Anda di halaman 1dari 34

PROPOSAL

HUBUNGAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR)


DENGAN KEJADIAN SEPSIS NEONATORUM
DI RUANG MELATI RS DR. SOBIRIN
MUSI RAWAS

Oleh :

DEBBI SELVIA
NPM. 1426040059.P

PROGRAM STUDI D IV KEBIDANAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk

mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas

serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak. Upaya pemeliharaan

kesehatan anak dilakukan sejak janin masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah

dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun. Upaya kesehatan anak

antara lain diharapkan untuk mampu menurunkan angka kematian anak. Indikator

angka kematian yang berhubungan anak adalah angka kematian neonatal (AKN),

Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA) (Kemenkes

RI, 2014).

Masa kehidupan 28 hari pertama atau periode neonatal merupakan waktu

yang paling rentan untuk kelangsungan hidup anak. Menurut WHO, angka

kematian neonatal secara global telah mengalami penurunan dari 33 per 1000

kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 21 per 1000 kelahiran hidup. Angka

kelahiran tertinggi. Sedangkan untuk wilayah Asia Tenggara dari 47 per 1000

kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 27 per 1000 kelahiran hidup (WHO,

2014).

Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun

2012, angka Kematian Neonatus (AKN) pada tahun 2012 sebesar 19 per 1000

kelahiran hidup menurun dari 20 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2007 dan 23

1
2

per 1000 kelahiran hidup berdasarkan hasil SDKI 2002. Perhatian terhadap upaya

penurunan angka kematian neonatal (0-28 hari) menjadi penting karena kematian

neonatal memberi kontribusi terhadap 56% kematian bayi (Kemenkes RI, 2014).

Penyebab kematian neonatus 7-28 hari di Indonesia adalah sepsis (20,5%),

kelainan kongenital (19%), pneumonia (17%), respiratory distress syndrome/RDS

(14%), dan prematuritas (14%) (Kemenkes RI, 2013).

Sepsis neonatorum adalah infeksi yang masuk ke dalam tubuh secara

langsung, yang dapat menimbulkan gejala klinis yang berat (Manuaba, 2008).

Sepsis neonatorum dapat terjadi secara dini, yaitu pada 5-7 hari pertama dengan

organisme penyebab didapat dari intrapartum atau melalui saluran genital ibu.

Sepsis neonatorum juga dapat terjadi setelah bayi berumur 7 hari atau lebih yang

disebut sepsis lambat, yang mudah menjadi berat. Indonesia belum mempunyai

data pasti tentang kejadian sepsis. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

(RSCM) tahun 2009, insiden sepsis neonatorum adalah 98 per 1000 kelahiran

hidup. Angka kejadian yang tinggi karena RSCM adalah pusat pelayanan tersier

dan pusat rujukan dari hampir seluruh wilayah Indonesia. (Roeslani, 2013).

Angka kejadian sepsis yang masih cukup tinggi dan merupakan penyebab

kematian utama pada neonatus. Hal ini karena neonatus rentan terhadap infeksi.

Kerentanan neonatus terhadap infeksi dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara

lain kulit dan selaput lendir yang tipis dan mudah rusak, kemampuan fagositosis

dan leukosit imunitas masih rendah. Immunoglobulin yang kurang efisien dan

luka umbilikus yang belum sembuh. Bayi berat lahir rendah (BBLR) kondisinya

lebih berat, sehingga sepsis lebih sering ditemukan pada BBLR (Surasmi, 2003).
3

Masalah pada bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) terutama pada prematur

terjadi karena ketidakmatangan sistem organ pada bayi tersebut. Bayi berat lahir

rendah mempunyai kecenderungan ke arah peningkatan terjadinya infeksi dan

mudah terserang komplikasi (Kemenkes RI, 2014). Sedangkan menurut

Maryunani dan Nurhayati (2009), salah satu faktor risiko sepsis pada bayi adalah

berat badan lahir rendah.

Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013, persentase berat bayi lahir

rendah menurut Provinsi yang tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Tengah sebesar

16,8% dan terendah adalah Provinsi Sumatera Utara sebesar 7,2%. Sedangkan

Provinsi Sumatera Selatan, persentase berat bayi lahir rendah adalah sebesar

9,3%. Angka tersebut lebih kecil dari persentase berat bayi lahir rendah di

Indonesia yaitu sebesar 10,2% (Kemenkes RI, 2014).

Menurut Proverawati dan Ismawati (2010), bayi berat lahir rendah (BBLR)

adalah bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram atau sama dengan

2500 gram. Bayi BBLR memiliki risiko 8 kali lebih besar mengalami kematian

dibandingkan dengan bayi normal. Bayi dengan berat badan lahir rendah memiliki

daya tahan tubuh (imunitas yang lemah) dibandingkan bayi normal sehingga

mudah mengalami infeksi (sepsis).

