II.3 Modul Utama Rinologi II-3 - Rinosinusitis-1
II.3 Modul Utama Rinologi II-3 - Rinosinusitis-1
RINOLOGI
MODUL II.3
RINOSINUSITIS
EDISI II
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015
II.3-Rinosinusitis
DAFTAR ISI
A. WAKTU ...................................................................................... 2
B. PERSIAPAN SESI ...................................................................... 2
C. REFERENSI ......................................................................................... 3
D. KOMPETENSI ..................................................................................... 4
E. GAMBARAN UMUM ......................................................................... 5
F. CONTOH KASUS DAN DISKUSI ..................................................... 5
G. TUJUAN PEMBELAJARAN ............................................................... 6
H. METODE PEMBELAJARAN ............................................................. 6
I. EVALUASI .......................................................................................... 9
J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF .................. 10
K. INSTRUMEN PENILAIAN PSIKOMOTOR ...................................... 13
L. DAFTAR TILIK .................................................................................... 37
M. MATERI PRESENTASI (Terlampir)..................................................... 48
N. MATERI BAKU .................................................................................... 48
O. ALGORITMA DAN PROSEDUR ........................................................ 60
1
II.3-Rinosinusitis
A. WAKTU
B. PERSIAPAN SESI
Kasus :
Seorang wanita, 25 tahun datang dengan keluhan hidung sering beringus
sejak 4 bulan yang lalu. Keluhan kadang-kadang disertai hidung tersumbat
dan badan panas dingin. Keluhan tidak disertai : bersin, gatal hidung, sakit
kepala, riwayat trauma atauapun sakit gigi. Riwayat atopi tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Kavum nasi bilateral: mukosa tenang dengan tampak sekret mukoid dari
arah osteum sinus maksilaris, polip tidak ada, konkha inferior dan media
hipertrofi
2
II.3-Rinosinusitis
C. REFERENSI
1. Fokkens W, J.,Lund V.J., Mullol J., Bachert C.,et al. European Position
Paper on Rhinosinusitis and Nasal polyps;.Suppl Rhinology 2012;50(23).
2. Hoddeson EK, Wise SK. Acute rhinosinusitis. In Bailey’s Head & Neck
Surgery-Otolaryngology. 5th ed. Wolter Kluwer Lippincott Williams &
Wilkins; 2014. p 515-516.
3. Patel ZM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: pathogenesis,
diagnosis, staging and treatment. In Bailey’s Head & Neck Surgery-
Otolaryngology. 5th ed. Wolter Kluwer Lippincott Williams & Wilkins;
2014.p535-549.
4. Giannoni CM. Complication of rhinosinusitis. In Bailey’s Head & Neck
Surgery-Otolaryngology. 5th ed. Wolter Kluwer Lippincott Williams &
Wilkins; 2014. p 573-585.
5. Pinheiro-Neto CD, Snyderman CH. External approaches in sinus surgery.
In Bailey’s Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 5th ed. Wolter Kluwer
Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p 604-611.
6. Leung RM, Walsh WE, Kern RC. Sinonasal anatomy and physiology. In
Bailey’s Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 5th ed. Wolter Kluwer
Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p 359-370.
7. Panduan Diseksi Kadaver Bedah Sinus Endoskopik Fungsional, Sub
Departemen Rinologi-Departemen THT Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, 2009.
8. Simmen, D. (Daniel), Manual of endoscopic sinus surgery and its
extended applications, Georg Thieme Verlag, 2005
9. Levine, HL. Sinus Surgery: Endoscopic and Microscopic Approaches.
Thieme Medical Publisher. New York. 2006
10. Soetjipto D., Wardhani RS. Guideline Penyakit THT di Indonesia, PP.
PERHATI-KL, 2007.
11. Ryan WM, Marple FB. Fungal Rhinosinusitis. In: Kennedy WD Editor.
Rhinology Diseases Of The Nose, Sinuses, And Skull Base.1st ed. Thieme.
New York. (16): 206-218.
12. Adelson TR, Marple FB, Ryan WM. Fungal Rhinosinusitis. In: Byron J
Bailey Editor. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia, USA. 2014. Vol 1 (37): 557-572.
13. Lee Seok et al. Change of prevalence and clinical aspects of fungal ball
accorfing to temporal difference. Eur Arch otorhinolarngology journal.
Berlin. 2013. (270): 1673-1677.
14. Sacks Lee et al. Antifungal Therapy In The Treatment Of Chronic
Rhinosinusitis: A Meta Analysis. Rhinology Allergy Journal. USA. 2012.
(26): 141-147.
15. Jain Ruby et al. Mycological Profile And Antifungal Susceptibility of
Fungal Isolates From Clinically Suspected Cases of Fungal Rhinosinusitis
In A Tertiary Care Hospital In North India. Mycopathologia Journal.
India. 2014. (180): 51-59.
3
II.3-Rinosinusitis
D. KOMPETENSI
Lulusan Dokter Spesialis THT-KL akan bekerja ditingkat pelayanan sekunder dan
tertier, sehingga harus memiliki tingkat kemampuan klinis yang memadai untuk
menjalankan tugasnya. Oleh karena itu ditetapkan tingkat kemampuan yang
diharapkan yang akan dicapai pada akhir pendidikan dokter spesialis THT-KL
berdasarkan kewenangan yang akan diberikan ketika bekerja di tingkat pelayanan
sekunder.
Kemampuan Klinis
Kompetensi kemampuan klinis Rinosinusitis : Tingkat Kemampuan 4 yaitu :
Mampu membuat diagnosis klinik Rinosinusitis berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diminta oleh dokter, serta
dapat memutuskan dan mampu menangani problem itu secara mandiri hingga
tuntas.
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan mempunyai ketrampilan klinis
Rinosinusitis berupa :
1. Nasoendoskopi
2. Antrostomi dan irigasi sinus maksilaris (disertai sinuskopi)
3. Prosedur Caldwell Luc
4. Bedah Sinus Endoskopi : Unsinektomi dan antrostomi meatus medius
4
II.3-Rinosinusitis
E. GAMBARAN UMUM
F. CONTOH KASUS
Seorang wanita, 35 tahun datang dengan keluhan kedua hidung sering tersumbat
sejak 5 bulan yang lalu. Keluhan kadang-kadang disertai hidung beringus dan
penciuman yang berkurang. Keluhan tidak disertai : bersin, gatal hidung, sakit
kepala, riwayat trauma atauapun sakit gigi. Riwayat atopi tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Cavum nasi bilateral: mukosa tenang dengan tampak sekret seropurulen dari
osteum sinus maksilaris, polip tidak ada, konkha inferior dan media hipertrofi
Pemeriksaan nasal endoskopi memperlihatkan selain hal di atas juga: penebalan
prosesus uncinatus
Bahan Diskusi :
5
II.3-Rinosinusitis
G. TUJUAN PEMBELAJARAN
Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan untuk alih
pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang terkait dengan pencapaian
kompetensi dan keterampilan yang diperlukan dalam mengenali dan
menatalaksana sinus paranasal seperti yang telah disebutkan diatas, yaitu :
1. menguasai anatomi, histologi, fisiologi hidung dan sinus paranasal
2. mampu menjelaskan etiologi, predisposisi, patofisiologi dan gambaran klinis
rinosinusitis paranasal
3. menentukan dan melakukan pemeriksaan penunjang : nasoendoskopi dan
imaging (foto rontgen, CT scan, MRI)
4. membuat diagnosis rinosinusitis
5. melaksanakan penatalaksanaan rinosinusitis : pemberian medikamentosa yang
tepat, keputusan penanganan tindakan atau operatif.
