Anda di halaman 1dari 16

PENDIDIKAN ETIKA PERGAULAN

(Penjelasan Hadist Larangan Berkhalwat dan Larangan Wanita Safar


Tanpa Mahram)

Disusun Oleh :

Kelompok IX

Siti Nur Rahmawati (19010101169)

Dina Selviana Dewi (19010101180)

Atika Suri (19010101200)

PRORAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

KENDARI

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan
nikmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pendidikan Etika Pergaulan” ini dengan sebagaimana mestinya. Makalah ini kami
susun guna memenuhi tugas mata kuliah Hadist Tarbawi. Selain itu kami berharap
makalah ini tidak hanya menjadi sekedar rangkaian kata-kata diatas kertas saja. Akan
tetapi dapat menjadi penambah wawasan kita dalam Beretika
Dalam penulisan makalah ini tentunya tidak sedikit kendala yang kami temui.
Akan tetapi karena kerja sama dari berbagai pihak yang terlibat maka kesulitan
tersebut dapat teratasi. Kami juga menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan. Sehingga itu kritik dan saran yang membangun
dari pembaca sangat kami harapkan guna perbaikan penulisan makalah kedepannya.
Akhir kata, kami tetap berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya.

Disusun Oleh :

Kelompok IX

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR......................................................................................................i
DAFTAR ISI ...................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................1
1. Etika Pergaulan...............................................................................................1
2. Etika Pergaulan Dalam Prespektif Islam........................................................1
3. Etika Bergaul Dengan Lawan Jenis Berdasarkan Hadist...............................1
C. Tujuan................................................................................................................1
1. Untuk Mengetahui Etika Pergaulan................................................................1
2. Untuk Mengetahui Etika Pergaulan Dalam Prespektif Islam........................1
3. Untuk Mengetahui Etika Bergaul Dengan Lawan Jenis Berdasarkan Hadist 1
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................2
A. Etika Pergaulan...................................................................................................2
B. Etika Pergaulan Dalam Prespektif Islam.............................................................2
C. Etika Bergaul Dengan Lawan Jenis Berdasarkan Hadist....................................5
1. Hadist Tentang Larangan Berkhalwat............................................................5
2. Hadist Larangan Perempuan Safar Tanpa Mahrom.......................................8
BAB III PENUTUP.....................................................................................................12
A. Kesimpulan......................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhlak mulia dalam pergaulan laki-laki dan perempuan berperan penting dalam
mewujudkan suatu kehidupan bermakna, damai dan bermartabat. Akhlak mulia
menyangkut etika, budi pekerti, dan moral sebagai manifestasi dari pendidikan agama.
Sering kali terdengar bila bicara soal akhlak laki-laki dan perempuan yang kerap
terdengar adalah segala penyimpangannya, tetapi ada juga akhlak yang sangat kontras
yaitu mereka yang menjaga akhlaknya. Mereka menghabiskan waktunya untuk
menuntut ilmu, bahkan banyak juga yang masih remaja sudah hapal Al-Qur’an.
Akhlak yang baik adalah fondasi agama dan merupakan hasil dari usaha orang-
orang bertakwa. Dengan akhlak yang baik, pelakunya akan terangkat ke derajat yang
tertinggi. Tidak ada amalan yang lebih berat dalam timbangan seorang muslim dihari
kiamat nanti dari pada akhlak yang baik. Pengarahan yang tepat ialah dengan mengikuti
contoh konkret lewat keteladanan Rasulullah saw. Dengan dukungan orang tua dan
pendidikan formal, insyaAllah akan memperkuat dasar akidah remaja sehingga dia akan
siap terjun dalam pergaulan masyarakat yang lebih luas. Dia biasa menjalankan
tanggung jawabnya terhadap diri sendiri dan lingkunganya yang semuanya akan
bermuara pada realisasi tanggung jawabnya kepada Allah swt.
B. Rumusan Masalah
1. Etika Pergaulan
2. Etika Pergaulan Dalam Prespektif Islam
3. Etika Bergaul Dengan Lawan Jenis Berdasarkan Hadist
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Etika Pergaulan
2. Untuk Mengetahui Etika Pergaulan Dalam Prespektif Islam
3. Untuk Mengetahui Etika Bergaul Dengan Lawan Jenis Berdasarkan Hadist

