Penulisan Hadits
Ada beberapa nash yang bertentangan dalam hal penulisan hadits, sebagian
menunjukan adanya larangan penulisan, dan sbagian lain membolehkan adanya
penulisan hadits. Adapun riwayat – riwayat yang melarang menuliskan hadits dituliskan
sebagai berikut:
1. Dari Abu Sa’id Al – Khudri RA bahwa Rasulullah SAW bersabda “ Janganlah menulis
daripadaku, barangsiapa menulis daripadaku selain Al-Qur’an maka lenyapkanlah, dan
ambillah hadits dariku dan tidak mengapa, barangsiapa yang berbohong dengan
sengaja atas namaku maka akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka.”
(Hadits HR Muslim)
2. Dari Abu Hurairah RA berkata “ Rasulullah SAW datang kepada kami sedangkan
kami sedang menulis hadits lalu beliau bersabda “ Apa yang sedang kalian tulis?” kami
menjawab “Hadits - hadits yang kami dengar dari engkau.” Beliau bersabda “ Apakah
kalian menghendaki kitab selain kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian
melainkan karena mereka menulis dari kitab – kitab selain kitabullah.” ”
Ibnu Ash-Shalah berkata “ Para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits,
sebagian mereka melarang penulisan Hadits dan ilmu dan meyuruh untuk
menghapalnya. Adapun sebahagian yang lain membolehkannya.”
Mereka yang membolehkan penulisan hadits antara lain Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali,
Anas, Abdullah bin Amr bin Ash, dan sekelompok lainnya dari sahabat dan tabiin RA.
Adapun yang melarang penulisannya adalah Umar Ibnu mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu
Musa, Abu Said, dan sekelompok lainnya dari sahabat dan Tabiin RA.
Para ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih sebagai berikut:
1. Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan Islam, dikhawatirkan
terjadi percampuran antara hadits dan Al-Qur’an. Ketika sudah kondusif, Rasulullah
mengizinkan untuk menulis hadits dan larangan sebelumnya menjadi terhapus.
2. Larangan hanya khusus pada penulisan hadits bersamaan dengan Al-Qur’an dalam
satu lembar.
3. Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu menghapalnya karena
dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan. Sebaliknya diperbolehkan menulis hanya
bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam menghapalnya.
Dengan demikian hilanglah kesan pertentangan antara nash-nash yang ada. Dan tidak
diragukan lagi bahwa adanya perbedaan ini hanyalah terjadi diawal masa Islam saja.
Sedangkan generasi selanjutnya sepakat membolehkan penulisan tersebut.
Pembukuan Hadits
Pembukuan hadits memiliki makna yang berbeda dengan penulisan hadits. Seseorang
yang menulis sebuah shahifah atau lebih maka disebut dengan penulis hadits.
Sedangkan pembukuan hadits adalah mengumpulkan shahifah yang sudah tertulis, dan
yang dihafal dalam dada, lalu menyusunnya sehingga menjadi dalam satu buku.
Pembukuan hadits pertama kali dilakukan oleh Khalifah Umar bin abdul Aziz, para ahli
hadits memandang bahwa upaya Umar bin abdul Aziz merupakan langkah awal dari
pembukuan hadits, tepatnya pada penghujung tahun ke 100 Hijriyyah. Namun demikian
upaya ini belum menyeluruh dan sempurna.
Adapun pembukuan yang lebih menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin syihab
Az zuhri, yang menyambut seruan khalifah Umar bin abdul Aziz dengan tulus dan
disertai atas dasar kecintaan kepada hadits Rasulullah SAW dan keinginannya untuk
mengumpulkannya. Upaya pengumpulan ini menjadi permulaan bagi para penyusun
hadits berikutnya yang tersebar diberbagai negeri.
Metode Pembukuan Hadits
Metode Pertama: Metode Masanid
Al Masanid maksudnya adalah buku-buku yang berisi tentang kumpulan hadits setiap
sahabat secara tersendiri, baik hadits shahih, hasan maupun dhaif. Pada sebahagian
musnad kadang hanya terdapat kumpulan hadits salah seorang sahabat saja, atau
hadits sekelompok para sahabat seperti sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga.
Ada sangat banyak masanid, bahkan al kittani mneyebutkan jumlahnya sebanyak 82
musnad, kemudian berkata “Musnad itu jumlahnya banyak selain yang telah kami
sebutkan.” Beberapa dari Masanid tersebut antara lain:
1. Musnad Abu dawud
2. Musnad abu bakar bin az zubair
3. Musnad Ahmad bin hanbal
4. Musnad Abu Ya’la ahmad bin ali al Mutsanna.
Metode Kedua : AL Ma’ajim
Al ma’ajim maksudnya adalah buku yang berisi kumpulan hadits-hadits yang berurut
berdasarkan nama para sahabat, atau guru-guru penyusun, atau negeri sesuai dengan
huruf hijaiyyah.
Adapun kitab mu’jam yang terkenal:
1. AL Mujam AL Kabir, Karya Abul Qasim bin Ahmad Ath Thabrani
2. AL Mu’jam AL Ausath, karya Ath Thabrani
3. Al Mu’jam Ash Shaghir, karya Ath Thabrani
Metode ketiga:
Pengumpulan Hadits Berdasarkan Semua Bab Pembahasan Agama, Seperti Kitab-Kitab
Jawami’
Metode jawami’ ini maksudnya adalah pembukuan hadits yang disusun oleh
pengarangnya terhadap semua pembahasan agama. Maka dalam pembukuan seperti
ini akan ditemukan bab tentang iman, thaharah, ibadah, muamalah, pernikahan, sirah,
riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa, fitnah dan lain sebagainya.
