Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Antisipasi Keterlambatan Proyek Menggunakan Metode What If

diterapkan pada Microsoft Project (Unas dkk, 2014)

Percepatan pertama adalah dengan cara penambahan jam kerja pada

aktivitas jalur kritis. Untuk aktivitas pengerjaan pelat dan balok lantai 1, diketahui

data awal durasi pengerjaan 6 hari, jumlah tenaga kerja awal 35 tukang dan 45

pekerja. Jumlah penambahan maksimum tenaga kerja adalah 17 orang setiap

harinya. Perhitungan untuk mencari percepatan durasi akibat penambahan jam

kerja dapat dihitung dengan persamaan berikut:

∆H′ x d
dp = ......................................................................... (2.1)
∆H′ +H

ΔH’ merupakan penambahan jam kerja, H adalah jumlah jam kerja

rencana, d menunjukkan durasi awal, dp menunjukkan durasi setelah percepatan.

Jadi, apabila ditambah 4 jam maka durasi bisa dipercepat menjadi = 6 – 0,667=

5,33 hari. Langkah tersebut diulang untuk penambahan jam kerja pada aktivitas

jalur kritis sampai durasi akhir pekerjaan tidak mengalami keterlambatan sesuai

jadwal rencana awal.

Hasil akhir pengaruh setelah dilakukan perhitungan disajikan dalam

bentuk grafik pengaruh durasi terhadap penambahan jam kerja pada pekerjaan

pelat dan balok pada Gambar 2.1.

10
11

Gambar 2.1 Pengaruh durasi terhadap penambahan jam kerja pada pelat dan balok
(Sumber: Unas, 2014)

Pada penggunaan metode ini sendiri memiliki kelebihan penambahan

dilakukan bukan hanya penambahan tukang atau pekerja setiap pekerjaan, tetapi

pada metode ini dilakukan secara tim yaitu penambahan pada tukang dan pekerja

setiap pekerjaan. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah dengan metode

“What If” merupakan alternatif metode penjadwalan yang dapat mengejar

keterlambatan proyek konstruksi dengan cara menambahkan tenaga kerja atau jam

kerja pada setiap pekerjaan guna mengejar keterlambatan proyek, sehingga proyek

yang sudah terlambat dapat kembali ke waktu utama penjadwalan. Studi kasus

dalam penelitian ini adalah keterlambatan pembangunan proyek Apartemen

Tamansari Bandung. Durasi rencana pekerjaan struktur utama adalah 282 hari

sedangkan total durasi pekerjaan Apartemen Tamansari Panoramic adalah 404

hari. Dikarenakan keterlambatan sehingga pekerjaan struktur utama menjadi 298

hari dan total durasi pekerjaan menjadi 413 hari. Dengan metode ini

keterlambatan proyek dapat dikejar sehingga kembali ke waktu normal tanpa

adanya penambahan biaya.


12

2.1.2 Analisa “What If” Sebagai Metode Antisipasi Keterlambatan Durasi

Proyek (Alifen dkk, 1999)

Pada contoh model keterlambatan yang terjadi dimulai pada aktivitas A

digunakan sebagai contoh perhitungan dengan algorithm sebagai berikut:

1. Mengumpulkan data dari aktivitas A sebagai berikut:

a. Durasi rencana aktivitas A adalah d = 7 hari.

b. Float = 0 hari berarti aktivitas A merupakan aktivitas kritis.

c. Jumlah pekerja rencana untuk menyelesaikan aktivitas A adalah n = 9 orang .

d. Jam kerja rencana dalam sehari, untuk aktivitas A adalah H = 8 jam/hari.

e. Total jam-orang yang dibutuhkan untuk menyelesaikan aktivitas A adalah

∑mh = 504 jam-orang.

2. Bila aktivitas A mengalami keterlambatan 10% keterlambatan pada aktivitas

A: delay = 10% x durasi = 10% x 7 = 0,7 hari.

3. Keterlambatan pada proyek = delayp = delay + float = 0,7 + 0 = 0,7 hari

Diperiksa apakah delayp > 0  0,7 > 0 → proyek mengalami delay akibat

keterlambatan aktivitas A sebesar 10%.

4. Periksa aktivitas pengikut dari aktivitas A adalah B, G, C, E, H, I, F.

5. Alternatif percepatan pada aktivitas pengikut agar total durasi proyek tetap:

a. Aktivitas B dipercepat. Data-data aktivitas B adalah sebagai berikut:

ds = 8 hari; H = 8 jam/hari

floats= 4 hari; ∑mh = 320 jam-orang

n = 5 orang

d’s = ds + floats – delayp = 8 + 4 – 0,7 = 11,3 hari


13

Diperiksa d’s < ds  11,3 > 8 → tidak memenuhi

Jadi untuk keterlambatan aktivitas A sebesar 10% atau 0,7 hari,

percepatan pada aktivitas B tidak dapat dipakai, karena durasi percepatan (ds’)

yang dibutuhkan lebih besar dari durasi aktivitas B. Hal ini disebabkan karena

aktivitas B memiliki float atau waktu ekstra sebesar 4 hari, sehingga untuk

mempercepat aktivitas B sebesar 0,7 hari tidak akan berpengaruh terhadap durasi

proyek secara keseluruhan

b. Aktivitas C dipercepat. Data-data aktivitas C adalah sebagai berikut:

ds = 4 hari; H = 8 jam

floats = 0 hari; mh = 224 jam-orang

n = 7 orang

d’s = ds + floats – delayp = 4 + 0 – 0,7 = 3,3 hari

diperiksa d’s <ds  3,3 < 4 → memenuhi

diperiksa ds > 2.delayp  4 > 2.0,7  4 > 1,4 → memenuhi

Jadi percepatan pada aktivitas C dapat dilakukan.

