Anda di halaman 1dari 35

CRITICAL BOOK REPORT

“ KETERAMPILAN DASAR KARATE ”

DISUSUN OLEH :

NAMA : Ahmad Risandi


NIM : 6192421014
KELAS : PKO Reg B 2019

PENDIDIKAN KEPELATIHAN OLAH RAGA

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga mampu
menyelesaikan Critical Book Report (CBR). Tanpa pertolongan-Nya tentunya penyusun
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan tugas ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW
yang kita nanti- natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penyusun mampu untuk
menyelesaikan pembuatan Critical Book Report sebagai tugas dari mata kuliah
“Keterampilan dasar Karate ”.

Penyusun tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penyusun
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk hal ini, supaya CBR ini nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan
pada penulisan, penyusun mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Medan, Desember 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Karate merupakan olahraga bela diri yang mempunyai cirikhas yang dapat dibedakan dari
jenis olahragabela diri lainnya seperti Silat, Judo, Kung Fu,Kempodan bela diri lainnya. Perbedaan ini
dapat dilihat baik secara filosofi, teknik gerakan maupun atribut yang digunakan selama menjalani
proses latihan dan pertandingan. Karatejuga merupakan suatu cabang olahraga prestasi yang di
pertandingkan baik di areanasional maupun internasional.Karatemerupakan salah satu olahraga yang
mempunyai karakteristik gerak dan tehnik tersendiri, untuk itu harus dipelajari dan dilatih secara baik
dan intensif.Sebagai salah satu cabang olahraga prestasi, terdapat nomor yang dipertandingkan dalam
olahraga Karateyaitu, Kata dan Kumite. Kata adalahrangkaian beberapa Kihonyang disusun melalui
proses panjang pada masa lalu ke dalam sebuah bentuk khusus yang memiliki nilai keindahan, arti
filosofis yang tinggi, serta diatur oleh sebuah standardisasi yang baku dalam penerapannya. Kumite
adalah pertarungan dua orang yang saling berhadapan, saling menampilkan teknik-teknikterbaik dan
tetap tunduk dalam aturan yang sangat ketat(Wahid, 2007). Seiring dengan banyaknya pertandingan
yang dilaksanakan, prestasi olahraga karatedi Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Parameter kemajuan olahraga tersebut dapat dilihat dari hasil kejuaraan yang diikuti para karateka
Indonesia ditingkat regional dan internasional. Peningkatan prestasi tersebut tidak terlepas dari latihan
dan pembinaan yang terprogram dengan pendekatan metodekepelatihan secara ilmiah. Banyak unsur-
unsur karateyang bisa dilatih secara ilmiah misalnya : kekuatan dankecepatan. Seorang atlet
karateharus memiliki kekuatan karena tanpa kekuatan otot-otot yang terlatih dan kuat untuk
melakukan suatu teknik adalah hal yang sia-sia. Dalam karatedikembangkan teknik keterampilan
pukulan dan tendangan hinggaketingkat mahir yaitu tingkatan dimana seseorang dapat melakukan
suatu gerak pukulan dantendangan yang cepat dan tepat. Untuk memiliki gerakan pukulan dan
tendangan yang cepatdan tepat diperlukan latihan yang cukup lama (minimal3 tahun). Dengan
demikian tendangan merupakan salah satu teknik yang dominan dalam karate, karena dalam teknik
gerakan beladiri karatesecara khusus ditentukan oleh gerakan pukulan dan tendangan. Salah satu
teknik tendangan dalam karate adalah mawasigeri jodan, artinya tendangan ke arah kepalayang
digunakan untuk menendang sasaran adalahpunggung kaki.
B. Identitas buku

1.      Judul Buku            : Shotokan sebuah tinjauan alternatif terhadap aliran karate –do
terbesar didunia
2.      Edisi                      : 2007
3.      Pengarang             : Abdul Wahid
4.      Penerbit                 : PT RajaGrafindo Persada
5.      Tahun Terbit          : 2007
6.      ISBN                     : 978-979-769-122-6
BAB II
PEMBAHASAN ISI BUKU
BAB I
Pendahuluan
Dalam kurung waktu lebih dari 60 tahun sejak selesainya perang dunia ke-II unsur
kebudayaan dunia timur begitu membanjiri segala aspek kehidupan masyarakat barat yang
harus akan segala sentuhan yang bernilai filsafat tinggi dari masa lalu yang diharapkan bisa
menyegarkan kejenuhan mereka terhadap ke monoton and dunia modern yang bergerak
terlalu cepat bahkan tanpa reserve puri dualisme kebudayaan dari wilayah timur jawa adalah
yang termasuk pertama kali mereka minati dan salah satu dari sekian jenis budaya yang
paling gampang mendapat penggemar adalah olahraga yang memiliki ciri khas tampilan
kasim bernuansa tradisional sip ritual maupun menilai sportivitas ke timuran yang tidak
pernah mereka sekarang sebelumnya . Seni bela diri memenuhi nilai-nilai di atas dan segera
mendapat tempat kost dalam perkembangannya hingga saat ini mungkin dapat dikirim bahwa
karate rela cabang olahraga beladiri yang paling populer di dunia hingga kini dan nomor dua
di indonesia setelah beladiri tradisional princess tidak yang masih terhitung sepupu jauhnya
hal ini ini kemungkinan karena dalam penampilannya yang bersifat tegas efisien logis dan
simpel tegas karena diatur dengan kode etik baku yang berlandaskan dokter industri pinku
sayang membentuk semacam hierarki yang bersifat setengah militer, Efisien karena meskipun
terdiri atas banyak aliran namun bahasa pengantar dan substansi pokok yang digunakan nya
adalah seragam sehingga mempermudah standarisasi pemahaman nya di bagian dunia
manapun.
Logis kanaya dapat dikaji secara ilmiah dari berbagai sudut pandang berbagai cabang
ilmu pengetahuan meskipun ada beberapa pihak yang menyaksikan keberadaannya sebagai
ilmu pengetahuan (dilihat artikel berjudul karate is not science ) oleh Rob Redmont di
wwww.shotokan planet.com) namun hal ini didn't diperdebatkan kembali bila kita mau
melihat lagi definisi dari sebuah ilmu pengetahuan ( lihat uraian soerjono soekanto dalam
sosiologi suatu pengantar , rajawali pers 1990).simpel karen bersifat sangat sederhana dalam
praktik latihannya, yaitu tidak mengenal adanya variasi alat pelengkap maupun ritual yang
terlalu bertele -tele seperti mayoritas jenis beladiri berbasis tradisional lainnya.
Lazimnya perkembangan sebuah kemajuan pada masa kini, maka tidaklah
mengherankan apabila eropa dan amerika sudah lebih dulu mencapainya dibandingkan kita
yang notabene sesama pewaris budaya timur namun hal itu tidak berlangsung lama karena
pengaruh globalisasi yang dimulai pada daerah 1990 an dapat dikatakan bahwa segala
informasi tentang karate dapat dengan mudah diakses oleh siapapun lewat berbagai macam
media yang tersedia. Buku majalah internet video adalah yang paling umum kita ketahui di
luar tempat berlatih formal indonesia sendiri khusus untuk mengukur dan majalah yang
bermutu pernah ada di era 1980 sampai 1990 an tetapi tidak jelas nasinya kemudian mendarat
lenyap tanpa jejak (mungkin salah satu faktor utama waktu itu adalah krisis moneter di akhir
1990 an) padahal kembang karate sebagai sebuah modern martil sport yang dimulai dari awal
abad 21 menuntut pro kajian dan penggalian secara terus-menerus terhadap semua aspek yang
terkait dengannya.
Hal ini berdampak besar dan terasa tentu saja pada prestasi di tingkat mancanegara
yang terlalu jauh meninggalkan kita untuk level asia saja indonesia tampak sangat susah
untuk meraih prestasi apalagi di level dunia di samping masalah klasik yaitu dana ada tiga
faktor utama dalam bahasa jepang disebut( shin -Gi-Tai) yang sangat berperan penting .
Tiga faktor tersebut adalah
1.shin (langit) atau pemahaman spirit/ ketika/ moral
2.Gi (bumi) atau penguasaan skill /teknik
3.Tai (manusia ) atau perkembangan fisik
#Spirit yang sempurna hanya bisa dipahami secara total lewat upaya "pendoktrinan"
terus-menerus lewat teori dan diskusi berbagai cabang ilmu sosial tentang makna hakiki dari
semangat seorang karateka dalam mencapai jiwa Karate-do yang sesungguhnya. Cabang-
cabang ilmu yang dimaksud antara lain: Filsafat, Sejarah, Politik, Psikologi, Sastra, Bahasa,
dan sebagainya. Helwy #Skill dan fisik yang sempurna hanya bisa dikuasai lewat
penyempurnaan teknik- teknik karate konvensional yang telah melewati kajian dan penerapan
semua cabang ilmu pasti serta alam yang memang terbukti terkait dengannya. Cabang-cabang
ilmu yang dimaksud antara lain: Anatomi, Fisiologi, Fisioterapi, Matematika, Faal, Fisika,
Farmasi, 0 Gizi, dan sebagainya. igo Uraian lengkap tentang tiga hal di atas inilah yang
sangat jarang dijumpai dalam literatur berbahasa Indonesia maupun penyampaian langsung
oleh para instruktur di setiap latihan. Semestinya harus diatur paling tidak porsi 20 persen
(minimum) dalam sebuah program/ paket latihan yang terpadu untuk pembahasan faktor
nomor satu. Sementara itu, untuk faktornomor dua dan tiga lebih bersifat ilmiah dengan
melibatkan laboratorium lmu keolahragaan vang ada, yang seyogianya melakukan
eksperimen serta penelitian terus-menerus sebelum dibawa para instruktur ke dalam sebuah
metode pelatihan. Dalam buku ini saya mencoba menyampaikan informasi serta ulasan
selengkap mungkin vang bisa saya peroleh tentang tiga faktor tersebut di atas; dimaksudkan
sebagai informasi alternatif dan analisis pembanding terhadap kerangka karate konservatif
yang selama ini dikenal; khususnya pada Karate-do aliran Shotokan di Indonesia. Bukanlah
sebagai sebuah pengakuan arogan bahwa tidak pernah ada pihak lain yang pernah lebih
dahulu melakukan hal semacam ini, namun umumnya bila ada hanya bersifat sebagian kecil
dari sebuah kategori yang dapat disebut menyeluruh. Dan ada juga yang menguasai, namun
hanya dipakai dalam kalangan intern perguruan/döjonya tanpa pernah dipublikasikan secara
luas. Dengan demi- kian, bagi kita yang "kurang beruntung" dalam hal kesempatan seperti

mereka itu perlu sekali sebuah terobosan berani untuk belajar secara otodidak tanpa harus
mengeluarkan biaya yang ekstra besar (ke Jepang misalnya), namun tetap sesuai jalur agar di
kemudian hari tidak lagi dipandang sebagai Karate-ka yang buta akan Karate-do. Bahasan dan
hal yang sudah umum apalagi sudah secara luas diketahui sedapat mungkin tidak saya
masukkan di sini. Sementara itu, bahasan yang tidak umum dan "asing" kedengar- annya akan
saya coba sajikan secara berurutan sesuai dengan standardisasi baku penelitian ilmiah dengan
metode deduksi/umum ke khusus, dan mencoba mengikuti pola urutan umum dalam sebuah
latihan Karate untuk pengulasan bahasan-bahasan utama, yaitu Kihon lalu Kata dan terakhir
Kumite.
Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman para pembaca yang terbiasa
dengan hal tersebut dalam hal pelatihan Karate. Buku ini diharap- kan bisa menjadi
pegangan/textbook utama bagi para pelatih dan atlet yang "sudah jadi". Dan bagi para
karateka secara umum, buku ini diharapkan dapat menjadi suplemen referensi terutama bagi
mereka yang sudah memiliki tingkat Kyu 4 hingga Yudansha (pemegang sabuk hitam).
Terakhir sebagai manusia biasa yang penuh kekurangan dan kesalahan, baik yang disengaja
maupun tidak, tentunya saya sadari bahwa buku ini tidaklah cukup untuk sekadar mendekati
nilai 1 persen dari sebuah kesempurnaan yang bisa difungsikan untuk memuaskan kebutuhan
informasi yang lengkap. Untuk itu, saya dengan rendah hati sangat mengharapkan segala
saran, masukan, dan kritik yang bersifat membangun tentang isi buku ini. Hal ini tak lain
demi peningkatan kualitas pemikiran kita bersama sebagai sesama pencinta Karate-do.
"Bagaimanapun kita manusia adalah makhluk yang lemah, namun kita adalah makhluk yang
berpikir" (Blaise Pascal, 1623-1662).

