Anda di halaman 1dari 3

Khutbah Jumat untuk Kelestarian Bumi

Kondisi bumi sedang dipertaruhkan. Emisi karbon terus naik. Implementasi Paris Agreement, sebuah
traktat internasional tentang mitigasi, adapatasi, dan keuangan perubahan iklim yang diteken oleh 196
negara, termasuk Indonesia pada tahun 2015, diragukan banyak pihak.

Meskipun telah meratifikasi Paris Agreement, kajian WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)
menunjukkan bahwa konsentrasi gas rumah kaca, terutama akibat penggunaan energi fosil, belum
menujukkan tren menurun setidaknya hingga tahun 2020.

Penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) masih akan menempati porsi sebesar 48,4% dari
keseluruhan sumber energi nasional hingga tahun 2030. Padahal, sudah jamak diketahui bahwa PLTU
memiliki dampak lingkungan yang sangat buruk. PLTU menghasilkan limbah B3 yang membuat
masyarakat terjangkit penyakit pernafasan. PLTU juga menjadi kontributor utama emisi gas rumah kaca.
Hingga tahun 2021, masih ada pembangunan 15 PLTU baru.

Di sisi lain, Indonesia juga masih gemar mengimpor sampah plastik, baik secara legal maupun ilegal.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut bahwa setiap tahun ada 30 hingga 50
persen sampah plastik dan kertas Indonesia yang diimpor dari luar negeri.

Menurut temuan Ecoton, sampah plastik ini diimpor dengan cara diselundupkan ke dalam impor kertas
bekas. Sebagaimana diketahui, bahan baku industri kertas Indonesia adalah kertas bekas dari negara-
negara di Barat. Negara-negara Barat mengirimkan berton-ton kertas ke Indonesia secara legal. Namun,
sayangnya sampah kertas tersebut juga dibarengi dengan sampah plastik yang jumlahnya bisa mencapai
30%.

Sampah plastik yang datang dari luar negeri ini kemudian mencemari lingkungan di sekitar industri
kertas di seluruh Indonesia. Plastik-plastik yang tidak terolah dengan baik dan dibuang di TPA dengan
sistem open dumping lama kelamaan akan hancur menjadi mikroplastik. Mikroplastik itu kemudian
masuk ke dalam saluran air sungai dan laut.

Mikroplastik yang berada di sungai dan laut kemudian menjadi makanan bagi ikan yang sehari-hari kita
konsumsi. Menurut temuan David Wallace-Wells (2019) dalam bukunya The Uninhabitable Earth,
seperempat ikan di Indonesia mengandung mikroplastik.

Padahal, tanpa harus mengimpor plastik pun, produksi sampah plastik dalam negeri sudah luar biasa
tinggi. Kemasan plastik dari produk-produk rumah tangga mendominasi sampah plastik di Indonesia.
Dampak negatif sampah plastik sudah jamak diketahui masyarakat. Namun, mereka tidak punya pilihan
lain.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia, masyarakat Indonesia memiliki
komitmen untuk melawan dampak pencemaran sampah plastik terhadap lingkungan. Sayangnya,
mereka tidak punya pilihan alternatif dari sampah plastik. Upaya pengurangan sampah plastik dengan
menggunakan sistem isi ulang (refill) dan penggunaan kembali (reuse) tampaknya tidak pernah
diusahakan secara serius oleh industri.
Pertanggung jawaban industri terhadap sampah plastik yang mereka hasilkan juga sangat minim. Jika
industri tidak mau bertanggung jawab atas sampah plastik mereka, maka mereka seyogyanya
berkomitmen untuk mengembangkan distribusi produk dengan sistem refill dan reuse demi mengurangi
tumpukan sampah plastik.

Belum lagi bicara tentang laju deforestasi yang begitu miris. Deforestasi tak hanya menyisakan
kerusakan lingkungan, namun juga mengakibatkan konflik sosial antara masyarakat dan industri. Dari
ratusan kasus agraria yang terjadi, kita selalu bisa melihat, siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Indonesia masuk ke dalam daftar lima besar negara yang paling banyak membabat hutannya. Sejak
tahun 2002 hingga tahun 2020, Indonesia telah kehilangan 9,75 juta hektar hutan.

