NIM : 195040207111035
Kelas : F
MODUL FIELDTRIP
Disusun Oleh
AGROEKOSISTEM 2021
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
MODUL VIRTUAL FIELDTRIP MANAJEMEN AGROEKOSISTEM
2021 ASPEK TANAH
I. TUJUAN
• Mempelajari indikator tanah sehat baik secara biologi, fisik dan kimia.
• Menganalisis macam-macam agroekosistem.
• Melakukan pengukuran indikator tanah sehat dan kesuburan tanah secara cepat dan
akurat di lapangan dan di laboratorium.
• Mampu melakukan perencanaan manajemen dalam suatu agroekosistem.
II. DASAR TEORI
Sistem pertanian intensif telah mendorong terjadinya degradasi sifat fisika, kimia,
maupun biologi tanah dibandingkan dengan hutan. Sistem pertanian intensif menyebabkan
terbukanya permukaan tanah pada saat yang lama. Pada musim kemarau terik sinar matahari
mengenai permukaan tanah secara langsung, akibatnya terjadi percepatan proses-proses
reaksi kimia dan biologi, salah satunya adalah penguraian bahan organik tanah (dekomposisi).
Sebaliknya, air hujan yang jatuh selama musim penghujan tidak ada yang menghalangi
sehingga memukul tanah secara langsung, berakibat pada pecahnya agregat tanah,
meningkatnya aliran air di permukaan dan sekaligus mengangkut partikel tanah dan bahan-
bahan lain termasuk bahan organik (Widianto et al., 2004). Untuk tujuan perbaikan
pengelolaan tanah, pengenalan indikator-indikator kesehatan tanah sangat dibutuhkan untuk
penentuan strategi pengelolaan lahan. Indikator-indikator kesehatan tanah dapat dikenali baik
secara kualitatif (cepat, murah tetapi kurang akurat) maupun kuantitatif (melalui pengukuran)
(Lihat Tabel 1). Menurut FAO guide line (2000), ada 3 kriteria dan indikator kesehatan tanah di
tingkat plot yaitu yang berhubungan dengan tingkat kegemburan tanah, ketersediaan hara,
dan keutuhan matriks tanah.
Tabel 1. Kriteria dan indikator kualitatif dan kuantitatif
Kriteria Indikator kualitatif Indikator kuantitatif
1 Kegemburan 1. Kepadatan tanah Bobot Isi Tanah, Berat Jenis Tanah
tanah dan
porositas tanah
2. Sebaran akar Kedalaman akar efektif
3. Ketebalan seresah Berat masa seresah
4. Produksi Kascing Populasi dan biomasa cacing serta
produksi cast
2 Keseimbangan 5. Potensi Kesuburan dan C Organik, pH Tanah, eH, EC
hara kesehatan tanah
6. Gejala defisiensi/keracunan Konsentrasi hara secara visual
1
3 Keutuhan matrix 7. Erosi Kehilangan tanah, penutupan
tanah permukaan
8. Longsor tebing Potensi Kehilangan tanah,
manajemen kemiringan dan
tata air, penutupan lahan
Bahan organik tanah berperan penting dalam menyimpan dan melepaskan unsur hara
bagi tanaman. Handayanto (1996) menyatakan bahwa dekomposisi bahan organik mempunyai
pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kesuburan tanah. Pengaruh langsung melalui
mineralisasi yang melepaskan unsur hara, sedangkan pengaruh tidak langsung sebagai buffer
unsur hara sehingga tetap menjaga ketersediaan unsur hara dalam tanah. Pada lahan-lahan
pertanian intensif, biasanya tingkat permukaan tanah lebih terbuka, dengan penutupan lapisan
seresah yang tipis, permukaan tanah terbuka. Dengan demikian tanah menjadi lebih rentan
terhadap erosi, tanah menjadi padat, berwarna pucat karena kandungan bahan organik tanah
menurun dan diikuti penurunan populasi biota. Selain pemadatan tanah dan kandungan bahan
organik tanah, para petani seringkali menggunakan indikator cacing tanah sebagai penciri
tanah sehat. Petani berasumsi bahwa lahan yang banyak cacing tanahnya akan gembur
sehingga mudah diolah dan tanaman tumbuh baik. Pendapat tersebut diperkuat oleh
Jongmans et al. (2003) bahwa kualitas pori makro dan mikro tanah, tingkat kepadatan tanah,
dekalsifikasi dan dinamika bahan organik ditentukan oleh aktivitas cacing tanah. Cara yang
paling cepat untuk mengetahui ada/tidaknya cacing tanah di lahan adalah melalui pengamatan
kascing. Kascing adalah kotoran yang ditinggalkan oleh cacing tanah, umumnya ditemukan di
permukaan tanah. Semakin banyak kascing ditemukan menunjukkan bahwa di lahan tersebut
banyak terdapat cacing tanah. Pada praktikum ini, kegiatan mahasiswa akan difokuskan pada
pengenalan dan pengukuran indikator kesehatan tanah di lapangan (Tabel 2).
2
Biologi:
- Manajemen Kandungan Bahan Ketebalan dan berat serasah,
Bahan Organik Organik biomassa Understorey, BOT,
Nekromassa
- Biofisik Manajemen
pengelolaan tutupan
lahan
Fisik
- Kegemburan tanah Kepadatan Tanah Berat Isi Tanah
Berat Jenis Tanah
Porositas Total Ketahanan
Penetrasi Akar
Keutuhan matriks tanah (ada
tidaknya degradasi lahan dan
intensitasnya)
Kimia
- Keseimbangan hara Potensi Kesuburan C Organik
dan kesehatan tanah pH (Derajat kemasaman tanah)
eH (potensial redoks)
EC (Electrical Conductivity)
3
˗ Meteran panjang 50 m ˗ Plastik untuk tempat seresah
˗ Frame seresah ˗ Methilen blue untuk pengukuran
˗ Sekop porositas tanah
˗ Bor tanah ˗ Bahan kimia untuk analisa C-Organik
˗ Ring sampel tanah
˗ Cetok
˗ Tali Rafia
˗ Cangkul
˗ Pisau lapang
˗ Gunting dahan
˗ Timbangan
˗ Alat tulis seperti spidol permanen
˗ Hand Penetrometer
IV. PELAKSANAAN
A. PENGAMATAN ASPEK FISIK TANAH
1. Prosedur Analisis Bobot Isi Tanah
Berat isi adalah perbandingan antara massa tanah dengan volume partikel ditambah
dengan ruang pori diantaranya. Massa tanah ditentukan setelah kering oven 1050C dan
volumenya merupakan volume dari contoh tanah yang diambil di lapangan, sehingga
dinyatakan dalam g.cm-3. Berat isi merupakan suatu sifat tanah yang menggambarkan taraf
kemampatan tanah. Tanah dengan kemampatan tinggi dapat mempersulit perkembangan
perakaran tanaman, pori makro terbatas dan penetrasi air terhambat (Darmawijaya, 1997).
4
Klasifikasi Berat Isi
Berat Isi tanah (BI) diamati menggunakan sampel tanah utuh. Pengambilan sampel
tanah utuh bertujuan untuk mengambil tanah pada kondisi yang terjada dan sesuai dengan
kondisi di lapangan. Sampel tanah utuh untuk penetapan bobot isi (bulk density), susunan pori
tanah, pF, dan permeabilitas tanah. Metode pengambilan sampel tanah utuh bisa berupa
sampel tanah agregat utuh atau menggunakan ring sampel atau blok BI.
a. Pengambilan sampel tanah utuh menggunakan ring sampel (Plot sawah padi dan plot
tumpangsari jeruk dan cabai)
- Menekan ring sampel dengan balok penekan hingga tanah memenuhi ring sampel.
