Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

GIZI BURUK
MARASMUS-KWASHIORKOR

OLEH:

Disusun oleh:

Nadia Luthfiana Vashti

1261050282

Pembimbing:

dr. Ava L. Kawilarang, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

PERIODE 03 OKTOBER – 03 NOVEMBER 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN

INDONESIA

2018
BAB I

PENDAHULUAN

Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang

umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk

adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Para

ahli menggolongkan usia balita sebagai tahapan perkembangan anak yang

cukup rentan terhadap berbagai serangan penyakit termasuk penyakit yang

disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan asupan nutrisi jenis tertentu

seperti gizi buruk. Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur (U), berat

badan (BB) dan tinggi badan (TB).1

Berdasarkan Riskesdas 2013, kecenderungan prevalensi status gizi

anak balita menurut ketiga indeks BB/U, TB/U dan BB/TB, terlihat prevalensi

gizi buruk dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013.

Prevalensi gizi kurang meningkat 0,9% dari tahun 2007 ke tahun 2013 dan

prevalensi gizi buruk juga meningkat 0,3% dari tahun 2007 ke tahun 2013.1,2

Gizi buruk atau anemia gizi tidak hanya diderita anak balita, tetapi semua

kelompok umur. Perempuan adalah yang paling rentan, disamping anak-anak.

Sekitar 4 juta ibu hamil, setengahnya mengalami anemia gizi dan satu juta

lainnya kekurangan energi kronis (KEK). Dalam kondisi itu, rata-rata setiap

tahun lahir 350.000 bayi lahir dengan kekurangan berat badan (berat badan

rendah).1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi

Status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan

antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi

pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan.1

Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering

disebut reference. Status gizi balita dinilai menurut 3 indeks, yaitu berat badan

menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut

tinggi badan (BB/TB). Standar yang digunakan untuk pembanding pada anak balita

adalah kurva WHO Child Growth Standard (WCGS) 2006.3

Tabel 1. Kategori Status Gizi Balita

Peran protein bagi anak yang sedang dalam masa pertumbuhan adalah penting.

Jika asupan protein mereka dibawah angka kecukupan gizi, maka balita mengalami

kondisi Kurang Energi Protein (KEP).


2.1.1. Kurang Energi Protein (KEP)

Kurang Energi Protein (KEP) merupakan suatu kondisi patologis yang

diakibatkan kegagalan kronik dan kumulatif terpenuhinya kebutuhan fisiologis energi

dan protein. Manifestasi klinis dipengaruhi berbagai faktor: usia, infeksi, kondisi

status gizi sebelumnya, serta jenis dan jumlah keterbatasan makanan yang diterima.3

Berdasarkan lama dan beratnya kekurang energi dan protein KEP

diklasifikasikan menjadi KEP derajat ringan-sedang (gizi kurang) dan KEP derajat

berat (gizi buruk).3,4 Pada gizi buruk didapatkan 3 bentuk klinis, yaitu:

a. Marasmus adalah keadaan kurang kalori

b. Kwashiorkor adalah defisiensi protein yang disertai defisiensi nutrien

lainnya yang biasa dijumpai pada bayi masa disapih dan anak prasekolah

(balita)

c. Marasmus-kwashiorkor yaitu keadaan peralihan antara marasmus dan

kwashiorkor

2.1.2. Etiologi

Penyebab primer pada anak KEP adalah kekurangan konsumsi karena tidak

tersedia bahan makanan sedangkan penyebab sekundernya adalah kekurangan

kalori-protein akibat penyakit (misal penyakit infeksi, ginjal, hati, jantung, paru

dan sebagainya).3,4,5

- Agen

a. Makanan tidak seimbang

b. Penyakit infeksi yang mungkin di derita anak.

c. Tidak cukup tersedia pangan atau makanan di keluarga


d. Pola pengasuhan anak yang tidak memadai

e. Keadaan sanitasi yang buruk dan tidak tersedia air bersih

f. Pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai

- Host

a. Berat Badan Lahir Anak Balita

b. Status Imunisasi

Tujuan imunisasi adalah mencegah penyakit dan kematian anak balita

yang disebabkan oleh wabah yang sering terjangkit, artinya anak balita yang

telah memperoleh imunisasi yang lengkap sesuai dengan umurnya otomatis

sudah memiliki kekebalan terhadap penyakit tertentu maka jika ada kuman

yang masuk ketubuhnya secara langsung tubuh akan membentuk antibodi

terhadap kuman tersebut.

