Anda di halaman 1dari 12

PROPOSAL TUGAS AKHIR TEKNIK ARSITEKTUR

DOJO KARATE DI PALU

Disusun Oleh :

PRAYOGA
STB. F22117097

Dibimbing Oleh :
Altim Setiawan, ST, MT
NIP : 197105301999031002

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK ARSITEKTUR

JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS TADULAKO

2020/2021
A. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seni bela diri merupakan satu kesenian yang timbul sebagai satu cara
seseorang mempertahankan / membela diri. Seni bela diri telah lama ada dan
berkembang dari masa ke masa. Pada dasarnya, manusia mempunyai insting
untuk selalu melindungi diri dan hidupnya. Dalam tumbuh atau berkembang,
manusia tidak dapat lepas dari kegiatan fisiknya, kapan pun dan dimanapun. Hal
inilah yang akan memacu aktivitas fisiknya sepanjang waktu. Pada zaman
kuno,tepatnya sebelum adanya persenjataan modern, manusia tidak memikirkan
cara lain untuk mempertahankan dirinya selain dengan tangan kosong. Pada saat
itu, kemampuan bertarung dengan tangan kosong dikembangkan sebagai cara
untuk menyerang dan bertahan, kemudian digunakan untuk meningkatkan
kemampuan fisik / badan seseorang. Meskipun begitu, pada zaman-zaman
selanjutnya, persenjataan pun mulai dikenal dan dijadikan sebagai alat untuk
mempertahankan diri.

Seiring dengan pergeseran zaman serta cara hidup manusia modern yang
terjadi belakangan ini, seni bela diri bukan lagi menjadi sebuah cara untuk
mempertahankan diri semata, seni beladiri pada era modern kini lebih menjadi
sebuah alternatif olah raga yang diminati oleh masyarakat modern serta menjadi
ajang dalam menyalurkan minat dan bakat yang tentunya memiliki dampak yang
positif dalam masyarakat luas. Pada beberapa tahun belakangan, banyak aliran
beladiri yang masuk dan berkembang pesat di Indonesia. Mulai dari seni beladiri
tradisional sampai seni beladiri modern yang masing masing memiliki keunikan
serta ciri khas pada tiap gerakannya. Karate merupakan salah satu dari beberapa
banyak seni bela diri yang berkembang dan banyak di minati oleh masyarakat di
Indonesia.

Menurut sejarah, Karate adalah seni bela diri yang berasal dari Jepang.
Seni bela diri karate dibawa masuk ke Jepang lewat Okinawa. Seni bela diri ini
pertama kali disebut Tote yang berarti seperti Tangan China. Waktu karate
masuk ke Jepang, nasionalisme Jepang pada saat itu sedang tinggi-tingginya,
sehingga Sensei Gichin Funakoshi mengubah kanji Okinawa dalam kanji Jepang
menjadi karate agar lebih mudah diterima oleh masyarakat Jepang. Karate terdiri
dari atas dua kanji. Yang pertama adalah Kara dan berarti kosong. Dan yang
kedua, te, berarti tangan. Yang dua kanji bersama artinya “tangan kosong”.

(Rudianto,2010) karate merupakan sebuah seni beladiri yang dibawa oleh


beberapa masyarakat Indonesia yang menjalani pendidikan di Jepang dan
membawa kebudayaan Jepang saat menginjakkan kaki di tanah air. Kebudayaan
jepang yang mereka bawa dan sebarkan itu sendiri merupakan seni bela diri
tradisional karate yang mereka pelajari saat menjalani pendidikan mereka di
Jepang. Pada tahun 1963 beberapa mahasiswa Indonesia yang diantaranya adalah
Baud AD Adikusumo, Mocthar Ruskan dan Ottoman Noh mendirikan sebuah
dojo yang merupakan wadah untuk melaksanakan kegiatan seni bela diri karate
yang didirikan di Jakarta. Merekalah yang pertama memperkenalkan seni
beladiri dengan aliran Shoto-Kan di Indonesia, dan selanjutnya mereka
membentuk wadah untuk mempersatukan para atlit karate Indonesia dengan
mendirikan sebuah sebuah persatuan olah raga yang dinamakan
persatuanolahraga karate Indonesia (PORKI) yang diresmikan tanggal 10 maret
1964 di Jakarta.

