Anda di halaman 1dari 68

Nama : Tyary Airivia

NIM : 195040207111035
Kelas : F
MODUL FIELDTRIP

MANAJEMEN AGROEKOSISTEM 2021

Disusun Oleh

ASISTEN PRAKTIKUM MANAJEMEN

AGROEKOSISTEM 2021

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
MODUL VIRTUAL FIELDTRIP MANAJEMEN AGROEKOSISTEM
2021 ASPEK TANAH

I. TUJUAN
• Mempelajari indikator tanah sehat baik secara biologi, fisik dan kimia.
• Menganalisis macam-macam agroekosistem.
• Melakukan pengukuran indikator tanah sehat dan kesuburan tanah secara cepat dan
akurat di lapangan dan di laboratorium.
• Mampu melakukan perencanaan manajemen dalam suatu agroekosistem.
II. DASAR TEORI
Sistem pertanian intensif telah mendorong terjadinya degradasi sifat fisika, kimia,
maupun biologi tanah dibandingkan dengan hutan. Sistem pertanian intensif menyebabkan
terbukanya permukaan tanah pada saat yang lama. Pada musim kemarau terik sinar matahari
mengenai permukaan tanah secara langsung, akibatnya terjadi percepatan proses-proses
reaksi kimia dan biologi, salah satunya adalah penguraian bahan organik tanah (dekomposisi).
Sebaliknya, air hujan yang jatuh selama musim penghujan tidak ada yang menghalangi
sehingga memukul tanah secara langsung, berakibat pada pecahnya agregat tanah,
meningkatnya aliran air di permukaan dan sekaligus mengangkut partikel tanah dan bahan-
bahan lain termasuk bahan organik (Widianto et al., 2004). Untuk tujuan perbaikan
pengelolaan tanah, pengenalan indikator-indikator kesehatan tanah sangat dibutuhkan untuk
penentuan strategi pengelolaan lahan. Indikator-indikator kesehatan tanah dapat dikenali baik
secara kualitatif (cepat, murah tetapi kurang akurat) maupun kuantitatif (melalui pengukuran)
(Lihat Tabel 1). Menurut FAO guide line (2000), ada 3 kriteria dan indikator kesehatan tanah di
tingkat plot yaitu yang berhubungan dengan tingkat kegemburan tanah, ketersediaan hara,
dan keutuhan matriks tanah.
Tabel 1. Kriteria dan indikator kualitatif dan kuantitatif
Kriteria Indikator kualitatif Indikator kuantitatif
1 Kegemburan 1. Kepadatan tanah Bobot Isi Tanah, Berat Jenis Tanah
tanah dan
porositas tanah
2. Sebaran akar Kedalaman akar efektif
3. Ketebalan seresah Berat masa seresah
4. Produksi Kascing Populasi dan biomasa cacing serta
produksi cast
2 Keseimbangan 5. Potensi Kesuburan dan C Organik, pH Tanah, eH, EC
hara kesehatan tanah
6. Gejala defisiensi/keracunan Konsentrasi hara secara visual

1
3 Keutuhan matrix 7. Erosi Kehilangan tanah, penutupan
tanah permukaan
8. Longsor tebing Potensi Kehilangan tanah,
manajemen kemiringan dan
tata air, penutupan lahan
Bahan organik tanah berperan penting dalam menyimpan dan melepaskan unsur hara
bagi tanaman. Handayanto (1996) menyatakan bahwa dekomposisi bahan organik mempunyai
pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kesuburan tanah. Pengaruh langsung melalui
mineralisasi yang melepaskan unsur hara, sedangkan pengaruh tidak langsung sebagai buffer
unsur hara sehingga tetap menjaga ketersediaan unsur hara dalam tanah. Pada lahan-lahan
pertanian intensif, biasanya tingkat permukaan tanah lebih terbuka, dengan penutupan lapisan
seresah yang tipis, permukaan tanah terbuka. Dengan demikian tanah menjadi lebih rentan
terhadap erosi, tanah menjadi padat, berwarna pucat karena kandungan bahan organik tanah
menurun dan diikuti penurunan populasi biota. Selain pemadatan tanah dan kandungan bahan
organik tanah, para petani seringkali menggunakan indikator cacing tanah sebagai penciri
tanah sehat. Petani berasumsi bahwa lahan yang banyak cacing tanahnya akan gembur
sehingga mudah diolah dan tanaman tumbuh baik. Pendapat tersebut diperkuat oleh
Jongmans et al. (2003) bahwa kualitas pori makro dan mikro tanah, tingkat kepadatan tanah,
dekalsifikasi dan dinamika bahan organik ditentukan oleh aktivitas cacing tanah. Cara yang
paling cepat untuk mengetahui ada/tidaknya cacing tanah di lahan adalah melalui pengamatan
kascing. Kascing adalah kotoran yang ditinggalkan oleh cacing tanah, umumnya ditemukan di
permukaan tanah. Semakin banyak kascing ditemukan menunjukkan bahwa di lahan tersebut
banyak terdapat cacing tanah. Pada praktikum ini, kegiatan mahasiswa akan difokuskan pada
pengenalan dan pengukuran indikator kesehatan tanah di lapangan (Tabel 2).

Tabel 2. Kegiatan pengukuran di lapangan beberapa indikator kesehatan tanah


No Kriteria Indikator Parameter

2
Biologi:
- Manajemen Kandungan Bahan Ketebalan dan berat serasah,
Bahan Organik Organik biomassa Understorey, BOT,
Nekromassa

- Organisme Makroorganisme Jumlah Cacing dan non cacing,


Tanah kascing, bintil akar, Ada/
Tidaknya bintil akar, Nematoda

LCC, Jenis tanaman tutupan


lahan+Tajuk+kanopi

- Biofisik Manajemen
pengelolaan tutupan
lahan

Fisik
- Kegemburan tanah Kepadatan Tanah Berat Isi Tanah
Berat Jenis Tanah
Porositas Total Ketahanan
Penetrasi Akar
Keutuhan matriks tanah (ada
tidaknya degradasi lahan dan
intensitasnya)

Kimia
- Keseimbangan hara Potensi Kesuburan C Organik
dan kesehatan tanah pH (Derajat kemasaman tanah)
eH (potensial redoks)
EC (Electrical Conductivity)

- Ketersediaan hara Kenampakan fisik Frekuensi temuan tanaman


tanaman, Gejala yang menunjukkan gejala
defisiensi/keracunan defisiensi

III. ALAT DAN BAHAN


Tabel 3. Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam kegiatan ini meliputi :
Alat Bahan

3
˗ Meteran panjang 50 m ˗ Plastik untuk tempat seresah
˗ Frame seresah ˗ Methilen blue untuk pengukuran
˗ Sekop porositas tanah
˗ Bor tanah ˗ Bahan kimia untuk analisa C-Organik
˗ Ring sampel tanah
˗ Cetok
˗ Tali Rafia
˗ Cangkul
˗ Pisau lapang
˗ Gunting dahan
˗ Timbangan
˗ Alat tulis seperti spidol permanen
˗ Hand Penetrometer

Gambar 1. Alat dan bahan yang digunakan

IV. PELAKSANAAN
A. PENGAMATAN ASPEK FISIK TANAH
1. Prosedur Analisis Bobot Isi Tanah
Berat isi adalah perbandingan antara massa tanah dengan volume partikel ditambah
dengan ruang pori diantaranya. Massa tanah ditentukan setelah kering oven 1050C dan
volumenya merupakan volume dari contoh tanah yang diambil di lapangan, sehingga
dinyatakan dalam g.cm-3. Berat isi merupakan suatu sifat tanah yang menggambarkan taraf
kemampatan tanah. Tanah dengan kemampatan tinggi dapat mempersulit perkembangan
perakaran tanaman, pori makro terbatas dan penetrasi air terhambat (Darmawijaya, 1997).

4
Klasifikasi Berat Isi

Berat Isi (g.cm-3) Kelas

< 0,9 Rendah / ringan


0,9 – 1,2 Sedang / sedang
1,2 – 1,4 Tinggi / berat / mampat
> 1,4 Sangat tinggi / sangat berat/ sangat mampat
Sumber: Lab. Fisika jur. Tanah FP UB, 2006

Berat Isi tanah (BI) diamati menggunakan sampel tanah utuh. Pengambilan sampel
tanah utuh bertujuan untuk mengambil tanah pada kondisi yang terjada dan sesuai dengan
kondisi di lapangan. Sampel tanah utuh untuk penetapan bobot isi (bulk density), susunan pori
tanah, pF, dan permeabilitas tanah. Metode pengambilan sampel tanah utuh bisa berupa
sampel tanah agregat utuh atau menggunakan ring sampel atau blok BI.

a. Pengambilan sampel tanah utuh menggunakan ring sampel (Plot sawah padi dan plot
tumpangsari jeruk dan cabai)

- Menyiapkan alat dan bahan.

- Menekan ring sampel dengan balok penekan hingga tanah memenuhi ring sampel.

- Meletakkan ring master diatas ring sampel.

- Menekan ring dengan balok penekan dan palu hingga tanah terisi hingga setengah ring
master.

- Mengambil ring dengan menggunakan pisau lapang.

- Memisahkan ring sampel dengan ring master.

- Memasukkan ring sampel beserta tanah ke dalam plastik, mengikat plastik dengan
karet dan memberi label.

b. Pengambilan sampel tanah utuh menggunakan blok BI (Plot Tegalan Jagung)

Mengambil contoh tanah utuh dalam blok (kotak besi) dengan ukuran panjang 20 cm,
lebar 20 cm dan tinggi 10 cm (lihat Gambar 2). Contoh tanah dalam blok ditimbang berat
basahnya untuk kemudian diambil secukupnya sebagai sub sampel untuk ditetapkan berat

5
kering oven dan kadar air massanya (g g-1), selanjutnya diukur berdasarkan volume blok atau
kotak besi (Volume tanah, Vt).

Gambar 2. Cara pengambilan contoh tanah menggunakan blok besi

Cara Kerja Pengukuran Berat Isi Tanah


Alat
- Cawan : Untuk tempat meletakkan tanah ke dalam oven
- Timbangan : Untuk menimbang tanah
- Pisau : Untuk merapikan sampel tanah
- Oven : Untuk mengoven sampel tanah
- Jangka sorong : Untuk mengukur tinggi dan diameter ring
- Ring : Sebagai tempat sampel tanah
- Buku dan alat tulis : Untuk menyatat hasil pengamatan
Bahan
- Sampel Tanah Utuh : Sebagai bahan percobaan
Langkah Kerja

6
7
Penetapan berat isi tanah untuk lebih jelas dapat dilihat pada persamaan berikut :

(BB/BB sub)* BKO sub


BI =
Vt
Keterangan :
BB sub = Berat basah tanah sub sampel (g)
BKO sub = Berat Kering oven tanah sub sampel (g)
BI = Berat Isi tanah (g cm-3)
BB = Berat basah tanah dalam blok atau kotak besi (g)
Vt = Volume tanah dalam kotak besi

Tabel 4. Hasil Pengamatan Berat Isi Menggunakan Ring Sampel


Plot Silinder Massa Massa Massa Kadar Air Sub Sampel
Pengamatan Total Ring Total (W)
Diameter Tinggi (p) Kotor (Mt Tanah Basah Tanah Kaleng
(d) + Mr) (Mr) (Mt) +Kaleng oven (K)
(Tb+K) + Kaleng
(To+K)
cm cm gram gram gram gram gram gram
Sawah (Padi) 5.275 5,24 258,49 33,01 225,48 44,75 4,38
Tumpangsari
(Jeruk dan 5,14 5,05 245,42 33,01 212,41 44,9 4,38
Cabai)

Tabel 5. Hasil Pengamatan Berat Isi Menggunakan Blok BI


Plot Blok Massa Massa Massa Kadar Air Sub Sampel
Pengamatan Total Blok Total (W)
Diameter Tinggi (p) Kotor BI Tanah Tanah Kaleng
(d) (Mt + Mr (Mr) (Mt) Basah + oven (K)
Kaleng + Kaleng
(Tb+K) (To+K)
cm cm gram gram gram gram gram gram
Tegalan 8200 38,74 33,33 4,38
(Jagung)

Volume tanah (Vt)= 1/4 x π x d2 x p


Kadar air sub sampel (W) = Ma/Mp

Massa padatan (Mp) = Berat total / (1 + ka. Sub)


Berat Isi (BI) = Mp / Vt

Keterangan:
8
d = Diameter ring/blok
p = Tinggi ring/blok
Tb = Massa tanah basah sebelum dioven
To = Massa tanah oven
K = Massa Kaleng
W = Kadar air massa
Ma = Massa air
Mp1 = Massa padatan sub sample
Mp2 = Massa padatan dari berat total
π = 3,14

Tabel 6. Perhitungan Berat Isi


Plot Pengamatan Kadar Air Sub Vol. Tanah (Vt) Massa Padatan (Mp) Berat Isi
(W) (bρ)

gram cm3 g g cm-3


Sawah (Padi) 114.4579259

Tegalan (Jagung) 104.7338993


Tumpangsari (Jeruk dan 0.186873921
Cabai)

2. Pengukuran Berat Jenis Tanah


Berat jenis adalah berat tanah kering per satuan volume partikel- partikel padat (tidak
termasuk volume pori-pori tanah). Berat jenis dari suatu tanah menunjukkan kerapatan dari
partikel secara keseluruhan. Hal ini ditunjukkan sebagai perbandingan massa total dari
partikel padatan dengan total volume tidak termasuk ruang pori diantara partikel. Berat jenis
ini penting dalam penentuan laju sedimentasi, pergerakan partikel oleh air dan angin, serta
perhitungan ruang pori dalam tanah apabila bobot isinya telah diketahui. Berat jenis

partikel tanah mineral berkisar antara 2,60 - 2,70 g/cm3, sedangkan berat jenis partikel
3
bahan organik berkisar 1,30-1,50 /cm .
Klasifikasi Berat Jenis
BJ BJ
Tanah mineral pada umumnya Tanah organik
2,5 – 2,7 < 2,00
Sumber: Pengantar Fisika Tanah, Lab. Fisika Jurusan Tanah FP.UB.2007