6. Melakukan percepatan pada aktivitas C dengan cara:

a. Menambah jumlah pekerja:


ΣmH 224
Δn = n’ – n = ( (d′s x H) – n = ( 3,3 x 8) – 7 = 1,485 orang

Diperiksa, n’ = n + Δn  nopt     → memenuhi

b. Menambah jam kerja:


ΣmH 224
ΔH = H’ – H =( (d′s x n) – H = 3,3 x 7) – 8 = 1,697 jam

diperiksa H’ = H + H  Hopt  9,697  12 jam → memenuhi.


14

7. Langkah-langkah percepatan di atas diulang pada aktivitas-aktivitas pengikut

lainnya. (E, F, G, H, dan I) terlihat pada Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Aktivitas A mengalami keterlambatan 10%

(Sumber: Alifen, 1999)

Metode Jalur Kritis atau Critical Path Method (CPM) merupakan suatu

metode penjadwalan proyek yang sudah dikenal dan sering digunakan sebagai

sarana manajemen dalam pelaksanaan proyek. Sebuah studi telah dilakukan untuk

mengatasi masalah percepatan durasi aktivitas sebagai langkah antisipasi

keterlambatan proyek, dengan analisa “what if” yang diterapkan pada jadwal

CPM. Percepatan durasi dilakukan pada aktivitas-aktivitas pengikut dengan

menambah jumlah jam kerja dan jumlah pekerja pada aktivitas percepatan.

2.1.3 Percepatan Proyek dengan Menggunakan Metode What If Pada Proyek

Peningkatan Kapasitas Jalan Batas Kota Ruteng–Km 210-Batas Kab.

Manggarai Nusa Tenggara Timur (Putri dkk, 2014)

Penelitian ini menggunakan metode what if pada proyek dengan cara

menambah alat berat untuk mempercepat durasi proyek. Perhitungan analisis ini

ditinjau pada dump truck karena memiliki kapasitas produksi yang paling rendah

dibanding alat berat yang lain yaitu sebesar 7,36 m3/jam. Pada perhitungan
15

digunakan 2 Dump Truck, sehingga kapasitas produksi total: 2 x 7,36 = 14,72

m3/jam. Waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan: 85,289 jam , dalam 1 hari

produktif penggunaan alat berat adalah 7 Jam, maka jumlah hari yang diperlukan:

85,2897 = 13 hari. Hasil akhir perhitungan percepatan aktivitas durasi disajikan

dalam bentuk Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Durasi aktivitas setelah melakukan analisa

(Sumber: Putri, 2014)

Aktivitas yang mengalami keterlambatan pada proyek peningkatan

kapasitas jalan batas kota Ruteng adalah aktivitas yang terletak pada lintasan kritis

yaitu pada pekerjaan Divisi 2: Pekerjaan Tanah, Pekerjaan Divisi 4: Pelebaran

Perkerasan dan Bahu Jalan, Pekerjaan Divisi 6: Perkerasan Aspal, dan Pekerjaan

Divisi 7: Struktur.

Pengaruh keterlambatan proyek terhadap total durasi ialah bertambahnya

durasi pekerjaan. Pada perencanaan awal seharusnya proyek selesai pada tanggal

11 November 2013, Namun dikarenakan keterlambatan yang terjadi menjadi 27

November 2013. Keterlambatan yang terjadi sekitar 15 hari kerja dari jadwal yang
16

telah di rencanakan. Hal tersebut dikarenakan keterlambatan yang terjadi terdapat

pada jalur kritis.

Alternatif yang dapat diambil untuk percepatan ini ialah menggunakan

metode What If untuk mempercepat durasi pekerjaan pada lintasan kritis dengan

cara menghitung durasi pekerjaan dengan meninjau kapasitas produksi alat berat

untuk setiap volume pekerjaan.

Dampak yang terjadi pada proyek ini setelah penerapan What If adalah

pekerjaan-pekerjaan yang terlambat dapat diselesaikan selama yaitu 166 hari, 14

hari lebih cepat daripada rencana awal yaitu 180 hari.

2.1.4 Mengantisipasi Keterlambatan dan Solusi Percepatan Dengan Analisis

“What If” (Petra dkk, 2017)

Keterlambatan dimulai dari boplang dan pengukuran, aktivitas ini akan

digunakan sebagai contoh perhitungan. Aktivitas boplang dan pengukuran

mengalami keterlambatan 10% maka dianalisis “what if” dengan analisis sebagai

berikut:

1. Memasukkan data dari analisis penjadwalan yang meliputi:

a. Durasi aktivitas (d) = 4 hari

b. Float = 0

c. Jumlah pekerja aktivitas (n) boplang dan pengukuran adalah 18 orang.

d. Jam kerja dalam sehari (H) untuk aktivitas boplang dan pengukuran adalah 8

jam/hari.

e. Total jam-orang (Σmh) yang dibutuhkan untuk menyelesaikan aktivitas

boplang dan pengukuran adalah Σmh = d x n x H = 576 jam-orang.


