Concept-guided development of technology in ‘traditional’ and ‘innovative’ schools:
quantitative and qualitative differences in technology integration
Penulis : 1. Sandra de Koster
2. Monique Volman 3. Els Kuiper
1. Semakin meningkatnya pelajaran menunjukkan bahwa teknologi digital
mempunyai potensi untuk meningkatkan proses pembelajaran. Selama 25 tahun terakhir ini, banyak literatur yang berkembang yang berfokus pada pendekatan teknologi yang terintegrasi kedalam pendidikan. Didalam literatur tersebut, ditemukan adanya pergeseran yang semula berfokus pada teknologi untuk mengajar dan belajar menjadi berfokus pada pedagogis dan cara-cara dimana teknologi tertentu mendukungnya (pedagogis). Pelajaran yang berfokus pada pedagogi yang didukung oleh teknologi banyak ditemukan di beberapa sekolah di Belanda. Hal tersebut menyiratkan bahwa teknologi hanya dapat dipertimbangkan terintegrasiannya ketika mendukung jenis pengajaran dan pembelajaran tertentu. Penelitian teknologi yang terintegrasi ke dalam kelas ini dilakukan pada lima sekolah dasar di Belanda yang diberi label sebagai sekolah tradisional dan sekolah inovatif yang dikembangkan dan direalisasikan hingga empat teknologi yang mendukung susunan pembelajaran harus sejalan dengan konsep pendidikan sekolah. Konsep pendidikan sekolah merupakan titik awal untuk mengembangkan penggunaan teknologi yang mengintegrasikan teknologi ke dalam pengajaran dan pembelajaran mereka. Lima sekolah Dasar (dua sekolah dengan konsep tradisional dan tiga sekolah dengan konsep inovatif) berpartisipasi untuk mengeksplorasi teknologi yang terintegrasi yang ada kaitannya dengan konsep pendidikan yang berbeda. Pelabelan jenis sekolah hanya merujuk pada konsep sekolah bukan pada tingkat atau jenis penggunaan teknologinya. Pelabelan ini juga didasarkan pada tiga aspek yang bisa digunakan untuk menggambarkan lingkungan pembelajaran, tujuan pembelajaran dan pembagian peran guru dan pelajar dan peran peserta didik dalam kaitannya satu sama lain. Label “tradisional” mengacu pada kurikulum tetap dengan fokus pada produk pembelajaran dan transmisi poengetahuan yang diarahkan oleh guru, masukan dari siswa dibatasi. Sedangkan label “Inovatif” mengacu pada kurikulum yang lebih terbuka dengan fokus pada proses pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pada penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sekolah “tradisional” berkembang kurang kompleks pada penggunaan teknologi yang lebih mudah diimplementasikan, sedangkan sekolah “inovatif” merancang penggunaan teknologi yang agak rumit yang menghambat implementasinya. Menurut Likewise Lim (2007) mencirikan teknologi yang terintegrasi adalah teknologi yang secara efektif digunakan oleh guru untuk mengembangkan keahlian berfikir siswa. Berdasarkan uraian diatas dan dari penelitian sebelumnya, maka pada penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki bagaimana penggunaan teknologi yang terintegrasi dikembangkan ke dalam praktek kelas dari tipe sekolah yang berdeda yang dicirikan secara kualitatif dan kuantitatif. Selama penelitian ini tim guru di setiap sekolah merancang, mengembangkan, dan merealisasikan teknologi untuk peningkatan penyusunan pembelajaran selama dua tahun sekolah. Susunan pembelajaran terdiri dari rencana pembelajaran, termasuk tujuan pembelajaran, alat dan kegiatan. Guru sebagai pembuat jalan, dengan peran aktif dan sukarelanya diharapkan dapat mempengaruhi implementasi dan integrasi susunan pembelajaran yang dirancang dengan memasang rasa kepemilikan (Handelzalts 2009; Maher 1987). Penulis menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Dengan menggabungkan dua metode tersebut penulis mengumpulkan dan menganalisis data dengan teori triangulasi, dimana hasil akhir penelitian berupa sebuah rumusan informasi. Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang relevan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan yang dihasilkan. Karakter kuantitatif yang dicapai dengan merangkum sejumlah alat yang berbeda yang digunakan dalam penyusunan pembelajaran sedangkan karakter kualitatif yang dicapai adalah bagaimana para guru memandang dan menghargai penggunaan teknologi yang dikembangkan disekolah mereka masing-masing. