Anda di halaman 1dari 5

Nama: Farhan Zamzami

NIM: 200201110091

Kelas: HKI-F

Teori Visibilitas Hilal Mabims dan Neo-Visibilitas Hilal Mabims

Sebelum menuju kepada pembahasan terkait teori ini, maka pelu lebih dulu diketahui apa
yang dimaksud dengan MABIMS. MABIMS adalah kependekan dari Menteri-menteri Agama
Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, yang dimaksud adalah pertemuan
tahunan Menteri-menteri Agama atau Menteri yang bertanggungjawab dalam mengurus masalah
agama keempat negara tersebut. Bentuk kesepakatan ini untuk menjaga kemaslahatan dan
kepentingan umat tanpa mencampuri hal-hal yang bersifat politik negara anggota. Dalam
perkembangan terakhir pertemuan diadakan dua tahun sekali. MABIMS mulai diadakan pada
tahun 1989 di Brunai Darussalam. Salah satu isu penting yang menjadi perhatian MABIMS
adalah penyatuan Kalender Islam Kawasan. Persoalan ini ditangani oleh Jawatan Kuasa
Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam. Musyawarah pertama Jawatan Kuasa Penyelarasan
Rukyat dan Taqwim Islam diadakan di Pulau Pinang Malaysia pada tahun 1991/1412 dan
terakhir diadakan di Bali Indonesia tahun ini. Salah satu keputusan penting terkait dengan
kalender Islam adalah teori visibilitas hilal yang kemudian dikenal dengan istilah “Visibilitas
Hilal MABIMS”.

Visibilitas hilal MABIMS mensyaratkan ketinggian hilal tidak kurang dari 2 derajat,
elongasi tidak kurang dari 3 derajat, dan umur bulan tidak kurang dari 8 jam. Dalam praktiknya
penggunaan visibiltas hilal MABIMS antar anggota berbeda-beda. Indonesia yang dianggap
sebagai “pengusung” teori visibilitas hilal MABIMS menggunakan secara kumulatif dan
menunggu sidang isbat untuk menentukan awal Ramadan dan Syawal. Sementara itu Malaysia
sebelum menggunakan visibilitas hilal MABIMS menggunakan visibilitas hilal hasil resolusi
Istanbul 1978. Pada tahun 1992 menggunakan visibilitas hilal MABIMS, dengan syarat hilal
mungkin dilihat apabila memenuhi salah satu, yaitu apabila matahari terbenam,

a. Altitude atau ketinggian hilal tidak kurang dari 2 derajat dan


b. Jarak lengkung (Elongasi) matahari ke bulan tidak kurang dari 3 derajat atau
c. Ketika bulan terbenam umur bulan tidak kurang dari 8 jam.
Kebijakan Malaysia ini diikuti Singapura dalam menetapkan awal bulan kamariah untuk
pembuatan kalender hijriah. Berbeda dengan Malaysia dan Singapura, Brunai Darussalam
menggunakan visibilitas hilal MABIMS sebagai pemandu observasi hilal. Jika berdasarkan data
hasil hisab posisi hilal sudah memenuhi syarat-syarat visibilitas hilal MABIMS namun hilal tidak
terlihat maka penentuan awal bulan kamariah didasarkan pada rukyatul hilal. Akibat perbedaan
penggunaan visibilitas hilal tersebut sesama anggota MABIMS akan terjadi perbedaan dalam
menentukan awal bulan kamariah. Bukti kongkretnya adalah penentuan awal Syawal 1432 H
yang lalu. Malaysia dan Singapura menetapkan awal Syawal 1432 H jatuh pada hari Selasa
bertepatan dengan tanggal 30 September 2011, sedangkan Indonesia dan Brunai Darussalam
menetapkan awal Syawal 1432 H jatuh pada hari Rabu bertepatan dengan tanggal 31 September
2011. Pada awal Rabi’ul akhir 1414 H/1993 M, awal Jumadil akhir 1415 H/ 1994 M, dan awal
Muharam 1425 H/2004 M data ketinggian hilal sama dengan data ketinggian hilal awal Syawal
1432 H yang lalu. Kesemuanya tidak menggunakan istikmal. Dalam kasus ini sebetulnya
berdasarkan kesepakatan MABIMS di Jakarta 1-5 Juli 1992 yang tertuang dalam “Taqwim
Hijriah 1993-2020/1414-1442” diputuskan bahwa 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Selasa
bertepatan dengan tanggal 30 Agustus 2011. Artinya jika pemerintah konsisten dengan
keputusan MABIMS tersebut lebaran Idul Fitri 1432 H yang lalu tidak terjadi perbedaan.