BAB II
A. ARTI HARFIAH
Jakarta Menurut-2002 T. Chandra) arti kata dalam Karate Kamus-do adalah Bahasa sebagai
Jepang berikut-Indonesia: (Evergreen Japanese Course,
KARA = kosong/ hampa/ tidak berisi
TE = tangan (secara utuh keseluruhan)
DO = jalan/ jalur yang menuju suatu tujuan/ pedoman
Menurut Chuck Norris dalam A Dictionary of the Martial Arts (Ohara Publications
Inc., Burbank CA. terminologi Karate-do dijabarkan sebagai: " a kind of oriental marial art"
atau dalam bahasa Indonesianya sebuah jenis seni beladiri dari Timur. " SENI sendiri menurut
Plato adalah hasil karya manusia sesuai kejiwaannya untuk sebuah tiruan alam. Sementara itu,
beladiri menurut W.J.S Poerwadarminta adalah sebuah frasa gabungan yang berkonotasi
kepada upaya atau tindakan seseorang dalam mempertahankan keselamatan jiwa raganya dari
pihak lain Dari kesimpulan semua penjelasan di atas, saya mendefinisikan Karate-do secara
lengkap sebagai: " Sebuah metode khusus untuk mempertahankan diri melalui penggunaan
anggota tubuh yang terlatih secara baik dan alami yang didasari dan bertujuan sesuai
nilai filsafat Timur. " Memang dalam keseharian frasa Karate lebih sering digunakan
ketimbang Karate-do, hal ini agaknya lebih disebabkan oleh peran media massa yang
memopulerkan, namunsekaligus melencengkannya dari makna awal. Di samping itu, badan
dunia resmi yang memayunginya pun (WKF World Karate Federation kita mengatakan
bahwa saat Do pada nama resminya. Dengan demikian, bolehlah rasanya ini istilah Karate
agaknya lebih cocok dipakai untuk mengacu pada penegasan unsur olahraganya saja (Karate
is a Martial Sport) dan istilah Karate-do agaknya lebih cocok dipakai sebagai sebuah
penegasan terhadap keseluruhan ruang lingkup yang berkaitan dengan seni beladiri ini
(Karate-do is not just a sport, it's a martial art). Peran penting frasa pertama juga patutlah tak
dinafikan begitu saja dalam hal perubahan eksistensinya hingga dapat menjadi ikon sebuah
kategori olahraga popular yang sangat profesional dan manajerial dewasa ini. Karate bahkan
dapat bersaing dengan jenis olahraga populer lain yang notabene murni bersifat permainan
dan hiburan.
B.IDENTITAS
Seperti umumnya jenis olahraga/ seni bela diri lain, maka Karate-do juga memiliki unsur-
unsur
khusus sebagai pembentuk identitas khasnya, di mana unsur tersebut tidak boleh tidak harus
tersedia. Terdiri atas tiga unsur pokok, yaitu:
1. subjek penggerak;
2. sarana penunjang;
3. program-program permanen.
1. Subjek Penggerak;
mendorong dijabarkan murid Semua disebut sebagai para orang Karate murid berikut yang-
ka. lebih Sementara terlibat. giat dalam berlatih itu, pengelompokan disiplin atau
menghilangkan Karate-do dalam baik beberapa kejenuhan sebagai level instruktur, lebih
dilakukan spesifiknya maupun agar
a. besar Tingkat (10/9 Kyu) atau ke kecil pemula (18/4, mereka) sebagai disebut pembeda
Kohai dan yang umumnya mengacu level pada ini dimulai tingkat dari penguasaan bilangan
akan digunakan warna substansi yang sampai diadopsi teknik saat oleh dasar ini sebagai
Gichin perguruannya pembeda Funakoshi. Penggunaan tingkat dari, sistem dan biasanya ikat
Judo pinggang oleh umum Jigoro dengan dimulai Kano berbagai dengan lazim
warna putih bagi Kohai yang baru memulai latihan
b. mengacu Tingkat Dan pada atau tingkat lanjutan penguasaan/ mahir, mereka disebut
Yudansha dan umumnya level ini di
Shotokan dimulai dari bilangan kecil jiwa (1) lewat ke besar pemahaman (9/10) sebagai
teknik berdasarkan pembeda yang substansi lebih (meskipun filosofi perguruannya pada
beberapa. Warna ryu/ ikat pinggang Choi Yudansha ada banyak istilah yang aliran ada
beberapa yang paling umum dipakai adalah hitam Kiyo berikut: lebih spesifik dalam variasi
hal penyebutan warna yang dilakukan). Khusus foto nama, yaitu sebagai berikut :
1) Sempai, berarti senior dalam bahasa Jepang. Umumnya di Shotokan digunakan para Kohai
untuk memanggil mereka yang memiliki jabatan sebagai asisten pelatih/pelatih biasa dengan
kualifikasi Kyu 3 - Dan 3. 2) Sensei, berarti guru dalam bahasa Jepang. Umumnya di
Shotokan digunakan untuk penyebutan Yudansha dengan kualifikasi Dan IV - V atau pelatih
kepala. 3) Renshi, berarti guru ahli/utama dalam bahasa Jepang. Umumnya di Shotokan
digunakan untuk penyebutan Yudansha dengan kualifikasi Dan VI - VIII. Istilah lain adalah
Dai Sensei atau Kyoshi. ni 4) Shihan, berarti guru besar/mahaguru dalam bahasa Jepang.
Umumnya di Shotokan digunakan untuk penyebutan Yudansha dengan kualifikasi Dan IX -
X. Istilah lain adalah Hanshi 5) Beberapa varian lain untuk pemimpin tertinggi perguruan
dalam seni beladiri Jepang adalah: Menkyo, Kaiden, Osho, Soke, Doshu, Taisho, Sosho, O
Sensei, Kaiso, Shodai, Kaicho, Kancho, Meijin (lihat majalah Jurus no.: 07 tahun 1999,
halaman 20-21), 2.
Sarana Penunjang Sarana penunjang meliputi beberapa hal berikut. a. Pakaian Pada
awalnya di Okinawa tidak ada pakaian khusus untuk berlatih ilmu beladiri apa pun, bahkan
dalam beberapa foto dokumentasi dari abad ke 19 terlihat para praktisi ilmu beladiri hanya
mengenakan celana saja tanpa baju. Baru setelah mereka berinteraksi dengan disiplin ilmu
beladiri Jepang lainnya di awal abad ke-20 (dipelopori Gichin Funakoshi yang mengunjungi
Dojo Kodokan milik Jigoro Kano) hal tersebut dapat diseragamkan hingga kini dengan
memodifikasi seragam Judo yang telah ada. Pakaian untuk berlatih ini disebut sebagai Karate-
gi atau Do-gi atau Keiko-gi, terdiri atas semacam jaket berlapis dua (Uwagi dan celana
panjang longgar (Zubon) yang berwarna putih; serta sebuah ikat pinggang tebal dari kain
yang dijahit rangkap (Obi yang dililitkan dua kali dan berwarna sesuai tingkatan yang di-
capai penyandangnya (lihat pembahasan Sub bab 1.A di atas!). Bahan yang paling baik untuk
digunakan adalah jenis kain kanvas yang tidak terlalu tebal seperti halnya bahan kanvas pada
seragam Judo, namun memiliki daya tahan yang sama. Agaknya pakaian ini memang sangat
berperan besar dalam per- kembangan Karate ke seluruh peniuru dunia karena ia memiliki
semacam keluwesan tersendiri sehingga terbukti bisa dengan mudah beradaptasi
secara universal bagi para praktisi yang berasal dari belahan dunia mana pun atau unsur etnis
maupun religius apa pun juga Dewasa ini sesuai perkembangan mode dan teknologi perteke
tilan telah banyak diciptakan Karate-gi dengan model, bahan dan bahkan warna yang berbeda
dengan model asli tradisional Jepang (terutama sekali terjadi pada Karate di Amerika don
Eropa). Namun, bahan yang terbukti paling baik adalah vane berbahan dasar katun yang telah
teruji dalam penyerapan keringat selama berlatih. Tercatat nama Tokaido sebagai salah satu
perintis awal dan produsen Karate-gi bermutu yang paling dikenal luas di dunia. durau e
molon E b. Tempat Disebut Döjo, yang berarti "tempat untuk mempelajari" dalam bahasa
Jepang, dan pada zaman lampau lebih mengacu pada arti “"aula untuk bermeditasi dalam
kuil". Dalam sebuah Dojo tradisional di Jepang ada banyak aturan yang sangat mengikat dan
per khusus untuk guru) serta penggunaan Tatami (matras) dan Zori (sandal khusus dari kayu
dan jerami). Inilah agaknya hal yang mendasari kesakralan eksistensi sebuah Dojo secara
mistis religius bagi para penganut paham karate tradisional yang konservatif pada akar
budaya Sino-Jepang; suatu persepsi yang mendapat penentangan keras dari praktisi Karate-do
di dunia Barat yang sangat anti pada sesuatu yang bersifat irasional dan non-logika. Bahkan
saat ini banyak para guru besar berpengaruh asal Jepang sendiri seperti Hirokazu Kanazawa
dan Hitoshi Katsuya yang secara tegas berani menolak pene- rapan sistem Dojo lama (Shiai-
jo) tersebut. Bagaimanapun juga, secara umum dewasa ini sebuah Dojo sudah dapat dikatakan
memenuhi syarat standar apabila memiliki luas yang cukup, berlantai datar, berdinding
dengan ventilasi yang cukup. dan memiliki atap yang agak tinggi. Tentunya hal di atas harus
dibarengi dengan kebersihan dan kenyamanan serta beberapa sarana lain yang bersifat
tambahan sesuai kebutuhan. atakrama lama, seperti penempatan altar dan Kamiza (tempat
duduk c. Alat Tidak ada suatu jenis alat khusus apa pun yang harus dipakai dalam sebuah
latihan karate. Penggunaan alat tradisional Jepang seperti Makiwara (semacam samsak) lehih
disebutkan oleh faktor kebiasaan setempat. Terbukti kini sangat banyak model lt vang sangat
sukses dipakai sebagai penunjang program latihan yang menekankan pada penerapan fungsi
ilmu faal dan anatomi tubuh secara tepat dengan inovasi yang berteknologi modern yang telah
teruji. 3. Program-program Permanen Program-program permanen yang dimaksudkan di sini
adalah rangkaian/proses kegi- atan yang harus ada dan berlangsung secara berurutan dalam
sebuah latihan Karate-do dalam Dojo. Sesuai aslinya yang berdasarkan prinsip standar ajaran
Budo (seni beladiri Jepang), maka minimal ada delapan buah proses wajib dalam sebuah
latihan formal seni beladiri Karate-do yang mana pemaparan proses-proses tersebut dijelaskan
dengan urutan sebagai berikut. Rei-Shiki/upacara/tradisi penghormatan pembuka; b.
Taiso/senam/stretching pembuka; a. C. Kihon; d. Kata; e. Kumite; f. Mondo/diskusi tentang
materi latihan; g. Taiso penutup; h. Rei-Shiki penutup. Rei-Shiki pembuka dan penutup sama
bentuknya, biasanya peserta duduk dengan posisi Sei-za/Za-zen (di Jepang orang lebih
mengutamakan posisi duduk "ala tukang jahit“ karena dianggap lebih sopan dibandingkan
posisi duduk "ala bunga teratai") dalam beberapa lajur sesuai tingkatan.
Lalu diawali dengan pembacaan Dojo-Kun dan Niju-Kun (di Indonesia diganti
dengan Sumpah Karate), melaksanakan Mokuto
(mengheningkan/mengonsen-trasikan/merelaksasikan pikiran, bukan makuso/mokuso untuk
pengucap- annya!), dan terakhir melakukan Shomen-Ni-Rei (penghormatan terhadap yang
ada di depan peserta Rei-Shiki, di Jepang hal ini mengacu pada Mufudakake/ papan kayu
kecil di dinding utama sebuah Döjo yang berisikan nama-nama para pendiri/guru ryu tersebut.
Di Indonesia hal ini diganti dengan bendera negara dan lambang perguruan). Semua proses
itu dilakukan secara bersama-sama. Selanjutnya, barulah dilakukan Sensei-Ni-Rei
(penghormatan kepada guru), lalu Otagai-Ni-Rei (penghormatan terhadap sesama peserta Rei-
Shiki), dan terakhir Dojo-Ni-Rei (penghormatan kepada Döjo). Semua bagian Rei-Shiki ini
dilakukan dengan posisi Za-Rei (penghormatan sambil duduk), diiringi pengucapan kata OSH
yang merupakan salam resmi hampir semua perguruan Budo di Jepang. Taiso akan dibahas
pada Bab IV. c. Kihon akan dibahas pada Bab V. b. dog pnisisdevoo od d. Kata akan dibahas
pada Bab VI. e. Kumite akan dibahas pada Bab VII. Mondo; arti sebenarnya adalah
pertemuan resmi antara guru dengan para siswanya dalam sebuah Dojo yang berasal dari
tradisi kuno Zen (sekte utama agama Budha di Jepang). Di sini dibahas lewat dialog maupun
diskusi tentang pokok bahasan latihan yang telah diberikan. Pada tradisi aslinya para guru
akan mengakhiri dengan sebuah Koan/frasa singkat yang tak memiliki arti logis, namun lebih
pada nilai filosofis. f. Dalam sebuah latihan olahraga apa pun dikenal adanya
perbendaharaan istilah-istilah khusus sebagai tanda dari pelatih/guru dalam memberikan
sebuah perintah maupun aba-aba. Dalam Karate ada banyak istilah yang resmi dipakai dan
berlaku standar di seluruh dunia yang semuanya berasal dari kosa kata dalam bahasa Jepang.
Pada halaman berikut ini beberapa frasa dan istilah yang sering dipakai dalam sebuah proses
latihan Karate-do di Jepang.