c. Status ASI Eksklusif

d. Tingkat pendidikan Ibu

e. Jumlah Anak dalam Keluarga

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat

nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga terutama

mereka yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi makanannya jika

yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Anak-anak yang tumbuh dalam

suatu keluarga miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi diantara

seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling

terpengaruh oleh kekurangan pangan.

f. Penyakit Infeksi
- Lingkungan

a. Akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan

kebersihan lingkungan

b. Ketersediaan pangan di keluarga yang kurang (household food insecurity)

Gambar 1. Penyebab kekurangan gizi anak

2.1.3. Manifestasi Klinis

KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak tampak

kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai

marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor.1,4

a. Marasmus

- Tampak sangat kurus

- Wajah seperti orang tua

- Perubahan mental, cengeng, rewel


- Kulit kering, dingin, mengendor, keriput

- Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang

- Perut yang datar/cekung

- Tulang iga terlihat jelas

- Tidak ada oedema

b. Kwashiorkor

- Mata sembab/sayu

- Wajah membulat (moon face)

- Perubahan mental, apatis

- Rambut tipis, kemerahan seperti warna jagung, mudah dicabut

- Perubahan kulit (dermatosis)

- Pembesaran hati

- Atrofi otot

- Oedema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh

tubuh

c. Marasmus-kwashiorkor

Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan kwashiorkor secara

bersamaan. Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala

klinik Kwashiorkor dan Marasmus, dengan BB/U <60% baku median

WHO-NCHS disertai edema yang tidak mencolok.


2.1.4. Kriteria Gizi Buruk

 Kriteria Antropometri WHO

Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya edema pada kedua kaki

atau adanya severe wasting (BB/TB < 70% atau < -3SD), atau ada gejala klinis gizi

buruk (kwashiorkor, marasmus atau marasmik-kwashiorkor). WHO dan UNICEF

merekomendasikan BB/TB sebagai acuan untuk mengidentifikasi bayi dan anak

dengan gizi buruk. Pada kategori ini hanya bisa mengklasifikasikan anak gizi buruk

atau tidak tanpa mengetahui macam-macam tipe klinis gizi buruk.6

Tabel 2. Antropometri BB/TB berdasarkan WHO-NCHS

 Kriteria Wellcome

Pada 1970, klasifikasi Wellcome untuk KEP dikemukakan berdasarkan

oedema dan berat badan menurut umur sebagai konsep klinis untuk membedakan

marasmus, marasmus-kwashiorkor, kwashiorkor dan gizi kurang. Pada klasifikasi ini

dibutuhkan umur untuk diketahui secara tepat dan sering digunakan didaerah

pedalaman dengan fasilitas dan pengetahuan yang terbatas. Berat badan menurut umur

merupakan parameter yang mencakup dua kriteria lain seperti stunting (tinggi badan
menurut umur yang rendah karena retardasi pertumbuhan ringan kronik/di masa lalu)

dan wasting (berat badan menurut tinggi badan karena retardasi pertumbuhan berat

akut).7

Tabel 3. Klasifikasi Wellcome

 Kriteria McLaren

Terdapat sistem skoring simpel yang dapat menegakkan dan

mendemonstrasikan macam-macam jenis malnutrisi protein-kalori menggunakan

perubahan spektrum biokimia. Sistem skoring ini mencari adanya oedema,

dermatosis, perubahan rambut dan hepatomegali serta serum albumin atau serum total

protein.

Tabel 4. Sistem Skoring untuk bentuk KEP berat (McLaren, 1976)


Skor klasifikasi McLaren berkisar antara 0-15 yang dibagi menjadi tiga

kelompok malnutrisi anak; 0-3 untuk marasmus, 4-8 untuk marasmus-kwashiorkor

dan 9-15 untuk kwashiorkor.

