Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TEKNIK KULTUR JARINGAN

“PISANG RAJA”

Dosen Pengampu :

1. Dr. Lizawati, S.P., M.Si.


2. Ir. Neliyati, M.Si.

Disusun Oleh :

Nama : Ewilda Dasnairti Putri

Nim : D1A019086

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERNANIAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Saya telah menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin.
Namun tentunya sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Harapan saya
semoga bisa menjadi koreksi di masa mendatang agar lebih baik lagi dari sebelumnya. Tak lupa
ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Dosen pengampu ibu Dr. Lizawati, S.P., M.Si. dan Ir.
Neliyati, M.Si. yang telah memberi tugas makalah ini. Dorongan dan ilmu yang telah diberikan
kepada saya, sehingga saya dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya dan Insya Allah sesuai yang diharapkan. Semoga makalah ini bisa memberikan
sumbang pemikiran sekaligus pengetahuan bagi kita semuanya Aamiin.

Jambi, 19 Mei 2022

Ewilda Dasniarti Putri


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………...

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………..

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………........

1.2 Tujuan…………………………………………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………...

2.1 Botani Tanaman Pisang Raja Bulu…………………………………………………………...

2.2 Teknik Kultur Jaringan……………………………………………………………………….

2.3 Tahapan Kultur Jaringan……………………………………………………………………..

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Jaringan……………………….

2.4.1 Eksplan…………………………………………………………………………………..

2.4.2 Media Kultur Jaringan………………………………………………………………....

2.4.3 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)…………………………………………………………..

2.4.4 Faktor Lingkungan Tumbuh Kultur…………………………………………………..

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………………...


3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pisang merupakan komoditas buah yang sangat potensial dikembangkan untuk


menunjang ketahanan pangan. Hal ini karena pisang memiliki keunggulan yang dibutuhkan,
nutrisi, pelengkap, produktivitas dan kemampuan untuk mengatasi tekanan lingkungan
sekitarnya untuk bertahan hidup. Menurut FAO produksi pisang dunia didominasi oleh lima
negara, yaitu India, Brazil, China, Filipina, dan Equador. India menduduki peringkat pertama
dengan rata-rata produksi sebesar 15,54 juta ton per tahun dan memberikan kontribusi sebesar
21,26% terhadap total produksi pisang dunia, sedangkan Indonesia menduduki peringkat keenam
dengan kontribusi sekitar 6,6% dan rata-rata produksi sekitar 4,85 juta ton/tahun (Supriati, 2011).
Pisang merupakan buah yang banyak dikenal oleh masyarakat dan memiliki nilai yang ekonomis,
buahnya mengandung nilai gizi yang lengkap, kandungan vitamin serta sumber kalori yang
sangat dibutuhkan oleh manusia. Pisang raja kinalun adalah salah satu jenis pisang unggul
dimana buah pisang seperti pisang perancis namun ukuran buah dan pohon lebih besar.