- Menekan ring dengan balok penekan dan palu hingga tanah terisi hingga setengah ring
master.
- Memasukkan ring sampel beserta tanah ke dalam plastik, mengikat plastik dengan
karet dan memberi label.
Mengambil contoh tanah utuh dalam blok (kotak besi) dengan ukuran panjang 20 cm,
lebar 20 cm dan tinggi 10 cm (lihat Gambar 2). Contoh tanah dalam blok ditimbang berat
basahnya untuk kemudian diambil secukupnya sebagai sub sampel untuk ditetapkan berat
5
kering oven dan kadar air massanya (g g-1), selanjutnya diukur berdasarkan volume blok atau
kotak besi (Volume tanah, Vt).
6
7
Penetapan berat isi tanah untuk lebih jelas dapat dilihat pada persamaan berikut :
Keterangan:
8
d = Diameter ring/blok
p = Tinggi ring/blok
Tb = Massa tanah basah sebelum dioven
To = Massa tanah oven
K = Massa Kaleng
W = Kadar air massa
Ma = Massa air
Mp1 = Massa padatan sub sample
Mp2 = Massa padatan dari berat total
π = 3,14
partikel tanah mineral berkisar antara 2,60 - 2,70 g/cm3, sedangkan berat jenis partikel
3
bahan organik berkisar 1,30-1,50 /cm .
Klasifikasi Berat Jenis
BJ BJ
Tanah mineral pada umumnya Tanah organik
2,5 – 2,7 < 2,00
Sumber: Pengantar Fisika Tanah, Lab. Fisika Jurusan Tanah FP.UB.2007
Alat:
Piknometer : untuk tempat tanah yang telah
9
dihaluskan Mortal : untuk menghaluskan tanah
Pistil : untuk menghaluskan
tanah Timbangan : untuk menimbang
tanah Oven : sebagai pengering
tanah
Corong : sebagai alat bantu untuk menuangkan air ke dalam
piknometer Botol semprot : untuk mengisi air
Baki : sebagai tempat sampel tanah
Bahan:
Tanah : Sebagai bahan
percobaan Air bebas udara : sebagai pengganti
hotplate
Langkah kerja:
10
Tabel 7. Pengukuran Berat Jenis
Plot Pengamatan
Massa (g) Massa Volume BJ
Padatan Padatan
L L + To L + To + A Mp Vp pρ
Mp = ((L + To) – L) g
= To
3
100 cm = volume labu yang digunakan
*BJ air = 1 g/cm3, jadi 100 g air volumenya adalah 100 cm3
Vp = 100 – ((L + To + A) – (L + To)) cm3
BJ = Mp / Vp
Klas
12
>2.5 Akar tanaman mulai terganggu
Kelas tesktur
13
Gambar 5. Segitiga Tekstur
Pembagian tekstur berdasarkan kelas tekstur ada 12. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Hanafiah (2005).
1. Pasir (sandy) => Pasir mempunyai ukuran >2mm dan bersifat kasar dan tidak lekat.
2. Pasir berlempung (loam sandy) => Tanah pasir berlempung ini memiliki tekstur yang
kasar. Akan membentuk bola yang mudah hancur karena daya ikat pada partikel-
partikel pasir berlempung tidak kuat. Dan juga akan sedikit sekali lengket karena
memang kandungan lempungnya sedikit.
3. Lempung berpasir (Sandy loam) => Rasa kasar pada tanah lempung berpasir akan
terasa agak jelas dan juga akan membentuk bola yang agak keras tetapi akan mudah
hancur.
4. Lempung (Loam) => Lempung tidak terasa kasar dan juga tidak terasa licin. Dapat
membentuk bola yang agak teguh dan dapat sedikit digulung dengan permukaan yang
mengkilat. Selain itu, lempung juga dapat melekat.
5. Lempung liat berpasir (Sandy-clay-loam) => Lempung liat berpasir terasa agak jelas.
Dapat membentuk bola agak teguh bila kering dan juga dapat membentuk gulungan
jika dipilin dan gulungan akan mudah hancur serta dapat melekat.
6. Lempung liat berdebu (sandy-silt-loam) => Lempung liat berdebu memiliki rasa licin
yang jelas. Dapat membentuk bola teguh dan gulungan yang mengkilat serta dapat
melekat.
7. Lempung berliat (clay loam) => Lempung berliat akan terasa agak kasar. Dapat
membentuk bola agak teguh bila kering dan membentuk gumpalan bila dipilin tetapi
pilinan mudah hancur. Daya lekatnya sedang
14
8. Lempung berdebu (Silty Loam) => Lempung berdebu akan terasa agak licin. Dapat
membentuk bola yang agak teguh dan dapat melekat
9. Debu (Silt) => Debu akan terasa licin sekali. Dapt membentuk bola yang teguh dan
dapat sedikit digulung dengan permukaan yang mengkilap serta terasa agak lekat.
10. Liat berpasir (Sandy-clay) => Liat berpasir akan terasa licin tetapi agak kasar. Dapat
membentuk bola dalam keadaan kering. Akan sukar untuk dipijit tetapi mudah
digulung serta memilliki daya lekat yang tinggi (melekat sekali).
11. Liat berdebu (Silty-clay) => Liat berdebu akan terasa agak licin. Dapat membentuk bola
dalam keadaan kering. Akan sukar dipijit tetapi mudah digulung serta memiliki daya
lekat yang tinggi (melekat sekali).
12. Liat (clay) => Liat akan terasa berat, dapat membentuk bola yang baik. Serta memiliki
daya lekat yang tinggi (melekat sekali).
15
B. PENGAMATAN ASPEK BIOLOGI TANAH
1. Penentuan Kandungan Bahan Organik Tanah
Alat dan Bahan
a. Erlenmeyer 500 ml
b. Gelas ukur 20 ml
c. Buret untuk FeSO4 1N
d. Pengaduk magnetis
Uraian Prosedur
a. 0.5 g contoh tanah halus (0.05 g untuk tanah organik; 2 g untuk tanah-tanah yang
mengandung bahan organik lebih kecil dari 1%) yang melalui ayakan 0.5 mm
dimasukkan dalam labu erlenmeyer 500 ml.
e. Kemudian larutan diencerkan dengan air sebanyak 200 ml dan sesudah itu ditambahkan
10 ml H3PO4 85% dan 30 tetes penunjuk difenilamina
f. Larutan sekarang dapat dititrasi dengan larutan fero melalui buret. Perubahan warna
dari warna dari hijau gelap pada permulaan, berubah menjadi biru kotor pada waktu
titrasi berlangsung, dan pada titik akhir warna berubah menjadi hijau terang
g. Apabila lebih dari 8 dan 10 ml K2Cr2O7 terpakai, ulangi dengan mempergunakan contoh
yang lebih sedikit
Pereaksi
a. H3PO4 85%
b. H2SO4 pekat (diatas 96%)
c. K2Cr2O7 1 N
49.04 g tepat K2Cr2O7 dilarutkan ke dalam H2O dan diencerkan hingga 1 liter.
d. Penunjuk difenilamina
± 0.5 g difenilamina p.a dilarutkan dalam 20 ml H2O dan 100 ml H2SO4 pekat.
16
e.1. Larutan fero 0.5 N
196.1 g Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O dilarutkan dalam 800 ml H2O yang mengandung 20 ml
H2SO4 pk dan diencerkan hingga 1 liter. Dapat digunakan sebagai ganti reagent, 5a
suatu reagent yang digunakan oleh Walkey sebagai berikut.
e.2. FeSO4 7 H2O 1N
278.0 g FeSO4 7 H2O dilarutkan ke dalam H2O yang mengandung 15 ml H2SO4 pekat
kemudian diencerkan hingga 1 liter.