Berdasarkan Profil Rumah Sakit yang terdapat di Kabupaten Musi Rawas

menunjukkan bahwa pada tahun 2014 di RS. DR. Sobirin Musi Rawas dari 2512

jumlah kelahiran terdapat 324 orang yang mengalami BBLR yang terdiri dari 285

orang hidup dan 39 orang mengalami kematian, sedangkan yang mengalami

sepsis neonatorum sebanyak 122 orang yang terdiri dari 113 orang hidup dan 9
4

orang mengalami kematian. Di RS. DR. Siti Aisyah Musi Rawas dari 1088

jumlah kelahiran terdapat 57 orang yang mengalami BBLR yang terdiri dari 38

orang hidup dan 19 orang mengalami kematian, sedangkan yang mengalami

sepsis neonatorum sebanyak 25 orang yang terdiri dari 18 orang hidup dan 7

orang mengalami kematian. Di RS. DR. AR Bunda Musi Rawas dari 225 jumlah

kelahiran terdapat 15 orang yang mengalami BBLR yang terdiri dari 12 orang

hidup dan 3 orang mengalami kematian, sedangkan yang mengalami sepsis

neonatorum sebanyak 7 orang yang terdiri dari 5 orang hidup dan 2 orang

mengalami kematian.

Tingginya angka kejadian sepsis neonatorum di RS. DR. Sobirin Musi

Rawas dibandingkan dua rumah sakit yang lain disebabkan RS. DR. Sobirin Musi

Rawas merupakan rumah sakit rujukan di Kabupaten Musi Rawas, selain itu

fasilitas rumah sakitnya juga lebih lengkap serta dokter spesialis yang lengkap dan

ada setiap hari sehingga menjadikan RS. DR. Sobirin Musi Rawas sebagai

layanan kesehatan yang menjadi pilihan pertama masyarakat.

Hasil survey awal di ruang Melati RS. DR. Sobirin Musi Rawas pada bulan

Januari 2015 diperoleh 3 orang yang mengalami BBLR, dari 3 orang tersebut

terdapat 2 orang yang mengalami sepsis neonatorum dan 1 orang yang tidak

mengalami sepsis neonatorum. Oleh karena faktor-faktor yang sudah dijelaskan

diatas, yaitu masih besarnya angka kejadian BBLR dan masih banyaknya kejadian

sepsis neonatorum maka penulis tertarik dan ingin mengetahui tentang hubungan

BBLR dengan kejadian Sepsis Neonatorum di ruang melati RS DR. Sobirin Musi

Rawas tahun 2014.


5

B. Rumusan Masalah

Setelah mengidentifikasikan masalah di atas, maka rumusan masalah

penelitian yang diambil adalah “Apakah ada hubungan BBLR dengan kejadian

Sepsis Neonatorum di ruang melati RS DR. Sobirin Musi Rawas tahun 2014?”

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan BBLR dengan kejadian Sepsis Neonatorum

di ruang melati RS DR. Sobirin Musi Rawas tahun 2014.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi BBLR di ruang melati RS DR.

Sobirin Musi Rawas tahun 2014

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian sepsis neonatorum di ruang

melati RS DR. Sobirin Musi Rawas tahun 2014

c. Untuk mengetahui hubungan BBLR dengan kejadian Sepsis Neonatorum di

ruang melati RS DR. Sobirin Musi Rawas tahun 2014

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi RS DR. Sobirin Musi Rawas

Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun strategi

penatalaksanaan khususnya pada sepsis neonatorum yang terjadi pada BBLR,

sehingga pada akhirnya berkontribusi menurunkan angka terjadinya sepsis

neonatorum pada BBLR.


6

2. Bagi Mahasiswa

Dapat digunakan sebagai bahan informasi, sehingga dapat meningkatkan

pengetahuan peserta didik terutama tentang sepsis neonatorum.

3. Bagi Peneliti

Digunakan untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman yang

berharga bagi peneliti.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi peneliti selanjutnya yang

berhubungan dengan masalah sepsis neonatorum.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

a. Pengertian

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi (neonatus) yang lahir

dengan memiliki berat badan kurang dari 2500 gram atau sampai dengan

2499 gram (Hidayat, 2008). BBLR adalah bayi dengan berat badan kurang

dari 2.500 gram pada saat lahir (Mitayani, 2011). BBLR adalah bayi yang

lahir dengan berat lahir kurang 2500 gram tanpa memandang masa

kehamilan. berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah

lahir (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ialah bayi baru lahir yang berat

badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2499 gram)

(Prawiroharjo, 2010). Sedangkan menurut Safrudin (2009), bayi berat lahir

rendah adalah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari

2500 gram (sampai dengan 2499 gram).

b. Klasifikasi Bayi Berat Lahir Rendah

Menurut Proverawati (2010), klasifikasi BBLR terbagi atas 2 yaitu :

1) Berdasarkan harapan hidupnya

a) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) berat lahir 1500-2500 gram

b) Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) berat lahir 1000-1500 gram

7
8

c) Bayi Berat Lahir Ekstrim Rendah (BBLER) berat lahir kurang dari

1000 gram.

2) Berdasarkan masa gestasinya

a) Prematuritas murni

Bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat

badan sesuai dengan berat badan untuk usia kehamilan atau disebut

neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan (NKB-SMK).

b) Dismaturitas

Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan

seharusnya untuk masa gestasi itu. Berat bayi mengalami retardasi

pertumbuhan intrauterine dan merupakan bayi yang kecil untuk masa

kehamilannya (KMK).

