Pengantar
Bangsa Arab memang dikenal dengan kebiasaan mereka menggubah syair untuk
mengekspresikan gejolak-gejolak hati mereka. Tradisi ini termotivasi oleh beberapa faktor di
antaranya adalah lingkungan tempat tinggal mereka yang memang sangat mendukung dan juga
karena bahasa mereka yang sesungguhnya juga sangat puitis. Dan yang tak kalah pentingnya
adalah potensi sensitifitas ‘athifah yang tinggi yang mereka miliki sangat mendukung dalam
melahirkan beragam karya sastra yang puitis dan menakjubkan.
Dalam perjalanan sejarahnya, sastra Arab tidak timbul sekaligus dalam bentuknya yang
sempurna. Akan tetapi sastra Arab mengalami perkembangan-perkembangannya secara sedikit
demi sedikit dengan adanya inovasi-inovasi dalam setiap fase perkembangan yang dilaluinya.
Adapun fase sejarah perkembangan sastra Arab dibagi menjadi masa jahiliyah, masa shadr al-
Islam, Abbasiyyah, Turki Usmani dan masa modern.
Dalam setiap periode perkembangan tersebut, sastra Arab mengalami inovasi yang
membedakannya dengan periode lainnya. Pada fase modern khususnya, ternyata sastra Arab
memiliki berbagai aliran sastra yang muncul silih berganti, baik karena motivasi kritikan
terhadap model sastra yang muncul sebelumnya maupun karena untuk menyempurnakan aliran
lainnya yang muncul dalam kurun waktu yang sama. Aliran-aliran sastra Arab yang mengemuka
di masa modern tersebut adalah al-Muhāfizūn (Neo-Klasik), ad-Diwān, Apollo, Romantisme.
Simbolisme dan yang terakhir adalah Hadītsah (modern).
Permulaan fase modern dalam sejarah sastra Arab dimulai sejak pemerintahan Muhammad Ali di
Mesir setelah hengkangnya Prancis yang cukup lama menganeksasi negeri piramida ini pada
tahun 1801 atau sering disebut sebagai masa kebangkitan kedua sastra Arab. Meskipun secara
umum tujuan penggubahan puisi pada masa ini masih sama seperti pada masa-masa sebelumnya
yang masih berkaitan dengan pujian, membangkitkan semangat, kebanggaan, perumpamaan-
perumpamaan dan mensifati sesuatu, akan tetapi telah mulai terbebas dari mengikuti metode
penggubahan puisi yang terdapat pada masa Abbasiyah yang berlangsung dalam masa selama 60
tahun. Sejak permulaan abad ke-20 secara berangsur-angsur tema-tema yang sudah mendarah
daging dalam sastra Arab di atas mulai ditinggalkan dan para sastrawan Arab mulai beralih pada
tema-tema yang aktual dan relevan dengan kondisi terkini, seperti nasionalisme, humanisme dan
persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa Arab akibat adanya imperialisme yang membuat
bentuk puisi Arab pun berubah menjadi berbentuk mursal dan bebas.
Salah satu aliran yang muncul di masa modern yang perlu mendapat perhatian dan memiliki arti
penting dalam khazanah sastra Arab modern, terutama di Mesir, adalah Diwān atau Madrasah
Diwān. Tulisan berikut akan mencoba mengetengahkan paparan mengenai aliran sastra Arab
modern yang satu ini. Tulisan berikut akan mencakup latar belakang kemunculannya, tokoh-
tokoh yang menjadi pengusungnya dan karakteristik sastra Arab yang mengemuka dalam aliran
sastra Arab modern ini.
