Anda di halaman 1dari 43

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2021


UNIVERSITAS PATTIMURA

WANITA 57 TAHUN DENGAN PERITONISTIS BAKTERIAL SPONTAN,


SIROSIS HEPATIS e.c HEPATITIS B KRONIK, HIPOLBUMINEMIA
HIPONATREMIA DAN ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROM

Oleh:

Thesia E Pelupessy

NIM. 2020-84-044

Pembimbing :

dr. Denny Jolanda, Sp.Pd

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2022

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan
kasus sebagai tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit dalam dengan judul
“Wanita 57 Tahun Dengan Peritonistis Bakterial Spontan, Sirosis Hepatis E.C
Hepatitis B Kronik, Hipolbuminemia Hiponatremia Dan Anemia Mikrositik
Hipokrom”.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan laporan kasus ini telah
banyak pihak yang turut membantu sehingga laporan kasus dapat diselesaikan dengan
baik. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepad dr. Denny
Jolanda, Sp.Pd selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan
arahan bagi penulis selama penyusunan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan


laporan kasus ini, untuk itu kritik dan saran penulis harapkan guna kesempurnaan
referat ini kedepannya. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak. Sekian dan terima kasih.

Ambon, Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER....................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB I LAPORAN KASUS....................................................................................................1
A. Identitas Pasien............................................................................................................1
B. Anamnesis....................................................................................................................1
C. Pemeriksaan Fisik........................................................................................................2
D. Pemeriksaan Penunjang................................................................................................6
E. Resume.......................................................................................................................10
F. Assesment..................................................................................................................12
G. Planning.....................................................................................................................12
H. Follow Up..................................................................................................................13
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................18
A. Sirosis Hepatis............................................................................................................18
C. Hepatitis B.................................................................................................................22
D. Asites Masif...............................................................................................................28
E. Anemia.......................................................................................................................31
F. Hipoalbuminemia.......................................................................................................32
G. Hiponatremia..............................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................35

iii
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. EA
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 57 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Kristen Protestan
Alamat : TM Makmur
No. RM : 18.36.60
Tanggal MRS : 11 September 2021
Tanggal Pemeriksaan : 25 September 2021

B. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis (suami pasien)
a. Keluhan Utama :
Perut nyeri ± 2 minggu SMRS.
b. Keluhan Tambahan :
Perut membesar, tegang, lemas, mual, sulit tidur, pusing, dan batuk.
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUD DR. M. Haulussy dengan keluhan nyeri pada seluruh
perut ± 2 minggu SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus diseluruh bagian perut
sehingga membuat pasien sulit tidur. Pasien merasa mual saat ingin makan sehingga
pasien tidak nafsu makan. Keluhan ini juga membuat pasien merasa lemas. BAB
keras dan tidak lancar (keluar sedikit-sedikit), BAK lancar berwarna teh tua. P erut
pasien membesar dan tegang sejak 2 bulan SMRS. Pasien juga merasa
pusing .Untuk mengatasi pusing, pasien mengkonsumsi obat paramex. Keluhan
demam dan muntah disangkal. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk lendir. Satu

1
bulan yang lalu pasien memeriksakan diri ke dokter praktek dan sempat di USG.
Dokter mengatakan bahwa hati pasien mengecil dan ada cairan di perut. Pasien diberi
obat tetapi tidak ingat nama obatnya dan keluhannya juga tidak membaik. Pasien
juga sempat dipungsi asites untuk mengeluarkan cairan 3000 cc dari perut 1 bulan
yang laludi RSUP Leimena.

e. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien memiliki riwayat asam urat. Riwayat DM dan hipertensi disangkal.
f. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit Liver. Riwayat DM dan
hipertensi dalam keluarga juga disangkal.
g. Riwayat Kebiasaan:
Pasien jarang berolahraga dan jarang makan sayur karena takut asam urat
kambuh. Pasien juga tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 25 September 2021.
a. Keadaan umum : Sakit sedang
b. Status Gizi : BB: 43 kg
TB: 152 cm
IMT: 18,6 kg/m2 (baik)
c. Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
d. Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 105 x/m
- Pernapasan : 21 x/menit
- Suhu : 36,50 C
- SpO2 : 95% room air
e. Kepala :
- Bentuk Kepala : Normocephali

2
- Simetris Wajah : Simetris
- Rambut : Hitam, panjang, distribusi merata
f. Mata :
- Bola mata : Eksoftalmus/endoftalmus (-/-)
- Gerakan : Bisa ke segala arah, strabismus (-/-)
- Kelopak mata : Xanthelasma (-/-), edema (-/-), ptosis (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (+/+), ikterus (-/-)
- Kornea : Injeksi siliaris (-/-), sikatrik kornea (-/-)
- Pupil : Isokor (3 mm/3 mm), reflex cahaya langsung (+/+),
reflex cahaya tidak langsung (+/+).
g. Telinga :
- Aurikula : Tofus(-/-), sekret (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-), nyeri
tekan tragus (-/-)
- Pendengaran : Kesan normal
- Proc. mastoideus : Nyeri tekan (-/-)
h. Hidung :
- Cavum Nasi : Lapang (-/-), sekret (-/-), darah (-/-), krusta (-/-)
i. Mulut :
- Bibir : Mukosa kering (+), sianosis (-), perdarahan (-)
- Tonsil : T1/T1 tenang, hiperemis (-)
- Faring : Sulit dievaluasi
- Gusi : Perdarahan (-)
- Lidah : atrofi papil lidah (-), kandidiasis oral (-)
j. Leher
- Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
- Kelenjar tiroid : Ukuran kesan normal, permukaan licin, konsistensi
kenyal, nyeri tekan (-)
- JVP : 5-2 cmH2O
- Pembuluh darah : Spider navi (-)

3
- Kaku kuduk : Negatif
- Tumor : Tidak ada
k. Dada
- Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
- Bentuk : Normochest
- Pembuluh darah : Spider naevi (-)
- Buah dada : Simetris kiri = kanan, tanda radang (-)
- Sela iga : Pelebaran (-), retraksi (-)
l. Paru
- Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
- Palpasi : Fremitus raba menurun pada paru dextra, NT (-)
- Perkusi : Sonor, batas paru hepar di ICS V, batas paru belakang
kanan vertebra torakalis X, batas paru belakang kiri vertebra torakalis XI.
Nyeri ketok (+) pada ics 4
- Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler (+/+), bunyi napas tambahan
wheezing (-/-), ronki (+/-) basah halus pada basal paru dextra

4
m. Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi :Batas kanan jantung di ICS III-IV linea parasternalis
dextra, pinggang jantung di ICS III parasternal sinistra batas kiri jantung
di ICS V linea mid clavicularis sinistra.
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, murmur sistolik (-),
gallop (-)
n. Perut
- Inspeksi : Cembung (+), Distensi (+), caput medusa (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal 8x/menit
- Perkusi : Redup (+) pada seluruh regio abdomen
- Palpasi : Nyeri tekan (+) pada epigastrium, inguinal dextra,
umbilical, suprapubik
 Hati: sulit dievaluasi
 Limpa: sulit dievaluasi
 Ginjal: sulit dievaluasi
 Lain-lain : undulasi (+)

o. Alat Kelamin :
Tidak dilakukan pemeriksaan.