Sedangkan menurut Rukiyah (2010) bayi berat lahir rendah (BBLR)

dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu:

1) Bayi prematur sesuai masa kehamilan (SMK) terdapat derajat

prematuritas di golongkan menjadi 3 kelompok:

a. Bayi sangat prematur (extremely prematur ): 24-30 minggu.

b. Bayi prematur sedang (moderately prematur ) : 31-36 minggu.

c. Borderline Premature : 37-38 minggu. Bayi ini bersifat premature dan

mature.

Beratnya seperti bayi matur akan tetapi sering timbul masalah

seperti yang dialami bayi prematur, seperti gangguan pernafasan,

hiperbilirubinemia dan daya hisap lemah.


9

2) Bayi prematur kecil untuk masa kehamilan (KMK) terdapat banyak

istilah untuk menunjukkan bahwa bayi KMK dapat menderita gangguan

pertumbuhan di dalam uterus (intra uterine growth retardation /

IUG)seperti pseudo premature, small for dates, dysmature, fetal

malnutrition syndrome, chronis fetal distress, IUGR dan small for

gestasionalage ( SGA ).

c. Etiologi

Menurut Proverawati (2010) Penyebab terbanyak penyebab

terjadinya BBLR adalah kelainan prematur. Semakin muda usia kehamilan

semakin besar resiko jangka pendek dan jangka panjang dapat terjadi.

Berikut adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan bayi BBLR secara

umum yaitu :

1) Faktor ibu

a) Penyakit : mengalami komplikasi kehamilan seperti anemiasel berat,

perdarahan antepartum, hipertensi, pre eklamsi berat, eklamsi, infeksi

selama kehamilan, menderita penyakit menular seksual.

b) Ibu : Angka kejadian prematuritas tertinggi adalah kehamilan pada

usia < 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, kehamilan ganda, jarak

kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1 tahun),

mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.

c) Keadaan sosial ekonomi, kejadian tertinggi terdapat pada golongan

sosial ekonomi rendah, mengerjakan aktifitas fisik beberapa jam tanpa


10

istirahat, keadaan gizi yang kurang baik, pengawasan antenatal yang

kurang.

d) Sebab lain, seperti ibu perokok, peminum alkohol, pecandu obat

narkotik, penggunaan obat anti metabolik.

2) Faktor janin : kelainan kromosom (trisomy autosomal), infeksi janin

kronik, disautonomia familial, radiasi, kehamilan ganda (gameli), dan

aplasia pancreas.

3) Faktor plasenta : plasenta yang lepas, tumor, luas permukaan berkurang,

plasentitis vilus (bakteri, virus dan parasite), infark, tumor

(korioangioma, mola hidatidosa), hidramnion, dan sindrom tranfusi bayi

kembar.

4) Faktor lingkungan : bertempat tinggal di dataran tinggi, terkena radiasi

dan terpapar zat beracun.

Menurut Maryunani (2009) berdasarkan tipe BBLR, penyebab

terjadinya bayi BBLR dapat digolongkan menjadi sebagai berikut :

1) BBLR yang lahir kurang bulan-KMK :

a) Berat badan ibu yang rendah

b) Ibu hamil yang masih remaja

c) Kehamilan kembar

d) Ibu pernah melahirkan bayi prematur/berat badan rendah sebelumnya

e) Ibu dengan inkompeten serviks (mulut rahim yang lemah sehingga

tidak mampu menahan berat bayi dalam rahim)

f) Ibu hamil yang sedang sakit


11

2) BBLR yang lahir cukup bulan-KMK :

a) Ibu hamil dengan gizi buruk/ kekurangan nutrisi

b) Ibu dengan penyakit hipertensi, pre eklampsi atau anemia

c) Ibu yang menderita penyakit kronis (penyakit jantung, infeksi saluran

kemih, dan malaria)

d) Ibu hamil dengan penyalahgunaan obat dan merokok.

d. Manifestasi Klinis

Menurut Maryunani dkk, (2009) adapun tanda dan gejala yang

terdapat pada bayi dengan bayi berat lahir rendah (BBLR ) adalah :

1) Berat badan < 2500 gram

2) Letak kuping menurun

3) Pembesaran dari satu atau dua ginjal

4) Ukuran kepala kecil

5) Masalah dalam pemberian makan (refleks menelan dan menghisap

kurang)

6) Suhu tidak stabil (kulit tipis dan transparan)

e. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Pantiawati (2010) Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan antara lain :

1) Pemeriksaan skor ballard merupakan penilaian yang menggambarkan

reflek dan maturitas fisik untuk menilai reflek pada bayi tersebut untuk

mengetahui apakah bayi itu prematuritas atau maturitas


12

2) Tes kocok (shake test), dianjurkan untuk bayi kurang bulan merupakan

tes pada ibu yang melahirkan bayi dengan berat kurang yang lupa mens

terakhirnya.

3) Darah rutin, glokoa darah, kalau perlu dan tersedia faslitas diperiksa

kadar elektrolit dan analisa gas darah.