Perhitungan :
100
% Bahan organik = % C − organik
58
Tabel 10. Pengukuran Kandungan Bahan Organik Tanah
Lahan
ml blanko ml sampel %KA %C-Organik
Pengamatan
Sawah (Padi) 7,3
Tegalan (Jagung) 7,9
Tumpangsari (Jeruk 6,9
dan Cabai)
20 m
17
b. Potong semua tumbuhan bawah (herba dan rumbut-rumputan) yang terdapat di dalam
kuadran, pisahkan antara daun dan batang.
c. Masukkan ke dalam kantong kertas, beri label sesuai dengan kode TITIK CONTOHnya.
d. Untuk memudahkan penanganan, ikat semua kantong kertas berisi tumbuhan bawah
yang diambil dari satu plot.
e. Masukkan dalam karung besar untuk mempermudah pengangkutan ke laboratorium.
f. Timbang berat basah daun atau batang, catat beratnya dalam lembar pengamatan 6.
g. Ambil sub-contoh tanaman dari masing-masing biomasa daun dan batang sekitar 100-
300g. Bila biomasa contoh yang didapatkan hanya sedikit (< 100 g), maka timbang
semuanya dan jadikan sebagai sub-contoh.
h. Keringkan sub-contoh biomasa tanaman yang telah diambil dalam oven pada suhu 80C
selama 48 jam.
i. Timbang berat keringnya dan catat hasil pengukurannya
Tabel 11. Pengukuran Biomassa Tumbuhan Bawah
Berat Basah (g) Sub-contoh Sub-contoh Total berat
Berat Basah (g) Berat Kering (g) kering
Lahan Pengamatan
Daun Batang Daun Batang Daun Batang g/0.25 g/m2
m2
Sawah (Padi)
Tegalan (Jagung)
Tumpangsari (Jeruk
dan Cabai)
Pengolahan data
Hitung total berat kering tumbuhan bawah per kuadran dengan rumus sebagai berikut:
BK subcontoh (g)
Total BK (g) = X Total BB (g)
BB subcontoh (g)
18
tanah seperti berat basah dan berat kering seresah, pengamatan casting, dan pengambilan
contoh tanah untuk analisa C-Organik tanah. Sedangkan pengambilan contoh tanah untuk
pengukuran bobot isi dan porositas tanah dapat dilakukan di luar petak contoh.
Tabel 12. Hasil Pengukuran Ketebalan Seresah
Lahan Pengamatan Ketebalan Seresah (cm)
Sawah (Padi)
Tegalan (Jagung)
Tumpangsari (Jeruk dan Cabai)
19
8. Catat berat keringnya
40 m
5m
0.5mx0.5m sub-pot
20
C. PENGAMATAN ASPEK KIMIA TANAH
Pengamatan Aspek Kimia Tanah baik di lahan berupa gejala defisiensi dan laboratorium
seperti mengukur C-Organik, pH Tanah, eH, dan EC dilakukan pada masing-masing lahan
pengamatan. Data hasil pengamatan dapat di tulis pada tabel yang telah disediakan.
1. Pengamatan Aspek Kimia di Laboratorium (Penentuan C-Organik, pH tanah, eH dan EC)
Penentuan C-Organik Tanah (Metode Oksidasi Basah Walkey and Black)
Alat dan Bahan
a. Labu erlenmeyer
b. K2Cr2O7 1 N
c. H2SO4 pekat
d. Difenilamina
e. Aquadest
f. Pipet
Prosedur analisis C-Organik Tanah
1. Sampel tanah kering udara yang telah lolos ayakan 0,5 mm sebanyak 0,5 gr contoh
dimasukan ke dalam labu erlenmeyer.
K2Cr2O7 10 ml
Ditambah H2 SO4 20 ml
H2SO4
21
5. Kemudian larutan di encerkan dengan air sebanyak 200 ml dan sesudah itu
ditambahkan 10 ml H3Po4 85% dan 30 tetes penunjuk difenilamina.
6. Larutan dititrasi dengan larutan feromell buret. Perubahan dari warna hijau gelap pada
permukaan,lalu menjadi biru tua pada waktu titrasi berlangsung, pada titik akhir warna
berubah menjadi hijau terang.
7.
Perhitungan % C-Organik :
(ml blanko − ml sampel) 3 100 + % KA
ml blanko 0.5 100
Tabel 15 . Hasil Pengukuran C-Organik Tanah Metode Oksidasi Basah Walkey and Black)
Sawah Tegalan Tumpang sari
Parameter (Lahan Jeruk dan Cabai)
(Padi) (Jagung)
Pengamatan
7,3 7,9 6,9
% C- Organik
22
e. Selanjutnya untuk mengukur eH (potensial redoks) dan EC (Electrical Conductivity)
menggunakan sampel H2O (1:1) pada alat yang sama , hanya tinggal klik mode
sampel satuan menunjukkan mV (eH) dan mS (EC).
23
K Untuk pembentukan • Daun-daun tua (bagian
(Kalium) protein dan bawah) menjadi coklat atau
karbohidrat menunjukkan flek-flek
terbakar pada tepi daun
dan ujung daun.
• Jerami tanaman berbiji
menjadi lunak
24
Cu Berfungsi dalam • Daun muda layu tetap
(Tembaga) pembentukan zat (ujungnya terbakar) tanpa
hijau daun (klorofil) bercak atau gejala klorosis
dan merupakan
• Ranting atau tangkai tepat
bahan pembentuk
beberapa jenis dibwah ujung dan pentul
enzim. biji sering tak mampu tegak
bila kekurangannya parah.
1
Sawah
(Padi)
2
1
Tegalan
(Jagung)
2
1
Tumpang sari
(Lahan Jeruk
dan Cabai)
2
25
DAFTAR PUSTAKA
Hairiah, K., Sulistyani, H., Suprayogo, D., Widianto, Purnomosidhi, P., Widodo, R. H., and Van
Noordwijk, M. 2006. Litter layer residence time in forest and coffee agroforestry
systems in Sumberjaya, West Lampung. Forest Ecology and Management, 224: 45-57.
Hairiah K and Rahayu S. 2007. Petunjuk praktis Pengukuran karbon tersimpan di berbagai
macam penggunaan lahan. World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia. ISBN
979-3198-35-4. 77p
Jongmans, A. G., Pulleman, M. M., Balabane, M., Van Oort, F., Marinissen, J. C. Y. 2003. Soil
structure and characteristics of organic matter in two orchards differing in
earthworm activity. Applied Soil Ecology, 24: 219-232.
Karama, A.S., A.R. Marzuki dan I. Marwan. 1994. Penggunaan Pupuk Organik Pada Tanaman
Pangan. Simposium Hortikultura Nasional.
Van Noordwijk, M, Lusiana, B. dan Khasanah, N., 2004. WaNuLCAS 3.01. Background on a
model of Water Nutrient and Light Capture in Agroforestry System. ICRAF, Bogor.246
p.
Widianto, Suprayogo D., Noveras H., Widodo R.H., Purnomosidhi P., Noordwijk v.M., 2004. Alih
Guna Hutan Menjadi Lahan Pertanian:Apakah Fungsi Hidrologis Hutan Dapat
Digantikan Sistem Kopi Monokultur?. Agrivita Vol.26 No.1. Maret 2004. ISSN:0126-
0537.
27
LAMPIRAN
DAFTAR ASISTEN KELAS MAES TANAH / GENAP 2020-2021
No
ASISTEN PRAKTIKUM NIM ASISTEN KELAS
.