6. Mengenali komplikasi rinosinusitis, menentukan terapi awal dan memutuskan
untuk melakukan rujukan ke spesialis/tingkat pelayanan yang lebih tinggi dan
relevan.
H. METODE PEMBELAJARAN
Harus diketahui :
Anatomi hidung dan sinus paranasal
Gambaran dan karakteristik histologis mukosa hidung dan sinus
paranasal
Fisiologi hidung dan sinus paranasal
6
II.3-Rinosinusitis
Interactive lecture
Journal reading and review
Peer assisted learning (PAL)
Bedside teaching
Task based medical education
Harus diketahui :
Etiologi dan faktor predisposisi
Patofisiologi klinik
Gejala (keluhan pasien)
Tanda (temuan hasil pemeriksaan)
Gambaran klinik
Harus diketahui :
Indikasi pemilihan pemeriksaan penunjang
Waktu terbaik dilakukan pemeriksaan penunjang
Keuntungan dan kerugian masing-masing pemeriksaan penunjang
7
II.3-Rinosinusitis
Harus diketahui :
Tatalaksana dan tujuan terapi rinosinusitis
Tatalaksana medikamentosa maksimal
Tatalaksana tindakan dan operasi
Harus diketahui :
Jenis komplikasi rinosinusitis
Tanda dan gejala komplikasi rinosinusitis
Tatalaksana awal penangan komplikasi rinosinusitis
Mengetahui kondisi atau situasi pentng untuk membuat keputusan
untuk merujuk
8
II.3-Rinosinusitis
I. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-test dalam bentuk essay dan oral sesuai
dengan tingkat masa pendidikan, yang bertujuan untuk menilai kinerja awal
yang dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Materi pre-test terdiri atas :
Anatomi, fisiologi dan histologi hidung dan sinus paranasal
Etiologi, faktor predisposisi dan patofisiologi rinosinusitis
Diagnosis rinosinusitis
Penatalaksanaan rinosinusitis
Komplikasi rinosinusitis
2. Selanjutnya dilakukan “small group discussion” bersama dengan fasilitator
untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal
yang berkenaan dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh
pada saat bedside teaching dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam
bentuk role-play dengan teman-temannya (Peer Assisted Learning) atau SP
(Standardized Patient). Pada saat tersebut, yang bersangkutan tidak
diperkenankan membawa penuntun belajar, penuntun belajar yang dipegang
oleh teman-temannya untuk melakukan evaluasi (Peer Assisted Evaluation).
Setelah dianggap memadai, melalui metoda bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator, peserta didik mengaplikasikan penuntun belajar
kepada model anatomik dan setelah kompetensi tercapai peserta didik akan
diberikan kesempatan untuk melakukannya pada pasien sesungguhnya. Pada
saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct
observation), dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut:
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
- Cukup : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan
terlalu lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien.
- Baik : pelaksanaan benar dan baik (efisien)
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk
mendapatkan penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan
dibicarakan di depan pasien, dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
5. Self assessment dan Peer Assisted Evaluation dengan mempergunakan
penuntun belajar.
6. Pendidik / fasilitator :
- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist form
(terlampir).
- Penjelasan lisan dari peserta didik / diskusi.
- Kriteria penilaian keseluruhan : cakap / tidak cakap / lalai.
7. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi
tugas yang dapat memperbaiki kinerja (task-based medical education)
8. Pencapaian pembelajaran :
9
II.3-Rinosinusitis
- Ujian akhir OSCA (K, P, A), dilakukan pada tahapan THT dasar oleh
Kolegium Ilmu THT.
- Ujian akhir stase, setiap divisi/unit kerja oleh masing-masing sentra
pendidikan.
THT lanjut oleh Kolegium Ilmu THT
- Ujian akhir kognitif, dilakukan pada akhir tahapan THT lanjut oleh
Kolegium Ilmu THT.
Jawaban : e
Jawaban : b
Jawaban : e
10
II.3-Rinosinusitis
Jawaban : a
Jawaban : b
6. Perjalanan rinosinusitis :
a. Rinosinusitis diawali oleh inflamasi virus yang pasti berkembang menjadi
infeksi bakterial.
b. Rinosinusitis post viral terjadi apabila gejala-gejala rinosinusitis viral akut
terus persisten setelah 10 hari
c. Rinosinusitis akut bakterialis terjadi karena infeksi bakteri langsung di
awal rinosinusitis dan gejalanya memberat.
d. common cold terjadi karena infeksi bakteri golongan Stafilokokus,
Streptokokus dan Hemofilus influenza.
e. Inflamasi post viral rinosinusitis terjadi karena adanya superinfeksi dengan
bakteri.
Jawaban : b
11
II.3-Rinosinusitis
Jawaban : b
2. Seorang laki-laki usia 30 tahun datang dengan keluhan hidung kanan tersumbat
sejak 2 tahun yang lalu. Setelah menjalanai pemeriksaan yang seksama, pasien
didiagnosis dengan polip antrokoanal kanan, yang mengisi penuh antrum maksila
kanan. Pasien direncanakan ekstirpasi polip antrokoanal dengan panduan
endoskopi dan Caldwell Luc. Apa saja indikasi lain yang memerlukan prosedur
Caldwell Luc, selain indikasi seperti pasien di atas?
Pertanyaan:
a. Apa kemungkinan diagnosis pada pasien ini ?
b. Bagaimana tatalaksana pada pasien ini?
c. Kapan dan bagaimana permintaan CT Scan pada pasien ini dilakukan?
12
II.3-Rinosinusitis
Jawaban: b
Jawaban : a
KETRAMPILAN KLINIS
Ketrampilan Klinis Kompetensi Tingkat 4 :
1. Nasoendoskopi
2. Prosedur Pungsi dan Irigasi Sinus Maksila (Anthrostomy washed out)
3. Prosedur Caldwell-Luc (untuk mencapai anthrum maksilaris)
5. Bedah Sinus Endoskopi (terbatas) : Unsinektomi dan antrostomi meatus medius
1. NASOENDOSKOPI
Definisi :
Nasoendoskopi adalah pemeriksaan secara visual dan langsung pada rongga
hidung, sinus paranasal sampai nasofaring mempergunakan alat endoskopi.