Alat:
Piknometer : untuk tempat tanah yang telah

9
dihaluskan Mortal : untuk menghaluskan tanah
Pistil : untuk menghaluskan
tanah Timbangan : untuk menimbang
tanah Oven : sebagai pengering
tanah
Corong : sebagai alat bantu untuk menuangkan air ke dalam
piknometer Botol semprot : untuk mengisi air
Baki : sebagai tempat sampel tanah

Bahan:
Tanah : Sebagai bahan
percobaan Air bebas udara : sebagai pengganti
hotplate

Langkah kerja:

10
Tabel 7. Pengukuran Berat Jenis
Plot Pengamatan
Massa (g) Massa Volume BJ
Padatan Padatan
L L + To L + To + A Mp Vp pρ

gram gram gram gram cm3 g.cm-3


Sawah (Padi)
Tegalan
(Jagung)
Tumpangsari
(Jeruk dan Cabai)
Keterangan:
L = massa labu
To = massa tanah oven
A = massa air
Mp = massa padatan
Vp = volume padatan

Mp = ((L + To) – L) g
= To
3
100 cm = volume labu yang digunakan
*BJ air = 1 g/cm3, jadi 100 g air volumenya adalah 100 cm3
Vp = 100 – ((L + To + A) – (L + To)) cm3
BJ = Mp / Vp

3. Ketahanan Penetrasi Akar (Metode Hand Penetrometer)

Gambar 3. Komponen Hand Penetrometer


Komponen Hand Penetrometer:
- Batang skala
11
- Cicin skala
- Tangkai jarum
- Mata Jarum
- Per
Cara Merangkai:
- Buka tutup batang skala ,masukan per dan tutup kembali.
- Hubungkan tangkai dan mata jarum pada batang skala dengan cara di ulir.
- Setiap awal pengukuran cicin pada posisi 0.
Cara Kerja :
- Tepatkan telapak tangan pada penutup skala (Gambar 4).

Gambar 4. Tepatkan telapak tangan pada penutup skala


- Saat pengukuran posisi operator berdiri setengah jongkok
- Catatan: Operator diharapkan orang yang sama.
- Tekan perlahan-lahan sampai jarum masuk pada batas tertentu.
- Amati pergeseran cicin skala dan catat angka yang di tunjukan.

Rumus Perhitungan Ketahanan Penetrasi:


Ketahanan Penetrasi = Total gaya (cm)x grafitasi bumi x Kompresi per(N.cm-1) / Luas
ujung jarum (cm2)

Spesifikasi Hand Penetrometer


Per Kompresi per N cm-1 Jarum Luas (Δ) cm 2
1 50 1 0.25
2 100 2 0.50
3 150

Klas

Ketahanan penetrasi MPa Klas

12
>2.5 Akar tanaman mulai terganggu

Tabel 8. Hasil Pengukuran Penetrasi Akar


Kompresi per N Luas Ujung Penetrasi Akar
Plot Pengamatan Total Gaya (cm) -1
cm Jarum (cm2) (cm)
Sawah (Padi) 3
Tegalan (Jagung) 2,1
Tumpangsari 4,4 dan 4,8
(Jeruk dan Cabai)

4. Pengamatan Tekstur Tanah


Tekstur tanah menunjukkkan kasar dan halusnya tanah. Tekstur tanah merupakan
perbandingan antara butir–butir pasir, debu dan liat. Tekstur tanah dikelompokkkan kedalam
12 kelas tekstur dibedakan berdasarkan presentase kandungan pasir, debu dan liat. Tekstur
tanah menunjukkan kasar halusnya tanah dari fraksi tanah halus. Berdasarkan atas
perbandingan banyaknya butir- butir pasir, debu dan liat maka tanah dikelompokkan ke dalam
beberapa macam kelas tekstur. Kelas kasar terdiri dari pasir dan pasir berlempung. Kelas agak
kasar terdiri dari lempung berpasir dan lempung berpasir halus. Tanah-tanah yang bertekstur
pasir, karena butiran - butirannya berukuran lebih besar, maka setiap satuan berat (misalnya
setiap gram) mempunyai luas permukaan yang lebih kecil sehingga sulit menyerap (menahan)
air dan unsur hara. Tanah-tanah bertekstur liat, karena lebih halus maka setiap satuan berat
mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan
menyediakan unsur hara tinggi. Tanah bertekstur halus lebih aktif dalam reaksi kimia dari pada
tanah bertekstur kasar (Hardjowigeno, 2003).
Metode pengamatan tekstur tanah terdiri dari metode kualitatif dan kuantitatif.
Namun metode yang digunakan dalam fieldtrip kali ini yaitu metode kualitatif dengan
menggunakan metode feeling. Metode Feeling merupakan metode penentuan tekstur tanah
dengan perasaan atau alat indra dalam menggolongkan tanah menjadi pasir, debu, atau liat.
Sehingga kita dapat menentukan kelas tekstur.

Kelas tesktur

13
Gambar 5. Segitiga Tekstur
Pembagian tekstur berdasarkan kelas tekstur ada 12. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Hanafiah (2005).
1. Pasir (sandy) => Pasir mempunyai ukuran >2mm dan bersifat kasar dan tidak lekat.
2. Pasir berlempung (loam sandy) => Tanah pasir berlempung ini memiliki tekstur yang
kasar. Akan membentuk bola yang mudah hancur karena daya ikat pada partikel-
partikel pasir berlempung tidak kuat. Dan juga akan sedikit sekali lengket karena
memang kandungan lempungnya sedikit.
3. Lempung berpasir (Sandy loam) => Rasa kasar pada tanah lempung berpasir akan
terasa agak jelas dan juga akan membentuk bola yang agak keras tetapi akan mudah
hancur.
4. Lempung (Loam) => Lempung tidak terasa kasar dan juga tidak terasa licin. Dapat
membentuk bola yang agak teguh dan dapat sedikit digulung dengan permukaan yang
mengkilat. Selain itu, lempung juga dapat melekat.
5. Lempung liat berpasir (Sandy-clay-loam) => Lempung liat berpasir terasa agak jelas.
Dapat membentuk bola agak teguh bila kering dan juga dapat membentuk gulungan
jika dipilin dan gulungan akan mudah hancur serta dapat melekat.
6. Lempung liat berdebu (sandy-silt-loam) => Lempung liat berdebu memiliki rasa licin
yang jelas. Dapat membentuk bola teguh dan gulungan yang mengkilat serta dapat
melekat.
7. Lempung berliat (clay loam) => Lempung berliat akan terasa agak kasar. Dapat
membentuk bola agak teguh bila kering dan membentuk gumpalan bila dipilin tetapi
pilinan mudah hancur. Daya lekatnya sedang

14
8. Lempung berdebu (Silty Loam) => Lempung berdebu akan terasa agak licin. Dapat
membentuk bola yang agak teguh dan dapat melekat
9. Debu (Silt) => Debu akan terasa licin sekali. Dapt membentuk bola yang teguh dan
dapat sedikit digulung dengan permukaan yang mengkilap serta terasa agak lekat.
10. Liat berpasir (Sandy-clay) => Liat berpasir akan terasa licin tetapi agak kasar. Dapat
membentuk bola dalam keadaan kering. Akan sukar untuk dipijit tetapi mudah
digulung serta memilliki daya lekat yang tinggi (melekat sekali).
11. Liat berdebu (Silty-clay) => Liat berdebu akan terasa agak licin. Dapat membentuk bola
dalam keadaan kering. Akan sukar dipijit tetapi mudah digulung serta memiliki daya
lekat yang tinggi (melekat sekali).
12. Liat (clay) => Liat akan terasa berat, dapat membentuk bola yang baik. Serta memiliki
daya lekat yang tinggi (melekat sekali).

Tabel 9. Hasil Pengukuran Tekstur Tanah


Plot Pengamatan Bor 1 Bor 2 Bor 3
Sawah (Padi) Lempung liat berdebu Liat berdebu
Tegalan (Jagung) Lempung liat berdebu Lempung liat berdebu Lempung berliat
Tumpangsari (Jeruk dan Liat Berdebu Liat Berdebu Lempung liat Berdebu
Cabai)

15
B. PENGAMATAN ASPEK BIOLOGI TANAH
1. Penentuan Kandungan Bahan Organik Tanah
Alat dan Bahan
a. Erlenmeyer 500 ml
b. Gelas ukur 20 ml
c. Buret untuk FeSO4 1N
d. Pengaduk magnetis
Uraian Prosedur
a. 0.5 g contoh tanah halus (0.05 g untuk tanah organik; 2 g untuk tanah-tanah yang
mengandung bahan organik lebih kecil dari 1%) yang melalui ayakan 0.5 mm
dimasukkan dalam labu erlenmeyer 500 ml.

b. 10 ml tepat larutan K2Cr2O7 1 N ditambahkan ke dalam erlenmeyer dengan sebuah pipet

c. 20 ml H2SO4 pk kemudian ditambahkan, labu erlenmeyer digoyang-goyangkan untuk


membuat tanah dapat bereaksi sepenuhnya. Hati-hati, jaga jangan sampai tanah
menempel pada dinding sebelah atas labu sehingga tidak ikut bereaksi. Biarkan
campuran itu berdiam selama 20 – 30 menit.

d. Sebuah blanko (tanpa tanah) dikerjakan dengan cara yang sama

e. Kemudian larutan diencerkan dengan air sebanyak 200 ml dan sesudah itu ditambahkan
10 ml H3PO4 85% dan 30 tetes penunjuk difenilamina
f. Larutan sekarang dapat dititrasi dengan larutan fero melalui buret. Perubahan warna
dari warna dari hijau gelap pada permulaan, berubah menjadi biru kotor pada waktu
titrasi berlangsung, dan pada titik akhir warna berubah menjadi hijau terang
g. Apabila lebih dari 8 dan 10 ml K2Cr2O7 terpakai, ulangi dengan mempergunakan contoh
yang lebih sedikit
Pereaksi
a. H3PO4 85%
b. H2SO4 pekat (diatas 96%)
c. K2Cr2O7 1 N
49.04 g tepat K2Cr2O7 dilarutkan ke dalam H2O dan diencerkan hingga 1 liter.
d. Penunjuk difenilamina
± 0.5 g difenilamina p.a dilarutkan dalam 20 ml H2O dan 100 ml H2SO4 pekat.

16
e.1. Larutan fero 0.5 N
196.1 g Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O dilarutkan dalam 800 ml H2O yang mengandung 20 ml
H2SO4 pk dan diencerkan hingga 1 liter. Dapat digunakan sebagai ganti reagent, 5a
suatu reagent yang digunakan oleh Walkey sebagai berikut.
e.2. FeSO4 7 H2O 1N
278.0 g FeSO4 7 H2O dilarutkan ke dalam H2O yang mengandung 15 ml H2SO4 pekat
kemudian diencerkan hingga 1 liter.
Perhitungan :
100
% Bahan organik =  % C − organik
58
Tabel 10. Pengukuran Kandungan Bahan Organik Tanah
Lahan
ml blanko ml sampel %KA %C-Organik
Pengamatan
Sawah (Padi) 7,3
Tegalan (Jagung) 7,9
Tumpangsari (Jeruk 6,9
dan Cabai)

2. Mengukur biomasa tumbuhan bawah tanah


Pengambilan contoh biomasa tumbuhan bawah harus dilakukan dengan metode
'destructive' (merusak bagian tanaman). Tumbuhan bawah yang diambil sebagai contoh
adalah semua tumbuhan hidup yang tumbuh dibawah tegakan pohon berupa herba dan
rumput-rumputan.
Prosedur kerja
a. Tempatkan kuadran aluminium di dalam SUB PLOT (20 m x 20 m) secara acak seperti yang
ditunjukkan pada gambar 6.
20 m

20 m

Gambar 6. Penempatan Kuadran (Titik Contoh) Dalam Sub Plot.