1 Intan Permata Hadi 165040207111084 A
2 Tania Lestari 175040207111207 B
3 Rio Falah Perdana 175040207111239 C
4 Jiyanti Yana Saputri 196040300111013 D
5 Renaldi Yoga Wibawa 175040207111071 E
6 Martin Naro Pardede 175040207111074 F
7 Lukman Hadi Wibowo 175040207111117 G
8 Rizkyana Noerishynta Damayanti 187040123111001 H
9 Abdurrachman Arief 196040300111004 I
10 Fathia Meidy Nurindriana 175040207111007 J
11 Alfian Indra Kurniawan 185040200111143 K
12 Muhammad Rifqi Al Jauhary 196040300111014 L
13 R. Ay. Alvisa Talitha Radiananda 185040207111047 M
14 Dinna Hadi Sholikah 206040300011002 N
15 Ahmad Fatoni 185040201111048 O
16 Nilam Kinanti 165040207111087 P
17 Juan Umbu A. D. Farasi 185040200111217 Q
18 Beliana Zam Zam 185040201111163 R
19 Muhammad Reziq 175040207111118 KA
20 Abrar Niti Pangestu 175040207111230 KB
28
MODUL VIRTUAL FIELDTRIP MANAJEMEN AGROEKOSISTEM 2021
ASPEK BUDIDAYA PERTANIAN
1. Faktor Abiotik
Pertumbuhan tanaman dapat di kendalikan oleh susunan genetik tanaman serta
keadaan lingkungannya. Sedangkan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan pada tanaman secara garis besar terbagi menjadi faktor biotik dan faktor abiotik.
Faktor abiotik adalah komponen penyusun ekosistem yang terdiri dari benda-benda tak hidup.
Faktor abiotik dapat terdiri atas intensitas cahaya matahari, kecepatan angin, kelembaban
udara dan suhu, curah hujan, serta kesuburan tanah. Masing-masing komponen abiotik ini
dapat berpengaruh pada kelangsungan hidup tanaman. Setiap tanaman memiliki kondisi
optimum tertentu untuk tetap hidup dengan baik. Keadaan lingkungan yang tidak mendukung
pertumbuhan tanaman akan berakibat pada penurunan tingkat transpirasi, respirasi maupun
penyerapan nutrisi bagi tanaman. Selain itu juga dapat menyebabkan tanaman mudah
mengalami gangguan OPT hingga menyebabkan kematian bagi tanaman. Melalui
pengaruhnya tersebut maka masing-masing komponen abiotik ini memiliki peranan penting
dan perlu diperhatikan dalam budidaya tanaman untuk menciptkan keadaan yang optimum
bagi pertumbuhan tanaman.
2. Komponen Iklim
Iklim dapat diartikan sebagai keadaan cuaca rata-rata dalam waktu yang relatif lama
dan meliputi wilayah luas. Proses terjadinya cuaca dan iklim merupakan kombinasi dari
variabel-variabel atmosfir yang sama yang disebut unsur-unsur iklim. Iklim merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi proses pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Kondisi
iklim dicirikan oleh unsur-unsur atau komponen iklim antara lain suhu, angin, kelembaban,
penguapan, curah hujan serta lama dan intensitas penyinaran matahari. Besarnya pengaruh
iklim dalam pertumbuhan tanaman maka dirasa penting mengetahui dan mempelajari
komponen iklim yang akan memberikan keadaan optimum bagi pertumbuhan tanaman.
Beberapa komponen iklim diantaranya sebagai berikut.
Curah Hujan
Curah Hujan (mm) adalah ketinggian air hujan yang terkumpul dalam penakar hujan
pada tempat yang datar, tidak menyerap, tidak meresap dan tidak mengalir. Curah hujan
merupakan salah satu unsur cuaca yang datanya diperoleh dengan cara mengukurnya dengan
menggunakan alat penakar hujan, sehingga dapat diketahui jumlahnya dalam satuan
millimeter (mm). Curah hujan dibatasi sebagai tinggi air hujan yang diterima di permukaan
sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan ke dalam tanah. Sedangkan
Intensitas curah hujan merupakan ukuran jumlah hujan per satuan waktu tertentu selama
hujan berlangsung (Chandra dan Suprapto, 2016). Alat yang dapat digunakan dalam
pengukuran curah hujan adalah ombrometer dan ombrograf. Ombrometer merupakan alat
pengukur curah hujan tipe kolektor. Sedangkan ombrograf merupakan alat pengukuran curah
hujan tipe perekam data (otomatis).
Cara penggunaan ombrometer :
- Menaruh gelas pengukur dibawah kran ombrometer
- Membuka kran ombrometer
- Apabila air yang turun dari kran melebih 25 mm maka sebelum mencapai 25 mm kran
ditutup terlebih dahulu dan selanjutnya melakukan pembacaan dan catat hasil
- Pengukuran dilakukan sampai air di dalam bak penakar habis
Cara penggunaan ombrograf :
- Kertas grafik dipasang terlebih dahulu pada silinder yang berputar teratur secara
otomatis
- Penggantian kertas grafik dilakukan 1 minggu sekali
- Pencatatan curah hujan bersifat kumulatif dengan kapasitas maksimum penampungan
60 mm
- Banyaknya curah hujan dan terjadinya hujan dapat dibaca dari kertas grafik.
Intensitas
Intensitas cahaya adalah banyaknya cahaya ada pada suatu luas permukaan,
merupakan aspek lingkungan fisik yang sangat penting untuk keselamatan dan kenyamanan
kerja. Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor yang berperan penting bagi tanaman
untuk proses fotosintesis. Dimana, semakin sesuai intensitas cahaya bagi tanaman maka akan
semakin baik proses fotosintesis, dan semakin baik pula pertumbuhan tanaman. Selain itu
besarnya intensitas cahaya yang diteruskan ke permukaan lahan akan cenderung menurun
seiring bertambahnya umur suatu tanaman. Alat yang digunakan untuk mengukur intensitas
cahaya matahari yaitu lux meter, dengan cara penggunaan sebagai berikut :
- Geser tombol off/on ke arah On
- Pilih kisaran range yang akan diukur (2000 lux, 20000 lux atau 50000 lux) pada
tombol Range
- Arahkan sensor cahaya dengan menggunakan tangan pada permukaan daerah yang
akan diukur kuat penerangannya
- Lihat hasil pengukuran pada layar panel
Kelembaban
Kelembaban merupakan salah satu bagian dari iklim yang termasuk dalam faktor
abiotik atau faktor tidak hidup. Kelembabam dapat diartikan sebagai konsentrasi atau
kandungan uap air yang ada pada udara. Pertumbuhan tanaman juga sangat dipengaruhi oleh
kelembaban. Apabila kelembaban lingkungan berada di luar batas, maka tanaman akan
terganggu pertumbuhannya. Setiap golongan tanaman memerlukan kelembaban udara yang
berbeda-beda untuk perkembangan optimalnya. Sama seperti faktor abiotik lainnya,
kelembaban juga penting diperhatikan dalam pertumbuhan tanaman. Kelembaban yang diluar
batas toleransi tanaman akan menyebabkan beberapa kendala dalam kelangsungan hidup
tanaman. Ketika kelembaban terlalu rendah, proses fotosintesis tidak dapat berjalan dengan
baik akibat beberapa gangguan pada zat-zat tanaman sehingga tidak dapat menghasilkan
energi yang cukup untuk tumbuhan hidup dan menyebabkan tanaman akan mengalami
kekeringan dan mati. Sedangkan pada kelembaban yang terlalu tinggi, organisme
pengganggu tanaman seperti jamur dan bakteri dapat tumbuh berkembang dengan pesat dan
menyebabkan kerusakan atau pembusukan pada tumbuhan. Sehingga untuk berproduksi
tinggi, maka kelembaban udara disekitar tanaman harus dijaga dalam keadaan optimum.
