Anda di halaman 1dari 11

PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADITS NABI

Penulisan Hadits
Ada beberapa nash yang bertentangan dalam hal penulisan hadits, sebagian
menunjukan adanya larangan penulisan, dan sbagian lain membolehkan adanya
penulisan hadits. Adapun riwayat – riwayat yang melarang menuliskan hadits dituliskan
sebagai berikut:
1. Dari Abu Sa’id Al – Khudri RA bahwa Rasulullah SAW bersabda “ Janganlah menulis
daripadaku, barangsiapa menulis daripadaku selain Al-Qur’an maka lenyapkanlah, dan
ambillah hadits dariku dan tidak mengapa, barangsiapa yang berbohong dengan
sengaja atas namaku maka akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka.”
(Hadits HR Muslim)
2. Dari Abu Hurairah RA berkata “ Rasulullah SAW datang kepada kami sedangkan
kami sedang menulis hadits lalu beliau bersabda “ Apa yang sedang kalian tulis?” kami
menjawab “Hadits - hadits yang kami dengar dari engkau.” Beliau bersabda “ Apakah
kalian menghendaki kitab selain kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian
melainkan karena mereka menulis dari kitab – kitab selain kitabullah.” ”

Sedangkan riwayat yang membolehkan penulisan hadits adalah sebagai berikut:


1. Dari Abu Hurairah RA berkata “Tiada seorangpun dari sahabat Rasulullah SAW yang
lebih banyak haditsnya dariku melainkan Abdullah bin Amru Al – Ash karena dia menulis
sedangkan aku tidak menulis.” (HR Bukhari)
2. Dalam Asshohihain disebutkan bahwa ketika Allah membukakan kota Makkah untuk
Rasul-Nya, Rasulullah SAW berdiri dan berkhutbah, lalu berdirilah Abu Syah (penduduk
Yaman) dan berkata “wahai Rasulullah, tulislah untukku” maka beliau bersabda “Tulislah
untuk Abu Syah”

Ibnu Ash-Shalah berkata “ Para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits,
sebagian mereka melarang penulisan Hadits dan ilmu dan meyuruh untuk
menghapalnya. Adapun sebahagian yang lain membolehkannya.”
Mereka yang membolehkan penulisan hadits antara lain Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali,
Anas, Abdullah bin Amr bin Ash, dan sekelompok lainnya dari sahabat dan tabiin RA.
Adapun yang melarang penulisannya adalah Umar Ibnu mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu
Musa, Abu Said, dan sekelompok lainnya dari sahabat dan Tabiin RA.
Para ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih sebagai berikut:
1. Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan Islam, dikhawatirkan
terjadi percampuran antara hadits dan Al-Qur’an. Ketika sudah kondusif, Rasulullah
mengizinkan untuk menulis hadits dan larangan sebelumnya menjadi terhapus.
2. Larangan hanya khusus pada penulisan hadits bersamaan dengan Al-Qur’an dalam
satu lembar.
3. Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu menghapalnya karena
dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan. Sebaliknya diperbolehkan menulis hanya
bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam menghapalnya.
Dengan demikian hilanglah kesan pertentangan antara nash-nash yang ada. Dan tidak
diragukan lagi bahwa adanya perbedaan ini hanyalah terjadi diawal masa Islam saja.
Sedangkan generasi selanjutnya sepakat membolehkan penulisan tersebut.
Pembukuan Hadits
Pembukuan hadits memiliki makna yang berbeda dengan penulisan hadits. Seseorang
yang menulis sebuah shahifah atau lebih maka disebut dengan penulis hadits.
Sedangkan pembukuan hadits adalah mengumpulkan shahifah yang sudah tertulis, dan
yang dihafal dalam dada, lalu menyusunnya sehingga menjadi dalam satu buku.
Pembukuan hadits pertama kali dilakukan oleh Khalifah Umar bin abdul Aziz, para ahli
hadits memandang bahwa upaya Umar bin abdul Aziz merupakan langkah awal dari
pembukuan hadits, tepatnya pada penghujung tahun ke 100 Hijriyyah. Namun demikian
upaya ini belum menyeluruh dan sempurna.
Adapun pembukuan yang lebih menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin syihab
Az zuhri, yang menyambut seruan khalifah Umar bin abdul Aziz dengan tulus dan
disertai atas dasar kecintaan kepada hadits Rasulullah SAW dan keinginannya untuk
mengumpulkannya. Upaya pengumpulan ini menjadi permulaan bagi para penyusun
hadits berikutnya yang tersebar diberbagai negeri.
Metode Pembukuan Hadits
Metode Pertama: Metode Masanid
Al Masanid maksudnya adalah buku-buku yang berisi tentang kumpulan hadits setiap
sahabat secara tersendiri, baik hadits shahih, hasan maupun dhaif. Pada sebahagian
musnad kadang hanya terdapat kumpulan hadits salah seorang sahabat saja, atau
hadits sekelompok para sahabat seperti sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga.
Ada sangat banyak masanid, bahkan al kittani mneyebutkan jumlahnya sebanyak 82
musnad, kemudian berkata “Musnad itu jumlahnya banyak selain yang telah kami
sebutkan.” Beberapa dari Masanid tersebut antara lain:
1. Musnad Abu dawud
2. Musnad abu bakar bin az zubair
3. Musnad Ahmad bin hanbal
4. Musnad Abu Ya’la ahmad bin ali al Mutsanna.
Metode Kedua : AL Ma’ajim
Al ma’ajim maksudnya adalah buku yang berisi kumpulan hadits-hadits yang berurut
berdasarkan nama para sahabat, atau guru-guru penyusun, atau negeri sesuai dengan
huruf hijaiyyah.
Adapun kitab mu’jam yang terkenal:
1. AL Mujam AL Kabir, Karya Abul Qasim bin Ahmad Ath Thabrani
2. AL Mu’jam AL Ausath, karya Ath Thabrani
3. Al Mu’jam Ash Shaghir, karya Ath Thabrani