Pisang raja bulu merupakan jenis pisang raja dengan nama latin Musa paradisiaca L.
Kulit buah pisang ini tebal, kasar dan berwarna kuning saat matang. Daging buah berwarna
kuning kemerahan, rasa manis, dan aroma buahnya yang harum (Utami 2009). Oleh karena itu
banyak orang yang menyukai buah pisang raja bulu tersebut. Kendala yang dihadapi dalam
budidaya pisang secara konvensional yaitu sulit mendapatkan bibit yang berkualitas serta
membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan bibit pisang tersebut. Tanaman pisang
umumnya diperbanyak secara konvensional dengan menggunakan anakan yang tumbuh dari
bonggol pisang. Pertumbuhan anakan pisang membutuhkan waktu yang lama serta antara bibit
yang satu dengan yang lainnya tidak seragam (Eriansyah et al. 2014). Perbanyakan bibit pisang
secara konvensional tersebut belum mampu menyediakan bibit pisang untuk kebutuhan lahan
dengan skala besar. Untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan teknologi alternatif yaitu
perbanyakan tanaman pisang yang dilakukan dengan cara kultur jaringan. Cara perbanyakan
tersebut dapat menghasilkan bibit yang seragam dalam jumlah yang banyak dan membutuhkan
waktu yang singkat (Ardian dan Yuliandi 2009).
Produksi pisang nasional terus meningkat setiap tahun, misalnya dari 7.007.117 ton
(tahun 2016) menjadi 7.162.672 ton (tahun 2017) (Kementerian Pertanian, 2017). Daerah
penghasil pisang terbesar berada di Pulau Jawa. Jenis pisang umum dikenal di Indonesia antara
lain pisang ambon, pisang barangan, pisang tanduk, dan pisang raja bulu. Pisang raja bulu sering
dikonsumsi masyarakat Indonesia dalam berbagai bentuk seperti gorengan, hidangan pencuci
mulut, bahan pembuat roti, dan keripik pisang (Satuhu dan Supriyadi, 2008.).Pisang raja bulu
(Musa paradisiaca L. cv. Raja Bulu) merupakan salah satu buah tropikal yang banyak sekali
tumbuh di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Malaysia. Buah ini cukup populer
karena rasanya yang tergolong sangat manis bila dibandingkan dengan buah pisang lainnya.
Tidak hanya rasa manisnya saja yang membuat pisang raja digemari, kandungan vitamin C dan
vitamin A yang tinggi membuat buah ini menjadi primadona. Vitamin C dan vitamin A yang
terkandung dalam buah ini merupakan anti oksidan yang sangat baik untuk mengurangi dampak
radikal bebas dan mencegah berbagai penyakit.

Kurangnya bibit juga disebabkan oleh patogen penyebab penyakit layu pada pisang. Jenis
patogen penyakit layu pada pisang yang dapat disebabkan oleh Blood Disease Bacterium (BDB)
dan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC) (Priyono, Fitria Ardiyani, Sumaryono, 2013).

Peningkatan produksi pisang Indonesia memerlukan perluasan penanaman. Salah satu


cara adalah dengan perkebunan pisang. Perkebunan pisang membutuhkan bibit yang bermutu
dalam jumlah besar. Ada dua cara untuk menyediakan bibit, yaitu konvensional dan kultur
jaringan. Perbanyakan secara konvensional melalui anakan (sucker), bonggol dan belahan
bonggol membutuhkan waktu yang lama, bibit yang dihasilkan sedikit, tidak seragam dan
kesehatannya tidak terjamin. Sedangkan teknik kultur jaringan (in vitro) dapat menghasilkan
bibit pisang yang sehat dan seragam dalam jumlah besar dalam kurun waktu yang relatif singkat
dan tidak tergantung iklim, sehingga ketersediaan bibit terjamin (Maslukhah, 2008).

Pisang raja bulu memiliki indeks glikemik 54% dibandingkan dengan gula standar
sehingga dapat dikonsumsi diabetes. Pisang juga berguna bagi mereka yang mengalami stres dan
kelelahan karena mengandung serotonin. Menurut riset PKHT IPB (2014), kadar serotonin pada
pisang raja bulu ini cukup tinggi, yaitu sekitar 31,4 ng/g. Pembentukan serotonin ini dirangsang
oleh triptofan yang ada pada pisang. Serotonin merupakan senyawa yang membuat perasaan
rileks, dan tenang. Kandungan vitamin dan mineral pisang raja bulu cukup unggul dibandingkan
buah dan sayuran lain, terutama untuk vitamin B6 (piridoksin), kalium, serat, dan mangan. Jika
dibandingkan dengan apel, pisang mengandung 4 kali lebih banyak protein, dua kali lebih
banyak karbohidrat, tiga kali lebih banyak fosfor, lima kali lebih banyak vitamin A dan zat besi,
serta dua kali lebih banyak vitamin dan mineral lainnya.

Kultur jaringan merupakan suatu metode mengisolasi bagian dari tanaman, seperti
protoplasma sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkannya dalam media yang
sesuai dan kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan
bergenerasi menjadi tanaman lengkap (Suliansyah, 2010). Teknologi yang diterapkan dalam
kultur jaringan pisang adalah induksi tunas mikro, multiplikasi tunas mikro, perakaran tunas
mikro dan aklimatisasi plantlet. Pada umumnya seluruh proses tersebut menggunakan eksplan
anakan muda/bonggol dan subkultur pada media padat (Rainiyati, Dede Martino, Gusniwati dan
Jasminarni, 2007).