Indikasi Nasoendoskopi :
a. Identifikasi awal penyakit pada pasien yang memiliki keluhan di sinonasal
(contoh sekret mukopurulen, nyeri pada wajah, hidung tersumbat,
penurunan fungsi penghidu);
b. Evalusi respon pasien selesai pengobatan (evaluasi polip, sekret purulen,
edema mukosa selesai pemberian steroid nasal topikal, antibiotik, streroid
oral, dan antihistamin);
c. Evaluasi kelainan unilateral;
d. Evaluasi pasien dengan komplikasi sinusitis;
e. mengambil sampel sekret untuk dikultur;
f. Debridemen dan pembersihan krusta, mukus, dan fibrin dari sumbatan
nasal dan sinus setelah functional endoscopic sinus surgery;
g. Evaluasi kelainan rekuren setelah operasi bedah sinus endoskopi (
terutama dalam monitor rekurensi tumor intranasal);
13
II.3-Rinosinusitis
Kontraindikasi Nasoendoskopi
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk nasoendoskopi, namun beberapa pasien
dapat mengalami peningkatan risiko komplikasi. Pasien yang memiliki riwayat
gangguan pembekuan darah atau sedang dalam penggunaan obat antikoagulasi,
endoskopi nasal harus dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak menimbulkan
perdarahan. Selain itu, pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, terdapat
risiko refluks vasovagal.
PANDUAN BELAJAR
NASOENDOSKOPI DIAGNOSTIK
14
II.3-Rinosinusitis
6. TAHAP PERTAMA
Evaluasi kavum nasi dari anterior :
- Perhatikan bentuk konka inferior (apakah atrofi,
eutrofi, hipertrofi dsb ?)
- Perhatikan keadaan septum nasi (apakah lurus,
apakah deviasi, adakah spina atau krista?, ke arah
mana?)
7. Masukkan teleskop menyusuri dasar hidung sampai ke
nasofaring :
- Perhatikan adakah sekret di dasar hidung, apakah
sekret serosa, mukoid atau mukopurulen?
- Perhatikan dari bawah : bentuk konka inferior,
bentuk konka inferior bagian posterior dan
perlekatannya dengan dinding lateral.
- Perhatikan bentuk septum dari atas sampai dasar,
adakah kelainan dibagian tengah dan belakang
septum.
- Lihat : muara tuba eustachius, mukosa nasofaring,
fossa rosenmuller, sisa adenoid, adakah massa?
- Apakah ada post nasal drip (PND)? (pada sinusitis
grup anterior, PND terdapat di anterior muara tuba,
pada grup posterior PND ada di belakang muara
tuba)
8. Selanjutnya tarik endoskop pelan-pelan ke arah meatus
inferior:
15
II.3-Rinosinusitis
16
II.3-Rinosinusitis
Catatan :
Untuk nomor 1-5
0 = Apabila peserta tidak melakukan tugasnya
1 = Apabila peserta melakukan tugasnya dengan tepat/komplit
Untuk nomor 6 – 11
0 = apabila peserta melakukan tugasnya
1 = apabila peserta melakukan tugasnya tetapi kurang komplit/kurang tepat
2 = apabila peserta melakukan tugasnya dengan tepat/komplit
Definisi
Pungsi dan irigasi hidung adalah tindakan pembedahan membuat lubang ke sinus
maksilaris dengan menembus dinding medialnya pada meatus inferior untuk
mengeluarkan pus dan memperbaiki drainase.
Indikasi operasi
Sinusitis maksilaris sebagai upaya memfasilitasi pengeluaran pus dan atau
memperbaiki drainase, terutama pada sinusitis dentogen.
Pemeriksaan penunjang
Nasoendoskopi, foto polos sinus paranasal minimal posisi Waters, bila perlu CT
Scan.
17
II.3-Rinosinusitis
PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR TINDAKAN ANTROSTOMI DAN IRIGASI PADA SINUS
PARANASAL(DISERTAI SINUSKOPI)
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut :
1 Perlu perbaikan : langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu : langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus
berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk
kondisi diluar normal.
3 Mahir : langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat
efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan).
KEGIATAN
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF
Nama
Diagnosis
Informed Choice & Informed Consent
Rencana Tindakan
Persiapan Sebelum Tindakan
II. PERSIAPAN PROSEDUR
Pastikan kelengkapan peralatan, bahan dan obat-obatan
esensial untuk prosedur tindakan operatif pada sinusitis
paranasal yang direncanakan telah tersedia dan lengkap,
yaitu :
Alat : sesuai dengan tindakan operasi
Bahan : sesuai dengan tindakan operasi
Obat : cairan pencuci hidung, obat premedikasi,
obat anestesi, lainnya
III. PROSEDUR
1. Lakukan tindakan a dan antiseptik di dalam rongga hidung
dan sekitar hidung.
18
II.3-Rinosinusitis
Komplikasi
- Cedera orbita : hematom orbita, diplopia, kebutaan
19
II.3-Rinosinusitis
- Emboli udara
- Insersi trokar lebih didepan dari dinding depan antrum dan selanjutnya ke
jaringan lunak pipi yang dapat mengakibatkan emfisema subkutan.
- Perdarahan
- Perlukaan saluran dan kantong nasolakrimal
- Parestesi
- Trauma gigi
Follow-up/Tindak Lanjut
1. Dilakukan pengulangan antrostomi apabila diperlukan
2. Apabila tidak ada indikasi antrostomi ulang, pasien diharapkan kontrol di
poliklinik satu minggu setelah tindakan, untuk menilai keberhasilan terapi.
Definisi
Antrotomi Caldwell-Luc adalah tindakan pembedahan membuka mukosa
buccoginggival di dinding depan sinus maksilaris.
Pemeriksaan penunjang
Nasoendoskopi, Foto polos sinus paranasal, bila perlu : CT Scan
Teknik operasi
Menjelang pembedahan
1. Psikologi yaitu mengurangi kecemasan, menerangkan secara jelas
keuntungan dan resiko selama dan setelah operasi. Menerangkan secara
jelas apa saja tindakan yang akan dilakukan selama operasi.
2. Farmakologi, pasien diberi obat penenang 1 jam sebelum tindakan bedah,
bila diperlukan.
3. Anestesi sesuai indikasi
20
II.3-Rinosinusitis
PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR CALDWELL LUC
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut :
1 Perlu perbaikan : langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu : langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus
berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk
kondisi diluar normal.