17
b. Potong semua tumbuhan bawah (herba dan rumbut-rumputan) yang terdapat di dalam
kuadran, pisahkan antara daun dan batang.
c. Masukkan ke dalam kantong kertas, beri label sesuai dengan kode TITIK CONTOHnya.
d. Untuk memudahkan penanganan, ikat semua kantong kertas berisi tumbuhan bawah
yang diambil dari satu plot.
e. Masukkan dalam karung besar untuk mempermudah pengangkutan ke laboratorium.
f. Timbang berat basah daun atau batang, catat beratnya dalam lembar pengamatan 6.
g. Ambil sub-contoh tanaman dari masing-masing biomasa daun dan batang sekitar 100-
300g. Bila biomasa contoh yang didapatkan hanya sedikit (< 100 g), maka timbang
semuanya dan jadikan sebagai sub-contoh.
h. Keringkan sub-contoh biomasa tanaman yang telah diambil dalam oven pada suhu 80C
selama 48 jam.
i. Timbang berat keringnya dan catat hasil pengukurannya
Tabel 11. Pengukuran Biomassa Tumbuhan Bawah
Berat Basah (g) Sub-contoh Sub-contoh Total berat
Berat Basah (g) Berat Kering (g) kering
Lahan Pengamatan
Daun Batang Daun Batang Daun Batang g/0.25 g/m2
m2
Sawah (Padi)
Tegalan (Jagung)
Tumpangsari (Jeruk
dan Cabai)

Pengolahan data
Hitung total berat kering tumbuhan bawah per kuadran dengan rumus sebagai berikut:

BK subcontoh (g)
Total BK (g) = X Total BB (g)
BB subcontoh (g)

Dimana, BK = berat kering dan BB = berat basah

3. Menilai Ketebalan Seresah


Amati dan klasifikasikan ketebalan seresah permukaan yang ada dengan jalan ambil 3
titik pengukuran dalam sub-plot (200 m2), tekan permukaan seresah dengan tangan, dan
tancapkan penggaris dan ukurlah ketebalan lapisan seresah yang ada (cm).
Kegiatan praktikum diawali dengan membuat petak atau plot dan membatasinya (bisa
menggunakan raffia 20 m x 20 m atau menggunakan batas alami petak lahan (prinsipnya
diketahui luasnya). Petak tersebut dipakai untuk semua pengukuran komponen indikator

18
tanah seperti berat basah dan berat kering seresah, pengamatan casting, dan pengambilan
contoh tanah untuk analisa C-Organik tanah. Sedangkan pengambilan contoh tanah untuk
pengukuran bobot isi dan porositas tanah dapat dilakukan di luar petak contoh.
Tabel 12. Hasil Pengukuran Ketebalan Seresah
Lahan Pengamatan Ketebalan Seresah (cm)
Sawah (Padi)
Tegalan (Jagung)
Tumpangsari (Jeruk dan Cabai)

4. Pengukuran Berat Massa Seresah


Nekromasa tidak berkayu adalah seresah daun yang masih utuh (seresah kasar), dan
bahan organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian dan berukuran > 2 mm (seresah
halus). Pengambilan contoh 'nekromasa' (bagian tanaman mati) dilakukan pada permukaan
tanah yang masuk dalam SUB PLOT (5 m x 40 m). Pengambilan contoh necromass tidak
berkayu dilakukan pada frame berukuran 0.5 m x 0.5 m seperti Gambar di bawah. Contoh
nercomass tidak berkayu yang sudah diambil kemudian dimasukkan ke dalam tas kresek dan
ditimbang berat segarnya (BB). Contoh necromass tidak berkayu yang sudah ditimbang dibawa
ke laboratorium, kemudian di oven pada suhu 1050C selama 24 jam kemudian ditimbang berat
keringnya (BK).
Tabel 13. Hasil Pengukuran Berat Massa Seresah
Berat Basah Berat Basah
Lahan
Understorey (gr) Seresah (gr)
Pengamatan
Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4
Sawah (Padi) 34,6 114,4 15,3 39,6
Tegalan (Jagung)
Tumpangsari (Jeruk 45,96 39,75 9 7 7,81 18,95 6,9 12,3
dan Cabai)

5. Berat Massa Kascing


1. Amati kondisi plot dan cari apakah dijumpai kascing,
2. Ambil kascing yang dijumpai di dalam plot,
3. Catat luasan frame untuk pengambilan kascing,
4. Timbang berat kascing (sebagai berat basah),
5. Masukkan kascing ke dalam kantong plastic,
6. Oven kascing dalam suhu 1050C selama 24 jam,
7. Timbang berat kering kascing (sebagai berat kering),

19
8. Catat berat keringnya

40 m

5m

0.5mx0.5m sub-pot

Gambar 7. Contoh plot pengambilan sampel seresah dan pengamatan kascing.

Tabel 14. Hasil Pengukuran Berat Massa Kascing


Berat Basah Kascing (gr) Berat Kering Kascing (gr)
Lahan Pengamatan
Titik 1 Titik 2 Titik 1 Titik 2
Sawah (Padi)
Tegalan (Jagung)
Tumpangsari (Jeruk dan Cabai)

6. Pengukuran Bintil Akar


Alat-alat yang diperlukan dalam pengamatan bintil akar adalah silet, mistar, alat tulis,
dan alat dokumentasi. Bahan yang diperlukan adalah akar tanaman legum yang berumur 6
minggu.
Pemanenan kacang tanah
1. Membuat lingkaran dengan jari-jari 15 cm mengelilingi batang tanaman legum
2. Mencabut tanaman legum secara perlahan
3. Membersihkan tanaman dari tanah yang menempel supaya memudahkan perhitungan
4. Potong dan pisahkan tanaman dengan batang akar
5. Akar tanaman legum kemudian dicuci bersih dengan air mengalir secara perlahan
Perhitungan Bintil Akar
1. Pisahkan akar utama dan cabang akar dengan cara memotongnya menggunakan cutter
2. Hitung jumlah bintil akar secara terpisah antara akar utama dan cabang akar
3. Belah masing-masing bintil akar dengan menggunakan cutter dan amati warna bagian
dalamnya
4. Pisahkan bintil akar efektif dan bintil akar non-efektif sekaligus hitung jumlah masing-
masing bintil dan dicatat terpisah
5. Jumlahkan seluruh bintil akar efektif dan bintil akar non-efektif untuk mendapatkan
nilai bintil akar total.

20
C. PENGAMATAN ASPEK KIMIA TANAH
Pengamatan Aspek Kimia Tanah baik di lahan berupa gejala defisiensi dan laboratorium
seperti mengukur C-Organik, pH Tanah, eH, dan EC dilakukan pada masing-masing lahan
pengamatan. Data hasil pengamatan dapat di tulis pada tabel yang telah disediakan.
1. Pengamatan Aspek Kimia di Laboratorium (Penentuan C-Organik, pH tanah, eH dan EC)
Penentuan C-Organik Tanah (Metode Oksidasi Basah Walkey and Black)
Alat dan Bahan
a. Labu erlenmeyer
b. K2Cr2O7 1 N
c. H2SO4 pekat
d. Difenilamina
e. Aquadest
f. Pipet
Prosedur analisis C-Organik Tanah
1. Sampel tanah kering udara yang telah lolos ayakan 0,5 mm sebanyak 0,5 gr contoh
dimasukan ke dalam labu erlenmeyer.

Tanah 0,5 g Erlenmeyer 500 ml


(0,5mm)
2. Sebanyak 10 ml tepat larutan K2Cr2O7 1N ditambahkan ke dalam erlenmeyer dengan
sebuah pipet

K2Cr2O7 10 ml

labu berisi tanah


K2Cr2O7
3. Sebanyak 20 ml H2 SO4 pekat ditambahkan, labu erlenmeyer digoyang –goyang kan
untuk membuat tanah bereaksi. Biarkan campuran itu selama 20-30 menit.

Ditambah H2 SO4 20 ml

H2SO4

4. Sebuah blanko tanpa tanah dikerjakan dengan cara yang sama

21
5. Kemudian larutan di encerkan dengan air sebanyak 200 ml dan sesudah itu
ditambahkan 10 ml H3Po4 85% dan 30 tetes penunjuk difenilamina.

Ditambah Air 200 ml + H3Po4 85% 10 ml

+ 30 tetes penunjuk difenilamina


Labu berisi tanah+ K2Cr2O +H2 SO4

6. Larutan dititrasi dengan larutan feromell buret. Perubahan dari warna hijau gelap pada
permukaan,lalu menjadi biru tua pada waktu titrasi berlangsung, pada titik akhir warna
berubah menjadi hijau terang.
7.
Perhitungan % C-Organik :
(ml blanko − ml sampel) 3 100 + % KA

ml blanko 0.5 100

Tabel 15 . Hasil Pengukuran C-Organik Tanah Metode Oksidasi Basah Walkey and Black)
Sawah Tegalan Tumpang sari
Parameter (Lahan Jeruk dan Cabai)
(Padi) (Jagung)
Pengamatan
7,3 7,9 6,9
% C- Organik

Penentuan pH tanah, eH (potensial redoks) dan EC (Electrical Conductivity)


Alat dan Bahan
a. pH meter
b. Fial film
c. Timbangan analitik
d. Mortar & pistil
e. Ayakan 2 mm
f. Gelas ukur
g. H2O dan KCl 10 ml
Prosedur Kerja
a. Sampel tanah kering udara diayak menggunakan ayakan 2 mm.
b. Untuk pengukuran pH H2O (1:1) sampel tanah sebanyak 10 gram dimasukkan ke
dalam fial film, lalu tambahkan 10 ml aquadest. Untuk pengukuran pH KCl (1:1)
sampel tanah sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam fial film, lalu tambahkan 10
ml KCL.
c. Kocok selama ±10 menit lalu diamkan selama ±15 menit, sampai tanah tersuspensi
(mengendap dengan sempurna).
d. Alat dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan buffer pH 4 dan 7. Lalu ukur sampel
menggunakan pH meter hingga alat menunjukkan nilai yang stabil (ready).

22
e. Selanjutnya untuk mengukur eH (potensial redoks) dan EC (Electrical Conductivity)
menggunakan sampel H2O (1:1) pada alat yang sama , hanya tinggal klik mode
sampel satuan menunjukkan mV (eH) dan mS (EC).

Tabel 16. Hasil Pengukuran pH tanah, eH dan EC


Lahan pH H2O pH KCl eH EC
Pengamatan
Sawah (Padi) 5,8 4,6 29,8 0,25
Tegalan 6 5,5 192,5 0,32
(Jagung)
Tumpangsari 6,5 5,5 146,8 0,21
(Jeruk dan
Cabai)

2. Pengamatan Aspek Kimia di Lahan (Frekuensi Temuan Tanaman Yang Menunjukkan


Gejala Defisiensi )
Uraian Prosedur
a. Amati kondisi tanaman yang dijumpai di lahan, apakah dijumpai gejala defisiensi unsur
hara makro (N, P, K, Ca, Mg) dan atau defisiensi unsur hara mikro (Fe, Mn, Cu, Zn)
b. Bandingkan kenampakan tanaman dengan gejala yang dijelaskan pada Tabel x berikut,
c. Catat dan dokumentasikan jika menemukan gejala defisiensi pada tanaman.
Tabel 17 . Gejala Defisiensi Unsur pada Tanaman
Unsur Hara Fungsi Gejala Gambar
N Sebagai bahan dalam • Perubahan warna menjadi
(Nitrogen) sintetis klorofil, pucat (klorosis) terjadi pada
protein, dan asam daun-daun tua.
amino • Secara keseluruhan daun-
daun berwarna hijau
kekuningan (pucat)
• pertumbuhan terhambat
(kerdil)

P Untuk merangsang • Reduksi pertumbuhan,


(Fosfor) pertumbuhan akar, kerdil
khususnya akar benih • Warna hijau tua, bercak
dan tanaman muda ungu pada daun jagung,
• Menunda pemasakan
• Pembentukan biji gagal

23
K Untuk pembentukan • Daun-daun tua (bagian
(Kalium) protein dan bawah) menjadi coklat atau
karbohidrat menunjukkan flek-flek
terbakar pada tepi daun
dan ujung daun.
• Jerami tanaman berbiji
menjadi lunak

Mg Pembentukan zat • Tepi-tepi daun helaian di


(Magnesium) hijau daun (klorofil), sela-sela tulang daun dan
karbohidrat, lemak mengalami klorosis dan
dan senyawa minyak
disertai perubahan warna
yang dibutuhkan
tanaman. daun tua menjadi bersemu
merah muda
• daun kadang-kadang
menggulung mirip dengan
gejala kekeringan.

Ca Merangsang • Daun-daun muda yang baru


(Kalsium) pembentukan bulu- terbentuk berwarna putih,
bulu akar, titik tumbuh mati (mati
mengeraskan batang
pucuk) dan mengeriting.
tanaman dan
merangsang
pembentukan biji.

Zn Pengaktifan bebrapa • Timbul strip-strip karat


(Seng) jenis enzim pada pada daun tua dan disertai
tanaman. klorosis pada daun-daun
dewasa, ukuran daun lebih
sempit-sempit

Fe Berfungsi dalam • Klorosis terjadi pada helaian


(Besi) proses pernapasan di sela-sela tulang daun
tanaman dan muda, pada kasus berat
pembentukan zat
seluruh daun berubah
hijau daun (klorofil).
warna menjadi kuning yang
akhirnya putih.

24
Cu Berfungsi dalam • Daun muda layu tetap
(Tembaga) pembentukan zat (ujungnya terbakar) tanpa
hijau daun (klorofil) bercak atau gejala klorosis
dan merupakan
• Ranting atau tangkai tepat
bahan pembentuk
beberapa jenis dibwah ujung dan pentul
enzim. biji sering tak mampu tegak
bila kekurangannya parah.

(S) Membantu • Daun muda dengan urat


Belerang pertumbuhan anakan dan jaringan antar urat
tanaman daun berwarna hijau muda.

Tabel 18. Hasil Observasi Defisiensi Unsur Hara


Lahan
Plot Jenis Unsur Hara Gejala yang ditemukan Foto
Pengamatan

1
Sawah
(Padi)
2

1
Tegalan
(Jagung)
2

1
Tumpang sari
(Lahan Jeruk
dan Cabai)
2

25
DAFTAR PUSTAKA
Hairiah, K., Sulistyani, H., Suprayogo, D., Widianto, Purnomosidhi, P., Widodo, R. H., and Van
Noordwijk, M. 2006. Litter layer residence time in forest and coffee agroforestry
systems in Sumberjaya, West Lampung. Forest Ecology and Management, 224: 45-57.
Hairiah K and Rahayu S. 2007. Petunjuk praktis Pengukuran karbon tersimpan di berbagai
macam penggunaan lahan. World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia. ISBN
979-3198-35-4. 77p
Jongmans, A. G., Pulleman, M. M., Balabane, M., Van Oort, F., Marinissen, J. C. Y. 2003. Soil
structure and characteristics of organic matter in two orchards differing in
earthworm activity. Applied Soil Ecology, 24: 219-232.
Karama, A.S., A.R. Marzuki dan I. Marwan. 1994. Penggunaan Pupuk Organik Pada Tanaman
Pangan. Simposium Hortikultura Nasional.
Van Noordwijk, M, Lusiana, B. dan Khasanah, N., 2004. WaNuLCAS 3.01. Background on a
model of Water Nutrient and Light Capture in Agroforestry System. ICRAF, Bogor.246
p.
Widianto, Suprayogo D., Noveras H., Widodo R.H., Purnomosidhi P., Noordwijk v.M., 2004. Alih
Guna Hutan Menjadi Lahan Pertanian:Apakah Fungsi Hidrologis Hutan Dapat
Digantikan Sistem Kopi Monokultur?. Agrivita Vol.26 No.1. Maret 2004. ISSN:0126-
0537.