A. Latar Belakang Kemunculan Diwān
Sebagaimana diketahui bahwa sastra Arab pernah mengalami kevakuman atau tidak mengalami
perkembangan yang signifikan pada masa Turki Usmani menguasai kawasan Arab dan sebagian
besar dunia Islam lainnya. Tidak berkembangnya sastra Arab di masa ini karena adanya politik
penguasa Turki Usmani yang tidak terlalu menaruh perhatian terhadap segala hal yang berkaitan
dengan Arab yang menjadi wilayah kekuasaannya. Sebagai penguasa, Turki Usmani menerapkan
kebijakan Turkiisasi atau menanamkan pengaruh Turki di setiap wilayah kekuasaannya, seperti
bahasa Turki, tradisi Turki dan lain sebagainya. Hal ini berakibat pada bahasa dan sastra Arab
yang cenderung tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Setelah beberapa kawasan Arab, seperti Mesir, diambil alih oleh Prancis yang memperkenalkan
beragam perlengkapan modern seperti peralatan cetak serta model-model bahasa dan sastra yang
baru maka lambat laun sastra Arab kembali menggeliat. Perkembangan sastra Arab mengalami
perkembangan yang signifikan setelah hengkang Prancis dari bumi piramida pada tahun 1801dan
disusul dengan naiknya Muhammad Ali sebagai penguasa Mesir. Karena perhatian Ali yang
cukup besar terhadap ilmu pengetahuan, maka ia mengirimkan duta-duta Mesir untuk menimba
beragam ilmu pengetahuan di berbagai negara Eropa seperti Prancis, Inggris dan Italia.
Sekembalinya para pelajar tersebut ke Mesir, maka dimulailah beragam inovasi terhadap aneka
ilmu pengetahuan yang termasuk di dalamnya sastra Arab. Dari sini geliat kebangkitan sastra
Arab semakin menampakkan eksistensinya yang merupakan perpaduan dari proses panjang
asimilasi dengan berbagai kebudayaan seperti Prancis dan Inggris (assimilation), penerjemahan
beragam karya asing (translation), peniruan berbagai naskah asing (imitation) yang dilakukan
oleh beragam pihak yang berkecimpung dalam dunia sastra Arab.
Sejarah sastra Arab kemudian mencatat orang-orang seperti al-Barudi, Ahmad Syauqi dan
Hafidz Ibrahim sebagai orang-orang pertama yang memperkenalkan inovasi-inovasi dalam sastra
Arab. Tokoh-tokoh ini kemudian disebut sebagai pengusung aliran pertama dalam sastra Arab
modern yang dikenal dengan nama Neo-Klasik. Kemunculan aliran ini menandai dimulainya
sastra Arab berada dalam fase modernnya karena adanya beragam pengaruh dari luar sebagai
hasil interaksi dengan banyak budaya dan tradisi, baik yang datang secara langsung karena
penjajahan maupun yang dibawa oleh para duta Mesir yang menimba ilmu pengetahuan di
Eropa.
Meskipun demikian, beragam inovasi yang dimunculkan oleh para pengusung Neo-Klasik
ternyata tidak sepenuhnya melepaskan mereka dari ikatan tradisi terhadap karya-karya pendahulu
dalam penggubahan puisi, terutama dalam aspek metode (uslūb) dan bahasa yang digunakan.
Oleh karena itu, sebagai kritikan terhadap Neo-Klasik maka muncul aliran sastra Arab modern
baru yang kemudian dikenal sebagai Diwān.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hāsyimi, Sayyid Ahmad. 1965. Jawāhir al-Adab. Mesir: Dār al-Fikr al-’Arabi. Cetakan ke-
26.
Andangdjaya, Hartojo. 1983. Puisi Arab Modern. Jakarta: Pustaka Jaya.
Audah, Ali. 1996. Sastra Arab Mutakhir, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 2 VII/1996.
Al-Iskandāry, Ahmad. dan Musthafā Anāny. TT. al-Wāsith fī al-Adab al-’Araby wa Tārīkhihi.
Mesir: Dār al-Ma’ārif.
Allen, Roger. 2008. Arab Dalam Novel. Yogyakarta: E-Nusantara.
Brugman, J. 1984. An Introduction to The History of The Modern Arabic Literature in Egypt.
Leiden: EJ. Brill.
Farrūkh, Umar. 1969. al-Manhāj al-Jadīd fī al-Adab al-’Araby. Beirut: Dār al-’Ilm li al-Malāyīn.
Gufron, Muhammad. 1979. Kesusastraan Arab Modern. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Tasnimah, Tatik Maryatut. 2000. Fenomena Kritik Sastra Arab. Yogyakarta: Jurnal Fakultas
Adab ‘Thaqafiyyat’. Volume I No. 01, Juli-Desember 2000.