Suhu
Suhu dapat diartikan sebagai ukuran atau derajat panas atau dinginnya suatu benda atau
sistem. Suhu di definisikan sebagai suatu besaran fisika yang dimiliki bersama antara dua
benda atau lebih yang berada dalam kesetimbangan termal (Putra, 2007). Sebagai salah satu
komponen dalam faktor abiotik, maka pengaruh suhu juga penting dalam optimalisasi
pertumbuhan pada tanaman. Pentingnya suhu bagi tanaman dikarenakan, setiap tanaman
memiliki suhu optimum untuk kelangsungan hidupnya. Hal ini berkaitan dengan reaksi kimia
didalam setiap organisme akan dipengaruhi oleh suhu lingkungan disekitarnya. Sehingga
untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, maka harus mememnuhi syarat tumbuh
tanaman salah satunya suhu yang optimum. Jika suhu sekitar kurang sesuai dengan syarat
tumbuh maka reaksi kimia dari tanaman akan terganggu yang menyebabkan tanaman tumbuh
dengan kurang baik. Pada suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, tanaman dapat
kehilangan kemampuan fisiologisnya seperti fotosintesis, respirasi, transpirasi, absorpsi air,
dan nutrisi. Tanaman yang tumbuh di suhu yang terlalu tinggi dari batas toleransi tanaman
akan menyebabkan kinerja enzim akan terganggu. Akibatnya, respirasi dan transpor zat
terganggu sehingga tanaman akan kekurangan nutrisi pada tumbuhan. Secara normal tanaman
akan menutup stomata untuk menghindari penguapan berlebihan pada suhu tinggi. Jika hal
ini terus terjadi maka akan menyebabkan tidak adanya pertukaran oksigen dan
karbondioksida, atau artinya transpirasi zat terganggu. Pengukuran suhu dan kelembaban
dapat menggunakan alat thermo hygrometer, dengan cara penggunaan sebagai berikut:
• Meletakkan thermo hygrometer pada tempat yang ingin diukur kelembaban dan suhu
udaranya.
• Menunggu tiga sampai lima menit.
• Mengamati skala yang ada pada thermo hygrometer, skala pada bagian atas
menunjukkan suhu udara (oC) sedangkan skala bagian bawah menunjukkan
kelembaban (%).
FAKTOR BIOTIK PADA AGROEKOSISTEM
Faktor hidup yang meliputi semua makluk hidup di bumi yang terdiri dari manusia,
hewan, tumbuhan dan mikroba. Dalam Ekosistem tumbuhan berperan sebagai produsen,
hewan sebagai konsumen dan mikroorganisme berperan sebagai decomposer Faktor biotik
juga meliputi tingkatan-tingkatan organisme yang meliputi individu, populasi, komonitas,
ekosistem dan biosfer. Agroekosistem adalah komonitas tanaman dan hewan yang
berinteraksi dengan lingkungan fisik yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk
memproduksi bahan makan, serat, bahan bakar, dan produksi lainnya untuk konsumsi
manusia dan processing. Agroekosistem merupakan pemegang faktor kunci dalam
pemenuhan kebutuhan pangan suatu bangsa.
Komponen biotik yang terdiri dari semua jenis tanaman, hewan, dan mikroorganisme
yang ada dan berinteraksi dalam suatu agroekosistem sangat menentukan produtivitas
pertanian. Oleh sebab itu komponen-komponen biotik seperti itu penting adanya dalam
menjaga keseimbangan agroekosistem. Komponen biotik merupakan suatu komponen
ekosistem berupa makhluk hidup yang tinggal dalam suatu ekosistem. Komponen biotik
bermacam-macam jenisnya, antara lain hewan, tumbuhan, manusia, bahkan mikro-organisme
sekalipun. Setiap komponen memiliki peranan masing-masing yang sangat erat kaitannya
dalam pemenuhan kebutuhan akan makanan, hal ini yang menyebabkan keseimbangan di
dalam ekosistem.
a. KOMPONEN BIOTIK BERDASARKAN PERAN DAN FUNGSINYA
PRODUSEN (AUTOTROF)
Produsen adalah makhluk hidup yang mampu mengubah zat anorganik menjadi zat
organik (organisme autotrof). Contoh: Tumbuhan hijau berklorofil, fitoplankton, lumut, alga.
KONSUMEN (HETEROTROF)
Konsumen merupakan organisme yang tidak dapat menyusun zat makanan sendiri,
tetapi memakai atau menggunakan zat makanan yang dibuat organisme lain. Contoh:
Manusia, hewan
DEKOMPOSER (PENGURAI)
Dekomposer merupakan pengurai makhluk hidup atau organisme yang memiliki
fungsi tertentu sehingga mampu menguraikan sampah atau sisa-sisa makanan dari makhluk
hidup yang sudah mati. Dekomposer juga disebut perombak, yang memungkinkan zat-zat
organik dapat terurai dan mengalami daur ulang kembali sehingga membentuk hara. Contoh:
Bakteri dan Jamur.
b. GULMA
Gulma adalah tumbuhan yang tidak dikehendaki kehadirannya pada suatu lahan pertanian
dan menyebabkan berbagai kerugian pada tanaman budidaya. Seperti persaingan cahaya,
persaingan nutrisi, persaingan air, ataupun Alelopati
Klasifikasi Gulma
Berdasarkan Morfologi dan Botani
Berdasarkan morfologi dan botaninya, gulma dikelompokkan menjadi beberapa golongan
1. Gulma Golongan Rumput (grasses)
Ciri ciri: memiliki batang bulat atau agak pipih dan rata-rata berongga. Daun-daun
soliter pada buku-buku (ruas), tersusun dalam dua deret, umumnya memiliki tulang daun
sejajar. Contoh: Cynodon dactylon (L.), Imperata cylindrica (L.)
2. Gulma golongan teki (sedges)
Ciri ciri: Batang umum nya berbentuk segitiga, kadang-kadang juga bulat dan
biasanya tidak berongga. Daun tersusun dalam tiga deretan, tidak memiliki lidah lidah
daun(ligula). Contoh: Cyperus bervifolius, Cyperus rotundus L.
3. Gulma golongan daun lebar (Broadleaves)
Ciri ciri: Daun lebar dengan tulang daun berbentuk jala, gulma ini biasanya tumbuh
pada akhir masa budi daya. Contoh: Ageratum conyzoides L., Amaranthus spinosus L.
Berdasarkan Siklus Hidup
Berdasarkan siklus hidupnya, gulma dapat dibedakan menjadi
1. Gulma Semusim (Annual Weeds)
Ciri-ciri: Siklus hidup gulma semusim mulai dari berkecambah, berproduksi, sampai
akhimya mati berlangsung selama satu tahun. Pada umumnya, gulma semusim mudah
dikendalikan, namun pertumbuhannya sangat cepat karena produksi biji sangat banyak.
Contoh: Amaranthus sp.
2. Gulma Dua Musim (Biannual Weeds)
Ciri-ciri: Siklus hidup gulma dua musim lebih dari satu tahun, namun tidak lebih dari dua
tahun. Pada tahun pertama gulma ini menghasilkan bentuk roset, pada tahun kedua
berbunga, menghasilkan biji, dan akhimya mati. Contoh: Aretium sp.