27
LAMPIRAN
DAFTAR ASISTEN KELAS MAES TANAH / GENAP 2020-2021
No
ASISTEN PRAKTIKUM NIM ASISTEN KELAS
.
1 Intan Permata Hadi 165040207111084 A
2 Tania Lestari 175040207111207 B
3 Rio Falah Perdana 175040207111239 C
4 Jiyanti Yana Saputri 196040300111013 D
5 Renaldi Yoga Wibawa 175040207111071 E
6 Martin Naro Pardede 175040207111074 F
7 Lukman Hadi Wibowo 175040207111117 G
8 Rizkyana Noerishynta Damayanti 187040123111001 H
9 Abdurrachman Arief 196040300111004 I
10 Fathia Meidy Nurindriana 175040207111007 J
11 Alfian Indra Kurniawan 185040200111143 K
12 Muhammad Rifqi Al Jauhary 196040300111014 L
13 R. Ay. Alvisa Talitha Radiananda 185040207111047 M
14 Dinna Hadi Sholikah 206040300011002 N
15 Ahmad Fatoni 185040201111048 O
16 Nilam Kinanti 165040207111087 P
17 Juan Umbu A. D. Farasi 185040200111217 Q
18 Beliana Zam Zam 185040201111163 R
19 Muhammad Reziq 175040207111118 KA
20 Abrar Niti Pangestu 175040207111230 KB

Koordinator Asisten Mahasiswa : Fathia Meidy Nurindriana

LABORAN YANG TERLIBAT DALAM KEGIATAN PRAKTIKUM :


1. Sarkam [Laboran Lab. Biologi Tanah]
2. Ngadirin [Laboran Lab. Fisika Tanah]
3. Taufik [Laboran Lab. Fisika Tanah]

28
MODUL VIRTUAL FIELDTRIP MANAJEMEN AGROEKOSISTEM 2021
ASPEK BUDIDAYA PERTANIAN

FAKTOR ABIOTIK KOMPONEN AGROEKOSISTEM


Ekosistem terdiri atas dua komponen yaitu komponen biotik dan komponen abiotik.
Komponen abiotik menunjukkan benda mati dan kondisi lingkungan yang mendukung
kehidupan makhluk hidup contohnya tanah, air, udara, iklim, cahaya matahari, cuaca, dan
lain sebagainya. Sedangkan komponen biotik menunjukkan makhluk hidup yang ada dalam
ekosistem tersebut, termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan. Agroekosistem sendiri
merupakan ekosistem yang dimodofikasi dan dimanfaatkan secara langsung atau tidak
langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan pangan atau sandang. Sehingga,
komponen ekosistem dan agroekosistem dapat dibedakan menjadi :
Komponen
Ekosistem Agroekosistem
- Komponen Fisik (Abiotik) - Komponen Fisik (Abiotik
Tanah Tanah
Air Air
Udara Udara
Iklim Iklim
- Kehidupan Liar - Tanaman Budidaya
Tumbuhan - Kehidupan Liar
Mikroflora dan mikrofauna Tumbuhan
Mesofauna Mikroflora dan mikrofauna
Makrofauna Mesofauna
Megafauna Makrofauna
Megafauna
- OPT

1. Faktor Abiotik
Pertumbuhan tanaman dapat di kendalikan oleh susunan genetik tanaman serta
keadaan lingkungannya. Sedangkan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan pada tanaman secara garis besar terbagi menjadi faktor biotik dan faktor abiotik.
Faktor abiotik adalah komponen penyusun ekosistem yang terdiri dari benda-benda tak hidup.
Faktor abiotik dapat terdiri atas intensitas cahaya matahari, kecepatan angin, kelembaban
udara dan suhu, curah hujan, serta kesuburan tanah. Masing-masing komponen abiotik ini
dapat berpengaruh pada kelangsungan hidup tanaman. Setiap tanaman memiliki kondisi
optimum tertentu untuk tetap hidup dengan baik. Keadaan lingkungan yang tidak mendukung
pertumbuhan tanaman akan berakibat pada penurunan tingkat transpirasi, respirasi maupun
penyerapan nutrisi bagi tanaman. Selain itu juga dapat menyebabkan tanaman mudah
mengalami gangguan OPT hingga menyebabkan kematian bagi tanaman. Melalui
pengaruhnya tersebut maka masing-masing komponen abiotik ini memiliki peranan penting
dan perlu diperhatikan dalam budidaya tanaman untuk menciptkan keadaan yang optimum
bagi pertumbuhan tanaman.

2. Komponen Iklim
Iklim dapat diartikan sebagai keadaan cuaca rata-rata dalam waktu yang relatif lama
dan meliputi wilayah luas. Proses terjadinya cuaca dan iklim merupakan kombinasi dari
variabel-variabel atmosfir yang sama yang disebut unsur-unsur iklim. Iklim merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi proses pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Kondisi
iklim dicirikan oleh unsur-unsur atau komponen iklim antara lain suhu, angin, kelembaban,
penguapan, curah hujan serta lama dan intensitas penyinaran matahari. Besarnya pengaruh
iklim dalam pertumbuhan tanaman maka dirasa penting mengetahui dan mempelajari
komponen iklim yang akan memberikan keadaan optimum bagi pertumbuhan tanaman.
Beberapa komponen iklim diantaranya sebagai berikut.

Curah Hujan
Curah Hujan (mm) adalah ketinggian air hujan yang terkumpul dalam penakar hujan
pada tempat yang datar, tidak menyerap, tidak meresap dan tidak mengalir. Curah hujan
merupakan salah satu unsur cuaca yang datanya diperoleh dengan cara mengukurnya dengan
menggunakan alat penakar hujan, sehingga dapat diketahui jumlahnya dalam satuan
millimeter (mm). Curah hujan dibatasi sebagai tinggi air hujan yang diterima di permukaan
sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan ke dalam tanah. Sedangkan
Intensitas curah hujan merupakan ukuran jumlah hujan per satuan waktu tertentu selama
hujan berlangsung (Chandra dan Suprapto, 2016). Alat yang dapat digunakan dalam
pengukuran curah hujan adalah ombrometer dan ombrograf. Ombrometer merupakan alat
pengukur curah hujan tipe kolektor. Sedangkan ombrograf merupakan alat pengukuran curah
hujan tipe perekam data (otomatis).
Cara penggunaan ombrometer :
- Menaruh gelas pengukur dibawah kran ombrometer
- Membuka kran ombrometer
- Apabila air yang turun dari kran melebih 25 mm maka sebelum mencapai 25 mm kran
ditutup terlebih dahulu dan selanjutnya melakukan pembacaan dan catat hasil
- Pengukuran dilakukan sampai air di dalam bak penakar habis
Cara penggunaan ombrograf :
- Kertas grafik dipasang terlebih dahulu pada silinder yang berputar teratur secara
otomatis
- Penggantian kertas grafik dilakukan 1 minggu sekali
- Pencatatan curah hujan bersifat kumulatif dengan kapasitas maksimum penampungan
60 mm
- Banyaknya curah hujan dan terjadinya hujan dapat dibaca dari kertas grafik.

Intensitas
Intensitas cahaya adalah banyaknya cahaya ada pada suatu luas permukaan,
merupakan aspek lingkungan fisik yang sangat penting untuk keselamatan dan kenyamanan
kerja. Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor yang berperan penting bagi tanaman
untuk proses fotosintesis. Dimana, semakin sesuai intensitas cahaya bagi tanaman maka akan
semakin baik proses fotosintesis, dan semakin baik pula pertumbuhan tanaman. Selain itu
besarnya intensitas cahaya yang diteruskan ke permukaan lahan akan cenderung menurun
seiring bertambahnya umur suatu tanaman. Alat yang digunakan untuk mengukur intensitas
cahaya matahari yaitu lux meter, dengan cara penggunaan sebagai berikut :
- Geser tombol off/on ke arah On
- Pilih kisaran range yang akan diukur (2000 lux, 20000 lux atau 50000 lux) pada
tombol Range
- Arahkan sensor cahaya dengan menggunakan tangan pada permukaan daerah yang
akan diukur kuat penerangannya
- Lihat hasil pengukuran pada layar panel

Kelembaban
Kelembaban merupakan salah satu bagian dari iklim yang termasuk dalam faktor
abiotik atau faktor tidak hidup. Kelembabam dapat diartikan sebagai konsentrasi atau
kandungan uap air yang ada pada udara. Pertumbuhan tanaman juga sangat dipengaruhi oleh
kelembaban. Apabila kelembaban lingkungan berada di luar batas, maka tanaman akan
terganggu pertumbuhannya. Setiap golongan tanaman memerlukan kelembaban udara yang
berbeda-beda untuk perkembangan optimalnya. Sama seperti faktor abiotik lainnya,
kelembaban juga penting diperhatikan dalam pertumbuhan tanaman. Kelembaban yang diluar
batas toleransi tanaman akan menyebabkan beberapa kendala dalam kelangsungan hidup
tanaman. Ketika kelembaban terlalu rendah, proses fotosintesis tidak dapat berjalan dengan
baik akibat beberapa gangguan pada zat-zat tanaman sehingga tidak dapat menghasilkan
energi yang cukup untuk tumbuhan hidup dan menyebabkan tanaman akan mengalami
kekeringan dan mati. Sedangkan pada kelembaban yang terlalu tinggi, organisme
pengganggu tanaman seperti jamur dan bakteri dapat tumbuh berkembang dengan pesat dan
menyebabkan kerusakan atau pembusukan pada tumbuhan. Sehingga untuk berproduksi
tinggi, maka kelembaban udara disekitar tanaman harus dijaga dalam keadaan optimum.

Suhu
Suhu dapat diartikan sebagai ukuran atau derajat panas atau dinginnya suatu benda atau
sistem. Suhu di definisikan sebagai suatu besaran fisika yang dimiliki bersama antara dua
benda atau lebih yang berada dalam kesetimbangan termal (Putra, 2007). Sebagai salah satu
komponen dalam faktor abiotik, maka pengaruh suhu juga penting dalam optimalisasi
pertumbuhan pada tanaman. Pentingnya suhu bagi tanaman dikarenakan, setiap tanaman
memiliki suhu optimum untuk kelangsungan hidupnya. Hal ini berkaitan dengan reaksi kimia
didalam setiap organisme akan dipengaruhi oleh suhu lingkungan disekitarnya. Sehingga
untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, maka harus mememnuhi syarat tumbuh
tanaman salah satunya suhu yang optimum. Jika suhu sekitar kurang sesuai dengan syarat
tumbuh maka reaksi kimia dari tanaman akan terganggu yang menyebabkan tanaman tumbuh
dengan kurang baik. Pada suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, tanaman dapat
kehilangan kemampuan fisiologisnya seperti fotosintesis, respirasi, transpirasi, absorpsi air,
dan nutrisi. Tanaman yang tumbuh di suhu yang terlalu tinggi dari batas toleransi tanaman
akan menyebabkan kinerja enzim akan terganggu. Akibatnya, respirasi dan transpor zat
terganggu sehingga tanaman akan kekurangan nutrisi pada tumbuhan. Secara normal tanaman
akan menutup stomata untuk menghindari penguapan berlebihan pada suhu tinggi. Jika hal
ini terus terjadi maka akan menyebabkan tidak adanya pertukaran oksigen dan
karbondioksida, atau artinya transpirasi zat terganggu. Pengukuran suhu dan kelembaban
dapat menggunakan alat thermo hygrometer, dengan cara penggunaan sebagai berikut:

• Meletakkan thermo hygrometer pada tempat yang ingin diukur kelembaban dan suhu
udaranya.
• Menunggu tiga sampai lima menit.
• Mengamati skala yang ada pada thermo hygrometer, skala pada bagian atas
menunjukkan suhu udara (oC) sedangkan skala bagian bawah menunjukkan
kelembaban (%).
FAKTOR BIOTIK PADA AGROEKOSISTEM
Faktor hidup yang meliputi semua makluk hidup di bumi yang terdiri dari manusia,
hewan, tumbuhan dan mikroba. Dalam Ekosistem tumbuhan berperan sebagai produsen,
hewan sebagai konsumen dan mikroorganisme berperan sebagai decomposer Faktor biotik
juga meliputi tingkatan-tingkatan organisme yang meliputi individu, populasi, komonitas,
ekosistem dan biosfer. Agroekosistem adalah komonitas tanaman dan hewan yang
berinteraksi dengan lingkungan fisik yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk
memproduksi bahan makan, serat, bahan bakar, dan produksi lainnya untuk konsumsi
manusia dan processing. Agroekosistem merupakan pemegang faktor kunci dalam
pemenuhan kebutuhan pangan suatu bangsa.
Komponen biotik yang terdiri dari semua jenis tanaman, hewan, dan mikroorganisme
yang ada dan berinteraksi dalam suatu agroekosistem sangat menentukan produtivitas
pertanian. Oleh sebab itu komponen-komponen biotik seperti itu penting adanya dalam
menjaga keseimbangan agroekosistem. Komponen biotik merupakan suatu komponen
ekosistem berupa makhluk hidup yang tinggal dalam suatu ekosistem. Komponen biotik
bermacam-macam jenisnya, antara lain hewan, tumbuhan, manusia, bahkan mikro-organisme
sekalipun. Setiap komponen memiliki peranan masing-masing yang sangat erat kaitannya
dalam pemenuhan kebutuhan akan makanan, hal ini yang menyebabkan keseimbangan di
dalam ekosistem.
a. KOMPONEN BIOTIK BERDASARKAN PERAN DAN FUNGSINYA

PRODUSEN (AUTOTROF)
Produsen adalah makhluk hidup yang mampu mengubah zat anorganik menjadi zat
organik (organisme autotrof). Contoh: Tumbuhan hijau berklorofil, fitoplankton, lumut, alga.