C.filosofi
Materi dalam sub-bab ini berkaitan sangat erat dengan sekte Zen yang sangat
berperngaruh dalam semua aspek mental-spiritual masyarakat Jepang yang otomatis memiliki
peran penting yang turut memberi warna terhadap esensi murni yang menjadi dasar Karate-
do. Menurut Prof. H.M. Arifin, M.Ed. (Menguak Ajaran Agama-agama Besar, Golden
Terayon Press, 1997) ajaran pokok Zen bertujuan untuk mencapai pencerahan jiwa lewat
usaha sendiri secara tekun dan ja bisa diterima dengan mudah oleh orang Jepang yang
sebelumnya telah mengenal ajaran Shinto karena Zen bisa mengakomodasi nilai-nilai budaya
asli orang Jepang ke dalam penafsiran khusus ajaran Budha. Menurut buku "Jepang Dewasa
Ini" (International Society for Educational Information, Inc. bekerja sama dengan Kedutaan
Besar Jepang di Indonesia, 1989) ada sebelas periode utama dalam sejarah budaya Jepang: 1.
Periode Jomon (8000 SM - 300 M): 2. Periode Yayoi (300 SM - 300 M); 3. Periode Yamato
(300 - 593); 4. Periode Asuka (593 - 710); 5. Periode Nara (710 - 794); 6. Periode Heian (794
- 1192): 7. Periode Kamakura (1192 - 1338); 8. Periode Muromachi (1338 - 1573); 9. Periode
Azuchi Momoyama (1573 - 1603); 10. Periode Edo (1603 - 1868); 11. Periode Modern (1868
- sekarang).
Bentuk awal Shinto (shamanisme/animisme Jepang kuno) mungkin dimulai pada pe-
riode Jomon, sedangkan kontak budaya dan perdagangan dengan Cina dan Korea dimulai
secara intensif pada periode Yayoi. Pada periode Yamato ajaran Kong Fu Tsu mulai dikenal
luas termasuk penggunaan aksara Kanji dan kemudian disusul masuknya agama Budha pada
periode Asuka. Sekte Chan dari agama Budha Mahayana untuk pertama kalinya dibawa oleh
pendeta Eisai (aliran Rinzai) pada periode Heian bersamaan dengan munculnya sebuah kelas
baru dalam strata sosial Jepang, yaitu Samurai, golongan prajurit yang awalnya berasal dari
kalangan petani. Sekte Chan gelombang kedua dibawa oleh Dogen (aliran Soto) dan
kemudian bertransformasi (setelah bersinkretisme dengan Shinto) menjadi apa yang disebut
sebagai Zen pada periode Kamakura. Dalam kaitan dengan sejarah filsafat dunia Barat, sangat
menarik untuk membanding kan Zen dengan dua buah aliran besar yang pernah ada, yang
pertama adalah ajaran asli.
Filsafat aliran Klasik dari "Tiga Besar" Filsuf Yunani Kuno, yaitu Sokrates,
Aristoteles, Plato, e vang kedua adalah pandangan Blaise Pascal yang termasuk dalam filsuf
aliran Rasiona- hame Dalam kaitan dengan Budö, Zen mencapai puncak perkembangannya
pada periode Edo di bawah pengaruh besar Takuan; pendeta yang juga ahli pedang ternama.
Menurut legenda, ia adalah guru dari Miyamoto Mushasi, samurai terbesar Jepang pada masa
feodal Shogun. BE Takuan mendirikan kuil Tokai-ji di Shinagawa, tempat ia sering menerima
para ahli dari banyak jenis ilmu beladiri yang ingin mencapai kesempurnaan jiwa secara Zen.
Sebelumnya semua jenis teknik pertempuran di Jepang disebut Bugei, yang hanya berisikan
konsep disiplin fisik tanpa etika moral apa pun. Dari sinilah ia lalu menulis dua buah buku
"Hontai" dan "Seiko" yang keduanya berisi tuntunan nilai filosofis tingkat tinggi yang di ke-
mudian hari dipakai sebagai semacam kitab induk semua perguruan Budo/seni beladiri
mendasarkan ajarannya pada disiplin jiwa/moral maupun fisik/raga. Kedisiplinan, rasa hormat
pada orang lain, sifat pantang menyerah adalah beberapa produk "sampingan" dari filosofi
Zen yang kelak menjadi semacam pedoman tak tertulis yang membentuk keunikan karakte-
ristik sosial masyarakat Jepang di semua bidang kehidupan sampai saat ini. Hal ini sangat
didukung oleh langkah politik keshogunan Tokugawa yang menerapkan politik isolasi total
mulai tahun 1639 sampai 265 tahun berikutnya, suatu hal yang mendorong kepada paham
ultranasionalisme dan chauvinisme yang agak bercorak semi fasis bagi bangsa Jepang di
kelak kemudian hari. Saat itu mereka benar-benar menutup seluruh pintu utama pelabuhan
laut Jepang bagi dunia luar, di mana hal ini dilakukan untuk membendung pengaruh negara-
kolonial besar Eropa yang pada abad ke-16 mulai masuk dan mencoba memengaruhi
masyarakat bawahnya terutama dengan pengenalan senjata api dan penyebaran agama
Kristen; dua potensi asing yang dianggap sangat berbahaya bagi kelestarian struktur sosial-
budaya asli ala Shintoisme yang selama ribuan tahun "melindungi" Nippon (nama asli
Jepang) dari invasi bangsa asing. yang berjudul yang negara a Berikut adalah beberapa
prinsip utama dari sekian banyak kode etik Zen pulkan oleh Takuan. yang dikum- Zen selalu
menekankan pada pengetahuan atas Satori (intuisi) dan menolak dengan Fltegas kepatuhan
akan seluruh aspek ritual keagamaan Budha asli India seperti patung, gambar, upacara, dan
lain-lain. Ajaran utama Zen menyatakan bahwa manusia terpisah th dari semua benda tetapi
pada saat yang bersamaan ada pada segala realitas. Dalam Go Rin no Sho, Musashi
menjelaskan esensi Zen dalam pemahamannya sebagai seorang S Samurai: "Anda boleh saja
menghormati sang Budha, namun Anda tidak boleh tergan- tung padanya." Satori adalah
pembukaan pikiran dan jiwa berdasarkan hasil belajar dan pengalaman yang bertujuan untuk
mengungkapkan realitas akhir sebuah permasalahan yang bernur bungan dengan diri sendiri
dan alam semesta. Dilambangkan dalam bentuk In to Yo (pola simbol energi
positif-negatif/Yin Yang ala Jepang).
Mutekatsu adalah ajaran awal Takuan yang berbunyi "Memukul adalah tidak
memukul, sebagaimana membunuh adalah tidak untuk membunuh"; yang mungkin bisa
dijelaskan sebagai prinsip yang menuntun seseorang untuk menaklukkan musuhnya dengan
cara menghindari sejauh mungkin sebuah pertarungan atau pertarungan tanpa tangan maupun
senjata. Mutekatsu sebenarnya berasal dari Muto, sebuah doktrin pertarungan spiritual "tanpa
pedang" karya Yagyu Tajima dari periode Azuchi Momoyama.
Mushotoku adalah ajaran yang mengutamakan pelaksanaan sebuah tindakan tanpa no
mengharapkan pamrih apa pun. Fudoshin berarti keabadian dalam hati. Keadaan di mana
pikiran seorang petarung tidak b dihantui oleh ketakutan akan bahaya atau serangan apa pun.
Oleh Musashi ia diibaratkan sebagai lwa no Mi atau tubuh seperti batu. Hontai adalah
keadaan sadar dan waspada penuh dengan pikiran dan emosi yang tetap terkontrol baik dari
seseorang dalam sebuah pertarungan. Hyoho adalah metode strategi pertarungan yang ditulis
oleh Miyamoto Musashi yang menekankan pada kondisi yang ia sebut sebagai "menikmati
sebuah pertarungan". Bertujuan agar kesempurnaan kepercayaan diri bisa dicapai dengan
menemukan hubungan antara pikiran/rasio dengan kemampuan/teknik bertempur. Manabu
adalah prinsip yang berbunyi "pemahaman akan sesuatu yang baru bisa dicapai dengan
meniru dari pemahaman sesuatu yang lebih dulu ada". Musha-shugyo adalah prinsip yang
berbunyi "pemahaman sempurna akan sesuatu dicapai lewat banyak pengalaman",
dilaksanakan dalam bentuk menimba ilmu ke banyak guru yang berbeda-beda.
Di masa lampau untuk mengantisipasi seorang Budôka yang kerap melakukan
musha-shugyo (agar tidak mengungguli teknik sebuah ryu tempat ia belajar), maka ryu
tersebut akan membuat Densho (dokumen rahasia) yang berisikan Gokuhi (teknik-teknik
simpanan khusus tertinggi) yang tak akan diberikan pada orang yang tidak diyakini
kesetiaannya pada ryu yang bersangkutan. Mizu-nagare adalah prinsip yang berarti "mengalir
bagai air", sering diterjemahkan sebagai posisi tubuh yang ideal bak air yang harus mengalir
lancar melewati tubuh untuk dapat menghasilkan kesempurnaan dari sebuah gerakan. Zanshin
adalah prinsip kewaspadaan akan segala hal yang mungkin akan terjadi setelah dilakukannya
sebuah serangan dalam sebuah pertarungan. No aru Taka wa tsume O kakusu adalah prinsip
yang berarti "rajawali tak pernah menunjukkan cakarnya", lebih mengacu pada konteks
kerendahhatian yang akan mem- bawa pada kemenangan. Dianalogikan bahwa orang yang
cerdas tak akan pernah me- nyebut dirinya cerdas pada orang lain. Do yang berarti jalan
merupakan konsep moral, etika, dan sekaligus estetika yang me- nuntun pengikutnya pada
keharmonian spiritual-material. Dalam hubungan dengan beladiri ia digunakan sebagai kode
disiplin wajib yang membedakan Budo (seni beladiri/ pertarungan) dengan Jutsu (teknik
pertarungan).
Ai yang berarti cinta atau kasih merupakan konsep dasar dari seluruh jenis Budo di
Ai yang Jepang, dan menurut Zen ia dipakai sebagai pengenalan dasar oleh manusia dalam
me- ngatur alam semesta agar menjadi kekuatan untuk menjaga keharmonisannya. la bersifat
u selalu memutar karena harus menjadi titik pertemuan seluruh energi yang ada dan karena
itulah ia digambarkan dalam bentuk diagram yang lazim dikenal sebagai simbol positif-
negatif Timur (Yin Yang di Cina adalah bentuk paling awal yang dikenal, dan berasal dari
ajaran filsafat Tao). Dalam pemahaman lebih lanjut ia diterjemahkan sebagai rasa simpati,
toleransi, dan bahkan cinta di antara seluruh umat manusia. Ai akan dapat berjalan bila
disatukan dengan Ki, yang berarti napas dari alam itu sendiri/energi yang asli. Perte- muan
keduanya inilah yang disebut dengan Ki-ai, yang dalam praktiknya pada Budo menjadi
sebuah pengeluaran suara yang keras pada saat sebuah teknik mencapai dsd Kime/ledakan
puncaknya. Kime dan Ki-ai sendiri secara teoretis fisiologis bisa berhasil dengan baik apabila
telah menguasai teknik pernapasan tertentu (Kokyu) agar fungsi ute Hara sebagai pusat
sumber energi dan daerah penyeimbang tubuh manusia bisa dicapai ms seoptimal mungkin.
Dari analisis ilmu anatomi kedokteran, Hara bisa dijabarkan: secara umum sebagai sebuah
medan cinnabar/zona pengumpulan energi yang berlokasi di dalam perut bagian tengah-dalam
sekitar 5-10 cm dari pusar; secara detail sebagai sebuah titik yang merupakan titik tengah dari
organ-organ tubuh berikut: ruas paling bawah dari tulang belakang, ikat-ikat sakroilium,
tulang kelang- kang, otot lurus perut, nadi akar, usus bawah, aorta utama bagian bawah, arteri
utama bagian bawah, usus 12 jari, usus besar bagian atas. Dewasa ini dalam menilai
keberhasilan latihan sebuah Kime sering distandarkan lewat keberhasilan melakukan
Hishigi/Shiwari, yaitu teknik pemecahan dan pema- tahan benda-benda keras dengan anggota
tubuh. Ri no shugyo, waza no shugyo berarti mempelajari alasan yang menjadi penyebab
sebuah teknik haruslah bersamaan dengan mempraktikkan teknik itu sendiri. Ikken Hisatsu
adalah prinsip yang bisa diterjemahkan "sekali serangan berarti satu kematian", dimaksudkan
di sini sebagai konteks keefisienan dari Mutekatsu dalam mengendalikan sebuah Kime. Kan
ni hatsu o irezu berarti dalam sebuah pertarungan tak boleh ada celah sedikit pun, biarpun itu
hanya seukuran sehelai rambut. Sekka no ki berarti sebuah batu api akan menghasilkan
percikan api, mengarah pada könteks usaha yang tekun pasti akan membawa pada hasil yang
terbaik. Mushin no kokoro berarti pembebasan/pembukaan wawasan seluas-luasnya dalam
mempelajari sesuatu. Mizu no kokoro berarti pikiran harus berjalan seperti air, selalu
mengalir untuk mencari ujung yang paling akhir. Bila kita kaji secara teliti, maka akan kita
dapati bahwa prinsip ini memiliki kemiripan dengan ajaran Thales, seorang filsuf Yunani
Kuno dari aliran Filsafat Alam. Tsuki no kokoro berarti pikiran harus dapat merefleksikan
jiwa seperti halnya bulan yang memantulkan cahaya matahari. Gi shin fuki berarti teknik dan
pikiran tak dapat dipisahkan. Ken shin fuki berarti pukulan/serangan tak dapat dipisahkan
dengan teknik. Do mu kyoku berarti tak ada pembatasan bagi kehidupan, lebih dimaksudkan
sebagai pantang menyerah pada situasi dan kondisi apa pun. Myo wa kyojitsu no kan ni ari
berarti esensi murni sebuah teknik terletak di antara serangan dan pertahanan. Koe naki o
kiku, katachi naki o miru berarti tak ada suara lain yang terdengar, tak ada bayangan lain yang
terlihat. Tuntunan dalam pelatihan fokus dan konsentrasi. Shu ha ri berarti kepatuhan akan
guru, untuk dapat melakukan variasi/terobosan baru, vang menuntun pada kesempurnaan
jiwa. Paling dominan diterapkan dalam penggubahan sebuah Kata di zaman lampau.
Bushi no Nasake berarti manusia paling kuat dan berani haruslah juga menjadi manusia yang
paling sopan. Sering kali sebuah ritual yang sangat sederhana seperti Cha-no-Yu (upacara
minum teh ala Jepang) dijadikan tolak ukur sebuah nilai kesopanan dalam diri seorang Bushi.
Bushido yang berarti pedoman keksatriaan memiliki tempat tertinggi dalam tradisi
Budo (seni beladiri) kuno. Seorang Budöka (praktisi seni beladiri) baru bisa disebut seba- gai
Bushi (kesatria/pendekar/pahlawan) apabila ia sudah memahami dan melaksanakan Bushido
dalam kehidupan sosialnya. Dõjo Kun atau kode moral wajib dalam Dojo, yaitu: 1.
menyempurnakan kepribadian/jiwa; 2. selalu setia pada kejujuran; 3. berusaha keras/pantang
menyerah; 4. menghormati orang lain; 5. menghindari kekerasan. Niju Kun atau 20 kode
moral wajib (untuk Karate-do) yang merupakan ajaran terpenting dari Gichin Funakoshi
adalah sebagai berikut. 1. Karate-do selalu dimulai dan diakhiri dengan penghormatan. 2.
Dalam Karate-do hal yang pertama dilakukan adalah bukan menyerang. 3. Karate-do adalah
sebuah bantuan bagi keadilan. 4. Kuasai dirimu sendiri sebelum menguasai orang lain. 5.
Semangat/pemahaman harus lebih utama, barulah kemudian teknik. 6. Selalu siap untuk
membebaskan pikiranmu. 7. Kecelakaan akan muncul dari kelalaian/keteledoran. 8. Jangan
pernah berpikir bahwa latihan hanya ada dalam Dojo. 9. Tak ada batas dalam mempelajari
Karate do, ia akan meliputi seluruh kehidupanmu. 10. Jalani kehidupan sehari-hari dalam
konteks Karate-do, maka kamu akan menemukan Myo (sebuah rahasia besar). 11. Karate-do
seperti air dalam teko, bila tak dipanaskan ia pun akan tetap dingin. 12. Jangan berpikir kamu
harus menang, tetapi berpikirlah bahwa kamu tidak boleh kalah. 13. Kemenangan tergantung
pada kemampuanmu untuk membedakan antara titik yang mudah diserang dan yang tidak. 14.
Pertarungan ditentukan dengan bagaimana kamu mampu mengontrol gerakanmü ataukah
tidak (gerakanmu ditentukan lawanmu). 15. Pikirkan bahwa tangan dan kakimu sebagai
pedang. 16. Jika kamu ke luar rumah, bayangkan selalu ada banyak musuh yang siap menanti.
Dan semuanya tergantung pada tingkah lakumu apakah mencari ataukah menghin- dari
masalah dengan mereka. 17. Karateka pemula harus menguasai kuda-kuda dan bentuk tubuh,
karateka tingkat mahir lebih baik dengan Shizentai (posisi tubuh alami) dalam sebuah
pertarungan. 18. Memainkan sebuah Kata hanyalah satu hal, penerapannya dalam sebuah
pertarungan yang sesungguhnya adalah lebih berarti. 19. Jangan pernah melupakan koreksi
terus-menerus akan tiga hal ini dalam sebuah latihan: a. pengaturan kelembutan dan
kekerasan akan tenaga; peregangan dan pemanasan anggota tubuh; pengaturan kecepatan dan
kelambatan sebuah teknik. 20. Selalu memikirkan dan menemukan cara untuk melaksanakan
semua ajaran ini setiap hari.