3. Gulma Tahunan (Perennial Weeds)
Ciri-ciri: Siklus hidup gulma tahunan lebih dari dua tahun dan mungkin tidak terbatas
(menahun). Jenis gulma ini kebanyakan berkembang biak dengan biji. Gulma tahunan
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Contoh: Cynodon dactylon
Berdasarkan Habitat Tumbuh
Berdasarkan habitatnya, gulma dapat dibedakan menjadi
1. Gulma Air (Aquatic Weeds)
Ciri-ciri: Pada umumnya gulma air tumbuh di air, baik mengapung, tenggelam,
ataupun setengah tenggelam. Gulma air dapat berupa gulma berdaun sempit, berdaun lebar,
ataupun teki-tekian. Contoh: Monochoria vaginalis, Cyperus iria
2. Gulma Daratan (Terestrial Weeds)
Ciri-ciri: Gulma daratan tumbuh di darat, antara lain di tegalan dan perkebunan. Jenis
gulma daratan yang tumbuh di perkebunan sangat tergantung pada jenis tanaman utama, jenis
tanah, iklim, dan pola tanam. Contoh: Ageratum conyzoides, Axonopus compressus
Cara Kerja
1. Mengidentifikasi jenis gulma berdasarkan morfologinya pada areal pertanaman.
Gunakan petak kuadrat (petak contoh) berukuran 0,5 m x 0,5 m. Tempatkan secara
acak sebanyak 3 kali ulangan.
2. Dokumentasikan setiap petak contoh. Dokumentasi harus mencakup semua jenis
gulma yang terdapat dalam petak contoh.
3. Hitung populasi setiap spesies gulma dalam petak contoh.
4. Catat nama spesies gulma dan populasinya pada blanko pengamatan. Gunakan nama
lokal ketika anda pengamatan di lapang.
5. Selanjutnya anda bisa melakukan identifikasi mandiri dengan bantuan literatur untuk
mengetahui nama ilmiah dari spesies gulma yang anda dapatkan.
Gambar 1. Ilustrasi Pengamatan Gulma pada Lahan
Gambar 2. Contoh Pengamatan Gulma pada lahan jagung dimana Persegi Merah adalah
Petak Frame pengamatan.
LER (Land Equivalent Ratio) atau NKL (Nisbah Kesetaraan Lahan)
Multiple cropping merupakan salah satu bentuk dari program intensifikasi pertanian
alternatif yang tepat untuk memperoleh hasil pertanian yang optimal. Keuntungan pola
tanam Multiple cropping selain diperoleh frekuensi panen lebih dari satu kali dalam setahun,
juga berfungsi untuk menjaga kesuburan tanah. Pola tanam Multiple cropping dalam
implementasinya harus dipilih dua atau lebih tanaman yang cocok sehingga mampu
memanfaatkan ruang dan waktu seefisien mungkin serta dapat menurunkan pengaruh
kompetitif sekecil-kecilnya. Tingkat produktivitas tanaman Multiple cropping diketahui
dapat meningkatkan produktivitas tanaman dengan keuntungan panen yang lebih tinggi
yakni antara 20 - 60% dibandingkan pola tanam monokultur. Untuk mengevaluasi
keuntungan atau kerugian yang ditimbulkan dari pola tanam polikultur dengan monokultur
dapat dihitung dari LER (Land Equivalent Ratio) atau Nilai Kesetaraan Lahan (NKL). Nilai
NKL ini menggambarkan suatu areal yang dibutuhkan untuk total produksi monokultur
yang setara dengan satu ha produksi Multiple cropping.
Multiple cropping tanaman pangan di lahan tanaman tahunan yang belum
menghasilkan perlu dipertimbangkan sebagai alternatif pengembangan tanaman pangan.
Sistem tanam Multiple cropping merupakan bagian integral darikegiatan ekstensifikasi dan
intensifikasi yang bertujuan untuk melipat gandakan hasil pangan, dan memecahkan
masalah kerusakan sumber daya alam atau memperbaiki lingkungan hidup. Multiple
cropping atau sistem tanam ganda merupakan usaha petanian untuk mendapatkan hasil
panen lebih dari satu kali dari satu jenis atau beberapa jenis tanaman pada sebidang tanah
yang sama dalam satu tahun. Ada beberapa jenis sistem multiple cropping, seperti mixed
cropping, relay planting, intercropping dan lain-lain. Intercropping (tumpangsari)
merupakan salah satu jenis multiple cropping yang paling umum dan sering dilakukan oleh
petani di Indonesia. Biasanya pada system tumpangsari, hasil dari masing-masing jenis
tanaman akan berkurang apabila dibandingkan dengan system monokultur, tetapi hasil
secara keseluruhan lebih tinggi.
Multiple cropping merupakan sistem budidaya tanaman yang dapat meningkatkan
produksi lahan. Peningkatan ini dapat diukur dengan besaran yaitu LER (Land Equivalent
Ratio) atau NKL (Nisbah Kesetaraan Lahan). Sebagai contoh nilai NKL atau LER =
1,8; artinya bahwa untuk mendapatkan hasil atau produksi yang sama dengan 1 hektar
diperlukan 1,8 hektar pertanaman secara monokultur. Dengan nilai tersebut berarti lahan
multiple cropping mampu meningkatkan produktivitas hingga 80% secara keseluruhan
apabila dibandingkan dengan sistem tanam monokultur.
RUMUS:
𝐻𝐴1 𝐻𝐵1
LER/NKL = +
𝐻𝐴2 𝐻𝐵2
HA1 = Hasil jenis tanaman A yang ditanam secara tumpangsari
HB1 = Hasil jenis tanaman B yang ditanam secara tumpang sari
HA2 = Hasil jenis tanaman A yang ditanam secara monokultur
HB2 = Hasil jenis tanaman B yang ditanam secara monokultur.
Contoh soal:
Komoditas: Tanaman Buncis dan cabai
1. Multiple Cropping
Jenis tanaman Luas Lahan Dalam kg
Cabai 200 m2 60 Kg
Buncis 150 Kg
1. 2. Monokultur
Jenis tanaman Luas Lahan Dalam kg
Cabai 200 m2 80 kg
𝐻𝐴1 𝐻𝐵1
LER/NKL = +
𝐻𝐴2 𝐻𝐵2
60
150
LER/NKL = + = 0,75 +0,682 = 1,43
80 220
Nilai LER/NKL dari 1,43 menunjukkan bahwa 43 persen hasil keuntungan diperoleh
ketika ditanam sebagai tumpang sari dibandingkan bila sebagai ditanam monokultur.
Dengan kata lain tanaman harus ditanam pada luasan lahan 1,43 ha dengan system
monokultue untuk mendapatkan tingkat hasil yang sama seperti yang diperoleh dari luasan
lahan 1 ha dengan system tanaman tumpang sari.
FORM PENGAMATAN FAKTOR ABIOTIK
Lokasi Pengamatan:
Suhu Intensitas Kelembaban Tinggi Tempat Kemiringan Curah hujan
Komoditas budidaya
(°C) (Lux) (%) (mdpl) lahan (%) (mm)
Jeruk Tumpangsari Cabai 30.5 340 72 480 20 148
Jagung Monokultur 31.6 564 71 480 15 148
Padi Monokultur 31.6 650 57 480 10 148
FORM PENGAMATAN FAKTOR BIOTIK
Hasil pengamatan disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Analisa Vegetasi Gulma pada Lahan Tumpangsari tanaman jeruk dan tanaman cabai
1. Menghitung SDR
a. Kerapatan adalah jumlah dari tiap-tiap spesies dalam tiap unit area
j𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠i𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑀𝑢𝑡𝑙𝑎𝑘 (𝐾𝑀) =
j𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡
𝐾𝑀 𝑠𝑝𝑒𝑠i𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑁i𝑠𝑏i (𝐾𝑁) = × 100%
j𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑀 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠i𝑒𝑠
H’ > 3,322 :
• Keanekaragaman tinggi,
• stabilitas ekosistem mantap,
• produktivitas tinggi
FORM PENGAMATAN NKL / LER
Lahan Tumpangsari Jeruk dan Tanaman Cabai
Luas lahan petani 4.000 m2
Hasil tanaman jeruk pada lahan monokultur (ton) 8 ton
Hasil tanaman cabai pada lahan monokultur (ton) 2 ton
Hasil tanaman jeruk pada lahan multiple cropping (ton) 6ton
Hasil tanaman cabai pada lahan multiple cropping (ton) 1,5 ton
𝐻𝐴1 𝐻𝐵1
LER/NKL = +
𝐻𝐴2 𝐻𝐵2
6 1.5
= +
8 2
= 0.75 + 0.75
= 1.5
Nilai NKL/LER menunjukkan bahwa 50% hasil keuntungan diperoleh ketika ditanam secara tumpangsari
dibandingkan secara monokultur.