KONSUMEN (HETEROTROF)
Konsumen merupakan organisme yang tidak dapat menyusun zat makanan sendiri,
tetapi memakai atau menggunakan zat makanan yang dibuat organisme lain. Contoh:
Manusia, hewan

DEKOMPOSER (PENGURAI)
Dekomposer merupakan pengurai makhluk hidup atau organisme yang memiliki
fungsi tertentu sehingga mampu menguraikan sampah atau sisa-sisa makanan dari makhluk
hidup yang sudah mati. Dekomposer juga disebut perombak, yang memungkinkan zat-zat
organik dapat terurai dan mengalami daur ulang kembali sehingga membentuk hara. Contoh:
Bakteri dan Jamur.
b. GULMA
Gulma adalah tumbuhan yang tidak dikehendaki kehadirannya pada suatu lahan pertanian
dan menyebabkan berbagai kerugian pada tanaman budidaya. Seperti persaingan cahaya,
persaingan nutrisi, persaingan air, ataupun Alelopati

Klasifikasi Gulma
Berdasarkan Morfologi dan Botani
Berdasarkan morfologi dan botaninya, gulma dikelompokkan menjadi beberapa golongan
1. Gulma Golongan Rumput (grasses)
Ciri ciri: memiliki batang bulat atau agak pipih dan rata-rata berongga. Daun-daun
soliter pada buku-buku (ruas), tersusun dalam dua deret, umumnya memiliki tulang daun
sejajar. Contoh: Cynodon dactylon (L.), Imperata cylindrica (L.)
2. Gulma golongan teki (sedges)
Ciri ciri: Batang umum nya berbentuk segitiga, kadang-kadang juga bulat dan
biasanya tidak berongga. Daun tersusun dalam tiga deretan, tidak memiliki lidah lidah
daun(ligula). Contoh: Cyperus bervifolius, Cyperus rotundus L.
3. Gulma golongan daun lebar (Broadleaves)
Ciri ciri: Daun lebar dengan tulang daun berbentuk jala, gulma ini biasanya tumbuh
pada akhir masa budi daya. Contoh: Ageratum conyzoides L., Amaranthus spinosus L.
Berdasarkan Siklus Hidup
Berdasarkan siklus hidupnya, gulma dapat dibedakan menjadi
1. Gulma Semusim (Annual Weeds)
Ciri-ciri: Siklus hidup gulma semusim mulai dari berkecambah, berproduksi, sampai
akhimya mati berlangsung selama satu tahun. Pada umumnya, gulma semusim mudah
dikendalikan, namun pertumbuhannya sangat cepat karena produksi biji sangat banyak.
Contoh: Amaranthus sp.
2. Gulma Dua Musim (Biannual Weeds)
Ciri-ciri: Siklus hidup gulma dua musim lebih dari satu tahun, namun tidak lebih dari dua
tahun. Pada tahun pertama gulma ini menghasilkan bentuk roset, pada tahun kedua
berbunga, menghasilkan biji, dan akhimya mati. Contoh: Aretium sp.
3. Gulma Tahunan (Perennial Weeds)
Ciri-ciri: Siklus hidup gulma tahunan lebih dari dua tahun dan mungkin tidak terbatas
(menahun). Jenis gulma ini kebanyakan berkembang biak dengan biji. Gulma tahunan
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Contoh: Cynodon dactylon
Berdasarkan Habitat Tumbuh
Berdasarkan habitatnya, gulma dapat dibedakan menjadi
1. Gulma Air (Aquatic Weeds)
Ciri-ciri: Pada umumnya gulma air tumbuh di air, baik mengapung, tenggelam,
ataupun setengah tenggelam. Gulma air dapat berupa gulma berdaun sempit, berdaun lebar,
ataupun teki-tekian. Contoh: Monochoria vaginalis, Cyperus iria
2. Gulma Daratan (Terestrial Weeds)
Ciri-ciri: Gulma daratan tumbuh di darat, antara lain di tegalan dan perkebunan. Jenis
gulma daratan yang tumbuh di perkebunan sangat tergantung pada jenis tanaman utama, jenis
tanah, iklim, dan pola tanam. Contoh: Ageratum conyzoides, Axonopus compressus

C. PENGAMATAN DAN IDENTIFIKASI GULMA


Alat dan Bahan
1. Petak kuadrat berukuran 1m x 1m atau 0,5 m x 0,5 m
2. Pisau
3. Kamera
4. Kertas Gambar A3
5. Buku Flora
6. Kantong plastik
7. Kalkulator Analitik
8. Alkohol 75%

Cara Kerja
1. Mengidentifikasi jenis gulma berdasarkan morfologinya pada areal pertanaman.
Gunakan petak kuadrat (petak contoh) berukuran 0,5 m x 0,5 m. Tempatkan secara
acak sebanyak 3 kali ulangan.
2. Dokumentasikan setiap petak contoh. Dokumentasi harus mencakup semua jenis
gulma yang terdapat dalam petak contoh.
3. Hitung populasi setiap spesies gulma dalam petak contoh.
4. Catat nama spesies gulma dan populasinya pada blanko pengamatan. Gunakan nama
lokal ketika anda pengamatan di lapang.
5. Selanjutnya anda bisa melakukan identifikasi mandiri dengan bantuan literatur untuk
mengetahui nama ilmiah dari spesies gulma yang anda dapatkan.
Gambar 1. Ilustrasi Pengamatan Gulma pada Lahan

Gambar 2. Contoh Pengamatan Gulma pada lahan jagung dimana Persegi Merah adalah
Petak Frame pengamatan.
LER (Land Equivalent Ratio) atau NKL (Nisbah Kesetaraan Lahan)
Multiple cropping merupakan salah satu bentuk dari program intensifikasi pertanian
alternatif yang tepat untuk memperoleh hasil pertanian yang optimal. Keuntungan pola
tanam Multiple cropping selain diperoleh frekuensi panen lebih dari satu kali dalam setahun,
juga berfungsi untuk menjaga kesuburan tanah. Pola tanam Multiple cropping dalam
implementasinya harus dipilih dua atau lebih tanaman yang cocok sehingga mampu
memanfaatkan ruang dan waktu seefisien mungkin serta dapat menurunkan pengaruh
kompetitif sekecil-kecilnya. Tingkat produktivitas tanaman Multiple cropping diketahui
dapat meningkatkan produktivitas tanaman dengan keuntungan panen yang lebih tinggi
yakni antara 20 - 60% dibandingkan pola tanam monokultur. Untuk mengevaluasi
keuntungan atau kerugian yang ditimbulkan dari pola tanam polikultur dengan monokultur
dapat dihitung dari LER (Land Equivalent Ratio) atau Nilai Kesetaraan Lahan (NKL). Nilai
NKL ini menggambarkan suatu areal yang dibutuhkan untuk total produksi monokultur
yang setara dengan satu ha produksi Multiple cropping.
Multiple cropping tanaman pangan di lahan tanaman tahunan yang belum
menghasilkan perlu dipertimbangkan sebagai alternatif pengembangan tanaman pangan.
Sistem tanam Multiple cropping merupakan bagian integral darikegiatan ekstensifikasi dan
intensifikasi yang bertujuan untuk melipat gandakan hasil pangan, dan memecahkan
masalah kerusakan sumber daya alam atau memperbaiki lingkungan hidup. Multiple
cropping atau sistem tanam ganda merupakan usaha petanian untuk mendapatkan hasil
panen lebih dari satu kali dari satu jenis atau beberapa jenis tanaman pada sebidang tanah
yang sama dalam satu tahun. Ada beberapa jenis sistem multiple cropping, seperti mixed
cropping, relay planting, intercropping dan lain-lain. Intercropping (tumpangsari)
merupakan salah satu jenis multiple cropping yang paling umum dan sering dilakukan oleh
petani di Indonesia. Biasanya pada system tumpangsari, hasil dari masing-masing jenis
tanaman akan berkurang apabila dibandingkan dengan system monokultur, tetapi hasil
secara keseluruhan lebih tinggi.
Multiple cropping merupakan sistem budidaya tanaman yang dapat meningkatkan
produksi lahan. Peningkatan ini dapat diukur dengan besaran yaitu LER (Land Equivalent
Ratio) atau NKL (Nisbah Kesetaraan Lahan). Sebagai contoh nilai NKL atau LER =
1,8; artinya bahwa untuk mendapatkan hasil atau produksi yang sama dengan 1 hektar
diperlukan 1,8 hektar pertanaman secara monokultur. Dengan nilai tersebut berarti lahan
multiple cropping mampu meningkatkan produktivitas hingga 80% secara keseluruhan
apabila dibandingkan dengan sistem tanam monokultur.
RUMUS:
𝐻𝐴1 𝐻𝐵1
LER/NKL = +
𝐻𝐴2 𝐻𝐵2
HA1 = Hasil jenis tanaman A yang ditanam secara tumpangsari
HB1 = Hasil jenis tanaman B yang ditanam secara tumpang sari
HA2 = Hasil jenis tanaman A yang ditanam secara monokultur
HB2 = Hasil jenis tanaman B yang ditanam secara monokultur.

Contoh soal:
Komoditas: Tanaman Buncis dan cabai

1. Multiple Cropping
Jenis tanaman Luas Lahan Dalam kg

Cabai 200 m2 60 Kg

Buncis 150 Kg

1. 2. Monokultur
Jenis tanaman Luas Lahan Dalam kg

Cabai 200 m2 80 kg

Buncis 200 m2 220 kg


Jadi LER/NKL
HA1 = 60
HB1 = 150
HA2 = 80
HB2 =220

𝐻𝐴1 𝐻𝐵1
LER/NKL = +
𝐻𝐴2 𝐻𝐵2
60
150
LER/NKL = + = 0,75 +0,682 = 1,43
80 220

Nilai LER/NKL dari 1,43 menunjukkan bahwa 43 persen hasil keuntungan diperoleh
ketika ditanam sebagai tumpang sari dibandingkan bila sebagai ditanam monokultur.
Dengan kata lain tanaman harus ditanam pada luasan lahan 1,43 ha dengan system
monokultue untuk mendapatkan tingkat hasil yang sama seperti yang diperoleh dari luasan
lahan 1 ha dengan system tanaman tumpang sari.
FORM PENGAMATAN FAKTOR ABIOTIK
Lokasi Pengamatan:
Suhu Intensitas Kelembaban Tinggi Tempat Kemiringan Curah hujan
Komoditas budidaya
(°C) (Lux) (%) (mdpl) lahan (%) (mm)
Jeruk Tumpangsari Cabai 30.5 340 72 480 20 148
Jagung Monokultur 31.6 564 71 480 15 148
Padi Monokultur 31.6 650 57 480 10 148
FORM PENGAMATAN FAKTOR BIOTIK
Hasil pengamatan disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Analisa Vegetasi Gulma pada Lahan Tumpangsari tanaman jeruk dan tanaman cabai

Gulma Jumlah Gulma Plot ke- D1 D2


Nama Lokal Nama Ilmiah 1 2 3 Total
rumput teki Cyperus rotundus 7 5 1 13 6.5 3
patikan kerbau Euphorbia hirta 2 1 2 5 9 5.2
Tabel 2. Analisa Vegetasi Gulma pada Lahan Monokultur Jagung
Gulma Jumlah Gulma Plot ke- D1 D2
Nama Lokal Nama Ilmiah 1 2 3 Total
bayam liar Amaranthus 1 3 0 4 7.1 5.5
spinosus
krokot Portulaca 4 9 5 18 3.5 3
Tabel 3. Analisa Vegetasi Gulma pada Lahan Monokultur Padi
Gulma Jumlah Gulma Plot ke- D1 D2
Nama Lokal Nama Ilmiah 1 2 3 Total
alang-alang Imperata cylindrica 8 4 7 19 6.9 4.2
rumput kremah Alternanthera 1 3 3 7 4.8 2.5
sessilis (L.)