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Etika Pergaulan
Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah "Ethos", yang
berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat
dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu "Mos" dan
dalam bentuk jamaknya "Mores", yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-
hal tindakan yang buruk. Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal
kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai
banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat,
akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan
B. Etika Pergaulan Dalam Prespektif Islam
Tata cara pergaulan yang baik telah diajarkan oleh semua agama. Ajaran Islam
sebagai pedoman hidup umat juga telah mengatur tata cara pergaulan remaja yang
dilandasi nilai-nilai agama. Tata cara itu meliputi sebagai berikut :
1. Mengucapkan Salam
Mengucapkan salam ketika bertemu dengan teman atau orang lain sesama muslim.
Ucapan salam merupakan do‟a, dengan kata lain kitamendo‟akan orang yang kita
ucapkan salam tersebut. Allah SWT berfirman dalam Qs. An-Nisa : 86
ِ ‫سنَ ِم ْن َهٓا َأ ْو ُردُّوهَٓا ۗ ِإنَّ ٱهَّلل َ َكانَ َعلَ ٰى ُك ِّل ش َْى ٍء َح‬
‫سيبًا‬ ۟ ُّ‫َوِإ َذا ُحيِّيتُم بِتَ ِحيَّ ٍة فَ َحي‬
َ ‫وا بَِأ ْح‬
Artinya: Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan
segala sesuatu. (Qs. An-Nisa: 86).
Berdasarkan ayat di atas, maka apabila ada orang yang mengucapkan salam
kepada kita maka wajib untuk membalas salam tersebut. Mamberi salam termasuk

2
dalam hak setiap muslim kepada muslim yang lain. Seperti keterangan yang terdapat
dalam hadits Rasululloh saw
Artinya: Hak muslim atas muslim lainnya ada enam perkara. Ada yang bertanya:
apa saja enam perkara itu, wahai Rasululloh saw? Beliau melanjutkan: jika engkau
bertemu memberi salam padanya, apabila engkau diundang memenuhinya, jika engkau
diminta nasehat maka berilah nasehat, bila bersin dan mengucapkan Alhamdulillah
maka do‟akanlah, jika sakit engkau menjenguknya, dan bila dirinya meninggal engkau
mengiringi jenazahnya. HR. Muslim no. 2162
2. Meminta Izin
Apabila kita memerlukan barang atau pertolongan dari orang lain maka harus
meminta izin terlebih dahulu. Meminta izin berarti tidak meremehkan hak-hak orang
lain. Karena setiap hak yang kita miliki pasti dibatasi dengan hak-hak orang lain di
sekitar kita. Rasulullah SAW bersabda, “Bila salah seorang di antara kalian sudah
meminta izin tiga kali dan belum juga diizinkan, hendaklah ia pulang”.
3. Menghormati yang tua dan menyayangi yang muda
Dalam pergaulan yang baik, remaja harus mampu menyesuaikan diri dengan
tempat atau orang-orang yang berada disekelilingnya. Apabila berada dalam lingkup
orang-orang yang lebih tua maka harus menghormatinya dan apabila bergaul dengan
yang lebih muda harus menyayanginya. Di antaranya seperti hadits berikut:
Artinya: Dari Amr Ibn Syu‟aib dari ayahnya dari neneknya ra, berkata: Rasulullah
saw bersabda: Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang muda
dan tidak mengerti kemuliaan yang tua di antara kita. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
4. Bersikap Santun dan Tidak Sombong
Apabila ingin diterima dalam lingkungan pergaulan, remaja seharusnya
menghindari dari sikap sombong dan berperilaku santun. Sesungguhnya Allah SWT
tidak menyukai orang-orang yang sombong. Dan janganlah lupa agar selalu minta
perlindungan dari Allah SWT yang tertuang dalam Qs. Al-Ankabut : 41
ِ ‫ت ات ََّخ َذتْ بَ ْيتًا ۖ َوِإنَّ َأ ْوهَنَ ا ْلبُيُو‬
ِ ‫ت لَبَيْتُ ا ْل َع ْن َكبُو‬
‫ت ۖ لَ ْو َكانُوا‬ ِ ‫َمثَ ُل الَّ ِذينَ ات ََّخ ُذوا ِمنْ دُو ِن هَّللا ِ َأ ْولِيَا َء َك َمثَ ِل ا ْل َع ْن َكبُو‬
َ‫يَ ْعلَ ُمون‬

