Anda di halaman 1dari 11

NORMA MORAL OBJEKTIF

(Ringkasan dari diktat Rm. Piet Go)

Status questionis
Apa yang dimaksudkan dengan norma? Norma moral? Obyektif?
Apa peranan norma bagi perilaku moral manusia?
Bagaiamana manusia mengerti dan merumuskan norma-normanya? Dari mana
sumber-sumbernya?
Apa saja jenis-jenis atau macam-macam norma moral ini?

Pengantar: Pencipta telah menentukan suatu tujuan obyektif bagi manusia,


ciptaanNya, maka manusia juga terpanggil untuk menjadikan tujuan akhir
obyektif itu sebagai tujuan subyektif. Apabila manusia memandang tujuan akhir
ini, maka akan menjadi jelas bagi dia jalan atau aturan yang harus ia ikuti:
tatanan moral. Tatanan moral ini mewujud dalam norma-norma, baik itu yang
ada di luar pribadi seseorang berupa norma/hukum-hukum moral obyektif
(norma obyektif), maupun yang diletakkan Tuhan di dalam diri orang itu yakni
norma hati nurani-nya (norma subyektif).

Norma dan hukum sering dilihat sbg pembatasan ruang kebebasan manusia,
khususnya karena pengaruh dari penekanan yang makin besar pada kebebasan
pribadi. Namun pada umumnya orang yakin bahwa manusia membutuhkan
norma-norma moral. Rumusan tertulis hukum moral adalah kebijaksanaan yang
mengendap dan dikumpulkan sejak ribuan tahun. Norma-norma moral itu
adalah pengalaman berkaitan dengan yang baik dan buruk yang dikumpulkan
secara teratur dalam waktu yang sangat lama. Bila manusia hanya
mengandalkan pengetahuannya sendiri, meskipun berkehendak baik, ia akan
lebih mudah terperangkap dalam kekeliruan. Dkl., hukum moral merupakan
bantuan penting bagi manusia; manusia tidak perlu selalu mulai dari nol.

Tetapi tentu saja perlu selalu diingat bahwa hukum moral tidak boleh begitu
saja disamakan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan yang telah menjadi
codeks tertentu. Meskipun etika dan moral telah berusaha keras menyusun
norma-norma konkret, namun kumpulan-kumpulan norma moral tertulis itu
tidak akan pernah mengungkapkan seluruh khasanah moral. Manusia yang ingin
benar-benar setia kepada panggilannya yang sesuai dengan kehendak Pencipta
tidak cukup hanya sekedar mengikuti moral hukum tertulis.

Hukum moral dalam arti luas adalah petunjuk yang mengarahkan perbuatan
manusia ke tujuan akhir. Tercakup di dalamnya aturan-aturan yang mewajibkan,
nasehat, anjuran-anjuran, dll. Hukum moral sejati harus bersifat baik, dalam arti
dapat membantu perwujudan tujuan akhir manusia. Norma yang sama sekali
tidak mendukung tujuan akhir tidak memiliki kekuatan moral yang mengikat
kehendak.

Hukum moral dalam arti sempit adalah petunjuk yang mengandung ciri (1)
mewajibkan, (2) bersifat umum (dapat berlaku untuk semua), (3) tahan lama
(tidak hanya berlaku sementara atau berubah-ubah), (4) mengarahkan tindakan
manusia kepada tujuan terakhir, yakni Allah sendiri, Kebaikan dan Kebenaran
Tertinggi.

HUKUM DALAM MORAL TRADISIONAL.

Pada umumnya dikemukakan kritik terhadap pembahasan tradisional tentang


norma/hukum moral, yang pembahasannya terkesan: (1) hampir melulu bersifat
filosofis dan yuridis, (2) kurang berorientas biblis-teologis, (3) paham
hukumnya terlalu berorientasi pada aturan (rumusan tertulis) dengan penerapan
yang bersifat kaku ketat. Namun demikian, hal-hal inti dari hukum moral
dibahas dengan cukup mendetail sehingga masih berguna untuk pemahaman
mendasar mengenai hukum dan norma moral.