3 Mahir : langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat
efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan).
KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF
Nama
Diagnosis
Informed Choice & Informed Consent
Rencana Tindakan
Persiapan Sebelum Tindakan
II. PERSIAPAN PROSEDUR
Pastikan kelengkapan peralatan, bahan dan obat-obatan
esensial untuk prosedur tindakan operatif pada sinusitis
paranasal yang direncanakan telah tersedia dan lengkap,
yaitu :
Alat : sesuai dengan tindakan operasi
Bahan : sesuai dengan tindakan operasi
Obat : cairan, antibiotik, obat premedikasi, obat
anestesi, lainnya
III. PROSEDUR
(Sebelumnya dilakukan prosedur anestesi infiltrasi)
Pada sulkus ginggivobukal (fosa kanina), tepat diatas
soket gigi dibuat insisi (insisi dapat antara caninus sp
premolar) melalui mukosa dan periosteum beberapa
sentimeter dari garis tengah. Mukosa secukupnya
dipertahankan dibagian bawah untuk memudahkan
penutupan (A).
21
II.3-Rinosinusitis
22
II.3-Rinosinusitis
Komplikasi
- Kerusakan akar gigi
- Kerusakan dasar orbita
- Hipestesi atau parestesi pipi
- Kerusakan bola mata
- Emfisema subkutan
- Kerusakan saraf alveol superior dan soket gigi
- Edem berkepanjangan
- Infeksi
- Perdarahan
- Pembengkakan wajah
- Fistula oroantral
Follow-up/Tindak lanjut
1. Pengangkatan tampon.
2. Penilaian keberhasilan pengobatan.
Definisi
Bedah sinus endosopi adalah tindakan pembedahan pada rongga hidung dan atau
sekitarnya dengan bantuan endoskop. Pada ketrampilan klinis ini, bedah sinus
endoskopi yang dilakukan adalah Unsinektomi dan Antrostomi meatus medius.
Indikasi operasi
- Rinosinusitis kronis - akut rekuren
- Rinosinusitis karena jamur alergi
- Rinosinusitis kronik disertai polip
- Polip antrokoanal
- Mukokel di dalam sinus
23
II.3-Rinosinusitis
jika ahli bedah telah menguasai teknik endoskopi, banyak prosedur lain yang
dapat dilakukan secara endoskopis (bedah sinus endoskopi) meliputi :
- Septoplasti
- Drainase abses periorbita melalui etmoidektomi
- Penanganan epistaksis termasuk ligasi arteri sfenopalatina
- Penutupan kebocoran cairan serebrospinal
- Hipofisektomi transsfenoid
- Dekompresi orbita
- Dakriokistorinostomi
- Reseksi tumor intranasal
- Koreksi atresi koana
Pemeriksaan penunjang
Nasoendoskopi, CT Scan, bila perlu MRI
Teknik operasi
Menjelang pembedahan
- Psikologi yaitu mengurangi kecemasan, menerangkan secara jelas
keuntungan dan resiko selama dan setelah operasi. Menerangkan
secara jelas apa saja tindakan yang akan dilakukan selama operasi.
- Farmakologi, pasien diberi obat penenang 1 jam sebelum tindakan
bedah, bila diperlukan.
- Pembedahan endoskopi dapat dilakukan dengan anestesi lokal atau
umum. Di area perawatan preoperatif, sangat membantu untuk
melonggarkan hidung dengan dekongestan topikal seperti
oxymetazoline. Wajah dibungkus dengan mata diperlihatkan untuk
memungkinkan ahli bedah mengenali hematom orbita intra operasi.
Anestesi lokal disuntikkan ke konka inferior, pada perlekatan depan
konka media, dan daerah prosesus unsinatus. Selama sedasi sadar,
injeksi yang lebih luas mungkin diperlukan dan dapat mencakup blok
sfenopalatin transpalatal. Obat anestesi yang dianjurkan adalah
lidokain 1% dengan epinefrin 1 : 100.000 untuk mendapatkan
vasokonstriksi dan kenyamanan post operasi.
24
II.3-Rinosinusitis
Tujuan unsinektomi :
- Membuka rongga infundibulum yang sempit sehingga drainase dan
ventilasi sinus maksila terbuka
- Membuka akses ke ostium sinus maksila dan evaluasi ostium, terbuka,
tertutup, sempit, sehingga perlu diperlebar.
No Prosedur Skala
Penilaian
0 1 2
1. Inspeksi :
Perhatikan rongga meatus medius. Lakukan luksasi konka
media ke medial dengan resparatorium (terutama jika rongga
sempit)
2. Identifikasi
Setelah rongga meatus media terbuka , pelajari dan identifikasi
anatomi kompleks osteomeatal (KOM) yaitu :
- Prosesus unsinatus (PU) di sebelah lateral
- Bula etmoid (BE) di belakang (inferomedial)
- Konka media (KM) di medial
- Resesus frontal di superior
Perhatikan celah antara PU dan BE yang membentuk Hiatus
semilunaris.
Perhatikan adanya ostium asesorius.
3. Palpasi
Raba PU secara keseluruhan dan coba gerakkan dengan
resparatorium atau osteum seeker.
25
II.3-Rinosinusitis
26
II.3-Rinosinusitis
4. Insisi
- Insisi unsinektomi atau infundibulotomi dilakukan
dengan pisau sabit (sickle knife), dimulai dari ujung atas
perlekatan konka media pada dinding lateral hidung,
insisi ke arah inferior menyusuri batas depan PU,
selanjutnya ke posterior sejajar batas bawah KM.
- Insisi dilakukan seperti menggergaji.
- Insisi dapat pula dimulai pada 1/3 atas, ke bawah,
kemudian kembali ke atas. Perhatikan bahwa insisi
harus memotong mukosa dan tulang tipis PU.
27
II.3-Rinosinusitis
28
II.3-Rinosinusitis
29
II.3-Rinosinusitis
Catatan :
Untuk nomer 1 – 5
0 = apabila peserta tidak melakukan tugasnya
1 = apabila peserta melakukan tugasnya tetapi kurang komplit/kurang tepat
2 = apabila peserta melakukan tugasnya dengan tepat
30
II.3-Rinosinusitis
No Prosedur Skala
Penilaian
0 1 2
1. ANTROSTOMI MEATUS MEDIUS
Identifikasi
Gunakan teleskop 30º untuk mencari ostium.
Identifikasi ostium : lokasi ostium adalah pada pertemuan
aspek antero – superiordengan postero – inferior PU ( atau di
sisi antero – inferior infundibulum, di depan Bula Etmoid )
Jika tidak tampak, coba palpasi dengan kuret J atau ostium
seeker.