17

2. Bila aktivitas boplang dan pengukuran mengalami keterlambatan 10% dari

durasi semula, maka keterlambatan pada aktivitas boplang dan pengukuran:

delay = 10% x durasi aktivitas boplang dan pengukuran = 10% x 4 = 0,4 hari.

3. Keterlambatan pada kegiatan konstruksi = delay p = delay – float = 0,4 – 0 =

0,4 hari. Diperiksa apakah delay p > 0 ↔ 0,4 > 0 maka memenuhi, kegiatan

konstruksi mengalami delay akibat boplang dan pengukuran sebesar 10%.

4. Successor aktivitas boplang dan pengukuran adalah tiang pancang 20x20.

5. Alternatif percepatan pada aktivitas pengikut agar total durasi kegiatan

konstruksi tetap:

Aktivitas tiang pancang 20x20 akan dipercepat. Data-data tiang pancang

20x20 adalah sebagai berikut:

1. ds = 30 hari, ds adalah durasi aktivitas pengikut.

2. n = 17 orang.

3. H = 8 jam/hari.

4. Floats = 0 hari, floats adalah float aktivitas pengikut.

5. ΣmH = ds x n x H = 30 x 17 x 8 = 4080 jam-orang.

6. d’s = ds + floats – delayp = 30 + 0 – 0,4 = 29,6 hari.

7. Diperiksa apakah ds ≥ 2delayp ↔ 30 ≥ 2(0,4) memenuhi untuk dilakukan

percepatan.

8. Diperiksa apakah d’s < ds ↔ 29,6 < 30 memenuhi untuk dilakukan

percepatan.

Jadi, percepatan pada aktivitas tiang pancang 20x20 dapat dilakukan.

Melakukan percepatan pada aktivitas tiang pancang 20x20 dengan cara:


18

1. Menambah jumlah pekerja:

a. Δn = n’ – n = (ΣmH/d’s x H)−𝑛=(4080/29,6 x 8)−17=0,23 orang.

b. Batasan jumlah pekerja maksimal untuk melakukan tiang pancang 20x20

dianggap tersedia. Maka Δn ≤ n opt memenuhi.

2. Menambah jam kerja:

a. ΔH = H’ – H = (ΣmH/d’s x n)−𝐻=(4080/29,6 x 17)−8 = 0,11 jam.

b. Batasan jam kerja maksimal untuk melakukan aktivitas tiang pancang 20x20

adalah H optimum = 3 jam.

c. Diperiksa apakah ΔH ≤ H opt ↔ 0,11 ≤ 3 memenuhi.

Hasil perhitungan analisis ditampilkan dalam Tabel 2.3 dan Tabel 2.4

berikut:

Tabel 2.3 Analisa aktivitas boplang dan pengukuran mengalami


keterlambatan 10%

(Sumber: Petra, 2017)


19

Tabel 2.4 Analisa aktivitas boplang dan pengukuran mengalami


keterlambatan 20%

(Sumber: Petra, 2017)

Kesimpulan yang didapat dengan Metode “What if” dengan penjadwalan

PDM ini dapat digunakan sebagai salah satu metode untuk mengantisipasi

keterlambatan proyek dan dapat memberikan acuan kepada seorang manajer

proyek dan juga pemilik proyek untuk mengambil keputusan yang tepat dan cepat
20

untuk meminimalisasikan keterlambatan proyek secara keseluruhan. Sehingga

diharapkan dapat mengembalikan rencana jadwal proyek seperti rencana semula.

2.1.5 Analisis Metode “What If” Sebagai Antisipasi Keterlambatan Proyek

(Studi Kasus pada Proyek Pembangunan Tower C Puncak Dharma Husada

Surabaya) (Maulana, 2003)

Pada model penjadwalan CPM, dimulai dari aktivitas dan berakhirnya

kegiatan. Untuk contoh perhitungan diambil pada aktivitas C1.

A. Analisis Keterlambatan 10%

1. Data aktivitas yang dimasukkan dari model CPM meliputi:

a. Durasi rencana adalah d = 252 hari.

b. Tenggang waktu (float) = 0 hari artinya aktivitas, adalah aktivitas kritis

c. Jumlah tenaga kerja rencana untuk menylesaikan aktivitas C1 adalah = 58

orang

d. Jam kerja dalam sehari aktivitas untuk aktivitas pekerjaan tanah dan lain-lain

adalah H = 8 jam/hari

e. Total jam–orang yang dibutuhkan untuk menyelesaikan aktivitas C1 adalah

Ʃmh = d x n x H = 252 x 32 x 7 = 121716 jam-orang

2. Bila aktivitas pekerjaan tanah dan lain-lain, mengalami keterlambatan 10 %

dari durasinya, keterlambatan pada aktivitas C1: delayp = 10% x 252 = 25,2

hari.

3. Keterlambatan pada proyek delayp = delay-foat = 25,2 - 0 = 25,2 hari. Periksa

benarkah delayp > 0 ↔ 25,2 > 0 → apakah terjadi keterlambatan pada proyek

jika mengalami delay sebesar 10% pada aktivitas C1.