BAB III
SEJARAH
Dari teori "Yunani sampai FORKI
Ada banyak sekali buku yang ditulis oleh para ahli sejarah maupun pakar Karate-do sen- diri
yang mengulas tentang keaslian asal-usulnya. Bahkan akhir-akhir ini tak sedikit yang
mencoba menawarkan suatu teori yang cukup "menghebohkan", contohnya adalah teori
Robin L. Rielly yang menyatakan bahwa kemungkinan besar Karate berasal dari kebudayaan
Yunani Kuno. la berani menyatakan teori itu didasarkan pada sebuah temuan arkeologis
berupa vas Creta kuno dari abad ke- 16 SM yang berisikan fragmen dua orang yang sedang
melakukan tínju dan gulat ala Yunani kuno. Terakhir ia mencoba menepis teori tentang India
sebagai asal Karate dengan alasan bahwa hal itu lebih banyak diperoleh lewat legenda dan
penyampaian lisan semata, tanpa ada bukti arkeologis sebagai penguat kenyataan ilmiahnya.
Pencetusan teori di atas bagi saya sah-sah saja, apalagi Robin L. Rielly adalah seorang yang
cukup dikenal luas dalam masyarakat Karate di Amerika dan Jepang (ia seorang instruk- tur
JKA dengan kualifikasi Dan VI). Namun, yang perlu dipertanyakan di sini jika memang
Yunani disebutkan sebagai asal-muasal Karate, mengapa karate justru lebih berkembang pesat
di Timur Jauh saat ini? Dalam teorinya ia mencantumkan kemungkinan faktor tentara
Iskandar Yang Agung sebagai pembawa teknik pertarungan kuno tersebut dalam ekspedisi ke
India pada abad ke-3 SM. Namun, saya kembali membantahnya dengan sebuah pemikiran
seder hana, bagaimana kelanjutan perkembangan dari teknik pertarungan (tanpa senjata)
tersebut, sedangkan ia sangat diperlukan dalam sebuah peperangan. Mengapa dalam faktanya
tak pernah tercatat keberadaan maupun jejaknya sebagai sebuah bentuk hasil karya penting di
bidang kemiliteran dalam catatan sejarah mana pun di Eropa yang penuh dengan peperangan
besar selama kurun waktu lebih dari 3.000 tahun (dihitung dari abad ke-16 SM - abad ke-20
M sesuai teori di atas). Keahlian pertarungan tanpa senjata (dengari pengecualian tinju dan
gulat model Yunani Kuno yang hanya mengandalkan fisik semata) di Eropa sangatlah
terbatas Jumlahnya. Kalaupun ada, baru muncul setelah abad ke-17 dengan kemungkinan
besar bahwa ia merupakan modifikasi dari seni,beladiri yang ditemui dan dipelajari kalangan
militer dan negara-negara imperialis di tanah jajahan/koloni mereka di Asia atau Afrika
(Savaté di Prancis adalah sebuah contoh yang jelas). Juga adanya kemungkinan lain, yaitu
persentuhan budaya dengan negara tetangga yang memiliki perbendaharaan budaya yang
kaya akan seni beladiri (umumnya terjadi di Eropa Timur yang berbatasan langsung dengan
Cina. Sambo di Rusia adalah sebuah contoh kasus yang tepat). Namun, alasan utama
penolakan saya adalah karena secara naluriah di mana pun ma- nusia berada ia akan
membentuk semacam reaksi spontan untuk melindungi dirinya yang mana hal ini sudah
berlangsung sejak zaman pra sejarah manusia. Dan sesuai karakter orang Eropa yang lebih
mengutamakan keefisienan dan kepraktisan untuk mencapai hasil yang paling maksimal
dalam segala hal, maka mereka lebih percaya dengan penggunaan alat bantu, yaitu senjata
dalam sebuah pertarungan ataupun peperangan (lihat artikel Ancient European Martial Ats
pada www.reference.com). Metode perlindungan ini secara naluriah akan disesuaikan oleh
manusia pertama kali tentulah dengan fisiknya, lalu dengan alam sekitarnya (lingkungan dan
iklim), dan terakhir barulah disempurnakan sesuai dengan perkembangan kebudayaannya
(logika maupun spiritualitas). Didasari hal itulah secara hati-hati sekali saya mencoba
menjelaskan sejarah Karate berdasarkan sudut pandang saya tersebut dalam pemaparan
berikut ini.
Lebih dari 4.000 tahun yang lalu (sebelum abad ke-20 SM) bangsa/ras Aria yang
berasal dari suku-suku yang buas, namun cerdas di daerah padang rumput Eropa Timur dan
Asia Tengah mulai melakukan penyerbuan ke arah selatan yang lebih subur. Persia serta anak
benua Hindustan di Asia (kini India dan Pakistan) yang makmur adalah sasaran utamanya.
Dengan kemampuan teknik berperang yang tinggi dan penuh kedisiplinan, dalam tempo seke-
jap mereka berhasil menaklukkannya lalu mendirikan negara dengan golongan mereka
sebagai kaum penguasa yang mengatur kehidupan bangsa/ras Dravida yang merupakan
penduduk asli. Inilah yang menjadi cikal bakal sistem kasta dalam agama Hindu di India
sampai saat ini. Ras Aria umumnya memosisikan dirinya dalam kasta Ksatrya (kaum
bangsawan militer) karena hal itu sesuai dengan keahlian turun-temurun yang mereka bawa.
Di penghujung abad ke-10 SM terjadi banyak peperangan di antara sesama kerajaan- kerajaan
ras Aria di wilayah barat India yang diabadikan dalam dua epos besar, yaitu Mahabharata-
Bharatayuda dan Ramayana. Dalam dua epos ini banyak sekali dipaparkan secara mendetail
mengenai teknik maupun nasihat moralitas dalam medan laga yang dipakai para Ksatrya at
dalam pertempuran yang mereka jalani (lihat Bhagavad Gita). Kurang lebih lima ratus tahun
kemudian agama Budha lahir dan memberikan semacam tuntunan kejiwaan yang lebih
bersifat menolak kekerasan maupun aturan tentang kasta. Terkombinasi dengarı ajaran
Budha, teknik pertarungan primitif lokal bangsa Dravida yang terinspirasi gerakan binatang
yang sering dijumpai di India (harimau, gajah, singa, beruang, ular, elang, dan sebagainya)
dan terakhir lewat proses waktu, maka metode pertempuran itu pun menghasilkan sebuah
rang- kuman pengetahuan kuno yang disebut Mallavidya (Malla = peperangan/pertempuran,
Vidya = pengetahuan - bahasa Sanskerta) yang berisikan sekumpulan petunjuk taktik
pertempuran yang disertai semacam kode disiplin moral sederhana bagi para Ksatrya. Dalam
perkembangannya kemudian, ia mempunyai banyak cabang dalam hal penerapannya di
medan perang, baik dengan senjata maupun tanpa senjata. Cabang yang mengkhususkan diri
pada teknik tanpa senjata disebut Vajramusthi (vajra = halilintar/petir, musthi = pukulan/
tinju/kepalan ), yang jejaknya pada saat ini masih bisa ditelusuri pada negara-negara bagian di
wilayah India bagian Selatan, yaitu Kerala, Malabar, dan Tamil Nadu. Kini ia disebut sebagai
Verumkai Prayogam (verum = hanya, kai = tangan, pravogam = menggunakan/penggunaan),
sebuah metode pertarungan tangan kosong yang merupa- kan salah satu cabang dari seni
beladiri Kalaripayat/Kallarip- payattu. Di luar wilayah India ia pun berkembang pesat, dibawa
para penyebar agama Hindu dan Budha dari India ke mana pun mereka pergi dan menetap.
Setelah disesuaikan de- ngan faktor lokal yang telah lebih dulu ada (yaitu fisik manusianya
secara umum, alam dan cuaca yang menjadi lingkungan, serta adat dan budaya sebagai hasil
proses perkembangan peradaban), maka ia pun bertransformasi dalam banyak variasi yang
dalam tampil- annya tetap memiliki ikatan kuat dalam hal substansi dasar dengan cikal
bakalnya di India tersebut. Pencak Silat di Indonesia dan Muay-Thai di Thailand adalah dua
buah contoh kasus yang sangat menarik untuk dikaji lebih jauh keberadaannya dari sudut
pandang sosio-historis yang menyeluruh. ot n Pada awal abad ke-6 M, salah satu raja India
yang bernama Sugandha dari kerajaan Baramon memiliki seorang putra yang ber-
nama Jayavarman. Pangeran ini sebagaimana layaknya golongan Ksatrya pada zaman
itu tentu saja diharuskan memiliki keterampilan militer yang sesempurna mungkin, dan ia
ternyata dengan cepat dapat menguasai semua pengetahuan yang diajarkan padanya oleh
seorang guru tua yang bernama Prajanatra/Prajnatra. Namun belakangan, dengan sebab yang
tak diketahui dengan pasti (dari sudut pandang religiusitas Budhis disebutkan faktor
reinkarnasi leluhurnya mungkin berperan sebab ia sendiri merupakan keturunan ke-28
Sidharta Gautama), mendadak Jayavarman meninggalkan kehidupan duniawinya dengan cara
menekuni dengan total ajaran agama Budha sebagai seorang pendeta/biksu aliran Mahayana.
la pun mengganti namanya disebut Ta Mo, di Jepang disebut menjadi Bodhi Dharma
(di Cina sk yi Daruma Taishi/Bodidaruma) perjalanan ke Cina untuk ma Budha pada tahun
527. In sebuah kuil yang bernama didirikan pada tahun br kaki Gunung Songshan, dan
kemudian melakukan menyebarkan ajaran aga- Di sana ia menetap di Shaolin, kuil ini sendiri
495 dan berlokasi di yang saat ini masuk la menerjemahkan teks wilayah provinsi Henan.
ajaran Budha berba- dalam bahasa Cina dan sendiri yang disebut gsisnem hasa Sanskerta ke
mendirikan sektenya Chan (Zen dalam bahasa Jepang). Selama menjadi guru di kuil itu ia
melihat bahwa sangat buruk sehingga sering menjadi korban tin- Maka, berbekal
pengalamannya kondisi fisik para muridnya gampang jatuh sakit atau dak kekerasan di dunia
luar.
sebagai seorang mantan Ksatrya di India, ia pun mulai melatih para biksu di kuil
Shaolin dengan metode-metode dasar Vajramusthi (karena para biksu sesuai ajaran Budha
tidak boleh menggunakan senjata yang bisa mengarah pada unsur kekerasan yang merupakan
dosa besar) yang dipadukannya dengan teknik Yoga (sistem meditasi ala Hindu) untuk me-
Jatih lebih jauh konsentrasi kejiwaan mereka dalam latihan pernapasan. la juga mengadopsi
beberapa teknik pertarungan lokal Cina yang didasari oleh kitab Shunzi Bingfa (metode
peperangan) karya Sun-tzu, seorang ahli militer terkenal Cina dari abad ke-4 SM. Teknik-
teknik pertarungan lokal Cina banyak dinisbatkan pada gerakan beberapa binatang dalam arca
Cina kuno seperti harimau, ular, naga, elang, bangau, monyet, dan lain-lainnya. Semua inilah
yang akhirnya menjadi dasar dari ch'uan-fa (nama kuno untuk kungfu/wushu) asli Shaolin
yang di masa selanjutnya terbagi menjadi dua aliran besar, yaitu Utara (yang lebih dominan
dengan gerakan lompatan dan kelincahan) dan Selatan (yang lebih dominan dengan
konsentrasi, pernapasan, dan kekuatan tubuh bagian atas) yang keduanya dianggap sebagai
barometer semua ilmu beladiri di wilayah Asia Timur. Sekte Chan/Zen mulai dikenal di
Jepang pada abad ke-14 dibawa dari Cina lewat semenanjung Korea maupun pulau Okinawa.
Di Korea jejak transformasi ch'uan-fa Shaolin yang merupakan produk Zen bisa ditemui
sampai saat ini dalam bentuk Tae Kwon Do, sedangkan di Okinawa sendiri ch'uan-fa Shaolin
bertransformasi menjadi Te/Tõte/Tõde (transliterasi kata Chin-te dari bahasa Cina yang
berarti pukulan/tangan Cina ke dalam dialek khas Okinawa) setelah dikombinasikan dengan
teknik perkelahian kuno lokal yang dipengaruhi teknik pertarungan kuno kalangan Samurai
Jepang yang disebut Bu-gei, yang untuk jenis teknik tanpa senjatanya disebut Yawara/Bu-
jutsu. Töte kadang-kadang juga disebut sebagai Okinawa-Te atau Ryukyu Kempo/Kenpo
(mungkin disebabkan oleh proses transliterasi kata kungfu/ wushu/kang-ouw dari ba- hasa
Cina ke dalam dialek khas Okinawa). Di kemudian hari Bu-jutsu bertransformasi sesuai
urutan perkembang- annya menjadi Ju-Jutsu, Judo, dan Aikido. Okinawa sendiri me- rupakan
sebuah pulau yang termasuk dalam rangkaian kepulauan Ryukyu, yang menjadi pelabuhan
transit peng- hubung Jepang dengan Bushi no Nasake berarti manusia paling kuat dan berani
haruslah juga menjadi manusia yang paling sopan. Sering kali sebuah ritual yang sangat
sederhana seperti Cha-no-Yu (upacara minum teh ala Jepang) dijadikan tolak ukur sebuah
nilai kesopanan dalam diri seorang Bushi. Bushido yang berarti pedoman keksatriaan
memiliki tempat tertinggi dalam tradisi Budo (seni beladiri) kuno. Seorang Budöka (praktisi
seni beladiri) baru bisa disebut seba- gai Bushi (kesatria/pendekar/pahlawan) apabila ia sudah
memahami dan melaksanakan Bushido dalam kehidupan sosialnya. Dõjo Kun atau kode
moral wajib dalam Dojo, yaitu: 1. menyempurnakan kepribadian/jiwa; 2. selalu setia pada
kejujuran; 3. berusaha keras/pantang menyerah; 4. menghormati orang lain; 5. menghindari
kekerasan. N…
Dan semuanya tergantung pada tingkah lakumu apakah mencari ataukah menghin- dari
masalah dengan mereka. 17. Karateka pemula harus menguasai kuda-kuda dan bentuk tubuh,
karateka tingkat mahir lebih baik dengan Shizentai (posisi tubuh alami) dalam sebuah
pertarungan. 18. Memainkan sebuah Kata hanyalah satu hal, penerapannya dalam sebuah
pertarungan yang sesungguhnya adalah lebih berarti. 19. Jangan pernah melupakan koreksi
terus-menerus akan tiga hal ini dalam sebuah latihan: a. pengaturan kelembutan dan
kekerasan akan tenaga; peregangan dan pemanasan anggota tubuh; pengaturan kecepatan dan
kelambatan sebuah teknik. 20. Selalu memikirkan dan menemukan cara untuk melaksanakan
semua ajaran ini setiap hari.
SEJARAH
Dari teori "Yunani sampai FORKI
Ada banyak sekali buku yang ditulis oleh para ahli sejarah maupun pakar Karate-do sen- diri
yang mengulas tentang keaslian asal-usulnya. Bahkan akhir-akhir ini tak sedikit yang
mencoba menawarkan suatu teori yang cukup "menghebohkan", contohnya adalah teori
Robin L. Rielly yang menyatakan bahwa kemungkinan besar Karate berasal dari kebudayaan
Yunani Kuno. la berani menyatakan teori itu didasarkan pada sebuah temuan arkeologis
berupa vas Creta kuno dari abad ke- 16 SM yang berisikan fragmen dua orang yang sedang
melakukan tínju dan gulat ala Yunani kuno. Terakhir ia mencoba menepis teori tentang India
sebagai asal Karate dengan alasan bahwa hal itu lebih banyak diperoleh lewat legenda dan
penyampaian lisan semata, ta…
Prancis adalah sebuah contoh yang jelas). Juga adanya kemungkinan lain, yaitu persentuhan
budaya dengan negara tetangga yang memiliki perbendaharaan budaya yang kaya akan seni
beladiri (umumnya terjadi di Eropa Timur yang berbatasan langsung dengan Cina. Sambo di
Rusia adalah sebuah contoh kasus yang tepat). Namun, alasan utama penolakan saya adalah
karena secara naluriah di mana pun ma- nusia berada ia akan membentuk semacam reaksi
spontan untuk melindungi dirinya yang mana hal ini sudah berlangsung sejak zaman pra
sejarah manusia. Dan sesuai karakter orang Eropa yang lebih mengutamakan keefisienan dan
kepraktisan untuk mencapai hasil yang paling maksimal dalam segala hal, maka mereka lebih
percaya dengan penggunaan alat bantu, yaitu senjata dalam sebuah pe…
Lebih dari 4.000 tahun yang lalu (sebelum abad ke-20 SM) bangsa/ras Aria yang berasal dari
suku-suku yang buas, namun cerdas di daerah padang rumput Eropa Timur dan Asia Tengah
mulai melakukan penyerbuan ke arah selatan yang lebih subur. Persia serta anak benua
Hindustan di Asia (kini India dan Pakistan) yang makmur adalah sasaran utamanya. Dengan
kemampuan teknik berperang yang tinggi dan penuh kedisiplinan, dalam tempo seke- jap
mereka berhasil menaklukkannya lalu mendirikan negara dengan golongan mereka sebagai
kaum penguasa yang mengatur kehidupan bangsa/ras Dravida yang merupakan penduduk asli.
Inilah yang menjadi cikal bakal sistem kasta dalam agama Hindu di India sampai saat ini. Ras
Aria umumnya memosisikan dirinya dalam kasta Ksatrya (kaum bangsawan militer) karena
hal itu sesuai dengan keahlian turun-temurun yang mereka bawa. Di penghujung abad ke-10
SM terjadi banyak peperangan di antara sesama kerajaan- kerajaan ras Aria di wilayah barat
India yang diabadikan dalam dua epos besar, yaitu Mahabharata- Bharatayuda dan Ramayana.
Dalam dua epos ini banyak sekali dipaparkan secara mendetail mengenai teknik maupun
nasihat moralitas dalam medan laga yang dipakai para Ksatrya at dalam pertempuran yang
mereka jalani (lihat Bhagavad Gita). Kurang lebih lima ratus tah…
budaya sebagai hasil proses perkembangan peradaban), maka ia pun bertransformasi dalam
banyak variasi yang dalam tampil- annya tetap memiliki ikatan kuat dalam hal substansi dasar
dengan cikal bakalnya di India tersebut. Pencak Silat di Indonesia dan Muay-Thai di Thailand
adalah dua buah contoh kasus yang sangat menarik untuk dikaji lebih jauh keberadaannya
dari sudut pandang sosio-historis yang menyeluruh. ot n Pada awal abad ke-6 M, salah satu
raja India yang bernama Sugandha dari kerajaan Baramon memiliki seorang putra yang ber-
nama Jayavarman. Pangeran ini sebagaimana layaknya golongan Ksatrya pada zaman itu
tentu saja diharuskan memiliki keterampilan militer yang sesempurna mungkin, dan ia
ternyata dengan cepat dapat menguasai semua pengetahuan yang diajarkan padanya oleh
seorang guru tua yang bernama Prajanatra/Prajnatra. Namun belakangan, dengan sebab yang
tak diketahui dengan pasti (dari sudut pandang religiusitas Budhis disebutkan faktor
reinkarnasi leluhurnya mungkin berperan sebab ia sendiri merupakan keturunan ke-28
Sidharta Gautama), mendadak Jayavarman meninggalkan kehidupan duniawinya dengan cara
menekuni dengan total ajaran agama Budha sebagai seorang pendeta/biksu aliran Mahayana.
la pun mengganti namanya disebut Ta Mo, di Jepang disebut menjadi Bodhi Dharma (di Cina
sk yi Daruma Taishi/Bodidaruma) perjalanan ke Cina untuk ma Budha pada tahun 527. In
sebuah kuil yang bernama didirikan pada tahun br kaki Gunung Songshan, dan kemudian
melakukan menyebarkan ajaran aga- Di sana ia menetap di Shaolin, kuil ini sendiri 495 dan
berlokasi di yang saat ini masuk la menerjemahkan teks wilayah provinsi Henan. ajaran
Budha berba- dalam bahasa Cina dan sendiri yang disebut gsisnem hasa Sanskerta ke
mendirikan sektenya Chan (Zen dalam bahasa Jepang). Selama menjadi guru di kuil itu ia
melihat bahwa sangat buruk sehingga sering menjadi korban tin- Maka, berbekal
pengalamannya kondisi fisik para muridnya gampang jatuh sakit atau dak kekerasan di dunia
luar.
sebagai seorang mantan Ksatrya di India, ia pun mulai melatih para biksu di kuil Shaolin
dengan metode-metode dasar Vajramusthi (karena para biksu sesuai ajaran Budha tidak boleh
menggunakan senjata yang bisa mengarah pada unsur kekerasan yang merupakan dosa besar)
yang dipadukannya dengan teknik Yoga (sistem meditasi ala Hindu) untuk me- Jatih lebih
jauh konsentrasi kejiwaan mereka dalam latihan pernapasan. la juga mengadopsi beberapa
teknik pertarungan lokal Cina yang didasari oleh kitab Shunzi Bingfa (metode peperangan)
karya Sun-tzu, seorang ahli militer terkenal Cina dari abad ke-4 SM. Teknik- teknik
pertarungan lokal Cina banyak dinisbatkan pada gerakan beberapa binatang dalam arca Cina
kuno seperti harimau, ular, naga, elang, bangau, monyet, dan lain-lainnya. Semua inilah yang
akhirnya menjadi dasar dari ch'uan-fa (nama kuno untuk kungfu/wushu) asli Shaolin yang di
masa selanjutnya terbagi menjadi dua aliran besar, yaitu Utara (yang lebih dominan dengan
gerakan lompatan dan kelincahan) dan Selatan (yang lebih dominan dengan konsentrasi,
pernapasan, dan kekuatan tubuh bagian atas) yang keduanya dianggap sebagai barometer
semua ilmu beladiri di wilayah Asia Timur. Sekte Chan/Zen mulai dikenal di Jepang pada
abad ke-14 dibawa dari Cina lewat semenanjung Korea maupun pulau Okinawa. Di Korea
jejak transformasi ch'uan-fa Shaolin yang merupakan produk Zen bisa ditemui sampai saat ini
dalam bentuk Tae Kwon Do, sedangkan di Okinawa sendiri ch'uan-fa Shaolin bertransformasi
menjadi Te/Tõte/Tõde (transliterasi kata Chin-te dari bahasa Cina yang berarti
pukulan/tangan Cina ke dalam dialek khas Okinawa) setelah dikombinasikan dengan teknik
perkelahian kuno lokal yang dipengaruhi teknik pertarungan kuno kalangan Samurai Jepang
yang disebut Bu-gei, yang untuk jenis teknik tanpa senjatanya disebut Yawara/Bu-jutsu. Töte
kadang-kadang juga disebut sebagai Okinawa-Te atau Ryukyu Kempo/Kenpo (mungkin
disebabkan oleh proses
transliterasi kata kungfu/ wushu/kang-ouw dari ba- hasa Cina ke dalam dialek khas Okinawa).
Di kemudian hari Bu-jutsu bertransformasi sesuai urutan perkembang- annya menjadi Ju-
Jutsu, Judo, dan Aikido. Okinawa sendiri me- rupakan sebuah pulau yang termasuk dalam
rangkaian kepulauan Ryukyu, yang menjadi pelabuhan transit peng- hubung Jepang dengan
dunia luar pada zaman kuno. Sesuai pemaparan Drs. N.Daldjoeni (lihat Ras-ras Umat
Manusia PT Citra Aditya Bakti, 1991) tentang teori penyebaran manusia di benua Asia, maka
besar kemungkinan penduduk asli Okinawa ditilik secara antropofisiologis bukan termasuk
subras yang sama dengan umumnya penduduk Jepang (Ainu-Mongoloid), melainkan lebih
dekat dengan subras yang rankan karena secara geografis ia lebih dekat dengan pulau
Formosa (kini Taiwan) daripada dengan empat pulau utama Jepang lainnya (Shikoku,
Kyushu, Honshu, dan Hokkaido). Bukti kuat yang mendukung hal itu bisa dilihat pada
penggunaan alat-alat pertanian tradisio- nal (yang kemudian dipakai sebagai alat pelengkap
dalam seni beladiri mereka) yang berasal dan memiliki kemiripan dengan alat-alat pertanian
tradisional yang ada di Asia Tenggara. Okinawa dominan di Asia Tenggara (Paleo-
Mongoloid). Hal ini tidaklah menghe- yang memiliki tiga kota besar sebagai kota utamanya
pada zaman itu, yaitu Tomari, Shuri, dan Naha selama ratusan tahun sesuai catatan sejarah
ternyata sangat menarik minat kekaisaran Cina, Korea, dan Jepang untuk silih berganti
menancapkan pengaruh di daerah kepulauan yang strategis tersebut. Hal ini memungkinkan
terjadinya percampuran unsur- unsur budaya (termasuk seni beladiri) dari ketiga negara
tersebut. Masuknya pengaruh seni beladiri Cina yang paling awal tercatat dalam sejarah resmi
adalah ketika pada tahun 1393 sebuah ekspedisi militer yang dikirim dan lalu menetap di sana
sebagai semacam tentara bantuan oleh kaisar Hung Wu dari dinasti Ming pada raja Satto,
penguasa Okinawa pada saat itu, dengan dampak sampingan diperkenalkannya beberapa
keunggulan teknik mereka (Meitoku Yagi, salah seorang guru besar Goju-ryu di Okinawa
pada abad ke-20 merupakan keturunan langsung dari salah seorang anggota ekspedisi militer
tersebut). Perang Namun akhirnya, pada tahun 1429 di bawah Kaisar Shöhasi dari Chuzan,
Okinawa dapat disatukan dan dikuasai secara penuh oleh Jepang hingga saat ini. Rupanya
setelah penaklukan itu masih banyak terjadi usaha perlawanan dan pembe- rontakan dari para
penduduk asli yang mendapat bantuan penuh secara rahasia dari Cina; sehingga untuk
"mengamankannya" secara lebih efektif, pada zaman Kaisar Shoshin (1477 - 1526)
dikeluarkanlah suatu aturan yang sangat ketat tentang pengaturan kepemi- likan senjata pada
rakyat Okinawa. Keekstreman aturan ini mencapai puncaknya pada masa penguasaan
Okinawa oleh Shimazu Ihisa dari klan Satsuma yang mulai berkuasa pada tahun 1609.
Disebutkan bahwa hanya boleh ada sebuah pisau untuk sebuah desa dan itu pun diikat dengan
rantai besi di pos patroli tentara yang ada. Faktor inilah akhirnya yang membangkitkan
kembali gairah mereka untuk menggunakan Tote sebagai "senjata peng- ganti" yang paling
utama dan siap digunakan kapan saja dalam usaha untuk mempertahan- kan diri dari
penindasan tentara maupun ancaman para penjahat bersenjata yang banyak berkeliaran. Klan
Satsuma yang berasal dari Kagoshima ini berkuasa hingga tahun 1872. Dan selama sekitar
260 tahun masa kekuasaan mereka (dihitung hanya sampai dengan dimulai- nya restorasi
Meiji pada tahun 1868) catatan sejarah resmi tentang Tote di Okinawa sangat minim. Yang
sempat tercatat hanyalah tentang partisipasinya sebagai sebuah kemampuan khusus dalam
kalangan separatis Okinawa yang terus-menerus melakukan gerakan bawah tanah dalam
perjuangannya dan dianggap sangat berbahaya serta mengancam secara tak langsung bagi
kalangan militer yang berkuasa. Oleh karena itulah, disebutkan bahwa seni beladiri ini sangat
dijaga kerahasiaannya dan hanya dikembangkan langsung secara turun- temurun di kalangan
pria (dari kepala keluarga hanya pada putra tertuanya yang akan men- jadi penggantinya)
dalam keluarga bangsawan (shizoku) Okinawa. Bahkan dalam banyak kasus didapati anggota
keluarga yang tak diwarisi/tidak mempelajari Tote dipastikan tidak akan mengetahui sama
sekali bahwa ada di antara anggota keluarga mereka yang menguasai seni beladiri tersebut.
Ada dua ungkapan yang menggambarkan kondisi di atas pada zaman itu, yaitu Reimyõ Tõte
(tangan yang ajaib) dan Shimpi Tote (tangan yang misterius). Barulah kemudian mulai akhir
abad ke-17 ada beberapa nama yang "berani" muncul ke hadapan publik, karena mereka
memiliki posisi yang cukup kuat dalam lingkup elit politik klan Satsuma yang memerintah.
Mereka dihormati namanya sampai saat ini dalam dunia Karate-do karena mereka juga
merupakan pencipta beberapa buah kata standar yang paling umum dipakai. Mereka itu
berasal dari tiga kelompok yang berbeda, yaitu sebagai berikut. 1. Dari kalangan perwira
intelijen militer kekaisaran Cina yang "difungsikan" sebagai sema- cam atase perdagangan di
Okinawa, nama-nama yang dikenal adalah lwah lalu Wansu/ Wanshu (yang menciptakan
Kata jenis Enpi) dan terakhir Guan Kui atau dalam bariasa Jepang ia dilafalkan menjadi
Kushanku/Koshokun dan merupakan pencipta kala Jens Kanku.

