Nim:2110014
b. Kecemasan (Anxiety)
Kecemasan merupakan ketegangan tipe kedua, berbeda
dengan ketegangan akan kebutuhan dalam arti ia bersifat
memisahkan, lebih tersebar dan samar, oleh karena itu tidak
menuntut tindakan konsisten untuk menghilangkannya. Apabila
seorang Bayi kekurangan makanan (kebutuhan), maka rangkaian
tindakan rangkaian mereka jelas. Akan tetapi apabila mereka merasa
cemas, maka tidak banyak yang dapat dilakukan untuk melarikan diri
dari rasa cemas tersebut.
Sullivan had embarked on a theoritical assumption that anxiety
was commonicable from mother to child, and from child to mother.
Sullivan’ s next major assumption about personality development
concernet the resiprocal relationship betwen mother’s and child’s
tentions.
Sullivan menyatakan bahwa kecemasan ditransfer dari orang
tua ke anak melalui proses empati. Kecemasan pada seseorang yang
keibuan mau tidak mau menyebabkan kecemasan pada bayi. Oleh
karena semua ibu memiliki sejumlah kecemasan ketika merawat bayi
mereka, maka semua bayi juga merasa cemas hingga tingkat
tertentu.
Kecemasan juga memiliki efek merusak pada orang dewasa.
Kecemasan adalah kekuatan pengganggu utama yang menghambat
perkembangan hubungan interpersonal yang sehat. Hal yang unik
dari ketegangan adalah bahwa ia mempertahankan keadaan
sebagaimana saat itu, walaupun seorang benar-benar terganggu.
Ketika ketegangan menghasilkan tindakan secara khusus diarahkan
untuk mencapai perasaan lega, kecemasan menghasilkan perilaku
yang (1) mencegah manusia untuk belajar dari kesalahan mereka
sendiri, (2) membuat orang tetap mengejar keinginan kekanak-
kanakan demi rasa aman, dan (3) secara garis besar memastikan
bahwa manusia tidak akan belajar dari pengalaman mereka.
Sullivan menyatakan bahwa kecemasan dan kesendirian
merupakan pengalaman yang unik dalam arti mereka mereka benar-
benar tidak dikehendaki dan tidak diinginkan. Oleh karena
kecemasan menyakitkan, maka orang cenderung menghindarinya,
secara turun temurun memilih situasi euforia atau ketiadaan
tegangan. Sullivan merangkum konsep ini dengan menyatakan
bahwa “keberadaan kecemasan jauh lebih buruk dari
ketidakberadaannya”.
Sullivan membedakan kecemasan dengan rasa takut dalam
beberapa pendekatan penting. Pertama, kecemasan biasanya
berakar dari situasi interpersonal yang kompleks dan hanya tampak
samar dalam kesadaran; rasa takut lebih jelas dikenali dan asalnya
lebih mudah diketahui. Kedua, kecemasan tidak memiliki nilai positif.
Hanya ketika kecemasan berubah bentuk menjadi ketegangan (rasa
marah atau takut) maka ia dapat mendorong kearah tindakan yang
menguntungkan. Ketiga, kecemasan menghambat terpuaskannya
kebutuhan, sedangkan rasa takut kadang membantu manusia
memenuhi kebutuhan tertentu. Kemudian, adapun defenisi
kecemasan menurut Sullivan yaitu “Kecemasan adalah ketegangan
yang bertentangan dengan ketegangan akan kebutuhsn dan
bertentangan dengan tindakan yang membuat ,mereka merasa
nyaman”.
2. Transformasi Energi
Transformsi energy merupakan ketegangan yang diubah menjadi
tindakan, baik tersembunyi maupun terbuka. Istilah yang agak aneh ini
semata-mata mengacu pada tingkah laku kita yang bertujuan
memuaskan kebutuhan dan mengurangi kecemasan – dua ketegangan
utama. Tingkah laku hasil transformasi itu meliputi gerakan yang kasat
mata, dan kegiatan mental seperti perasaan, dan pikiran, persepsi, dan
ingatan atau tingkah laku tersembunyi yang dapat disembunyikan dari
orang lain.
Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat mengurangi tegangan,
menurut Sullivan dipelajari dan ditentukan oleh masyarakat dimana orang
itu dibesarkan apa yang dapat diemukan pada masa lalu setiap orang
adalah tegangan-tegangan dan pola transpormasi energi untuk
meredakannya, yang menjadi sarana pendidikan menyiapkan anak
menjadi anggota masyarakatnya. Insting memang ada dan menjadi
pemicu kebutuhan yang menimbulkan tegangan, tetapi transpormasi
energi tidak lagi dipengaruhi oleh insting dan lebih dari hasil belajar.