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu wawancara dengan guru dan observasi kelas. Pada setiap sekolah susunan pembelajaran telah dirancang. Para guru di sekolah tradisional mengembangkan penyusunan pembelajaran yang relatif sederhana dan transparan dengan satu atau lebihper penyusunan dan intensitas penggunaan teknologi yang berbeda-beda. Sedangkan para guru di tiga sekolah inovatif, mengembangkan pembelajaran yang didukung teknologi yang cukup komplek. Tidak ada perbedaan yang signifikan yang ditemukan diantara sekolah tradisional dengan sekolah inovatif. Pada kelima sekolah, kombinasi komputer/laptop atau desktop/IWBs telah digunakan pada penyusunan pembelajaran. Pada akhir proyek, IWB telah menggantikan papan tulis tradisional. Di sekolah inovatif penggunaan komputer dan IWB telah dikombinasikan dengan penggunaan alat audiovisual dan mikroskop digital. Berkenaan dengan karakteristik kualitatif, teknologi dianggap sebagai hal yang biasa, teknologi sangat diperlukan dan teknologi dianggap sebagai pengganti atau melengkapi alat tradisional. Dalam penelitian ini kelima sekolah baik dengan konsep tradisional maupun inovatif, mereka berpartisipasi dalam proyek pengembangan konsep-panduan penggunaan teknologi instruksional selama dua tahun. Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana integrasi teknologi yang dicapai oleh dua sekolah berkonsep tradisional dan tiga sekolah berkonsep inovatif yang mengembangkan penggunaan teknologinya dengan sebuah konsep-panduan yang dicirikan secara kuantitatif dan kualitatif. Adapun temuan pada penelitian ini yaitu pada studi kasus eksplorasi ini menunjukkan bahwa sebuah konsep-panduan pengembangan penggunaan teknologi mempromosikan integrasi yang mendukung perbedaan pedagogi ketika mendefinisikan integrasi teknologi secara kualitatif. Temuan ini mendukung temuan sebelumnya, temuan yang meminimalkan jarak antara inovasi teknologi dan praktik pendidikan sekolah yang mempromosikan integrasi teknologi. Peneliti menyimpulkan bahwa ketika mendefinisikan integrasi teknologi pada sebuah cara yang mencakup apresiasi teknologi guru, integrasi yang dicapai di sekolah-sekolah dengan sekolah yang berbeda konsep, tidak harus berbeda. Ini berbeda dengan saran dari Sandholtz et al.1997; Mueller et al.2008 yang mengemukakan bahwa tahap intregasi teknologi tertinggi hanya ditemukan dalam konteks inovatif, konstruktivis mengajar dan belajar.
2. ● Masalah belajar/pembelajaran yang ingin dipecahkan pada penelitian tersebut
adalah peneliti ingin mengetahui : a. Pencapaian teknologi yang terintegrasi pada sekolah-sekolah yang dicirikan dalam istilah kuantitatif yaitu dalam hal jumlah komputer yang tersedia dan jumlah teknologi dalam menyusun pembelajaran yang akan dikembangkan. b. Sejauh mana penggunaan teknologi yang dikembangkan dapat dirasakan oleh guru sebagai bagian integral dari praktik kelas mereka c. Perbedaan yang ditemukan diantara tipe sekolah dengan konsep tradisional dan konsep inovatif yang sehubungan dengan indikator kuantitatif dan kualitatif dari integrasi teknologi. ● Termasuk kedalam kawasan Pengembangan karena kawasan pengembangan berakar pada produksi media dimana peneliti ingin mengembangkan teknologi yang terintegrasi ke dalam praktek ruang kelas, mengembangkan alat teknologi yang dapat menggantikan alat pembelajaran tradisional (komputer/laptop yang menggantikan papan tulis). Menurut Barbara B.Seels dan Rita C. Richey dalam bukunya menyebutkan bahwa kawasan pengembangan mencakup banyak variasi teknologi diantaranya teknologi cetak, audiovisual, berbasis komputer dan terpadu. Kawasan ini tidak lepas dari teori dan praktek yang berhubungan dengan belajar dan desain dan juga timbul karena dorongan teori dan desain dan harus tanggap terhadap tuntunan penilaian formatif dan praktek pemanfaatn serta kebutuhan penmgelolaan. Kawasan ini terdapat ketertarikan yang komplek antara teknologi dan teori yang mendorong baik desain pesan maupun strategi pembelajaran.