Metode ketiga:
Pengumpulan Hadits Berdasarkan Semua Bab Pembahasan Agama, Seperti Kitab-Kitab
Jawami’
Metode jawami’ ini maksudnya adalah pembukuan hadits yang disusun oleh
pengarangnya terhadap semua pembahasan agama. Maka dalam pembukuan seperti
ini akan ditemukan bab tentang iman, thaharah, ibadah, muamalah, pernikahan, sirah,
riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa, fitnah dan lain sebagainya.
Adapun kitab-kitab jawami’ yang terkenal adalah:
1. Al jami’ ash shahih karya Imam Bukhari, kitab ini sudah disyarah oleh Imam Ibnu
hajar al asqalani dalam kitabnya yang berjudul Fathul barri bisyarhi shahihil bukhari.
2. Al jami’ ash shahih karya Imam Muslim, kitab ini sudah disyarah oleh Imam Nawawi
dalam kitabnya minhaj fi syarh shahih muslim bin al hajjaj.
3. AL Jami’ Ash shahih karya Imam At tirmidzi, kitab ini sudah disyarh oleh ibnul arabi al
maliki dalam kitabnya yang berjudul Aridhatul ahwadzi ‘ala at tirmidzi.

Metode keempat: Peulisan Hadits Berdasarkan Pembahasan Fiqh


Pembukuan dengan metode ini tidak menyusun pembahasan agama secara
keseluruhan, melainkan hanya sebatas pembahasan fiqh saja. Adapun kitab-kitab hadits
yang menggunakan metode ini diantaranya adalah:
1. As sunan, yaitu kitab hadits yang disusun berdasarkan pembahasan fiqh dimana
didalamnya hadits yang mauquf. Diantara kitab assunan adalah: sunan abu dawud,
sunan an nasai, sunan ibnu majah, sunan asy syafii, sunan ad darimi, sunan ad
daruquthni, serta sunan al baihaqi
2. Al mushannafat, yaitu kitab hadits yang disusun berdasarkan pembahasan fiqh,
dimana didalamnya masih ada hadits marfu’, hadits mauquf, maupun hadits maqthu’.
Adapun kitab-kitab hadits dengan methode ini diantaranya sebagai berikut; Al
mushannaf karya ash shan’ani, al mushannaf karya Al kufi, dan al Mushannaf karya AL
Qurthubi.
3. Al Muwaththa’at, yaitu kitab hadits yang disusun berdasarkan pembahasan fiqh,
dimana didalamnya masih ada hadits hadits mauquf, maupun hadits maqthu’, sama
seperti al mushannafat hanya berbeda nama saja. Adapun kitab-kitab hadits dengan
methode ini diantaranya sebagai berikut; Al Muwattha’ karya Imam Malik, Al Muwathha’
karya Imam Abdurrahman AL Madani, dan Al Muwattha’ karya Imam Al Marwazi.
Methode Kelima: Methode Pembukuan Hadits Yang Menyatakan Komitmen Hanya
Menuliskan Hadits-Hadits Shahih Saja.
Diantara kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan metode ini adalah: Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, AL Muwaththa’ karya Imam Malik, Al Mustadrak karya Imam Al
Hakim, selain itu ada juga yang disusun dengan kreteria shahih oleh penulisnya seperti:
shahih ibnu khuzaimah, dan shahih ibnu hibban. Bahkan ada yang berpendapat bahwan
shahih ibnu khuzaimah dan shahih ibnu hibban adalah kitab hadits yang paling shahih
setelah shahih Bukhori Muslim.
Metode Keenam : Karya tematik
Yaitu kitab hadits yang disusun berdasarkan tema-tema tertentu, diantaranya:
1. At targhib wa at tarhib, yaitu kitab yang berisikan motivasi dan ancaman seperti Kitab
At targhib wa at tarhib karya Zakiyuddin AL Mundziri, dan ada pula kitab attarghib wa at
tarhib karya Ibnu Syahin.
2. Buku hadits dengan Tema Zuhud, keutamaan amal, adab dan akhlak. Diantaranya
adalah kitab Az zuhd karya Imam Ahmad, Kitab Az zuhd karya Abdullah bin Mubarak,
kitab akhlaqun nabiy karya al ashbahani, dan kitab Riyadhus shalihin karya Imam
Nawawi.
Metode ketujuh: metode pembukuan hadits berdasarkan hukum hukum fiqh
Diantara kitab hadits yang menggunakan metode ini adalah:Al ahkam karya Abdul ghani
al maqdisi, Umdatul ahkam karya al maqdisi juga, al imam fi haditsil ahkam karya ibnu
daqiq, bulughul maram min adillatil ahkam, karya al hafizh ahmad bin ali bin hajar al
asqalani.