B. Struktur Kepribadian
1. Dinamisme (The Dynamism)
Menurut Sullivan, Dinamisme merupakan pola khas tingkah laku
(transformasi energy) yang menetap dan berulang terjadi yang menjadi
ciri khas seseorang. Dinamisme memiliki dua kelas utama, yaitu pertama,
dinamisme yang berkaitan dengan zona khusus pada tubuh termasuk
mulut, anus, dan alat genital. Kedua, dinamisme yang berkaitan dengan
tegangan. Kelas kedua ini terdiri dari tiga kategori yang disjungtif
(berlawanan), yang mengasingkan, dan yang konjungtif
(menghubungkan). Dinamisme disjungtif mencakup pola tingkah laku
deskruktif yang berhubungan dengan konsep kedengkian; dinamisme
konjungtif mencakup pola tingkah laku bermanfaat, seperti keintiman dan
sistim diri; dan kedengkian mengasingkan mencakup pola tingkah laku
(seperti berahi) yang tidak berhubungan dengan hubungan interpersonal.
a. Kedengkian
Kedengkian adalah dinamisme disjungtif akan kejahatan dan
kebencian yang ditantai oleh perasaan hidup diantara musuh-musuh.
Kedengkian timbul sekitar usia dua atau tiga tahun, saat tindakan
anak sebelumnya menyebabkan kelembutan maternal disangkal,
tidak diaacuhkan, atau disambut dengan kecemasan dan rasa sakit.
Ketika orang tua mengendalikan tingkah laku anak dengan rasa sakit
fisik dan teguran, sebagian anak akan belajar untuk menahan
ungkapan kebutuhan akan kelembutan dan untuk melindungi diri
mereka sendiri dengan mengadopsi sikap dengki.
Orang tua dan kelompok temannya akan semakin sulit untuk
memberikan reaksi dengan kelembutan, yang akhirnya menguatkan
sikap negatif anak terhadap dunia. Tindakan dengki dapat berupa
sifat penakut, kenakalan, kekejaman, dan tingkah laku asosial atau
anti sosial lainnya. Sullivan mengungkapkan sikap dari kedengkian
tersebut dengan pernyataan menarik ini: “ di suatu waktu dimasa
lampau segalanya indah, namun itu sebelum saya harus berhadapan
dengan orang-orang”.
b. Keintiman
Keintiman tumbuh dari kebutuhan sebelumnya akan
kelembutan, namun lebih spesifik dan melibatkan hubungan
interpersonal antara dua orang dengan status kurang lebih setara.
Keintiman berbeda dengan minat seksual. Bahkan, keintiman
berkembang sebelum pubertas idealnya selama para remaja yang
biasanya didapat antara dua orang anak-anak, masing-masing
memandang satu sama lain sebagai orang yang sebanding.
Keintiman adalah dinamisme dinamisme konjungtif dengan sifat
integrasi yang cenderung untuk menarik reaksi penuh cinta kasih dari
orang lain, oleh karena itu mengurangi kecemasan dan kesendirian,
dua pengalaman yang sangat menyakitkan. Oleh karena keintiman
adalah pengalaman berharga yang sebagian besar orang sehat
inginkan.
c. Berahi
Di sisi lain, Berahi adalah kecenderungan mengasingkan, tidak
membutuhkan siapapun untuk memenuhinya. Berahi menampilkan
dirinya sebagai tingkah laku otoerotis (autoerotic) bahkan ketika
seseorang menjadi objek berahi orang lain. Berahi khususnya
merupakan dinamisme yang sangat kuat selama masa remaja,
dimana pada masa itu berahi biasanya menyebabkan rasa percaya
diri seseorang berkurang. Usaha dalam aktivitas berahi biasanya
dotilak oleh orang lain sehingga meningkatkan kecemasan dan
mengurangi rasa percaya diri. Sebagai tambahan, berahi sering
mengganggu hubungan intim khusunya di masa remaja karena
mudah sekali disalah artikan sebagai ketertarikan seksual.