5
p. Anus dan Rectum :
Tidak dilakukan pemeriksaan.
q. Punggung :
- Inspeksi : Jejas (-)
- Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus raba taktil dan ekspansi
dinding dada kanan = kiri
- Perkusi : Nyeri ketok CVA (+/-) pada regio flank dextra
- Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler, bunyi tambahan ronki
basah pada basal paru dextra (+/-), Wheezing (-)
r. Ekstremitas Superior :
Inspeksi : Sianosis (-), tanda radang (-), ulkus (-), jari dupuytren
(-/-), eritem palmaris (-/-)
- Palpasi : Teraba hangat (+), Edema (-), capillary refil time test
< 2 detik, Pitting edema (-/-)
s. Ekstremitas Inferior :
Inspeksi : Sianosis (-), tanda radang (-), ulkus (-)
- Palpasi : Pembesaran kelenjar getah bening inguinal (-), Akral
hangat (+), arteri dorsalis pedis teraba (+), pitting edema (+/+), capillary
refil time test < 2 detik.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Imuno Serologi (01/09/2021)
HbeAg : Non Reaktif
b. Molekular (01/09/2021)
HBV-DNA (Real Time PCR) : (+)
HBV-DNA (IU/mL) : 2,18 x 10´1 IU.mL
HBV-DNA (Log IU/mL) : 1,34 Log IU/Ml

6
c. Darah Rutin (13/02/2022)
Hb : 11.5 g/dl (↓) Limfosit : 8,9% (↓)
Eritrosit : 3.580.000 g/dl (↓) Monosit : 7.1 %
HCT : 28.9 % (↓) Eusinofil : 0,1 % (↓)
MCV : 73.7 um3 (↓) Leukosit :12.140/mm3 (↑)
MCH : 24.5 pg (↓) Neutrofil : 83,7% (↑)
MCHC : 33.2 g/dl Trombosit :666 103/mm3(↑)
d.
e. Kimia darah (08/09/2021)
Glukosa Puasa : 131 mg/dL (↑) Ureum : 61
mg/dL (↑)
Kreatinin : 1,04 mg/dL Asam urat : 6,12 mg/dL (↑)
SGOT : 21 u/L SGPT : 10 u/L
Kolesterol Total : 156 mg/dL
f. EKG (11-09-2021)

7
Kesan: Normal

8
g. Darah Rutin (11/09/2021)
Eritrosit : 3.30 106 L (↓) Limfosit : 7,6% (↓)
Hb : 8.0 g/dl (↓) Monosit : 3.5 %
HCT : 24.2 % (↓) Eusinofil : 0,1 % (↓)
MCV : 73.3 um3 (↓) Leukosit :11.970/mm3 (↑)
MCH : 24.2 pg (↓) Neutrofil : 85,7% (↑)
MCHC : 33.1 g/dl LED : 72 mm/Jam (↑)
Trombosit : 649.000/mm3 (↑)
h. Kimia darah (11/09/2021)
HbsAg : Reaktif (+)
SGOT : 15 u/L SGPT : 12 u/L
Ureum : 35 mg/dl Creatinin : 1.04 mg/dl
i. Foto Thorax (11/09/21)
USG (17-09-2021)

9
Kesan :
- Sludge Intragallbladder
- Nodul solid pada regio
- Lesi hipo-isoekoik, lobulated batas sebagian tidak tegas pada regio flank
dan cavum pelvis suggestive omental cake
- Asites masif

j. Darah Rutin (20/09/2021)


Hb : 10,0 g/dL (↓) Leukosit : 11.660/mm3 (↑)
Trombosit : 635.000/mm3 (↑) Neutrofil : 85,7% (↑)
Eritrosit : 4,6 106 L
k. Kimia Darah (20/09/2021)
Albumin : 0,42 g/dL (↓) Natrium :125 mmol/L (↓)
l. Kimia darah (25/09/2021)
Albumin : 3,66 g/dL
m. Kimia darah (03/10/2021)
Natrium : 134 mmol/L (↓) Kalium : 4,6
mmol/L
Chloride : 98 mmol/L

10
E. RESUME
Seorang perempuan usia 57 tahun datang ke RSUD DR. M. Haulussy dengan
keluhan nyeri pada seluruh perut ± 2 minggu SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus
diseluruh bagian perut sehingga membuat pasien sulit tidur. Pasien merasa mual saat ingin
makan sehingga pasien tidak nafsu makan. Keluhan ini juga membuat pasien merasa lemas.
BAB keras dan tidak lancar (keluar sedikit-sedikit), BAK lancar berwarna teh tua. P erut
pasien membesar dan tegang sejak 2 bulan SMRS. Pasien juga merasa pusing .Untuk
mengatasi pusing, pasien mengkonsumsi obat paramex. Keluhan demam dan muntah
disangkal. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk lendir. Satu bulan yang lalu pasien
memeriksakan diri ke dokter praktek dan sempat di USG. Dokter mengatakan bahwa hati
pasien mengecil dan ada cairan di perut. Pasien diberi obat tetapi tidak ingat nama obatnya
dan keluhannya juga tidak membaik. Pasien juga sempat dipungsi asites untuk mengeluarkan
cairan 3000 cc dari perut 1 bulan yang laludi RSUP Leimena. Pasien memiliki riwayat
asam urat. Sedangkan riwayat DM dan hipertensi disangkal. Keluarga pasien tidak
ada yang memiliki penyakit liver, DM dan Hipertensi disangkal.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang,


kesadaran compos mentis, dengan berat badan 68 kg dan tinggi badan 152 cm, IMT
18,6 kg/m2(baik). Tanda vital : TD : 120/80 mmHg Nadi : 105 x/menit, Suhu : 36,5
℃ , Pernapasan : 21x/menit, SpO2: 95% room air. Conjungtiva anemis, mukosa mulut
kering, pada pemeriksaan paru didapatkan fremitus raba menurun pada paru dextra,
nyeri ketok pada ics 4 dengan bunyi napas vesikuler dan bunyi napas tambahan basah
halus pada basal paru dextra. Pada pemeriksaan abdomen perut tampak cembung dan
distensi dengan pemeriksaan perkusi redup pada seluruh regio abdomen, sedangkan
pemeriksaan palpasi didapatkan nyeri tekan pada regio epigastrium, inguinal dextra,
umbilical, dan suprapubik dengan undulasi (+). Pada pemeriksaan punggung
didapatkan nyeri ketok costo vertebra angle pada regio flank dextra, dan bunyi napas
vesikuler dengan bunyi napas tambahan ronki basah pada basal paru dextra. Pada
pemeriksaan ekstremitas inferior menunjukkan adanya pitting edema pada kedua
ekstremitas inferior.

11
Berdasarkan pemeriksaan penunjang, maka didapatkan:

Molekular:

HBV-DNA (Real Time PCR) : (+) Virus terdeteksi

Darah rutin:

Hb 10,0 g/dL, eritrosit 3.30 juta, trombosit 649.000/mm3, Leukosit 11.660/mm3,


Hematokrit 24.2%, Limfosit 7,6 %, granulosit 0,1%, dan LED 72 mm/jam

Kimia Darah:

HbsAg Reaktif, Albumin 0,42 g/dL, natrium 134 mmol/L, GDP 131 mg/dL, asam
urat 6,12 mg/dL, Kreatinin 1,04 mg/dL,

EKG : Normal

USG : Sludge Intragallbladder, Nodul solid pada regio flank dan cavum
pelvis, Lesi hipo-isoekoik, lobulated batas sebagian tidak tegas pada
regio flank dan cavum pelvis suggestive mental cake, Asites
masif.
Foto Thorax : Inspirasi kurang, Cor tampak tak membesar, corakan vaskuler
merapat, Pulmo tak tampak infiltrat, tak tampak efusi pleura.