Zayyāt, Ahmad Hasan. TT. Tārīkh Adab al-Araby. Kairo: Dār an-Nahdhah. Cetakan ke-25.
Zaidān, Jurji. TT. al-Adab al-Lughah al-’Arābiyyah. Beirut: Dār al-Fikr. Jilid II. Juz IV
ARAB DAN PRODUK SASTRA
Penulisan prosa berupa cerita-cerita pendek modern dalam bahasa Arab, demikian juga novel dan
drama, baru dimulai pada akhir abad lalu. Belakangan ini bentuk puisi juga mengalami perubahan
yang cukup besar.
Puisi-puisi Arab modern sudah banyak yang tidak terikat lagi pada gaya lama yang dikenal dengan
'Ilm al-'Arūd. Meskipun sebagian penyair dewasa ini senang juga menciptakan puisi bebas, tetapi
masih banyak juga yang bertahan dengan gaya lama kendati tidak lagi terikat pada persyaratan
tertentu, seperti penyair MAHMUD ALI TAHA (w.1949). puisi-puisinya sangat halus, romantis, tetapi
sangat religius. Beberapa pengamat menganggapnya banyak terpengaruh oleh romantisme Perancis
abad ke-19, terutama Lamartine. Mungkin sudah terdapat jarak antara penyair ini dan penyair-
penyair modern semi-klasik sebelumnya, seperti Ahmad Syauqi atau Hafidz Ibrahim (1872-1932)
yang dipandang sebagai penyair-penyair besar.
Dalam sastra Arab modern, Mesir dapat dikatakan merupakan pembuka jalan meskipun dari para
sastrawan itu banyak yang berasal dari Libanon dan Suriah. Mereka pindah ke Mesir untuk
menyalurkan bakatnya di negeri ini.
Sastrawan dan pemikir besar menjelang pertengahan abad ke-20 adalah MUHAMMAD IQBAL (1877-
1938) yang lahir di Sialkot dan wafat di Lahore, Pakistan. Ia mengungkapkan filsafatnya dengan
puisi dalam bahasa Urdu dan Persia. Beberapa prosanya ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa
Arab. Dari kumpulan puisinya, yang terkenal adalah Asrari Khudi di samping karya filsafatnya, The
Reconstruction of Religious Thought in Islam.
Dalam abad ke-19 kegiatan penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab sudah mulai dirintis
secara besar-besaran, yang sudah tentu sebagian besar berupa karya-karya sastra Barat. Nama-
nama mulai dari Villon sampai pada angkatan Sartre dalam sastra Perancis, atau Marlowe sampai
angkatan Auden dalam sastra Inggris, sudah tidak asing lagi, di samping dari Eropa lainnya. Yang
menjadi pelopor dalam hal ini tentu mereka yang telah mendapatkan pendidikan Barat sebagai
akibat pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali (1769-1849) dan sampai puncaknya
sebagai gelombang kedua pada masa Khediwi (Khedive) Ismail (1830-1895). Pada waktu itulah
banyak karya sastra Barat, terutama karya sastra Perancis, yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, seperti Paul et Virginie, dongeng-dongeng La Fontain dan Victor Hugo. Sungguhpun begitu,
sastra Arab baru ini masih tetap dapat bertahan pada tradisinya sendiri.
MUSTAFA LUTFI AL-MANFALUTI (1876-1924), sastrawan dan ulama dari al-Azhar yang sudah amat
dikenal di Indonesia, dapat digolongkan sebagai pengarang cerita-cerita pendek bergaya semi-klasik
semi-modern. Ia, yang juga banyak menerjemahkan, sedikit banyak terpengaruh karya-karya
pengarang Perancis abad yang lalu. Dalam perkembangan selanjutnya penerjemahan tidak hanya
terbatas pada karya sastra Perancis, tetapi sudah meluas ke kawasan Eropa lainnya, terutama
Inggris, Rusia, dan Jerman dengan prinsip mengutamakan terjemahan langsung dari bahasa asal.
Sesudah Perang Dunia I pemikiran-pemikiran intelektual di Mesir, Suriah, dan Irak semakin terasa.