4) Foto dada ataupun babygram merupakan foto rontgen untuk melihat bayi

lahir tersebut diperlukan pada bayi lahir dengan umur kehamilan kurang

bulan dimulai pada umur 8 jam atau dapat / diperkirakan akan terjadi

sindrom gawat nafas.

f. Penatalaksanaan

Menurut Pantiawati (2010), pelaksanaan pada bayi berat lahir rendah

adalah:

1) Hal utama yang perlu dilakukan adalah mempertahankan suhu tubuh

normal :

a) Membersihkan jalan napas.

b) Memotong tali pusat dan perawatan tali pusat.

c) Membersihkan badan bayi dengan kapas baby oil.

d) Memberikan obat mata.

e) Membungkus bayi dengan kain hangat.

f) Pengkajian keadaan kesehatan pada bayi dengan berat badan lahir

rendah.

2) Medikamentosa

Pemberian vitamin K1 :
13

a) Injeksi 1 mg IM sekali pemberian, atau

b) Per oral 2 mgsekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir,

umur 3-10, dan umur 4-6).

3) Diatetik

Pemberian nutrisi yang adekuat :

a) Apabila daya isap belum baik, bayi dicoba untuk menetek sedikit

demi sedikit.

b) Apabila bayi belum bisa meneteki pemberian ASI.

c) Apabila bayi belum ada reflek mengisap dan menelan harus dipasang

siang penduga/sonde fooding

Bayi prematur atau Bayi Baru Lahir Sangat Rendah mempunyai

masalah menyusui karena refleks menghisapnya masih lemah. Untuk

bayi demikian sebaiknya ASI dikeluarkan dengan pompa atau diperas

dan diberikan pada bayi dengan pipa lambung atau pipet. Dengan

memegang kepala dan menahan bawah dagu, bayi dapat dilatih untuk

menghisap sementara ASI yang telah dikeluarkan yang diberikan dengan

pipet atau selang kecil yang menempel pada puting. ASI merupakan

pilihan utama :

a) Apabila bayi mendapatkan ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang

cukup dengan cukup dengan cara apapun, perhatikan cara pemberian

ASI dan nilai kemampuan bayi menghisap paling kurang sehari sekali.

b) Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20

g/hari selama 3 hari berturut-turut, timbang bayi 2 kali seminggu.


14

4) Suportif

a) Mempertahankan suhu tubuh bayi dengan cara :

(1) Membungkus bayi dengan menggunakan selimut bayi yang

dihangatkan terlebih dahulu.

(2) Menidurkan bayi didalam incubator buatan yaitu dapat dibuat dari

keranjang yang pinggirnya diberi penghangat dari buli-buli panas

atau botol yang diisi air panas. Buli-buli panas atau botol-botol ini

disimpan dalam keadaan berdiri tutupnya ada di sebelah atas agar

tidak tumpah dan tidak mengakibatkan luka bakar pada bayi. Buli-

buli panas aatau botol ini pun harus dalam keadaan terbungkus,

dapat menggunakan handuk atau kain yang tebal. Bila air

panasnya sudah dingin ganti airnya dengan air panas kembali.

b) Suhu lingkungan bayi harus dijaga :

(1) Kamar dapat masuk sinar matahari.

(2) Jendela dan pintu dalam keadaan tertutup untuk mengurangi

hilangnya panas dari tubuh bayi melalui proses radiasi dan

konveksi.

(3) Lampu sorot/ belajar yang jaraknya 30 cm

c) Badan bayi harus dalam keadaan kering.

d) Gunakan salah satu cara menghangatkan dan mempertahankan suhu

tubuh bayi, seperti kontak kulit ke kulit, kangaroo mother care,

pemancar panas, inkubator atau ruangan hangat yang tersedia di

tempat fasilitas kesehatan setempat sesuai petunjuk.


15

e) Jangan memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan dingin.

f) Ukur suhu tubuh dengan berkala.

g) Yang juga harus diperhatikan untuk penatalaksanaan suportif ini

adalah :

(1) Jaga dan pantau patensi jalan nafas.

(2) Pantau kecukupan nutrisi, cairan dan elektrolit.

h) Bila terjadi penyulit, harus dikoreksi dengan segera (contoh;

hipotermi, kejang, gangguan nafas, hiperbilirubinemia).

i) Berikan dukungan emosional pada ibu dan anggota keluarga lainnya.

j) Anjurkan ibu untuk tetap bersama bayi. Bila tidak memungkinkan,

biarkan ibu berkunjungan setiap saat dan siapkan kamar untuk

menyusui.

5) Pemantauan (Monitoring)

a) Pemantauan saat dirawat

(1) Terapi

(a) Bila diperlukan terapi untuk penyulit tetap diberikan.

(b) Preparat besi sebagai suplemen mulai diberikan pada usia 2

minggu.

(2) Tumbuh Kembang

(a) Pantau berat badan bayi secara periodic.

(b) Bayi akan kehilangan berat badan selama 7-10 hari pertama

(sampai 10% untuk bayi dengan berat lahir <1500 gram).