F. ASSESMENT
- Peritonistis Bakterial Spontan
- Sirosis Hepatis e.c Hepatitis B Kronik
- Hipolbuminemia
- Hiponatremia
- Anemia Mikrositik Hipokrom

12
G. PLANNING
- Bedrest total
- Diet saring
- IVFD Nacl 20 tpm
- drips Tramadol extra
- Inj Furosemid 10 mg /12 jam
- Spironolaktan 2x100mg
- Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj Omeprazol 40 mg /12 jam
- Onoiwa 3x1 tab

13
H. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
27/09/2021 - Perut  TTV  Peritonistis - IVFD Nacl 20 tpm
(H+17) tegang, TD : 120/80 mmHg - Inj Omeprazole 40
Bakterial Spontan
tidak mg/12 jam
nayaman  Sirosis Hepatis e.c - Inj Furosemid 10
- Mual saat S : 36,50 C
Hepatitis B Kronik mg/12 jam
makan - Inj ceftriaxone 1gr/12
- Belum N : 109x/mnt regular  Hipolbuminemia jam
BAB 3 hari - Onoiwa 3x2 tab
 Hiponatremia
- Muntah 1x - Lactulac syr 3x1C
RR : 18 x/menit
 Anemia Mikrositik - Spironolaktan 100 mg
Hipokrom 1x1 tab
SpO2 : 95% - Furosemid 1x1 tab

 Pemfis :

 Kepala : CA (-/-)

 Bunyi Napas:
vesikuler (+/+)

 Ronki (+/-) basah


halus pada basal paru
dextra

 Punggung: Nyeri
ketok CVA (+/-)pada
regio flank dextra

 Abdomen:Cembung,
distensi, NT
epigastrium, inguinal
dextra, umbilical,
suprapubik. Perkusi
redup seluruh
abdomen, Undulasi
(+). LP = 88 cm

 Ektremitas: pitting
edem eks. Inferior
(+/+)

28/09/2021 - Perut  TTV  Peritonistis - IVFD Nacl 20 tpm


(H+18) tegang, TD : 120/80 mmHg - Inj Omeprazole 40
Bakterial Spontan
tidak mg/12 jam
nayaman  Sirosis Hepatis e.c - Inj ceftriaxone 1gr/12
- Mual S : 36,50 C
Hepatitis B Kronik jam
- Onoiwa 3x2 tab
N : 109x/mnt regular  Hipolbuminemia - Furosemid 3x1 tab
 Hiponatremia - Spironolaktan 100 mg
3x1 tab
- Anemia Mikrositik

14
RR : 20 x/menit Hipokrom

SpO2 : 95%

 Pemfis :

 Kepala : CA (-/-)

 Bunyi Napas:
vesikuler (+/+)

 Ronki (+/-) basah


halus pada basal paru
dextra

 Punggung: Nyeri
ketok CVA (+/-)pada
regio flank dextra

 Abdomen:Cembung,
distensi, NT
epigastrium, inguinal
dextra, umbilical,
suprapubik. Perkusi
redup seluruh
abdomen, Undulasi
(+). LP = 88 cm

 Ektremitas: pitting
edem eks. Inferior
(+/+)

29/09/2021 - Perut  TTV  Peritonistis - IVFD Nacl 20 tpm


(H+19) tegang, TD : 110/80 mmHg - Inj Omeprazole 40
Bakterial Spontan
tidak mg/12 jam
nyaman  Sirosis Hepatis e.c - Inj ceftriaxone 1gr/12
- Mual S : 36,50 C
Hepatitis B Kronik jam
- Onoiwa 3x2 tab
N : 132x/mnt regular  Hipolbuminemia - Furosemid 3x1 tab
 Hiponatremia - Spironolaktan 100 mg
RR : 20 x/menit 3x1 tab
 Anemia Mikrositik
Hipokrom
SpO2 : 96%

 Pemfis :

 Kepala : CA (-/-)

 Bunyi Napas:
vesikuler (+/+)

 Ronki (+/-) basah


halus pada basal paru

15
dextra

 Punggung: Nyeri
ketok CVA (+/-)pada
regio flank dextra

 Abdomen:Cembung,
distensi, NT
epigastrium, inguinal
dextra, umbilical,
suprapubik. Perkusi
redup seluruh
abdomen, Undulasi
(+). LP = 88 cm

 Ektremitas: pitting
edem eks. Inferior
(+/+)
30/09/2021 - Perut  TTV  Peritonistis - IVFD Nacl 20 tpm
(H+20) tegang, TD : 120/80 mmHg - Inj Omeprazole 40
Bakterial Spontan
tidak mg/12 jam
nyaman  Sirosis Hepatis e.c - Furosemid 3x1 tab
- Mual S : 36,50 C
Hepatitis B Kronik - Spironolaktan 100 mg
3x1 tab
N : 108x/mnt regular  Hipolbuminemia - Onoiwa 3x2 tab
 Hiponatremia
RR : 20 x/menit - Anemia Mikrositik
Hipokrom
SpO2 : 99%

 Pemfis :

 Kepala : CA (-/-)

 Bunyi Napas:
vesikuler (+/+)

 Ronki (+/-) basah


halus pada basal paru
dextra

 Punggung: Nyeri
ketok CVA (+/-)pada
regio flank dextra

 Abdomen:Cembung,
distensi, NT
epigastrium, inguinal
dextra, umbilical,
suprapubik. Perkusi
redup seluruh
abdomen, Undulasi
(+). LP = 88 cm

16
 Ektremitas: pitting
edem eks. Inferior
(+/+)

01/10/2021 - Perut  TTV  Peritonistis - IVFD Nacl 20 tpm


(H+21) tegang, TD : 110/80 mmHg Bakterial Spontan - Inj Omeprazole 40
tidak mg/12 jam
nyaman  Sirosis Hepatis e.c - Paracetamol drip 1 gr
S : 36,60 C
Hepatitis B Kronik iv
- Belum - Furosemid 3x1 tab
BAB N : 109x/mnt regular  Hipolbuminemia - Spironolaktan 100 mg
 Hiponatremia 2x1 tab
RR : 20 x/menit - Onoiwa 3x2 tab
- Anemia Mikrositik
Hipokrom
SpO2 : 98%

 Pemfis :

 Kepala : CA (-/-)

 Bunyi Napas:
vesikuler (+/+)

 Ronki (+/-) basah


halus pada basal paru
dextra

 Punggung: Nyeri
ketok CVA (+/-)pada
regio flank dextra

 Abdomen:Cembung,
distensi, NT
epigastrium, inguinal
dextra, umbilical,
suprapubik. Perkusi
redup seluruh
abdomen, Undulasi
(+). LP = 88 cm,
pungsi asites =
5000cc

 Ektremitas: pitting
edem eks. Inferior
(+/+)

02/10/2021 - Mual  TTV  Peritonistis - IVFD Nacl 20 tpm


(H+22) - Perut TD : 100/60 mmHg Bakterial Spontan - Paracetamol drip 1 gr
tegang iv
 Sirosis Hepatis e.c - Furosemid 2x1 tab
berkurang S : 36,00 C
Hepatitis B Kronik - Spironolaktan 100 mg
2x1 tab
N : 120x/mnt regular  Hipolbuminemia - Onoiwa 2x2 tab

17
RR : 20 x/menit  Hiponatremia
- Anemia Mikrositik
SpO2 : 97%
Hipokrom

 Pemfis :

 Kepala : CA (-/-)

 Bunyi Napas:
vesikuler (+/+)

 Ronki (+/-) basah


halus pada basal paru
dextra

 Punggung: Nyeri
ketok CVA (-/-)

 Abdomen: NT (-)
Perkusi Timpani

 Ektremitas: pitting
edem(-/-)

18
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peritonitis bakterial spontan


Peritonitis Bakterial Spontan (PBS) adalah infeksi pada asites tanpa sumber
infeksi intra abdomen yang tidak diketahui. Etiologi infeksi ini adalah infeksi bakteri
intraseluler, terutama bakteri flora usus. PBS adalah komplikasi serius pada pasien
sirosis dengan asites. Disebut PBS bila didapatkan peningkatan sel polimorfonuklear
PMN melebihi 250/mm3 dengan atau tanpa bakteriemia yang diisolasi dari dalam
cairan asites. Perkembangan penyakit PBS pada sirosis hati dipengaruhi oleh
respon imun cairan asites, yang tergantung pada mekanisme pertahanan
dalam rongga peritoneal yaitu opsonisasi dan bakterisidal cairan asites yang
sangat ditentukan oleh kadar protein cairan asites.1