Kultur jaringan merupakan salah satu teknik perbanyakan tanaman yang menggunakan
sel, organ atau jaringan tanaman. Sel, organ dan jaringan tanaman tersebut dikulturkan pada
media buatan tertentu dalam kondisi aseptik. Potongan jaringan atau organ yang dikulturkan ini
dinamakan “eksplan”. Oleh karena kecilnya potongan ini maka teknik perbanyakan tanaman cara
ini dinamakan “mikropropagasi”. Keberhasilan teknik kultur jaringan sangat tergantung pada
ketersediaan medium dasar sebagai sumber nutrisi dan juga faktor ketersediaan eksplan. Dalam
teknik kultur jaringan, medium dasar yang biasa digunakan adalah medium Murashige-Skoog
(MS) yang terdiri atas garam-garam anorganik dan senyawa organik, serta dilengkapi dengan
beberapa tambahan gula, hormon dan vitamin (Nasir, 1999). Untuk penyediaan garam-garam
murni (pure analys) membutuhkan biaya yang cukup besar. Selain itu juga disediakan dalam
jumlah yang banyak karena harus selalu dilakukan sub kultur (pindah tanam ke medium baru).
Banyak dilakukan upaya pergantian beberapa komponen medium MS dengan komponen yang
lebih murah dan lebih mudah ditemukan di pasar. Pupuk daun komersial merupakan salah satu
alternatif sumber garam-garam anorganik bagi pertumbuhan bibit dalam kultur jaringan
(Yusnitawati dan Triwahyuningsih, 2002).

Tingkat keberhasilan kultur jaringan tanaman pisang ini sangat beragam.Salah satu
kendala yang dihadapi dalam kultur jaringan pisang ini adalahpengaruh senyawa fenol yang
terbentuk karena terlukanya jaringan eksplan pada tahap inisiasi awal sehingga eksplan
menghasilkan eksudat berwarna cokelat yang dapat menghambat serapan hara dalam media.
Mengatasi masalah fenol pada kultur jaringan dapat menggunakan arang aktif, asam askorbit,
PVP (Polyvinylpyrrolidone) atau bisa juga menstransfer eksplan tersebut ke media yang baru.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ko et al., (2008) penggunaan asam askorbit dalam
mengatasi permasalahan browning pada kultur Pisang Cavendish menunjukkan hasil yang paling
tinggi dalam menghasilkan planlet yang sehat jika dibandingkan dengan penggunaan PVP dan
arang aktif. Selain masalah browning, penggunaan zat pengatur tumbuh juga sangat
mempengaruhi keberhasilan dalam kultur jaringan. Pada kultur jaringan Pisang Raja Bulu
eksplan yang ditanam pada media multiplikasi sulit untuk memperbanyak tunas. Kondisi tersebut
perlu penggunaan sitokinin yang tinggi untuk merangsang terbentuknya tunas (Kasutjianingati et
al., 2010)

2.2 Tujuan Makalah

Adapun tujuan dari makalah ini adalah

1. Mengetahui Botani Tanaman Pisang Raja

2. Mengetahui Teknik Kultur Jaringan

3. Tahapan Kultur Jaringan

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Jaringan


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Botani Tanaman Pisang Raja Bulu

Tanaman pisang yang ada saat ini merupakan hasil hibridisasi pisang liar yang terjadi secara
alami hingga kemudian mengalami domestikasi. Pusat keragaman pisang diduga terdapat di Asia
Tenggara. Berikut ini merupakan klasifikasi tanaman pisang dalam Wahyuningtyas (2011).
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Musaceae
Genus : Musa
Spesies : Musa balbisiana

Menurut Cahyono (2003), akar tanaman pisang berupa akar serabut. Akar tersebut
tumbuh pada umbi batang. Akar yang tumbuh di bagian bawah mampu memanjang hingga
kedalaman 75-150 cm. Sedangkan akar yang tumbuh di bagian atas, tumbuh menyebar ke arah
samping hingga 4 m atau lebih. Tanaman pisang memiliki batang sejati berupa umbi batang
(bonggol) yang berada di dalam tanah. Batang sejati ini bersifat keras dan memiliki mata tunas.
Bagian tanaman pisang yang berdiri tegak menyerupai batang adalah batang semu yang terdiri
atas pelepah-pelepah daun panjang (kelopak daun) yang saling membungkus dan menutupi
dengan kelopak daun yang lebih muda berada di bagian paling dalam.