Dalam perjalanannya Brunai Darussalam tidak lagi menggunakan visibilitas hilal


MABIMS untuk menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal. Hal ini menunjukkan bahwa
teori visibilitas hilal MABIMS sangat subjektif, belum mampu memberi kepastian terutama
ketika posisi hilal di bawah dua derajat ataupun di atas dua derajat sekalipun, seperti data awal
Rajab 1433 H. Ijtimak terjadi pada hari Senin, 21 Mei 2012 pukul 06: 48 : 32 WIB. Tinggi hilal
(di Yogyakarta) = +03 o 04’ 22’’. Namun dalam realitasnya para observer di seluruh wilayah
Indonesia tidak ada yang berhasil melihat hilal. Anehnya hampir seluruh kalender Islam
memutuskan awal Rajab 1433 H jatuh pada hari Selasa, 22 Mei 2012. Sebaliknya jika ketinggian
hilal di bawah dua derajat keberhasilan rukyat pasti ditolak karena tidak memenuhi standar
minimal yang ditetapkan teori visibilitas hilal MABIMS. Pertanyaan yang dapat diajukan apakah
visibilitas hilal MABIMS hanya sekedar digunakan untuk menolak hasil observasi yang kurang
dari dua derajat?
Dalam kasus gerhana bulan seringkali tidak teramati. Tetapi para observer tetap meyakini
bahwa gerhana telah terjadi dan salat gerhana tetap dilakukan. Persoalan “bulan” adalah
persoalan agama dan sains yang kebenarannya bersifat universal. Tentu saja kasus di atas dapat
dipertimbangkan ketika mendialogkan antara Wujudul Hilal dan Visibilitas Hilal. Seharusnya
batas keseimbangan antara keduanya terletak pada permasalahan sampai dimana mereka mau
menyapa, bersilaturrahmi, berkomunikasi secara ajeg antara teori (produk ijtihad) yang satu
dengan yang lainnya, dan komunikasi itu tercermin dalam tindakan etis-praktis yang dilandasi
atas konsensus bersama (baca : ijtihad kolektif). Bukan terletak pada sejauhmana mereka harus
saling mengambil jarak antara satu teori dengan teori yang lainnya dengan tidak mau memahami
dan mengerti perkembangan logika dan kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing produk
ijtihad. Dengan begitu tidak ada ijtihad tertentu yang merasa lebih unggul dari ijtihad yang lain
(tidak terjebak pada intellectual arrogance). Yang ada hanya hubungan relasional yang kritis
antara yang satu dengan lainnya.

Neo-Visibilitas Hilal MABIMS

Pada Selasa-Rabu 21-22 Rajab 1443/22-23 Februari 2022 diselenggarakan pertemuan


ahli falak oleh Ditjen Bimas Islam Kemenag. Pertemuan dibuka Dirjen Bimas Islam Kamaruddin
Amin. Acara dipandu Kasubdit Hisab Rukyat Ismail Fahmi. Kasubdit mengatakan, Kemenag
mengundang peserta untuk meminta pandangan soal rencana implementasi "Neo-Visibilitas Hilal
MABIMS". Ini salah satu konsep menentukan awal bulan komariah dengan syarat ketinggian
hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.

Ini dianggap perbaikan konsep sebelumnya yang mensyaratkan ketinggian hilal 2 derajat,
elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam (MABIMS 2,3,8). Ide perubahan ini berawal
muzakarah rukyat dan takwim Islam negara anggota MABIMS di Jakarta, 21-23 Mei 2014.
Delegasi Brunei Darussalam dan Malaysia mengusulkan perubahan kriteria imkanur rukyat
MABIMS (2,3,8) karena dianggap kurang sesuai dengan praktik di lapangan. Singapura
mengusulkan tiga alternatif. Tetap 2, 3, 8, ikut Istanbul, dan lebih tinggi dari Istanbul. 

Indonesia menyatakan masih "mempertahankan" dan perlu kajian terlebih dahulu.


Selanjutnya, muzakarah di Balai Cerap Teluk Kemang Negeri Sembilan, Malaysia 2016
merespons pertemuan di Jakarta 2014 dan menghasilkan kriteria 3,6.4. Dengan kata lain,
kehadiran neo-visibilitas hilal MABIMS (IR 3,6.4) merupakan perbaikan terhadap kriteria IR
2,3,8. Dalam uraian berikutnya Kasubdit menyampaikan, semua peserta menjadi narasumber dan
berhak menyampaikan pandangannya.