Metode kedelapan: merangkaikan Al jawami’


Yaitu kitab hadits yang berisikan kumpulan beberapa mushannaf dan disusun
berdasarkan urutan mushannaf yang telah dikumpulkan tersebut. Diantara kitab hadits
yang menggunakan metode ini adalah: Jamiil ushul min ahaditsir rasul, karya abu as
sa’adat, majma’ azzawaid wa manbaul fawaid, karya al haitsami, serta Jam’ul fawaid
min jamiil ushul wa majma’ az zawaid, karya Muhammad Al Maghribi.
Metode kesembilan: metode al ajza’.
Yaitu metode pembukuan hadits dengan berisikan kumpulan riwayat seorang perawi
hadits, atau yang berkaitan dengan satu permasalahan secara terperinci, seperti kitab
Juz’u ma rawahu abu hanifah ‘anish shahabah, karya Abu ma’syar Ath Thabari, juz’u
raf’il yadaini fi ash shalah, karya Imam Bukhari.
Metode Kesepuluh: Methode Al Athraf
Yaitu kitab hadits yang menyebutkan sebagian hadits yang dapat menunjukkan lanjutan
hadits yang dimaksud, kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya. Para penulis
biasanya menyusun urutannya berdasarkan musnad para sahabat dengan susunan
nama sesuai huruf-huruf hijaiyyah, lalu menyebutkan pangkal hadits yang dapat
menunjukkan ujungnya, seperti hadits nabi: kullukum ra’in, dan buniyal islamu ala
khmasin. Diantara kitab hadits yang menggunakan metode ini adalah: Athrafus
shahihaini, karya Muhammad al wasithi, al isyraf ala ma’rifatil athraf, karya ibnu asakir,
athraf al masanid al isyarah, karya abul abbas al buwaishiri.

Metode kesebelas: metode pengumpulan berdasarkan hadits-hadits yang masyhur.