Batang semu ini bersifat lunak, banyak mengandung air, dan dapat tumbuh dengan tinggi
3-8 m. Daun tanaman pisang berbentuk lanset memanjang. Tangkai daunnya bersifat agak keras,
kuat, mengandung banyak air, dan memiliki panjang 30-40 cm. Terdapat lapisan lilin pada
permukaan bawah daun. Daun pisang tidak memiliki tulang daun pada bagian pinggirnya
sehingga daun mudah robek.
Bunga tanaman pisang berbentuk bulat lonjong dengan ujung runcing. Tangkai bunga
pisang bersifat keras dan berukuran besar dengan diameter sekitar 8 cm. Seludang bunga
berwarna merah tua, tersusun secara spiral, berlapis lilin, dengan panjang 10-25 cm. Mahkota
bunga berwarna putih dan tersusun melintang masing-masing sebanyak dua baris. Bunga
tanaman pisang berkelamin satu dengan benang sari berjumlah lima buah. Buah pisang memiliki
bentuk ukuran, warna kulit, warna daging buah, rasa, dan aroma yang beragam (Cahyono, 2013).

Menurut Prihatman (2000), tanaman pisang tumbuh baik pada iklim tropis basah dengan
curah hujan 1.520-3.800 mm/tahun dengan 2 bulan kering. Air harus selalu tersedia tetapi tidak
tergenang. Tanaman ini dapat tumbuh baik di tanah kaya humus, berkapur, maupun di tanah
berat. Tanaman pisang termasuk tanaman yang toleran akan ketinggian dan kekeringan.
Tanaman ini dapat ditemukan pada ketinggian hingga 2.000 mdpl. Suhu yang optimum untuk
pertumbuhannya adalah 27oC dan suhu maksimum adalah 38oC.

Pisang „Raja Bulu‟ merupakan jenis pisang yang dapat dikonsumsi segar atau sebagai
bahan olahan. Daging buah pisang „Raja Bulu‟ berwarna kuning hingga orange dan bertekstur
liat. Pisang „Raja Bulu‟ memiliki rasa buah yang manis legit. Kulit buah tebal dengan
penampang buah bulat bersudut segi empat tumpul. Pisang ini memiliki umur panen 12-15 bulan
setelah tanam dan mampu menghasilkan rata-rata 90 buah per pohon. Berat per buah 110-120 g,
berat buah per tandan 12-15 kg, jumlah sisir per tandan 5-7 sisir, panjang buah 15-18 cm, dan
tingkat kemanisan 28-31,4oBrix (Siregar dkk., 2013).

2.2 Teknik Kultur Jaringan

Teknik kultur jaringan jika dilihat dari bahan eksplan yang digunakan terbagi menjadi tujuh tipe :

1. Kultur Meristem

Meristem merupakan bagian tanaman yang selnya bersifat meristematik dan aktif
membelah. Dalam teknik kultur jaringan, meristem ujung tunas biasanya digunakan sebagai
bahan eksplan. Kultur meristem ini umumnya menggnakan bahan eksplan sangat kecil.

Dengan menggunakan kultur meristem ini maka memungkinkan anakan yang diperoleh
lebih stabil dibandingkan melalaui fase kalus. Produksi tanaman tersebut juga bebas fitur.
Contoh kultur jaringan ini biasanya diterapkan pada tanaman kentang, tebu, pisang, dan apel.
2. Kultur Ujung Tunas

Teknik perbanyakan mikro ini biasanya menggunakan eksplan bahal tunas apikal yang
ukurannya sekitar 3-20 mm. Bahan yang digunakan biasanya disertai dengan primordia daun dan
jaringan pembuluh.