21

4. Memeriksa aktivitas successor (pengikut) dari aktivitas C1, yaitu pekerjaan

beton lantai C2, C3 dan lain-lain.

5. Alternatif bila percepatan pada aktivitas pengikut agar kembali normal total

durasinya:

a. Aktivitas C2 dengan data-data aktivitas C2 adalah sebagai berikut:

ds = 249 hari

float = 0 hari

n = 67 orang

H = 7 jam/hari

Ʃmh = 116781 jam-orang

b. Durasi dipercepat d’s = ds+floats-delayp = 249-0-25,2 = 223,8 hari.

Diperiksa d’s < ds ↔ 223,8 hari < 249 hari → memenuhi.

Diperiksa ds > 2delayp↔249 hari > 2 x 25,2 = 50,4 hari → memenuhi, jadi

percepatan pada aktivitas pekerjaan beton lantai lower ground, mezz, dan

utilitas dapat dilakukan.

Melakukan percepatan pada aktivitas pekerjaan beton lantai lower

ground, mezz, & utilitas, dengan cara:

a. Δn = n’-n = (Σ𝑚𝐻/𝑑 𝑥 𝐻 )-n = 116781/223, 8 𝑥 7 – 67 = 7,5 𝑜𝑟𝑎𝑛g

b. Total penambahan jumlah tenaga kerja = 67+7,5 = 74,5 orang → 74,5

orang/hari

c. ΔH = H’-H = Σ𝑚𝐻/𝑑′𝑠 𝑥 𝑛−𝐻 → 116781/223,8 𝑥 67−7 = 0,788 jam/hari

d. Diperiksa ΔH ≤ 4

e. Total penambahan jam kerja = 7 + 0,78 = 7,08 jam/hari


22

Hasil perhitungan aktivitas yang dilakukan penambahan tenaga kerja


ditampilkan dalam Tabel 2.5 dan Tabel 2.6.
Tabel 2.5 Penambahan tenaga kerja akibat keterlambatan aktivitas C1

(Sumber: Maulana 2003)

Tabel 2.6 Penambahan jam kerja akibat keterlambatan aktivitas C1

(Sumber: Maulana 2003)

Berdasarkan hasil analisis penelitian, secara umum dapat diambil

kesimpulan:

1. Untuk mengetahui kinerja waktu suatu aktivitas diperlukan aplikasi ms

project untuk aktivitas kritis, yang terdapat pada pekerjaan struktur yang

mana terjadi pada pekerjaan lantai p1 sampai dengan lantai 31-33.


23

2. Biaya total pekerjaan struktur apartemen adalah senilai Rp 49.523.302.864.

Penambahan biaya yang di perhitungkan merupakan biaya penambahan jam

kerja ( biaya perhari dan perjam) dan tenaga kerja, Untuk keterlambatan 10%

penambahan biaya untuk tenaga kerja adalah Rp 1.572.327.695 dan biaya

untuk penambahan jam kerja sebesar Rp 1.669.202.142.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Proyek Konstruksi

Proyek konstruksi sudah dikenal dan dikerjakan berabad-abad yang lalu

karena itu proyek konstruksi bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat. Seiring

berjalannya waktu ada yang berubah dan merupakan hal baru dalam proyek

konstruksi yaitu dimensi, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sejalan dengan

perubahan tersebut timbul persaingan yang ketat di dunia konstruksi, hal itu

mendorong para pengusaha/praktisi untuk mencari dan menggunakan cara-cara

pengelolaan, metode serta teknik yang paling baik, sehingga penggunaan sumber

daya benar-benar efektif dan efisien. Adapun beberapa definisi dari proyek yang

dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian, yaitu:

1. Proyek merupakan suatu rangkaian kegiatan yang hanya satu kali

dilaksanakan dan umumnya berjangka waktu pendek dimana terdapat suatu

proses yang mengolah sumber daya proyek menjadi suatu hasil kegiatan yang

berupa bangunan (Ervianto, 2004).

2. Proyek adalah suatu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka

waktu terbatas, dengan alokasi sumber daya tertentu dan dimaksudkan untuk
24

melaksanakan tugas yang sasarannya telah digariskan dengan jelas (Soeharto,

1995).

3. Proyek adalah suatu upaya yang diorganisasikan untuk mencapai tujuan,

sasaran dan harapan-harapan penting dengan menggunakan anggaran dan

sumber daya yang tersedia, yang disesuaikan dengan jangka waktu tertentu

(Dipohusodo, 1995).

4. Proyek adalah gabungan dari berbagai sumber daya, yang dihimpun dalam

suatu wadah organisasi sementara untuk mencapai suatu sasaran tertentu

(Cleland dan King, 1987).

Menurut Soeharto (1995) ciri-ciri pokok proyek adalah:

a. Memiliki tujuan yang khusus, produk akhir atau hasil kerja akhir.

b. Jumlah biaya, sasaran jadwal serta kriteria mutu dalam proses mencapai

tujuan proyek telah ditentukan.

c. Bersifat sementara, dalam arti umurnya dibatasi oleh selesainya tugas. Titik

awal dan akhir ditentukan dengan jelas.

d. Nonrutin, tidak berulang-ulang. Jenis dan intensitas kegiatan berubah

sepanjang proyek berlangsung.