BAB IV
TAISO
Taiso dapat diterjemahkan secara keolahragaan umum sebagai peregangan/pelemasan
(stretching) dan pemanasan (warming-up) yang melengkapi sebuah proses latihan olahraga.
Dari sudut pandang Budo ia lebih diartikan sebagai persiapan seluruh anggota tubuh seopti-
mal mungkin sebelum maupun sesudah pelaksanaan rangkaian teknik-teknik yang menjadi
substansi dasar dari seni beladiri tersebut. Dalam Karate-do pelaksanaan Taiso dilakukan
sebelum dan sesudah proses teknik-teknik pokok (Kihon, Kata, Kumite) dilaksanakan. Bentuk
tradisionalnya mengacu pada beberapa gerakan yang diambil dari unsur Yoga India dan Bu-
jutsu Jepang, namun seiring perkembangan zaman beberapa gerakan yang berasal dari cabang
olahraga lain (atletik dan senam adalah yang paling dominan) juga banyak sekali
memperkaya perbendaharaan geraknya. Di Indonesia saat ini umumnya dilaksanakan setelah
Rei-Shiki pembuka dan sebelum Rei-Shiki penutup. Sementara itu, di Jepang meskipun sama,
namun umumnya sebelum memulai Rei-Shiki pembuka para Karateka sudah lebih dulu
melakukan Taiso sendiri-sendiri, sehingga dalam proses latihan resmi di Döjo porsi waktu
untuk teknik-teknik Kihon, Kata, dan Kumite bisa diatur lebih banyak. Fungsi utama dari
pelaksanaan Taiso adalah: 1. menghindari cedera, karena otot, tulang, sendi, saraf, dan lain-
lain sudah dipanaskan terlebih dahulu; 2. membentuk susunan massa otot dan tulang yang
kuat dan fleksibel sebagai modal dasar untuk dapat melaksanakan teknik secara sempurna
(dalam sebuah proses latihan jangka panjang); 3. pengukuran stamina secara umum, yang bisa
diamati terutama dari pengamatan terha- dáp hubungan ritme pernapasan dan denyut jantung
terhadap kecepatan dan kekuatan (dalam sebuah proses latihan jangka pendek); unsur
pelengkap penempaan disiplin karena dalam Karate-do pelaksanaan Taiso ada- 4. lah wajib
sebagai salah satu dari rangkaian proses utuh vang tak dapat dipisah-pisankan dari sebuah
latihan standar yang di dalamnya tercermin model hierarki baku sesuai prinsip Zen sebagai
pembimbing pencapaian kesempurnaan mental. Dalam pelaksanaan Taiso (juga berlaku bagi
materi Kihon, Kata, dan Kumite) seyogianya seorang instruktur memahami ilmu-ilmu eksakta
sebagai berikut. ** Alnatomi dan fisiologi tubuh kedokteran secara dasar, yang dimaksudkan
sebagai acuan dalam mengenali anggota-anggota tubuh utama yang berperan penting dalam
sebuah gerakan Karate. 2. Psikologi kejiwaan dalam kaitannya dengan pola pembinaan
mental atlet secara terarah. Layak sekali diterapkan pembinaan yang berdasarkan sudut
pandang psikologi modern yang dikombinasikan dengan prinsip Zen dalam Budo. 3. Faktor-
faktor yang mendukung terjadinya sebuah cedera baik yang bersifat instant mau- pun laten.
Peran penting ilmu fisioterapi sebagai "peta hidup" dalam menangani kasus- kasus yang
sering terjadi sangatlah utama dalam hal ini. Pada Karate seluruh anggota tubuh memiliki
kemungkinan untuk bisa mengalami cedera yang serius. Namun berdasarkan survei ada
sebuah organ yang paling rawan sekali, yaitu: be persendian. Hal ini sangatlah wajar
mengingat persendian adalah organ utama yang menggerakkan sebuah teknik apa pun itu
bentuknya dalam Karate. Berikut ini gambar dari tiga buah persendian yang paling sering
mengalami cedera dalam olahraga beladiri.
Pengkhususan dalam masalah ini saya sarankan untuk melihat lebih jauh pada sumber
kepustakaan sebagai berikut: Bebas Cidera Karate oleh Paul Perry, terbitan Ghalia Indonesia-
1994 TUTA Pengobatan dan Olahraga oleh Prof. G. La Cava, terbitan Effhar Group-tanpa
tahun Cedera Pergelangan Kaki oleh Agus Irwan S., sebuah artikel Kesehatan pada majalah
Jurus no:01/1999-hlm. 20-21 Cedera Pada Sendi Lutut oleh Dr. Tatang Eka Sp.B., sebuah
artikel Kesehatan pada majalah Jurus no:07/1999-hlm. 40-41 4. Faktor-faktor yang
mendukung peningkatan prestasi secara perorangan maupun kese- luruhan. Beberapa cabang
ilmu pengetahuan yang bisa dimasukkan sebagai kontributor penting dalam hal ini adalah
sebagai berikut. Psikologi, dalam kaitannya dengan peningkatan semangat berkompetisi. b.
Farmasi, dalam kaitannya dengan terobosan-terobosan baru dalam hal penelitian terhadap gizi
dan asupan suplemen penunjang prestasi atlet. Matematika, Biofisika, dan Biokimia, dalam
kaitannya dengan pengoptimalan tek- nik tertentu yang pasti berhubungan dengan llmu Faal
Kedokteran Umum. Dengan demikian, penggunaan ketiga cabang ilmu eksak di atas bisa
dipakai sebagai sarana untuk melakukan penghitungan secara ilmiah terhadap kemungkinan
maksimalisasi maupun "manipulasi" sebuah teknik bila tertahan oleh sebuah "ukuran alami"
yang dipakai oleh lmu Faal secara umum. a C. Secara umum berdasarkan pendekatan pada
ilmu keolahragaan modern pada saat ini dikenal dua model Taiso yang dipadukan dengan
latihan ketahanan fisik, yaitu sebagai berikut. 1. Tipe dengan latihan fisik awal, dengan uraian
dan urutan sebagai berikut. Jenis yang umum dan paling awal dipakai di Indonesia. b. Untuk
Taiso pembuka diawali dengan stretching pasif dalam hitungan 1 X 8 yang harus dimulai dari
anggota tubuh paling atas ke paling bawah. Urutan anggota tubuh itu adalah: kepala, leher,
bahu, dada, lengan, punggung, pinggang, perul. pinggul, paha, lutut, engkel. Dilanjutkan
dengan pemanasan tubuh secara keseluruhan dalam bentuk lari dalam kecepatan sedang
selama 10-15 menit. d. Melakukan stretching aktif hitungan dalam hitungan 2 X 8 yang harus
dimulai dari anggota tubuh paling atas ke paling bawah. Melakukan gerakan gerakan yang
termasuk latihan ketahanan fisik seperti push up, it up, back up, scout jump, sprint run, dan
sebagainya selama 15-20 menit.
Ada interval waktu untuk istirahat sekitar 5-10 menit sebelum memasuki sesi latihan
pokok selanjutnya (Kihon, Kata, Kumite). Terakhir pada Taisõ penutup dilakukan stretching
pasif dalam hitungan 1 X 8 yang dimulai dari anggota tubuh paling bawah ke paling atas. g. h.
Kelemahan yang utama adalah terkurasnya energi atlet sebelum masuk dalam sesi latihan
yang seharusnya karena proses latihan ketahanan fisik yang berlebihan. Cocok untuk latihan
jangka pendek. 2. Tipe dengan latihan fisik akhir, dengan uraian dan urutan sebagai berikut. i.
program a. Jenis yang umum dipakai di Eropa dan Amerika Serikat. b. Untuk Taisõ pembuka
butir b-d sama dengan urutan pada tipe dengan latihan fisik awal. Setelah stretching aktif
interval waktu yang diberikan untuk istirahat hanya 3-5 menit sebelum memasuki sesi latihan
pokok selanjutnya. C. d. Selesai sesi latihan pokok diberikan interval waktu 5-10 menit untuk
istirahat dan dilanjutkan dengan gerakan-gerakan yang termasuk latihan ketahanan fisik
selama 15-20 menit. Terakhir pada Taiso penutup dilakukan stretching pasif dalam hitungan 1
X 8 dimulai dari anggota tubuh paling bawah ke paling atas. e. yang Kelemahan yang
mungkin ditemui adalah risiko cedera yang mungkin saja mudah terjadi karena pemanasan
yang tidak cukup lama pada beberapa anggota tubuh. Cocok untuk program latihan jangka
panjang.
BAB V
KIHON
Secara harfiah Kihon berarti pondasi/awal/akar dalam bahasa Jepang. Dari sudut pan- dang
Budo ia diartikan sebagai unsur terkecil yang menjadi dasar pembentuk sebuah teknik yang
biasanya berupa rangkaian dari beberapa buah teknik terkecil tersebut. Dalam Pencak Silat
mungkin Kihon bisa dianggap sama dengan jurus tunggal. Sementara itu, dalam Karate-do
sendiri Kihon lebih berarti sebagai bentuk bentuk baku yang menjadi acuan dasar dari semua
teknik/gerakan yang mungkin dilakukan dalam Kata maupun Kumite. Kihon yang benar
selalu berpedoman pada prinsip Ai yang selalu berputar dengan sebuah titik sebagai pusat
pengendali gerakan. Jadi, secara otomatis Kihon juga akan selalu berhubungan dengan Hara
sebagai pusat sumber tenaganya. Prinsip Ai yang selalu berputar tampaknya cukup sinkron
dengan anatomi daerah pinggul yang menjadi wadah pembungkus Hara secara keseluruhan.
Pinggul seperti diketahui merupakan titik tengah dari tinggi badan seorang manusia sehingga
secara otomatis menjadi "engsel penyeimbang tubuh". Analisis secara sistem pernapasan
menunjukkan ia berada dalam sebuah sudut vang menemukan tiga buah garis lurus: tepat di
bawah jantung dan paru-paru yang merupakan organ pengolah oksigen dalam darah yang
memproduksi apa yang dikenal sebagai tenaga. Pinggul juga berada dekat sekali dengan
pangkal sendi selangkangan yang menggerakkan seluruh aktivitas organ tubuh bagian bawah.
Di samping itu, ia juga memiliki persendian sendiri (tulang panggul) yang berfungsi besar
dalam menopang organ tubuh bagian atas serta dilewati jaringan otot perut yang berhubungan
dengan hampir semua jaringan otot peng- gerak tungkai (tangan dan kaki). Keistimewaan-
keistimewaan pinggul inilah vang mendasari semua jenis Kihon dalam Karate haruslah
bermula dari pinggul. Sebagai bayangan berikut ini adalah ilustrasi tentang sebuah gerakan
pinggul.
Pada saat akan memulai sebuah Kihon apa pun seluruh anggota tubuh haruslah dala
posisi dan kondisi Shizentai tanpa ketegangan sedikit pun. Bersamaan dengan memulai rakan
harus dilakukan pengambilan napas lewat hidung yang kemudian dimampatkan secara
terfokus ke Hara dengan jalan pengerasan daerah perut bagian bawah secara cepat dan pada
saat gerakan sudah sempurna bentuk dan arahnya napas dikeluarkan lewat mulut sambil
mengeraskan anggota tubuh yang berkaitan dengan bentuk Kihon yang dilakukan. Begitulah
kira-kira gambaran paling terinci dari sebuah Kihon bila diamati secara lambat sekali. Namun
hal itu akan menjadi lebih sempurna lagi bila kita memahami gerak arah dan perpindahan
energi dalam Kihon itu sendiri yang akan terbukti secara ilmiah bila dianalisis lewat hukum
gerak dalam telaah matematika dan fisika modern. Hampir 90 persen jenis Kihon bergerak
dalam lintasan sebuah garis lurus. Ini berarti ia sesuai dengan hukum geometri matematika
yang berbunyi "jarak terdekat di antara dua buah titik adalah sebuah garis lurus". Dalam kasus
pukulan yang lurus (choku zuki), maka lintasan yang dominan dalam garis lurus itu bertujuan
sebagai: ge- penunjang kecepatan yang maksimum; efisiensi tenaga seminimum mungkin;
meminimalisasi kegoyahan/ketakstabilan yang terjadi. Masatoshi Nakayama dalam sebuah
bukunya pernah mencoba memasukkan dua buah perhitungan ilmiah terhadap analisis Kihon
yang dikaji dari sudut ilmu pasti. la menyebutkan bahwa sebuah pukulan jenis Gyaku-tsuki
yang sempurna dari seorang Karateka yang terlatih sangat baik setara dengan kecepatan
sekitar 13 m/detik dan berbobot setara 700 kg joule. Semua perpindahan energi dalam Kihon
mirip dengan apa yang disebut sebagai jenis tenaga potensial dalam fisika dasar. Pada sebuah
Kihon yang dilakukan dalam gerakan yang lambat akan terlihat dengan jelas pemutaran
sebuah anggota tubuh dalam rotasi kira- kira 180Ydengan diiringi dorongan energi yang
berasal dari pinggul yang berputar 45Y atau 90Y. Sebagai bayangan yang mudah dipahami
secara jelas adalah kombinasi antara gerak kerja alat bor dengan selongsong peluru yang
ditem- bakkan dari mulut senjata api. Pengkajian lebih jauh tentang hal ini sangat saya
harapkan sekali datang dari pihak lain yang memang menguasai secara profesional bidang-
bidang ilmu eksak di atas karena saya tak memiliki kecakapan apa pun dalam disiplin ter-
sebut. Namun, saya yakin sekali ada banyak “temuan unik" yang akan ter-ungkap dalam
kasus-kasus semacam ini kelak di kemudian hari. Nakayama juga menyebutkan adanya tujuh
unsur yang memegang peranan sangat pen- ting dalam membentuk Kihon yang sesempurna
mungkin, yaitu: 1. bentuk yang benar; 2. keseimbangan tenaga dan kecepatan; 3. konsentrasi
dan relaksasi yang tepat; 4. pelatihan kekuatan otot; 5. irama dan pengaturan waktu dalam
sebuah gerakan; 6. pernapasan yang kontributif dan efisiensif; 7. peran pinggul yang
seoptimal mungkin. Sebelum mempelajari Kihon secara mendalam, hal yang pertama kali
harus dipahami adalah anggota-anggota tubuh yang berhubungan dengan bentuk sebuah
Kihon. Berikut urajan tentang jenis Kihon didasarkan atas fungsi anggota tubuh yang
membentuknya.

