Anda di halaman 1dari 4

MAKALAH

NORMA
MANAJEMEN PAJAK

Dibuat Oleh:
KELOMPOK 9
William Joseph Tompunu  (125180286) 
Angela Effendy (125190085)
Stephanie (125190170)

UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
2022
Norma berasal dari bahasa Belanda “norm” yang artinya patokan, pedoman, atau pokok
kaidah. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian norma
adalah sebuah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat.
Pengertian norma secara umum juga bisa diartikan sebagai petunjuk atau pedoman tingkah
laku yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari
berdasarkan suatu alasan tertentu. Pengertian dan jenis norma ini kemudian akan mengikat
pada warga atau suatu kelompok di dalam bermasyarakat.

Dalam perpajakan ada namanya norma penghitungan pengahasilan netto (NPPN) adalah
suatu norma yang dapat digunakan oleh wajib pajak dalam penghitungan penghasilan neto
dalam satu tahun pajak sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25/29 terutang. Norma
penghitungan ini bertujuan untuk menyederhanakan penghitungan untuk mencari penghasilan
neto. Setelah mendapatkan besaran penghasilan neto, wajib pajak dapat menghitung besaran
PPh terutang untuk kebutuhan pembayaran dan pelaporan pajaknya.
Dasar hukum norma penghitungan neto ini tercantum dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan pada pasal 14, dan dijelaskan lebih dalam
di Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-17/PJ/2015 Tentang Norma Penghitungan
Penghasilan Neto. Syarat wajib pajak untuk menggunakan norma penghitungan ini adalah:
1. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto dalam 1 tahunnya kurang dari Rp4,8 miliar wajib
menyelenggarakan pencatatan, kecuali jika yang bersangkutan memilih
menyelenggarakan pembukuan. Jika lebih dari Rp4,8 miliar, wajib pajak wajib
menyelenggarakan pembukuan.
2. Wajib pajak orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pencatatan dan menerima
atau memperoleh penghasilan tidak dikenai pajak penghasilan bersifat final,
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto.
Wajib pajak orang pribadi yang boleh menggunakan NPPN harus memberitahukan ke Ditjen
Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Jika tidak,
wajib pajak dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. Jika wajib pajak badan atau
orang pribadi yang melakukan pembukuan, tidak atau tidak sepenuhnya melakukan hal
tersebut serta tidak bersedia memperlihatkan pembukuan maupun bukti-bukti pendukungnya,
penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan NPPN. Pekerjaan-pekerjaan yang
memungkinkan untuk menghitung pajak penghasilannya menggunakan NPPN di antaranya:
 Tenaga ahli seperti dokter, notaris, pengacara, arsitek, akuntan, dan pekerjaan bebas
lainnya.
 Olahragawan
 Pemusik, penyanyi, aktor, penari, pelawak, bintang iklan, kru film, dan pekerjaan-
pekerjaan di bidang seni lain.
 Peneliti, pengarang, penerjemah.
 Agen iklan, pengawas proyek, perantara, agen asuransi, pedagang.

Bagaimana jika wajib pajak memiliki lebih dari satu jenis usaha? Maka penghitungan
penghasilan netonya dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas
dengan memperhatikan pengelompokan wilayah pengenaan norma. Penghasilan neto wajib
pajak yang memiliki lebih dari satu jenis usaha adalah penjumlahan penghasilan neto dari
masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung.
Wajib pajak yang dapat menggunakan NPPN harus menyelenggarakan pencatatan.
Sedangkan wajib pajak yang tidak menggunakan NPPN harus menyelenggarakan
pembukuan. Apa perbedaan antara pencatatan dan pembukuan?
Berdasarkan Undang-Undang KUP pasal 28 ayat (9), pencatatan adalah data yang
dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan
bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan
yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
Sedangkan pembukuan, berdasarkan UU KUP pasal 1 ayat (29), adalah suatu proses
pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan
meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa
neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. 
Besaran norma penghitungan penghasilan neto ini tidaklah sama. Jumlah persentase NPPN
ini terbagi atas:
 Persentase NPPN Dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut:
1. Sepuluh ibukota provinsi, yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak.
2. Ibukota provinsi lainnya.
3. Daerah lainnya.
 Persentase NPPN untuk wajib pajak orang pribadi yang menghitung penghasilan neto
menggunakan NPPN.
 Persentase NPPN untuk wajib pajak orang pribadi yang ternyata tidak atau tidak
sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkannya.
 Persentase NPPN untuk wajib pajak badan yang tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkannya.

Contoh kasus dan cara perhitungannya

Penghasilan neto: Peredaran/Penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
dalam 1 tahun pajak x tarif persentase NPPN
Pak Budi adalah agen asuransi dengan domisili tempat tinggal di Jakarta. Pada tahun pajak
2021, dirinya mendapatkan penghasilan bruto Rp400 juta. Lalu, berapa penghasilan netonya?
Di sini, kita harus melihat persentase neto dari pekerjaan dan domisili. Berdasarkan peraturan
dirjen pajak No: PER- 17 /PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Netto maka
tarif persentase agen asuransi 50% maka perhitungannya adalah:
Penghasilan neto = Rp400.000.000 x 50%
Penghasilan neto =Rp200.000.000

Anda mungkin juga menyukai