3. Kultur Embrio

Kultur embrio adalah mengkultur embrio zigotik secara in vitro. Embrio zigotik ini
diperoleh dari hasil fertilasi antara sel telur dengan inti sel sperma yang terjadi saat fertilisasi
gandi tanaman angiospermae.

4. Kultur dan Fusi Protoplasma

Protoplasma merupakan sel yang bisa dipisahkan dari dinding selnya secara enzimatik
maupaun mekanik. Isolasi protoplasma dan kultur protoplasme ini menjadi dasar dari fusi
protoplasma atau hibridisasi in vitro dari dua tanaman induk yang memiliki sifat unggul.

Fusi protoplasma terjadi akibat adanya ketidakcocokan pada persilangan buatan


konvensional di lapangan sehingga gagal membentuk embrio baru. Hasil dari fusi protoplasma
ini akan ditumbuhkan menjadi tanaman utuh yang memiliki sifat dari induk protoplasme tersebut.

Teknik ini memungkin terjadinya persilangan antara dua tanaman yang memiliki
kekerabatan jauh. Dimana kondisi tersebut sulit dilakukan persilangan secara konvensional.

5. Kultur Mikrospora

Mikrospora adalah sel kelamin jantang pada tanaman angiospermae dan bisa didapatkan
di bunga tanaman yang masih kuncup. Secara alami, mikrospora akan berkembang menjadi
serbuk sari yang berperan dalam perkembangbiakan generatif.

Serbuk sari ini nantinya akan menjadi inti sperma 1 dan 2 pada penyerbukan ganda
tanaman angiospermae. Namun pada kultur mikrospora, bagian ini dibelokkan arah
perkembangannya menjadi embrio bukan serbuk sari.
6. Kultur Kalus dan Kultus Suspensi

Kalus adalah kumpulan sel yang berlum terdiferensiasi. Kalus terbentuk pada bekas luka
organ tanaman. Secara in vitro kalus akan terentuk pada irisan atau luka dari organ yang
dikulturkan. Namun untuk beberapa tanaman, kalus terbentuk pada bagian interior.Pembentukan
kalus akan terjadi apabila eksplan ditanam pada media yang mengandung 2,4 D. kalus juga
merupakan bahan stok untuk teknik kultur suspensi.

Pada kultur suspensi, kalus yang terbentuk akan diambil dan dikulturkan di media cair.
Sehingga nantinya akan terbentuk kultur cari. Kalus yang remah akan mudah dilebas dan
membentuk kultur sel.

Pada perbanyakan melalui kultur in vitro, kultur sel digunakan dalam embriogenesis
secara tidak langsung. Namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa anakan hasil kultur sel
secara geneik memiliki sifat yang kurang stabil. Maka dari itu, teknik kultur jaringan ini jarang
digunakan.

7. Kultur Biji

Teknik kultur biji dilakukan untuk tanaman yang bijinya tidak bisa dikecambahkan
secara eks vitro. Metode ini juga bisa dilakukan untuk tanaman yang persentasi
perkecambahannya sangat rendah. biasanya dilakuakn pada tanaman yang bijinya berukuran
kecil dan jumlahnya sedikit atau biji tanpa endosperm.

2.3 Tahapan Kultur Jaringan

Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan
adalah : Pembuatan media, Inisiasi, Sterilisasi, Multipikasi, Pengakaran, dan Aklimatisasi.

1. Pembuatan Media

Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Media yang
di gunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu di perlukan juga
bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang
ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari
kultur jaringan yang dilakukan. Media tumbuh dapat dibedakan menjadi media padat dan media
cair. Media padat umumnya berupa padatan gel, seperti agar, dimana nutrisi dicampurkan pada
agar. Media cair adalah nutrisi yang dilarutkan di air. Media cair dapat bersifat tenang atau
dalam kondisi selalu bergerak, tergantung kebutuhan.