Diantara kitab hadits yang menggunakan metode ini adalah: Al Maudhu’at karya Ibnu Al
jauzi, al fawaid al majmu’ah fil ahadits al maudhu’ah, karya Asy Syaukani, dan masih
banyak kitab-kitab lain yang menggunakan metode ini.
Metode Kedua Belas: Metode Az Zawaid.
Yaitu pembukuan hadits-hadits tambahan terhadap hadits yang ada pada kitab yang
lain. Diantaranya adalah: Mishbahu az zujajah fi zawaid Ibn majah, karya albushairi,
majma’ azzawaid wa manbaul fawaid, karya al haitsami.
CABANG-CABANG ILMU HADITS
Bersamaan dengan perubahan waktu dan tuntutan keilmuan dan keotentikan, sehingga
ilmu hadits pun semakin berkembang pula, sehingga dengan dorongan dari ajaran Islam
itu sendiri, dorongan sejarah, dan berbagai kritik terhadap periwayatan hadits, maka
tidak dapat dielakkan lagi perlunya penelaahan yang lebih mendalam mengenai hadits-
hadits yang semakin menyebar keseluruh penjuru dunia.
Intinya semua Semua Ulama ahli hadits yang jujur keimanannya menginginkan agar
hadits yang mereka peroleh adalah hadits yang benar-benar bersumber dari Rasulullah
SAW, bukan hadits yang dibuat-buat oleh orang yang mempunyai keinginan tententu
atau memiliki kepentingan yang jahat, sehingga ia berani berbohong atasnama
Rasulullah SAW. Ketelitian ini sebenarnya sudah dicontohkan oleh para sahabat seperti
abu bakar, Umar dan sahabat yang lain telah melakukannya. Sebagaimana dikatakan
oleh Al hafizh Adz dzahabi, “abu bakar adalah orang yang paling hati-hati dalam
menerima hadits.” Diriwayatkan oleh Ibnu syibah dari qubaishah bin Dzu’aib
bahwasanya ada seorang nenek datang kepada Abu Bakar agar mendapatkan warisan.
Maka ia berkata, “aku tidak mendapatkan sedikitpun bagianmu dalam Al Quran, dan aku
tidak pernah mengetahui Rasulullah SAW menyebutkan hal itu”, kemudian dia
menanyakan hal itu kepada sahabat. Mughirah berkata, “aku mendengar Rasulullah
SAW memberikan bagian seperenam.” Abu bakar bertanya, “apakah ada orang lain
bersamamu?” lalu muhammad bin maslamah bersaksi seperti itu, kemudian abu bakar
menjalan dan memberikan bagian kepada nenek tersebut.
Sesuai dengan perkembangannya, Ilmu hadits menjadi terbagi kedalam beberapa
cabang ilmu, sebagai berikut:
1. Ilmu rijalul hadits
2. Ilmu al jarh wa at ta’dil
3. Ilmu gharib al hadits
4. Ilmu ‘Ilal al hadits
5. Ilmu mukhtalaf dan musykil al hadits
6. Ilmu musthalah hadits
7. Ilmu takhrij Hadits
Dan akan dijelaskan masing masing dari cabang ilmu hadits tersebut diatas.