3. Teori/konsep/prinsip yang menjadi landasan pada penelitian ini adalah
a. Teori teknologi dan informasi (ICT) Menurut Libbele, 2004 berpendapat bahwa all equipment, process, procedure and system used to provide and support information system (both computerized and manual). Teknologi informasi dan komunikasi mempunyai pengertian dari dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Informasi itu sendiri menggambarkan pandangan hierarki yang akrab tentang hubungan antara data, informasi, pengetahuan dan kebijaksanaan. Informasi ada sebagai data yang terbentuk yang digunakan oleh orang-orang tetapi mereka harus masih mencari dan menginterpretasikan informasi itu sendiri. Antara teori informasi dan teori komunikasi, terdapat hubungan sejarah. Hobart berpendapat cara yang paling berguna untuk memahami dan meningkatkan efisiensi bidang audiovisual adalah melalui konsep komunikasi. Pada awalnya teori komunikasi yang mendapat perhatian adalah teori yang dikemukakan oleh Shanoon & Weaver yang merupakan teori matematis dalam komunikasi yang bersifat linear dengan arah tertentu dan tetap yaitu sumber (komunikator) kepada penerima (komunikan). Seperti halnya teori belajar, terdapat banyak perspektif untuk dipertimbangkan sehubungan dengan teori komunikasi.
b. Teori Pendidikan/Belajar ( Behaviorisme, Kognitivisme, Konstruktivisme )
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hierarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997). Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekadar hubungan stimulus dan respon. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekadar pembentukan atau shaping. Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya. Kognisi adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan “pusat” penggerak berbagai kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat berbagai masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik simpulan dan sebagainya. Di samping itu, teori ini pun mengenal konsep bahwa belajar ialah hasil interaksi yang terus-menerus antara individu dan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Teori kognitivisme mengungkapkan bahwa belajar yang dilakukan individu adalah hasil interaksi mentalnya dengan lingkungan sekitar sehingga menghasilkan perubahan pengetahuan atau tingkah laku. Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
4. Kontribusi hasil penelitian terhadap Teknologi Pendidikan
Menurut Niederhauser dan Stoddart (2001) menemukan bahwa guru cenderung berlaku teknologi dengan cara yang konsisten dengan perspektif pribadi mereka tentang kurikulum dan praktek pengajaran. Penelitian lain juga menemukan cocok dengan pedagogi sekolah, sering didefinisikan sebagai strategi pembelajaran sekolah, teknik atau pendekatan yang biasa digunakan menyampaikan instruksi atau memfasilitasi pembelajaran, untuk menjadi penting dalam mendukung integrasi teknologi ke dalam praktek kelas. Berdasarkan keterangan diatas, disimpulkan bahwa jika penggunaan teknologi dikembangkan untuk mencocokkan konsep pendidikan sekolah, peluang untuk keberhasilan integrasi teknologi meningkat. Konsep panduan pendekatan untuk pengembangan penggunaan teknologi yaitu mengambil konsep pendidikan sekolah sebagai titik awal utama untuk mengembangkan penggunaan teknologi, telah diusulkan sebagai cara untuk membantu sekolah mengintegrasikan teknologi kedalam pengajaran dan pembelajaran mereka.
5. Kelemahan/keterbatasan penelitian ini adalah sejauh mana tingkat integrasi yang
ditemukan (terkait pendekatan konsep panduan) tidak dapat disimpulkan dari studi kasus eksplorasi ini. Saran : Melakukan penelitian lebih lanjut di sekolah-sekolah dengan berbagai konsep pendidikan yang lebih luas, diperlukan penelitian untuk mendapatkan lebih banyak wawasan tentang faktor-faktor dalam konteks pendekatan konsep panduan dan pada penelitian selanjutnya juga harus fokus pada sejauh mana sebenarnya penggunaan teknologi terintegrasi membantu meningkatkan praktek-praktek tersebut.