Cairan asites merupakan medium kultur yang baik untuk beberapa patogen, ter
masuk Enteobacteriaceae (khususnya E coli), streptokokus (enterokokus),
Streptococcus pneumoniae, dan Streptococcus viridan. Spontaneous Bacterial
Peritonitis terjadi akibat migrasi transmural bakteri dari usus halus atau lumen
organ, yaitu fenomena yang disebut translokasi bakterial. Tetapi, kenyataan
eksperimental mengatakan, bahwa migrasi transmural secara langsung belum
tentu mengakibatkan PBS. Mekanisme lain mengatakan, organisme infeksius
dengan mudah menyebar secara hematogen apabila dikaitkan dengan sistem
pertahanan imun yang kurang. Beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain:
pertumbuhan bakteri dalam usus, disertai dengan fungsi fagositik, serum yang
rendah dan level komplemen dari asites, penurunan fungsi retikuloendotelial,
dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme dan menurunkan kapasitas untuk
membersihkan organisme-organisme tersebut melalui peredaran darah. Konsentrasi

19
protein yang rendah (hipoalbumin) pada cairan asites berkaitan dengan tingginya
resiko terjadinya PBS pada penderita Cirrhosis Hepatis dengan asites.1,2

Diagnosis dapat dibuat berdasarkan manifestasi klinis PBS dan analisis kultur
cairan asites. Manifestasi klinis PBS adalah biasa pasien tanpa gejala, namun dapat
timbul demam dan nyeri abdomen. Diagnosis SBP dapat dibuat jika, kita akan
menemukan:2

 Jumlah PMN > 250 sel/mm3 dan asites positif kultur cairan
 Jumlah PMN > 250 sel/mm3 diikuti atau tidak dengan gejala peritonitis
 Jumlah PMN < 250 sel/mm3 diikuti peritonitis gejala, dan analisis ulang dalam
24 jam akan ditemukan
 Jumlah PMN > 250 sel/mm

Penatalaksanaan peritonitis bakterial spontan adalah berdasarkan tiga aspek.


Pertama, diagnosis cepat sangat penting untuk memulai pengobatan antibiotik empiris
dengan mempertimbangkan bakteri lokal. Kedua, stratifikasi pasien adalah kuncinya

untuk mengidentifikasi kandidat yang harus menerima intravena albumin bertujuan


untuk mengurangi risiko cedera ginjal akut dan kematian. Semua pasien dengan
peritonitis bakteri spontan harus dievaluasi untuk transplantasi hati kecuali jika
kontraindikasi utama yang jelas.2

Pengobatan antibiotik empiris harus dimulai segera setelah diagnosis PBS dibuat
untuk mengurangi perkembangan komplikasi dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Pilihan antibiotik empiris pengobatan harus mempertimbangkan riwayat infeksi
bakteri pasien termasuk jenis bakteri sebelumnya, antibiotik yang digunakan, lokasi
di mana diasumsikan bahwa infeksi diperoleh (rawat jalan, terkait perawatan
kesehatan atau nosokomial), tingkat keparahan infeksi, dan perkiraan profil resistensi
bakteri lokal. Secara historis, sefalosporin generasi ketiga (cefotaxime atau
ceftriaxone) adalah pilihan pengobatan lini pertama peritonitis bakteri spontan karena

20
keunggulannya dalam kontrol acak percobaan dengan nefrotoksisitas minimal jika
dibandingkan dengan antibiotik yang lain. 2

Pada pasien ini didiagnosis dengan peritonitis bakterial spontan berdasarkan hasil
anamnesis berupa nyeri perut tak tertahankan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan adanya nyeri tekan pada regio epigastrium,
inguinal dextra, umbilical, dan suprapubik. Untuk pemeriksaan penunjang
direncanakan untuk melakukan biopsi dan kultur cairan asites.

B. Sirosis Hepatis
Sirosis adalah hasil dari fibrosis hepar progresif, yang menyebabkan perubahan
pada pembuluh darah hepar.3 Secara anatomis, sirosis merupakan proses difus dengan
pembentukan fibrosis dan nodul.4 Berdasarkan karakteristik histologi, sirosis
didefinisikan sebagai perkembangan nodul regeneratif yang dikelilingi oleh pita
fibrosa akibat cedera hepar kronis.3

Ketika terjadi kerusakan hepar, fibrogenesis terjadi sebagai bagian dari proses
penyembuhan.3 Hasil akhir fibrogenesis adalah dengan pembentukan fibrosis dan
nodul.3,4 Secara klinis, sirosis dianggap berkembang melalui tiga tahap yang
berkorelasi dengan ketebalan septa fibrosa, yakni terkompensata, kompensata dengan
varises, dan dekompensata (asites, perdarahan asites, ensefalopati, atau ikterik).5

Pasien dengan sirosis terkompensata biasanya asimptomatik. Pasien dengan


sirosis dekompensata biasanya mencari pertolongan medis karena asites, ikterus, atau
perdarahan gastrointestinal. Kehilangan otot dan penurunan berat badan biasanya
ditemukan pada pasien tersebut. Flap hati mungkin ada. Penyakit kuning menyiratkan
bahwa kerusakan sel hati melebihi kapasitas regenerasi dan selalu serius. Purpura di
lengan, bahu, dan tulang kering mungkin berhubungan dengan jumlah trombosit yang
rendah. Sirkulasi pasien sirosis dekompensata biasanya terlalu aktif sehingga dapat
ditemukan perifer hangat, takikardia, tekanan darah relatif rendah, dan denyut nadi
yang mudah teraba. Rambut tubuh yang jarang, vascular spider, eritema palmar, kuku

21
putih, dan atrofi gonad sering ditemukan. Asites dan edema kaki sering terjadi. Hati
mungkin membesar, dengan tepi teratur yang kuat, atau berkontraksi dan tidak dapat
disembuhkan. Limpa mungkin teraba.3

Penyebab sirosis hepatis adalah bermacam-macam. Pada beberapa bentuk


penyakit hati terdapat penyebab tunggal, misalnya HBV dan HVC, sirosis bilier
primer, dan kolangitis sklerosis primer, tetapi terkadang seorang penderita sirosis
memiliki lebih dari satu penyebab dan terdapat pengaruh kofaktor.4,6

Di negara-negara barat, prevalensi sirosis akibat alkohol, non-alkohol


steatohepatitis (NASH), dan virus khususnya hepatitis C meningkat. Pada negara
berkembang, penyebab utama sirosis adalah HBV dan HCV. Apabila etiologi sirosis
tidak dapat ditentukan, maka disebut sirosis kriptogenik.

Gambar 2.1. Etiologi dan kofaktor perkembangan sirosis.