2.1.5. Tatalaksana Gizi Buruk pada Anak

Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah utama

sebagai berikut3,6:

1. Atasi/cegah hipoglikemia

2. Atasi/cegah hipotermia

3. Atasi/cegah dehidrasi

4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit

5. Obati/cegah infeksi

6. Koreksi defisiensi mikronutrien

7. Mulai pemberian makanan

8. Fasilitas tumbuh-kejar (catch up growth)

9. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental

10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut sesudah sembuh

Pengobatan terdiri atas 3 fase: stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi. Petugas

kesehatan harus terampil memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase.

Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita kwashiorkor, marasmus, maupun

marasmik-kwashiorkor.
2.1.5.1. Langkah ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia

Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersamaan sebagai tanda

terdapat infeksi. Periksa kadar gula darah bila hipotermia (suhu ketiak <36 °C/suhu

dubur <36 °C). Pemberian makanan yang sering penting untuk mencegah kedua

kondisi tersebut. Bila hipoglikemia (kadar gula darah <54 mg/dL atau 3

mmol/dL),berikan:

 Bila anak sadar

Glukosa 10% atau larutan sukrosa 10% 50 mL bolus (pemberian sekaligus) (1

sdt gula dalam 5 sdm air) p.o. atau pipa nasogastrik (nasogastric tube/NGT).

Selanjutnya berikan larutan tersebut setiap 30 mnt selama 2 jam (setiap kali berikan .

bagian dari jatah untuk 2 jam). Berikan antibiotik (lihat langkah 5). Secepatnya

berikan makan setiap 2 jam, siang dan malam (lihat langkah 6).

 Bila anak tidak sadar

Glukosa 10% i.v. 5 mg/kgBB diikuti dengan glukosa atau sukrosa 10%

sebanyak 50 mL melalui NGT. Bila anak mulai sadar segera berikan F75 (lihat

langkah 6).

Pemantauan bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah

dengan darah dari ujung jari atau tumit sesudah 2 jam. Sekali diobati kebanyakan

anak akan stabil dalam 30 mnt. Bila gula darah menurun lagi sampai <50 mg/dL,

ulangi pemberian 50 mL (bolus) larutan glukosa 10% atau sukrosa dan teruskan

pemberian setiap 30 mnt sampai stabil. Ulangi pemeriksaan gula darah bila suhu

aksila <36 °C dan atau kesadaran menurun.


Pencegahan dilakukan dengan mulai segera pemberian makanan setiap 2 jam

(langkah 6) sesudah dehidrasi dikoreksi. Selalu memberikan makanan sepanjang

malam. Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap anak KEP

berat menderita hipoglikemia dan atasi segera.

2.1.5.2. Langkah ke-2: Pengobatan/Pencegahan Hipotermia

 Bila suhu ketiak <36 °C

Periksa suhu rektal dengan menggunakan termometer suhu rendah. Bila tidak

tersedia termometer suhu rendah dan suhu anak sangat rendah pada pemeriksaan

dengan termometer biasa, anggap anak menderita hipotermia.

 Bila suhu dubur <36 °C

Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila perlu).

Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala, letakkan dekat

lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas) atau peluk anak di dada ibu,

dan selimuti. Berikan antibiotik (lihat langkah 5).

Pemantauan dengan periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai

>36,5 °C, bila memakai pemanas ukur setiap 30 menit. Pastikan anak selalu

terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama malam hari. Raba suhu anak. Bila ada

hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia.

Pencegahan dengan segera beri makan/formula khusus setiap 2 jam (lihat

langkah 6). Sepanjang malam selalu beri makan. Selalu selimuti dan hindari basah.

Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau pemeriksaan medis terlalu lama).
2.1.5.3. Langkah ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi

Jangan menggunakan jalur i.v. untuk rehidrasi kecuali pada keadaan

syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-hati, tetesan perlahan-

lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan jantung (lihat penanganan kegawatan).

Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak Na dan kurang K

untuk penderita KEP berat. Sebagai pengganti, berikan larutan garam khusus yaitu

resomal atau penggantinya (lihat lampiran tentang cairan resomal). Tidak mudah

untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat dengan menggunakan tanda-

tanda klinis saja. Jadi, anggap semua anak KEP berat dengan diare encer mengalami

dehidrasi sehingga harus diberi:

 Cairan resomal/pengganti sebanyak 5 mL/kgBB/30 menit selama 2 jam p.o.

atau lewat NGT. Selanjutnya beri 5–10 mL/kgBB/jam untuk 4–10 jam

berikutnya; jumlah tepat yang harus diberikan bergantung pada berapa banyak

anak menginginkannya dan jumlah kehilangan cairan melalui feses dan

muntah. Ganti resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan

formula khusus berjumlah sama, bila keadaan rehidrasi menetap/stabil.

 Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6). Selama pengobatan,

pernapasan cepat dan nadi lemah akan membaik, serta anak mulai BAK.

Pemantauan penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½–1 jam selama 2

jam pertama → setiap jam untuk 6–12 jam, dengan memantau denyut nadi,

pernapasan, frekuensi BAK, frekuensi diare/muntah. Air mata, mulut basah,

kecekungan mata dan ubun-ubun besar yang berkurang, serta perbaikan turgor kulit

merupakan tanda rehidrasi sudah berlangsung, tetapi pada KEP berat perubahan ini
sering kali tidak terlihat walaupun rehidrasi sudah tercapai. Pernapasan dan denyut

nadi yang cepat dan menetap selama rehidrasi menunjukkan infeksi atau kelebihan

cairan

Tanda kelebihan cairan: frekuensi pernapasan dan nadi meningkat, edema dan

pembengkakan kelopak mata meningkat. Bila terdapat tanda-tanda tersebut, segera

hentikan pemberian cairan dan nilai kembali sesudah 1 jam

Pencegahan dilakukan bila diare encer berlanjut → teruskan pemberian

formula khusus (langkah 6). Ganti cairan yang hilang dengan resomal/pengganti

(jumlah lebih kurang sama). Sebagai pedoman, berikan resomal/pengganti sebanyak

50–100 mL setiap kali BAB cair. Bila masih mendapat ASI teruskan.

Gambar 2. Resep ReSoMal

ReSoMal adalah cairan yang diberikan kepada anak penderita gizi buruk yang

mengalami diare dan/atau dehidrasi. Formula WHO adalah formula yang diberikan

pada anak penderita gizi buruk yang berupa Formula 75 (F75) dan Formula 100
(F100). Mineral Mix terbuat dari bahan yang terdiri dari: KCl, tripotasium citrat,

MgCl2.6H2O, Zn asetat 2H2O, dan CuSO4.5H2O. Berbagai bahan ini dijadikan

larutan yang digunakan dalam rangka penanggulangan anak gizi buruk. Mineral Mix

ini dikembangkan oleh WHO dan telah diadaptasi menjadi pedoman Tata Laksana

Anak Gizi Buruk di Indonesia. Mineral mix digunakan sebagai bahan tambahan untuk

membuat Rehydration Solution for Malnutrition (ReSoMal) dan Formula WHO.9

2.1.5.4. Langkah ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit

Pada semua KEP berat terjadi kelebihan Na tubuh, walaupun kadar Na plasma

rendah. Defisiensi K dan Mg sering terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu untuk

pemulihan. Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan dalam edema. Jangan obati

edema dengan pemberian diuretikum, berikan:

 K 2–4 mEq/kgBB/hr (150–300 mg KCl/kgBB/hr)

 Mg 0,3–0,6 mEq/kgBB/hr (7,5–15 mg MgCl2/kgBB/hr)

Untuk rehidrasi, beri cairan rendah Na (resomal/pengganti). Siapkan makanan tanpa

diberi garam. Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang

ditambahkan langsung dalam makanan. Penambahan 20 mL larutan pada 1 L formula

dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg.3

2.1.5.5. Langkah ke-5: Pengobatan dan Pencegahan Infeksi

Pada KEP berat, tanda yang biasanya menunjukkan infeksi seperti demam

sering kali tidak tampak, sehingga pada semua KEP berat diberikan secara rutin:

Tabel 5. Antibiotik pada Anak Gizi Buruk


Vaksinasi campak bila usia anak >6 bl dan belum pernah diimunisasi, bila

keadaan anak sudah memungkinkan (paling lambat sebelum anak dipulangkan).