Adapun kitab-kitab jawami’ yang terkenal adalah:
1. Al jami’ ash shahih karya Imam Bukhari, kitab ini sudah disyarah oleh Imam Ibnu
hajar al asqalani dalam kitabnya yang berjudul Fathul barri bisyarhi shahihil bukhari.
2. Al jami’ ash shahih karya Imam Muslim, kitab ini sudah disyarah oleh Imam Nawawi
dalam kitabnya minhaj fi syarh shahih muslim bin al hajjaj.
3. AL Jami’ Ash shahih karya Imam At tirmidzi, kitab ini sudah disyarh oleh ibnul arabi al
maliki dalam kitabnya yang berjudul Aridhatul ahwadzi ‘ala at tirmidzi.
Upaya para Ulama dalam pembukuan dan penjelasan gharib al hadits berhenti pada
Ibnu Atsir. Dan belum diketahi ada yang melakukan hal serupa setelah ibnu atsir kecuali
ibnu Hajib. Setelah itu upaya para ulama hanya sebatas pada memberi lampiran dan
ikhtisar, atau meringkas terhadap kitab An Nihayah.
Diantara ulama yang memberikan lampiran tersebut adalah shafiyyuddin Mahmud bin
abu bakr Al Armawi. Dan diantara yang melakukan ikhtisar adalah al Muttaqi, as
Shafawi dan Jalaluddi As Suyuthi.
Kitab Nihayah juga disusun dalam bentuk syair oleh imaduddin abul fida ismail bin
Muhammad al hanbali dengan judul “ Al kifayah fi nuzhum An Nihayah.
Ibnu atsir, telah mengatur kitabnya “ An Nihayah” berdasarkan urutan huruf hijaiyah, dan
dicetak terakhir kalinya dengan diteliti dan diperiksa oleh Thahir ath Thahani, sebanyak
lima jilid.
Ibnu atsir dalam menyusun kitabnya An Nihayah berpedoman pada kitab alharawi dan
abu Musa al Madini, yaitu dengan memberi tanda atau rumus huruf “ha” jika mengambil
dari kitab al Harawi, dan tanda atau rumus “sin” jika mengambil dari kitab abu Musa.
Adapunselain dari kedua kitab tersebut dibiarkannya tanpa tanda-tanda apapun, untuk
membedakan nama yang dari kedua kitab tersebut dan mana dari kitab yang lain.
ILMU ILAL AL HADITS
Ilmu ilal hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi dan tidak
nyata, yang dapat merusakkan hadits. Seperti menyambung yang munqathi’,
memarfu’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits kedalam hadits yang lain,
menempatkan sanad pada matan yang bukan semestinya, dan yang serupa itu. Semua
ini bila diketahui dapat merusak keshahihan hadits.
Cara mengetahui Ilal hadits adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadits dan
mencermati perbedaan perawinya dan kedhabitan mereka, yang dilakukan oleh orang
yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu’tal
atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada illat pada hadits tersebut maka
dihukuminya sebagai hadits tidak shahih.
Contoh illat pada sanad: dari ibnu abi hatim berkata: “aku pernah bertanya kepada
ayahku dan kepada abu zur’ah pada sebuah hadits ayang diriwayatkan ubaidah bisn Al
Aswad, dari qasim bin Al walid, dari Qatadah, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, dari
Nabi SAW tentang membasuh khuf, keduanya menjawab, “salah, yang benar adalah
diriwayatkan dari Musa bin Salamah, dari Ibnu Abbas secara mauquf.
Adapun contoh illat pada matan: hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam
shahihnya dari riwayat Al Walid bin Muslim: “Telah bercerita kepada kami Al Auza’i, dari
qatadah, bahwasanya dia pernah menulis surat memberitahukan kepadanya tentang
Anas Bin Malik yang telah bercerita kepadanya, dia berkata, “aku pernah shalat
dibelakang Nabi SAW, abu bakar, Umar, dan Utsman, mereka memulainya dengan
membaca “alhamdulillah rabbil alamin” tidak menyebut “Bismillahirrahmanirrahim” pada
Awal maupun pada akhir bacaan.”
Imam muslim juga meriwayatkan dari Al walid, dari al auza’i, telah memberitahukan
kepadaku Ishaq bin abdillah bin abi thalhah bahwasanya dia mendengar anas menyebut
demikian.
Ibnu Asshalah dalam kitab ulumul hadits mengatakan “ sebagian kaum mengatakan
bahwa riwayat tersebut diatas terdapat illat. Mereka berpendapat bahwa kebanyakan
riwayat tidak menyebut basmallah tapi membaca hamdalah dipermulaan bacaan, dan
muttafaqun alih menurut riwayat Bukhori dan Muslim dalam Shahihnya. Mereka
mengatakan bahwa lafazh tersebut adalah riwayat yang dipahaminya secara maknawi,
yaitu lafazh “mereka membuka bacaan shalat dengan membaca alhamdulillahi rabbil
alamin” dipahami bahwa mereka tidak membaca basmalah, maka meriwayatkan seperti
apa yang dipahaminya, dan ternyata salah, karena maknanya bahwa surat yang mereka
baca adalah surat alfatihah yang tidak disebutkan padanya basmalah. Ditambah lagi
dengan beberapa hal, yaitu sahabat Anas ditanya tentang iftitah dengan basmalah, lalu
dia menyebutkan bahwa dia tidak mengetahui sesuatupun dari Rasulullah SAW tentang
itu.
Adapun karya-karya ulama tentang ilmu ini diantaranya adalah:
1. Kitab Ilalul hadits, karya Imam Ahmad bin hanbal
2. Kitab Al Ilal karya Imam At Tirmidzi.
3. Kitab AL Ilal al waridah fil ahadits An nabawiyyah, karya Imam Al Hafizh
Addaruquthni.