Gambaran patologi hati pada sirosis pasca nekrosis biasanya mengkerut,


berbentuk tidak teratur dan terdiri dari nodulus hati yang dipisahkan oleh pita ibrosis
yang padat dan lebar. Pathogenesis sirosis hati ini terjadi karena pembentukan
fibrosis yang menunjukkan peribahan proses keseimbangan. Jika terpapar factor
tertentu yang berlangsung terus menerus (misal: hepatitis virus, bahan-bahan
hepatotoksik), maka sel stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen sehingaa
lama-kelamaan jaringan hati normal akan diganti oleh jaringan ikat.3,4

Gejala-gejala sirosis: stadium awal sirosis sering tanpa gejala. Gejala awal sirosis
(kompensata) meliputi perasaan perut kembung, mual, muntah, pusing penurunan

22
berat badan. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata) gejala yang timbul lebih
menonjol terutama bila timbul komplikasi kagagalan hati dan hipertensi porta,
meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu
tinggi. Mungkin disertai gangguan siklus haid, icterus dengan air kemih warna seperti
teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah
lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi sampai koma.3

Temuan klinis meliputi spider angioma-spiderangiomata (atau spider


telangiektasi), suatu lesi vascular vena-vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di
bahu, muka, dan lengan atas. Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan
hypothenar telapak tngan, perubahan kuku-kuku murchrche berupa pita putih
horizontal dipisahkan dengan warna normal kuku. Ukuran hati yang sirotik bisa
membesar, normal atau mengecil. Bila hati teraba, hati sirotik teraba keras dan
nodular. Plenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis dnegan penyebab non-
alkoholik. Asites terjadi akibat hipertensi porta dan hypoalbuminemia. Fetor
hepatikum-bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan
konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik yang berat. Icterus pada
kulit dan membrane mukosa akibat hiperbilirubunemia. Dengan kadar bilirubin < 2-3
mg/dl. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.4,5

Gambaran laboratoris pada sirosis hepati dapat beurpa aspartate aminotransferase


(AST) atau SGOT dan alanin aminotransferase (ALT) atau SGPT meningkat tak
begitu tinggi. AST dapat lebih meingkat dari ALT. alkali fosfatase meningkat kurang
dari 2-3 kali harga batas normal atas. Gamma-glutamil transpeptidase (GGT)
kadarnya seperti alkali fosfatase, bilirubin-kadarnya dapat normal hingga meningkat
pada sirosis lanjut, albumin-sintesisnya terjadi di jaringan hati, kadarnya menurun
dengan perburukan sirosis. Globulin kadarnya meningkat pada sirosis, natrium serim
menurun terutama pasa sirosis dengan asites dikaitkan dengan ketidakmampuan
ekskresi air bebas, gangguan hematologi-anemia penyebabnya bisa bermacam
macam, anemia normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom

23
makrositer. Anemia dnegan trombositopenia leukopenia dan neutropenia akibat
splenomegaly kongesti yang berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi
hipersplenisme.4,5

Pemeriksaan USG secara rutin digunakan karena non invasi dan mudah
digunakan namun sensitivasitasnya kurang. Pemeriksaan hati ynag bisa dinilai
dengan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran homogenitas, dan adanya
massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan irregular, dan ada
peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu, USG tampak pelebaran vena porta,
serta skrining adanya karsinoma hati pada pasien sirosis. 3,4

Pada pasien ini didiagnosis dengan sirosis hepatis berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan panunjang. Pada anamnesis tanda dan gejala
yang dikeluhkan berupa perut membesar dan tegang, mual, muntah, nafsu makan
menurun sehingga mengalami penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik
abdomen tampak perut cembung dan tegang, pada perkusi didapatkan redup pada
semua kuadran abdomen dan pemeriksaan undulasi didapatkan adanya getaran atau
gelombang. Pada pemeriksaan pembesaran hepar dan limpa sulit dievaluasi. Pada
pemeriksaan molekular HBV-DNA didapatkan adanya virus yang terdeteksi.Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya anemia mikrositik hipokrom (Hb 10,0
g/dL), leukositosis 11.660/mm3, trombositosis 649.000/mm3. hypoalbuminemia (0,42
mg/dL), hyponatremia (134 mmol/L), namun kadar SGOT (15 u/L) dan SGPT (12
u/L) dalam batas normal. Pada pemeriksaan USG yang dilakukan didapatkan adanya
asites masif. 3

Gold standar untuk diagnosis sirosis hepatis adalah biopsi hati melalui perkutan,
transjugular, laparoskopi atau dengan biopsi jarum halus. Biopsi tidak diperlukan bila
secara klinis, pemeriksaan laboratoris, dan radiologi menunjukkan kecenderungan
sirosis hepatis. Walaupun biopsi hati risikonya kecil tapi dapat berakibat fatal
misalnya perdarahan dan kematian.6

24
Penanganan sirosis hepatis kompensata ditujukan pada penyebab hepatitis kronis.
Hal ini ditujukan untuk mengurangi progesifitas penyakit sirosis hepatis agar tidak
semakin lanjut dan menurunkan terjadinya karsinoma hepatoselular.6

Hal penting adalah menghindari alkohol. Pasien harus diberikan diet cocok,
dengan kalori yang cukup (20 – 40 kkal/kgBB/hari tergantung pada indeks massa
tubuh dan ada/tidaknya malnutrisi) dan protein (1 – 1,5 g/kgBB/hari tergantung
keberadaan atau tidak adanya malnutrisi), dan jika terdapat retensi cairan maka
dilakukan restriksi natrium.4

Pasien dengan sirosis harus menerima vaksin HAV, HBV, dan pneumokokus
serta vaksin influenza tahunan. Pada kasus HBV kronis dapat diberikan preparat
interferon secara injeksi atau secara oral dengan preparat analog nukleosida jangka
panjang. Preparat nukleosida analog ini juga bisa diberikan pada sirosis hepatis
dekompensata akibat HBV kronis elain penanganan untuk komplikasinya. Pada kasus
HCV kronis dapat diberikan preparat interferon. Namun, pada sirosis hepatis
dekompensata pemberian preparat interferon ini tidak direkomendasikan.
Transplantasi hati pada kandidat yang tepat bersifat kuratif. Koordinasi perawatan
dan perawatan paliatif yang sesuai, telah terbukti meningkatkan hasil dan mengurangi
tingkat rekuren.3,5

C. Hepatitis B
Penyakit hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia,
termasuk Indonesia. virus hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 miliar orang di
dunia dan sekitar 240 juta merupakan pengidap virus hepatitis B kronis.
Indonesia merupakan Negara dengan pengidap hepatitis B nomor 2 terbesar
diantara negara-negara anggota WHO SEAR (South East Asian Region).7

Virus Hepatitis B merupakan virus DNA yang termasuk golongan


Hepadnaviridae, yang mempunyai empat buah open reading frame: inti, kapsul,
polimerase, dan X.Gen inti mengkode protein nukleo kapsid yang penting dalam

25
membungkus virus dan HBeAg. Infeksi hepatitis B dapat berupa keadaan yang akut
dengan gejala yang berlangsung kurang dari 6 bulan. Apabila perjalanan penyakit
berlangsung lebih dari 6 bulan maka disebut sebagai hepatitis B kronik.6

Individu yang terinfeksi hepatitis B akan tetap HbsAg (+) sepanjang hidupnya.
Pasien dengan hepatitis B umumnya tidak menimbulkan gejala. Gejala timbul apabila
seseorang telah terinfeksi selama 6 minggu. Antara lain gangguan gastrointestinal
seperti malaise, anoreksia, mual, dan muntah. Gejala flu: batuk, fotofobia, sakit
kepala, mialgia. Gejala prodormal akan menghilang pada saat timbul kuning, tetapi
keluhan anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap. Ikterus didahului dengan
kemunculan urin berwarna gelap. Pruritus dapat itmbul ketika ikterus meningkat.
Pada saat badan kuning, biasanya diikuti oleh pembesaran hati yang diikuti oleh rasa
sakit bila ditekan di bagian perut kanan atas.6,7

Pada hepatitis B akut, HbsAg muncul diserum dalam waktu 2-10 minggu setelah
paparan virus,sebelum onset gejala dan peningkatan kadar ALT. Pada sebagian
pasien dewasa, HbsAg hilang dalam waktu 4-6 bulan. Anti-HBs dapat muncul
beberapa minggu setelah serokonversi HBsAg. Setelah serokonversi HbsAg menjadi
anti-HBs, HBV-DNA masih dapat dideteksi pada hati,dan respon sel T spesifik
terhadap virus hepatitis B dapat dijumpai pada beberapa dekade berikutnya. Hal
tersebut menunjukkan kontrol imunitas yang persisten setelah infeksi akut. Pada
kondisi yang jarang, pasien dengan anti-HB yang positif dapat kembali terinfeksi
virus hepatitis B kembali karena proteksi inkomplit dari anti-HBs terhadap serotipe
virus hepatitis B lainnya. Adanya HbsAg yang persisten lebih dari 6 bulan
menunjukkan bahwa pasien menderita infeksi hepatitis B kronik. HbsAg dan anti-
HBs dapat dijumpai secara bersamaan pada individu yang sama pada 10-25% kasus.
Fenomena tersebut muncul lebih sering pada pasien dengan hepatitis B kronik
dibandingkan pada hepatitis B akut.Pada keadaan ini biasanya titer antibodi rendah.6