16

(c) Bila bayi sudah mendapatkan ASI secara penuh (pada semua

kategori berat lahir) dan telah berusia lebih dari 7 hari.

b) Pemantauan setelah pulang

c) Diperlukan pemantauan setelah pulang untuk mengetahui

perkembangan bayi dan mencegah/mengurangi kemungkinan untuk

terjadinya komplikasi setelah pulang sebagai berikut:

(1) Sesudah pulang hari ke-2, ke-10, ke-20, ke-30, dilanjutkan setiap

bulan untuk memantau perkembangan pada bayi tersebut.

(2) Pertumbuhan; berat badan, panjang badan dan lingkar kepala.

(3) Tes perkembangan, Denver development screening test (DDST).

(4) Awasi adanya kelainan bawaan.

(5) Mengajarkan ibu/orang tua cara: Membersihkan jalan napas

dengan cara membersihkan bagian hidung bayi dengan

menggunakan cutton but yang steril dan sebelum membersihkan

tesebut ibu harus mencuci tangan dengan bersih lalu

membersihkan hidung bayi dengan lembut. Mempertahankan suhu

tubuh bayi dengan cara melindungi bayi tetap berada di ruangan

yang hangat dan dalam dekapan ibu dengan tehnik mother care,

mencegah terjadinya infeksi pada bayi pada saat pemberian asi

atau pada saat membersihkan jalan nafas.

(6) Menjelaskan pada ibu (orang tua) : Pemberian ASI, Makanan

bergizi bagi ibu dan Mengikuti program KB segera mungkin


17

(7) Observasi keadaan umum bayi selama 3 hari, apabila tidak ada

perubahan atau keadaan umum semakin menurun bayi harus

dirujuk ke rumah sakit. Berikan penjelasan kepada keluarga bahwa

anaknya harus dirujuk ke rumah sakit.

2. Sepsis Neonatorum

a. Pengertian

Sepsis neonatorum adalah infeksi yang masuk ke dalam tubuh secara

langsung, yang dapat menimbulkan gejala klinis yang berat (Manuaba,

2009). Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus

dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah (Surasmi, 2003).

Sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory

Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses

berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok

septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian (Haque KN, 2005).

Sepsis Neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah bayi selama

bulan pertama kehidupan (Nelson, 2004).

b. Etiologi

Menurut (Surasmi, 2003), terdapat berbagai faktor predisposisi

terjadinya sepsis, baik dari ibu maupun bayi sehingga dapat dilakukan

tindakan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya sepsis. Faktor

predisposisi tersebut ialah :

1) Penyakit infeksi yang diderita ibu selama kehamilan.

2) Perawatan antenatal yang tidak memadai.


18

3) Ibu menderita eklampsia, diabetes melitus.

4) Pertolongan persalinan yang tidak higienes, partus lama, partus dengan

tindakan.

5) Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan.

6) Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasif pada

7) neonatus.

8) Tidak menerapkan rawat gabung.

9) Sarana perawatan yang tidak balk, bangsal yang penuh sesak.

10) Ketuban pecah dini, amnion hijau kental dan berbau.

11) Pemberian minum menggunakan botol, dan pemberian minum buatan

Menurut Manuaba (2009), penyebab sepsis neonatorum adalah

bakteri gram positif dan gram negatif, virus infeksi, dapat masuk secara

hematogen, atau infeksi asenden. Waktu masuknya infeksi dapat

berlangsung sebagai berikut.

1) Sebelum in partu. Potensi infeksi neonatus dalam keadaan:

a) Ketuban pecah dini akibat infeksi asenden.

b) Akibat melakukan amniotomi.

c) Infeksi ibu sebelum persalinan.

d) Prematuritas akan lebih rentan terhadap infeksi.

e) Pertolongan persalinan yang tidak bersih situasinya.

2) Pada saat inpartu sebagai akibat bayi dengan berat badan lahir

rendah/prematuritas atau akibat slat resusitasi yang tidak steril.

3) Terdapat sumber infeksi (infeksi fokal).


19

4) Stomatitis, perlukaan badan.

5) Sumber infeksi kulit (furunkel).

Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat

menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam

kajian ini, kami hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri. Pola

kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari

waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan

pola kuman, walaupun bakteri gram negatif rata-rata menjadi penyebab utama

dari sepsis neonatorum. Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada meningitis

neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama

Klebsiella sp dan E. Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram

negatif juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa

ditemukan pada neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap

vagina wanita di daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi

dari neonatus yang dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas,

patogen yang sering ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan

Staphylococcus aureus (Aminullah dkk, 2007)

c. Klasifikasi

Menurut Manuaba (2009), berdasarkan kejadiannya, infeksi sepsis

neonatorum berlangsung dalam dua awitan berikut.

1) Sepsis Awitan Dini:

a) Gejala klinisnya tampak secara dini, yaitu sekitar/sejak semula (rata-

rata 48 jam pertama).


20

b) Infeksi berkaitan dengan sumber pada ibunya saat proses persalinan.

c) Kumannya: stafilokokus (E. coli, H. influenzae, Klebsiella, monilia).