Dalam kesusastraan mereka terbagi ke dalam dua kelompok besar. Pada satu pihak pengarang-
pengarang yang mempunyai latar belakang pendidikan Barat cenderung pada sastra Perancis dan
pada pihak lain lebih cenderung pada sastra Inggris. Yang pertama diwakili oleh Muhammad Husein
Haekal (1888-1956) selain sebagai seorang sastrawan, ia juga dikenal sebagai wartawan terkemuka
dan pemikir, sedangkan yang kemudian dapat dikatakan diwakili oleh Abbas Mahmud Al-Aqqad
(1889-1973) dan Ibrahim al-Mazini (1890-1949).
MUHAMMAD HUSEIN HAEKAL selain besar pengaruhnya dalam sastra Arab mutakhir, juga
mempunyai tempat yang penting dalam literatur Islam setelah serangkaian bukunya tentang studi-
studi Islam terbit, terutama sekali bukunya yang berjudul Hayāh Muhammad (1936). Haekal
dianggap perintis karya sastra modern setelah novelnya. Zainab, terbit (1914). Ia juga banyak
menulis kritik sastra dan cerita pendek.
Al-Aqqad dan al-Mazini sama-sama tumbuh mula-mula sebagai penyair pembaharuan yang
melepaskan diri dari ikatan tradisi. Selain puisi-puisinya, al-Aqqad juga terkenal karena novel semi-
autobiorafinya, Sarah. Pada tahun-tahun belakangan ia banyak mencurahkan perhatian pada
penulisan buku-buku ke-Islaman.
Pengarang-pengarang cerita pendek yang penting dicatat adalah MAHMUD TAIMUR (1894-1973),
pengarang dan seniman yang menjadi kebanggan Mesir. Kritik-kritiknya sangat diperhatikan para
ahli. Karya-karya Mahmud Taimur sudah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa,
termasuk bahasa Indonesia.
Ada beberapa pengarang kontemporer yang memiliki kecenderungan mengelolah cerita lama
sebagai bingkai dengan pakaian baru untuk memperbincangkan masalah baru. Buku-buku seperti
Seribu Satu Malam dan Kalīlah wa Dimnah oleh pengarang-pengarang itu diolah kembali menjadi
karya baru untuk kemudian diisi dengan pikiran-pikiran mereka, seperti yang dilakukan oleh TAHA
HUSEIN, TAUFIK AL-HAKIM, YAHYA HAQQI, dan NAGUIB MAHFUDZ.
Masing-masing negara berbahasa Arab mempunyai caranya sendiri dalam membenahi budayanya
sehingga tidak ada keseragaman mutlak. Sebagai contoh, udara sastra di Irak mungkin lebih sering
diwarnai oleh agitasi politik dan ideologi yang mengakibatkan timbulnya pergolakan dan revolusi,
seperti terjadi pada 1958 dan 1960 sampai pada Revolusi 68 yang dikatakan membawa angin baru
kepada seni dan budaya dengan diterbitkannya kembali buku-buku sastra. Banyak pengarang Irak
yang terpengaruh oleh suasana demikian sehingga pernah lahir yang disebut Penulis Angkatan 60,
dan sebagainya. Namun bagaimanapun ada beberapa penulis cerpen Irak yang cukup dikenal di
tanah airnya, seperti ABDUL MALIK NURI (1923), FU'AD TAKERLI (1927), dan SYAKIR KHUSYBAK,
guru besar di Universitas Baghdad. Dari yang terakhir ini beberapa cerpennya sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia.
Sebelum itu, yang dapat dinobatkan sebagai perintis puisi modern di Irak adalah penyair JAMIL SIDQI
AZ-ZAHAWI (1863-1936), penyair tua yang bernada keras dan dikenal sebagai pembela hak-hak
perempuan di samping MA'RUF AR-RUSAFI (1877-1945).
Masih dalam dunia kepenyairan, seorang penyair yang mati muda, yang dianggap penyair Arab
terbesar sampai waktu itu adalah BADR SYAKIR AS-SAYYAB (1926-1964). Dalam hidup dan
pemikiran, ia selalu gelisah. Bersama ABDUL WAHHAB AL-BAYYATI yang kekiri-kirian, ia
menanamkan bibit neo-klasik untuk menggantikan romantisme. Aliran yang belakangan ini memang
tak dapat bertahan lebih lama di Irak.