1. Menghitung SDR
a. Kerapatan adalah jumlah dari tiap-tiap spesies dalam tiap unit area
j𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠i𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑀𝑢𝑡𝑙𝑎𝑘 (𝐾𝑀) =
j𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡
𝐾𝑀 𝑠𝑝𝑒𝑠i𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑁i𝑠𝑏i (𝐾𝑁) = × 100%
j𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑀 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠i𝑒𝑠

b. Frekuensi ialah parameter yang menunjukkan perbandingan dari jumlah kenampakannya


dengan kemungkinannya pada suatu petak contoh yang dibuat.
𝑝𝑙𝑜𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 𝑠𝑝𝑒𝑠i𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠i 𝑀𝑢𝑡𝑙𝑎𝑘 (𝐹𝑀) =
j𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡
𝐹𝑀 𝑠𝑝𝑒𝑠i𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠i 𝑁i𝑠𝑏i (𝐹𝑁) = × 100%
j𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐹𝑀 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠i𝑒𝑠
c. Dominansi ialah parameter yang digunakan untuk menunjukkan luas suatu area yang
ditumbuhi suatu spesies atau area yang berada dalam pengaruh komunitas suatu spesies.
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑠𝑎𝑙 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑠𝑝𝑒𝑠i𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝐷𝑜𝑚i𝑛𝑎𝑛𝑠i 𝑀𝑢𝑡𝑙𝑎𝑘 (𝐷𝑀) =
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ
𝐷𝑀 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠i𝑒𝑠
𝐷𝑜𝑚i𝑛𝑎𝑛𝑠i 𝑁i𝑠𝑏i (𝐷𝑁) = × 100%
j𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐷𝑀 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠i𝑒𝑠
(𝑑1 𝑑2)2
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐵𝑎𝑠𝑎𝑙 𝐴𝑟𝑒𝑎 (𝐿𝐵𝐴) =
4
d. Menentukan Nilai Penting (Importance Value = IV)
Importance Value (IV) = KN + FN + DN

e. Menentukan Summed Dominance Ratio (SDR)


Summed Dominance Ratio (SDR)= IV/3
Tabel. Perhitungan Analisa Vegetasi 21 Hari Setelah Tanam
Lahan pengamatan : Tumpangsari Jeruk dan Cabai
Spesies KM KN FM FN LBA DM DN IV SDR
rumput teki 4.33 72.22 1.00 50.00 74.62406 0.009950 14.79 137.02 45.67171
patikan kerbau 1.67 27.78 1.00 50.00 429.8346 0.057311 85.21 162.98 54.32829
Lahan pengamatan : Monokultur Jagung
Spesies KM KN FM FN LBA DM DN IV SDR
bayam liar 1.33 18.18 1.00 50.00 299.2621 0.039902 93.26 161.44 53.81311
krokot 6.00 81.82 1.00 50.00 21.63656 0.002885 6.74 138.56 46.18689
Lahan pengamatan : Monokultur Padi
Spesies KM KN FM FN LBA DM DN IV SDR
Alang-Alang 6.333333 73.07692 1 50 164.8187 0.021976 85.36348 208.4404 69.48013
Rumput 2.333333 26.92308 1 50 28.26 0.003768 14.63652 91.5596 30.51987
Kremah
TOTAL 8.666667 100 2 100 193.0787 0.025744 100 300 100

Dari tabel SD, hitung indeks keragaman Shannon-Weiner (H`)


𝑛i 𝑛i
𝐻` = − ∑( ln )
𝑁 𝑁
Keterangan:
H = Indeks keragaman Shannon-Weiner (H`)
ni = Jumlah angka penting suatu jenis spesies
N = Jumlah total angka penting seluruh spesies
ln = Logaritme natural (bilangan alami)

Nilai tolak ukur indeks keanekaragaman H’:


H’ < 1,0 :
• Keanekaragaman rendah,
• Miskin (produktivitas sangat rendah) sebagai indikasi adanya tekanan ekologis yang
berat ,dan ekosistem tidak stabil

1,0 < H’ < 3,322 :


• Keanekaragaman sedang,
• produktivitas cukup,
• kondisi ekosistem cukup seimbang,
• tekanan ekologis sedang.

H’ > 3,322 :
• Keanekaragaman tinggi,
• stabilitas ekosistem mantap,
• produktivitas tinggi
FORM PENGAMATAN NKL / LER
Lahan Tumpangsari Jeruk dan Tanaman Cabai
Luas lahan petani 4.000 m2
Hasil tanaman jeruk pada lahan monokultur (ton) 8 ton
Hasil tanaman cabai pada lahan monokultur (ton) 2 ton
Hasil tanaman jeruk pada lahan multiple cropping (ton) 6ton
Hasil tanaman cabai pada lahan multiple cropping (ton) 1,5 ton
𝐻𝐴1 𝐻𝐵1
LER/NKL = +
𝐻𝐴2 𝐻𝐵2
6 1.5
= +
8 2
= 0.75 + 0.75
= 1.5
Nilai NKL/LER menunjukkan bahwa 50% hasil keuntungan diperoleh ketika ditanam secara tumpangsari
dibandingkan secara monokultur.
Lahan Jagung Monokultur
Luas lahan petani 3.000 m2
Hasil tanaman jagung pada lahan monokultur (ton) 2,5 ton
Hasil tanaman kedelai pada lahan monokultur (ton/Ha) 1 ton
Hasil tanaman jagung pada lahan multiple cropping (ton/ha) 1,5 ton
Hasil tanaman kedelai pada lahan multiple cropping (ton/ha) 0,6 ton
𝐻𝐴1 𝐻𝐵1
LER/NKL = +
𝐻𝐴2 𝐻𝐵2
2.5 1
= +
1.5 1.5
= 1.67 + 0.67
= 2.34
Nilai NKL/LER menunjukkan bahwa 34% hasil keuntungan diperoleh ketika ditanam secara tumpangsari
dibandingkan secara monokultur.
Lahan Padi Monokultur
Luas lahan petani 2.000 m2
Hasil tanaman padi pada lahan monokultur (ton) 1,5 ton
Hasil tanaman jagung pada lahan monokultur (ton/Ha) 1,7 ton
Hasil tanaman padi pada lahan tumpangsari (ton/ha) 0,7 ton
Hasil tanaman jagung pada lahan tumpangsari (ton/ha) 0,6 ton
𝐻𝐴1 𝐻𝐵1
LER/NKL = +
𝐻𝐴2 𝐻𝐵2
1.5 1.7
= +
0.7 0.6
= 2.14 + 2.83
= 4.97
Nilai NKL/LER menunjukkan bahwa 97% hasil keuntungan diperoleh ketika ditanam secara tumpangsari
dibandingkan secara monokultur.
MODUL VIRTUAL FIELDTRIP MANAJEMEN AGROEKOSISTEM 2021
ASPEK HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Studi habitat merupakan studi ekologi yang mengkaji keanekaragaman
spesies yang ada serta mengukur sebuah sistem pengendalian alami dalam
menekan populasi hama dan penyakit tanaman. Pengendalian alami tersebut dapat
berupa persaingan antara spesies, musuh alami, patogen serangga maupun agens
antagonis. Keanekaragaman spesies juga akan menentukan kestabilan dan
ketidakseimbangan suatu agroekosistem terhadap serangan OPT (Organisme
Pengganggu Tanaman). Ekosistem pertanian, atau yang disebut agroekosistem,
merupakan sistem ekologi yang terdapat di daerah pertanian yang memberikan
kesempatan luas untuk terjadinya interaksi jangka panjang di antara organisme
dengan lingkungan abiotiknya.

Ekosistem pertanian atau agroekosistem merupakan bentuk dari perubahan


ekosistem yang menuju kepada penyederhanaan struktur komunitas.
Agroekosistem bersifat lebih sederhana dalam hal jumlah spesies yang
menghuninya dan sangat sederhana dalam hal aliran energi dibanding ekosistem
alami, sehingga membutuhkan masukan-masukan energi untuk mempertahankan
keseimbangannya. Masukan energi tersebut dapat berbentuk pupuk dan pestisida.
Seperti banyak dikemukakan dalam teori ekologi bahwa struktur komunitas yang
sederhana dan cenderung monokultur pada agroekosistem, mengakibatkan
seringnya terjadi ledakan OPT. Struktur komunitas pada ekosistem pertanian
sebenarnya tidak terlalu sederhana, bahkan keragaman jenis spesies organism dan
pesaingnya cukup banyak dan kompleks. Dalam sistem yang kompleks ini juga
dijumpai proses ekologis seperti yang ditemukan pada kondisi alami, misal : daur
nutrisi, interaksi predator/prey, kompetisi, simbiosis dan suksesi.

Tujuan Praktikum

a. Untuk mengeksplorasi dan mengidentifikasi keanekaragaman spesies


serangga yang ada pada agroekosistem.
b. Untuk mengetahui peran masing-masing spesies serangga tersebut dalam
suatu agroekosistem.
c. Untuk mengeksplorasi dan mengidentifikasi keanekaragaman penyakit
pada tanaman pangan dan hortikultura yang ada pada agroekosistem.
d. Untuk mampu merencanakan agroekosistem yang baik secara teoritis.

Luaran yang Diharapkan

a. Praktikan mampu mengeksplorasi dan mengidentifikasi keanekaragaman


spesies serangga yang ada pada agroekosistem.
b. Praktikan mampu mengetahui peran masing-masing spesies serangga
tersebut dalam suatu agroekosistem
c. Praktikan mampu mengeksplorasi dan mengidentifikasi keanekaragaman
penyakit pada tanaman pangan dan hortikultura yang ada pada agroekosistem.
d. Praktikan mampu merencanakan agroekosistem yang baik secara teoritis.
II. PENGAMATAN HAMA

Serangga termasuk ke dalam filum Arthropoda yang memiliki ciri kaki


beruas, tubuh bilateral simetris dan dilapisi oleh exosceleton/ kutikula yang keras.
Selain serangga, dalam filum ini terdapat hewan lain yaitu laba-laba (arachnida),
kepiting (decapoda), udang (crustacea), lipan dan luwing (myriapoda). Serangga
digolongkan dalam kelas insecta (hexapoda), karena memiliki 6 buah kaki.
Jumlah kaki menjadi ciri khas serangga yang membedakannya dengan hewan lain
dalam phylum tersebut. Kehidupan serangga sudah dimulai sejak 400 juta tahun
yang lalu.
Serangga merupakan golongan hama terbesar. Diantara hama lainnya,
jumlah hama dari kelompok serangga menduduki peringkat tertinggi dan
mayoritas. Hal ini selain disebabkan perkembangbiakan serangga yang pesat juga
penyebarannya sangat cepat dan luas. Perkembangbiakan serangga pada
umumnya secera seksual. Sel telur mengalami pembuahan jika bertemu dengan
sperma dari serangga jantan. Serangga yang dapat berkembang biak tanpa
pembuahan disebut parthenogenesis, sedangkan perkembangbiakan dari satu sel
telur menjadi banyak embrio disebut polyembrioni. Saat ini terdapat lebih kurang
2-3 juta spesies serangga yang sudah ditemukan, 800.000 spesies diantaranya
sudah berhasil teridentifikasi. 5.000 spesies termasuk bangsa capung (Odonata),
20.000 spesies bangsa belalang (Orthoptera), 170.000 spesies bangsa kupu-kupu
dan ngengat (Lepidoptera), 120.000 bangsa lalat dan kerabatnya (Diptera), 82.000
spesies bangsa kepik (Hemiptera), 360.000 spesies bangsa kumbang (Coleoptera),
dan 110.000 spesies bangsa semut dan lebah (Hymenoptera). Karena jumlahnya
yang sangat besar dan keragamannya yang tinggi menyebabkan serangga sangat
berperan dalam ekosistem dan dalam siklus energi di alam.
Kondisi sistem ekologi dalam agroekosistem juga dikaji dengan melihat
dinamika komposisi peran dari jumlah individu spesies yang terkoleksi, lintas
waktu ataupun lokasi dalam hamparan (lansekap) yang sama. Cara ini sangat
sesuai dalam menilai/memahami kondisi ekologis yang dikaitkan dengan
pengembangan tindakan preventif dalam pengelolaan hama. Dalam hal ini yang
dikoleksi adalah komunitas arthropoda yang berperan antara lain, sebagai hama,
musuh alami (predator dan parasitoid), serta arthropoda lain (pengurai dll).
Keseimbangan komposisi peran dari totalitas individu yang terkoleksi dijadikan
sarana untuk memahami kondisi ekologi lahan. Metode yang digunakan berupa
pendekatan fiktorial dengan menggunakan grafik tiga dimensi untuk
menggambarkan posisi dari komposisi peran. Untuk memahami metode ini akan
dipaparkan suatu contoh hipotetik data komposisi peran dari hasil koleksi dan
identifikasi arthropoda dari 7 waktu pengambilan contoh pada musim tanam
sebelumnya (Tabel 1).
Tabel 1. Komposisi peran arthropoda pada pertanaman kentang di
kecamatan Antah berantah MT 1997/1998
Waktu Jumlah Individu Presentase
Pengamatan
(MST) Hama MA SL Total Hama MA SL
1 10 10 20 40 25,0 25,0 50,0
2 15 30 15 60 25,0 50,0 25,0
3 10 40 30 80 12,5 50,0 37,5
4 0 20 40 80 22,5 25,0 50,0
5 25 25 50 100 25,0 25,0 50,0
6 30 40 30 100 25,0 40,0 30,0
7 40 40 40 120 33,3 33,3 33,3
Keterangan: MA, Musuh alami; SL, Serangga lain

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa pada setiap waktu pengamatan


tergambarkan komposisi peran dari arthropoda yang dikoleksi. Selintas dapat
dikaji bahwa jumlah hama relatif sedikit dibandingkan dengan musuh alami dan
serangga lain. Diperkirakan bahwa kondisi ekologi lahan tersebut relatif ‘sehat’,
karena kemungkinan besar musuh alami berperan besar mengendalikan populasi
hama. Ketersediaan serangga lain juga dapat menjamin kelangsungan hidup
musuh alami jika populasi hamanya rendah khususnya untuk predator yang
umumnya polifag). Namun apabila lahan tersebut didominasi oleh hama dengan
sedikit musuh alami dan serangga lain, maka dapat terjadi kondisi lain.
Pemahaman kondisi ekologis berdasarkan komposisi peran yang
ditampilkan dalam bentuk tabel, sering kali sangat sulit dilakukan, terutama jika
waktu pengamatannya banyak, serta komposisi perannya tidak konsisten antar
waktu. Untuk mengatasi hal tersebut, penyajian dalam bentuk grafik atau cara
fiktorial sering dilakukan. Dalam penyajian fiktorial tersebut setiap komposisi
akan digambarkan/diwakili oleh satu koordinat dalam suatu tata dari tiga
aksis/sumbu yang tergambarkan sebagai garis tinggi dari segitiga sama sisi, yang
titik sudutnya mewakili peran (Gambar 1A). Garis tinggi yang berujung pada
salah satu sudut peran, misalnya sudut hama, merupakan garis skala persentase
hama dengan skala 0% di dasar garis (perpotongan dengan sisi yang berhadapan)
dan skala.
Untuk menentukan posisi koordinat komposisi peran dapat dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut (misalnya saja akan ditentukan posisi koordinat
dan komposisi peran dari hasil pengamatan minggu pertama, yaitu 25% hama –
25% musuh alami – 50% serangga lain, untuk pekerjaan ini hanya diperlukan dua
dari tiga data tersebut, dipilih saja % hama dan serangga lain):
a. Tentukan titik 25% pada skala sumbu hama, lalu tarik garis sejajar dengan
sisi dasar sumbu tersebut. Garis sejajar tersebut merupakan garis 25%
komposisi hama (sebut sebagai Gh25) (Gambar 1A).
b. Lakukan hal yang sama untuk titik 50% serangga lain, untuk membuat
garis 50% serangga lain (Gsl50) (Gambar 1B).
c. Perpotongan antara garis Gh25 dan Gsl50 merupakan titik koordinat
komposisi pada pengamatan minggu pertama (Gambar 1B). Jika kita ingin
memeriksa, garis Gma25 juga akan melewati titik koordinat tersebut.
Gambar 1. Cara penyajian fiktorial

Kondisi ekologis yang ‘tidak sehat’ atau ‘bahaya’ dapat dideteksi jika
sajian fiktorial menunjukkan bahwa ekosistem tersebut miskin serangga lain dan
musuh alami atau sangat labil, serta memerlukan penanganan khusus dalam upaya
pengembangan tindakan preemptif*). Ekosistem semacam ini banyak dijumpai di
pertanaman rumah kaca, serta pada lahan-lahan yang tinggi penggunaan racun
kimianya.