ILMU RIJALUL HADITS


Ilmu rijalul hadits sangat penting, dan merupakan ilmu yang sangat membantu dalam
upaya menegetahui derajat hadits dan sanad. Apakah sanadnya muttashil atau
sanadnya munqathi’. Muhammad bin sirrin mengatakan, “ sesungguhnya ilmu ini adalah
agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu”
Dari abu Ishaq ibrahim bin Isa ath thalaqani dia berkata, “Aku telah berkata kepada
Abdullah bin Mubarak, “wahai abu abdurrahman, ada hadits yang menyebutkan
“sesungguhnya termasuk kebaikan hendaknya engkau mendoakan untuk kedua orang
tuamu bersama doamu, dan engkau berpuasa untuk mereka berdua bersamaan dengan
puasamu.”? Maka Abdullah bin mubarak berkata, “Wahai abu ishaq, dari siapakah
hadits ini?” Maka aku katakan kepadanya, “ini hadits dari syihab bin khurasy”, maka dia
berkata, “dia itu tsiqah, dari siapa?”, aku katakan “dari Al Hajjaj bin dinar”, iapun berkata,
“dia itu tsiqah, dari siapa?” Aku katakan, “Rasulullah SAW bersabda”, dia berkata “wahai
abu Ishaq, sesungguhnya antara al hajjaj bin dinar dan nabi terdapat jarak yang sangat
jauh, akan tetapi tidak ada perselisihan dalam masalah sedekah.”
Mengenai rijalul hadits ini, Ibnu hazm mengatakan. “Riwayat orang yang tsiqah dari
orang yang tsiqah yang sampai kepada Rasulullah SAW secara bersambung
merupakan kekhususan kaum Muslimin, yang tidak dimiliki oleh semua agama.”
Selain itu, sejarah para rijalul hadits ini juga adalah alat yang ampuh untuk membuka
kedok para perawi pendusta, Sufyan Ats tsauri berkata: “ketika mereka menggunakan
para pendusta, maka kita menggunakan ilmu tarikh untuk menghadapi mereka.”
Dari hafsh bin ghiyats bahwasanya dia berkata, “ Apabila kalian mencurigai atau
menuduh seorang syaikh, maka hitunglah dia dengan tahun, yaitu hitunglah oleh kalian
umurnya, dan umur orang yang menulis darinya.”
Dari Al hakim bin Abdillah dia berkata, “ Ketika datang kepada kami Abu Ja’far
Muhammad bin Abdullah al Kusysyi dan menceritakan hadits dari abdu bin hamid, aku
menanyakan kepadanya tentang kelahirannya, lalu dia menyebutkan bahwasanya dia
dilahirkan pada tahun 260, maka aku katakan kepada murid kami, syaikh ini telah
mendengar dari Abdu bin Hamid 13 tahun setelah kematiannya.
Begitulah sikap para Ulama dalam meneliti hadits dengan menggunakan tarikh rijal al
hadits. Contoh-contoh seperti ini sudah banyak dibukukan oleh para ulama dalam kitab-
kitab karya mereka. Dan berbagai macam buku karya tentang hal ini banyak
bermunculan dengan berbagai tujuan. Ada kitab yang secara khusus membahas
tentang nama-nama para Sahabat Rasululah SAW, dan seluruh yang berkaitan dengan
para sahabat tersebut. Salah satunya adalah Kitab Tadrij asma’ Ash shahabah, karya
Ibn Ahmad Adz dzahabi.
Selain tentang sahabat, ada juga kitab-kitab yang menyusun tentang sejarah para
perawi hadits berdasarkan generasi, yang meliputi sahabat, tabi’in, dan tabii attabiin dan
orang yang mengikuti mereka pada tiap generasi.
Karya-karya terkenal dalam hal ini diantaranya adalah:
1. Kitab At- thabaqat, karya Muhammad bin Umar Al Waqidi.
2. Kitab Ath Thabaqat Al Kubra, karya Muhammad bin sa’ad.
3. Kitab Thabaqat Ar Ruwat, karya khalifah bin khayyath.
4. Kitab Ath Thabaqat, karya Muslim bin Hajjaj.
5. Kitab Ath thabaqat, Abu Bakar Al Barqi
6. Kitab Thabaqat Al Muhadditsin, Karya Abul Qasim Maslamah bin Qasim Al Andalusi.
7. Kitab Thabaqat Al Muhadditsin bi ashbahan wal waridina alaiha, karya abu syaikh bin
hayyan al Anshari.
8. Kitab Thabaqat Al Muhadditsin, karya Abul Qasim Abdurrahman bin Mandah.
Diantara kitab-kitab diatas yang memiliki faedah paling besar dibandingkan dengan
kitab-kitab yang lain adalah “ Ath-Thabaqat Al Kubra” karya Ibnu Sa’ad.