BAB VI
KATA
Secara harfiah KATA berarti bentuk/rupa/potongan/corak. Dalam Budo Kata lebih
diartikan sebagai bentuk latihan khusus yang menjadi intisari sebuah jenis seni beladiri vang
ditampilkan dalam rangkaian beberapa buah Kihon yang disusun sedemikian rupa dalam
sebuah standardisasi. Dalam Karate-do sendiri saya mendefinisikan Kata sebagai: "Rangkaian
beberapa Kihon yang disusun melalui proses panjang pada masa lalu ke dalam sebuah bentuk
khusus yang memiliki nilai keindahan, arti filosofis yang tinggi, serta diatur oleh sebuah
standardisasi yang baku dalam penerapannya. Menurut Nakayama ada tiga hal yang menjadi
esensi pokok dalam memainkan sebuah Kata. 1. Tenaga, dicapai dengan pemahaman yang
mendalam tentang Kihon secara utuh yang dipoles secara sempurna dengan bantuan
pernapasan yang benar agar dapat mengha- silkan sebuah keluaran/output tenaga yang
semaksimum mungkin. 2. Irama, dicapai dengan menguasai secara total pengaturan kecepatan
dan kelambatan (tempo) pergerakan dalam sebuah Kata yang bersumber pada Embusen (garis
arah baku dari pergerakan sebuah Kata). 3. Keindahan, dicapai lewat peneguhan diri akan dua
spirit yang wajib diketahui. Pertama adalah spirit "dalam", yaitu pemahaman mendalam
tentang arti historis-filosofis dari Kata yang dimainkan dan ditampilkan dalam bentuk
ekspresi yang mempertegas akan hal itu dan mampu memancarkan aura tersendiri bagi
mereka yang menyaksikannya. Kedua adalah spirit "luar", yaitu bahasa tubuh vang harus
mampu menarik perhatian karena mendukung esensi yang hendak dicapai oleh seseorang
yang memainkan Kaia. Pergerakan pinggul dan kelenturan tubuh merupakan dua contoh
utama dalam nai ini.
Hal-hal lain yang tak kalah pentingnya dalam peragaan sebuah Kata adalah: Kime
dan Ki-Ai Chakugan (fokus arah perhatian/pandangan yang tepat) Dachi (kuda-kuda)
Sinkronisasi dan Bunkai yang sesuai dalam jenis Kata Beregu. Bunkai artinya aplikasi dari
Kihon yang meliputi teknik dari sebuah Kata yang ditampilkan dalam sebuah pergerakan
yang biasanya telah diatur sesuai kreasi yang sedemikian rupa dalam sebuah demo yang
menarik. - Sebagai tambahan perlu diketahui bahwa dalam beberapa perguruan Karate tradi-
sional di Jepang dikenal apa yang disebut sebagai Embu, yaitu penerapan teknik Kihon yang
ada dalam Kata dalam bentuk pertarungan semi bebas, tetapi tetap diatur dalam Embusen
yang baku serta dilakukan hanya secara berpasangan. Bentuk Embu ini dalam Shorinji
Kempo menjadi ciri khas yang membedakan penampilannya secara jelas dengan Karate.
Meskipun pada zaman lampau ada banyak sekali Kata yang diciptakan, namun yang sampai
pada kita pada saat ini hanya sekitar lima puluhan. Dalam hal ini Shito-ryu agaknya
merupakan aliran yang paling "lengkap" mengadopsi Kata-Kata tersebut. Gichin Funakoshi
pada awalnya hanya memperkenalkan 15 buah Kata yang dianggapnya paling cocok bagi
sebuah metode latihan di zaman modern. la juga menciptakan dua buah Kata yang hanya
dipakai sebagai sarana dalam metode pelatihan dasar. Kedua Kata tersebut adalah Taikyoku
dan Ten No Kata. Saat ini secara resmi dalam aliran Shotokan dipakai 26 buah Kata yang
akan saya paparkan semaksimal mungkin semua data identitas, historis, dan filosofisnya
dalam sebuah tabel di bawah ini.
Dalam sistem pertandingan untuk Kata ada dua model umum yang dikenal, yaitu
sebagai berikut. 1. Sistem penyisihan kelompok, di mana semua peserta memainkan Kata
secara bergiliran dalam dua babak saja. Pada babak pertama akan dipilih 3/5/10 peserta
dengan nilai tertinggi untuk masuk pada babak kedua yang merupakan babak final di mana
peserta dengan nilai tertinggi yang akan keluar sebagai pemenang. Pertandingan ini adalah
Sistem pertandingan yang pertama kali dipakai dan menggunakan lima orang juri sebagai
penilai serta papan-papan nilai dengan angka sebagai alat bantu. 2. Sistem gugur, di mana
para peserta dalam memainkan Kata hanya berhadapan dengan satu orang lawan dalam
sebuah babak. Tiap peserta mengenakan sabuk yang berbeda warna dengan lawannya dan ada
3/5 orang juri sebagai penilai yang hanya akan memilih satu orang sebagai pemenang. Dua
buah bendera kecil yang berbeda warna (yang sama dengan dua warna sabuk dari kedua
kontestan) digunakan sebagai alat bantu. Sistem ini baru dipakai secara resmi oleh WKF
mulai Kejuaraan Dunia pada tahun 2002 dan dikenal adanya pembagian dua kelompok Kata
yang harus dimainkan secara berurutan, yaitu Shitei Kata (Kata Wajib) dan Tokui Kata (Kata
Pilihan).