I. Definisi hukum
Menurut Thomas Aquino, Hukum = quedam rationis ordinatio ad bonum
commune ab eo, cui communitatis curam habet, promulgata (suatu pengaturan
akal budi untuk kepentingan umum yang dipromulgasikan oleh dia yang
mengurus masyarakat). Dari definisi di atas, dikemukakan keempat sebab
(causa, ratio) hukum:
causa finalis (tujuan) : untuk kepentingan umum
causa formalis (hakekat) : pengaturan budi
causa efficiens (pembuat) : pengatur masyarakat
causa materialis (bahan) : perbuatan manusia yang harus diatur.
A. Tujuan dan hakekat hukum
Tujuan hukum: apa yang baik bagi manusia : bonum hominis, atau lebih
tepatnya, kepentingan umum (bonum commune). Ingat, individu dan
masyarakat saling membutuhkan!

Hakekat hukum: adalah suatu pengaturan budi. Rationalitas merupakan


unsur konstitutif hukum! Yang dimaksudkan dengan budi di sini ialah budi
praktis (yg dibedakan dari budi spekulatif) mengenai perbuatan-perbuatan yang
diaturnya.
Diskusi di kalangan ahli: Apakah hukum hanya soal budi belaka? Bagaimana
hubungan hukum terhadap kehendak? Ada aliran yang suka menonjolkan
kehendak sbg unsur konstitutif hukum – aliran voluntarisme. Tapi aliran ini
mengandung bahaya positivisme sewenang-wenang (asal dikehendaki dan
diperintahkan maka baik). Sebetulnya hukum mengandung kedua unsur, budi
dan kehendak: menghendaki apa yang masuk akal! Namun dalam
pembahasannya lebih ditekankan segi rationalitasnya.

Pembagian hukum: Ada banyak cara pembagian hukum, tetapi yang paling
penting ialah pembagian menurut pembuat hukum. Ditinjau dari pembuatnya,
pembagiannya sbb:
a. hukum ilahi (lex divina): hukum abadi (lex aeterna); hukum kodrati (lex
naturalis); hukum ilahi positif (lex divina positiva)
b. hukum manusiawi (lex humana): hukum Gereja (lex ecclesia); hukum
sipil (lex civilis)

Catatan: Hukum manusiawi harus dibedakan dari hukum ilahi. Sumber


langsung hukum manusiawi ialah otoritas manusia. Hukum manusia dapat
memperkukuh kewajiban-kewajiban hukum kodrati, seperti larangan
membunuh atau mencuri. Namun dalam banyak kasus, hukum ini mengandung
aturan-aturan yang bukan merupakan tuntutan langsung dari hukum kodrati
melainkan dalam tingkat tertentu bergantung pada kehendak bebas dan rasional
dari pembuat hukum.

II. HUKUM ILAHI (LEX DIVINA): terdiri atas hukum abadi, hukum
kodrati, dan hukum ilahi positif.
1. Hukum abadi (lex aeterna):
a. gagasan hukum abadi dalam Kitab Suci:
KS mengajarkan bahwa Tuhan dalam kebijaksanaanNya tak hanya menciptakan
dunia teratur, melainkan juga tetap mengaturnya (tentunya dengan
aturan/tatanan): Keb 8:1 ; 11:20; Ay 28:20.23-27 ; Bar 4:1; Rm 8: 28-30; Kol
1:16; 1 Kor 1:24A.
b. gagasan hukum abadi dalam Tradisi:
terjadi pengambil-alihan gagasan filsafat latin dan yunani dalam penjelasan
mengenai hukum abadi. Misalnya, definisi Agustinus: hukum abadi adalah budi
ilahi atau kehendak Tuhan, yang memerintahkan dipeliharanya tata kodrati dan
melarang diganggunya tata itu. Definisi St. Thomas: hukum abadi tak lain dan
tak bukan ialah budi kebijaksanaan ilahi, sejauh ia mengatur semua perbuatan
dan gerakan.
Arti hukum abadi: Hukum abadi adalah keseluruhan rencana-rencana dan
keputusan-keputusan Tuhan yang berkisar pada ciptaan: penyelenggaraan ilahi
sebagai pelaksanaan rencana dan keputusan tersebut. Hukum abadi tidak
langsung kita ketahui, melainkan lewat akibatnya dalam teraturnya dunia, yang
merupakan partisipasi pada hukum abadi.