Kalangan kritik sastra Arab memang banyak menyoroti puisi-puisi AS-SAYYAB yang beberapa
antologinya yang tebal sudah diterbitkan bersamaan dengan terbitnya buku-buku studi sastra
tentang dia dan karyanya. Puisi-puisinya sekitar tahun 50-an dinilai banyak terpengaruh oleh
penyair-penyair kelompok Apollo dan Mahjar yang lebih romantik - barangkali termasuk juga
pengaruh Shelley dan Keats - tetapi dalam teknik ada yang membandingkannya dengan Eliot. Puisi-
puisinya memang dalam, banyak diwarnai bahasa semiotik, hidup, dan indah, tetapi tidak mudah
ditangkap pembaca biasa (awam). Di Irak, yang pada sekitar tahun 50-an menjadi tempat
persinggahan Marxisme yang cukup subur dan memaraknya paham nasionalisme yang menggebu-
gebu, as-Sayyab membuat pembaharuan yang cukup mengejutkan ketika kemudian ia menguak ke
depan dengan membawa puisi-puisinya yang banyak menyelip ayat al-Qur'an ke dalamnya, atau
kadang rima, simbolisme, atau nada musiknya; bahkan irama, gaya, dan kata-kata al-Qur'an yang
terasa kuat sekali pantulannya. Tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa dalam al-Qur'an dan dalam
tradisi Islam sering ditimbulkannya kembali untuk menggantikan mitologi dan pengaruh lain.
Sungguhpun ia bertahan dengan nilai lama yang lalu diperbaruinya, ia juga terbuka menyerap puisi-
puisi Eropa modern.
Di suriah, ABDUS SALAM AL-UJAILI (lahir. 1918), yang juga seorang dokter medis, aktif dalam
penulisan novel dan cerita pendek. Beberapa cerpennya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Demikian juga WALID IKHLASI (lahir. 1935), seorang dosen ekonomi pertanian.
Dari Sudan, yang agak menonjol dapat disebut nama penyair dan penulis cerita pendek, TAYYIB
SALEH. Demikian juga di Maroko, tak banyak yang dapat dikenal. ABDUL QADIR AS-SAMIHI termasuk
pengarang Maroko yang cerpen-cerpennya sering muncul dalam majalah sastra terkemuka, seperti
al-Adab atau al-Majallah. TAHAR BEN JALOUN lebih dikenal sebagai pengarang yang menulis ke
dalam bahasa Perancis.
Karya-karya sastra Aljazair modern banyak yang dipengaruhi oleh iklim perang kemerdekaan
melawan Perancis. Namun sekaligus timbul paradoks, yakni banyak sastrawan negera di Afrika Utara
ini yang menulis karya-karya sastranya dalam bahasa Perancis dan gaya penulisannya pun tidak
jauh berbeda dengan gaya pengarang Perancis. Bahkan pemikir dan ulama Aljazair terkemuka,
MALIK BIN NABI, menulis pikiran keagamaannya dalam bahasa Perancis. Beberapa karya sastra
Aljazair ada yang sudah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia.
Dari kawasan Teluk, termasuk Arab Saudi, belum banyak yang dapat disebutkan. Yang dikenal
dengan sebutan as-Sā'ir al-Mahjar atau The Emigran Poet ialah penyair-penyair yang berimigrasi
umumnya ke Amerika Selatan.
Perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang panjang-
panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan kosakata klasik berganti
dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat, dan serba cepat. Ciri khas perkembangan
bahasa dalam sastra Arab Modern ialah digunakannya bahasa percakapan (vernacularism) dalam
dialog, sekalipun dalam pemerian tetap dengan bahasa baku. Kecenderungan seperti ini ada
pembelanya, tetapi juga banyak penentangnya. Bahkan pernah ada kecenderungan sebagian
kalangan yang ingin mengubah huruf Arab sedemikian rupa supaya dapat juga dibaca dalam huruf
Latin. Di Libanon malah ada sekelompok sastrawan yang mencoba menggantikan huruf Arab dengan
huruf Latin. Bahkan sudah ada novel yang terbit dalam bahasa Arab dengan menggunakan huruf
Latin.