BAB VII
KUMITE
Secara harfiah Kumite berarti tangan-tangan yang bersilangan/beradu. Dalam pema- haman
Karate-do murni yang berlandaskan Zern ia tidak dianggap sebagai sebuah bentuk
pertarungan, namun didefinisikan lebih jauh sebagai sebuah bentuk latihan di mana dua orang
yang saling berhadapan dalam sebuah arena berusaha secara keras dan sportif unituk saling
menunjukkan teknik terbaik mereka kepada lawannya dengan tetap tunduk dalam aturan yang
sangat ketat. Pada awalnya hanya dikenal Kata sebagai satu-satunya bentuk kompetisi yang
dikenal dalam Karate di era tradisional. Baru pada tahun 1920-an dimulai usaha peru- musan
bentuk baku dari apa yang kita kenal sekarang sebagai Kumite dengan mengadopsi model
pertandingan Kendo dan Judo (lihat Bab III Sejarah). Karena bersumber/berpatokan pada
Budö, otomatis dalam pemahaman secara keseluruhan Kumite bersandar pada lima konsep
filosofis tradisional Zen, yaitu: (1). Ma-ai; (2). Tsukuri, (3). Kake: (4). Kuzushi; (5).
Senryaku/Senjutsu. 1. Ma-ai, adalah konsep jarak yang dianggap penting sekali bagi orang
Jepang bahkan dalam aspek kehidupan sehari-hari. Seorang yang bisa memahami secara baik
konsep ini akan mampu menembus sebuah celah yang paling kecil sekalipun karena ia dapat
memanfaatkan peluang waktu secara tepat. Dalam penerapannya pada sebuah pertarungan
dikenal adanya figa macam Ma-ai sebagai berikut. To-ma, jarak yang terlalu jauh dengan
lawan Dalam jarak seperti ini hal yang seharusnya dilakukan adalah selalu serileks mungkin
sambil mulai membaca lawan secara global. a. b. Juban no ma, jarak yang sempurna dengan
lawan. Dalam jarak yang seperti ini hal yang seharusnya dilakukan adalah sudah siap mem-
buat sebuah keputusan pasti apabila berlanjut ke arah Chika-ma. Bila terlalu lama berada pada
Juban no ma tanpa memiliki sebuah keputusan apa pun, lebih baik bergerak kembali ke arah
To-ma.
Chika-ma, jarak yang terlalu dekat dengan lawan Dalam jarak yang seperti ini hal
yang seharusnya dilakukan adalah siap menghadapi apa pun yang terjadi dengan segala
risikonya dan jika telah memungkinkan melaksanakan sebuah teknik, sangat disarankan
kembali secepatnya ke arah Juban no ma atau bahkan ke arah To-ma. 2. Tsukuri, adalah
konsep kesiapan fisik tubuh secara total dengan penerapan utama dalam hal melakukan
serangan, serangan balik, maupun memindahkan tubuh. 3. Kake, adalah konsep yang
menekankan pentingnya faktor variasi dalam melakukan teknik pada sebuah serangan. 4.
Kuzushi, adalah konsep yang menggambarkan keadaan pikiran yang bebas dari seluruh
perasaan yang tertekan sehingga memudahkan seseorang memanfaatkan kekuatan mau- pun
posisi tubuh lawannya dalam melakukan serangan yang efisien. 5. Senryaku/Senjutsu adalah
konsep tentang strategi pertarungan yang berdasarkan inisiatif/ insting. Ada beberapa model
yang dikenal yang biasanya menjadikan seseorang bertipe tertentu dalam model Kumite
modern. a. Sen no sen, berarti siaga untuk mengantisipasi serangan. nb. Go no sen, berarti
melakukan tangkisan terhadap serangan dan segera melancarkan sebuah serangan balik. s amc
Ho l lesal tep C Sen - ken, berarti melakukan gerakan untuk mengantisipasi gerakan lawan. d.
Tai no sen, berarti inisiatif yang baru diambil seseorang yang bertahan apabila la- wannya
mulai menyerang. ibsi nibahsg sbo e. Sakki, berarti inisiatif yang tertinggi tingkatannya
karena seseorang mampu "mem- baca" rencana pergerakan lawannya dan mampu melakukan
serangan terlebih dahulu sebelum lawannya melancarkan sebuah serangan. Dalam kaitan
dengan Budo juga harus diketahui dengan baik apa yang disebut sebagai Kyusho (titik-titik
vital pada tubuh) yang menjadi sasaran dari Atemi (serangan yang sempurna dan terfokus).
Atemi yang maksimal akan menghasilkan rasa sakit yang luar biasa. Untuk itu, diperlukan
sebuah metode tradisional yang disebut Kuatsu (terapi pemijatan pada titik-titik tertentu yang
berfungsi untuk menetralisasi rasa sakit yang diakibatkan Atemi).