ILMU AL JARH WA AT-TA’DIL


Ilmu Jarh wa atta’dil adalah cabang Ilmu hadits yang menerangkan tentang cacat-cacat
yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penilaian baik dan lurus perangan
para perawi. Dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau
menolak riwayat mereka.
Ilmu Jarh ini tidaklah termasuk kedalam kategori ghibah yang diharamkan, karena
menampakkan cela yang dilakukan seorang perawi demi menjaga hadits-hadits
Rasulullah SAW dari para pemalsu hadits.
Hal ini juga pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika Fatimah Binti Qais
menanyakan tentang Muawiyah bin abi sufyan dan Abi Al Jahm yang tengah
melamarnya, maka Rasulullah SAW bersabda:
“ Adapun Abu Jahm, dia tidka pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (suka
memukul), sedangkan Muawiyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta.”
Berdasarkan hadits diatas, dapat disimpulkan bahwa mencela kepada orang-orang yang
lemah guna menjelaskan keadaan mereka, dan menampakkan cela dalam perkara yang
berkenaan dengan halal dan haram atau ditujukan dalam rangka memberi saran
tertentu.
Adapun dalam Ta’dil, maka kita dapati Rasulullah SAW bersabda,
“Sebaik-baik hamba Allah Khalid bin walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang
Allah SWT.”
Oleh karena itu para Ulama membolehkan Al Jarh wa ta’dil, guna menjaga syari’at
agama ini, bukan untuk mencela manusia. Sebagaimana dalam persaksian dalam harta
dibolehkan melakukan jarh, maka apalagi dalam rangka memperteguh dan mencari
kebenaran dalam masalah agama, tentu jauh lebih penting dan utama.
Tingkatan jarh wa at Ta’dil.
Para Ulama memberikan enam tingkatan pada jarh dan enam tingkatan pada ta’dil
sebagai berikut:
Tingkatan Ta’dil
1. Tingkatan teratas ini dapat diliha dari kata superlatif yang dilekatkan kepada seorang
perawi, misalkan, “ fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”
2. Tingkatan kedua adalah dengan menyebutkan dan menguatkan ketsiqohannya,
ketepatan periwayatannya, seperti: “tsiqah-tsiqah”, atau “tsiqah dan hafizh”
3. Tingkatan ketiga adalah pentsiqahan tanpa adanya penguatan, seperti tsiqah, tsabt,
hujjah, dan hafizh.
4. Adapun tingkatan keempat adalah dengan menunjukkan adanya keadilan tanpa
adanya isyarat menunjukkan kekuatan hafalan dan ketelitian.
5. Kelima, adalah tingkatan yang tidak adanya pentsiqahan ataupun celaan, seperti
“fulan syaikh”, atau “orang meriwayatkan hadits darinya” atau “hasanul hadits”.
6. Tingkat keenam adalah tingkatan yang sudah mendekati kepada jarh (cela), seperti:
haditsnya lumayan, ditulis haditsnya.
Adapun tingkatan jarh adalah sebagai berikut:
1. Tingkatan pertama, yang menunjukkan adanya kelemahan, seperti “lemah haditsnya”,
atau “padanya ada kelemahan”
2. Kedua, adalah ditinjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh
dijadikan hujjah, seperti “fulan tidak boleh dijadikan hujjah”
3. Tingkat ketiga, yang menunjukkan adanya kelemahan dan tidak boleh ditulis
haditsnya, seperti , “fulan dhaif jiddan”
4. Tingkat keempat, yaitu menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadits, seperti, “
fulan dituduh berdusta”
5. Tingkatan kelima, adalah perawi memiliki sifat dusta, pemalsu dan semacamnya,
seperti,kadzdzab (tukang dusta)
6. Tingkatan keenam, ditunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk
tingkatan. Seperti, “fulan adalah puncak kedustaan”
Perkembangan ilmu jarh wa ta’dil ini terus berkembang, dan menghasilkan banyak kitab-
kitab, diantarnaya adalah:
1. Kitab ma’rifatur rijal karya Yahya bin ma’in
2. Kitab Atstsiqat, karya Abul Hasan Al Ijly
3. Kitab Adh Dhuafa wal matrukin, karya Imam Bukhari
4. Kitab lisan Al Mizan, karya Ibnu Hajar Al asqalani.
ILMU GHARIB AL HADITS
Ilmu gharib alhadits adalah ilmu yang bertujuan untuk menjelaskan satu haditsyang
dalam matannya terdapat lafazh yang pelik, dan yang susah dipahami, karena jarang
dipakai. Sehingga ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut.
Sejak dahulu para Ulama telah membuat banyak buku tentang cabang ilmu hadits ini,
diantaranya adalah:
1. Kitab Gharib Al hadits, karya abul hasan almazini
2. Kitab gharib al atsar, karya Muhammad bin mutsanir
3. Kitab gharib hadits karya Qasim bin tsabit
4. Kitab gharib Al Quran wal Hadits, karya Abu Ubaid Al Harawi.