2. Evaluasi Ostium
- Setelah ostium tampak, perhatikan bentuk dan
besarnya, apakah perlu diperlebar.
- Kenali fontanel anterior dan fontanel
posterior, yaitu dinding medial sinus
maksilaris di sisi anterior dan posterior ostium
yang tidak mengandung tulang.
- Bila ada ostium asesori, akan tampak di area
ini.
31
II.3-Rinosinusitis
3. Pelebaran Ostium
Tidak rutin dikerjakan. Jika perlu dilebarkan, jangan ke
semua arah,dapat ke 1 dan 2 arah dari di bawah ini :
- Ke anterior memotong fontanel anterior menggunakan
cunam backbiting ( hati – hati kena duktus lakrimalis )
- Ke posterior memotong fontanel posterior
menggunakan gunting atau cunam Blakesley / Cutting
Forceps yang lurus, bibir atas Cunam masukkan ke
sisi dalam ostium ( hati – hati arteri Sfenopalatina )
- Luksasi dinding bawah ostium ke medial ( cara
Wormald ), lepaskan unsur tulang sehingga tinggal
mukosa sinus yang selanjutnya digelambirkan ke
rongga hidung. Cara ini mencegah penutupan kembali
ostium dan mempertahankan fungsi mukosilier sinus.
4. Evaluasi Antrum
- Selanjutnya isi antrum di evaluasi dengan teleskop 30º
(dan 70º). Perhatikan kondisi mukosa, adakah polip,
kista dll..
- Mungkin tampak kanal jalan arteri dan nervus
infraorbitalis di atap antrum.
32
II.3-Rinosinusitis
Tip Praktis :
1. Jika Ostium tidak tampak, palpasi dengan kuret J di
sepanjang pertautan tulang konka inferior. Ada
beberapa penyebab ostium tidak tampak :
- Ada sisa PU yang menutup pandangan ke ostium →
bersihkan dengan backbiting.
- Ostium tersumbat jaringan edema, hipertrofi atau ada
massa polip / polipoid.
2. Jika ada ostium asesori, harus disatukan dengan
ostium asli, perlebar hingga keduanya bersatu.
3. Jangan memperlebar ostium ke segala arah →
menyebabkan jaringan parut melingkar dan gangguan
drainase di kemudian hari. Jangan memperlebar
ostium ke arah superior kecuali jika batasnya dengan
dasar orbita sudah jelas.
Catatan :
Untuk nomer 1 – 4
0 = apabila peserta tidak melakukan tugasnya
1 = apabila peserta melakukan tugasnya tetapi kurang komplit/kurang tepat
2 = apabila peserta melakukan tugasnya dengan tepat
33
II.3-Rinosinusitis
- Hematom orbita
- Diplopi
- Hilangnya penglihatan atau kebutaan
- Kebocoran cairan serebrospinal
- Perdarahan intrakranial
- Stroke
- Kematian
Follow-up
1. Pengangkatan tampon.
2. Penilaian keberhasilan pengobatan.
34
II.3-Rinosinusitis
L. DAFTAR TILIK
6. TAHAP PERTAMA
Evaluasi kavum nasi dari anterior :
- Perhatikan bentuk konka inferior (apakah atrofi,
eutrofi, hipertrofi dsb ?)
- Perhatikan keadaan septum nasi (apakah lurus, apakah
deviasi, adakah spina atau krista?, ke arah mana?)
7. Masukkan teleskop menyusuri dasar hidung sampai ke
nasofaring :
- Perhatikan adakah sekret di dasar hidung, apakah
sekret serosa, mukoid atau mukopurulen?
- Perhatikan dari bawah : bentuk konka inferior, bentuk
konka inferior bagian posterior dan perlekatannya
dengan dinding lateral.
- Perhatikan bentuk septum dari atas sampai dasar,
adakah kelainan dibagian tengah dan belakang septum.
- Lihat : muara tuba eustachius, mukosa nasofaring,
fossa rosenmuller, sisa adenoid, adakah massa?
- Apakah ada post nasal drip (PND)? (pada sinusitis
35
II.3-Rinosinusitis
36
II.3-Rinosinusitis
Catatan :
Untuk nomor 1-5
0 = Apabila peserta tidak melakukan tugasnya
1 = Apabila peserta melakukan tugasnya dengan tepat/komplit
Untuk nomor 6 – 11
0 = apabila peserta melakukan tugasnya
1 = apabila peserta melakukan tugasnya tetapi kurang komplit/kurang tepat
2 = apabila peserta melakukan tugasnya dengan tepat/komplit
37
II.3-Rinosinusitis
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut :
1 Perlu perbaikan : langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu : langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya
(jika harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau
membantu untuk kondisi diluar normal.
3 Mahir : langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja
yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan).
KEGIATAN
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF
Nama
Diagnosis
Informed Choice & Informed Consent
Rencana Tindakan
Persiapan Sebelum Tindakan
II. PERSIAPAN PROSEDUR
Pastikan kelengkapan peralatan, bahan dan obat-obatan
esensial untuk prosedur tindakan operatif pada sinusitis
paranasal yang direncanakan telah tersedia dan lengkap,
yaitu :
Alat : sesuai dengan tindakan operasi
Bahan : sesuai dengan tindakan operasi
Obat : cairan pencuci hidung, obat premedikasi, obat
anestesi, lainnya
III. PROSEDUR
11. Lakukan tindakan a dan antiseptik di dalam rongga hidung dan
sekitar hidung.
38
II.3-Rinosinusitis
39
II.3-Rinosinusitis
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut :
1 Perlu perbaikan : langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu : langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya
(jika harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau
membantu untuk kondisi diluar normal.
3 Mahir : langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja
yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan).
KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF
Nama
Diagnosis
Informed Choice & Informed Consent
Rencana Tindakan
Persiapan Sebelum Tindakan
II. PERSIAPAN PROSEDUR
Pastikan kelengkapan peralatan, bahan dan obat-obatan
esensial untuk prosedur tindakan operatif pada sinusitis
paranasal yang direncanakan telah tersedia dan lengkap,
yaitu :
Alat : sesuai dengan tindakan operasi
Bahan : sesuai dengan tindakan operasi
Obat : cairan, antibiotik, obat premedikasi, obat
anestesi, lainnya
III. PROSEDUR
(Sebelumnya dilakukan prosedur anestesi infiltrasi)
Pada sulkus ginggivobukal (fosa kanina), tepat diatas
soket gigi dibuat insisi (insisi dapat antara caninus sp
premolar) melalui mukosa dan periosteum beberapa
sentimeter dari garis tengah. Mukosa secukupnya
40
II.3-Rinosinusitis
41
II.3-Rinosinusitis
No Prosedur Skala
Penilaian
0 1 2
1. Inspeksi :
Perhatikan rongga meatus medius. Lakukan luksasi konka media
ke medial dengan resparatorium (terutama jika rongga sempit)
2. Identifikasi
Setelah rongga meatus media terbuka , pelajari dan identifikasi
anatomi kompleks osteomeatal (KOM) yaitu :
- Prosesus unsinatus (PU) di sebelah lateral
- Bula etmoid (BE) di belakang (inferomedial)
- Konka media (KM) di medial
- Resesus frontal di superior
Perhatikan celah antara PU dan BE yang membentuk Hiatus
semilunaris.