3
Artinya : Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain
Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang
paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (Qs. Al-Ankabut : 41)
Berdasarkan ayat tersebut orang-orang sombong diibaratkan seperti laba-laba
yang membuat rumah, karena rumah laba-laba adalah rumah yang tidak kokoh dan
orang yang sombong adalah ciri dari lemahnya keyakinan.
5. Berbicara dengan Sopan
Islam selalu mengajarkan pada umatnya agar selalu bertutur kata yang lembut dan
baik kepada orang lain. Selalu berkata yang manfaat dan tidak menimbulkan fitnah bagi
orang lain. Hasan Al-Basri mengatakan sewaktu memberi pelajaran pada
anaknya,”Wahai anakku, belajarlah mendengar yang baik sebagaimana engkau belajar
berbicara yang baik, dan janganlah memotong pembicaraan siapa pun, sekalipun
panjang, sampai ia selesai berbicara”.
6. Tidak saling Menghina
Kebiasaan yang tidak baik untuk dilakukan dalam pergaulan. Berkata yang tidak
baik dilarang dalam Islam, oleh sebab itu pergaulan antar sesama haruslah dijaga
dengan baik. Apalagi hinaan atau celaan itu ditujukan kepada orang tua. Seperti di
dalam hadits Rasululloh saw:
Artinya: Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda, “Kalian jangan saling mendengki, jangan saling najasy,
jangan saling membenci, jangan saling membelakangi! Janganlah sebagian kalian
membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-
hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang
lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya.
Takwa itu disini –beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah keburukan
bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram
darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim lainnya.”(HR. Muslim)
7. Tidak Saling Membenci dan Iri Hati
Rasa iri akan berdampak dan berkembang menjadi kebenciaan yang pada
akhirnya mengakibatkan putusnya hubungan baik antar sesama. Iri hati merupakan

4
penyakit hati yang membuat hati kita dapat merasakan ketidak tenangan serta
merupakan sifat tercela baik dihadapan Allah SWT dan manusia.Pembentukan
kepribadiaan melalui peningkatan pertimbangan moral secara mendasar mendukung dan
mengarahkan seluruh ajarannya untuk mewujudkan nilai-nilai positif sebagaimana yang
diajarkan pendidikan budipekerti. Dengan kepribadian yang baik maka sifat yang jelek
pun tidak bisa muncul dengan besar.
C. Etika Bergaul Dengan Lawan Jenis Beradasarkan Hadist
Menjadi muslim yang beriman kepada Allah tentu tidak mudah,karena banyak
sekali godaan-godan dalam mencapainya. Dikarenakan  balasan yang Allah janjikan
pun tidak terbandingkan dan semua muslim pun menginginkannya. Godaan-godaan
untuk menjadi muslim yang sholeh dan sholehah sering kali datang dan menggebu-gebu
saat kita menginjak usia remaja,di mana masa puberitas seorang wanita ataupun laki-
laki ada di masa ini. Bukan hal yang mudah pula bagi remaja muslim dalam melewati
masa ini, namun sungguh sangat indah bagi para remaja yang bisa dikatakan lulus
dalam melewati masa pubertas yang penuh godaan ini. Salah satu godaan yang amat
besar pada usia remaja adalah “rasa ketertarikan terhadap lawan jenis”. Memang, rasa
tertarik terhadap lawan jenis adalah fitrah manusia, baik wanita atau lelaki. Namun
kalau kita tidak bisa memenej perasaan tersebut,maka akan menjadi mala petaka yang
amat besar,baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang yang kita sukai.
1. Hadist Tentang Larangan Berkhalwat
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah melarang tindakan khalwat dengan
wanita asing ini dalam hadits shahih dengan bersabda
‫ام َرَأ ٍة ِإالَّ َو َم َعها َ ُذو َم ْح َر ٍم‬
ْ ِ‫الَ َي ْخلُ َونَّ َر ُجل ٌ ب‬
“Janganlah seorang laki-laki itu berkhalwat (menyendiri) dengan seorang
wanita kecuali ada mahram yang menyertai wanita tersebut.” (HR. Bukhari &
Muslim)
Beliau juga bersabda :
َّ ‫َأالَ الَ َي ْخلُ َونَّ َر ُجل ٌ ب ِا ْم َرَأ ٍة ِإالَّكاَنَ َثالِ َث ُه َما ال‬
ُ‫ش ْي َطان‬
“Ingatlah, bahwa tidaklah seorang laki-laki itu berkhalwat dengan seorang
wanita kecuali yang ketiganya adalah setan” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-