*) tindakan preemptif merupakan upaya pengendalian hama dan penyakit yang


disusun berdasarkan pemahaman bioekologi OPT dan lingkungannya.
Pemahaman terssebut dapat digali dari pengalaman musim-musim tanam
sebelumnya dan dari pustaka. Tindakan preemptif merupakan upaya utama dan
direncanakan sebelum tanam dan dilaksanakan secara terintegrasi dalam tehnis
budidaya tanaman. Tujuan tindakan preemtif adalah untuk memprakondisikan
lingkungan agar populasi hama dan penyakit tidak berkembang ke tingkat yang
dapat merugikan secara ekonomis.
III. DIAGNOSIS PENYAKIT TUMBUHAN

A. Penyebab Penyakit

Sakit adalah situasi di mana proses hidup suatu tanaman menyimpang dari
keadaan normal dan menimbulkan kerusakan, sehingga tanaman itu tidak dapat
tumbuh dan berkembang biak seperti biasa, bahkan dapat menyebabkan matinya
tanaman tersebut. Adapun penyakit dapat dikategorikan menjadi penyakit abiotik
dan penyakit biotik.
❖ Faktor Abiotik
Penyakit abiotik merupakan penyakit tanaman yang disebabkan oleh penyebab
penyakit noninfeksius atau tidak dapat ditularkan dari satu tanaman ke tanaman
lain, sehingga penyakit abiotik juga disebut penyakit noninfeksius. Adapun
penyebab penyakit abiotik dapat dikelompokan 10 kelompok, yakni :
1. Suhu (temperatur) tinggi dan sinar matahari. Beberapa tanaman tertentu
dapat mengalami kerusakan dengan adanya suhu yang terlalu tinggi
disertai dengan sinar matahari terik. Daun-daun muda tanaman terutama
tanaman semusim dapat mengalami kelayuan permanen dan akhirnya mati.
Warna daun berubah menjadi coklat kemerahan. Gejala kerusakan ini
disebut sun-scald. Kerusakan tanaman oleh suhu tinggi dan sinar matahari
yang terik ini dapat meningkat oleh keadaan kelembaban yang terlalu
rendah. Kerusakan ini biasanya dijumpai pada tanaman-tanaman yang
banyak mengandung air, seperti: tomat, kentang, tembakau, dan tanaman-
tanaman Cruciferae.
2. Suhu (temperatur) rendah. Suhu rendah terutama akan menimbulkan
kerusakan pada buah dan sayuran. Kerusakan yang terjadi disebabkan
karena terbentuknya kristal-kristal es intraseluler atau interseluler maupun
keduanya. Selain itu suhu yang rendah dapat menimbulkan lapisan frost
pada tanah sehingga menghalangi akar untuk menyerap air yang
diperlukan untuk mengimbangi transpirasi yang dilakukan oleh daun.
3. Oksigen yang tidak sesuai. Blackheart pada kentang merupakan salah satu
contoh penyakit yang umum dijumpai karena kurangnya oksigen selama
masa penyimpanan kentang di gudang-gudang penyimpanan. Gejala
penyakit ini berupa nekrotis pada umbi, mula-mula berwarna kemerahan
kemudian coklat kemerahan, coklat, coklat tua dan akhirnya jaringan umbi
berwarna hitam.
4. Kelembaban tanah yang tidak sesuai. Keadaan tanah dengan kelembaban
yang sangat rendah dapat menimbulkan kelayuan permanen pada tanaman
dan menyebabkan kematian tanaman tersebut. Sebaliknya kelembaban
tanah yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya pembusukan lain
yang berada di dalam tanah, sehingga juga akan menyebabkan kematian
tanaman.
5. Hujan es dan angin. Kerusakan tanaman yang disebabkan oleh hujan es
tergantung pada jenis tanaman, tingkat pertumbuhan tanaman, ukuran
hujan es, dan keadaan cuaca yang mengikuti hujan es tersebut. Kerusakan
dapat berupa lubang-lubang kecil sampai sobekan pada daun, sehingga
terjadi pengguguran daun dan hancurnya tanaman yang bersangkutan.
6. Keracunan mineral. Tanaman mempunyai tanggapan (respon) yang
berlainan terhadap keasaman tanah. Tanah yang bersifat asam dapat
meracuni beberapa jenis tanaman tertentu. Tanaman-tanaman yang
mengalami keracunan akan menunjukan gejala yang bervariasi dari
perubahan warna (klorosis), layu, bercak, penebalan daun, kerdil sampai
mati.
7. Defisiensi (kekurangan) mineral. Defisiensi mineral pada jenis tanaman
yang berlainan kemungkinan akan menunjukan gejala yang sama, akan
tetapi sulit untuk menentukan secara tepat mineral apa yang mengalami
defisiensi.
8. Senyawa kimia alamiah yang beracun. Ada jenis tumbuhan tertentu yang
menghasilkan senyawa kimia yang bersifat meracun terhadap tumbuhan
lain, misalnya: juglone (5-hidroksi-1,4-napthoquinone) yang dihasilkan
oleh pohon walnut (black-walnut). Senyawa tersebut bersifat meracun
terhadap tanaman tomat, kentang, alfalfa, apel, dan beberapa tanaman
lainnya.
9. Senyawa kimia pestisida. Kerusakan tanaman yang termasuk kategori ini
biasanya disebabkan oleh :
a. Pemakaian pestisida yang salah, misalnya : salah jenis pestisida, dosisnya
tidak tepat, dan aplikasinya tidak sesuai.
b. Keracunan tanaman karena sisa-sisa pestisida yang menguap (fumigan).
c. Residu pestisida yang fitotoksik.
10. Polutan udara yang meracun. Polutan udara ini biasanya berasal dari
industri atau pemanfaatan energi di suatu daerah.

❖ Penyakit Biotik
Penyakit biotik merupakan penyakit tanaman yang disebabkan oleh suatu
organisme infeksius bukan binatang, sehingga dapat ditularkan dari satu tanaman
ke tanaman lainnya. Organisme yang dapat menyebabkan suatu penyakit tanaman
disebut patogen tanaman. Patogen tanaman meliputi organisme-organisme sebagai
berikut :
a. Jamur/Cendawan/Fungi
Jamur adalah salah satu organisme penyebab penyakit yang menyerang semua
bagian tumbuhan, mulai dari akar, batang, ranting, daun, bunga, hingga buahnya.
Penyebaran jenis penyakit ini dapat disebabkan oleh air, serangga, atau sentuhan
tangan. Jamur merupakan mikroorganisme yang organel selnya bermembran
(eukariotik), tidak mempunyai klorofil, berkembangbiak secara seksual dan atau
aseksual dengan membentuk spora, tubuh vegetatif (somatik) berupa sel tunggal
atau berupa benang-benang halus (hifa, miselium) yang biasanya bercabang-
cabang, dinding selnya terdiri dari sellulose dan atau khitin bersama-sama dengan
molekul-molekul organik kompleks lainnya. Jamur dibedakan berdasarkan ada
tidaknya sekat pada hifa dan cara perkembangbiakannya, sehingga jamur
dibedakan menjadi empat kelompok kelas, yaitu : Phycomycetes, Ascomycetes,
Basidiomycetes, dan Deuteromycetes.
Penyakit ini menyebabkan bagian tumbuhan yang terserang, misalnya buah,
akan menjadi busuk. Jika menyerang bagian ranting dan permukaan daun, akan
menyebabkan bercak – bercak kecokelatan. Dari bercak – bercak tersebut akan
keluar jamur berwarna putih atau oranye yang dapat meluas ke seluruh permukaan
ranting atau daun sehingga pada akhirnya kering dan rontok.

Contoh penyakit yang disebabkan oleh jamur adalah sebagai berikut :


a) Penyakit pada padi.
Penyakit pada ruas batang dan butir padi disebabkan oleh jamur
Pyricularia oryzae. Ruas – ruas batang menjadi mudah patah dan tanaman padi
akhirnya mati. Selain itu, terdapat pula penyakit yang menyebabkan daun pedi
menguning. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Magnaporthegrisea.
b) Penyakit embun tepung.
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Peronospora parasitica. Jamur ini
kadang – kadang menyerang biji yang sedang berkecambah sehingga biji menjadi
keropos dan akhirnya mati. Jamur ini kadang – kadang menyerang daun pertama
pada kecambah sehingga tumbuhan menjadi kerdil. Tumbuhan kerdil dapat
tumbuh terus tapi pada daun – daunnya terdapat bercak – bercak hitam. Untuk
memberantas jamur ini dilakukan pengendalian secara kimia, yaitu dengan
pemberian fungsida pada tanaman yang terserang jamur.

b. Bakteri.
Bakteri dapat membusukkan daun, batang, dan akar tumbuhan. Bagian
tumbuh tumbuhan yang diserang bakteri akan mengeluarkan lendir keruh, baunya
sangat menusuk, dan lengket jika disentuh. Setelah membusuk, lama – kelamaan
tumbuhan akan mati. Tumbuhan yang diserang bakteri dapat diatasi dengan
menggunakan bakterisida.

Bakteri merupakan mikroorganisme prokariotik bersel tunggal. Terdapat


kurang lebih 200 jenis bakteri yang dapat menyebabkan penyakit tanaman.
Berbagai jenis bakteri yang terutama berbentuk batang, hanya terdiri dari enam
genus (marga), yaitu :
• Agrobacterium famili Rhizobiaceae gram negatif
• Corynebacterium famili Corynebacteriaceae gram positif
• Erwinia famili Enterobacteriaceae gram negatif
• Pseudomonas famili Pseudomonadaceae gram negatif
• Streptomyces dari famili gram positif
• Xanthomonas famili Pseudomonadaceae gram negative
Contoh penyakit yang disebabkan oleh bakteri adalah penyakit yang
menyerang pembuluh tapis batang jeruk (citrus vein phloem degeneration atau
CVPD). CVPD disebabken oleh bakteri Serratia marcescens. Gejalanya adalah
kuncup daun menjadi kecil dan berwarna kuning, buah menjadi kuning, sehingga
lama – kelamaan akan mati. Penyakit CVPD yang belum parang dapat
disembuhkan dengan terramycin, yang merupakan sejenis antibiotik.
c. Virus
Virus merupakan kesatuan ultramikroskopik yang hanya mengandung satu
atau dua bentuk asam nukleat yang dibungkus oleh senyawa protein kompleks.
Asam nukleat dan protein disintesis oleh sel inang yang sesuai dengan
memanfaatkan mekanisme sintesis dari sel-sel inang untuk menghasilkan
substansi viral (asam nukleat dan protein).
Contoh penyakit yang disebabkan oleh virus antara lain penyakit daun
tembakau yang berbercak – bercak putis. Penyakit ini disebabkan oleh virus TMV
(tabacco mosaic virus) yang menyerang permukaan atas daun tembakau. Virus
juga dapat menyerang jeruk. Penularan melalui perantara serangga.

d. Mikoplasma dan MLO (mycoplasma like organism)


Mikoplasma juga merupakan mikroorganisme prokariotik seperti bakteri
yang organel-organelnya tidak bermembran. Informasi genetiknya berupa rantai
DNA yang berbentuk cincin dan terdapat bebas dalam sitoplasma. Mikoplasma
tidak mempunyai dinding sel dan hanya diikat oleh unit membran berupa triple-
layered, mempunyai sitoplasma, ribosom, dan substansi inti yang tersebar dalam
sitoplasma. Mikoplasma dapat berbentuk ovoid sampai filamen (benang) dan
kadang-kadang berbentuk menyerupai hifa bercabang-cabang dan biasanya
dijumpai di dalam jaringan di luar sel-sel inang.

e. Tumbuhan tingkat tinggi parasitik.