42
II.3-Rinosinusitis
3. Palpasi
Raba PU secara keseluruhan dan coba gerakkan dengan
resparatorium atau osteum seeker.
Selanjutnya arahkan teleskop ke ketiak KM :
- Palpasi perlekatan PU di superior, perhatikan celah antara
PU dan perlekatan KM seringkali tampak pembukaan
kearah sinus frontalis, yang terletak di sebelah medial PU
atau pada ujung superior hiatus semulunaris, tampak jelas
dengan teleskop 300. Pembukaan sinus frontal dapat di
sebelah medial dan lateral PU (tergantung perlekatan
superior PU).
4. Insisi
- Insisi unsinektomi atau infundibulotomi dilakukan dengan
pisau sabit (sickle knife), dimulai dari ujung atas perlekatan
konka media pada dinding lateral hidung, insisi ke arah
inferior menyusuri batas depan PU, selanjutnya ke
posterior sejajar batas bawah KM.
- Insisi dilakukan seperti menggergaji.
- Insisi dapat pula dimulai pada 1/3 atas, ke bawah,
kemudian kembali ke atas. Perhatikan bahwa insisi harus
memotong mukosa dan tulang tipis PU.
43
II.3-Rinosinusitis
Catatan :
Untuk nomer 1 – 5
0 = apabila peserta tidak melakukan tugasnya
1 = apabila peserta melakukan tugasnya tetapi kurang komplit/kurang tepat
2 = apabila peserta melakukan tugasnya dengan tepat
44
B. DAFTAR TILIK ANTROSTOMI MEATUS MEDIUS
No Prosedur Skala
Penilaian
0 1 2
1. Identifikasi
Gunakan teleskop 30º untuk mencari ostium.
Identifikasi ostium : lokasi ostium adalah pada pertemuan aspek antero –
superiordengan postero – inferior PU ( atau di sisi antero – inferior
infundibulum, di depan Bula Etmoid )
Jika tidak tampak, coba palpasi dengan kuret J atau ostium seeker.
2. Evaluasi Ostium
- Setelah ostium tampak, perhatikan bentuk dan besarnya,
apakah perlu diperlebar.
- Kenali fontanel anterior dan fontanel posterior, yaitu dinding
medial sinus maksilaris di sisi anterior dan posterior ostium
yang tidak mengandung tulang.
- Bila ada ostium asesori, akan tampak di area ini.
3. Pelebaran Ostium
Tidak rutin dikerjakan. Jika perlu dilebarkan, jangan ke semua arah,dapat ke 1
dan 2 arah dari di bawah ini :
- Ke anterior memotong fontanel anterior menggunakan cunam
backbiting ( hati – hati kena duktus lakrimalis )
- Ke posterior memotong fontanel posterior menggunakan gunting atau
cunam Blakesley / Cutting Forceps yang lurus, bibir atas Cunam
masukkan ke sisi dalam ostium ( hati – hati arteri Sfenopalatina )
- Luksasi dinding bawah ostium ke medial ( cara Wormald ), lepaskan
unsur tulang sehingga tinggal mukosa sinus yang selanjutnya
digelambirkan ke rongga hidung. Cara ini mencegah penutupan
kembali ostium dan mempertahankan fungsi mukosilier sinus.
4. Evaluasi Antrum
- Selanjutnya isi antrum di evaluasi dengan teleskop 30º (dan 70º).
Perhatikan kondisi mukosa, adakah polip, kista dll..
- Mungkin tampak kanal jalan arteri dan nervus infraorbitalis di atap
antrum.
Catatan :
Untuk nomer 1 – 4
0 = apabila peserta tidak melakukan tugasnya
1 = apabila peserta melakukan tugasnya tetapi kurang komplit/kurang tepat
2 = apabila peserta melakukan tugasnya dengan tepat
N. MATERI BAKU
Definisi
Rinosinusitis merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal.
46
Gambar Skematis Kompleks Osteomeatal(6)
Penyebab kelainan anatomi lain yang dapat menyebabkan sumbatan ostium sinus
yaitu septum deviasi, kolapsnya katup hidung, hipertrofi konka, konka bulosa,atresia
khoana.
- Pembuluh darah
Pembuluh darah mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian
yang lebih dalam dari tunika propia dan tersusun secara paralel dan
longitudinal, Arteri memberikan perdarahan pada periglanduler dan sub epitel.
Pembuluh eferen dari anyaman kapiler membuka ke rongga sinusoid vena
yang besar yang dindingnya dilapisi jaringan elastik dan otot polos. Sinusoid
akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih luas, sinusoid mudah
mengembang dan mengkerut tergantung dari sistem otonom
- Persarafan.
Sistem saraf pada hidung terdiri dari sensoris dan otonom. Saraf sensoris (n.
trigeminus) mengatur respon nyeri. Sistem simpatik berfungsi mengatur jalan
nafas dan vasokontriksi pembuluh darah yang berada di sinusoid, sedangkan
parasimpatik berfungsi mengatur sekresi kelenjar dan vasodilatasi pembuluh
darah.
Etiologi rinosinusitis akut yaitu infeksi oleh virus dan bakteri. Mikroorganisme
patogen penyebab rinosinusitis akut yaitu S pneumoniae, H Influenza, M catarrhalis,
Anaerobes, S Aureus dan Streptococus pyogenes. Patogen virus penyebab
rinosinusitis akut adalah Rhinovirus, Influenza Virus, Parainfluenza
Virus,Adenovirus.
47
Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab dibagi menjadi
faktor pejamu, faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor mikroba yaitu bakteri,
fungi, biofilms, superantigen. Faktor lingkungan yaitu merokok, polutan , alergi.
Faktor pejamu yaitu genetik, fisiologi, struktur anatomi, defek kekebalan bawaan,
defek kekebalan didapat.
48
rinosinusitis kronik dan polip nasi ditemukan 25 s/d 40 % pada pasien
dengan usia diatas lima tahun.
6) Kehamilan dan endokrin: Selama kehamilan, terjadi kongesti nasal pada
sekitar seperlima wanita hamil. Patogenesis kelainan ini masih belum dapat
diterangkan, tetapi terdapat beberapa teori yang menjelaskan hal tersebut.