5
Hakim. Al-Hakim kemudian menyatakan bahwa hadits ini shahih berdasarkan
syarat Al-Bukhari dan Muslim. Pendapat ini disepakati pula oleh Adz-Dzahab)
Pendidikan yang bisa dipetik dari hadist tersebut yaitu :
Khalwat (‫وة‬QQ‫)خل‬dalam kamus ilmiah popular ialah mengasingkan diri. Kata
khalwat dalam bahasa arab berasal dari kata kerja ( ‫ )خال‬yang bermakna berseorangan.
Dalam kamus Lisan al-Arab, kata ‫ خلوة‬bermakna dasar yang berarti tidak ada sesuatu
padanya. Sedang dalam kamus dewan mendefinisikan perkataan sebagai perihal
perbuatan mengasinkan diri berdua-duaan ditempat yang terpencil atau tersembunyi,
oleh lelaki dan perempuan yang bukan mahram dan bukan pula suami istri sehingga
dapat dianggap sebagai suatu perbuatan yang sumbang. Menurut Kamus Besar Bahasa
Melayu, khalwat bermaksud perbuatan mengasingkan dan memencilkan diri, duduk
seorang diri dan berduaan di dalam keadaan sumbang di tempat yang terpencil di
antara laki-laki dan perempuan yang tidak berkahwin.
Menurut istilah para ulama mentakrifkannya sebagai berseorangan atau sebagai
tempat menenangkan fikiran daripada berbagai hal dengan hanya mengingati Allah
swt., semata-mata. Mengikuti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syfi‘I dan Imam
Hambali istilah ini dirujuk kepada hubungan suami istri yang tinggal berduaduaan
sama ada berlaku persetubuhan atau sebaliknya.
Menurut kitab-kitab fiqh dan hadis-hadis Rasulullah saw., khalwat ialah
bersekedudukan di antara pasanagn yang ajnabi, yaitu pasanagn yang belum ada
sebarang ikatan yang menghalalkan kedua-duanya
Menurut Imam an-Nawawi, berkata berduaanya laki-laki asing dengan wanita
asing (bukan mahram) tanpa disertai orang ketiga, maka ini adalah haram berdasarkan
kesepakatan para ulama. Demikian pula apabila keduanya ditemani seseorang yang
tidak dapat membuat keduanya merasa malu, dikarenakan masih sangat kecil usianya,
semisal masih berumur dua atau tiga tahun dan lain sebagainya. Karena kehadirannya
tak ubahnya dengan tiada. Perempuan asing yang diperingatkan adalah perempuan
yang bukan istrinya dan bukan kerabat perempuannya yang haram untuk dinikahi
selama-lamanya dikarenakan faktor keturunan, sepersusuan atau pernikahan. Dan

6
peneliti lebih cenderung terhadap pendapat Imam an-Nawawi yang berpendapat
bahwa khalwat ialah berduaanya laki-laki asing dengan wanita asing (bukan mahram)
tanpa disertai orang ketiga.
Berangkat dari defenisi khalwat yang telah dibahas sebelumnya, dimana
menurut Imam an-Nawiwi khalwat ialah berduaannya laki-laki asing dengan wanita
asing (bukan mahram) tanpa disertai orang ketiga. Maka khalwat menjadi dua jenis
yaitu :
1. Berduannya seorang laki-laki dengan seorang perempuan bukan mahram-nya
di tempat di mana orang lain tidak dapat melihatnya. Kondisi demikianlah
yang menjadi objek larangan dalam konsensus ulama dan teks gamblang dari
Nabi Muhammad dalam sejumlah hadis sahih
2. Berduaan dengan perempuan bukan mahram dan di sekeliling keduanya ada
banyak orang lain. Para ulama berselisih mengenai hukum khalwat-nya
seorang laki-laki dengan wanita bukan mahram dan di sekeliling keduanya
terdapat banyak orang, juga mengenai khalwatnya sejumlah laki-laki dengan
seorang perempuan, ke dalam beberapa pendapat. Namun pendapat paling
tepat adalah pendapat mazhab Hanafi dan sebagian ulama peneliti dari
mazhab Syafi‘i, yang menyebutkan bahwa hal di atas tidak termasuk khalwat
yang di haramkan oleh syariat
Imam an-Nawawi menerangkan, pendapat yang populer menyebutkan
bolehnya seorang laki-laki berkhalwat dengan perempuan yang bukan
mahramnya di tengah keberadaan perempuan-perempuan lainnya, karena
biasanya tidak akan terjadi mafsadat (kerusakan atau hal-hal yang tidak
diinginkan). Pasalnya, dalam kondisi tersebut, biasanya si perempuan akan
merasa malu kepada mereka
Dengan demikian, bercampur-baurnya banyak laki-laki dengan banyak
perempuan di jalanan, pusat-pusat perbelanjaan dan transportasi tidak disebut sebagai
perbuatan khalwat (berduaan). Kendati demikian, sudah seharusnya mereka
memerhatikan kesantunan dalam berpakaian dan etika dalam berbicara, serta