Lebih dari 2500 jenis tumbuhan tingkat tinggi dikenal hidup secara
parasitik pada tanaman lain. Tumbuhan parasitik biasanya mampu menghasilkan
biji dan bunga yang mirip dengan biji dan bunga yang dihasilkan tanaman
inangnya. Berdasarkan tingkat parasitismenya, tumbuhan parasit dibagi menjadi 3
macam, yakni efifit, hemiparasit dan parasit benar. Tumbuhan efifit secara
fisiologis tidak tergantung tanaman inang tetapi efifit sangat tergantung kepada
dukungan dan perlindungan tanaman inang dari pengaruh faktor luar. Tumbuhan
hemiparasit merupakan kelompok tumbuhan parasit yang tergantung kepada
inangnya, terutama untuk memenuhi kebutuhan air dan mineral, sedangkan
tumbuhan parasit benar termasuk kelompok tumbuhan tingkat tinggi yang tidak
mempunyai klorofil, sehingga untuk mencukupi kebutuhan nutriennya sangat
tergantung kepada tanaman inang.

f. Nematoda.
Nematoda berbentuk cacing tetapi dalam taksonomi bukan merupakan
cacing (Vermes), berukuran sangat kecil, panjangnya berkisar antara 300-1.000
μm, meskipun beberapa jenis mempunyai panjang sampai 4 mm. Secara umum
nematoda berbentuk seperti belut, tubuh tidak bersegmen, simetris bilateral,
transparan, tidak mempunyai rongga tubuh (pseudocelumate), tubuh dilapisi
lapisan kutikula yang lembut sehingga memudahkan bergerak, dan tidak berkaki
maupun anggota tubuh lain.

B. Gejala dan Tanda Penyakit Biotik


Spesimen tanaman berpenyakit dapat dikenal dari gejala-gejala dan tanda-
tanda yang khusus. Gejala adalah perubahan penampilan tanaman atau bagian-
bagiannya yang dapat dilihat, yang muncul karena suatu penyakit (Tabel 2).
Gejala dapat merupakan akibat dari gangguan terhadap kemampuan tanaman
untuk melakukan fotosintesis secara efisien, berkembang-biak, menyerap air, atau
mengangkut zat-zat hara.
Tabel 2. Beberapa Gejala Umum Penyakit
Tanda adanya penyakit adalah kehadiran patogen (jamur) yang dapat
dilihat, misalnya tubuh buah atau kotoran yang berkaitan dengan penyakit.
Beberapa tanda umum penyakit adalah:
• Askomata, aservuli, konidiofor, piknidia, struktur tubuh buah
jamur kecil yang menghasilkan konidia
• Basidiokarp, tubuh buah Polyporales atau Agaricales
• Miselium, massa hifa jamur (benang-benang jamur)
• Ooze, cairan lengket yang keluar dari luka atau lubang
• Rizomorf, untaian hifa jamur seperti tali (seringkali berwarna tua).
II. Intensitas Penyakit
Serangan penyebab penyakit biotik (patogen) dapat mengakibatkan
terjadinya kerusakan pada tanaman. Tingkat kerusakan tanaman tersebut
dinyatakan dalam suatu nilai atau angka yang disebut intensitas penyakit.
Penghitungan intensitas penyakit didasarkan pada data yang didapatkan dari
pengamatan gejala penyakit. Dengan demikian suatu standar pengamatan gejala
penyakit sangat diperlukan agar kita mendapatkan data intensitas penyakit yang
dapat dipercaya. Untuk mendapatkan standar pengamatan gejala penyakit yang
baik kita melakukan penilaian terhadap gejala penyakit.

A. Penilaian Penyakit
Metode penilaian penyakit di lapangan harus memenuhi beberapa syarat
utama yakni :
1. Bersifat komprehensif, artinya dapat digunakan untuk pengamatan
bermacam-macam penyakit, bahkan bila mungkin untuk pengamatan segala
macam penyakit.
2. Memenuhi ketepatan pada skala ata tingkat praktek, penilaian penyakit
dapat dilakukan dengan penelitian atau ekonomi. Bila digunakan untuk keperluan
penelitian, penilaian penyakit memerlukan ketepatan yang tinggi. Sebaliknya bila
untuk menentukan dampak ekonomi suatu penyakit tidak perlu terlalu tinggi.
Dengan demikian untuk yang terakhir ini cukup diciptakan suatu metode penilaian
penyakit yang lebih sederhana.
3. Bersifat objektif. Karena sifatnya cenderung subjektif, penilaian penyakit
sangat dipengaruhi oleh pengamat, baik ditinjau dari tingkat pengetahuannya
tentang penyakit yang bersangkutan maupun dari keadaan fisik dan mentalnya.

Pada dasarnya penilaian penyakit dibagi menjadi 2 cara, yaitu :


1. Dengan menghitung jumlah tanaman atau bagian tanaman yang sakit.
Intensitas penyakit dinyatakan dalam jumlah persen tanaman atau bagaian
tanaman yang sakit terhdap jumlah tanaman atau bagian tanaman yang diamati
seluruhnya, atau dengan rumus :
Keterangan
IP : Intensitas Penyakit
a : jumlah tanaman atau bagian tanaman yang sakit
b : Jumlah tanaman atau bagian tanaman yang sehat
Metode ini digunakan untuk :
a. Penyakit yang dapat menyebabkan tanaman mati secara menyeluruh,
misalnya penyakit layu dan damping off pada berbagai tanaman.
b. Penyakit yang walaupun tidak mengakibatkan tanaman mati secara
menyaluruh, dapat mengakibatkan tanaman kehilangan hasil yang setara dengan
terjadinya kematian tanaman secara menyeluruh. Misalnya penyakit-penyakit
yang disebabkan oleh virus dan MLO.
c. Penyakit yang walaupun tidak menyebabkan kematian tanaman, dapat
mengakibatkan kehilangan hasil secara total. Misalnya penyakit gosong bengkak
(Ustilago maydis) pada jagung dan penyakit neck blas (Pyricularia oryzae) pada
padi.

2. Dengan menggunakan skala deskriptif (skor penyakit)


Skala deskriptif adalah angka yang menggambarkan tingkat kerusakan tanaman
atau bagian tanaman oleh penyakit. Skala ini diperoleh dengan membagi gejala
penyakit dalam beberapa kategori atau kelas, dari mulai bebas penyakit sampai
penuh dengan penyakit. Dalam praktek pekerjaan ini dikenal dengan pemberian
skor penyakit (skoring penyakit pada tabel 3).
Keterangan :
I = Intensitas Serangan
n = jumlah daun dari tiap katagori serangan v = nilai skala tiap katagori serangan
Z = nilai skala dari katagori serangan tertinggi
N = jumlah daun yang diamati

B. Pengambilan contoh
Untuk mengamati tingkat kerusakan tanaman karena penyakit tidak
mungkin dilakukan pada semua tanaman atau bagian tanaman yang ada di
wilayah pengamatan atau petak pengamatan. Oleh karena itu, kegiatan
pengamatan harus didahului dengan pekerjaan pengambilan contoh atau sampel
yang akan menentukan kualitas data yang diperoleh dari pengamatan terhadap
contoh tersebut.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan contoh untuk


pengamatan penyakit tanaman adalah :
1. Penyakit sering memperlihatkan pengaruh batas (border effect), yaitu
kecedrungan bahwa intensitas penyakit lebih besar atau lebih kecil di bagian tepi
dari petak atau lahan.
2. Pengamat cenderung mengambil contoh yang gejala penyakitnya
mencolok. Guna menghindarinya, dianjurkan menggunakan metode yang sifatnya
objektif. Teknik pengambilan contoh dengan mengambil tanaman contoh pada
garis yang ditarik secara diagonal pada petak contoh.
3. Unit contoh dan ukuran contoh. Unit contoh atau unit sample adalah unit
yang diamati, diukur, atau dihitung untuk memperoleh data yang dikehendaki;
sedangkan ukuran contoh atau ukuran sample adalah jumlah unit sample yang
diambil dalam suatu kegiatan pengamatan.
C. Contoh Penghitungan Intensitas Penyakit
1. Penyakit Tungro Pada Padi
Intensitas penyakit dihitung berdasarkan pengamatan tanaman yang sakit
atau sehat, tanpa memperhatikan berat ringannya penyakit. Misalnya dari
pengamatan terhadap 30 rumpun contoh. Didapatkan adanya 6 rumpun yang
menunjukkan gejala tungro.

2. Penyakit Blast Pada Padi


Pengamatan pada tanaman contoh menggunakan skala deskriptif (skor penyakit).
Rumus yang digunakan untuk menghitung intensitas penyakit adalah:
IV. PELAKSANAAN FIELDTRIP PENGAMATAN
KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA DAN PENYAKIT GUNA
PERENCANAAN AGROEKOSISTEM YANG BERKELANJUTAN

Metode Pelaksanaan Fieldtrip


a. Waktu
Pelaksanaan Fieldtrip Manajemen Agroekosistem dilaksanakan pada hari
Sabtu-Minggu, Tanggal 10-11 April 2021. (khusus aspek HPT fieldtrip dimulai
Sabtu, 10 April untuk pemasangan perangkap dan tgl 11 April melakukan
pengamatan dan pengambilan data. Mulai pukul 08.00-selesai.
b. Tempat
Fieldtrip Manajemen Agroekosistem dilakukan di Desa Karang Widoro
dan Desa Tegalweru, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.
Terdapat tiga penggunaan lahan yang digunakan yaitu sawah, tegalan dan kebun.
Komoditas yang digunakan yaitu padi pada lahan sawah, jagung pada lahan
tegalan, dan jeruk tumpang sari dengan cabai pada lahan kebun. Lahan sawah dan
tegalan berlokasi di Desa Karang widoro, sedangkan lahan kebun berada di Desa
Tegalweru.
c. Alat dan Bahan
1. Sweep net
2. Yellow Sticky Trap
3. Pitfall
4. Kantung plastik
5. Kain kasa/kapas
6. Deterjen
7. Alkohol
8. Kuas
9. Lup / kaca pembesar
10. Mikroskop Stereo
11. Lembar kerja pengamatan dan Alat Tulis
d. Cara Kerja Pengamatan Keanekaragaman Arthropoda
1. Bacalah dengan seksama buku panduan praktikum dan pahamilah.
2. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
3. Perangkap yellow sticky trap dan pitfall diletakkan pada hari sebelumnya.
Penggunaan yellow sticky trap diletakkan 3 titik per plotnya. Sedangkan,
penggunaan pitfall diletakkan 5 titik per plotnya.

4. Penggunaan sweep net menggunakan metode sweeping dengan pola zig-zag.


Caranya yaitu dengan mengayunkan sweep net sebanyak 3 kali kemudian
serangga yang tertangkap dimasukkan ke dalam plastik. Begitu seterusnya sampai
mengikuti pola.

5. Serangga yang telah terperangkap dikumpulkan dan segera diidentifikasi.


6. Apabila belum segera diidentifikasi hendaknya serangga tersebut disimpan di
lemari pendingin.
7. Hasil pengamatan disajikan dalam bentuk tabel dan segitiga fiktorial
berdasarkan komposisi peran arthropoda yang ditemukan.
8.
Tabel 1. Komposisi peran arthropoda di dalam petak lahan

9. Buatlah analisa pembahasan dan tarik kesimpulan tentang kondisi ekologis


pada petak lahan tersebut dan disusun dalam laporan yang terstruktur.
e. Cara Kerja Pengamatan Penyakit
1. Tentukan titik-titik pengambilan sampel secara diagonal.
2. Menghitung intensitas penyakit pada tanamn sampel menggunakan skala
deskriptif (skor penyakit) yang disesuaikan dengan jenis penyakit yang
menyerang tanaman tersebut.
HASIL PENGAMATAN ARTHROPODA DALAM FIELDTRIP

1. Perangkap YST

Titik Peran
Pengambilan Arthropoda Musuh Serangga
Hama
Sampel Alami Lain
Plot Sawah Diptera (Lalat √
Penggorok Daun)
Diptera (Lalat √
Penggorok Daun)
Diptera (Asilidae) √
Aranae (Laba-laba) √
Hymenoptera (Parasit √
Telur Penggerek)
Diptera (Lalat) √
Hemiptera (Kepik) √
Hymenoptera (Parasit √
Penggerek Telur)
Plot Jagung Thysanoptera (Thrips √
sp)
Diptera (Lalat √
Penggorok Daun)
Diptera (Lalat √
Penggorok Daun)
Diptera (Lalat √
Penggorok Daun)
Plot Jeruk Hymenoptera (Parasit √
Penggerek Telur)
Diptera (Lalat √
Penggorok Daun)
Diptera (Lalat √
Penggorok Daun)
Hymenoptera (Parasit √
Penggerek Telur)

2. Perangkap Pitfall
Titik Peran
Pengambilan Arthropoda Musuh Serangga
Hama
Sampel Alami Lain
Plot Sawah Hymenoptera (Semut) √
Hemiptera √
(Nilaparvata lugens)
Plot Jagung Hymenoptera (Semut) √
Diptera (Lalat √
Penggorok)
Plot Jeruk Thysanoptera √
(Thrips)

3. Perangkap Sweepnet
Titik Peran
Pengambilan Arthropoda Musuh Serangga
Hama
Sampel Alami Lain
Plot Sawah Lepidoptera (Agrotis √
ipsilon)
Diptera √
Orthoptera √
(Atractomorpha
crenulata)
Orthoptera (Jangkrik) √
Orthoptera √
Plot jagung Hemiptera (Leptcorisa √
oratorius)
Lepidoptera √
(Scirpophaga innotata)
Plot Kebun
Jeruk
HASIL PENGAMATAN PENYAKIT DALAM FIELDTRIP
Metode
Titik
Perhitungan
Pengambilan Nama Penyakit Patogen
Intensitas
Sampel Penyebab
Penyakit
Penyakit
Plot Sawah Bacterial leaf blight Xanthomonas Membandingkan
campestris pv. oryzae sampel dengan
awetan basah di
labolatorium

Plot Jagung Corn leaf blight Bipolaris maydis Membandingkan


sampel dengan
awetan basah di
labolatorium

Plot Kebun CVPD Liberobacter Membandingkan


sampel dengan
Jeruk
awetan basah di
labolatorium

Anda mungkin juga menyukai