Lahan Jagung Monokultur
Luas lahan petani 3.000 m2
Hasil tanaman jagung pada lahan monokultur (ton) 2,5 ton
Hasil tanaman kedelai pada lahan monokultur (ton/Ha) 1 ton
Hasil tanaman jagung pada lahan multiple cropping (ton/ha) 1,5 ton
Hasil tanaman kedelai pada lahan multiple cropping (ton/ha) 0,6 ton
𝐻𝐴1 𝐻𝐵1
LER/NKL = +
𝐻𝐴2 𝐻𝐵2
2.5 1
= +
1.5 1.5
= 1.67 + 0.67
= 2.34
Nilai NKL/LER menunjukkan bahwa 34% hasil keuntungan diperoleh ketika ditanam secara tumpangsari
dibandingkan secara monokultur.
Lahan Padi Monokultur
Luas lahan petani 2.000 m2
Hasil tanaman padi pada lahan monokultur (ton) 1,5 ton
Hasil tanaman jagung pada lahan monokultur (ton/Ha) 1,7 ton
Hasil tanaman padi pada lahan tumpangsari (ton/ha) 0,7 ton
Hasil tanaman jagung pada lahan tumpangsari (ton/ha) 0,6 ton
𝐻𝐴1 𝐻𝐵1
LER/NKL = +
𝐻𝐴2 𝐻𝐵2
1.5 1.7
= +
0.7 0.6
= 2.14 + 2.83
= 4.97
Nilai NKL/LER menunjukkan bahwa 97% hasil keuntungan diperoleh ketika ditanam secara tumpangsari
dibandingkan secara monokultur.
MODUL VIRTUAL FIELDTRIP MANAJEMEN AGROEKOSISTEM 2021
ASPEK HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Studi habitat merupakan studi ekologi yang mengkaji keanekaragaman
spesies yang ada serta mengukur sebuah sistem pengendalian alami dalam
menekan populasi hama dan penyakit tanaman. Pengendalian alami tersebut dapat
berupa persaingan antara spesies, musuh alami, patogen serangga maupun agens
antagonis. Keanekaragaman spesies juga akan menentukan kestabilan dan
ketidakseimbangan suatu agroekosistem terhadap serangan OPT (Organisme
Pengganggu Tanaman). Ekosistem pertanian, atau yang disebut agroekosistem,
merupakan sistem ekologi yang terdapat di daerah pertanian yang memberikan
kesempatan luas untuk terjadinya interaksi jangka panjang di antara organisme
dengan lingkungan abiotiknya.
Tujuan Praktikum
Kondisi ekologis yang ‘tidak sehat’ atau ‘bahaya’ dapat dideteksi jika
sajian fiktorial menunjukkan bahwa ekosistem tersebut miskin serangga lain dan
musuh alami atau sangat labil, serta memerlukan penanganan khusus dalam upaya
pengembangan tindakan preemptif*). Ekosistem semacam ini banyak dijumpai di
pertanaman rumah kaca, serta pada lahan-lahan yang tinggi penggunaan racun
kimianya.
A. Penyebab Penyakit
Sakit adalah situasi di mana proses hidup suatu tanaman menyimpang dari
keadaan normal dan menimbulkan kerusakan, sehingga tanaman itu tidak dapat
tumbuh dan berkembang biak seperti biasa, bahkan dapat menyebabkan matinya
tanaman tersebut. Adapun penyakit dapat dikategorikan menjadi penyakit abiotik
dan penyakit biotik.
❖ Faktor Abiotik
Penyakit abiotik merupakan penyakit tanaman yang disebabkan oleh penyebab
penyakit noninfeksius atau tidak dapat ditularkan dari satu tanaman ke tanaman
lain, sehingga penyakit abiotik juga disebut penyakit noninfeksius. Adapun
penyebab penyakit abiotik dapat dikelompokan 10 kelompok, yakni :
1. Suhu (temperatur) tinggi dan sinar matahari. Beberapa tanaman tertentu
dapat mengalami kerusakan dengan adanya suhu yang terlalu tinggi
disertai dengan sinar matahari terik. Daun-daun muda tanaman terutama
tanaman semusim dapat mengalami kelayuan permanen dan akhirnya mati.
Warna daun berubah menjadi coklat kemerahan. Gejala kerusakan ini
disebut sun-scald. Kerusakan tanaman oleh suhu tinggi dan sinar matahari
yang terik ini dapat meningkat oleh keadaan kelembaban yang terlalu
rendah. Kerusakan ini biasanya dijumpai pada tanaman-tanaman yang
banyak mengandung air, seperti: tomat, kentang, tembakau, dan tanaman-
tanaman Cruciferae.
2. Suhu (temperatur) rendah. Suhu rendah terutama akan menimbulkan
kerusakan pada buah dan sayuran. Kerusakan yang terjadi disebabkan
karena terbentuknya kristal-kristal es intraseluler atau interseluler maupun
keduanya. Selain itu suhu yang rendah dapat menimbulkan lapisan frost
pada tanah sehingga menghalangi akar untuk menyerap air yang
diperlukan untuk mengimbangi transpirasi yang dilakukan oleh daun.
3. Oksigen yang tidak sesuai. Blackheart pada kentang merupakan salah satu
contoh penyakit yang umum dijumpai karena kurangnya oksigen selama
masa penyimpanan kentang di gudang-gudang penyimpanan. Gejala
penyakit ini berupa nekrotis pada umbi, mula-mula berwarna kemerahan
kemudian coklat kemerahan, coklat, coklat tua dan akhirnya jaringan umbi
berwarna hitam.
4. Kelembaban tanah yang tidak sesuai. Keadaan tanah dengan kelembaban
yang sangat rendah dapat menimbulkan kelayuan permanen pada tanaman
dan menyebabkan kematian tanaman tersebut. Sebaliknya kelembaban
tanah yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya pembusukan lain
yang berada di dalam tanah, sehingga juga akan menyebabkan kematian
tanaman.
5. Hujan es dan angin. Kerusakan tanaman yang disebabkan oleh hujan es
tergantung pada jenis tanaman, tingkat pertumbuhan tanaman, ukuran
hujan es, dan keadaan cuaca yang mengikuti hujan es tersebut. Kerusakan
dapat berupa lubang-lubang kecil sampai sobekan pada daun, sehingga
terjadi pengguguran daun dan hancurnya tanaman yang bersangkutan.
6. Keracunan mineral. Tanaman mempunyai tanggapan (respon) yang
berlainan terhadap keasaman tanah. Tanah yang bersifat asam dapat
meracuni beberapa jenis tanaman tertentu. Tanaman-tanaman yang
mengalami keracunan akan menunjukan gejala yang bervariasi dari
perubahan warna (klorosis), layu, bercak, penebalan daun, kerdil sampai
mati.
7. Defisiensi (kekurangan) mineral. Defisiensi mineral pada jenis tanaman
yang berlainan kemungkinan akan menunjukan gejala yang sama, akan
tetapi sulit untuk menentukan secara tepat mineral apa yang mengalami
defisiensi.