2.2.2 Manajemen Proyek

Definisi manajemen proyek menurut Ervianto (2004) adalah semua

perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan koordinasi suatu proyek dari awal

(gagasan) hingga berakhirnya proyek untuk menjamin pelaksanaan proyek secara

tepat waktu, tepat biaya dan tepat mutu. Menurut Koontz dkk (1996) manajemen

adalah proses merencanakan, mengorganisir, memimpin dan mengendalikan


25

kegiatan anggota serta sumber daya yang lain untuk mencapai sasaran organisasi

perusahaan yang telah ditentukan. Manajemen proyek sendiri terbagi menjadi

bagian-bagian ilmu yaitu manajemen waktu, manajemen biaya, manajemen mutu,

manajemen sumber daya manusia, manajemen lapangan, manajemen hubungan

kerja, manajemen resiko, manajemen usaha, dan manajemen kekompakan (Austen

dan Neale, 1991).

Aspek-aspek dari manajemen waktu yaitu menentukan penjadwalan

proyek, mengukur dan membuat laporan dari kemajuan proyek, membandingkan

penjadwalan dengan kemajuan proyek sebenarnya di lapangan, menentukan akibat

yang ditimbulkan oleh perbandingan jadwal dengan kemajuan di lapangan pada

akhir penyelesaian proyek, merencanakan penanganan untuk mengatasi akibat

tersebut, yang terakhir memperbaharui kembali penjadwalan proyek (Austen dan

Neale, 1991). Sedang aspek-aspek manajemen waktu itu sendiri merupakan

proses yang saling berurutan satu dengan yang lainnya.

Manajemen waktu termasuk kedalam proses yang diperlukan untuk

memastikan waktu penyelesaian suatu proyek. Sistem manajemen waktu berpusat

pada berjalan atau tidaknya perencanaan dan penjadwalan proyek. Dimana dalam

perencanaan dan penjadwalan tersebut telah disediakan pedoman yang spesifik

untuk menylesaikan aktivitas proyek dengan lebih cepat dan efisien (Austen dan

Neale, 1991)

Perencanaan menempati urutan pertama dari fungsi-fungsi lain seperti

mengorganisir, memimpin, dan mengendalikan. Perencanaan adalah proses yang

mencoba meletakkan dasar tujuan dan sasaran termasuk menyiapkan segala


26

sumber daya untuk mencapainya (Soeharto, 1995). Kunci utama keberhasilan

melaksanakan proyek tepat waktu adalah perencanaan dan penjadwalan proyek

yang lengkap dan tepat. Keterlambatan dapat dianggap sebagai akibat tidak

dipenuhinya rencana jadwal yang telah dibuat, karena kondisi kenyataan tidak

sama/sesuai dengan kondisi saat jadwal tersebut dibuat.

2.2.3 Perencanaan Proyek

Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen proyek yang

sangat penting, yaitu menentukan langkah-langkah kegiatan yang akan datang

yang diperlukan untuk mencapai sasaran. Hal ini berarti pertama-tama

menentukan sasaran yang hendak dicapai kemudian menyusun urutan langkah-

langkah kegiatan untuk mencapainya. Perencanaan dimaksudkan untuk

menjembatani antara sasaran yang akan diraih dan keadaan atau situasi pada awal

(Soeharto, 1999).

Perencanaan adalah tulang punggung keseluruhan proyek, dan harus

didasarkan atas sasaran yang jelas. Dengan perencanaan yang tepat, sumber daya

yang memadai dapat disediakan pada saat yang tepat, waktu yang cukup

dialokasikan untuk setiap tahap proses, dan berbagai komponen kegiatan dimulai

pada saat yang tepat (Austen dan Neale, 1991).

Perencanaan jadwal proyek dapat dilakukan dengan baik dan realitis,

apabila di dalam proses perencanaan jadwal dilakukan secara bertahap dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengindentifikasi jenis-jenis aktivitas proyek.


2. Menentukan durasi masing-masing aktivitas sesuai dengan produktivitas

sumber daya yang ada.


27

3. Menentukan hubungan antara aktivitas, dan urutan kerja antara aktivitas satu

dengan aktivitas yang lain.

4. Melihat kembali apakah durasi dan urutan aktivitas sudah masuk akal dan

bisa dilaksanakan di lapangan.

Menurut AGCA dalam Patilang (2009), faktor-faktor yang

melatarbelakangi pembuatan jadwal proyek adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi Aktivitas-aktivitas Proyek

Identifikasi aktivitas-aktivitas proyek bertujuan untuk mengetahui secara

rinci kegiatan-kegiatan yang akan ada dalam pelaksanaan proyek.

Pengidentifikasian aktivitas yang baik dan lengkap diperoleh dari peninjauan,

pemahaman, dan analisa yang cermat atas semua dokumen kontrak proyek yang

ada. Oleh karena itu dokumen kontrak harus benar-benar lengkap

menginformasikan lingkungan pekerjaan yang akan dilakukan.

2. Estimasi Durasi Aktivitas

Estimasi durasi aktivitas adalah memperkirakan panjang waktu yang

diperoleh untuk menyelesaikan aktivitas tersebut. Durasi aktivitas adalah waktu

(production rate) kualitas kerja dapat diketahui dari data dan pengalaman dengan

memperhatikan ketersediaan semua sumber daya (bahan, alat, tenaga kerja) dan

kendala-kendala lainnya.