2. Hukum Kodrat (Lex Naturalis)


a. Gagasan hukum kodrat dalam KS:
Teks klasik KS : Rm 2:14-15 (jg 1:18-32): Orang-orang kafir yang tak
mengenal hukum Taurat, secara kodrati dapat mengenal hukum.
b. gagasan hukum kodrat dalam Tradisi:
Dalam tradisi teologis, praktis semua gagasan hukum bersandar pada lex
naturalis ini. Dalam ajaran magisterium, banyak dipakai terutama sejak Paus
Leo XIII.
Definisi Hukum Kodrat. Thomas Aquino: hukum kodrat tak lain dan tak
bukan ialah partisipasi pada hukum abadi dalam makhluk berbudi).
Definisi hukum kodrat yg umumnya diikuti: Hukum kodrat ialah hukum (atau
kumpulan norma-norma moral) yang dapat diketahui tanpa wahyu adikodrati
dalam KS, yaitu dengan akal budi kita. Dasar ontologisnya ialah kodrat manusia
yang dianggap tak dapat berubah dan berlaku dimana-mana.

Klasifikasi hukum kodrat


Klasifikasi ini mungkin timbul untuk memecahkan soal “tak dapat berubahnya”
hukum kodrat:
1. Primum principium (=prinsip pertama): Bonum agendum, malum vitandum
(= yang baik harus dilakukan, yang buruk harus dihindari)
2. principia secundaria (= prinsip-prinsip sekunder) atau juga conclusiones
primariae (kesimpulan-kesimpulan pertama): Tidak hanya ada perbedaan baik
dan buruk, tetapi juga apa yang baik dan apa yang buruk dalam bentuk
terumum: mis. Gagasan-gagasan pokok dekalog.
3. conclusiones secundariae/remotae (= kesimpulan-kesimpulan sekunder/agak
jauh): ialah kebenaran-kebenaran moral konkret yang tak langsung tampak,
melainkan setelah berpikir mendalam dideduksi dari prinsip-prinsip pertama
dan sekunder. Contoh: bunuh diri, ikatan perkawinan yang tak dapat
diputuskan, monogami.

3. Hukum Ilahi Positif


Yang dimaksudkan ialah kehendak dan perbuatan pemberian hukum yang
tidak/tidak hanya melalui kodrat/ciptaan, melainkan dengan wahyu adikodrati.
Oleh hukum ilahi positif ini manusia dituntun secara berangsur-angsur dalam
sejarah keselamatan.
1. Hukum Perjanjian Lama
Fungsi Hukum Lama:
untuk pendidikan umat Allah menuju Kristus (Gal 3:24), meskipun belum
sempurna, hukum ini disebut suci, benar dan baik (rm 7:12, 1 Tim 1:8),
Isi dan pembagian:
biasanya dibedakan:
- hukum moral, sejauh cetusan hukum kodrat berlaku di dalamnya
- hukum yuridis: hukum sipil bangsa teokratis
- hukum seremonial : aturan upacara keagamaan/ibadat
Dari segi isi hukum, harus diakui adanya pengaruh dari hukum-hukum moral
bangsa-bangsa di luar Israel. Namun ciri-ciri yang khas ialah realitas bahwa
hukum dan seluruh bidang kehidupan manusia ditempatkan di bawah kuasa
mutlak Yahwe (monoteisme Israel). Mereka yakin bahwa semuanya adalah
ungkapan kehendak Allah. Ciri pokok lain: penghormatan yang tinggi terhadap
martabat manusia.

Namun, harus dicatat pula bahwa Hukum PL ini juga mengandung keterbatasan,
misal kasih persaudaraan hanya dibatasi pada suku israel dan imigran yang telah
menetap, tetapi tidak untuk musuh; juga adanya lex talionis (hukum
pembalasan: gigi ganti gigi).
Karena hukum lama ini pada hakikatnya merupakan persiapan, maka hukum
tersebut ditentukan untuk kehilangan daya ikat (sesudah hukum baru dari
Yesus). Namun tidak berarti bahwa segala sesuatu yang terkandung dalam PL
kehilangan daya ikatnya: Dekalog misalnya (ditegaskan oleh Konsili Trente).
PL masih punya otoritas lebih tinggi dari pada kebiasaan dan filsafat kafir.