Ulangi pemberian vaksin sesudah keadaan gizi anak membaik. Beberapa ahli

memberikan metronidazol (7,5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari) sebagai

tambahan pada antibiotik spektrum luas untuk mempercepat perbaikan mukosa usus

dan mengurangi risiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik akibat pertumbuhan

bakteri anaerob dalam usus halus.3

2.1.5.6. Langkah ke-6: Koreksi Defisiensi Mikronutrien

Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun

anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi

tunggu sampai anak mau makan dan BB-nya mulai ↑ (biasanya sesudah mgg ke-2).

Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan infeksinya.10


 Multivitamin Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)

 Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari

 Tembaga (Cu) 0,2 mg/kgBB/hr

 Bila BB mulai ↑: Fe 3 mg/kgBB/hr atau sulfas ferosus 10 mg/kgBB/hr

 Vitamin A oral pada hari ke-1

Anak >1 th : 200.000 SI

6–12 bl : 100.000 SI

0–5 bl : 50.000 SI (jangan berikan bila sebelumnya anak sudah pasti mendapat

vit. A)

2.1.5.7. Langkah ke-7: Mulai Pemberian Makanan

Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat hati-hati karena

keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang. Pemberian

makanan harus dimulai segera sesudah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa

sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal

Formula khusus seperti F WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian

makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di atas.

Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah, berikan dengan

sendok/pipet. Pada anak dengan selera makan baik tanpa edema, jadwal pemberian

makanan pada fase stabilisasi dapat diselesaikan dalam 2–3 hr (1 hr/tahap). Bila

masukan makanan <80 kkal/kgBB/hr, berikan sisa formula nasogastrik. Jangan

memberikan makanan >100 kkal/kgBB/hr pada fase stabilisasi ini.3,6

Pantau dan catat:

- Jumlah yang diberikan dan sisanya


- Muntah

- Frekuensi BAB dan konsistensi feses

- BB harian

2.1.5.8. Langkah ke-8: Perhatikan Tumbuh Kejar

Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar

tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan BB >10 g/kgBB/hr. Awal

fase rehabilitasi ditandai dengan kemunculan selera makan, biasanya 1–2 mgg

sesudah dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal

jantung yang dapat terjadi bila anak mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak

secara mendadak. Pada periode transisi dianjurkan untuk merubah secara perlahan-

lahan dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan.

Ganti formula khusus awal (energi 75 kkal dan protein 0,9–1,0 g/100 mL)

dengan formula khusus lanjutan (energi 100 kkal dan protein 2,9 g/100 mL) dalam

jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan

dengan kandungan energi dan protein yang sama. Kemudian naikkan dengan 10

mL/kali sampai hanya sedikit formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30

mL/kgBB/kali (= 200 mL/kgBB/hr)

Pemantauan pada masa transisi:

- Frekuensi napas

- Frekuensi denyut nadi

Bila terjadi peningkatan detak napas >5×/mnt dan denyut nadi >25×/mnt

dalam pemantauan setiap 4 jam berturut-turut, kurangi volume pemberian formula.


Sesudah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas. Sesudah periode

transisi dilampaui, anak diberi6,10:

Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering

- Energi: 150–220 kkal/kgBB/hr

- Protein 4–6 g/kgBB/hr

- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi berikan juga formula,

karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh kejar

Pemantauan sesudah periode transisi yaitu dengan melihat kemajuan yang

dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan BB. Timbang anak setiap pagi sebelum

anak diberi makan Setiap mgg, kenaikan BB dihitung (g/kgBB/hr)

Bila kenaikan BB:

- Kurang (<5 g/kgBB/hari) → reevaluasi menyeluruh.

- Sedang (5–10 g/kgBB/hari) → evaluasi apakah masukan makanan

mencapai target atau apakah infeksi sudah dapat diatasi.

2.1.5.9. Langkah ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik dan Dukungan Emosional

Pada KEP berat, terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku, berikan:

- Kasih sayang

- Lingkungan yang ceria

- Terapi bermain terstruktur selama 15–30 menit/hari

- Aktivitas fisik segera sesudah sembuh

- Keterlibatan ibu (memberikan makan, memandikan, bermain, dsb.)

2.1.5.10. Langkah ke-10: Tindak Lanjut di Rumah


BB anak sudah mencapai 80% BB/U, dapat dikatakan anak sembuh. Pola

pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah sesudah

penderita dipulangkan.

- Pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat

- Terapi bermain terstruktur

- Disarankan membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur. Pemberian

suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)

- Pemberian vit. A setiap 6 bulan

2.1.6. Tatalaksana pada Kegawatan Gizi Buruk

a. Syok (renjatan)

Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit

dibedakan secara klinis. Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat

pada pemberian cairan i.v., sedangkan syok sepsis tanpa dehidrasi tidak akan

membaik. Hati-hati terhadap overhidrasi.

Pedoman pemberian cairan dengan memberikan cairan dekstrosa 5%:NaCl

0,9% (1:1) atau Ringer-dekstrosa 5% (1:1) → 15 mL/kgBB dalam 1 jam

pertama. Evaluasi sesudah 1 jam:

- Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi, dan pernapasan)

dan status hidrasi → syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian

cairan seperti di atas untuk 1 jam berikutnya dengan cairan p.o. atau

nasogastrik → cairan ReSoMal 10 mL/kgBB/jam sampai 10 jam,

selanjutnya beri formula khusus (F-75/ pengganti).


- Bila tidak ada perbaikan klinis → anak menderita syok septik →

berikan cairan rumatan 4 mL/kgBB/jam dan transfusi darah 10

mL/kgBB perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian mulai berikan

formula (F-75/pengganti).

b. Anemia berat

Transfusi darah segar 10 mL/kgBB dalam 3 jam, bila Hb <4 g/dl atau Hb

4-6 g/dl disertai distres pernapasan. Bila terdapat tanda gagal jantung berikan

packed red cells dengan jumlah yang sama. Berikan furosemide 1 mg/kgBB

i.v. pada saat transfusi dimulai. Amati reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria,

syok). Anak dengan distres pernapasan sesudah transfusi, Hb tetap <4 g/dl

atau 4-6 g/dl  jangan diulangi.


BAB III

KESIMPULAN

Status gizi balita dapat dinilai dengan 3 indeks pemeriksaan antropometri

BB/U, TB/U dan BB/TB. Indikator BB/TB dapat mengklasifikasikan anak termasuk

ke dalam gizi lebih, gizi normal, gizi kurang atau gizi buruk. Gizi buruk adalah status

gizi yang didapatkan adanya oedema pada kedua kaki atau adanya severe wasting

(BB/TB <70% atau <-3SD) atau ada gejala klinis gizi buruk (kwashiorkor, marasmus

atau marasmik-kwashiorkor. Terdapat 2 indikator pemeriksaan gizi seperti klasifikasi

Wellcome dan McLaren untuk menentukan 3 tipe klinis dari gizi buruk (marasmus,

kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.

Diagnosis gizi buruk marasmus-kwashiorkor ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang perlu dilakukan secara menyeluruh

karena masing-masing pemeriksaan dapat membantu diagnosis secara tepat.

Walaupun kondisi klinis pada marasmus, kwashiorkor dan marasmus-

kwashiorkor berbeda tetapi tatalaksananya sama. Penanganan umum gizi buruk

meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 3 fase yaitu fase stabilisasi, fase transisi

dan fase rehabilitasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Kesehatan Anak Balita di Indonesia. Pusat Data

dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015

2. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis Gizi. Pusat Data dan Informasi

Kementerian Kesehatan RI. 2015

3. Pedoman Diagnostik dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5. Bandung:

Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Padjajaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin. 2014

4. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Kurang Protein. Kementerian

Kesehatan RI. 2011

5. Rytter MJ, Kolte L, Briend A, et al. The Immune System in Children with

Malnutrition–A systematic Review. PloS ONE. August 2014;9(8).

6. Kementerian Kesehatan RI. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I. Edisi revisi.

2011. Jakarta: Departemen Kesehatan

7. Gernaat H, Voorhoeve H. A New Classification of Acute Protein-Energy Malnutrition.

Journal of Tropical Pediatrics. April 2000;46:97-106.

8. WHO Child Growth Standards and the Identification of Severe Acute Malnutrition in

Infants and Children. WHO and UNICEF. 2009

9. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 003 Tahun 2012 tentang Standar Mineral Mix. Kementerian

Kesehatan RI. 2012;123.

10. Tim Adaptasi Indonesia. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit Pedoman Bagi

Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. World Health Organization

Indonesia. Jakarta: 2009; 86-9

Anda mungkin juga menyukai