Di Palu perkembangan seni bela diri karate juga berkembang cukup pesat
serta telah menghasilkan atlit atlit yang menghasilkan banyak prestasi baik dalam
lingkup daerah, nasional maupun internasional. Dilihat dari sarana dan prasarana
yang tersedia di Palu fasilitas yang dapat mewadahi aktifitas olah raga seni bela
diri karate ini dirasa belum cukup baik dalam mewadahi aktifitas para atlit karate
yang dimiliki oleh daerah ini. Dilihat dari pengalaman yang sudah ada, atlit atlit
yang ada di Palu justru lahir dari sekolah sekolah yang memiliki wadah kegiatan
olahraga ini dengan bentuk program ekstra di luar pelajaran sekolah dengan
peminatnya merupakan para siswa yang memiliki antusias dan semangat dalam
menekuni seni bela diri ini. Sehingga tidak jarang apabila para siswa yang
menekuni bela diri tersebut tidak memiliki ikatan lagi dengan sekolahnya, maka
secara otomatis mereka tidak lagi mendapatkan sarana serta wadah untuk
menampung aktifitas mereka dalam menjalani seni bela diri karate. Tak jarang
pula atlit atlit karate yang berhenti ditengah jalan di karenakan karena
keterbatasan sarana dan prasarana yang seperti disebutkan sebelumnya. Sungguh
disayangkan apabila hal tersebut terus saja terjadi mengingat potensi atlit atlit
yang berkembang di Palu sangat potensial apabila terus dapat di kembangkan
sehingga dapat mengharumkan nama bangsa dalam bidang olahraga.

Berdasarkan data lapangan, Saat ini terdapat 8 jenis aliran perguruan dan
8 buah dojo induk dari aliran / perguruan masing-masing di kota palu ada 22 dua
buah dojo ranting yang bertempat di sekolah-sekolah, instansi pemerintahan,
swasta, institusi ABRI dan kepolosian. Ini merupakan suatu kenyataan bahwah
minta terhadap karate berkembang dengan baik di kota Palu. Namun dalam hal
ini, di kota Palu Khususnya, sebagai ibukota Sulawesi Tengah belum tersedia
Dojo Karate yang memenuhi kualitas dan kuantitas yang memadai serta sarana
pelengkap yang berupa sarana akomodasi yang menunjang bagi para atlit guna
mengkonsentrasikan diri dan memperingan biaya yang harus dikeluarkan. Sebab
saat ada pertandingan –pertandingan atau pemusatan pelatihan sering tidak
mengenal waktu untuk terus berada di lingkungan kompleks olahraga,
pengembangan sistem pembinaan, penghargaan bagi para olahragawan terutama
atlit dan pelatih yang berprestasi, pengembangan organisai keolahragaan,
kuranya upaya peningkatan pembinaan pelatih, serta penyediaan sarana dan
prasarana olahraga karate, sehingga latihan karate ini menggunakan tempat –
tempat seperti lapangan Vatulemo, Stadion Gawalise, Jabalnur, Gedung
olahraga, yang menjadikan tempat ini beralih fungsi dari fungsi sebenarnya.

Latihan Karate yang di laksanakan pada beberapa tempat diatas selama


ini menimbulkan efek yang kurang nyaman. Hal ini dikarenakan fasilitas
penunjang latihan karate tidak terpusat di satu tempat. Sehingga untuk memenuhi
kebutuhan aktifitas karate serta untuk mewadai para atlit karate agar dapat
mengembangkan bakat dan prestasinya dituntut peran arsitektur untuk dapat
mencari solusi desain suatu dojo karate.
Dengan Gambaran tersebut maka penulis mengangkat judul tugas akhir “
Dojo Karate Di Kota Palu”, dimana penulis mencoba menganalisa persoalan –
persoalan yang ada, guna menemukan solusi desain yang tentunya disesuaikan
dengan disiplin ilmu penulis.

1.2 Rumusan Masalah


Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang
muncul adalah Bagaimana merancang Dojo Karate yang representative di Kota
Palu sebagai wadah fisik bagi pembinaan para atlit Karate.

1.3 Tujuan dan Sasaran


1. Tujuan
Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan
desain Dojo Karate di Kota Palu dalam upaya peningkatan prestasi atlit
daerah, sejalan dengan tuntutan perkembangan dan kemajuan olahraga di
Indonesia, dengan pendekatan metafora.
2. Sasaran
Arah dan sasaran penyediaan pembangunan dan sarana olahraga
diarahkan pada:
a. Identifikasi kondisi eksisting fasilitas olahraga khususnya
olahraga karate di palu.
b. Menganalisis kebutuhan sarana dan prasarana olahraga karate
untuk di jadikan acuan dalam menyusun konsep perancangan.
c. Mentransformasi konsep pendekatan metafora kedalam desain
fisik Dojo Karate di Palu.