2) Sepsis Awitan Lanjut:

a) Gejala klinisnya tampak setelah 7 hari, saat penderita telah pulang.

b) Sumber infeksinya: faktor lingkungan yang kotor dan infeksius,

infeksi nosokomial di rumah sakit.

c) Penyebab infeksinya: S. aureus, stafilokokus grup beta, E. coil,

monositogen.

d) Komplikasi berat komplikasi susunan saraf pusat.

d. Manifestasi Klinis

Menurut Surasmi (2003), tanda dan gejala sepsis neonatorum

umumnya tidak jelas dan tidak spesifik serta dapat mengenai beberapa

sistem organ. Berikut ini adalah tanda dan gejala yang dapat ditemukan

pada neonatus yang menderita sepsis.

1) Tanda dan gejala umum meliputi hipertermia atau hipotermi atau bahkan

normal, aktivitas lemah atau tidak ada dan tampak sakit, berat badan

menurun tiba-tiba.

2) Tanda dan gejala pada saluran pernapasan meliputi dispnea, takipnea,

apnea, tampak tarikan otot pernapasan, merintih, mengorok, dan

pernapasan cuping hidung.

3) Tanda dan gejala pada sistem kardiovaskuler meliputi hipotensi, kulit

lembab, pucat dan sianosis.


21

4) Tanda dan gejala pada saluran cerna mencakup distensi abdomen, malas

atau tidak mau minum, muntah, diare.

5) Tanda dan gejala pada sistem saraf pusat meliputi refleks Moro

abnormal, iritabilitas, kejang, hiporefleksi, fontanel anterior menonjol,

pernapasan tidak teratur.

6) Tanda dan gejala hematologi mencakup tampak pucat, ikterus, petekie,

purpura, perdarahan, splenomegali.

e. Patofisiologi

Menurut Surasmi (2003), mikroorgansme atau kuman penyebab

infeksi dapat mencapai neonatus melalui beberapa cara, yaitu:

1) Pada masa antenatal atau sebelum lahir. Pada masa antenatal kuman dari

ibu setelah melewati placenta dan umbilikus masuk ke dalam tubuh bayi

melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman

yang dapat menembus plasenta, antara lain virus rubella, herpes,

sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotids. Bakteri yang dapat

melalui jalur ini, antara lain malaria, sifilis, dan toksoplasma.

2) Pada masa intranatal atau saat persalinan. Infeksi saat persalinan terjadi

karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion

dan amnion. Akibatnya, terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya

kuman melalui umbilikus masuk ke tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat

persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi dapat terinhalasi oleh

bayi dan masuk ke traktus digestivus dan traktus respiratorius, kemudian

menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain melalui cara tersebut di


22

atas infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau port de entre

lain saat bayi melewati jalan lahir yang terkontatninasi oleh kuman (mis.

herpes genitalia, candida albican, dan n. gonorrea).

3) Infeksi pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah

kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari lingkungan di

luar rahim (mis. melalui alat-alat: pengisap lendir, selang endotrakea,

infus, selang nasogastrik, botol minuman atau dot). Perawat atau profesi

lain yang ikut menangani bayi dapat menyebabkan terjadinya infeksi

nosokomial. Infeksi juga dapat terjadi melalui luka umbilikus.

f. Diagnosis

Menurut Manuaba (2009), diagnosis sepsis neonatorum sulit

ditetapkan karena gejalanya tidak khas. Setiap perubahan keadaan fisik atau

gambaran darah neonatus dianggap terjadi infeksi 'sepsis neonatorum.

Diagnosis ditegakkan jika terdapat lebih dari satu kumpulan gejala berikut

ini.

1) Gejala umum infeksi: tampak sakit, tidak mau minum, suhu naik atau

turun, sklerema/skleredema.

2) Gejala gastrointestinal: terdapat diare, muntah, hepatomegali,

splenomegali, atau perut kembung.

3) Gejala pare: sianosis, apnea, atau takipnea.

4) Gejala kardiovaskular: terdapat takikardia, edema, atau dehidrasi.

5) Gejala neurologis: letargi (tampak seperti mayat), peka rangsang atau

kejang.
23

6) Gejala hematologis-laboratorium: ikterus, perdarahan bawah kulit,

leukopenia, dan leukosit kurang dari 5.000/mm3.

7) Pemeriksaan tambahan untuk memperkuat sepsis neonatorum adalah:

KED meningkat, trombositopenia, granulasi toksis vakuolisasi sel atau

granulasi toksis, vakuolisasi nukleus polimorf.

Diagnosis pastinya ditegakkan bila dijumpai bakteri, kuman dalam darah

dan semua cairan yang dikeluarkan oleh tubuh.

g. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk sepsis neonatorum ada tiga tahap, yaitu

sebagai berikut.

1) Perawatan umum:

a) Tindakan aseptik dengan cud hama.

b) Pertahankan suhu tubuh sekitar 36,5-37° C.

c) Jalan napas harus bersih, artinya jangan sampai ada gangguan napas.

d) Cairan diberikan dengan infus.

e) Lakukan perawatan bayi dan tali pusat dengan baik.

