bagaimana berkembang biak dan bagaimana ikan tersebut mempertahankan
hidupnya jika air kering. Bu Ningsih juga bertanya kepada anak-anak bagaimana cara
menangkap ikan gabus tersebut. Beberapa anak menjawab dengan menyebutkan alat-alat yang
dapat digunakan untuk menangkap ikan tersebut.

Setelah tanya jawab tentang ikan dan bagaimana cara menangkapnya, kemudian bu Ningsih
meminta anak-anak untuk menggambar ikan dan alat untuk menangkap ikan. Anak-anak
menekuni gambar masing-masing. Bu Ningsih lalu mengunjungi murid kelas 3 yang masih
menyelesaikan tugasnya. Bu Ningsih memantau dan memberikan pujian. Kemudian Bu Ningsih
meminta anak-anak kembali ke bangku masing-masing dan menjelaskan pelajaran matematika.
Selanjutnya menulis soal matematika di papan tulis, masing-masing murid diminta
mengerjakannya.

Bu Ningsih selanjutnya memantau pekerjaan anak kelas 4 dan mengumpulkannya. Selanjutnya ia


menerangkan pelajaran bahasa Indonesia tentang kalimat aktif dan pasif. Selanjutnya anak-anak
diminta membuat karangan singkat dengan menggunakan kata yang berawalan dan berakhiran.
Siapa yang sudah selesai boleh menuju sudut sumber belajar yang ada buku-buku bacaan.
Bu Ningsih kembali ke murid kelas 3, memantau pekerjaan murid secara bergilir, membantu
murid yang mengalami kesulitan, Bu Ningsih juga menerangkan kembali pada murid yang
mengalami kesulitan, memberi balikan dan setelah itu mereka diberi soal lagi sebagai PR.

Berdasarkan dua contoh diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan oleh
pak Theo dan bu Ningsih telah memberikan gambaran tentang pembelajaran kelas rangkap yang
semestinya, walaupun contoh tersebut diatas belum yang terbaik. Namun, dapat diketahui bahwa
pembelajaran kelas rangkap yang ideal, secara terencana menerapkan prinsip-prinsip
pembelajaran kelas rangkap yang menyebabkan kegiatan belajar mengajar menjadi sebagai
berikut.

a. Keadaan iklim kelas ceria

Kelas tampak hidup, murid tampak ceria. Di awal pelajaran Pak dan Bu guru bertanya, tetapi
hampir tak ada kaitannya dengan pelajaran hari itu. Pertanyaan seperti itu dengan tujuan agar
murid termotivasi dan secara mental siap menerima pelajaran hari itu.

b. Proses belajar berlangsung serempak

Apalagi murid yang berbeda tingkat kelas ada dalam satu ruang. Gangguan yang muncul tidak
terlalu serius, sebab ketika guru menerangkan murid dari kelas lain berada di sudut ruang yang
lain. Tidak ada pemborosan waktu karena guru tidak mondar-mandir pindah kelas.

c. Guru memanfaatkan ruang kelas yang ada dengan menciptakan sudut sumber belajar

Sudut sumber belajar dapat memberi peluang bagi murid, tanpa pengawasan guru murid dapat
mempraktikkan konsep belajar menemukan sendiri dan pemecahan masalah.

d. Konsep CBSA yang sebenarnya Nampak

Murid tidak hanya aktif secara individual tetapi juga kelompok dan berpasangan. Murid yang
lebih dahulu dimanfaatkan untuk membantu temannya (tutor sebaya), atau membantu kelas
dibawahnya (tutor kakak).

e. Adanya asas kooperatif-kompetitif

Murid bersemangat mengerjakan tugas, apalagi ketika guru mengatakan siapa yang sudah selesai
lebih dulu akan mendapat nilai tambahan, gambar yang terbaik akan dipajang atau siapa yang
selesai duluan boleh membaca buku-buku bacaan, dan sebagainya.

f. Belajar dengan pendekatan pembelajaran kelas rangkap yang benar

Belajar dengan pendekatan pembelajaran kelas rangkap yang benar sangat menyenangkan.
Belajar sambil bermain, main sambil belajar dapat diperagakan khususnya bila kita sedang
mengajar kelas rendah. Hal itu nampak saat anak mengambil gulungan kertas dan membaca apa
yang menjadi tugas mereka masing-masing.
g. Ada perhatian khusus bagi murid yang lambat dan yang cepat

Guru membantu murid yang mengalami kesulitan (murid yang lambat), bahkan guru
menjelaskan lagi bagian-bagian yang tidak dipahami. Bagi murid yang cepat guru memberikan
tugas ekstra, misalnya murid diminta untuk mengambil gulungan kertas yang berisi soal-soal
baik mata pelajaran yang baru saja dijelaskan maupun mata pelajaran lain.