8. Senyawa kimia alamiah yang beracun. Ada jenis tumbuhan tertentu yang
menghasilkan senyawa kimia yang bersifat meracun terhadap tumbuhan
lain, misalnya: juglone (5-hidroksi-1,4-napthoquinone) yang dihasilkan
oleh pohon walnut (black-walnut). Senyawa tersebut bersifat meracun
terhadap tanaman tomat, kentang, alfalfa, apel, dan beberapa tanaman
lainnya.
9. Senyawa kimia pestisida. Kerusakan tanaman yang termasuk kategori ini
biasanya disebabkan oleh :
a. Pemakaian pestisida yang salah, misalnya : salah jenis pestisida, dosisnya
tidak tepat, dan aplikasinya tidak sesuai.
b. Keracunan tanaman karena sisa-sisa pestisida yang menguap (fumigan).
c. Residu pestisida yang fitotoksik.
10. Polutan udara yang meracun. Polutan udara ini biasanya berasal dari
industri atau pemanfaatan energi di suatu daerah.
❖ Penyakit Biotik
Penyakit biotik merupakan penyakit tanaman yang disebabkan oleh suatu
organisme infeksius bukan binatang, sehingga dapat ditularkan dari satu tanaman
ke tanaman lainnya. Organisme yang dapat menyebabkan suatu penyakit tanaman
disebut patogen tanaman. Patogen tanaman meliputi organisme-organisme sebagai
berikut :
a. Jamur/Cendawan/Fungi
Jamur adalah salah satu organisme penyebab penyakit yang menyerang semua
bagian tumbuhan, mulai dari akar, batang, ranting, daun, bunga, hingga buahnya.
Penyebaran jenis penyakit ini dapat disebabkan oleh air, serangga, atau sentuhan
tangan. Jamur merupakan mikroorganisme yang organel selnya bermembran
(eukariotik), tidak mempunyai klorofil, berkembangbiak secara seksual dan atau
aseksual dengan membentuk spora, tubuh vegetatif (somatik) berupa sel tunggal
atau berupa benang-benang halus (hifa, miselium) yang biasanya bercabang-
cabang, dinding selnya terdiri dari sellulose dan atau khitin bersama-sama dengan
molekul-molekul organik kompleks lainnya. Jamur dibedakan berdasarkan ada
tidaknya sekat pada hifa dan cara perkembangbiakannya, sehingga jamur
dibedakan menjadi empat kelompok kelas, yaitu : Phycomycetes, Ascomycetes,
Basidiomycetes, dan Deuteromycetes.
Penyakit ini menyebabkan bagian tumbuhan yang terserang, misalnya buah,
akan menjadi busuk. Jika menyerang bagian ranting dan permukaan daun, akan
menyebabkan bercak – bercak kecokelatan. Dari bercak – bercak tersebut akan
keluar jamur berwarna putih atau oranye yang dapat meluas ke seluruh permukaan
ranting atau daun sehingga pada akhirnya kering dan rontok.
b. Bakteri.
Bakteri dapat membusukkan daun, batang, dan akar tumbuhan. Bagian
tumbuh tumbuhan yang diserang bakteri akan mengeluarkan lendir keruh, baunya
sangat menusuk, dan lengket jika disentuh. Setelah membusuk, lama – kelamaan
tumbuhan akan mati. Tumbuhan yang diserang bakteri dapat diatasi dengan
menggunakan bakterisida.
f. Nematoda.
Nematoda berbentuk cacing tetapi dalam taksonomi bukan merupakan
cacing (Vermes), berukuran sangat kecil, panjangnya berkisar antara 300-1.000
μm, meskipun beberapa jenis mempunyai panjang sampai 4 mm. Secara umum
nematoda berbentuk seperti belut, tubuh tidak bersegmen, simetris bilateral,
transparan, tidak mempunyai rongga tubuh (pseudocelumate), tubuh dilapisi
lapisan kutikula yang lembut sehingga memudahkan bergerak, dan tidak berkaki
maupun anggota tubuh lain.
A. Penilaian Penyakit
Metode penilaian penyakit di lapangan harus memenuhi beberapa syarat
utama yakni :
1. Bersifat komprehensif, artinya dapat digunakan untuk pengamatan
bermacam-macam penyakit, bahkan bila mungkin untuk pengamatan segala
macam penyakit.
2. Memenuhi ketepatan pada skala ata tingkat praktek, penilaian penyakit
dapat dilakukan dengan penelitian atau ekonomi. Bila digunakan untuk keperluan
penelitian, penilaian penyakit memerlukan ketepatan yang tinggi. Sebaliknya bila
untuk menentukan dampak ekonomi suatu penyakit tidak perlu terlalu tinggi.
Dengan demikian untuk yang terakhir ini cukup diciptakan suatu metode penilaian
penyakit yang lebih sederhana.
3. Bersifat objektif. Karena sifatnya cenderung subjektif, penilaian penyakit
sangat dipengaruhi oleh pengamat, baik ditinjau dari tingkat pengetahuannya
tentang penyakit yang bersangkutan maupun dari keadaan fisik dan mentalnya.
B. Pengambilan contoh
Untuk mengamati tingkat kerusakan tanaman karena penyakit tidak
mungkin dilakukan pada semua tanaman atau bagian tanaman yang ada di
wilayah pengamatan atau petak pengamatan. Oleh karena itu, kegiatan
pengamatan harus didahului dengan pekerjaan pengambilan contoh atau sampel
yang akan menentukan kualitas data yang diperoleh dari pengamatan terhadap
contoh tersebut.
1. Perangkap YST
Titik Peran
Pengambilan Arthropoda Musuh Serangga
Hama
Sampel Alami Lain
Plot Sawah Diptera (Lalat √
Penggorok Daun)
Diptera (Lalat √
Penggorok Daun)
Diptera (Asilidae) √
Aranae (Laba-laba) √
Hymenoptera (Parasit √
Telur Penggerek)
Diptera (Lalat) √
Hemiptera (Kepik) √
Hymenoptera (Parasit √
Penggerek Telur)
Plot Jagung Thysanoptera (Thrips √
sp)
Diptera (Lalat √
Penggorok Daun)
Diptera (Lalat √
Penggorok Daun)
Diptera (Lalat √
Penggorok Daun)
Plot Jeruk Hymenoptera (Parasit √
Penggerek Telur)
Diptera (Lalat √
Penggorok Daun)
Diptera (Lalat √
Penggorok Daun)
Hymenoptera (Parasit √
Penggerek Telur)
2. Perangkap Pitfall
Titik Peran
Pengambilan Arthropoda Musuh Serangga
Hama
Sampel Alami Lain
Plot Sawah Hymenoptera (Semut) √
Hemiptera √
(Nilaparvata lugens)
Plot Jagung Hymenoptera (Semut) √
Diptera (Lalat √
Penggorok)
Plot Jeruk Thysanoptera √
(Thrips)
3. Perangkap Sweepnet
Titik Peran
Pengambilan Arthropoda Musuh Serangga
Hama
Sampel Alami Lain
Plot Sawah Lepidoptera (Agrotis √
ipsilon)
Diptera √
Orthoptera √
(Atractomorpha
crenulata)
Orthoptera (Jangkrik) √
Orthoptera √
Plot jagung Hemiptera (Leptcorisa √
oratorius)
Lepidoptera √
(Scirpophaga innotata)
Plot Kebun
Jeruk
HASIL PENGAMATAN PENYAKIT DALAM FIELDTRIP
Metode
Titik
Perhitungan
Pengambilan Nama Penyakit Patogen
Intensitas
Sampel Penyebab
Penyakit
Penyakit
Plot Sawah Bacterial leaf blight Xanthomonas Membandingkan
campestris pv. oryzae sampel dengan
awetan basah di
labolatorium