2) Medikamentosa:

a) Beri antibiotik kombinasi.

b) Evaluasi hasilnya 3-5 hari, bila tidak berhasil, ganti anti-biotik.

c) Uji sensitivitas kuman sehingga antibiotik diberikan dengan tepat.

d) Antibiotik diberikan perpanjangan selama 7 hari setelah perbaikan

secara klinis.
24

3) Simtomatik: Pengobatan simtomatik diberikan dan sesuai dengan gejala

klinisnya (obat penurun panas, obat antikejang). Transfusi darah

sehingga Hb 11 g%.

Pemantauan terhadap perawatan pasien adalah sebagai berikut.

1) Perhatikan keadaan umum, tanda-tanda vitalnya.

2) Perhatikan keseimbangan nutrisi dan cairan.

3) Evaluasi gambaran darahnya.

4) Persiapan alat darurat.

5) Kriteria sembuh adalah keadaan umum membaik, gejala penyakit

menghilang, dan didukung pemeriksaan laboratorium.

h. Pencegahan dan Pengobatan

Menurut Surasmi (2003), sepsis neonatorum adalah penyebab

kematian utama pada neonatus. Tanpa pengobatan yang memadai, gangguan

ini dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Oleh karena itu,

tindakan pencegahan mempunyai arti penting karena dapat mencegah

terjadinya kesakitan dan kematian. Tindakan pencegahan yang dapat

dilakukan adalah:

1) Pada masa antenatal.

Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala,

imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang diderita ibu,

asupan gizi yang memadai, penanganan segera terhadap keadaan yang

dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin, rujukan segera ke tempat

pelayanan yang memadai bila diperlukan.


25

2) Pada saat persalinan.

Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik, dalam arti

persalinan diperlakukan sebagai tindakan operasi. Tindakan intervensi

pada ibu dan bayi seminimal mungkin dilakukan (bila benar-benar

diperlukan). Mengawasi keadaan ibu dan janin yang baik selama proses

persalinan, melakukan rujukan secepatnya bila diperlukan, dan

menghindari perlukaan kulit dan selaput lendir.

3) Sesudah persalinan.

Perawatan sesudah lahir meliputi menerapkan rawat gabung bila bayi

normal, pemberian ASI secepatnya, mengupayakan lingkungan dan

peralatan tetap bersih, setiap bayi menggunakan peralatan sendiri.

Perawaran luka umbilikus secara steril. Tindakan invasif harus dilakukan

dengan memperhatikan prinsip-prinsip aseptik. Menghindari perlukaan

selaput lendir dan kulit, mencuci tangan dengan menggunakan larutan

desinfektan sebelum dan sesudah memegang setiap bayi. Pemantauan

keadaan bayi secara teliti disertai pendokumentasian data-data yang

benar dan baik. Semua personel yang menangani atau bertugas di kamar

bayi hams sehat. Bayi yang berpenyakit menular harus diisolasi.

Pemberian antibiotik secara rasional, sedapat mungkin melalui

pemantauan mikrobiologi dan tes resistensi.

Prinsip pengobatan pada sepsis neonatorum adalah mempertahankan

metabolisme tubuh dan memperbaiki keadaan umum dengan pemberian

cairan intravena termasuk kebutuhan nutrisi. Pemberian anti-biotik


26

hendaknya memenuhi kriteria efektif berdasarkan hasil pemantauan

mikrobiologi, murah dan mudah diperoleh, tidak toksik, dapat menembus

sawar darah otak, dan dapat diberi secara parenteral. Pilihan obat yang

diberikan ialah ampisilin dan gentamisin atau ampisilin dan Idoramfenikol,

eritromisin atau sefalosporin atau obat lain sesuai hasil tes resistensi

(Surasmi, 2003).

i. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Sepsis Neonatorum

Menurut Aminullah (2007), faktor RISIKO TERJADINYA sepsis

neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi dan lain-lain.

1) Faktor risiko ibu

Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban

pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1%

dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat

menjadi 4 kalinya.

a) Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat

korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh

Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli, dan

komplikasi obstetrik lainnya.

b) Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.

c) Kehamilan multipel.

d) Persalinan dan kehamilan kurang bulan.

e) Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.

2) Faktor risiko pada bayi:


27

a) Prematuritas dan berat lahir rendah.

b) Dirawat di Rumah Sakit.

c) Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami

fetal distress dan trauma pada proses persalinan.

d) Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator,

kateter, infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal.

e) Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli),

defek imun, atau asplenia.

f) Asfiksia neonatorum.

g) Cacat bawaan.

h) Tanpa rawat gabung.

i) Tidak diberi ASI.

j) Pemberian nutrisi parenteral.

k) Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.

l) Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded.

m)Buruknya kebersihan di NICU.

3) Faktor risiko lain:

Sepsis neonatorum lebih sering terjadi pada bayi laki-laki

daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit putih, pada

bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur

cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota

keluarga pasien, serta buruknya kebersihan di NICU. Faktor-faktor di

atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih menjadi


28

masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu penyebab tidak

adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade

terakhir ini. Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir

dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila

disertai gambaran klinis (Aminullah dkk, 2007)

3. Hubungan Bay Berat Lahir Rendah dengan Sepsis Neonatorum

Faktor-faktor yang membawa risiko yang signifikan untuk

pengembangan sepsis neonatorum antara lain prematur membran ruptur, cairan

ketuban bercampur mekonium, berat badan lahir rendah, dan skor Apgar

rendah saat lahir (Shah GS et al, 2006). Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

merupakan salah satu faktor risiko signifikan terjadinya sepsis neonatorum

karena 37%-80% kasus BBLR merupakan kasus prematuritas. Bayi lahir

dengan prematuritas menyebabkan immaturitas sistem imun berupa penekanan

pembentukan gamma globulin oleh sistem limfoid (Guyton & Hall, 2008).