Langkah-langkah evaluasi pre-terapi pada infeksi hepatitis B kronik bertujuan


untuk: (1) menemukan hubungan kausal infeksi kronik VHB dengan penyakit hati,

26
(2) melakukan penilaian derajat kerusakan sel hati, (3) menemukan adanya penyakit
komorbid atau koinfeksi dan (4) menentukan waktu dimulainya terapi.6

Tabel 2.1 Kriteria diagnosis infeksi Virus Hepatitis B

Hepatitis B kronik

1. HbsAg seropositif > 6 bulan


2. DNA seropositif > 20.000 IU/mL (nilai yang lebih rendah 2000-20.000
IU/mL ditemukan pada HbeAg negatif)
3. Peningkatan ALT yang persisten maupun interniten
4. Biopsi hati yang menunjukan hepatitis kronik dengan derajar nekroinflamasi
sedang sampai berat.

Pengidap inaktif

1. HbsAg seropositif > 6 bulan


2. HbeAg (-), anti Hbe (+)
3. ALT serum dalm batas normal
4. DNA VHB <2000-20000 IU/ml
5. Biopsi hari yang tidak menunjukan inflamasi yang dominan

Resolved Hepatitis Infection

1. Riwayat infeksi hepatitis B, atau adanya anti HBC dalam darah


2. HbsAg (-)
3. DNA VHB serum tidak terdeteksi
4. ALT serum dalam batas normal

Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi dari


empat kriteria, antara lain: (1) nilai DNA VHB serum, (2) status HBeAg, (3) nilai
ALT dan (4) gambaran histologis hati.8

27
Gambar 2.2 Algoritma Tata laksana hepatitis B dengan HbeAG positif

Pada pasien dengan HBeAg positif, terapi dapat dimulai pada DNA VHB diatas 2
x 104 IU/mL dengan ALT 2-5x batas atas normal yang menetap selama 3-6 bulan
atau ALT serum > 5x batas atas normal, atau dengan gambaran histologis fibrosis
derajat sedang sampai berat. Sedangkan pada pasien HBeAg negatif, terapi dimulai
pada pasien dengan DNA VHB lebih dari 2 x 103 IU/mL dan kenaikan ALT > 2x
batas atas normal yang menetap selama 3-6 bulan.8

28
Gambar 2.3

Tujuan penatalaksanaan Hepatitis B yaitu untuk mencegah progresivitas penyakit,


mencegah terjadinya sirosis hepatis dan Hepatoseluler carsinoma cell. Hanya diobati
jika didapatkan tanda penyakit dalam keadaan aktif. HbeAg + jika DNA virus
hepatitis B > 20.000. HbeAg (-) jika DNA virus hepatitis B > 2.000. obat hepatitis B
dapat dikelompokan menjadi 2 golongan yaitu :8

a. Immunomodulator (selama 24 atau 48 minggu) fenile duration. Diberikan


pada pasien dengan fungsi hati yang masih baik.

29
b. Obat antiviral golongan analog nukleoside. Diberikan terus-menerus.
Nukleosid berfungsi sebagai bahan pembentuk pregnom, bersaing dengan
nukleosid asli.
Tabel 2.2 Nama obat, pemberiann dan rekomendasi dosis pada hepatitis B

Nama obat Pemberian Rekomendasi dosis


IFN alfa SC 5 mu/hari atau 10 mu 3x/ minggu
(16-24 minggu)
Peg INF-2a SC 180 mcg/minggu (48 minggu)
Lamivudine (LAM) PO 100 mg 1 dd
Adenovir (ADV) PO 10 mg 1 dd
Entecavir (ETV) PO - 0,5 mg/hari (tidak ada riwayat
LAM)
- 0,5 mg/hari (ada resistensi
LAM)
Telbivudin (Ldt) PO 800 mg/hari
Tenofovir (TNF) PO 300 mg/hari

Pada pasien ini didiagnosis dengan hepatitis B kronik berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan panunjang. Pada anamnesis tanda dan gejala yang dikeluhkan berupa
mual, muntah, batuk, nafsu makan menurun sehingga mengalami penurunan berat
badan dan nyeri perut. Pada pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan imuno
serologi didapatkan HbeAg (-) atau non reaktif. Pada pemeriksaan molekular HBV-
DNA didapatkan adanya virus yang terdeteksi, HBV-DNA 2,18 x 10´1 IU/mL. Pada
pemeriksaan kimia darah didapatkan HbsAg (+) Reaktif. Interpretasi dari hasil
serologi,molekular, dan kimia darah adalah pasien ini pernah terinfeksi virus hepatitis
B dan berada dalam masa yang kurang infeksius. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan kadar SGOT (15 u/L) dan SGPT (12 u/L) dalam batas normal. Pada
pemeriksaan USG yang dilakukan didapatkan adanya asites masif. 4

30
D. Asites Masif
Asites merupakan akumulasi patologis cairan di rongga peritoneum. Asistes dapat
disebabkan oleh banyak penyakit. Berdasarkan penyebab, asites dapat
diklasifikasikan dalam 2 kelompok yakni asites pada normal peritoneum dan asites
terkait penyakit peritoneum. Namun berdasarkan mekanisme patofisiologi, asites
diklasifikasikan dalam 4 kelompok yakni hipertensi portal, penyakit peritoneum,
hipoalbuminemia, dan berbagai penyakit. Penyebab paling umum asites adalah
hipertensi portal akibat penyakit hati kronik, dimana terjadi pada 80% pasien asites.
Namun, penyebab paling umum non-hipertensi portal adalah infeksi (peritonitis
tuberkulosis), keganasan intra-abdomen, inflamasi peritoneum, dan gangguan duktus
(silus, pankreas, biliaris).6 Di Indonesia, asites yang berhubungan dengan sirosis hati
dan hipertensi porta adakah asites yang paling sering dijumpai.9,10,11

Gejala yang paling sering terkait dengan asites yang terbukti secara klinis adalah
peningkatan lingkar perut (pasien memperhatikan ketatnya ikat pinggang atau
pakaian di sekitar pinggang) dan penambahan berat badan baru-baru ini. Saat cairan
terus menumpuk, hal itu menyebabkan elevasi diafragma yang dapat menyebabkan
sesak napas. Akumulasi cairan juga dapat dikaitkan dengan rasa kenyang dan nyeri
perut umum. Timbulnya gejala yang cepat dalam hitungan minggu pada asites
membantu membedakannya dari obesitas, yang berkembang selama beberapa bulan
hingga tahun.13

International ascites club memiliki system grading ascites yaitu:

Grade 1: ascites ringan hanya bisa diketahui dengan USG

Grade 2: ascites moderate, ditandai dengan distensi simetris abdomen

Grade 3: ascites luas dengan distensi abdomen yang jelas

31
Saat memeriksa pasien dengan asites, pemeriksaan umum dari sisi tempat tidur
dapat memberikan banyak informasi berharga.12 Saat pasien terlentang, perhatikan
tanda-tanda ini:

a. Bulging flank.
Ini hasil dari akumulasi cairan (biasanya setidaknya 1500 mL) di paracolic gutters
(ruang antara usus besar dan dinding perut lateral). Area ini juga dapat diperkusi
untuk mengungkapkan dullness, yang memudar saat dilakukan perkusi ke arah
garis tengah perut.14

b. Shifting dullness.
Ini menggambarkan flank dullness yang mengubah lokasi ketika pasien berguling
dari posisi terlentang ke posisi dekubitus lateral. Shifting dullness berfungsi
sebagai metode vital untuk memastikan adanya cairan bebas di rongga perut,
dimana volume cairan bebas lebih besar dari 1000 ml dapat dideteksi. Dalam satu
penelitian, tes ini memiliki sensitivitas 83% dan spesifisitas 56% dalam
mendeteksi asites.14,9