3. Penyusunan Rencana Kerja Proyek

Penyusunan rencana kerja dimaksudkan untuk menentukan

tahapan/urutan aktivitas kerja dalam melakukan proyek. Urutan aktivitas ini


28

diperlukan untuk menggambarkan hubungan antara berbagai aktivitas yang ada

dalam proses pelaksanaan proyek.

4. Penjadwalan Aktivitas-aktivitas Proyek

Penjadwalan proyek pada dasarnya adalah menentukan pada saat kapan

suatu aktivitas harus dimulai dan berakhir. Rangkaian aktivitas-aktivitas dengan

durasi masing-masing yang telah diurutkan akan membentuk rangkaian

penjadwalan aktivitas yang menjadi jadwal pelaksanaan proyek.

5. Peninjauan Kembali Jadwal

Faktor ini bertujuan menjamin bahwa jadwal proyek adalah masuk akal

dan lengkap, sedangkan analisa yang dapat bermaksud menjamin bahwa jadwal

tersebut merupakan rencana yang dapat dikerjakan dengan pertimbangan sumber

daya produksi dan manajerial yang ada.

6. Penerapan Jadwal

Penerapan jadwal adalah tahapan akhir proses perencanaan dan

penjadwalan proyek, dimana jadwal telah cukup lengkap dan akurat untuk dipakai

melakukan dan memonitori pelaksanaan proyek. Menurut Ervianto (2004),

manfaat dan kegunaan penyusunan perencanaan proyek antara lain:

1. Alat koordinasi bagi pemimpin, dengan menggunakan rencana kerja,

pemimpin pelaksanaan pembangunan dapat melakukan koordinasi semua

kegiatan yang ada di lapangan.

2. Sebagai pedoman kerja para pelaksana, rencana kerja merupakan pedoman

terutama dalam kaitannya dengan batas waktu yang telah ditetapkan untuk

setiap item kegiatan.


29

3. Sebagai penilai kemajuan pekerjaan, ketepatan waktu dari setiap item

kegiatan dilapangan dapat dipantau dari rencana pelaksanan dengan realisasi

pelaksanaan di lapangan.

4. Sebagai evaluasi pekerjaan, variasi yang ditimbulkan dari pembandingan

rencana dan realisasi dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk

menentukan rencana selanjutnya.

Perencanaan merupakan bagian terpenting untuk mencapai keberhasilan

proyek konstruksi. Pengaruh perencanaan terhadap proyek konstruksi akan

berdampak pada pendapatan dalam proyek itu sendiri. Hal ini dikuatkan dengan

berbagai kejadian dalam proyek konstruksi yang menyatakan bahwa perencanaan

yang baik dapat menghemat ± 40% dari biaya proyek, sedangkan perencanaan

yang kurang baik dapat menimbulkan kebocoran anggaran sampai ± 400%.

2.2.4 Keterlambatan Proyek

Pengertian keterlambatan (delay) adalah sebagian waktu pelaksanaan

yang tidak dapat dimanfaatkan sesuai dengan rencana, sehingga menyebabkan

beberapa kegiatan yang mengikuti menjadi tertunda atau tidak dapat diselesaikan

tepat sesuai jadwal yang direncanakan (Ervianto, 2004).

Keterlambatan proyek dapat disebabkan oleh pihak kontraktor, pemilik,

atau disebabkan oleh keadaan alam dan lingkungan diluar kemampuan manusia

atau disebut dengan force majeure. Standar dokumen kontrak yang diterbitkan

oleh AIA (American Institute of Architects) membedakan keterlambatan proyek

menjadi 3 kelompok:
30

1. Excusable/compensable adalah keterlambatan yang beralasan dan dapat

dikompensasi. Kasus keterlambatan yang beralasan dan dapat dikompensasi

adalah keterlambatan yang disebabkan oleh pihak pemilik dalam kaitannya

karena tidak dapat menyediakan jalan tempuh ke proyek, perubahan gambar

rencana, perubahan lingkup pekerjaan kontraktor, keterlambatan dalam

menyetujui gambar kerja, jadwal, dan material, kurangnya koordinasi dan

supervisi lapangan pembayaran tertunda, campur tangan pemilik yang bukan

wewenangnya. Dalam kasus ini kontraktor berhak atas dispensasi waktu dan

biaya ekstra.

2. Excusable/noncompensable adalah keterlambatan yang beralasan, tetapi tidak

dapat dikompensasi. Kasus keterlambatan yang beralasan, tetapi tidak dapat

dikompensasi adalah keterlambatan yang diluar kemampuan baik kontraktor

maupun pemilik. Sebagai contoh, cuaca buruk, kebakaran, banjir, pemogokan

buruh, peperangan, perusakan oleh pihak lain, larangan kerja, wabah

penyakit, inflasi/eskalasi harga dan lain sebagainya. Kasus ini biasanya

disebut dengan force majeure.