2. Hukum Perjanjian Baru: Juga disebut “lex evangelii” ( = hukum injil)


a. Hukum baru terutama adalah hukum batin: Pada hakekatnya, hukum PB
adalah hukum batin, namun yang dengan sendirinya juga menuntut perwujudan
lahirian. Hukum ini membawa manusia kristiani kepada tujuan hidup adikodrati
dengan iman, cinta, dan harapan.
Thomas: principalitas legis novae est gratia Spiritus Sancti quae manifestut in
fide per dilectionem operante (= unsur utama hukum baru ialah rahmat Roh
Kudus yang diperlihatkan dalam iman yang bekerja melalui cinta kasih).
b. Tetapi hukum baru juga lahiriah: Kristus telah mengajarkan hukumNya
dengan Sabda dan kelakuanNya.
Aturan-aturan dan perintah-perintah konkret PB sebagian besar termasuk dalam
kategori moralkodrati. Namun, berkaitan dengan perintah-perintah moral, kita
harus membedakan antara perintah Kristus dalam Injil sinoptik dan perintah-
perintah dalam surat-surat PB.

Dalam menafsirkan perintah Kristus kita perlu mencermati gaya khusus dan ciri
literer ajarannya. Dalam menurunkan pedoman moral, Yesus pada umumnya
menggunakan gaya gambaran, metafora, sehingga perintah/ajaran moralNya
tampak radikal dan berlebihan.
Sedangkan petunjuk-petunjuk moral dalam surat-surat PB lebih merupakan
pedoman tingkah laku dan norma-norma moral dalam arti sempit. Aturan-aturan
ini dimaksudkan untuk dimengerti secara harafiah.
Banyak hal dari ajaran moral Paulus lebih berlandaskan pada penilaian akal
sehat tentang apa yang baik dan yang jahat, tanpa perlu mengaitkannya dengan
hukum PL atau perintah-perintah Yesus.
Excursus: (a) Soal apakah Etika Kristen itu sesuatu yang
khas/khusus/tersendiri?
Ahli-ahli kontemporer pada umumnya berpendapat bahwa etika kristiani tidak
memiliki isi khas dan berbeda dengan etika agama dan bangsa-bangsa lain.
Argumen mereka: Bersandar pada pengamatan thd kenyataan: pengalaman dan
sejarah tidak menunjukkan bukti yang jelas tentan isi yang berbeda dalam etika
kristiani. Aturan moral dalam PL dan PB mempunyai paralelnya dalam
kebudayaan dan agama-agama lain. Keyakinan bahwa jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan moral dapat dipahami oleh dan berlaku untuk semua manusia yang
berkehendak baik. Dasar intrinsiknya:
(i) apabila manusia ingin memperoleh pengetahuan tentang makna, wewenang,
dan bobot dari aturan-aturan yang terumus dalam KS, ia membutuhkan kriteria
rasional yang memungkinkan pemahaman akan kebenaran intrinsik tsb. Kriteria
itu ialah kesesuaian antara aturan-aturan dengan kebutuhan dan dambaaan
kodrati manusia. Kriteria ini dimiliki oelh semua manusia dan tidak cuma orang
kristen. (seandainya kriteria ini disangkal, maka alternatifnya ialah positivisme
voluntaristis yg tak layak bagi martabat manusia.
(ii) karena semua manusia memiliki tujuan akhir yang satu dan sama, maka
secara eksistensial hanya terdapat satu moral hakiki yang berlaku bagi semua
manusia baik orang Kristen maupun bukan kristen.

(b) Sumbangan khas/khusus iman Kristen terhadap pemahaman akan


etika:
Ada berbagai aliran etis, namun jelas bahwa tidak semua memiliki nilai yang
sama. Etika Kristen berkaitan dengan moral yang selaras dengan status manusia
sebagai ciptaan Allah. Konteks kita ialah etika teonomi (etika yang berkaitan
dengan Tuhan Allah). Sumbangan dan jasa KS terletak dalam kenyataan bahwa
KS telah membantu semua manusia di setiap zaman untuk memahami makna
hidup dan panggilan Allah terhadapnya. Agama Kristen tidak menawarkan
moral yang baru atau yang lain, tetapi terutama memberikan wujud konkret
kepada keyakinan moral manusia yang paling mendalam, memperjelas dan
memusatkannya pada pribadi khusus, yakni Yesus Kristus.
KS terutama memainkan peran khusus dalam memberikan landasan yang benar
bagi etika.