Jika jumlahnya terlalu sedikit, shifting dullness tidak akan ditemukan dengan
metode di atas. Dengan izin, pemeriksa dapat meminta pasien untuk mengambil
posisi siku-lutut sehingga umbilikus berada pada tingkat terendah, dan kemudian
melakukan perkusi dari panggul ke arah umbilikus. Jika suara perkusi berubah dari
timpani menjadi redup, itu menunjukkan asites, yang berarti tes genangan positif.
Atau meminta pasien untuk berdiri, pemeriksa akan melakukan perkusi redup jika
cairan menumpuk di perut bagian bawah. Batas atas cairan berada pada tingkat
horizontal, di atasnya terdapat fleksura usus mengambang dengan suara perkusi
menjadi timpani.9

c. Fluid wave atau fluid thrill atau undulasi


Mintalah tangan pasien atau asisten diletakkan di garis tengah perut. Letakkan
tangan di satu sisi dan ketuk sisi lainnya. Tes dikatakan positif jika dapat dirasakan

32
"getaran atau gelombang" yang disebabkan oleh transmisi keran di perut yang
berisi cairan. Tangan pasien atau asisten diperlukan untuk menghentikan
gelombang yang ditransmisikan melalui jaringan subkutan daripada perut yang
berisi cairan. Deteksi tanda fluid wave atau fluid thrill kurang dapat diandalkan.
10,14

Pada pasien ini alur penegakkan didiagnosis asites massif dimulai dari
anamanesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis didapatkan
tanda dan gejala perut membesar dan tegang sehingga terjadi peningkatan lingkar
perut menyebabkan pasien sulit bergerak dan tidak nyaman. Pasien juga merasakan
nyeri pada perut sehingga membuat pasien sulit tidur. Pada pemeriksaan fisik
abdomen tampak perut cembung, pada perkusi didapatkan redup pada semua kuadran
abdomen dan pemeriksaan undulasi didapatkan adanya getaran atau gelombang.

Pemeriksaan penunjang yang dapat memberikan informasi untuk mendeteksi


asites adalah ultrasonografi.17 Ultrasonografi abdomen berguna dalam memastikan
adanya os asites dan dalam memandu parasentesis. Pencitraan ultrasound dan CT
berguna dalam membedakan antara penyebab asites hipertensi portal dan nonportal.
USG dilakukan pada pasien saat akan melakukan pungsi asites dengan cairan yang
dikeluarkan sebanyak 5000 cc dengan cairan berwarna kuning. Cairan keruh
menunjukkan infeksi. Cairan seperti susu terlihat dengan asites chylous karena kadar
trigliserida yang tinggi. Cairan berdarah paling sering disebabkan oleh parasentesis
traumatis, tetapi hingga 20% kasus asites ganas berdarah.9

Penatalaksanaan asites berkisar pada pengurangan gejala dari distensi perut


sambil mengobati penyebab asites yang mendasarinya. Pengobatan asites transudat
sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi:18

a. Tirah baring
Tirah baring (atau tidur terlentang dengan kaki sedikit diangkat) yang dilakukan
selama beberapa jam setelah minum obat diuretika dapat memperbaiki efektifitas

33
diuretika. Perbaikan efek diuretika tersebut berhubungan dengan perbaikan aliran
darah ginjal dan filtrasi glomerulus akibat tirah baring. Tirah baring akan
menyebabkan aktifitas simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron
menurun.18

b. Diet
Diet rendah garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis. Konsumsi
garam perhari sebaiknya dibatasi hingga 40–60 mEq/hari. Hiponatremia ringan
sampai sedang bukan merupakan kontraindikasi untuk memberikan diet rendah
garam, mengingat hiponatremia pada pasien asites transudat bersifat relatif.
c. Diuretika
Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai anti-aldosteron,
contohnya spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika hemat kalium, bekerja
di tubulus distal dan menahan reabsorpsi Na. Sebenarnya potensi natriuretik
diuretika distal lebih rendah dari pada diuretika loop bila etiologi peningkatan air
dan garam tidak berhubungan dengan hiperaldosteronisme. Efektifitas obat ini
lebih bergantung pada konsentrasinya di plasma, semakin tinggi semakin efektif.
Dosis yang dianjurkan antara 100 – 600 mg/hari. Jarang diperlukan dosis yang
lebih tinggi lagi.17
Pada pasien terapi dilakukan dengan tirah baring dan pemberian duiretik spironolakton
100 mg 3x1 tab.

E. Anemia
Anemia adalah berkurangnya kadar eritrosit (sel darah merah) dan kadar hemoglobin
(Hb) dalam setiap millimeter kubik darah dalam tubuh manusia. Hampir semua gangguan
pada sistem peredaran darah disertai dengan anemia yang ditandai dengan warna
kepucatan pada tubuh, penurunan kerja fisik dan penurunan daya tahan tubuh.6,19

Anemia pada pasien dengan sirosis hepatis yaitu anemia penyakit kronis yang bersifat
multifaktoral (alkohol dan hepatitis B) dan merupakan komplikasi yang paling sering

34
ditemui. Kadar hemoglobin menurun dengan meningkatnya keparahan penyakit hati. Jenis
anemia yang paling umum ditemui pada sirosis hati adalah anemia mikrositik hipokrom
yang disebabkan keadaan inflamasi kronis. Kehilangan darah akut dan kronis akibat
varises esofagus, gastropati, hipertensi portal dapat menimbulkan anemia defisiensi besi
yang gambarannya adalah salah satu anemia mikrositik hipokrom.dimana dari hasil
laboratorium didapatakan nilai MHC dan MCHC menurun (< 80 fl)19

Besi merupakan mikronutrien penting yang diperlukan untuk biosintesis heme yang
selanjutnya membentuk hemoglobin. Besi berada dalam bentuk protein yang terdapat
pada sitokrom sistem respirasi dan mioglobin. Total kandungan besi tubuh diatur secara
ketat. Apabila terjadi kelebihan besi akan disimpan dalam beberapa organ tubuh seperti
hati, miosit, dan organ endokrin. Tubuh memerlukan besi lebih dari 20 mg sehari, hanya 1
sampai 2 mg yang berasal dari absrorbsi intestinal. Mayoritas besi berasal dari daur ulang
pemecahan sel darah merah oleh makrofag di hati, limpa, dan,sumsum tulang. Tempat
penyimpanan besi utama adalah hepatosit dan makrofag serta bersama dengan eritrosit
duodenum, terlibat dalam penyerapan zat besi kemudian terjadi pelepasan zat besi ke
dalam plasma. Besi tidak disekresi oleh tubuh akan tetapi melalui proses penyerapan besi
di intestinal dan pelepasan besi oleh makrofag dan hepatosid yang diatur oleh hormon
hepsidin.6,19

Gangguan metabolisme besi ini yang menandai terjadinya anemia pada penyakit
kronis akibat dari peningkatan hepsidin. Peningkatan kadar hepsidin oleh karena
peningkatan produksi atau penurunan kliren menyebabkan terjadinya penghambatan
pelepasan besi dari tempat penyimpanan seperti eritrosit, makrofag, dan hepatosid ke
plasma sehingga terjadi hipoforemia, yang kemudian mengakibatkan terjadinya defisiensi
dan terjadi eritpoesis dengan zat besi yang terbatas.6,19

F. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia merupakan kondisi penurunan kadar serum albumin atau
kurang dari 3,5 g/dL. Nilai normal kadar serum albumin tergantung usia, pada orang