7
menghindari perselisihan di antara kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan)
terutama di saat berdesak-desakan.
Terdapat pengecualian bagi orang-orang yang tidak memiliki integritas. Karena
kehadiran laki-laki yang tidak mempunyai pemahaman agama kuat dan tidak
berakhlak tidak mencegah terjadinya khalwat. Adapun perempuam-perempuan yang
bepergian nakal, kehadiran mereka tidak mencegah terjadinya khalwat. Bahkan
kehadiran mereka semua justru mendorong untuk terjadinya fenomena dekadensi
moral.
2. Hadist Larangan Perempuan Safar Tanpa Mahrom
Pada dasarnya safar seorang wanita tanpa didampingi mahram adalah haram atau
tidak diperbolehkan (An-Nawawi, 2001). Hal ini berdasarkan dalil-dalil khusus yang
menunjukkan tidak diperbolehkanya seorang wanita bersafar tanpa mahram. Di
antara dalil-dalil khusus untuk safar wanita yaitu:
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
‫سول َ هَّللا ِ ِإ ِّني ُأ ِري ُد‬
ُ ‫ساف ِِر ا ْل َم ْرَأةُ ِإالَّ َم َع ذِي َم ْح َر ٍم َوالَ َيدْ ُخل ُ َعلَ ْي َها َر ُجل ٌ ِإالَّ َو َم َع َها َم ْح َر ٌم َف َقال َ َر ُجل ٌ َيا َر‬
َ ‫الَ ُت‬
ْ َ ‫ش َك َذا َو َك َذا َوا ْم َرَأتِي ُت ِري ُد ا ْل َح َّج َف َقال‬
‫اخ ُر ْج َم َع َها‬ ِ ‫َأنْ َأ ْخ ُر َج فِي َج ْي‬

“Janganlah wanita safar (bepergian jauh) kecuali bersama dengan mahromnya,


dan janganlah seorang (laki-laki) menemuinya melainkan wanita itu disertai
mahromnya. Maka seseorang berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sesungguhnya aku ingin pergi mengikuti perang anu dan anu, sedangkan
istriku ingin menunaikan ibadah haji.” Beliau bersabda: “Keluarlah (pergilah berhaji)
bersamanya (istrimu)“. [HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari IV/172), Muslim (hal.
978) dan Ahmad I/222 dan 246]
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
‫ساف ِِر ا ْل َم ْرَأةُ َثالَ ًثا ِإالَّ َم َع ذِي َم ْح َر ٍم‬
َ ‫الَ ُت‬

8
“Janganlah seorang wanita safar sejauh tiga hari (perjalanan) melainkan bersama
dengan mahramnya“. [HSR. Imam Bukhari (1087), Muslim (hal. 970) dan Ahmad
II/13; 19; 142-143; 182 dan Abu Daud]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda:

‫س َم َع َها ُح ْر َم ٌة‬
َ ‫ير َة َي ْو ٍم َولَ ْيلَ ٍة لَ ْي‬ َ ‫الَ َي ِحل ُّ ال ْم َرَأ ٍة ُتْؤ مِنُ ِباهَّلل ِ َوا ْل َي ْو ِم اآْل خ ِِر َأنْ ُت‬
َ ِ‫ساف َِر َمس‬

“Tidak halal (boleh) bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari
akhir safar sejauh sehari semalam (perjalanan) dengan tanpa mahram (yang
menyertainya)“. [HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari II/566), Muslim (hal. 487) dan
Ahmad II/437; 445; 493; dan 506]