3. Non-excusable adalah keterlambatan yang tidak beralasan. Kasus

keterlambatan yang tidak beralasan adalah keterlambatan yang disebabkan

karena kegagalan kontraktor memenuhi tanggung jawabnya dalam

pelaksanaan proyek. Sebagai contoh, kekurangan dalam penyediaan sumber

daya proyek (manusia, alat, material, subkontraktor, uang), kegagalan

koordinasi lapangan, kegagalan perencanaan jadwal, produktivitas yang


31

rendah, dan sebagainya. Dalam kasus ini kontraktor akan terkena denda

penalti sesuai dengan kontrak (Arditi dan Patel, 1989)

Kasus keterlambatan yang beralasan dan dapat dikompensasi adalah

keterlambatan yang disebabkan oleh pihak pemilik dalam kaitannya karena tidak

dapat menyediakan jalan tempuh ke proyek, perubahan gambar rencana,

perubahan lingkup pekerjaan kontraktor, keterlambatan dalam menyetujui gambar

kerja, jadwal, dan material, kurangnya koordinasi dan supervisi lapangan,

pembayaran tertunda, campur tangan pemilik yang bukan wewenangnya. Dalam

kasus ini kontraktor berhak atas dispensasi waktu dan biaya ekstra. Sedangkan

Kasus keterlambatan yang tidak beralasan adalah keterlambatan yang disebabkan

karena kegagalan kontraktor memenuhi tanggung jawabnya dalam pelaksanaan

proyek. Sebagai contoh, kekurangan dalam penyediaan sumber daya proyek

(manusia, alat, material, subkontraktor, uang), kegagalan koordinasi lapangan,

kegagalan perencanaan jadwal, produktivitas yang rendah, dan sebagainya.

Dalam kasus ini kontraktor akan terkena denda penalti sesuai dengan kontrak.

(Alifen dkk, 1999)

2.2.5 Hambatan Proyek

Hambatan dalam proyek konstruksi dikenal sebagai triple constraints

yaitu:

1. Biaya

Proyek harus diselesaikan dengan biaya yang tidak melebihi anggaran.

Anggaran yang sesuai dengan rencana awal sering kali tidak terjadi akibat adanya

keterlambatan dalam proyek. Namun biasanya untuk meminimumkan biaya dapat


32

dilakukan suatu antisipasi, misalnya penambahan jam kerja, penambahan tenaga

kerja dan pergantian tenaga.

2. Jadwal

Proyek harus dikerjakan sesuai dengan kurun waktu dan tanggal akhir

yang telah ditentukan. tetapi jika terjadi keterlambatan aktivitas pasti

menyebabkan perpanjangan waktu, dan pada akhirnya dapat menyebabkan

perpanjangan waktu pada keseluruhan proyek.

3. Mutu

Produk yang dihasilkan pada proyek harus memenuhi spesifikasi dan

kriteria yang dipersyaratkan sebab jika tidak maka citra/nama baik kontraktor

akan menurun terhadap pemilik proyek.

2.2.6 Antisipasi Keterlambatan Proyek

Keterlambatan proyek seharusnya dapat diantisipasi sejak awal proyek

dilaksanakan, yaitu dengan memonitor setiap aktivitas di dalam jadwal rencana.

Jika keterlambatsan terjadi pada satu aktivitas maka harus dilakukan percepatan

durasi pada aktivitas berikutnya. Disini peranan float pada setiap aktivitas menjadi

sangat penting. “Float” adalah tenggang waktu atau waktu ekstra pada aktivitas

non-kritis di dalam jadwal. Keberadaan float dalam jadwal merupakan komoditi

yang bernilai dan bersifat dinamis yang bermanfaat bagi kontraktor

maupun pemilik di dalam pengaturan aktivitas non-kritis, terutama dalam hal

alokasi sumber daya proyek dalam konteks percepatan durasi aktivitas (Zaki

dan Dickmann, 1989).


33

Penambahan waktu kerja (shift) adalah suatu sistem pengaturan kerja

yang memberi peluang untuk memanfaatkan keseluruhan waktu yang tersedia

untuk mengoperasikan pekerjaan (Muchinsky, 1997). Sistem ini dipandang akan

mampu meningkatkan produktivitas suatu perusahaan yang menggunakannya

karena pekerja yang bekerja tidak sama, sehingga percepatan durasi proyek bisa

dilakukan lebih efisien. Sistem shift yang banyak digunakan adalah sistem shift

dengan pengaturan jam kerja secara bergilir shift siang (08.00-17.00) dan shift

malam (18.00-24.00) atau mengikuti pola 5-5-5 yaitu lima hari shift pagi (08.00-

17.00), lima hari shift sore (16.00-01.00) dan lima hari shift malam (00.00-09.00)

diikuti dengan dua hari libur pada setiap akhir shift (Kyla, 2008).

2.2.7 Analisis What If

Analisis what if adalah sebuah model yang bertujuan untuk menjawab

pertanyaan ”apakah yang terjadi pada keluaran jika ada perubahan pada

masukan”. Jika perubahan pada masukan yang dilakukan tidak terlalu signifikan,

maka hal itu dapat disebut juga sebagai analisis sensivitas, yaitu seberapa

sensitifnya keluaran terhadap perubahan kecil yang terjadi di parameter penentu

keluaran tersebut.

What if banyak digunakan pada studi ekonomis yang merupakan tindak

lanjut dari pada evaluasi ekonomis, untuk menguji sensitivitas parameter suatu

perencanaan terhadap keadaan yang akan datang, dimana dengan adanya

perubahan parameter akan mempengaruhi hasil proposal yang telah direncanakan

(Patilang, 2009). Hasil analisis dari pengujian parameter disajikan dalam bentuk

grafik sensitivitas yang menunjukkan pengaruh dari pada perubahan parameter


34

(biasanya dalam prosentase) terhadap hasil akhir dari pada proposal studi

ekonomis. Penampilan grafik merupakan hasil konsolidasi data analisa yang

mudah digunakan dan dimengerti.