(c) Apakah etika kristiani adalah Etika Otonom? Ataukan Etika Teonom?
Pada umumnya sering dipertentangkan antara kuasa dan otonomi manusia di
satu pihak, dan kuasa Allah di lain pihak. Etika kristiani juga mendambakan
otonomi. Tuntutan bahwa semua norma moral membutuhkan pembenaran
rasional adalah wajar. Namun terminus otonomi moral mudah menyesatkan
sehingga perlu diklarifikasi. Seturut konsep yg umumnya dianut, otonomi moral
berarti ketidaktergantungan manusia dari tuntutan moral yang diajukan dari
luar, termasuk tutuntan moral yang diberikan Alah melalui realitas penciptaan
dan yang diperjelas melalui wahyu. Manusia otonom menciptakan hukum moral
sendiri dengan otoritasnya sendiri, dan hanya bertanggungjawab terhadap
dirinya dan nilai-nilainya sendiri. Pandangan ini jelas bukan ajaran teologi
kristiani, juga bukan ajaran mereka yg membela moral otonomi dalam konteks
kristiani.
“Untuk seorang Kristen, atau seseorang yang percaya akan seorang Allah
transenden, moral otonomi yang tidak tergantung dari Allah adalah hampa tak
berarti; demikian juga untuk seorang yg tek beriman, moral yang tidak
tergantung pada nilai terakhir atau makna dasar eksistensinya adalah omong
kosong belaka. ... Tanpa makna terakhir, suatu etika normatif tidak mempunya
makna, tidak mempunyai sitem nilai, atau peraturan-peraturan tersendiri, atau
akhirnya tidak menemukan norma dalam lubuk hati. Justru dalam arti ini, etika
kristiani bersifat teonom.”

Pembedaan antara etika yang murni kodrati di satu pihak dan moral yang hanya
berlaku bagi orang Kristen saja di pihak lain mengalami revisi yang sangat
berarti. Tak ada lagi perbedaan yang mendasar antara etika kodrati dan etika
kristen. Dari segi kodrat manusia sbg asal hukum kodrati, perbedaan seperti itu
dak dapat dikemukakan karena dalam Kristus, tidak saja orang Kristen, tetapi
juga semua manusia yang berkendak baik, didamaikan dengan Allah, menerima
Roh Kudus dan berada di bawah pengaruh Roh. Dari segi ciri tujuan akhir
manusia, kita juga tak dapat membuat perbedaan tsb karena sebenarnya „hanya
ada satu panggilan manusia.“ Perbedaan hanya ada dalam pengetahuan dan
pemahaman tentang kodrat manusia, tujuan akhir, dan hukum moral.
Catatan: tentu saja perbedaan tsb masih tetap penting dan tidak boleh dipanggap
remeh. Namun dalam hal ini, iman kristiani menganugerahkan kemampuan
untuk mengenal kodrat manusia, tujuan akhir dan tatatan moral secara lebih
mendalam, penuh dan lebih tepat, daripada pengenalan yang dapat dilakukan
oleh akal.

(d) Revisi mengenai Hukum moral kodrati:


Hukum moral kodrati adalah hukum yang menyangkut perilaku manusia yang
merupakan hasil dari perwujudan penuh kodrat manusia dalam orientasinya
kepada tujuan akhir dan yang dikenal oleh akal budi, terlepas dari wahyu positif
kristiani.
(catatan: Hukum moral kodrati harus dibedakan dari hukum alam. Hukum alam
hanya menyangkut bagian hukum kodrati yang berkaitan dengan bidang
keadilan dan tatanan hukum).
Hukum moral kodrati bersifat mewajibkan semua manusia di segala waktu dan
tempat karena hukum ini berlandaskan pada kodrat manusia sendiri. Ciri
hakikinya adalah umum bagi semua orang. Tak seorangpun dibebaskan dari
keharusan untuk memenuhi kewajiban yang berasal dari hukum moral kodrati.
Kewajiban ini bersifat langsung bagi mereka yang mampu menggunakan
akalbudinya, tetapi tidak langsung bagi mereka yang tak dapat menggunakan
akalnya (bisa sementara atau tetap). Meskipun mereka yang tidak mampu
menggunakan akal tidak berdosa apabila mereka melanggar hukum kodrati,
namun mereka tetap melanggar hukum yg sama; mereka dapat dihindarkan utk
melakukan pelanggaran itu, bahkan kerapkali harus dihalangi secara paksa
(misal orang cacat mental yg membahayakan orang lain).