1.4 Lingkup Pembahasan.


1. Penelitian dibatasi pada lingkup olahraga Karate di kota Palu.
2. Pembahasan lebih mengfokuskan kepada pendekatan simbolik metafor
dengan konsep perancangan pemahaman menuju keharmonisan antara
badan, jiwa, dan spirit, kedalam desain fisik Dojo Karate di Palu.
1.5 Sistematikan penulisan
BAB 1 PENDAHULUAN
Pendahuluan memuat suatu gambaran dan latar belakang mengapa
penelitian ini dilaksanakan, uraian tentang kedudukan masalah yang akan
diteliti dalam lingkup permasalahan yang lebih luas, maksud dan tujuan
penelitian bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Memuat uraian otomatis tentang teori, pemikiran dan hasil penelitian
terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan
penulis. Fakta –fakta yang dikemukakan bersumber dari dokumen yang
sudah atau belum dipublikasikan dan sedapt mungkin diambil dari sumber
aslinya, bukan mengutip dari kutipan.
BAB III METODE PENELITIAN
Bagian ini memuat secara rinci menjelaskan tentang sifat penelitian, jenis
dan sumber data, bahan dan alat yang digunakan untuk penelitian, teknik
pengumpulan data dan model analisis data yang digunakan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini memuat gambaran umum lokasi penelitian, tentang hasil
penelitian, dan pembahasannya yaitu membahas tentang hasil yang telah
diperoleh.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan, saran dinyatakan secara terpisah yakni :
1. Simpulan merupakan pernyataan singkat dan tepat yang dijabarkan dari
hasil penelitian dan pembahasan.
2. Saran dibuat berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukan kepada para
peneliti yang akan melanjutkan atau mengembangkan penelitian yang
sudah diselesaikan.
BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN DESAIN FISIK
Pada bagian ini adalah mengulas lebih tajam tentang pemaknaan judul
dalam menghasilkan luaran (output) yang mengarah kepada pembuatan
konsep rancangan fisik Dojo Karate Di Paluyang representatif yang sesuai
dengan ilmu arsitektur.
B. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Judul
Judul : Dojo Karate di Kota Palu
 Pengertian Dojo :
 Menurut Wikipedia Indonesia, 2009,Dojo adalah bangunan
tempat kompetisi, pertandingan, latihan, dan belajar (keiko) untuk
semua cabang beladiri jepang.
 Arti dojo sendiri memiliki arti “ tempat untuk memperlajari”
dalam bahasa jepang.

 Pengertian Karate :
Karate adalah seni bela diri yang berasal dari Jepang. Seni bela
diri ini sedikit dipengaruhi oleh Seni bela diri Cina kenpo. Karate
dibawa masuk ke Jepang lewat Okinawa dan mulai berkembang di
Ryukyu Islands. Seni bela diri ini pertama kali disebut "Tote”
yang berarti seperti “Tinju China”. Ketika karate masuk ke
Jepang, nasionalisme Jepang pada saat itu sedang tinggi-
tingginya, sehingga Sensei Gichin Funakoshi mengubah kanji
Okinawa (Tote: Tinju China) dalam kanji Jepang menjadi ‘karate’
(Tangan Kosong) agar lebih mudah diterima oleh masyarakat
Jepang. Karate terdiri dari atas dua kanji. Yang pertama adalah
‘Kara’berarti ‘kosong’dan yang kedua, ‘te’ berarti ‘tangan’ yang
dua kanji bersama artinya “tangan kosong”.

 Palu: Palu adalah Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Palu


merupakan kota yang terletak di Sulawesi Tengah, berbatasan dengan
Kabupaten Donggala di sebelah barat dan Utara, Kabupaten Sigi di
sebelah selatan, dan Kabupaten Parigi Moutong di sebelah timur.

 Pendekatan Arsitektur Metafora : Menurut Anthony C. Antoniades, 1990


dalam ”Poethic of Architecture” Metafora adalah suatu cara memahami
suatu hal, seolah hal tersebut sebagai suatu hal yang lain sehingga bisa
mempelajari pemahaman yang lebih baik dari suatu topik dalam
pembahasan. Singkatnya adalah menerangkan suatu subyek dengan
subyek lain dan berusaha melihat suatu subyek sebagai suatu hal yang lain.

Jadi, pemahaman judul …………………….

2.2 Tinjauan terhadap Pendekatan Metafora

Pendekatan Metafora adalah salah satu dari sekian banyak


pendekatan perancangan arsitektur yang ada. Pendekatan Metafora adalah
sebuah pendekatan dalam arsitektur yang memiliki konsep sebagai idenya
dan hasilnya adalah berupa makna yang terungkap secara konkrit maupun
abstrak dari perancang kepada pengguna atau pelaku bangunan sehingga
bermakna konotatif di samping sebagai fungsi utamanya sebagai
bangunan. Metafora atau kiasan pada dasarnya mirip dengan konsep
analogi dalam arsitektur, yaitu menghubungkan di antara benda-benda.
Tetapi hubungan ini lebih bersifat abstrak ketimbang nyata yang biasanya
terdapat dalam metode analogi bentuk. Perumpamaan adalah metafora
yang menggunakan kata-kata senada dengan “bagaikan” atau “seperti”
untuk mengungkapkan suatu hubungan. Metafora dan perumpamaan
mengidentifikasi pola hubungan sejajar.