Upaya para Ulama dalam pembukuan dan penjelasan gharib al hadits berhenti pada
Ibnu Atsir. Dan belum diketahi ada yang melakukan hal serupa setelah ibnu atsir kecuali
ibnu Hajib. Setelah itu upaya para ulama hanya sebatas pada memberi lampiran dan
ikhtisar, atau meringkas terhadap kitab An Nihayah.
Diantara ulama yang memberikan lampiran tersebut adalah shafiyyuddin Mahmud bin
abu bakr Al Armawi. Dan diantara yang melakukan ikhtisar adalah al Muttaqi, as
Shafawi dan Jalaluddi As Suyuthi.
Kitab Nihayah juga disusun dalam bentuk syair oleh imaduddin abul fida ismail bin
Muhammad al hanbali dengan judul “ Al kifayah fi nuzhum An Nihayah.
Ibnu atsir, telah mengatur kitabnya “ An Nihayah” berdasarkan urutan huruf hijaiyah, dan
dicetak terakhir kalinya dengan diteliti dan diperiksa oleh Thahir ath Thahani, sebanyak
lima jilid.
Ibnu atsir dalam menyusun kitabnya An Nihayah berpedoman pada kitab alharawi dan
abu Musa al Madini, yaitu dengan memberi tanda atau rumus huruf “ha” jika mengambil
dari kitab al Harawi, dan tanda atau rumus “sin” jika mengambil dari kitab abu Musa.
Adapunselain dari kedua kitab tersebut dibiarkannya tanpa tanda-tanda apapun, untuk
membedakan nama yang dari kedua kitab tersebut dan mana dari kitab yang lain.
ILMU ILAL AL HADITS
Ilmu ilal hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi dan tidak
nyata, yang dapat merusakkan hadits. Seperti menyambung yang munqathi’,
memarfu’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits kedalam hadits yang lain,
menempatkan sanad pada matan yang bukan semestinya, dan yang serupa itu. Semua
ini bila diketahui dapat merusak keshahihan hadits.
Cara mengetahui Ilal hadits adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadits dan
mencermati perbedaan perawinya dan kedhabitan mereka, yang dilakukan oleh orang
yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu’tal
atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada illat pada hadits tersebut maka
dihukuminya sebagai hadits tidak shahih.
Contoh illat pada sanad: dari ibnu abi hatim berkata: “aku pernah bertanya kepada
ayahku dan kepada abu zur’ah pada sebuah hadits ayang diriwayatkan ubaidah bisn Al
Aswad, dari qasim bin Al walid, dari Qatadah, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, dari
Nabi SAW tentang membasuh khuf, keduanya menjawab, “salah, yang benar adalah
diriwayatkan dari Musa bin Salamah, dari Ibnu Abbas secara mauquf.
Adapun contoh illat pada matan: hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam
shahihnya dari riwayat Al Walid bin Muslim: “Telah bercerita kepada kami Al Auza’i, dari
qatadah, bahwasanya dia pernah menulis surat memberitahukan kepadanya tentang
Anas Bin Malik yang telah bercerita kepadanya, dia berkata, “aku pernah shalat
dibelakang Nabi SAW, abu bakar, Umar, dan Utsman, mereka memulainya dengan
membaca “alhamdulillah rabbil alamin” tidak menyebut “Bismillahirrahmanirrahim” pada
Awal maupun pada akhir bacaan.”
Imam muslim juga meriwayatkan dari Al walid, dari al auza’i, telah memberitahukan
kepadaku Ishaq bin abdillah bin abi thalhah bahwasanya dia mendengar anas menyebut
demikian.
Ibnu Asshalah dalam kitab ulumul hadits mengatakan “ sebagian kaum mengatakan
bahwa riwayat tersebut diatas terdapat illat. Mereka berpendapat bahwa kebanyakan
riwayat tidak menyebut basmallah tapi membaca hamdalah dipermulaan bacaan, dan
muttafaqun alih menurut riwayat Bukhori dan Muslim dalam Shahihnya. Mereka
mengatakan bahwa lafazh tersebut adalah riwayat yang dipahaminya secara maknawi,
yaitu lafazh “mereka membuka bacaan shalat dengan membaca alhamdulillahi rabbil
alamin” dipahami bahwa mereka tidak membaca basmalah, maka meriwayatkan seperti
apa yang dipahaminya, dan ternyata salah, karena maknanya bahwa surat yang mereka
baca adalah surat alfatihah yang tidak disebutkan padanya basmalah. Ditambah lagi
dengan beberapa hal, yaitu sahabat Anas ditanya tentang iftitah dengan basmalah, lalu
dia menyebutkan bahwa dia tidak mengetahui sesuatupun dari Rasulullah SAW tentang
itu.
Adapun karya-karya ulama tentang ilmu ini diantaranya adalah:
1. Kitab Ilalul hadits, karya Imam Ahmad bin hanbal
2. Kitab Al Ilal karya Imam At Tirmidzi.
3. Kitab AL Ilal al waridah fil ahadits An nabawiyyah, karya Imam Al Hafizh
Addaruquthni.