2. Inisiasi

Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian
tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas. Eksplan dapat
berasal dari : daun, tunas, cabang, batang, akar, embrio, kotiledon, hipokotil, epikotil

3.Sterilisasi

Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat
yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga
dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada
peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril.

4. Multiplikasi

Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan


pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang
menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami eksplan
diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.

5. Pengakaran

Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukan adanya pertumbuhan akar yang
menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan
dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat
adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukan
gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan oleh jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).

6. Aklimatisasi

Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptik ke


bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup.
Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena
bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah
bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan
dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Jaringan


2.4.1 Eksplan

Eksplan merupakan sebutan bagi tanaman yang dikulturkan. Menurut Harjadi (1989)
bagian tanaman yang dijadikan sebagai eksplan mencakup ujung pucuk, irisan-irisan batang,
daun, daun bunga, daun keping biji, akar, buah, embrio, meristem pucuk apikal dan jaringan
nuselar. Menurut gunawan (1987) ukuran eksplan yang dikulturkan turut menetukan
keberhasilan dari suatu teknik kultur jaringan. Ukuran eksplan yang terlalu kecil akan kurang
daya tahannya bila dikulturkan, sedangkan bila ukurannya terlalu besar akan sulit didapatkan
eksplan yang steril. Mariska dan Sukmadjaja (2003) juga menambahkan ukuran eksplan yang
dapat digunakan dalamteknik kultur jaringan bervariasi dari ukuran mikroskopik 0,1-5 cm

2.4.2 Media Kultur Jaringan

Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media
yang digunakan. Media ini tidak hanya menyediakan unsur hara (makro dan mikro) tetapi juga
karbohidrat (gula) untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosfer melalui
fotosintesis. Hasil yang lebih baik akan kita peroleh, bila kedalam media tersebut ditambahkan
vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh (Gunawan, 1988). Media merupakan faktor utama
dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Keberhasilan perbanyakan dan perkembangbiakan
tanaman dengan metode kultur jaringan secara umum sangat tergantung padajenis media. Media
tumbuh pada kultur jaringan sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan
eksplan serta bibit yang dihasilkannya (Tuhuteru dkk.,2012).

2.4.3 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik yang bukan hara, yang dalam jumlah
sedikit dapat mendukung, menghambatdan dapat merubah proses fisiologis tumbuhan. Untuk
mendapatkan hasil perbanyakan bibit yang baik selain perlu memperhatikan media tumbuh,
diperlukan ZPT untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Penggunaan zat pengatur
tumbuh didalam teknik kultur jaringan ini disesuaikan dengan arah pertumbuhan tanaman yang
diinginkan, karena perbedaan konsentrasi pemberian zat pengatur tumbuh menyebabkan
pertumbuhan yang berbeda pada tanaman (Zulkarnain, 2009).Salah satu kelompok zat pengatur
tumbuh yang banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah golongan auksin dan sitokinin
(Zulkarnain, 2009).

2.4.4 Faktor Lingkungan Tumbuh Kultur

Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan kultur jaringan


antara lain pH, kelembaban, cahaya dan temperatur. Faktor suhu berpengaruh secara langsung
terhadap perkembangan sel dan jaringan, pembentukan organ tanaman dan berkaitan erat dengan
siklus perkembangan tanaman yang berada dibawah pengaruh enzim. Walaupun tidak terdapat
kisaran suhu optimum yang berlaku secara universal untuk pertumbuhan in vitro sebagian besar
tanaman, namun Read (1990) mengemukakan bahwa kisaran suhu 20-270C paling sering
digunakan. Menurut Gunawan(1988) banyak laporan menyatakan bahwa temperatur yang baik
untuk pertumbuhan tanaman dalam invitro antara 25-280C yang merupakan suhu ruangan
normal. Temperatur ruangkultur jugamenentukan respon fisiologi kultur dan kecepatan
pertumbuhannya.