Namun demikian, dalam menghukumi wanita bersafar tanpa mahram, para ulama
berbeda pendapat sesuai kondisi safar yang dimaksudkan dalam Islam. Kondisi safar
tersebut dapat dibagi menjadi tiga bentuk sebagai berikut ini:

1. Kondisi Safar Wajib


Hukum safar menjadi wajib jika dilakukan untuk mengerjakan ibadah haji, ibadah
umrah wajib, menunaikan jihad wajib (Ibn Qudamah Al-Maqdisi, 1967), dan
menuntut ilmu yang merupakan kewajiban setiap manusia (Alauddin Al-Kasani,
1986). Maka, jika seorang wanita melakukan safar dalam kondisi seperti ini tanpa
mahram, para ulama berbeda pendapat mengenai status hukumnya.
Pendapat pertama, tidak diperbolehkan seorang wanita bersafar sendirian untuk
mengerjakan ibadah haji yang wajib (Al-Hafnawi, 2012). Ia harus bersama dengan
suami atau mahramnya. Pendapat ini adalah pendapat al-Hasan al-Bashri, al-Nakhai’,
Ibn al-Munzir, Hanafiyah (As-Samarqandi, 1987), Ahmad (Bahauddin al-Maqdisi,
1997), dan Ishak (Sabiq, 2000). Hal ini dikarenakan bahwa syarat wajib haji bagi
wanita adalah dengan adanya suami atau mahram bersamanya. Mereka berdalil
dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak halal bagi seorang
wanita yang beriman pada Allah dan hari akhir bersafar selama 3 hari 3 malam
kecuali bersama mahram” (Al-Muhshabi, 1998).

9
Pendapat kedua, diperbolehkan bagi seorang wanita bersafar tanpa mahram,
sebab keberadaan mahram bukanlah syarat wajib haji atasnya. Pendapat ini adalah
pendapat Ibnu Sirin, Malik (Ad-Dasuqi, n.d.), madzhab Syafi’i (An-Nawawi, 2013;
Az-Zarkasyi, n.d.), alDhahiri (Hazm, n.d.), dan al-Auza’i (Al-Hafnawi, 2012). Maka
dari itu, jika seorang wanita mendapat keamanan dengan adanya suami atau mahram,
atau wanita terpercaya lainnya maka ia wajib berhaji. Bahkan sebagian mereka
mengatakan bahwa tidak mengapa seorang wanita bersafar untuk haji tanpa
didampingi mahram maupun wanita terpercaya lainnya jika jalanannya aman. Hal ini
sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Karabisy dari madzhab Syafi’i (An-Nawawi,
2013). Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah yang ditujukan pada Adi bin Hatim,
“Wahai Adi, tidakkah kau melihat Hirah?” aku pun berkata, “Aku belum melihatnya,
dan engkau pun telah mengabarkanya.” Maka Rasulullah bersabda: “Jika umurmu
panjang, maka kelak kau akan melihat Dha’inah berjalan dari Hirah sampai ia thawaf
di ka’bah sedang ia tidak takut kecuali hanya pada Allah”. Lantas suatu saat Adi
berkata, “Maka sungguh aku telah melihat Dha’inah berjalan dari Hirah sampai ia
thawaf di Ka’bah, sedang ia tidak takut kecuali hanya pada Allah” (Al-Asqalāni,
1420).
2. Kondisi Safar Sunnah dan Mubah
Pendapat pertama yaitu melarang. Mereka beralasan bahwa hukum safar wanita
tanpa mahram telah dijelaskan dalam nash secara sharih (Al-Bukhari, 1422; Hijaj, n.d.).
Meskipun redaksi hadits ini berbeda-beda, namun, yang dimaksud semua hadits itu
adalah larangan bepergian bagi wanita apabila tidak bersama mahramnya. Larangan
dalam hadits tersebut mencakup semua bentuk perjalanan. Baik perjalanan wajib seperti
perjalanan untuk menunaikan ibadah haji, maupun perjalanan yang tidak wajib seperti
perjalanan untuk berniaga. Oleh karenanya, menurut jumhur ulama, wanita yang belum
menikah tidak boleh pergi haji tanpa ditemani oleh mahramnya (Al-Shan‘ani, 1379).
Pendapat Kedua yaitu memperbolehkan. Melihat realitas zaman sekarang ini yang
jauh berbeda dari zaman diturunkannya hadits larangan tersebut. Maka ada beberapa
ulama kontemporer yang membolehkan safar wanita tanpa mahram baik dalam kondisi
safar sunah dan bahkan mubah. Di antaranya ulama tersebut adalah Syeikh Yusuf al-