ILMU MUKHTALAF DAN MUSYKIL HADITS


Ilmu mukhtalaf dan musykil hadits yaitu ilmu yang menggabungkan dan memadukan
antara hadits-hadits yang zhahirnya bertentangan. Atau ilmu yang menerangkan ta’wil
hadits yang musykil meskipun tidak bertentangan dengan hadits lain. Ilmu ini hanya
akan muncul dari Ulama yang menguasai ilmu hadits dan menguasai ilmu fiqh
sekaligus. Tidak akan bisa muncul dengan tepat jika hanya menguasai salah satunya
saja.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah, ada dua hadits yang bertentangan dalam masalah
yang menajiskan air. Hadits pertama, Rasulullah SAW bersabda “air tidak dapat
dinajiskan dengan sesuatu apapun.” Namun riwayat yang lain mengatakan “jika air
mencapai dua qullah maka tidak membawa najis.”
Ini menunjukkan bahwa air yang belum mencapai dua qullah dapat mendatangkan najis,
dan ini bertentangan dengan hadits yang pertama.
Abu Muhammad berkata, “dan kami menjawab bahwa ini bukan bertentangan dengan
hadits pertama. Sabda Rasulullah SAW “Air tidak dapat dinajiskan dengan sesuatu
apapun” menunjukkan adanya sesuatu kebiasaan, karena biasanya sumur dan kolam
terdapat air yang banyak . kemudian beliau menjelaskan dua qullah sebagai ukuran
minimal pada air untuk bercampurnya najis didalamnya.”
Jika terdapat dua hadits yang saling bertentangan satu sama lain, sementara kedua
hadits tersebut sama-sama dapat diterima, maka para ulam melakukan dua jalan.
1. Thariqah AL Jam’i, yaitu bila memungkinkan untuk menggabungkan dan
mengkompromikan antara keduanya, maka keduanya dikompromikan dan wajib
diamalkan.
2. Thariqah at tarjih, yaitu bila tidak memungkinkan untuk dikompromikan, maka
dilakukan tarjih dengan cara:
Pertama, jika diketahui salah satunya nasikh dan yang lain mansukh, maka kita
dahulukan yang nasikh lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang mansukh.
Kedua, jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat
diantara keduanya lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang lemah.
Ketiga, jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh diamalkan keduanya
sampai jelas dalil yang lebih kuat.
ILMU MUSTHALAH HADITS
Ilmu musthalah hadits adalah ilmu tentang dasar dan kaidah yang dengannya dapat
diketahui keadaan sanad dan matan dari segi diterimanya atau ditolaknya. Dengan ilmu
ini maka dapat dibedakan hadits shahih dari yang tidak shahih.
Pembagian Hadits:
1. Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang
menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir
sanad.
2. Hadits Ahad
Hadits ahad adalah hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir
3. Hadits Shahih
Hadits shahih adalah satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan hingga
akhir, disampaikan oleh orang-orang yang adil, dhabith, serta tidak ada penyelisihan
dengan perawi yang lebih terpercaya darinya dan tidak ada illat yang berat.
4. Hadits Hasan
Hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh
orangorang yang adil, dhabithnya kurang, serta tidak ada syadz dan illat berat
didalamnya.
5. Hadits Dha’if
Hadits dhoif adalah hadits yang didalamnya tidk didapati syarat hadits shohih dan syarat
hadits hasan.
6. Hadits Muallaq
Hadits muallaq hadits yang gugur perawinya, baik seorang, dua orang, atau semuanya
pada awal sanad secara berurutan.
7. Hadits Mursal
Hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabiin.
8. Hadits Mu’dhal
Hadits Mu’dhal adalah hadits yang gugur pada sanadnya dua atau lebih secara
berurutan.
9. Hadits Munqathi’
Hadits Munqathi’ adalah hadits yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi
sanadnya.
10. Hadits Marfu’
Hadits Marfu’ adalah sabda, perbuatan, penetapan, atau sifat yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW.
11. Hadits Mauquf
Hadits Mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat Nabi SAW.
12. Hadits Maqthu’
Hadits maqathu’ adalah hadits yang terhenti hanya sampai kepada tabiin atau orang
yang dibawahnya.
ILMU TAKHRIJ
Ilmu takhrij hadits adalah Ilmu hadits yang menunjukkan tempat hadits pada sumber
aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan
derajatnya ketika diperlukan.
Beberapa metode takhrij yang dilakukan oleh Ulama hadits adalah sebagai berikut,
diantaranya adalah:
1. Metode takhrij pertama adalah metode dengan cara mengetahui perawi hadits dari
sahabat.
2. Metode takhrij kedua adalah dengan cara mengetahui permulaan lafazh dari hadits
Nabi SAW.
3. Metode ketiga adalah dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunaannya
oleh orang dari bagian mana saja dari matan hadits.
4. Metode keempat adalah metode tahrij dengan cara mengetahui topik pembahasan
hadits.
Adapun kitab-kitab yang membahas tentang takhrij hadits adalah sebagai berikut:
1. Takhrij ahaditsi Al Muhadzdzab, kitab ini karya Muhammad bin Musa AL Hazimi
Assyafi’i.
2. Takhrij ahadits Al Mukhtashar al kabir li ibni al hajib, karya Muhammad bin ahmad
Abdul Hadi Al Maqdisi.
3. Ad dirayah fi takhrij ahadits al hidayah, karya Alhafizh Ahmad Ibnu Hajar al Asqolani.
4. Tuhfatu Arrawi fi takhrij ahaditsi al baidhawi, kitab ini karya Abdur rauf ali Al Manawi

Anda mungkin juga menyukai