Dalam konsep Kumite Karate modern ada delapan unsur yang harus dikuasai seorang
peserta dalam sebuah kompetisi: semangat yang teguh; 2. teknik yang baik; 1. 3. kecepatan; 4.
waktu dan jarak yang tepat: 5. kestabilan tubuh. pernapasan, dan tenaga. 6. kesadaran
(Zanshin), konsentrasi & fokus: 8 sportivitas mental, Dalam standar Kumite yang dipakai
oleh Shotokan dikenal tiga buah kelompok besar Kumite, yaitu sebagai berikut. i. Kihon
Kumite (Kumite Dasar), terdiri atas: Ippon, Sanbon, dan Gohon. Dipakai sebagai metode
latihan dan materi ujian Kyu. 2. Jiyu Ippon Kumite (Kumite setengah bebas). Bisa dipakai
sebagai metode latihan, materi ujian, maupun pertandingan. 3. Jiyu Kumite (Kumite Bebas),
hanya dipakai dalam pertandingan resmi. Dalam Jiyu Kumite pertandingan dipimpin oleh
Wasit (Sushin) yang dibantu oleh Juri (Fukushin) dan diamati oleh Arbitrator (Kansha) dalam
memberikan penilaian maupun hukuman pada dua orang kontestan yang menggunakan dua
buah sabuk yang berbeda warna (Shiro- Aka / Putih-Merah ataupun Ao-Aka / Biru-Merah)
dan berdasarkan Contact-Factor secara umum dikenal dua jenis sistem utama Kumite berikut:
1. Full Body Contact, yaitu Kumite tanpa adanya pengontrolan apa pun dalam melancarkan
sebuah serangan. Biasanya dibagi dalam 3 set dalam setiap babaknya, dan pemenang
ditentukan seperti model pertandingan tinju, yaitu perolehan argka terbanyak atau yang
berhasil meng-KO-kan lawannya lebih dulu. Kyokushinkai merupakan pelopor dalam hal ini.
Sun Dome, yaitu Kumite dengan pengontrolan sebuah serangan di mana sebuah serang- an
hanya cukup berakhir lebih kurang pada permukaan kulit dan dengan cepat ditarik kembali.
Sistem ini diadopsi oleh mayoritas aliran/perguruan Karate-do di dunia dan merupakan sistem
wajib yang dianut oleh WKF. Waktu pertandingan berlangsung antara 2-3 menit dan siapa
yang berhasil mengumpulkan nilai tertinggi sampai waktu habis adalah pemenangnya.
Apabila nilai berakhir seri, akan dilanjutkan dengan sebuah Enchosen (perpanjangan waktu)
dengan sistem Sudden-death. Dalam penilaian itu akumulasi angka (Waza-ari, Ippon, Nihon,
dan Sanbon) dan pelanggaran (Chukoku, Keikoku, Hansoku Chui, Hansoku) diterapkan
secara ketat. Dilakukan dengan bebe- rapa alat pengaman dalam praktiknya, seperti Hand
Protector (pelindung tangan), Gum Shield (pelindung gusi/gigi), dan sebagainya. 2. Sistem
penilaian yang dipakai dalam jenis ini ada tiga, yaitu:
1. Ippon Shobu, adalah sistem penilaian dalam Kumite yang pertama kali dikenal. Seseorang
hanya membutuhkan dua buah Waza-ari (nilai 1/2) atau 1 buah Ippon (nilai 1) untuk bisa
keluar sebagai pemenang sebelum waktu habis. Dalam praktiknya menggunakan 1 wasit, 4
juri, dan 1 arbitrator. JKA dalam kegiatan internnya masih menggunakan sistem ini sampai
sekarang.
2.Sanbon Shobu, adalah sistem penilaian dalam Kumite yang mulai muncul pada tahun 1980-
an. Seseorang bisa keluar sebagai pemenang apabila telah berhasil mengumpul- kan enam
buah Waza-ari atau tiga buah Ippon sebelum waktu habis. Disebut juga seba- gai “Mirror
Kumite System" karena praktiknya hanya menggunakan satu wasit dan satu juri (yang saling
berdiri berhadapan seperti seseorang yang bercermin) serta satu alarbitrator.
3. Sistem penilaian yang terakhir biasanya secara umum terlanjur disebut sebagai Shobu ig
Hajime (yang diambil dari aba-aba pertama yang diucapkan wasit di saat akan memulai sds
sebuah pertandingan). Namun, saya sendiri lebih memilih untuk menggunakan nama neb
Saidai Hyôka Shobu (pertandingan dengan nilai maksimum) apabila diperkenan- ise kan
untuk memilih sebuah nama yang cocok dalam frasa bahasa Jepang. Hal ini terjadi karena
seseorang baru bisa keluar sebagai pemenang sebelum waktu habis apabila telah berhasil
meraih nilai yang harus berselisih 8 buah Ippon dengan nilai yang dikumpulkan lawannya.
Dalam praktiknya menggunakan 1 wasit, 3 juri dan 1 arbitrator. Dalam sistem ini teknik-
teknik kaki mendapat penghargaan nilai yang lebih besar dari pada teknik- teknik tangan.
BAB III
KELEBIHAN DAN KELEBIHAN
A. KELEBIHAN
 Pada buku abdul wahid ini dijelaskan dengan rinci hal-hal yang bersangkutan
dengan karate
 Dalam buku abdul wahid dijelaskan tentang mengenai pendekatan
pembelajaran mengenai proses mengenai karate
 Dan pada buku ini pembahasannya lebih fokus terhadap gerakan teknik karate
dan secara detail mengenai pembahasan dan mudah dimengerti
 Di dalam buku ini terdapat gambar dan penjelasan setiap gambar yang baik
B. KEKURANGAN
 pada buku sangat simpel dan halaman sangat sedikit yang diberikan pada
buku ini, sehingga membuat para pembaca menjadi malas untuk membacanya.
 Di dalam buku Abdul Wahid ini pembahasan tentang karate tidak begitu luas.
 Di dalam buku lebih mengarah kepada pengerjaan-pengerjaan tugas-tugas
perkuliahan, dan penjelasan buku hanya memaparkan sebagian besar
pembahasan tentang karate
 Pada buku ini kurangnya contoh-contoh yang diberikan dalam setiap bab
pembahasan.
 pada buku ini data tabel ditampilkan dengan jelas.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Shotokan Karate-do memiliki banyak cabang ilmu dan filsafat didalamnya.namun sayangnya,
hal itu tidak sampai pada mereka yang menggelutinya apalagi sampai menjadi inspirasi atau
ideologi. Umumnya orang mempelajari karate hanya sebatas level olah fisik, jarang yang
memerhatikan suasana kejiwaanya. Untuk itulah melalui buku ini akan diperkenalkan karate-do
dari segi filsofi dan budaya yang membentuknya, serta sejarah perkembangannya. Selain itu juga
dijelaskan uraian teknis yang ada didalamnya serta analisis dan komentator yang bersifat ilmiah
modern.
B. Saran
Lebih diperluas lagi tentang pembahasan Shotokan karate-do sehingga lebih banyak wawasan
untuk menjadi bagi pembaca

Anda mungkin juga menyukai