Immaturitas sistem imun akan menyebabkan gangguan fungsi immunologi

berupa penurunan aktivitas fagosit pada sel darah putih dan penurunan produk

sitokin dan akan terjadi kegagalan dari sistem kekebalan humoral (Karnen

Garna, 2006).

Infeksi nosokomial atau infeksi yang didapat di rumah sakit masih

merupakan penyebab sepsis neonatorum. Infeksi pada neonatus lebih sering

ditemukan pada bayi yang lahir di rumah sakit daripada yang lahir di luar

rumah sakit. Oleh karena terjadinya gangguan immunologi tersebut,

menyebabkan kegagalan dari fungsi imun untuk mengatasi infeksi yang terjadi.
29

Sekitar 60%-70% kasus pada BBLR dilakukan tindakan intervensi resusitasi, di

mana 20%-30% dari tindakan tersebut menyebabkan infeksi sekunder.

Kegagalan fungsi imun tersebut akan menyebabkan terjadinya sepsis

neonatorum. Frekuensi infeksi nosokomial pada bayi berat lahir rendah di unit

perawatan intensif neonatus lebih tinggi daripada tempat lain di rumah sakit

dan berkisar antara 20-30%, insiden ini meningkat sehubungan dengan

lamanya rawat inap dan umur kehamilan yang lebih rendah (Nelson, 2004)

B. Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Bayi Berat Lahir Sepsis


Rendah Neonatorum

Gambar 1. Kerangka Konsep

C. Definisi Operasional

Tabel 1.
Definisi Operasional

Definisi Alat Cara


No Variabel Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur Ukur
1 Bayi Berat Bayi yang lahir Check Check 0 : BBLR, jika Nominal
Lahir dengan berat lahir List List berat lahir < 2500
Rendah kurang dari 2500 gr
gram baik cukup 1 : Tidak BBLR,
bulan maupun jika berat lahir >
kurang bulan 2500 gr

2 Sepsis Bayi yang Check Check 0 : Sepsis Nominal


Neonatorum didiagnosis sepsis List List neonatorum
neonatorum 1 : Tidak sepsis
30

neonatorum

D. Hipotesis

Ho : Tidak ada hubungan bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan kejadian

Sepsis Neonatorum di ruang melati RS DR. Sobirin Musi Rawas tahun

2014.

Ha : Ada hubungan bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan kejadian Sepsis

Neonatorum di ruang melati RS DR. Sobirin Musi Rawas tahun 2014.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di ruang melati RS DR. Sobirin Musi

Rawas. Waktu penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni 2015.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survey analitik dengan pendekatan

cross sectional yaitu pengukuran variabel bebas (independent) maupun variabel

terikat (dependent) yang dilakukan secara bersamaan (Notoatmodjo, 2010).

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2010). Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini

adalah bayi baru lahir di ruang melati RS DR. Sobirin Musi Rawas tahun 2014

yang berjumlah 2.405 orang.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah bayi baru lahir di ruang melati RS

DR. Sobirin Musi Rawas tahun 2014 yang diambil dengan menggunakan

teknik simple random sampling, dengan menggunakan rumus :

N
2
n = 1+Nd

31
32

2405
2
n = 1+2405 (0,1 )

n = 96,01 dibulatkan menjadi 96

Jadi sampel dalam penelitian ini adalah 96 orang.

D. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang

diperoleh dari rekam medis di ruang melati RS DR. Sobirin Musi Rawas tahun

2014 untuk mengetahui kejadian BBLR dan sepsis neonatorum.

E. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data menurut Notoatmodjo (2010), pada penelitian ini

dilaksanakan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

1. Editing data (pemeriksaan data)

Yaitu memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para pengumpul

data.

2. Coding data (pengkodean data)

Yaitu mengklasifikasi jawaban-jawaban dari para responden kedalam katagori.

Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara memberi tanda/kode berbentuk

angka pada masing-masing jawaban.

3. Tabulating

Yaitu data-data yang telah diberi kode selanjutnya dijumlah, disusun dan

disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.

4. Entry data (pemasukan data)


33

Yaitu memasukan data ke dalam program computer untuk analisis lebih lanjut.

5. Cleaning

Yaitu untuk memastikan apakah semua data sudah siap untuk dianalisis.

F. Teknik Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mendapatkan distribusi frekuensi

tentang distribusi frekuensi variabel independent (BBLR) dan variabel

dependent (sepsis neonatorum).

2. Analisis Bivariat

Analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antara variabel

independent (BBLR) dan variabel dependent (sepsis neonatorum) yaitu

menggunakan analisis Chi-Square, dan untuk mengetahui keeratan

hubungannya digunakan uji Contingency Coefficient (C).

Anda mungkin juga menyukai