Peran Agama dan Khutbah Hijau

Kabar baiknya, belakangan agama mulai masuk ke isu-isu lingkungan. Tokoh-tokoh agama mulai sering
berbicara tentang pelestarian bumi dan kerusakan lingkungan. Misalnya, Muhammadiyah menerbitkan
buku Teologi Lingkungan, Fikih Air, dan Fikih Kebencanaan. Pemikiran ekologi Muhammadiyah telah
dirumuskan secara bertahap sejak Muktamar Muhammadiyah tahun 1990 di Yogyakarta.

Teologi lingkungan Muhammadiyah berarti reformasi pemikiran Muhammadiyah yang menekankan


semangat ekologi. Tanggung jawab publik Muhammadiyah tidak hanya sekedar pelayanan sosial,
kesehatan, dan dakwah, melainkan juga membentengi dampak merusak dari kebijakan dan sistem
ekonomi neoliberal.

Sebagai negara dengan tingkat kepercayaan terhadap agama yang tinggi, peran agama di Indonesia
tentu sangat signifikan. Tak bisa dipungkiri, di akar rumput, agamawan lebih banyak didengarkan oleh
masyarakat dibandingkan dengan kelompok lain seperti aktivis atau politisi. Maka, agama perlu
melakukan penetrasi lebih jauh dalam membina masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan.

Salah satu metode ampuh yang tak banyak dilirik oleh tokoh agama adalah melalui khutbah, seperti
khutbah Jumat. Khutbah Jumat menjadi media yang sangat efektif dalam mengedukasi masyarakat.
Lebih-lebih, selama ini isu lingkungan dianggap sebagai isu yang elitis.

Narasi-narasi lingkungan selama ini banyak disebarkan dengan media ruang-ruang diskusi di kelas dan
media internet. Sementara masih banyak masyarakat pedesaan yang tidak berpendidikan tinggi dan
belum terpapar isu-isu lingkungan. Meskipun di banyak tempat kerusakan lingkungan dilakukan oleh
industri atau korporasi besar, namun tak jarang juga lingkungan dirusak oleh masyarakat sendiri.

Misalnya di Pantai Bangsring, Banyuwangi, Jawa Timur. Di Bangsring, pantai dan laut rusak karena
penggunaan bom dan kimia untuk mencari ikan. Saat itu, populasi terumbu karang menurun hingga
18%. Ikan semakin sulit dicari. Di tengah-tengah kerusakan itu, muncul Ikhwan Arief, seorang aktivis
lingkungan yang lahir dari keluarga nelayan Bangsring sendiri.
Setelah lulus kuliah, ia membina masyarakat nelayan di sekitarnya untuk memperbaiki pantai dan laut
mereka. Kini, populasi terumbu karang kembali naik hingga 80%. Pantai Bangsring kemudian dimajukan
kembali menjadi tempat yang nyaman untuk mencari ikan sekaligus tempat wisata bagi turis.

Khutbah Jumat adalah kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan asupan ilmu pengetahuan yang
penting bagi kelangsungan hidup mereka dan anak cucu mereka. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 41 dari 100 masjid yang diteliti
menyampaikan khutbah jumat dengan muatan radikalisme. 17 di antaranya masuk kategori radikal
parah.

Topik-topik yang disampaikan itu meliputi ujaran kebencian, sikap negatif terhadap agama lain, sikap
penerimaan terhadap khilafah, sikap negatif sekaligus kebencian terhadap kelompok minoritas, dan
sikap negatif terhadap kepemimpinan perempuan.

Maka, mengubah khutbah menjadi lebih 'ramah lingkungan' ibarat sekali mendayung dua tiga pulau
terlampaui. Sekali mengubah, kita bisa menyelesaikan dua persoalan, yaitu persoalan edukasi
masyarakat tentang lingkungan, sekaligus menghentikan laju penyebaran paham radikalisme.

Tentu, isu lingkungan adalah isu yang menyangkut hajat hidup masyarakat secara langsung. Sehingga, ia
begitu penting dan mendesak untuk disyiarkan. Kita layak bergidik ketika membaca prediksi David
Wallace-Wells yang menyebut bahwa tahun 2050 Jakarta memiliki kemungkinan tenggelam. Indonesia
bersama negara-negara lain juga akan mengalami banjir yang lebih hebat, kebakaran yang lebih luas,
udara yang lebih kotor, dan sungai dan laut yang lebih tercemar.

Anda mungkin juga menyukai