Kemutlakan hukum kodrati


Karena kodrat manusia dan tujuan akhir yang menjadi titik tolak moral kodrati
itu tidak diciptakan atau ditetapkan oleh manusia melainkan berasal dari
kekuasaan yang lebih tinggi, maka keberadaan hukum kodrati tidak tergantung
dari penentuan manusia. Hukum kodrati identik dengan kehendak Allah.
Pelanggarannya berarti pelanggaran terhadap kehendak Allah.
Namun tetap ada kemungkinan bahwa Allah sendiri memberikan peluang bagi
pengecualian dari hukum kodrati dalam kasus-kasus luar biasa, sejauh
pengecualian ini tidak bertentangan dengan kodrat Allah sendiri. (misal,
perintah Allah kepada Abraham untuk mengorbankan Iskak).

III. Hukum Manusiawi (Lex Humana)


Definisi hukum manusiawi mengikuti juga definisi umum (Hukum = suatu
pengaturan akal budi untuk kepentingan umum yang dipromulgatakan oleh dia
yang mengurus masyarakat).
Ciri-ciri hukum manusiawi:
- dapat dipaksakan (paksaan diperlukan untuk masyarakat yang cenderung
tidak peduli hukum, demi kepentingan umum).
- hanya menyangkut sikap luar (sikap batiniah yang merupakan hal hakiki
untuk sikap moral tidak menjadi sasaran tujuan hukum manusiawi)
- terbatas pada kelompok tertentu manusia (negara, kelompok agama; tidak
universal)
- jauh lebih terkondisi oleh sejarah daripada hukum moral kodrati.
- dipresumsi untuk mengikat (namun lebih terbuka pada kekecualian dan
dispensasi).

1. Hubungan antara hukum manusiawi dan hukum ilahi: saling


membutuhkan
a. Hukum ilahi membutuhkan hukum manusiawi: hukum ilahi masih
seringkali bersifat terlalu umum, kurang konkret, kurang sesuai dengan
keadaan-keadaan/kondisi yang sangat konkret, maka perlu dikonkretisir lebih
lanjut oleh hukum manusiawi:
Konkretisasi itu dapat berupa:
o kesimpulan dari tuntutan hukum ilahi yang kurang jelas (per modum
conclusionis): mis: pengaturan hak milik.
o Pengetrapan azas-azas yang agak umum dari hukum ilahi (per modum
applicationis), mis: hukum pajak
o Penentuan lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan yang terlalu umum (per
modum determinationis)
o Pelengkapan/penambahan dengan aturan-aturan (per modum
amplificationis).

b. hukum manusiawi terikat oleh hukum ilahi: Meskipun mempunyai


kewenangannya, kebenaran hukum manusiawi sangat terikat pada hukum ilahi.
Syarat-syarat untuk hukum manusiawi:
- harus tak bertentangan dengan moral (problem hukum – moral)
- harus adil (iusta): tak ada pembedaan dll
- harus mungkin (possibilis): bisa/mungkin dilakukan
- harus berfaedah/perlu (utilis): melayani kepentingan umum
catatan: perbuatan heroik pada umumnya tak dapat diperintahkan dengan
hukum, demikian pula dengan perbuatan batin.

2. Hubungan antara hukum (positif, manusiawi) dan moral: Tidak bisa


disamaratakan!
a. hukum dan moral tidak ko-eksistensif dan tak selalu konformatif.
Dilukiskan dengan dua lingkaran yang saling memotong. (lihat gambar)
Keduanya tidak ko-eksistensif (berada bersama-sama), sebabnya ialah karena
perbedaan tujuan dan tugas:
Tujuan dan tugas hukum positif: bonum commune (kepentingan/kesejahteraan
umum) sehingga harus diadakan seleksi dan konsentrasi kodifikasi hukum,
artinya: tidak mengatur segala sesuatu dengan hukum, melainkan memilih hal
atau bidang yang perlu, wajar, dan berguna. Juga perlu memusatkan perhatian
pada hal/bidang yang paling perlu dilindungi (ini terutama berlaku untuk hukum
pidana dimana pelanggaran diancam dengan pidana. Sedangkan hukum moral
tujuan dan tugasnya lebih luas (bonum morale)

b. hukum dan moral tak selalu konformatif:


keduanya tidak selalu conform (sama), mungkin berbeda atau bahkan saling
bertentangan: Apa yang diijinkan/dilarang oleh hukum belum tentu
diijinkan/dilarang oleh moral, dan sebaliknya. Sebabnya: terletak pada
perbedaan tugas, dan juga karena perbedaan posisi/pandangan.