Tingkat kemasaman (pH) media harus diatur supaya tidak mengganggu fungsi membran
sel dan pH sitoplasma (Gunawan, 1987). Pengaturan pH media selain memperhatikan
kepentingan fisiologi sel, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor: 1) Kelarutan dari garam-
garam penyusun media, 2) Pengambilan dari zat pengatur tumbuh dan garam-garam laindan 3)
Efisiensi pembekuan agar (Gunawan, 1987). Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai pH
optimum spesifik setiap tanaman.Namun secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan
bagian tanaman, tumbuh dengan baik pada media yang mengandung buffer lemah pada pH
antara 5-6 (Wetherell, 1982).

Cahaya dalam kultur jaringan berguna untuk mengatur proses-proses morfogenik tertentu
seperti pembentukan pucuk dan akardan tidak untuk fotosintesis karena sumber energi bagi
eksplan telah disediakan oleh sukrosa (George dan Sherrington, 1984). Cahaya dibutuhkan untuk
pertumbuhan tanaman, cahaya yang baik untuk pertumbuhan kultur ialah cahaya yang berwarna
putih. Pertumbuhan organ tanaman secara in vitro yang optimal seringkali memerlukan adanya
cahaya.

Kelembaban udara penting untuk mencegah kultur mengalami kekeringan. Jika


kelembaban ruangan rendah maka penguapan air dari media kultur akan terlalu besardan
sebaliknya, jika kelembaban ruangan tinggi akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan mikroba
di luar wadah kultur atau alat-alat sehingga akan menaikkan derajat kontaminasi. Kelembaban
relatif ruang tumbuh kultur jaringan kurang lebih 70%, didalam botol menghendaki kelembaban
yang lebih tinggi (Wetherell, 1982).
BAB III
3.1 Kesimpulan
Pisang raja bulu merupakan jenis pisang raja dengan nama latin Musa paradisiaca L.
Kulit buah pisang ini tebal, kasar dan berwarna kuning saat matang. Daging buah berwarna
kuning kemerahan, rasa manis, dan aroma buahnya yang harum (Utami 2009). Pertumbuhan
anakan pisang membutuhkan waktu yang lama serta antara bibit yang satu dengan yang lainnya
tidak seragam (Eriansyah et al. 2014).
Kultur jaringan merupakan suatu metode mengisolasi bagian dari tanaman, seperti
protoplasma sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkannya dalam media yang
sesuai dan kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan
bergenerasi menjadi tanaman lengkap (Suliansyah, 2010). Teknologi yang diterapkan dalam
kultur jaringan pisang adalah induksi tunas mikro, multiplikasi tunas mikro, perakaran tunas
mikro dan aklimatisasi plantlet.
DAFTAR PUSTAKA
Suliansyah, I. 2013. Kultur Jaringan Tanaman. Yogyakarta : Leutika Prio. 211hal.
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Jakarta :
Agromedia Pustaka. 236 hal.
Triyani S., Yusnita, dan Rugayah. 2014. Pengaruh Benziladenin dan Thidiazuron Terhadap
Multiplikasi Tunas Pisang Raja Bulu (Genom AAB) In Vitro. Jurnal Fakultas Pertanian.
Universitas Lampung : 1-15.
Ko W.H., C. C. Su, C. L. Chen dan C. P. Chao. 2008. Control of Lethal Browning of Tissue
Culture Planlets of Cavendish Banana cv. Formosana With Ascorbic Acid. Plant Cell Tissue
Organ Culture 96 : 137-141.
Kasutjianingati, R. Poerwanto, N. Khumaida dan D. Efendi. 2010. Kemampuan Pecah Tunas dan
Berbiak Mother Plant Pisang Raja Bulu (AAB) dan Pisang Tanduk (AAB) Dalam Medium
Inisiasi In Vitro. Jurnal Agriplus 20 : 09-16.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta : Bumi Aksara. 249 hal.
Yusnita. 2015. Kultur Jaringan Tanaman Pisang. Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja.
104 hal.
Cahyono. 2002. Pisang Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Kanisius. Yogyakarta. 1 : 78.
Prihatman, Kemal. 2000. Tentang Budidaya Pertanian Pisang. Penebar Swadaya. Jakarta.
Gunawan, L. W. 1988. Tehnik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan. Pusat Antar
Universitas IPB. Bogor.293 hal.

Anda mungkin juga menyukai