Efek langsung hormon estrogen, progesteron dan placental growth
hormone pada mukosa nasal. Dan efek hormon tidak langsung terhadap
perubahan vaskuler. Disfungsi dari tiroid dapat menyebabkan rinosinusitis
kronik, tapi masih sedikit sekali data tentang prevalensi pasien rinosinusitis
dengan hipotiroidisme.
7) Faktor lokal pejamu/variasi anatomi: variasi anatomi seperti konka
bulosa, septum deviasi, dan displaced uncinate process diperkirakan
merupakan faktor resiko potensial dalam terjadinya rinosinusitis kronik.
8) Mikroorganisme: Bakteri; Arouja dari sample meatus media pada pasien
dengan rinosinusitis kronik menemukan 86% aerob dan 8 % anaerob.
Dengan mikroorganisme yang paling sering Staphylococcus aureus (36%),
coagulase-negative Staphylococcus (20%) dan Streptococcus pneumoniae
(17%). Jamur, kolonisasi normal pada sinus atau membentuk krusta
saprofitik. Dapat juga bersifat patologis dengan membentuk fungus ball
dari yang non-invasif sampai dengan invasif sehingga dapat memperberat
penyakitnya.
9) Osteitis: daerah pada CT scan yang terlihat dengan peningkatan densitas
dari tulang dan penebalan tulang yang ireguler merupakan daerah dengan
peradangan kronik dan merupakan tanda adanya proses peradangan kronik.
Akan tetapi pada fase awal dari rinosinusitis kronik yang berat terlihat
penipisan dari bagian tulang ethmoid. Diperkirakan apabila terjadi proses
peradangan pada tulang menyebabkan peradangan yang menetap pada
mukosanya.
10) Faktor lingkungan: di Kanada terdapat hubungan antara merokok dengan
tingginya prevalensi rinosinusitis, selain itu juga pada orang-orang dengan
sosio ekonomi rendah prevalensi rinosinusitisnya tinggi
11) Faktor iatrogenik: meningkatnya jumlah mucocoele sinus berhubungan
dengan prosedur tindakan bedah sinus dengan endoskopi.
12) Helicobacter pylori dan laryngopharingeal refluks: DNA Helicobacter
pylori ditemukan sekitar 11% s/d 33% dari contoh sinus pada pasien
dengan rinosinusitis kronik dan bukan dari kontrol.
Patofisiologi Rinosinusitis
Patogenesis terjadinya rinosinusitis diawali dengan infeksi virus pada mukosa hidung
ataupun mukosa sinus, yang memicu proses peradangan. Selama periode infeksi akut
viral, terjadi peningkatan mediator-mediator inflamasi. Inflamasi akut pada mukosa
sinus ditandai oleh : hipersekresi mukosa, edema, sehingga menyebakan edema
ostium sinus. Akibatnya terjadi stasis mukus dalam rongga sinus yang memberikan
lingkungan yang tepat untuk proliferasi bakteri. Virus sendiri dapat menyebabkan
kerusakan atau terputusnya epitel hidung dan gangguan klirens mukosilier, sehingga
akhirnya menjadi predisposisi timbulnya infeksi sekunder bakteri. Selain infeksi virus
yang berkelanjutan dianggap sebagai etiologi ABRS primer, dikenal juga : infeksi
odontogenik, atopi, sistemik imunodefisiensi, disfungsi kekebalan imunitas alami
atau obstruksi karena kelainan antomik;sebagai faktor predisposisi sekunder
rinosinusitis akut bakterialis.
49
Patofisiologi rinosinusitis lebih kompleks daripada yang diperkirakan, dan bukan
sekedar paradigma bahwa rinosinusitis kronik merupakan perpanjangan infeksi akut
saja. Peranan inflamasi pada rinosinusitis sangat menonjol, dengan kemungkinan
berbagai macam jalur penyebab yang menyebabkan inflamasi mukosa. Oleh karena
itu berkembanglah pembagian berbagai subtipe CRS berdasarkan perkembangan
patofisiologisnya, sbb :
Rinosinusitis kronik disertai polip nasi dan tidak disertai polip nasi
Berdasarkan gambaran eosinofilik dan non eosinofilik
Allergic Fungal Sinusitis dan non Allergic Fungal Sinusitis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda vital : suhu, nadi, respirasi, tensi, keadaan umum.
Pemeriksan kepala dan leher dimulai dari:
- Inspeksi : pemeriksaan wajah : wajah bengkak, eritem atau terlihat edema
lokal seperti pada pipi ,mata.
- Palpasi dan perkusi : nyeri tekan di daerah wajah,pipi, kelopak mata bawah
atau sekitar dahi.
- Pemeriksaan mata : edema, hiperemis periorbita, ada tidaknya proptosis,
turunnya tajam penglihatan, fungsi otot ekstraokular menurun/oftalmoplegia
50
- Pemeriksaan Hidung (rinoskopi anterior) : sekret mukopurulen, polip, konkha
inferior/media hipertrofi.
- Pemeriksaan orofaring : post nasal drip, gigi pada rahang atas; karies, gangren
radiks dan lain-lain.
Pemeriksaan lain :
- Analisis suara memperlihatkan suara yang hiponasal, konsisten dengan
berkurangnya resonansi karena berkurangnya aerasi di daerah sinusparanasal.
- Auskultasi dada penting diketahui apalagi bila ada riwayat penyakit paru;
memperlihatkan inflamasi jalan nafas bagian bawah yang berpotensi
berhubungan dengan inflamasi jalan nafas bagian atas.
- Pemeriksaan neurologik termasuk pemeriksaan nervus kranialis; penting
dilakukan untuk melihat kemungkinan komplikasi ke intrakranial.
51
Pemeriksaan CT Scan pada rinosinusitis dilakukan setelah pemberian
maksimal medikamentosa gagal atau tidak memberikan perbaikan, atau pada
rinosinusitis dengan komplikasi.
52
- Rinosinusitis Akut Rekuren (Recurrent Acute Rhinosinusitis): bila gejala
lebih dari 3 episode Rinosinusitis akut bakterialis dalam 6 bulan tanpa tanda
dan gejala rinosinusitis diantara episode. Setiap episode Rinosinusitis akut
bakterialis harus memenuhi kriteria di atas. Diagnosis ini masuk dalam
kriteria Rinosinusitis kronik.
Penatalaksanaan Rinosinusitis
Penatalaksanaan rinosinustis pada umumnya adalah medikamentosa, apabila tidak
ada perbaikan atau terjadi komplikasi yang mengancam baru dilakukan
tindakan/operasi. Selain itu penatalaksanaan juga harus mampu mengatasi faktor
predisposisi atau etiologi terjadinya rinosinusitis pada pasien; sebagai contoh :
pemberian antihistamin pada pasien dengan Rinitis Alergi atau obat Proton Pump
Inhibitor pada Refluks Laringofaring (LPR=Laryngopharyngeal Reflux).