Perlu diingat: hukum hanya berkisar pada hal-hal lahiriah, dan tujuan hukum
adalah kepentingan umum. Hukum manusiawi dibutuhkan untuk menjamin
perlindungan untuk nilai-nilai yang sangat penting untuk kesejahteraan umum.

Bagaimana bila terjadi pertentangan antara hukum dan moral?


Berkaitan dengan soal hukum yang tidak adil, perlu diperhatikan Amanat Pius
XII ( 6 Nov 1949):
 hakim tak pernah boleh mewajibkan seseorang untuk melakukan
perbuatan melawan moral
 ia tak boleh secara eksplisit menyetujui hukum yang tak adil
 aplikasi hukum yang tak adil tidak selalu berarti persetujuan: hakim
dapat membiarkannya bila itu merupakan satu-satunya sarana untuk
mengelakkan bencana yang lebih besar. Namun ini tidak berlaku untuk hukum
mati!

Kewajiban, interpretasi dan berhentinya hukum.


1. kewajiban moral sebagai efek hukum: pada umumnya hukum (yg sedikit
banyak merupakan konkretisasi lebih lanjut dari hukum ilahi) mempunyai daya
mewajibkan dalam hati nurani.
Biasanya dirujuk pada Rm 13:5 berhubung dengan kepatuhan pada perintah
suara hati.
namun bisa ada beberapa soal sehubungan dengan ini:
(i) Soal “lex mere poenalis”: hukum-hukum yang mendatangkan hukuman bila
tidak ditaati.
Soalnya: bagaimana kalau hukum itu bertentangan dengan hati nurani
seseorang. Apakah ada hukum yang tidak mewajibkan pada hati nurani?
Latarbelakang timbulnya teori ini: Kapitel Umum Dominikan 1836 : aturan-
aturan ordo tidak mewajibkan “sub culpa moralis.” Juga soal penerapan pada
hukum Negara, khususnya berhubungan dengan absolutisme raja-raja yang
menindas rakyat dan didukung voluntaristis-positivistis (“baik karena
dikehendaki dan diperintahkan”) yg memandang raja sbg yang berdaulat dan
bukan pengabdi umum. (Di sini terjadi paham salah mengenai pembuat hukum
dan tujuan hukum).
Pengertian lebih lanjut tentang lex mere poenalis ini tak seragam. Pada
umumnya dikatakan bahwa hukum semacam ini tidak mengikat suara hati,
tetapi bila kita tertangkap harus siap menerima hukuman
(ii) soal hukum yang dibuat berdasar presumsi bahaya umum (lex fundata
in praesumptione periculi communis) = hukum yang dibuat berhubungan
dengan bahaya umum yang adanya belum dibuktikan, tetapi dianggap masuk
akal. Bahaya yang pada umumnya ada pada hal-hal tertentu kemudian
dipresumsikan/dianggap juga ada pada setiap dan segala peristiwa. Terdorong
oleh presumsi tersebut pembuat hukum menentukan hukum yang juga berlaku
untuk hal dimana bahaya tersebut belum tentu ada. Contoh: membaca buku
tertentu, nikah campuran.
Prinsip: Hukum ini harus ditaati meskipun bahaya yang akan dielakkan tak ada.
(iii) soal hukum berdasar presumsi fakta (lex fundata in praesumptione
facti)?
Soalnya: Bagaimana bila Fakta belum dibuktikan, hanya diandaikan?
Prinsip:dalam hal ini kewajiban adalah in foro externo (lahiriah, di luaran):
hukum tetap harus ditaati sampai terbukti fakta memang tidak benar.

Interpretasi dan berhentinya hukum


a. interpretasi hukum seharusnya:
- otentik : oleh otoritas yg kompeten (CIC 17 #1)
- usual : menurut kebiasaan (CIC 29)
- doktrinal : oleh para ahli (CIC 18 – 20) yang memperhatikan arti istilah-
istilah teks dan konteks, teks-teks parallel/analog, terjadinya hukum.
Prinsip: tujuan hukum adalah kepentingan umum.

b. berhentinya hukum:
Hukum mulai dengan suatu promulgasi. Adapun berhentinya dapat terjadi
karena banyak hal:
- berhentinya kewajiban, sedang hukum tetap ada/berlaku umum disebut
“excusatio legis”:
- karena tak dapat memenuhinya
- karena pemakaian “epikaia” (bukan arti harafiah, melainkan maksud
hukum)
- karena dispensasi
- hukumnya sendiri dihapuskan.

Anda mungkin juga menyukai