h. Sumber belajar murid bukan saja berasal dari Depdikbud atau Dinas

Guru pembelajaran kelas rangkap dapat melengkapi sumber belajar yang berasal dari lingkungan
sekolah dan lingkungan sekitar. Sudut ruangan menjadi lengkap dengan sumber belajar. Bahkan
dapat memupuk tanggung jawab murid terhadap kelas dan sekolah mereka.

i. Prinsip perangkapan kelas tidak hanya dalam bentuk mengajar dua tingkat kelas atau
lebih dalam satu ruang kelas atau lebih dan dalam waktu yang bersamaan

Perangkapan kelas juga berarti dalam bentuk mengajarkan dua bidang studi atau lebih dalam satu
wacana atau topik. Inilah yang disebut pengajaran terpadu (integrated).

j. Guru dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan

Ketika guru menjelaskan tentang bagaimana menangkap ikan, murid-murid menjawab dengan
menyebut beberapa alat menangkap ikan yang biasa digunakan di lingkungan sekitar, kemudian
murid diminta menggambar alat tersebut.

Setelah dapat membedakan pembelajaran kelas rangkap yang ideal dan yang terjadi di lapangan,
dapat disimpulkan bahwa guru memiliki peranan yang penting dalam pembelajaran kelas
rangkap. Peranan guru dalam pembelajaran kelas rangkap adalah sebagai berikut.

1. Sebagai perancang kurikulum, hal ini bukan berarti guru menyimpang dari kurikulum yang
berlaku bahkan untuk membuat yang baru. Tetapi di daerah terpencil yang serba sulit dan serba
kurang, tidak semua butir yang tercantum dalam kurikulum mungkin dilaksanakan dengan
memadai. Sering kali mengajarkannya dengan secara berurutan pun mengalami kesulitan. Oleh
karena itu, guru pembelajaran kelas rangkap harus memilih butir atau bagian kurikulum yang
memerlukan penekanan. Atas dasar butir-butir itu guru memutuskan konsep dan fakta yang akan
diajarkannya dan mengurutkan kembali tujuan instruksional yang ingin dicapainya berdasarkan
kelas.

2. Sebagai sumber informasi yang kreatif, guru pembelajaran kelas rangkap harus kreatif, ia
bukan saja menjadi sumber informasi tetapi juga sebagai manusia sumber, berperan untuk
memecahkan keadaan yang serba kurang. Ia harus memberi arahan kepada muridnya agar
mereka tidak membuang-buang waktu dan tenaga, agar setiap murid terlibat dalam segala
macam kegiatan.
3. Sebagai administrator. Agar dapat mencapai hasil yang maksimal, guru pembelajaran kelas
rangkap harus merencanakan dan mengatur kelasnya dan jadwal pelajaran dengan seksama.
Hasil maksimal dapat dicapai jika guru pembelajaran kelas rangkap dapat melibatkan muridnya
secara aktif, bukan saja untuk belajar tetapi juga dapat membantu guru mengajar teman-
temannya yang tertinggal. Guru pembelajaran kelas rangkap juga harus mampu memanfaatkan
segenap sumber daya yang ada di lingkungan sekolah.

4. Sebagai seorang professional. Guru pembelajaran kelas rangkap senantiasa berusaha untuk
meningkatkan kompetensinya dan meningkatkan gaya mengajarnya. Walapun kesempatan untuk
mengikuti pelatihan atau pendidikan lanjutan bagi sebagian guru yang ada di daerah terpencil
sulit diwujutkan, tetapi niat professional harus tetap dipelihara dan yang penting semangat itu
selalu ada. Salah satu ciri seorang guru professional adalah juga tidak cepat putus asa. Manusia
dapat mencapai apa saja bila tidak cepat putus asa.

5. Sebagai agen pembawa perubahan. Guru sebagai pengayom dan juga sebagai sosok yang
mewakili misi moral dan nilai dari masyarakat tempat dimana ia bertugas. Guru harus berusaha
keras untuk mendatangkan perubahan yang positif terhadap sikap dan perilaku anggota
masyarakat melalui proses pembelajaran di sekolah dan melalui interaksi dengan anggota
masyarakat setempat. Pendek kata guru harus mencari, mendatangkan, dan mengajarkan
perubahan yang berguna bagi anak didik, orang tua dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Susilowati, dkk. 2009. PEMBELAJARAN KELAS RANGKAP (PKR). Jakarta : Depdiknas.

Winataputra, Udin.S. 1998. PEMBELAJARAN KELAS RANGKAP (PKR).


Jakarta : Depdiknas.
vvvvv

Anda mungkin juga menyukai