Analisis what if merupakan metode sensitivitas yang sering dilakukan

dibalik proses pengambilan keputusan, karena adanya ketidakpastian dan

keraguan di dalam dunia kenyataan. Seorang pembuat keputusan (decision maker)

yang berpengalaman sering kali tidak hanya berpacu pada rencana tunggal,

biasanya mereka akan mempertimbangkan adanya kemungkinan-kemungkinan

yang akan menyebabkan ketidaksesuaian dengan apa yang telah direncanakan

(Alifen dkk, 2000).

Proyek konstruksi yang bersifat sangat fleksibel dan kompleks

merupakan pekerjaan yang sangat berisiko tinggi, karena dilaksanakan di luar dan

tergantung pada banyak pihak yang terlibat, sehingga analisa what if dirasakan

perlu untuk diterapkan pada perencanaan. Analisa what if menanyakan

“Bagaimana bila terjadi keterlambatan pada salah satu aktivitas?”, disini akan

terlihat peranan float pada aktivitas-aktivitas non kritis, kemudian langkah

percepatan durasi dilakukan pada aktivitas-aktivitas pengikut agar durasi proyek

tidak terlambat dan berlangsung dengan efektif. Percepatan durasi aktivitas-

aktivitas dilakukan dengan menambah waktu pekerjaan.

2.2.8 Kurva S (Hanumm Curve)

Menurut Husen (2009), kurva S dapat menunjukkan kemajuan proyek

berdasarkan kegiatan, waktu dan bobot pekerjaan yang direpresentasikan sebagai

persentase kumulatif dari seluruh kegiatan proyek. Visualisasi kurva S dapat


35

memberikan informasi mengenai kemajuan proyek dengan membandingkannya

terhadap jadwal rencana. Dari sinilah diketahui apakah ada keterlambatan atau

percepatan jadwal proyek. Indikasi tersebut dapat menjadi informasi awal guna

melakukan tindakan koreksi dalam proses pengendalian jadwal. Tetapi informasi

tersebut tidak detail dan hanya terbatas untuk menilai kemajuan proyek. Perbaikan

lebih lanjut dapat menggunakan metode lain yang dikombinasikan, misal metode

bagan balok atau network planning dengan memperbarui sumber daya maupun

waktu pada masing-masing kegiatan.

Kurva S dibuat dengan cara jumlah persentase kumulatif bobot masing-

masing kegiatan pada suatu periode di antara durasi proyek diplotkan terhadap

sumbu vertikal sehingga bila hasilnya dihubungkan dengan garis, akan

membentuk kurva S. Bentuk demikian terjadi karena volume kegiatan pada

bagian awal biasanya masih sedikit, kemudian pada pertengahan meningkat dalam

jumlah cukup besar, lalu pada akhir proyek volume kegiatan kembali mengecil.

Gambar 2.2 Bagan balok dikombinasikan dengan Kurva S


(Sumber: Maulana, 2003)
36

2.2.9 Microsoft Project

Perkembangan teknologi manajemen proyek pun tidak kalah pesat.

Terdapat berbagai perangkat lunak untuk mendukung optimalisasi pengelolaan

proyek. Salah satu perangkat lunak yang populer adalah Microsoft Project (Ms

Project). Ms Project dikembangkan sejak 1984 dengan basis Ms-DOS. Kemudian

perangkat lunak tersebut dikembangkan dengan basis Windows dan dikenal

dengan nama Microsoft Project (Ms Project). Aplikasi ini langsung mendapat

sambutan yang cukup baik karena merupakan pionir software manajemen proyek

yang menggunakan gantt chart dan berkembang hingga sekarang (Setiawan,

2008).

Microsoft project merupakan software yang dapat digunakan untuk

membuat rancangan proyek serta melakukan manajemen dalam suatu proyek.

Dilengkapi dengan fasilitas pendukung dan kemampuan yang luar biasa dalam

pengolahan data yang berhubungan dengan proyek secara cepat. Microsoft Project

merupaan gabungan dari beberapa metode manajemen proyek yang sudah dikenal

saat ini, antara lain PERT (Program Evaluation Review Technique), CPM

(Critical Path Method), dan Gantt Chart. Adapun kemampuan dari microsoft

project adalah:

1. Menyimpan detail mengenai proyek di dalam database-nya yang meliputi

detail tugas-tugas beserta hubungan satu dengan yang lain, semberdaya yang

dipakai, biaya, jalur kritis.

2. Menggunakan informasi tersebut untuk menghitung dan memelihara jadwal,

biaya, dan elemn-elemen lain, termasuk merencana suatu proyek.


37

3. Melakukan pengontrolan selama proyek berjalan sehingga mengetahui proyek

akan dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai anggaran yang direncanakan

ataukah tidak. Apabila proyek berjalan terlambat atau anggaran melebihi

yang direncanakan maka dapat diambil beberapa langkah untuk

mengembalikan proyek sesuai rencana (Emanuel dkk, 2009).

Anda mungkin juga menyukai