10
Qardhawi (AlQardhawi, 2008), dan Muhammad Ibrahim al-Hafnawi (Al-Hafnawi,
2012). Mereka melihat bahwa ‘illah dilarangnya wanita bersafar tanpa mahram adalah
terkait keamanan, yaitu adanya kekhawatiran atau rasa takut jika wanita pergi sendiri
tanpa mahram, dimana kondisi safar pada zaman tersebut seseorang masih menunggang
unta, harus membawa perbekalan yang cukup, waktu tempuh jauh lebih lama, dan para
perampok siap ‘memangsa’ dimana saja karena kondisi jalanan yang sepi dari
pemukiman (Al-Qardhawi, 2008). Namun jika kondisi telah berubah, seperti zaman
sekarang, di mana seorang seorang berpergian dengan pesawat dan kereta api yang
mengangkut ratusan penumpang atau lebih, maka tidak ada lagi ketakutan bagi wanita
untuk pergi sendirian (Al-Qardhawi, 2008). Senada dengan ungkapan tersebut,
Muhammad Ibrahim al-Hafnawi juga memperbolehkan dengan dalil keamanan situasi
umum yang ada pada hari ini (Al-Hafnawi, 2012).
3. Kondisi Safar Haram
Safar haram adalah safar yang ditujukan untuk melakukan apa yang diharamkan
Allah dan rasul-Nya. Hal ini seperti seseorang yang melakukan safar untuk berbuat
kerusakan, menyamun, berdagang khamer, mencuri harta, maupun segala hal yang
diharamkan lainnya (Al-Jaziri, 2003; Ibn Qudamah Al-Maqdisi, n.d.). Safar dalam
kategori ini tentu haram hukumnya baik disertai mahram ataupun tidak. Tujuan
keluarnya saja sudah haram, terlebih safarnya. Hal ini sebagaimana kaidah yang
berbunyi, al-wasail laha ahkam al-maqashid, (wasilah memiliki hukum sebagaimana
maqashid) (Al-Jizanī, 1427). Kaidah ini menjelaskan bahwa perantara menuju pebuatan
yang haram, maka hukum perantara tersebut juga haram (AlJizanī, 1427).

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Tata cara pergaulan yang baik telah diajarkan oleh semua agama yaitu
Mengucapkan Salam, meminta izin, menghormati yang tua, bersikap santun.
Berbicara denga sopan, tidak saling menghina, tidak salingmembensi. bercampur-
baurnya banyak laki-laki dengan banyak perempuan di jalanan, pusat-pusat
perbelanjaan dan transportasi tidak disebut sebagai perbuatan khalwat (berduaan).
Kendati demikian, sudah seharusnya mereka memerhatikan kesantunan dalam
berpakaian dan etika dalam berbicara, serta menghindari perselisihan di antara
kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) terutama di saat berdesak-desakan.
Kondisi safar tersebut dapat dibagi menjadi tiga bentuk sebagai berikut ini: Kondisi
Safar Wajib, Kondisi Safar Sunnah dan Mubah, Kondisi Safar Haram.

12
DAFTAR PUSTAKA

Mushthofiyah, S. (2019). Etika Pergaulan Remaja Dalam Perspektif Al-Qur’an


(Kajian Tafsir Al-Misbah) (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).
http://dinamaulinaaa.blogspot.com/2016/02/makalah-adab-terhadap-lawan-
jenis.html
Mutakdir, M. (2017). Hadis tentang Larangan Berkhalwat (Suatu Analisis
Tahlili) (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar).
https://muslimah.or.id/5366-berdua-duaan-dengan-wanita.html
Nazahah, I., & Sahidin, A. (2021). Hukum Safar Wanita Tanpa Mahram Menurut Pandangan Para
Ulama. Jurnal Penelitian Medan Agama, 12(2), 82-89.
https://almanhaj.or.id/2848-hukum-safar-bagi-wanita-tanpa-mahram.html

13

Anda mungkin juga menyukai