Baginya perubahan kriteria MABIMS bukanlah perubahan kriteria ormas. Artinya,


masing-masing ormas tetap berpegang pada kriteria yang digunakan. Dengan kata lain,
perubahan kriteria ini sebatas mengawal perundingan dan kesepakatan yang dihasilkan
MABIMS.Pembahas pertama disampaikan Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri
Ahmad Bahiej, yang menyampaikan perjalanan keputusan MABIMS tentang visibilitas hilal.
Keputusan penggunaan teori neo-visibilitas hilal MABIMS ditetapkan dan ditandatangani
bersama pada 8 Desember 2021, melalui pertemuan virtual. Selanjutnya, pada 17 Desember
2021, Menteri Agama RI berkirim surat kepada Menteri Hal Ehwal Ugama Brunei Darussalam
Pehin Udana Khatib Dato Paduka Seri Setia Ustaz Haji Awang Badaruddin Bin Pengarah Dato
Paduka Haji Awang Othman.

Isi pokok surat ini menyatakan, "Negara Republik Indonesia akan menggunakan kriteria
imkanur rukyat baru MABIMS pada 2022 M yang akan datang". Dalam dialog yang langsung
dipimpin kasubdit, berkembang dua pandangan besar. Pertama, menyetujui kriteria baru
MABIMS segera digunakan pada penentuan awal Ramadhan 1443 H. Alasannya, apa bedanya
penggunaan sekarang atau tahun depan. Kalau melakukan perubahan seharusnya tidak hanya
persoalan kriteria, tetapi juga memperhatikan garis panduan yang telah disepakati bersama.
Momen perbedaan lebih baik untuk mengimplementasikannya. Tidak harus semua setuju, yang
tidak setuju silakan tetap menggunakan kriteria yang dipedomani. Pandangan kedua menyatakan
sebelum implementasi sebaiknya dilakukan sosialisasi, jangan tergesa-gesa.

Jika dipaksakan dalam penentuan awal Ramadhan 1443 H, terkesan ingin memenangkan
pihak tertentu. Kalau melakukan perubahan seharusnya tidak hanya persoalan kriteria, tetapi juga
memperhatikan garis panduan yang telah disepakati bersama. Aspek lain yang disoroti kelompok
kedua, jika mengimplementasikan neo-visibilitas hilal MABIMS, apakah menggunakan model
Singapura atau Malaysia, bagaimana posisi sidang itsbat, fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 dan
lain-lain? Tak kalah pentingnya, perubahan sebaiknya dilakukan pada awal tahun baru Hijriyah,
tidak di tengah jalan karena harus merevisi kalender yang sudah beredar di tengah masyarakat.
Patut diketahui, dari 10 peserta yang menyampaikan pandangan secara langsung, mayoritas tak
menghendaki implementasi neo-visibilitas hilal MABIMS pada awal Ramadhan 1443 H/2022 M
demi kemaslahatan bersama.

 
Mundur selangkah dan memilih waktu tepat demi kebersamaan lebih utama daripada tergesa-
gesa dengan hasil kurang maksimal.

Apalagi, pada masa pandemi masih berlangsung. Semua pihak harus bergandengan agar
Ramadhan 1443 H disambut hati gembira penuh kebersamaan.Memperhatikan hasil pertemuan
di atas dan realitas empiris, alangkah baiknya menag RI mengkaji ulang implementasi neo-
visibilitas hilal MABIMS pada awal Ramadhan 1443 H. Ini tak menyalahi kesepakatan di tingkat
MABIMS sebagaimana tercantum pada ad referendum yang berbunyi "...tertakluk kepada
kesediaan setiap negara anggota untuk mengimplementasikannya." Mundur selangkah dan
memilih waktu tepat demi kebersamaan lebih utama daripada tergesa-gesa dengan hasil kurang
maksimal. Kisah "Fathul Makkah" bisa menjadi renungan bersama. Namun, jika menag tetap
mengimplementasikannya, perbedaan awal Ramadhan 1443 H tak bisa dihindari, bahkan awal
Syawal 1443 H pun dimungkinkan berbeda. Akibatnya, upaya penyatuan kalender Islam yang
sudah lama dirintis di negeri ini kian jauh dari harapan. 

Anda mungkin juga menyukai