Medikamentosa
Pada dasarnya pemberian medikamentosa pada Rinosinusitis meliputi :
- Nasal irigasi/cuci hidung menggunakan larutan NaCl fisiologis (setara)
- Pemberian antibiotika sesuai indikasi
- Kortikosteroid intranasal
- Terapi suportif /simptomatik
- Terapi untuk faktor predisposisi Rinosinusitis (pada rinosinusitis kronik
terutama).
Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis Akut Viral (Acute Viral Rhinosinusitis)
Terapi tambahan/ suportif:
- Dekongestan
- anti histamin
- analgetik & antipiretik
- Kortikosteroid topikal
- cuci hidung larutan garam fisiologis
- mukolitik
- herbal
53
Rinosinusitis Kronis
Streroid
Kortikosteroid merupakan terapi medikamentosa lini pertama pada
rinosinusitis kronis
- Kortikosteroid topical
- Kortikosteroid sistemik
Antibiotik
Digunakan untuk mengurangi jumlah bakteri dan mengobati eksaserbasi
akut
Berdasarkan hasil kultur dan resistensi.
Cuci hidung larutan garam fisiologis
Secara mekanik membersihkan mukus, krusta, debris dan alergen,
memperbaiki klirens mukosilier dan melindungi mukosa sinonasal.
Antihistamin
Diberikan hanya pada pasien dengan rinitis alergi
Terapi suportif dan terapi predisposisi Rinosinusitis kronik
Prosedur pembedahan
Prosedur pembedahan dilakukan dengan tujuan membuat drainase sinus yang
terkena menjadi terbuka dan berfungsi normal kembali, dengan seminimal
mungkin merusak mukosa yang normal. Pembedahan dilakukan bila :
- respon pengobatan dianggap tidak berhasil,
- ada komplikasi mengancam,
- terdapat nyeri hebat
Prosedur pembedahan yang dapat dilakukan :
- Antrostomi dan irigasi sinus maksilaris (disertai sinuskopi)
- Prosedur Caldwell Luc (untuk mencapai antrum maksila)
- Bedah Sinus Endoskopi
RINOSINUSITIS JAMUR
Komplikasi Rinosinusitis
Melihat kedekatan secara anatomis rongga hidung serta sinus paranasal dengan
struktur penting di dekatnya, seperti orbita dan intrakranial, menyebabkan penyebaran
rinosinusitis dapat menyebabkan komplikasi ke organ-organ penting tersebut.
Komplikasi rinosinusitis memerlukan antibiotik intravena spektrum luas untuk
penanganannya.
Pengenalan kecurigaan gejala komplikasi rinosinusitis serta tatalaksana
Komplikasi rinosinusitis dapat dibagi menjadi 3 kategori :
1. Komplikasi orbita
2. Komplikasi intrakranial
3. Komplikasi ke tulang
1.Komplikasi Orbita
Chandler dkk, mengklasifikasikan komplikasi orbital menjadi 5 kelompok :
1. Selulitis Preseptal
2. Selulitis Orbita
3. Abses Subperiosteal
55
4. Abses Orbita
5. Trombosis sinus kavernosus
2. Komplikasi Intrakranial
Komplikasi Intrakranial :
1. Meningitis
2. Abses Epidural
3. Abses Subdural
4. Abses Intraserebral
5. Tromboplebhitis venous
56
Tabel di bawah ini memperlihatkan temuan klinis dan penatalaksanaan komplikasi
rinosinusitis ke intrakranial.
3. Komplikasi Tulang
Komplikasi Tulang : Osteomyelitis dari Os Frontal merupakan komplikasi ke tulang
dari sinusitis frontal, dikenal sebagai “Pott puffy tumor”, karena terdapat
pengumpulan pus di area subperiosteal area frontal. Komplikasi ini dapat berdiri
sendiri atau disertai komplikasi intrakranial lainnya seperti abses epidural.
Penatalaksanaan berupa pemberian antibiotik intravena dan drainase abses disertai
pembuangan tulang yang terinfeksi.
57
O. ALGORITMA DAN PROSEDUR
RINOSINUSITIS
Penatalaksanaan
ANAMNESIS
Hidung tersumbat, hidung beringus, nyeri di wajah/pipi, gangguan penghidu
RINOSKOPI ANTERIOR
Polip?Tumor?
Komplikasi Sinusitis?
Lakukan
Penatalaksanaan yang sesuai
TIDAK YA
FaktorRisiko: Nasoendoskopi/
Terapi tambahan: Rinitis alergi CT Scan SPN minimal pot.koronal
Dekongestan, anti LPR (bila belum dilakukan)
histamin, analgetik Variasi anatomi: Kultur MM
Kortikosteroid topikal, Deviasi septum, TesAlergi (atas indikasi)
< 10 hari (RSAV):
cuci hidung larutan garam Konkabulosa, Tes untuk LPR (indikasi)
Terapi suportif
(Terapi tambahan) fisiologis,mukolitik, herbal Hipertrofiadenoid
(pelargonium sp) Jamur
Immunocompromised
YA
Perbaikan? SEMBUH
Hanya variasi anatomi Tanpa variasi anatomi Polip
TIDAK tanpa polip maksimal
Ya medikamentosa (dibuat
> 10 hari/double sickening(*) (RSAB): kotak terpisah)
AB empirik (3 – 5 hari)-Lini I:
Amoksisilin/Amoksisilin-
asamklavulanat/Eritromisin
Ke penatalaksanaan
Terapi sesuai panduan: polip
------- JIKA TIDAK MEMBAIK -------
1.Rinitis alergi
Lini II AB 2.LPR
Sefalosporin, kuinolon, makrolid
Observasi 5 hari
+ Terapitambahan
YA Teruskan AB YA Teruskan terapi
Perbaikan? mencukupi Perbaikan?
sesuai panduan
10-14 hari
RA dan LPR
TIDAK
TIDAK
IDENTIFIKASI & PENATALAKSAAN Terapi persiapan 1-2 minggu
Ro.polos SPN/ CT
FAKTOR RISIKO SESUAI PANDUAN: TINDAKAN BEDAH:
SCAN
1.Bakteri gram negatif/anaerob BSEF / Septum reseksi/
Naso-endoskopi
2.Rinitis alergi adenoidektomi
(NE)/Kultur MM/pungsi
3.LPR (sesuaiindikasi/temuan)
sinus /anamnesis
4.Variasi anatomi
curiga RA dan LPR
Lakukan
Faktor risiko 2,3,4 YA penatalaksaan Tindakan
Rinosinusitis BSEF/operasi
TIDAK kronik lainnya
58