2. Personifikasi (Personification)
Personifikasi adalah suatu gambaran mengenai diri atau orang
lain yang dibangun berdasarkan pengalaman yang menimbulkan
kepuasan atau kecemasan. Hubungan interpersonal yang memberi
kepuasan cenderung membangkitkan image positif, sebaliknya yang
melibatkan kecemasan membangkitkan image negatif. Sullivan
menggambarkan personifikasi dasar yang berkembang selama masa
bayi mengenai ibunya adalah gambaran ibu baik (good mother) atau ibu
buruk (bad mother) dan saya. Sebagai tambahan, sebagian anak akan
memperoleh personifikasi edetik (teman khayalan) selama masa kanak-
kanak.
a. Ibu yang buruk, Ibu yang baik
Pengertian sullivan akan ibu yang buruk dan ibu yang baik sama
dengan konsep Klein akan payudara baik dan payudara buruk.
Personifikasi ibu yang buruk, sebenarnya tumbuh dari pangalaman
bayi terhadap puting-buruk, yaitu puting yang tidak memuaskan
kebutuhan akan rasa lapar. Tidak penting apakah puting tersebut
adalah milik ibu atau botol yang dipegang oleh ibu, ayah, perawat,
atau orang lain. Personafikasi ibu yang buruk hampir tidak bisa
dibedakan karena ia mencakup semua orang yang terlibat dari situasi
perawatan. Personafikasi ini bukan gambaran ibu yang “nyata”,
namun hanya representasi samar dari bayi akan keadaan disusui
yang tidak selayaknya.
Setelah personifikasi ibu yang buruk terbentuk, seorang bayi akan
memperoleh dan membentuk personifikasi ibu yang baik berdasarkan
kelembutan dan tingkah laku kooperatif dari seseorang yang keibuan.
Kedua personikasi tersebut, salah satunya didasari oleh persepsi bayi
akan ibu yang jahat dan cemas, dan lainnya didasari oleh ibu yang
tenang, lembut, berpadu membentuk personifikasi kompleks yang
terdiri dari kualitas-kualitas bertentangan yang diproyeksikan pada
orang yang sama. Akan tetapi, hingga bayi mengembangkan bahasa,
kedua gambaran ibu yang bertentangan tersebut, hidup bersama
dengan mudah.
b. Personifikasi saya (Personifications of Self)
Selama masa pertengahan bayi, seorang anak memperoleh tiga
personifikasi saya (good-me, bad-me, not-me) yang membentuk
balok pembangunan personifikasi diri. Masing-masing berhubungan
dengan berkembangnya konsep akan saya dan tubuh saya.
Personifikasi saya yang baik (good-me personification) dihasilkan
dari pengalaman-pengalaman yang bayi dengan penghargaan dan
persetujuan. Bayi merasa baik akan diri mereka sendiri ketika mereka
menerima ungkapan kelembutan ibu.
Personifikasi saya yang buruk (bad-me personification)
dikembangkan dari pengalaman kecemasan akibat perlakuan ibu
atau pengalaman ditolak atau dihukum. Keduanya, good me dan bad
me bergabung ke dalam gambaran diri.
Personifikasi bukan saya (not-me personification) dikembangkan
dari pengalaman kecemasan yang sangat, seperti kekerasan fisik,
mental. Karena pengalaman itu sangat menakutkan, semua yang
mengenai diri yang berhubungan dengan pengalaman itu dipisahkan
dari keseluruhuan kepribadian atau dikeluarkan dari kesadaran. Not
me menggambarkan aspek yang dipisahkan dari self dan disertai
dengan emosi unkani (uncanny) atau emosi yang mengerikan dan
berbahaya.
c. Personifikasi eidetik
Tidak semua hubungan interpersonal terjadi dengan orang nyata.
Sebagian adalah personifikasi eidetik, yaitu sifat tidak nyata teman
khayalan yang banyak diciptakan oleh anak dengan tujuan
melindungi rasa percaya diri mereka. Sullivan (1964) percaya bahwa
teman khayalan mungkin sama pentingnya dalam perkembangan
anak sebagaimana teman nyata.
Personifikasi eidetik, bagaiaman pun, tidak terbatas hanya pada
anak-anak. Sebagian besar orang dewasa melihat sifat fiktif dari
orang lain. Personifikasi eidetik dapat menciptakan konflik dalam
hubungan interpersonal ketika manusia memproyeksikan sifat
khayalan yang merupakan sisa dari hubungan terdahulu personifikasi
ini juga mengganggu komunikasi dan mencegah manusia untuk
berfungsi pada tingkat kognisi yang sama.