35
dewasa berkisar 3,5−4,5 g/dL. Albumin merupakan protein plasma yang disintesis
oleh hepar, berfungsi sebagai protein pembawa serta pengikat berbagai substansi,
seperti obat-obatan, hormon, ion, bilirubin, logam, dan asam lemak. Albumin plasma
berkontribusi terhadap 80% tekanan onkotik koloid plasma normal, menjaga
permeabilitas vaskular, mempertahankan permeabilitas kapiler, eliminasi radikal
bebas, serta berperan sebagai antitrombosis.4,5

Pasien sirosis hepatis dapat mengalami penurunan protein karena sintesis protein
di hati yang berkurang sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kadar albumin
serum atau hipoalbuminemia. Kadar serum albumin rendah merupakan prediktor
penting dari mordibitas dan mortalitas. Setiap penurunan 10 g/L serum albumin,
angka kematian meningkat sebesar 137% dan morbiditas meningkat 89%. Albumin
dalam peredaran darah merupakan penentu utama tekanan osmotik plasma darah.
Penurunan albumin dalam sirkulasi menyebabkan asites atau pergeseran cairan dalam
ruang intra vaskuler. 4,5

E. Hiponatremia
Hyponatremia selalu mencerminkan retensi air baik dari peningkatan jumlah berat
badan (total body weight, TBW) atau hilangnya natrium dalam relatif lebih hilangnya
air. Kondisi hiponetremi apabila kadar natrium plasma di bawah 130 mEq/L. Jika <
120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas,
lemah dan henti pernapasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul
gejala kejang, koma. Beberapa penyebab yang mungkin antara lain:20,21

a. Hiperglikemia
b. Deficit natrium yang berhubungan dengan hypovolemia : kehilangan melalui
renal, GI, keringat berlebih, penyakit Addison
c. Deficit natrium yang berhubungan dengan normovolemia: insufisiensi adrenal,
hipotirodisme, SIADH, polidipsi psikogenik

36
d. Deficit natrium yang berhubungan dengan hypervolemia: gagal jantung
kongestif, sirosis hepatis, sindrom nefrotik, gagal ginjal.
Penanganan hiponatremi:21,22

a. Penangan disesuaikan dengan status volume pasien


b. Penanganan hyponatremia memerlukan asupan natrium oral atau intravena.
Larutan garam fisiologis dapat digunakan pada awalnya kemudian diganti
dengan larutan hipotonik seperti NaCl 0,45% apabila hypovolemia sudah
terkoreksi.
c. Pasien dengan volume normal atau hypervolemia biasanya ditangani dengan
restriksi cairan. Jika terjadi overload yang signifikan maka dapat diberikan
diuretic.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Marciano S, Diaz JM, Dirchwolf M, Gadano A. Spontaneous bacterial peritonitis


in patients with cirrhosis: incidence, outcomes, and treatment strategies. Hepatic
Medicine: Evidence and Research. 2019. 11:13-22.
2. Piano S, Brocca A, Mareso S, Angeli P. Infections complicating cirrhosis. Liver
Int. 2018. 38:126–133.
3. Reynolds JC, Ward PJ, Martin JA, Su GL, Whitcomb DC. The Netter Collection
of Medical Illustrations Digestive System: Part III-Liver, Biliary Tract, and
Pancreas. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier; 2017.
4. McCormick PA, Jalan R. Hepatic Cirrhosis. In: Dooley J, Lok A, Garcia-Tsao G,
Pinzani M, editors. Sherlock’s Disease of The Liver and Biliary System. 13th ed.
United States: Wiley Blackwell; 2018.
5. Papadakis ME, McPhee SJ, editors. Current Medical Diagnosis & Treatment.
58th ed. United States: McGraw Hill; 2019.
6. Nurdjanah S. Sirosis Hati. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M,
Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta:
Publishing Interna; 2014.
7. Hepatitis B Virus (HBV) Infection. (2021). https://cdc.gov/std/treatment-
guidelines/hbv.htm
8. PPHI: Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia, 2012.
9. McQuaid KR. Gastrointestinal Disorders. In: Papadakis MA, McPhee SJ, editors.
Current Medical Diagnosis & Treatment. 58th ed. United States: McGraw-Hill
Education; 2019. p. 612–4.
10. Oey RC, van Buuren HR, de Man RA. The diagnostic work-up in patients with
ascites: current guidelines and future prospects. Neth J Med. 2016;74(8):330–5.

38
11. Hirlan. Asites. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B,
Syam AF, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna
Publishing; 2014. p. 1984–6.
12. Gracia-Tsao G. Ascites. In: Dooley J, Lok A, Garcia-Tsao G, Pinzani M, editors.
Sherlock’s Disease of The Liver and Biliary System. 13th ed. USA: John Wiley
& Sons; 2018. p. 127–50.
13. Bazarbashi AN. Ascites. In: Leppert BC, editor. Netter’s Integrated Review of
Medicine: Pathogenesis to Treatment. Philadelphia: Elsevier; 2021. p. 89–92.
14. Dai F, Zeng R. Physical Examination of Abdomen. In: Wan XH, Zeng R, editors.
Handbook of Clinical Diagnostics. Singapore: Springer Nature Singapore; 2020.
p. 205–25.
15. Bazarbashi AN. Ascites. In: Leppert BC, editor. Netter’s Integrated Review of
Medicine: Pathogenesis to Treatment. Philadelphia: Elsevier; 2021. p. 89–92.
16. Appendix B: Roma III. 2010. Diagnostic criteria for functional gastrointestinal
disorders. Am J Gastroenterol, 105:798–801.
17. Appendix B: Roma III.. Diagnostic criteria for functional gastrointestinal
disorders. Am J Gastroenterol, 2010. 105:798–801.
18. Bazarbashi AN. Ascites. In: Leppert BC, editor. Netter’s Integrated Review of
Medicine: Pathogenesis to Treatment. Philadelphia: Elsevier; 2021. p. 89–92
19. Singh S, Manrai M, Parvathi VS, Kumar D, Srivastava S, Pathank B.
Assoaciation of liver cirhosis severity with anemia: does it matter?: Annals Of
Gastroenterology Journal; 2020.
20. EIMED PAPDI: Kegawatdaruratan Penyakit Dalam, Interna Publishing, 2015
21. Critical care pharmacotherapeutic, Chapter 7: Fluid and electrolyte management,
2013 (Billie Bartel and Elizabeth Gau)
22. Basic conseps o fluid and electrolyte therapy, Bibliomed, 2013

39
a. Keluhan Utama :
Pasien mengalami penurunan kesadaran (E1M1V1)
b. Keluhan Tambahan : Perut membesar dan nyeri perut ± 4 minggu serta
keluar cairan dari perut, lemas, nyeri kepala, kesulitan untuk bangun,
duduk dan berdiri, sulit tidur, sulit bicara, serta terdapat luka menghitam
pada perut bagian kiri.
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUD DR. M. Haulussy dengan keluhan penurunan
kesadaran. Pasien sebelumnya sempat dibawa ke RSU Piru SBB,
kemudian pasien dirujuk ke RSUD Haulussy. Pasien juga mengalami
keluhan perut membesar dan nyeri ± 4 minggu SMRS serta terdapat luka
menghitam pada perut bagian kiri. Nyeri dirasakan terus menerus
diseluruh bagian perut sehingga membuat pasien sulit tidur. Perut pasien
dirasakan semakin hari semakin membesar serta keluar cairan dari luka
yang ada pada perut bagian kiri. Pasien juga merasa lemas dan
mengeluhkan nyeri kepala. Pasien mengaku kesulitan bergerak untuk
bangun, duduk dan berdiri. Pasien juga mengalami sulit bicara. Keluhan
demam, pusing, dan muntah disangkal.

40

Anda mungkin juga menyukai