Mario Botta dalam karyanya The Botta Berg Oase, Arosa-


Switzerland menunjukkan metafora tentang tubuh dan semesta. Bangunan
ini adalah sebuah spa center yang terletak di sebuah kawasan pegunungan
di Switzerland. Di sekelilingnya adalah hutan pinus dan cemara. Ia
membuat sedemikian rupa bangunannya sehingga terlihat seakan-akan
menyatu dengan hutan pinus dan cemara di sekitarnya. Permainan material
kaca dan baja, lalu diramu seperti “daun” menjadi bahasa metaforis untuk
menjawab dari satu sisi manusia “costumer service”. Di tempat itu
manusia seakan-akan diberi kesempatan untuk mengenali tubuhnya
sendiri, menikmati teknologi dan menikmati alam pegunungan yang indah.

2.3 Persyaratan Umum Perencanaan Bangunan Gedung Olahraga


Dalam Proses mendesain dan merencanakan bagunan Dojo Karate
ada beberapa ketentuan yang harus di perhatikan. Pada umumnya intansi
keolahragaan pemerintah menetapkan ukuran atau dimensi untuk
kelolahragaan nasional maupun internsional serta yang bersifat hiburan
atau rekreatif. Ada beberpa aspek yang menyangkut pertimbangan utama
dalam mendesain bangunan Dojo Karate atau fasilitas olahraga lainnya,
diantaranya :

• Lokasi yang didukung sarana transportasi


• Perparkiran yang dapat mewadai kendaraan secara maksimal
• Kontrol banjir penonton/arus manusia yang keluar saat yang
bersamaan harus jelas sehingga meminimalis kerusuhan
• Keterpaduan antara ruang olahraga dan fasilitas olahraga
• Keterkaitan dengan lingkungan

Beberapa persyaratan dalam pembangunan olahraga antara lain :

1. Kompartemensi penonton.
(Menurut Dirjen PU, Tata Cara Perencanaan Bangunan Stadion,
SNI-25-1991-03, Edisi ke-3, 1997)
• Daerah penonton sebaiknya di bagi dalam kompartemen –
kompartemen yang masing – masing berkapasitas 2000
orang hingga 3000 orang.
• Jarak antara kompatemen dipisahkan dengan pagar
transparan setinggih 1,2 m hingga 2 m.
• Antara 2 gang maksimal terdapat 42 tempat duduk.
• Antara gang dengan gang utama maksimal terdapat 72
tempat duduk.
2. Tribun Penonton.
a. Tribun penonton terdiri dari 2 tipe yaitu
1) Tipe lipat untuk membuat tempat duduk lebih fleksibel.
2) Titep tetap adalah tribun yang tidak fleksibel pemakaiannya.
b. Tribun untuk penyandang disabilitas harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut :
1) Diletakkan dibagian paling depan atau belakang dari tribun
penonton.
2) Lebar tribun untuk kursi roda minimal 1,40 m dan ditambah
sirkulasi minimal 0,90 m.
3. Tempat duduk.
Ukuran tempat duduk adalah sebagai berikut :
1. Ukuran tempat duduk penonton.
• VIP dibutuhkan lebar minimal 0,60 m dan maksimal
0,90 m dengan ukuran panjang minimal 0,80 m dan
maksimal 0,90 m.
• Tribun biasa lebar minimal 0,40 m dan maksimal 0,50
m dengan ukuran panjang minimal 0,80 m dan
maksimal 0,90 m.

Gambar 1Ukuran tempat duduk.


Sumber : DISPORA, 1994.
2. Tata letak tempat duduk .
• Tata letak tempat duduk VIP diantara dua gang
maksimal 14 kursi .
• Tata letak tempat duduk biasa di antara dua gang
maksimal 16 kursi bila satu sisi berupa dinding maka
maksimal 6 kursi.

• Setiap 8 – 10 deret tempat duduk terdapat koridor.


• Lokasi penempatan gang harus dihindari terbentuknya
perempatan .
• Kapasitas tempat duduk disesuaikan dengan daya
tampung penonton dalam satu kompartemensi.

Gambar 2Tata letak tempat duduk.


Sumber : DISPORA 1994.

4. Garis pandang penonton.


Seorang penonton pada suatu pertandingan mempunyai
kemampuan melihat titik – titik pada arena pertandingan melalui
atas kepala penonton dibawahnya dengan nyaman tanpa terasa
terganggu, yaitu :
• 150 mm jika melalui penonton bertopi.
• 100 mm untuk standar pandang normal.

Studi literatur

C. Metode Penelitian.

Anda mungkin juga menyukai